NUR
KARIMA (16110178) DAN HIMMATUL MILLAH (16110015)
FAKULTAS ILMU TARBIAH DAN KEGURIAN
PAI
E 2017 UIN MALANG
Nurkarima63@gmail.com
Abstract
This paper discusses
about Indonesian ulama, KH. Sahal Mahfudh. KH.Sahal mahfudh is islamic social
movement. His idea come from that socio-cultural around. because it is a
reaction to the action of the real. KH. Sahal Mahfudh is not only islamic
social movement, he is writer. He was published many article, books as the
reaction of the real.
Keywords: KH. Sahal
Mahfudh, Islamic social movement, fiqih Indonesia
A.
PENDAHULUAN
A.1 LatarBelakang
Polapikir yang berjalan di erazaman nowseharusnyatidakdudukpadastagnansi,
yang seharusnyamenjadiIslam kontemporer yang fahamakanperkembangan yang ada.
Pemikiranmanusiamasakini yang telahbanyakmembaurdenganmajunyateknologi,
harusdibarengidengansikapcerdas,
cepatdancermatsertaselektifdalammenghadapitantanganzaman.
Jikaditelisik, kemunduranUmat Islam dikarenakankebekuandalamberpikir,
sertakurangnyamembaca.Baikmembacahalhal yang
tersuratmaupuntersirat.Membacahaltersuratsepertikitabkitab yang
membahasmengenaiteologi, danhalhaltersiratsepertiibrahdarisebuahkejadian yang
bisadijadikanpelajaranhendaknyatidakdiabaikan.
A.2 RumusanMasalah
1.
Siapakah KH. SahalMahfudh?
2.
Bagaimana corak
pemikirah KH. Sahal Mahfudh?
B.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
KH. Sahal Mahfudz
Sosok
KH. Sahal Mahfudz tidak akan pernah ada habisnya bila diceritakan. Memiliki
banyak peran, khususnya mengemban dalam bidang Agama berbasis sosial, sosok KH.
Sahal Mahfudz banyak dijadikan pedoman
bagi masyarakat islam Indonesia. Sosok yang sangat bersahaja mencerminkan
ketawadlu’an serta kesesuaian terhadap peran yang sedang diemban.
Selain
menjadi penggerak sosial dan ekonomi masyarakat, tertanam dalam diri Kiai Sahal
jiwa produktifitas menulis, baik artikel, tanya jawab maupun buku. Sebagian
karyanya ialah Nuansa Fiqh Sosial (1994)
B.
Asal
mula lahirnya fiqih sosial
Pemikiran
seseorang lahir dari kondisi sosial budaya yang ada di sekitarnya. Karena hal
tersebut merupakan reaksi terhadap aksi yang riil. Sebagai sosok intelektualis
berkewajiban memberikan reaksi terhadap kasus kasus sosial. Respon yang
berlandaskan terhadap keilmuan yang mendalam, penguasaan masalah secara
komprehensif, kepekaan terhadap lingkungan sosial, daya analisis yang memadai.
Kemudian munculah solusi solusi cerdas dengan spesifikasi ilmunya.
Sosok
yang intelektual harus berani mengambil risiko dari pilihannya sebagai seorang
agent of social change (agen perubahan sosial). Tentunya pilihan yang
mengandung konsekuensi konsekuensi berat, harus mampu serta siap membaur
bersama masyarakat, merancang program, ringan hati untuk turun tangan melakukan
identifikasi dan bimbingan, motivasi, bantuan sarana pra sarana dan mengarahkan
secara terus menerus, terhadap perubahan mental, ekonomi, budaya, dan moral
yang lebih baik.[1]
Schipenhauer
pernah mengatakan, Segala jenis ide brilian harus melalui tiga Tahapan. Dalam
tahap pertama, ide tersebut akan mendapat cemoohan. Pada tahap ke dua, ide
tersebut akan sangat ditentang. Dan pada fase terakhir yaitu fase ke tiga, ide
tersebut akan dianggap terbukti dengannya sendirinya(self-evident).
Jika
ditelisik, buah pikiran brilian sosok KH. Sahal Mahfudz dilatar belakangi oleh
kondisi sosial ekonomi masyarakat Kajen yang kekurangan, ditambah lagi dengan
tidak adanya lahan utuk bercocok tanam, semuanya telah dipadati oleh rumah
masyarakat, serta tidak tersedia akses birokrasi. Solusi cermat dan efisien
untuk meningkatkan integritas perekonomian warga Kajen agar maju, makmur
sejahtera yang sesuai dengan kondisi tersebut yaitu enterpreneurship
(kewirausahaan). Tentu saja, hanya dengan uluran dana ansich ekonomi tidak akan
segera maju, maka dari itu harus ada team work yang memiliki solidaritas tinggi
serta profesioal, berpengalaman memberi dorongan berupa motivasi, merancang
program, merealisasikan, serta mengevaluasi secara berkelanjutan.
Kiai
Sahal menghadadapi kendala teologis selama menjalankan progam transformatifnya.
Kemiskinan dan Kefakiran dianggap masyarakat Kajen sesuatu yang biasa, bahkan
simbol takdir tuhan terhadap umat islam. Asumsi dan persepsi tersebut memang
ada landasan teologisnya, seperti firman Allah
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ
الْغُرُورِ [آل عمران : 185
“Dan tidak ada
kehidupan dunia kecuali kenikmatan yang menipu”(QS.
Ali Imran: 185)
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ
وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ
وَالْأَوْلَادِ ۖ [الحديد : 20]
“Sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan
dan bermegah megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta
dan ana.” (QS. Al Hadid:20)
Hadis
Nabi:
الدُّنْيَا سِجْنُ
الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ
“Dunia
ibarat penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.”
(HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi, dan Ibn Majah)
حُفَّتِ الْجَنَّةُ
بِالْمَكَارِهِ وَحُفَّتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ
“Surga
dikelilingi dengan sesutu yang dibenci, dan neraka dikelilingi dengan
kesenang-senangan.” (HR. Ahmad, Muslim, Tirmidzi)
Ada
doa Nabi yang masyhur,
ربي احيني مسكينا وامتني
مسكينا
“Wahai
Tuhan semoga engkau menghidupkan saya dalam kondisi miskin dan mecabut nyawa
saya dalam kondisi miskin.”
Sumber
Qur’an dan Hadis Nabi ini diperkuat oleh maqalah ulama’
حب الدنيا راءس كل خطية
“Mencintai
dunia adalah pokok segala kesalahan”
هي
الدنيا اقل من القليل وعا شقها اذل من الد ليل,
تصم بسحرها قوما وتعمي, فهم
متحيرون بلا دليل
“Ia
adalah dunia, lebih sedikit daripada sesuatu yang sedikit, orang yang ambisius
dunia lebih rendah daripada sesuatu yang rendah, dengan sihirnya, komunitas
manusia menjadi tuli dan buta, mereka bingung tanpa ada petunjuk.”
C.
Konsepsi Dasar Fiqih[2]
Perkembangan
dunia islam pada suatu titik, ilmu fiqih pernah menjadi bulan-bulanan. Keadaannyabikambing
hitamkan sebagai “biang kerok” atas keterbelakangan dan kemunduran dunia islam.
Kepustakaannya yang biasanya sering disebut “classical sourvice”, selalu di
kootisasikan sebagai keusangan yang pada akhirnya mengesankan sifat ke tinggalan zaman.
Puing-puing seperti itu masih terasa, sehinnga sebagian dari kita mengalami
gejala”(muraqabunnaqs” (kekurangan bertumpuk-tumpuk) dalam menghadapi masa
modern ini.
Kebenaran
fiqih (yang dipersiapkan sebagai kebenaran ortodoksi) dianggap telah “membelenggu”
kreatifitas intelektual yang merupakan “pintu gerbang” kemajuan sebuah
peradaban. Presepsi umat islam atas “dosa besar” dalam lintasan sejarah islam,
serta adanya pandangan yang tidak proporsional terhadap fiqih itu di sebabkan
tidak adanya penelitian sejarah perkembangan fiqih secara serius.
Banyaknya
umat islam yang masih memposisikan fiqih sebagai sesuatu yang sakral, regid,
eternal, tidak dapat berubah misalnya, atau pandangan sebagai orientalis seperti Margoliouth, S, C
Hourgronje, Joseph Scact, dan lain-lain yang menganggap fiqih sebagai duplikat dari persoalan-persoalan adminitrasi
dan hokum yang muncul pada masa Dinasti Umayyah dan tidak punya landasan
otoritatif dari nash, adalh sebuah contoh
kelalaian terhadap sejarah konsepsi dan fakta serta perkembangan fiqih.
Jadi, seandainya penelitian sejarah dilakukan dengan serius, maka tidak akan
muncul “presepsi yang salah” ahistoris
tersebut. Lebih dari itu fiqih yang dikaji tidak semata-mata hanya menjadi
historis saja tetapi bias kemungkinan menjadi perkembangan islam berikutnya.
Karena mengkaji hukum islam (fiqih) pada dasarnya yaitu mengkaji islam itu
sendiri.
D.
Pengertian
fiqih Dan Ruang Lingkupnya
Kata fiqih (al-fiqh)
yang artinya pemahaman, pengetahuan (tentang sesuatu), pengertian. Dalam Al-Qur’an,
kata fiqih secara umum diartikan pengetahuan, pemahaman. Contohnya, di dalam
firman Allah Q.S. At-Tauba (9 :122).
“ Tidak sepatutnya orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara
mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan
untuk memberi peringatan kepada kamunya apabila mereka telah kembali
kepadannya, supaya mereka itu menjaga dirinya.
Hal ini berbeda dengan
terminology fiqihpada masa jahiliyah yang mencakup seluruh ilmu, tidak hanya
agama. Kemudian, kurang lebih setelah abad ke-2 Hijriah ketika fiqih mengalami
“penyempitan makna” (narrow of term) menjadi yurisprudensi hukum isalam.
Para ulama’ membagi
hukum islam menjadi delapan[3]
- Hukum islam yang berkaitan dengan masalah keluarga seperti talak, nikah, nafkah keturunan disebut “ al-akhwal al-syakhsiyyah”
- Hukum islam yang berkaitan dengan akhlak baik dan buruk disebut “ adab”
- Hukum islam yang mengatur hubungan antar Negara dalam dalam keadaan perang dan damai “al-huquq al-dawliyah”
- Hukum islam yang mengatur hubungan antar penguasa dan warganya disebut dengan disebut dengan “siyasah syari’iyah/al-ahkamu al-sulthaniyyah
- Hukum islam yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa antar sesame manusia disebut “al-ahkam al-qadla
- Hukum islam yang berkaitan tentang adanya tindak pidana disebut “jinayah/uqubah”
- Hukum islam yang berkaitan dengan ibadah terhadap Allah seperti shalat, puasa, haji
- Hukum islam yang berhubungan dengan hubungan antara manusia dalam memenuhi keperluan masing-masing yang berkaitan dengan masalah harta dan hak-hak disebut “muamalah”
Dari
delapan macam hukum islam ini dikerucutkan menjadi dua yaitu ibadah dan
muamalah. Fiqih bukanlah “ilmu teoritis” (ulum nazhariyah) sebagaimana
filsafat, melainkan “ilmu amaliyah” (ketentuan-ketentuan yang berlaku positif).
Oleh karena itu, definisi ilmu fiqih yang baku sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu al-Subki adalah “al-ilm bi
al-ahkam al-syariyati al-muhtasab min adillatiha al-tafshiliyah” (Ilmu
tentang hukum-hukum syariat amaliyah yang digali dari dalil-dalil yang
terperinci).
Dari
definisi ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Fiqih adalah “ ilmu muktasab” yaitu ilmu garapann manusia, hal ini berbeda dengan ilmu Malaikat Jibril atau ilmu rasul yang berkaitan dengan wahyu. Oleh karena itu fiqih merupakan ilmu yang muktasab, maka penalaran (reasoning) mendapat tempat dan abash dalam batas-batas tertentu.
- Sasaran ilmu fiqih adalah al-ahkam al-amaliyah (hukum ril). Dengan demikian, fiqih berkaitan dengan pengaturan dan penataan manusia yang bersifat ril, empiris dan positif, tidak seperti ilmu kalam (teologi) yang “njelimet” dan teoritis
- Sumber pokoknya adalah wahyu atau syara’ dalam bentuknya yang rinci (tafshiliyah) baik dalam Al-Qur’an maupun hadist melalui proses istidlal atau istimbath.
E.
Problematika
Rumah Tangga
a. Status
Perempuan Dipinang
Menjawab dari Simpang
siur pemahaman masyarakat mengenai status Perempuan dipinang, Kiai Sahal menjawab
serta mengumpulkan dalam bukunya mengenai Status Perempuan dipinang.
Selama ini, hampir
tidak pernah dijumpai pernikahan didahului prosesi peminangan terlebih dahulu
terhadap calon mempelai perempuan. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat
meiliki kesadaran mengenai pentingnya peminangan.
Peminangan dalam
literatur fikih disebut khitbah. Secara harfiah, khitbah adalah thalab
a- rajul al mar’ah li az-zawj, Seorang laki laki meminta kepada pihak
perempuan untuk melakukan pernikahan.
Secara terminologi,
peminangan tidak berbeda jauh dari arti harfiahnya. Kompilasi Hukum Indonesia
Mendefinisikan peminangan sebagai upaya ke arah hubungan perjodohan antara
seorang laki laki dan perempuan.
Hukum peminangan yaitu
sunnah, diperintahkan namun tidak sampai pada tinkat wajib. Meskipun Pernikahan
berlangsung tanpa didahului peminangan, maka hukum pernikahan tersebut tetap
sah karena tidak termasuk rukun dan syarat.
Banyak manfaat yang
diperoleh dari prosesi khitbah. Melalui peminangan pihak laki laki dapat mengetahui
kesediaan makhthubah (perempuan yang dipinang) untuk dinikahi.
Status Hukum
Antara
peminangan dan pernikahan sebenarnya
terdapat perbedaan yang cukup jelas. Peminangan tidak lebih dari mukaddimah
(permulaan) dari pernikahan. Dalam peminangan, pihak laki laki baru pada tahap
pengungkapan prasaan atau berupa pengajuan tawaran kepada pihak perempuan untuk
dinikahi. Tentu saja penawaran dapat diterima maupun ditolak. Sedangkan
pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara laki laki dan perempuan yang
telah sah menjadi suami istri dalam akad dengan tujuan membentuk keluarga.
Setelah
peminangan, status Khatib dan makhthubah belum terjalinhubugan
yang sah. Setelah keduanaya menikah barulah status resmi menjadi suami isteri.
Mereka tidak diperkenankan melakukan sesuatu yang hanya diperkenenkan dilakukan
oleh suami dan isteri. Seperti tidur bersama, berduaan di tempat sepi.
Pelarangan
meminang perempuan yang telah dipinang pria lain menjadi timbal balik hukum
pinang. Selama pinangan pria tersebut belum berakhir atau penolakan dari pihak
perempuan.[4]
b. Mengikuti
Tradisi Potong Rambut Bayi
Pertanyaan mengenai
tradisi di jawa memang tak ada habisnya, salah satunya mengenai tradisi potong
rambut bayi. Kiai Sahal pernah menjawab mengenai Tradisi potong rambut bayi.
Masyarakat Jawa begitu terkenal dengan beragam tradisinya. Mulai dari yang
bersifat ritual, berbau mistis, sampai yang bersifat seremonial.
Generasi pendahulu
sedikit banyak memberikan pengaruh tradsi. Dengan demikian ia selalu
menghubungkan pada generasi pendahulu yang mada masanya kala itu memiliki pahan
dan agama serta keyakinan yang berbeda beda sehingga tidak semua tradisi sesuai
dengan syariat. Maka dari itu sebagai pewaris tradisi, hedaknya mengadopsi
secara selektif, menibang terlebih dahulu dengan ukuran syariat.
Tradisi Potong Rambut
biasanya disertai pemberian nama yang biasanya dilakukan pada hari ke tujuh
kelahirannya. Tradisi tersebut sudah megakar di kalangan masyarakat dan tidak
semua orang tahu apa dasar serta yang melatar belakangi hal tersebut. Apabila
ditelisik, ternyata hal tersebut merupakan sunnah rasul. Memberi nama pada har
ketujuh kelahirannya dan memotong rambutnya adalah sunnah.
Dalam sebuah hadis
shahih yang diriwayatkan oleh hakim, Rasul pernah mengatakan kepada sayyidah Fatimah
setelah lahirnya sayyidina Hasan “potonglah rambutnya dan sedekahkanlah dengan al
wariq (perak) sesuai dengan timbangan rambut itu.[5]
F.
Masalah
Antara Hubungan Agama dan Negara
Sikap
KH. Sahal dalam konteks hubungan agama dan negara (ulama’ dan penguasa)
mengambarkan prinsip “akomodatif kritis”. Prinsip ini menuntut kemampuan para
ulama’ untuk menjadi islam sebagai kekuatan yang integratif terhadap Negara.
Islam dalam rumusan KH. Sahal harus
dipandang sebagai faktor komplementer
bagi komponen-komponen lain, bukan sebagai faktor tandingan yang
justru berpotensi meniptakan
disintegrasi terhadap kehidupan
berbangsa dan bernegara. “ Islam dalam hal ini di fungsikan sebagai faktor
integratif yang mendorong tumbuhnya partisipasi
penuh dalam rangka membentuk Indonesia yang kuat, demokratis dan
berkeadilan.[6]
KH.
Sahal dengan demikian, sangat menentang
baik kelompok yang pro status quo maupun yang antipati terhadap
kekuasaan. KH. Sahal ingin mengembalikan fungsi agama pada masa Rasulullah dan
khulafa al-rosyidin, ketika agama dimainkan baik pada level struktur atau
kultur.
1.
Masalah Krisis
Ekologi
Dunia
ini mengalami krisis global yang sangat serius,kompleks dan sangat multi
dimensional. Krisis global itu antara lain penganggurandab angka inflasi yang
membengkak, krisis ekologi berupa polusi, tingginya angka kejahatan dan kerusakan lingkungan. Indonesia ini konon
diramalkan bernasib sama seperti Mexico dalam krisis ekologi ini.
Bagaimana
KH. Sahal mensikapi krisis ekologi (kerisis lingkungan) ini? Bagi KH. Sahal,
krisis ekologi ini ditimbulkan dari pandangan manusia yang keliru terhadap alam
atau apa yang oleh Fritjof Capra disebut
“krisis persepsi”. Manusia menganggap alam sebagai “prostitute”: Tubuhnya
diekspolitasi dan sesudah itu di campakkan. Kepentingan ekonomi telah mengubah
segalanya. Demikian KH.Sahal setiap aktivitas manusia akan diperhitungkan
resikonya terhadap moral masyarakat. Semua di dasarkan atas untung dan rugi
ekonomi “ini berbahaya”.
2.
Masalah
Prostitusi Dan Landasan Seks
Melihat
realita yang ada di masyarakat, maka pelacuran yang berkembang
dimasyarakat tidak hanya sebatas di alokasi,
tapi lebih luas cakupannya. Luasnya Spelacuran berimplikasi pada sulitnya
masalah tersebut. Solusi yang diberikan KH. Sahal, yakni sentralisasi lokasi
pelacuran dalam rangka meminimalisir dari madlarat pelacuran adalah dalam
rangka minimalisir dari madlarat pelacuran. Karena bagaimanapun pelacuran tersebut tidak dapat dihapuskan,
yang dapat dilakukan adalah minimalisir. Pendapat KH. Sahal itu didasarkan
pada akhafudz al-dlararain, yaitu
mengambil sikap yang resikonya paling kecil dari dua macam bahaya (mudlorot).[7]
Kedua,
melalui pendekatan sosiologis atau atau kasatif. Metode ini digunakan untuk
mengetahui sebab-sebab dan latar belakang dari para pelaku pelacuran. KH. Sahal
menyebut ciri ini sebagai “kunci utama” mengatasi prostitusi. Konsekuensinya jika
pelacuran disebabkan kemiskinan, maka perlu diupayakan peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan ekonomi yang “tepat sasaran” dan
“tepat guna”. Jika akar persoalan karena minimnya pengetahuan agama, maka
diperlukan upaya penanaman moralitas dan etika yang dilandasi semangat
keagamaan. Prinsip KH. Sahal ini mengacu
pada kaidah ushul, sad al-dzari’ah yaitu menutup jalan yang menuju
perbuatan trlarang.
3.
Masalah
Pendidikan Integralistik
Pendidikan
dalam prespektif KH.Sahal adalah “ usaha
sadar yang membentuk watak dan perilaku secara terencana, sitematis, dan
terarah. Bagi KH. Sahal, pendidikan bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan pasar
besar, meskipun memenuhi kebutuhan pragramatis juga penting. KH. Sahal sering
menyebut, bahwasannya pendidikan harus
bernuansa pada penciptanya
manusia yang akram dan shalih. Akram merupakam pencapaian
kelebihan dalam relavansinnya dengan makhluq khaliq. Akram juga mencakup etika
pergaulan dengan masyarakat dalam segala aspek kehidupan. Sedangkan shalih yaitu,
manusia yang secara potensial mampu berperan terampil, aktif, dan berguna dalam
kehidupan sesame makhluk.
Pandangan
KH. Sahal itu didasarkan pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam
At-Tabrani dan Imam Baihaqi ”Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih
(fitrah), kedua orang tuanyalah yang menyahudikan, memajusikannya atau
menasranikannya. Dari hadist ini KH. Sahal menarik kesimpulan, bahwa pendidikan
tidak sekedar meningkatkan kualitas hidup fisik seseorang sebagaimana falsafa
pendidikan moderen. Tetapi, pendidikan merupakan media pembentuk perilaku dan
watak manusia.
4.
Masalah Zakat
Dan Pengatasan Kemiskinan
KH.
Sahal adalah seorang ulama’yang menentang legal-formal dalam memaknai zakat.
Baginya zakat selain berdimensi ubudiyah
juga berdimensi social. Menurut KH. Sahal zakat adalah suatu cara untuk
mempersempit jurang perbedaan pendapat dalam masyarakat, sehingga tidak menjadi
kesenjangan social yang dapat yang dapat berpotensi chaos dan mengsnggu
kehormatan bermasyarakat. Jadi dalam
pandangan KH. Sahal zakat adalah institusi untuk mencapai keadilan social, dalam arti sebagai mekanisme
penekanan akumulasi modal pada sekelompok kecil masyarakat.[8]
Selain
zakat, KH. Sahal juga mewajibkan nafaqoh
. “Menurut ketentuan fiqih jika tidak ada baitul mal, maka wajib bagi kaum
hartawan untuk memberi nafkah kepada kaum faqir miskin. Shodaqoh berbeda dengan
nafaqoh. Yang disebut shodaqoh menurut KH. Sahal hukumnya sunnah. Meskipun
seperti itu, shodaqoh bias dimanfaatkan untuk kesenjangan social. Jadi, zakat,
shodaqoh dan nafaqoh merupakan media (wa’sail) yang disediakan
islam untuk mengatasi program kemiskinan
umat islam.
Pendapat
KH. Sahal di atas tidak hanya retorika seorang kiyai. KH. Sahal di atas tidak
hanya mengaktualisasikan pendapatnya itu ke dalam aksi riil di masyarakat.
Melalui Badan Pengembangan Masyarakat Pesantren (BPPM). KH. Sahal sendiri
sebagai pengasuhnya telah melakukan banyak hal dalam kaitannya dengan
pengentasan kemiskinan, diantaranya
adalah program pemanfaatan dana zakat
untuk kegiatan produktif, terutama di wilayah Pati.
G.
Metode
Istimbat Hukum
KiaiSahalsebagaijam’iyyahsekaligusgerakandiniyahdanijtima’iyyahmenjadikanfahamAhlussunnahWaljama’ahsebagaidasarnyasejakawalberdirinyaNadhlatulUlama’(NU).BeliaumenganutSalahsatudariempatmadzhabyaknimadzhabSyafi’i.
Dalamstrukturkepengurusannya,NUmemilikibermacammacamlembaga,salahsatunyalembagasyuriahyangbertugasantaralainmengadakanforumbahtsulmasail.ForumBahtsulmasailyaituyangbertugasmengambilkeputusanmengenaihukumhukumislam,yangberkaitandenganmasalahmasalahfiqih,tauhid,tasawwuf(thariqah).ForuminibiasanyadiikutiolehsyuriahdanulamaulamaNUyangberadadiluarstrukturorganisasi,termasukparapengasuhpesantren.
1.Metode
Tekstual (Madzab Qauly)
Metode
ini digunakan ketika memberikan fatwa hokum terutama di harian Suara Merdeka.
Dalam oprasionalnya KH.Sahal menggunakan menggunakan kitab-kitab yang digunakan
oleh ulama’ Syafi’iyah (bukan Syafi’i). Itulah sebabnya, A. Qodri Azizy
menyebut isi ”fatwa KH. Sahal” itu 100% mendasarkan pada fiqih madzab syafi’I
dan anti talfiq.
Kitab-kitab
yang sering dijadikan rujukan KH.
Sahal dalam memberikan “fatwa hokum”
antara lain: al-Bajuri, Subul as-Salam, Fath al-Mu’in, Mizan al-Kubro, Rawa’I
al- Bayan, al-Iqna, dan lain lain. Sedangkan
ulama’ yang sering dijadikan referensi antara lain: al- Rafa’I (w.623 H/1209
M), al-Qaffal (w.365/976), al-Razi (w.606/1209). Banyak kitab besar antara
lain: al-Muhazzab, al-Majmu, al-Mukhtasar yang ditulis masing masing oleh
Syra-zi, Nawawi, dan Muzani jarang
disebutkan. Apalagi kitab Syafi’I sendiri seperti al-Umm, al-Risalah, Musnad,
Ikhtilaf, al-Hadist dan lain-lain.[9]
2. Metode Kontekstual (Madhab Manhaji)
Dalam hal ini KH. Sahal sering mengatakan bahwa seorang
kiyai/ulama’ harus memenuhi kriteria sebagai faqihun anil mashalih al-khalqi
al-dunya seperti di ungkapkan Imam Al-Ghazali, artinya: seorang ulama’ harus
mampu menangkap “pesan zaman” demi kemaslahatan umat di dunia. Untuk dapat
“menangkap pesan zaman demi kemaslahatan umat” itu jelas membutuhkan sebuah persyaratan berupa bermadzab secara metodologis.
Metode KH. Sahal dalam mengistimbatkan hukum secara metodologis ini dengan cara
menferifikasikan persoalan yang tergolong ushul (pokok/dasar)mdan
permasalahan yang termasuk furu’, KH. Sahal terlebih dahulu melakukan
identifikasi atau klasifikasi sebuah kebutuhan. Kebutuhan itu digolongkan
menjadi tiga yaitu: hajjiyat (kebutuhan sekunder), dlaruruyat (kebutuhan mendesak), dan
tahsiniyyat (kebutuhan lux) yang disebut al-kulliyat al-syariyat. Ketiga hal
itu menjadi tujuan syari’at (maqoshid al-syariah).[10]
H.
Epistimologi
Fiqih social
Epistimologi
adalah salah satu unsur ilmu filsafat. Filsafat melatih manusia berpikir ilmiah
dalam mengatasi problematika kehidupan. Menurut Prof. Mulder, berpikir ilmiah
itu mengandung khaiat-khasiat tertentu, yaitu mengabstrakkan pokok persoalan bertanya terus sampai batas
akhir yang diralasan dan berelasi (sistem). Jawaban yang disampaikan harus
argumentatif, sistematis, dan demi
memperhatikan kebenaran.[11]
Kajian filsafat secara
akademik mengandung tiga nilai
1.
Menurut objeknya
bernilai “ontologik”
2.
Menurut
metodenya bernilai “epistemologi”
3.
Menurut
kebenarannya yang dicapainya mengandung nilai “etika-antropoligik”
Epistimologi
mempersoalkan hal-ihwal pengetahuan, yang meliputi antara lain: Sifat hakikat
pengetahuan, bagaimana memperoleh pengetahuan, Dari persoalan –persoalan yang
dikemukakan yaitu berupa metode atau jalan penyelidikan kea rah tercapainya
pengetahuan yang benar. Adapun metode yang dimaksud adalah metode analisis dan
sintesis yang masing-masing dilengkapi dengan
peralatan induktif dan deduktif.
C. PENUTUP
Kesimpulan
Memilikibanyakperan,khususnyamengembandalambidangAgamaberbasissosial,sosokKH.SahalMahfudzbanyakdijadikanpedomanbagimasyarakatislamIndonesia.Sosokyangsangatbersahajamencerminkanketawadlu’ansertakesesuaianterhadapperanyangsedangdiemban.Sehingga
beliau dianggap sebagai penggerak sosial dan ekonomi di masyarakat. Pemikiranseseoranglahirdarikondisisosialbudayayangadadisekitarnya.Karenahaltersebutmerupakan
reaksiterhadapaksiyangriil.
Selainmenjadipenggeraksosialdanekonomimasyarakat,tertanamdalamdiriKiaiSahaljiwaproduktifitasmenulis,baikartikel,tanyajawabmaupunbuku.
Sudah banyak tulisan yang dipopulerkan oleh banyak orang.
KiaiSahalsebagaijam’iyyahsekaligusgerakandiniyahdanijtima’iyyahmenjadikanfahamAhlussunnahWaljama’ahsebagaidasarnyasejakawalberdirinyaNadhlatulUlama’
(NU).BeliaumenganutSalahsatudariempatmadzhabyaknimadzhabSyafi’ii.
Macam
Metode Istimbat Hukumantara lain metodeTekstual(MadzabQauly)dan MetodeKontekstual(MadhabManhaji)Metode
tekstual digunakanketikamemberikanfatwahukumterutamadiharianSuaraMerdeka.DalamoprasionalnyaKH.Sahalmenggunakanmenggunakankitab-kitabyangdigunakanolehulama’Syafi’iyah(bukanSyafi’i).
Sedangkan metode kontekstual KH.Sahalseringmengatakanbahwaseorangkiyai/ulama’harusmemenuhikriteriasebagaifaqihunanilmashalihal-khalqial-dunyasepertidiungkapkanImamAl-Ghazali,artinya:seorangulama’harusmampumenangkap“pesanzaman”demikemaslahatanumatdidunia.Untukdapat“menangkappesanzamandemikemaslahatanumat”itujelasmembutuhkansebuahpersyaratanberupabermadzabsecarametodologis.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal
Ma’mur. 2007 . Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara Konsep dan Implementasi.
Surabaya
Sumanto
Al-Qurtuby, 1999,Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta, Adipura
Sahal
Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista
SahalMahfudh, 1994, NuansaFiqihSosial,
Yogyakarya, LKiS Yogyakarta
Catatan:
Makalah ini sangat kacau dari aspek format dan konten.
Dari aspek format, kekacauannya tampak dari:
1.
Makalah ini tidak sesuai
dengan format acuan makalah di kelas. Ini makalah kedua yang tidak sesuai
dengan penjelasan saya di awal perkuliahan. Saya sangat kecewa pada Anda.
2.
Abstrak sangat sedikit
kata-katanya dan tidak menunjukkan bahwa itu abstrak. Belum lagi hanya ada
bahasa Inggrisnya.
3.
Penulisan footnote juga
masih kacau.
4.
Daftar pustaka hanya empat?
Anda harus pintar-pintar mencari referensi. Jika buku tentang KH. Sahal Mahfudh
hanya empat yang ditemukan misalnya, mengapa Anda tidak mencari di jurnal? Anda
juga bisa memanfaatkan buku-buku fiqih umum untuk menjelaskan konsep-konsep
umum.
5. Perujukan sangat minim.
Dari aspek konten:
1.
Masak pendahuluan seperti
itu? Itu sangat jauh dari kesan pendahuluan.
2.
Biografi yang dituliskan
sangat tidak layak disebut biografi.
3.
Jika Anda mengikuti alur
kajian yang ada dalam SAP niscaya makalahnya akan sistematis.
Intinya saya sangat kecewa dengan makalah ini.
[1]Asmani,
Jamal Ma’mur. 2007 . Fiqh Sosial KH.Sahal Mahfudh Antara Konsep dan
Implementasi. Surabaya. hlm. 44
[2]Sumanto
Al-Qurtuby, 1999,Era Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta, Adipura hal 35
[3]Ibid,
hal 36-37
[4]Sahal
Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista.Hal 231-233
[5]Ibid,
hal 250
[6]Ibid,
hal 84
[7]Ibid,
hal 106
[8]Ibid, hal 111
[9]SahalMahfudh, 1994, NuansaFiqihSosial,
Yogyakarya, LKiS Yogyakarta hal 34
[10]Sahal
Mahfudh,2010, Dialog Problematika Umat, Surabaya, Khalista, hal 116
[11]Jamal
Ma’mur Asmani , 2007, Fiqih Sosial Kiai Sahal Mahfudh, Surabaya, Kalista hal 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar