KONSEP NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN
Farid Nashrullah Lanal Musthofa (17110014)
Bella Nabila Mujahidah (17110192)
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
التجريد
كان من ابرز سمات القرآن واياته التي جعلها الله
تعالى من حكمته وبعلمه ان اوجد سبحانه في هذا الكتاب ناسخا وفيه منسوخا والحكمة
منه ان بشر بطبائعهم وخاصة كلما تقربوا الزمان ودنت الساعة ضعفاء لهم طاقة محدودة
وان الله تعالى أراد ان يرحم امة نبيه محمدا عليه وسلم، فانزل شريعة خالدة متكيفة
مع الطاقات البشر على اختلاف قدرتهم فشرع سبحانه ثم ابتلا وخصوص او قيد او نسخ
جزعيا او كليا حتي تبقي لنا شريعة محكمة قيمة تامة. ونظرا لأهمية هذا البحث فقد
افردته بتصنيف وتخريج واضافة فواعد هامة جدا عليه حقتها في حواشي البحث وآثرت ان
تثر به المكتبة الإسلامية كمرجع الضروري في علوم التفسير وفن الناسخ والمنسوخ.
كلمة المفتاحية : ناسخ، منسوخ، حكمة
A.Pendahuluan
Mengkaji aspek kemukjizatan yang terdapat dalam
alquran adalah hal yang sangat menarik. Karena, Alquran sendiri adalah“kalamullah”
atau wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui
perantara malaikat Jibril ASsebagai sumber petunjuk untuk seluruh umat manusia.
Kemukjizatan Alquran tidak hanya bisa dilihat dari aspek harfiahnya saja tapi
dapat dibuktikan secara saintifik dan logis sesuai dengan konten yang tertulis
didalamnya. Ayat-ayat yang ada dalam alquran juga memuat aspek sosio-kultural
yang sangat dalam, aspek ini menjelaskan tentang betapa bijaksananya Alllah
SWT. dalam memberikan petunjuk untuk menghadapi problematika yang terdapat
dalam masyarakat, hal ini dapat kita temukan dalam ayat-ayat Alquran yang
memuat nasikh dan mansukh.
Nasikh dan mansukh adalah salah satu hikmah dan ilmu terbesar yangdiberikan
Allah kepada umat nabi Muhammad SAW. Terlepas dari pro-kontra tentang ada atau
tidaknya nasikh danmansukh dalam Alquran oleh sebagian ulama,nasikh
dan mansukhadalah salah satu pembahasan penting yangharus dipelajari
dalam setiap kajian ilmu tafsirdan ilmu ushul fiqh. Bahkan, ilmu ini
dijadikan sebagai prasyarat oleh sebagian besar ulama yang ingin menjadi seorang
mujtahid atau ahli hukum. Hal ini dilakukanagar nantinya, seorang Mujtahid
tidak melakukan kesalahan, dalam proses pemaknaan maupunpengambilan hukum,karenaSebagin besar ayat Nasikh
dan mansukh membahas tentang terhapusnya dalil syara’ atau hukum islam yang terdahulu
dengan dalil yang baru.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai apa itu nasikh
dan mansukh dalam Alquran seperti yang sebutkan sebelumnya. Penulis
berharap, agar apa yang terdapat dalam tulisan ini, tidak hanya berfungsi
sebagai pengetahuan bagi pembaca semata tapi kedepannya dapat digunakan secara
luas oleh seluruh kalangan.
B. Definisi Nasikh dan Mansukh
Nasikh artinya penghapus atau al-izālah (الْإِزَالَةُ)artinya
“menghapus”[1],dengan
pengertian menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya, seperti
matahari menghilangkan bayang-bayang (إزالة شيء بشيء يتعقبه، إزالة الشمس الظل)[2]. Nasikhberasal dari kata kerja Nasakha (نَسَخَ),
berbentuk subyek (ism fā’il) dari masdar naskh (نَسْخٌ). Alquran
menyebutkan beberapa kata nasikh, diantaranya terdapat dalam surat Al-Hajj
ayat 52:
فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ
وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ[3]
Dan terdapat dalam Alquran suratAl-baqarah ayat 106 :
مَا نَنْسَخْ مِنْ
آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ
أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ[4]
Selain kata al-izālah (الْإِزَالَةُ), kata nasikh juga dapat diungkapkan
dengan kataal-Naql (النَّقْلُ) artinya“memindahkan”, juga dapat diartikan sebagai al-Taḥwīl
(التَّحْوِيْل) artinya “mengubah”[5].
Maksud dari kata al-Naql (النَّقْلُ)
adalah seperti memindahkan dari sebuah badan ke badan lain, sedangkan al-Taḥwīl (التَّحْوِيْل)
lebih kepada mengubah makna awal kepada makna yang kedua.[6]
Berbicara
Nasikh secara istilah, terdapat berbagai pendapattentang
pemaknaanya. Hal ini terjadidiantara kalangan ulama mutaqaddimin
dan mutaakhirin. Sebagaimana pendapat hasan asyari[7],
Ia menuturkan bahwa perbedaan ini muncul karena banyaknya arti Nasikhsecara
bahasa, yang pada akhirnya menimbulkan istilah-istilah yang berbeda pula. Aspek
lain yang menjadi faktor munculnya perbedaan adalah pandanganpara ulama dalam
memaknai Nasikh tanpa melihat unsur subjektifitas keilmuan yang
dimilikinya. Misalnya, ada sebagian ulama yang tergolong ahli fiqih, hanya
terfokus pada pemahaman bahwa nasikh adalah
penghapusan hukum dalam alquran, sedangkan ulama yang lain mengartikan Nasikh
dan mansukh dalam cakupan yang lebih luas, tidak terbatas dengan menghilangkan
atau menggugurkan hukum yang ada, tapi menjelaskan keseluruan makna maupun tilawah
yang terkena kaidah nasikh dalam al-quran.Berikut adalah pengertianNasikholeh
beberapa Ulama:
·
Az-Zarqani salah seorang mufassir terkenal mengungkap makna Nasikhdengan
mengangkat hukum syar’i dengan dalil syar’i lain, dalil syar’i yang
dimaksud adalah perbuatan mukallaf[8]
seperti halnya wajib, haram, dan mubahnya perbuatan.
·
Ulama
mutaaqaddimin mendefinisikan Nasikh dengan mengangkat bacaan dan
hukum syariat atau keduanya dengan dalil syar’I lain. Ulama mutaqaddimin
lebihluas dalam pengartian nasikh yakni melihat segala aspeknya, naik
kalimat maupun hukum syariatnya.[9]
·
Ulama
mutaakhirin mengutarakan dengan kalimat yang lebih condong kepada
pendapatAz-Zarqani yakni:
(رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي متراحبا عنه)
Yang artinya mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum
(khatab) syara’ yang datang kemudian[10]
·
Ulama lainnya berpendapat bahwa nasikh adalah berakhirnya sebuah
hukum syara’ dengan hadirnya hukum syara’ lain.[11]
Melihat beragamnya pengertian diatas, mengakibatkanjumlah ayat yang
dikategorikan sebagai mansukh terhitung sangat banyak, bahkan sampai ratusan.Sehingga
para ulama tafsir maupun ushul fiqh yang datang setelah ulama mutaqddimin,
mayoritas lebih memilihmenggunakan pendapat yang diungkapkan olehAz-Zarqani
dalam menentukan ayat yang termasuk dalam nasikh.[12] Hal ini ditujukan agar pemaknaan nasikh secara
istilah tidak menyebar dan tercampur
antara kaidah penafsiran lain seperti takhsis[13]
dan ta’wil[14].
Dengan melihat pengertian yang mana telah disebutkan sebelumnya. penulis
mengambil beberapa point sebagai kesimpulan arti nasikh secara istilah:
·
Nasikh merupakan istilah dari ayat-ayat al-quran yang mengandung dalil syara’
serta memiliki kontradiksi maknadengan mansukh
(dalil yang terkena kaidah nasikh)
·
Ayat yang mengandung hukum naskh muncul diwaktu yang berbeda, hal inilah
nanti yang akan membedakan antara ayat terkena hukum nasikh dan ayat
yang di-takhsis
·
Nasikh yang terdapat dalam al-quran membahas hanya tentang dalil syara’ yang
bersifat amaliyah (perbuatan)khususnya mengenai perbuatan Mukallaf.
B.Syarat-syarat
Nasikh dan mansukh
Untuk
menentukan ayat masuk di dalam kategori ayat nasikh tentunya terdapat
syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Mengetahui syarat terjadinya nasikh
sangat penting untuk dilakukan oleh
seorang mufassir maupun mujtahid dalam mengambil ayat-ayat muhkam[15].
Jika terdapati nantinya, seorang mufassar atau mujtahid
melakukan kesalahan dalam mengambil dalil syara’ pada ayat yang telah mansukhah[16],
akan terjadi kebingungan antara umat, karena saaling tumpang tindihnya
penetapan hukum yang seharusnya bersifat qath’i atau pasti. Berikut ini
adalah syarat-syarat terjadinya nasikh dalam Al-quran:[17]
1. Hukum yang
di naskh bukanlah hukum aqli, tetapi harus hukum syar’i.
Yang dimaksud dengan dalil syara’ yakni hukum yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, nasikh juga tidak ada kaitannya dengan akhlak,
ibadah, akidah, maupun ketetapan Allah mengenai hari kemudian seperti janji dan
ancaman-Nya. Penjelasan syara’ hanya terbatas dalam lingkup perintah atau
larangan, seperti wajib mauapun haramnya suatu perbuatan.[18]
2. Dalil yang
menghapus hukum (naskh) harus datang setelah dalil yang dihapus (mansukh).
Secara tidak langsung, syarat bahwa nasikh merupakan dalil
atau ayat yang turun sebelum ayat mansukh adalah mutlak. Karena tidak
mungkin, Ayat yang nasikh (menghapus hukum) ada sebelum ayat atau dalil
yang mansukh (yang dihapus).
3. khitab yang diangkat hukumnya tidak boleh berupa khitab
yang berkaitan dengan waktu tertentu, karena waktunya telah habis hukum
akan berakhir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dikatakan nasikh.
4. antara kedua dalil terdapat kontradiksi yang nyata atau
petentangan makna antara dalil yang menghapus (nasikh) maupun yang
dihapus (mansukh).
Quraish
shihab mufassir yang masyhur di Indonesia berpendapat bahwa yang dimaksud
bertentangan bukanlah berbeda, tapi bertolak belakang. Beliau menekankan
perbedaan makna antara berbeda dan bertolak belakang, karena
sesuatu yang bertolak belakang mempunyai susunan kalimat yang sama baik subjek,
objek, waktu dan tempatya. Berbeda lagi jika kita mengartikan bahwa konteksnya
adalah berbeda, maka terdapat ketidaksamaan dalam satu kalimat tersebut.
Contohnya jika berkata Ahmad ada dan Ahmad tidak ada, kalimat ini
tidak bertolak belakang, jika yang disebut sebagai ahmad adalah orang yang
berbeda, atau terdapat perbedaan setting waktu dan tempat keberadaannya.[19]
Quraish shihab memeberikan beberapa tambahan syarat
terjadinya nasikh dalam pendapatnya, terdapat tiga hal mendasar yang harus
diperhatikan dalam menetapkn adanya nasikhdalam ayat al-quran, 1.)
Sesuatu yang membatalkan harus lebih kuat dari yang dibatalkan, 2.) ayat yang
dibatalkan benar-benar bertolak belakang dengan ayat yang membatalkan, 3.)
harus terbukti ayat manakah yang turun lebih awal maupun terakhir.[20]
C. Bentuk-bentuk nasikh-mansukh
dalam Al-Qur’an
a. (نس التلاوة والحكم معا)Penghapusan
terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan
dibaca (diamalkan) lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah:
عن عائشة، أنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن: عشر رضعات معلومات يحرّمن،
ثمم ننسخن، بخمس معلومات، فتوفّي رسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من
القرآن. (رواه مسلم)
Artinya : Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia
berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali
susuan yang maklum (jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan
ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat
lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an
yang dibaca. (H.R. Muslim)[21]
Riwayat hadis diatas membahas mengenai hukumRadha’ah[22].jika
kita membuka dalam Alquran mengenai hukum ini, mungkin hanya dapat kita temui
tentang hukum syara’ tentang tata cara menyusui dan mengasuh balita. Namun,
hadis ini menayatakan sudah tidak tercantum lagi ayat mengenai Radha’ah
dalam Al-Qur’an, baik secara tekstual maupun kontekstual(hukumnya).
Ayat di atas menjelaskan tentang Hukum Radha’ah
yakni terjadinya ikatan darah yang disebut dengan sepersusuan, ikatan darah ini
terjadi jika sesorang menyusui (melakukan Radha’ah) kepada bayi yang
masih kecil, ketentuan pertama (khitab pertama) yang ditentukan Allah
yaitu selama sepuluh kali, lalu di naskh menjadi lima kali saja.
Ayat tentang Radha’ah ini tidak populer dikalangan umat muslim,
bahkan terdengar asing. Karenasetelah Rasulullah SAW sudah wafat mulai banyak
umat islam yang mengkaji tentangnya, salah satu penyebab lainnya adalah ayat
ini telah dinasakh tilawahnya dan tidak termaktub dalam mushaf Utsmani.[23]
b. Menghapus hukumnya saja sedangkan bacaannya
tetap ada. (نَسْخُ
الْحُكْمِ لَا التِّلَاوَةِ)
Hukum asal bagi mereka yang melaksanakaniddah cerai maupun suaminya meninggal yakniselama satu tahun penuh. Namun,
dalil ini di nasakh menjadi empat bulan sepuluh hari. Qs. Al-Baqarah (2) ayat
240:
والذين يتوفون
منكم ويدرون أزواجا وصية لازواجهم متاعا الى الحول غير اخراج ۚ فان خرجن
فلا جناح عليكم في ما فعلن في أنفسكم من معروف ۗ
والله عزيز حكيم ﴿240﴾
Artinya: dan orang-orang yang meninggal dunia
diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk
isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh
pindah(dari rumahnuya). Akan tetapi jika mereka pindah(sendiri), maka tidak ada
dosa bagimu(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan
Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat
diatas di mansukh dengan Qs. Al-Baqarah (2) ayat 234:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ
وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ
وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا
فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴿234﴾
Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meningalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya( ber
iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya,
maka tiada dosa bagimu(para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Kita dapat menganalisis bahwa tilawah (bacaan)
yang terdapat dalam ayat nasikh mupun mansukh diatas mempunyai
persamaan, hanya saja hukum syara’ yang termaktub dalam ayat pertama dinasikh
oleh ayat kedua. Persamaan ini terdapat dalam lafadyang berbunyi (وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
ا). Az-Zarqani memberikan
penjelasan dengan mengambil contoh ayat lain.[26],
yakni:
·
QS. Mujādilah [58] ayat 12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ
الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ
وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan
Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih,
jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun Lagi Maha Penyayang
Ayat ini di-naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13) :
أَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ
نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ
فَأَقِيمُو الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :Apakah
kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum
pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah
kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang ananda kerjakan.
Ayat diatas menjelaskan tentang hukum
bagaimana tata cara berbicara dengan Rasulullah SAW. Yaitu dengan memberi
sedekah terlebih dahulu, ayat pertama di nasikh dengan ayat lain yang redaksi
ayatnya sama tetapi memiliki khitab hukum yang berbeda, sehingga ayat ini
dikategorikan sebagai ayat yang hukumnya mansukh tetapi bacaan (tilawahnya)
tidak terhapus.
c.
nasikh tilawah tetapi hukumnya tetap (نسخ التلاوة مع بقاء الحكم)
dalil ini diperoleh dari hadis shahih yang
diriwayatkan oleh umar bin khtattab RA.
sebagai berikut:
عن عمر بن الخطاب وأبي بن كعب انهما قالا : كان فيما أنزل من القرآن :
الشيخ والشيخة إذا زنيا مارجموهما ألبتة نكالا من الله والله عزيز حكيم.[27]
Artinya: orang tua laki-laki dan perempuan
apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan
dari Allah. Dan Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
hukum syara’ rajam masih tetap ada namun, teks
dalil syar’i diatas telah dinasakh didalam rasm
ustmani.[28]
D.Naskh
Al-quran dengan Sunah
Di samping Naskh
Alqur’an dengan alquran, para ulama’ juga membahas naskh Al_Qur’an dengan
Hadits atau Sunnah , Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an dan Naskh As-Sunnah
dengan As-Sunnah. Dalam fasal ini yang perlu dibahas adalah tiga macam naskh
yang lainnya.
Pertama, naskh
Al-Quran dengan As-Sunah. Dalam pembahasan ini dibagi dalam dua kategori,
pertama, naskh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad, dan kedua, naskh Al-Qur’an dengan
hadits mutawattir. Untuk yang pertama mayoritas ulama’ berpendapat bahwa
Al-Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad, karena kedudukannya jauh
berbeda dan tidak seimbang. Al-Qur’an bersifat mutawattir sedangkan ahad, dzanni. Tidak boleh menghapus
seseuatu yang pasti dengan sesuatu yang dzanni.
Kedua, naskh Al-Qur’an
dengan hadits mutawattir, dalam pembahasan ini para ulama’ berbeda pendapat.
Imam Malik, Abu hanifah, dan Ahmad dalam suatu riwayat membolehkannya karena
keduanya adalah wahyu sebagaimana firman Allah SWT :
وَمَا
يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَ(3) ان هُوَ
إِلا وَحْيٌ يُوحَى(4)
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya). (Q.S. An-Najm 53: 3-4)
Dan juga berdasarkan
firman Allah dalam Alqur’an
وَأَنْزَلْنَا
إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ) 44(
Artinya : dan Kami
turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl 16:
44)
Menurut ulama’ diatas
Naskh termasuk dalam bagian albayan seperti yang telah dijelaskan oleh
ayat diatas.
Tetapi ulama’ lain
berbeda pendapat tentang naskh Alqur’an seperti Imam syafi’i, ahli zhahir dan
imam Ahmad dalam riwayat lain, tidak membolehkan naskh Alqur’an dengan
As-Sunnah karena naskh Al-qur’an hanya boleh dengan Al-Qur’an. Sebagaimana
deijelaskan dalam ayat :
مَا
نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا(106)
Artinya : Ayat mana
saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Q.S
Al-Baqarah 2: 106)
1. Naskh As-Sunnah dengan
Al-Qur’an
Mayoritas ulama’ membolehkan
naskh as- Sunnah denga Al-Qur’an. Shalat menghadap ke Baitul Maqdis ditetapkan
dengan As-Sunnah, lalu dinasakh oleh Al-Qur’an :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ
قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا
كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَه..
Artinya
: Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan
dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya..
2. Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Ada empat macam naskh as-sunnah dengan
as-sunnah diantaranya :
a. Naskh mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk naskh yang pertama
diperbolehkan sedangkan bentuk yang keempat mayoritas ulama’ melarangnya.
E. Fungsi Nasikh dan Mansukh
Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi
nasakh secara umum ada tiga yaitu : sebagai upaya untuk mengungkapkan hukum
sebagai penahapan dalam tasyri’ untuk memberi kemudahan.
1. Sebagai upaya
pengungkapan hukum.
Dalam upaya untuk melaksanakan pengungkapan hukum
suatu peraturan dalam syariat, baik qur’an maupun hadits, setiap ketentuan
hukum harus jelas dan terpercaya sehingga bisa diamalkan. Nasakh ini digunakan
untuk menghadapi dua dalil yang bertentangan. Dalam hal ini harus ada usaha
atau pengumpulan dua dalil hukum atau mengkhususkan dalil (taksis), ataupun
untuk memperkuat salah satu diantara keduanya (tarjih)
2. Sebagai penahapan
dalam tasryi’
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum
secara bertahap kepada masyarakat arab pada permulaan islam, sehingga
orang-orang yang menerimaya untuk menerapakan perintah-perintah yang dikandung
secara bertahap. Jadi hukum itu tidak ditentukan secara tiba-tiba serta pada
akhirnya tidak memberatkan subjek hukum yang memerintah atau melarang seseorang
menjalankan suatu pekerjaan.
Adanya tahapan ini, mengehendaki adanya pencabutan
dan pemindahan. Contohnya mengenai larangan minum khamr, sehingga tidak mudah
untuk melarang begitu saja. Oleh karena
itu allah berfirman dan menetapkan keharamannya secara bertahap.
3. Sebagai pemberian
kemudahan
Dalam hal ini, Nasakh memberikan sebuah kemudahan
terhadap teks-teks naskh yang mansukhb tetap ditampilkan, sehingga hukum ayat
yang dinasakh dapat dimunculkan kembali pada tata aturan masyarakat. Seperti
yang digambarkan dalam surat an-Nahl ayat 27 dengan surat muzammil ayat 10.
Tentang perintah kepada kaum muslimin untuk bersabar atas rintangan yang
dimunculkan oleh kaum musyrik.[29]
F. Hikmah adanya nasakh-mansukh
Dalam buku mabahis fi ulumil Qur’an oleh
manna al-Qattan karya mudzakir menjelaskan bahwa hikmah adanya nasakh-mansukh
ialah:
1.
Memelihara
kepentingan hamba
2.
Perkembangan
tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan
perkembangan kondisi umat manusia.
3.
Cobaan
dan ujian bagiorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.
Menghendaki
kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab, jika nasakh beralih ke hal yang
lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal
yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[30]
Dari hikmah yang telah diuraikan dalam penjelasan diatas
kita dapat menyimpulkan pula bahwa :
1.
Mengakui bahwa Allah SWT adalah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk
salah satunya nasakh-mansukh, yang mana semua itu merupakan ketentuan-Nya yang
tidak bisa terikat dengan logika manusia.
2.
Menunjukkan bahwa syaria’at yang haqiqi ialah syari’at islam.
3.
Menguji
para mukallaf, apakah dengan diturunkannya nasikh-mansukh bisa taat dengan
menjalankan hukum-hukumnya.
4.
kita
bisa mengetahui bahwa dalam penetapan
ayat Al-Qur’an harus menggunakan khabar mutawattir sedangkan menasakh harus menggunakan khabar ahad saja.
5.
Kita bisa banyak mengetahui tentang fiqih
karena nasakh –mansukh ni berkenaan dengan ketetapan hukum.
6.
Hadirnya
nasakh akan memberikan banyak pahala bagi yang mengerjaknnya
G. Penutup
Setelah mengkaji pembahasan di atas, dapat
dipahami bahwa nasikh dan mansukh adalah salah satu bagian penting dari ilmu
tafsir dan ilmu ushul fiqh. nasikh dan mansukh memiliki peran
penting dalam pengambilan dan penetapan hukum, bagi seorang mujtahid khususnya,
nasikh dan mansukh menjadi point penting. Naskah dan nasikh membahas perihal
penghapusan hukum syara yang ada dalam alquran maupun sunnah. Terlepas dari
perbedaan pendapat antar ulama tentang kehujjahan nasikh dan mansukh,
keberadaan nasikh dan mansukh tidak terlepas dari pengambilan hukum.
Di dalam artikel ini kita dapati berbagai
macam penjelasan arti nasikh dan mansukh secara bahasa maupun istilah,
diantaranya kita mengetahui bahwa nasikh adalah mengangkat dalil hukum
syara’ dengan dalil hukum syara’ lain sedangkan mansukh adalah dalil
yang terkena nasikh. Mendalami ilmu nasikh dan mansukh haruslah
memenuhi beberapa syarat diantaranya mengetahui ciri-ciri nasikh dan
ayat-ayat yang mansukh sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel ini,
bahwa nasikh dan mansukh mempunyai ciri dan syarat yang menjadikannya
demikian. Di dalam artikel ini juga disebutkan macam-macam nasikh berdasarkan
ketentuan yang sudah dijelaskan para ulama.
Kegunaan dan hikmah mempelajari nasikh
dan mansukh yang telah dijelaskan dan disebutkan diatas, bahwa keberadaan
nasikh dan mansukh adalah sebagai pedoman dalam kaidah hukum, serta hikmahnya
memberikan kemudahan bagi umat manusia.
Daftar Pustaka
Abdul fattah abu
sunnah.1998 Ulumul qurankairo: dar
as-syaruq
Az zarqani. 1995. Manahil irfan fi ulumil quran. beirut: dar kitab al arabiy
Hasan asyari, 2016 konsep nasikh dan
mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. VII No.1
Ilyas. Yunahar. 2014. Kuliah ulumul quran. yogyakarta:itqan
publising
Mudzakir. 1996.mabahis
fi ulumil Qur’anJakarta:pustaka litera antarnusa
M. Quraish
Shihab, 2013kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan yang patut anda
ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran lentera hati: Tangerang,
Nurseha Dzulhadi, Qosim. 2015.kontroversi nasikh dan mansukh dalam alquran, jurnal tsaqafah Vol.V No.1
Sahin Lasin,Musa.1968alla’i
al-hisan fi ulumil quran kairo: dar as-syaruq,
Setiawan, Andik,dkk. 2013. tafsir ilmu
tafsir untuk kelas x pminatan ilmu-ilmu gama Madrasah Aliyah. bandung:Kemenag
RI
Subaidi. 2014. Historitas
nasikh dan mansukh dan problematiknya dalam penafsiran alquran hermeunetik
vol.VIII No 1
Catatan:
Makalah ini sudah
cukup bagus, similarity hanya 18%. Hanya saja dalam penulisa hurf besar dan
kecil dalam footnote masih perlu diperbaiki. Abstrak juga harusnya 2 bahasa, Arab dan Indonesia,
[1]Andik Setiawan, dkk tafsir
ilmu tafsir untuk kelas x pminatan ilmu-ilmu gama Madrasah Aliyah, (bandung:Kemenag
RI, 2013) hal.191
[2]Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan
publising, 2014) hal.173 bandingkan dengan abdul fattah abu sinnah, ulumul quran (kairo:
dar as-syuruq, 1995) hal. 118
[3] Artinya : “Allah
(menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah
menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
[4]Artinya : “ayat
mana saja yang Kami batalkan, atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami
ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu
bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
[7]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam
al-quran, didaktika islamika Vol. 7 No. 1, 2016, hal. 65.
[8]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut:
dar kitab al arabiy, 1995) hal.138
[9]Abdul fattah abu sunnah, ulumul quran (
kairo : dar asysyruq: 1995) hal.118
[10]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran,
didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 65 bandingkan dengan Az zarqani,
manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995)
hal.138
[11]Pendapat ini dikemukakan dalam buku ulumul
quran karya Abdul fattah abu sunnah ( kairo : dar asysyruq: 1995) hal.118,
yang mengatakan bahwa maksud dari berakhirnya sebuah dalil hukum yakni
berhubungan dengan tujuan Allah menetapkan hukum syara’ yang dibatasi waktunya,
ketika tujuan dan waktu yang diberikan Allah SWT. Telah selesai maka berahirlah
dalil itu berkaitan dengan konteks didalamnya.
[12] M. Quraish Shihab, kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan
yang patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran (lentera hati:
Tangerang, 2013) hal.283
[13]Takhsis termasuk dalam satu bab penting dalam kaidah penafsiran alquran dimana
seorang mufassir menjelaskan ayat-ayat yang bersifat global kepada penjelasan
yang telah ditertulis dalam alquran, dengan memberikan
batasan atas berlakunya hukum bagi pihak tertentu dalam keadaan khusus. Lihat Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan
publising,2014) hal.175
[14]Lihat catatan kakiNo.8, bandingkan dengan Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan
publising,2014) hal.174
[18]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam
al-quran, didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 65
[19] M. Quraish Shihab, kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan
yang patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran (lentera hati:
Tangerang, 2013) hal.290
[20]ibid
[22]Artinya: susuan
[24]Iddah artinya masa tenggang, berkabung, maupun
menunggu selama waktu tertentu untuk tidak menikah lagi, baik setelah dicerai
ataupun sang suami meninggal dunia
[26]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut:
dar kitab al arabiy, 1995) hal. 168
[27]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut:
dar kitab al arabiy, 1995) hal. 168
[29]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam
al-quran, didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 85
[30] Mudzakir, mabahis
fi ulumil Qur’an( pustaka
litera antarnusa,Jakarta cetakan ke-3 tahun 1996) hal 339
Tidak ada komentar:
Posting Komentar