Minggu, 14 Oktober 2018

Nasikh-Mansukh dalam Alquran (PAI H ICP Semester Ganjil 2018/2019)



K­­ONSEP NASIKH DAN MANSUKH DALAM AL-QURAN

Farid Nashrullah Lanal Musthofa (17110014)
Bella Nabila Mujahidah (17110192)

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

التجريد
كان من ابرز سمات القرآن واياته التي جعلها الله تعالى من حكمته وبعلمه ان اوجد سبحانه في هذا الكتاب ناسخا وفيه منسوخا والحكمة منه ان بشر بطبائعهم وخاصة كلما تقربوا الزمان ودنت الساعة ضعفاء لهم طاقة محدودة وان الله تعالى أراد ان يرحم امة نبيه محمدا عليه وسلم، فانزل شريعة خالدة متكيفة مع الطاقات البشر على اختلاف قدرتهم فشرع سبحانه ثم ابتلا وخصوص او قيد او نسخ جزعيا او كليا حتي تبقي لنا شريعة محكمة قيمة تامة. ونظرا لأهمية هذا البحث فقد افردته بتصنيف وتخريج واضافة فواعد هامة جدا عليه حقتها في حواشي البحث وآثرت ان تثر به المكتبة الإسلامية كمرجع الضروري في علوم التفسير وفن الناسخ والمنسوخ.
كلمة المفتاحية : ناسخ، منسوخ، حكمة
A.Pendahuluan
Mengkaji aspek kemukjizatan yang terdapat dalam alquran adalah hal yang sangat menarik. Karena, Alquran sendiri adalah“kalamullah” atau wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. melalui perantara malaikat Jibril ASsebagai sumber petunjuk untuk seluruh umat manusia. Kemukjizatan Alquran tidak hanya bisa dilihat dari aspek harfiahnya saja tapi dapat dibuktikan secara saintifik dan logis sesuai dengan konten yang tertulis didalamnya. Ayat-ayat yang ada dalam alquran juga memuat aspek sosio-kultural yang sangat dalam, aspek ini menjelaskan tentang betapa bijaksananya Alllah SWT. dalam memberikan petunjuk untuk menghadapi problematika yang terdapat dalam masyarakat, hal ini dapat kita temukan dalam ayat-ayat Alquran yang memuat  nasikh dan mansukh.
Nasikh dan mansukh adalah salah satu hikmah dan ilmu terbesar yangdiberikan Allah kepada umat nabi Muhammad SAW. Terlepas dari pro-kontra tentang ada atau tidaknya nasikh danmansukh dalam Alquran oleh sebagian ulama,nasikh dan mansukhadalah salah satu pembahasan penting yangharus dipelajari dalam setiap kajian ilmu tafsirdan ilmu ushul fiqh. Bahkan, ilmu ini dijadikan sebagai prasyarat oleh sebagian besar ulama yang ingin menjadi seorang mujtahid atau ahli hukum. Hal ini dilakukanagar nantinya, seorang Mujtahid tidak melakukan kesalahan, dalam proses pemaknaan maupunpengambilan hukum,karenaSebagin besar ayat Nasikh dan mansukh membahas tentang terhapusnya dalil syara’ atau hukum islam yang terdahulu dengan dalil yang baru.

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai apa itu nasikh dan mansukh dalam Alquran seperti yang sebutkan sebelumnya. Penulis berharap, agar apa yang terdapat dalam tulisan ini, tidak hanya berfungsi sebagai pengetahuan bagi pembaca semata tapi kedepannya dapat digunakan secara luas oleh seluruh kalangan.





B. Definisi Nasikh dan Mansukh
Nasikh artinya penghapus atau al-izālah (الْإِزَالَةُ)artinya “menghapus[1],dengan pengertian menghilangkan sesuatu dengan sesuatu yang mengikutinya, seperti matahari menghilangkan bayang-bayang (إزالة شيء بشيء يتعقبه، إزالة الشمس الظل)[2]. Nasikhberasal dari kata kerja Nasakha (نَسَخَ), berbentuk subyek (ism fā’il) dari masdar naskh (نَسْخٌ). Alquran menyebutkan beberapa kata nasikh, diantaranya terdapat dalam surat Al-Hajj ayat 52:

فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ[3]
Dan terdapat dalam Alquran suratAl-baqarah  ayat 106 :

مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ[4]
Selain kata al-izālah (الْإِزَالَةُ), kata nasikh juga dapat diungkapkan dengan kataal-Naql (النَّقْلُ) artinya“memindahkan”,  juga dapat diartikan sebagai  al-Taḥwīl (التَّحْوِيْل) artinya “mengubah[5]. Maksud dari kata al-Naql (النَّقْلُ) adalah seperti memindahkan dari sebuah badan ke badan lain, sedangkan al-Taḥwīl (التَّحْوِيْل)  lebih kepada mengubah makna awal kepada makna yang kedua.[6]
Berbicara Nasikh secara istilah, terdapat berbagai pendapattentang pemaknaanya. Hal ini terjadidiantara kalangan ulama mutaqaddimin dan mutaakhirin. Sebagaimana pendapat hasan asyari[7], Ia menuturkan bahwa perbedaan ini muncul karena banyaknya arti Nasikhsecara bahasa, yang pada akhirnya menimbulkan istilah-istilah yang berbeda pula. Aspek lain yang menjadi faktor munculnya perbedaan adalah pandanganpara ulama dalam memaknai Nasikh tanpa melihat unsur subjektifitas keilmuan yang dimilikinya. Misalnya, ada sebagian ulama yang tergolong ahli fiqih, hanya terfokus pada pemahaman bahwa nasikh  adalah penghapusan hukum dalam alquran, sedangkan ulama yang lain mengartikan Nasikh dan mansukh dalam cakupan yang lebih luas, tidak terbatas dengan menghilangkan atau menggugurkan hukum yang ada, tapi menjelaskan keseluruan makna maupun tilawah yang terkena kaidah nasikh dalam al-quran.Berikut adalah pengertianNasikholeh beberapa Ulama:
·         Az-Zarqani salah seorang mufassir terkenal mengungkap makna Nasikhdengan mengangkat hukum syar’i dengan dalil syar’i lain, dalil syar’i yang dimaksud adalah perbuatan mukallaf[8] seperti halnya wajib, haram, dan mubahnya perbuatan.
·         Ulama mutaaqaddimin mendefinisikan Nasikh dengan mengangkat bacaan dan hukum syariat atau keduanya dengan dalil syar’I lain. Ulama mutaqaddimin lebihluas dalam pengartian nasikh yakni melihat segala aspeknya, naik kalimat maupun hukum syariatnya.[9]
·         Ulama mutaakhirin mengutarakan dengan kalimat yang lebih condong kepada pendapatAz-Zarqani yakni:
(رفع الحكم الشرعي بخطاب شرعي متراحبا عنه)
Yang artinya mengangkat hukum syara’ dengan dalil hukum (khatab) syara’ yang datang kemudian[10]
·         Ulama lainnya berpendapat bahwa nasikh adalah berakhirnya sebuah hukum syara’ dengan hadirnya hukum syara’ lain.[11]

Melihat beragamnya pengertian diatas, mengakibatkanjumlah ayat yang dikategorikan sebagai mansukh terhitung sangat banyak, bahkan sampai ratusan.Sehingga para ulama tafsir maupun ushul fiqh yang datang setelah ulama mutaqddimin, mayoritas lebih memilihmenggunakan pendapat yang diungkapkan olehAz-Zarqani dalam menentukan ayat yang termasuk dalam nasikh.[12] Hal ini ditujukan agar pemaknaan nasikh secara istilah tidak menyebar dan tercampur antara kaidah penafsiran lain seperti takhsis[13] dan ta’wil[14].
Dengan melihat pengertian yang mana telah disebutkan sebelumnya. penulis mengambil beberapa point sebagai kesimpulan arti nasikh secara istilah:
·         Nasikh merupakan istilah dari ayat-ayat al-quran yang mengandung dalil syara’ serta memiliki kontradiksi maknadengan mansukh (dalil yang terkena kaidah nasikh)
·         Ayat yang mengandung hukum naskh muncul diwaktu yang berbeda, hal inilah nanti yang akan membedakan antara ayat terkena hukum nasikh dan ayat yang di-takhsis
·         Nasikh yang terdapat dalam al-quran membahas hanya tentang dalil syara’ yang bersifat amaliyah (perbuatan)khususnya mengenai perbuatan Mukallaf.

B.Syarat-syarat Nasikh dan mansukh

            Untuk menentukan ayat masuk di dalam kategori ayat nasikh tentunya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelumnya. Mengetahui syarat terjadinya nasikh  sangat penting untuk dilakukan oleh seorang mufassir maupun mujtahid dalam mengambil ayat-ayat muhkam[15]. Jika terdapati nantinya, seorang mufassar atau mujtahid melakukan kesalahan dalam mengambil dalil syara’ pada ayat yang telah mansukhah[16], akan terjadi kebingungan antara umat, karena saaling tumpang tindihnya penetapan hukum yang seharusnya bersifat qath’i atau pasti. Berikut ini adalah syarat-syarat terjadinya nasikh dalam Al-quran:[17]
1. Hukum yang di naskh bukanlah hukum aqli, tetapi harus hukum syar’i.
Yang dimaksud dengan dalil syara’ yakni hukum yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, nasikh juga tidak ada kaitannya dengan akhlak, ibadah, akidah, maupun ketetapan Allah mengenai hari kemudian seperti janji dan ancaman-Nya. Penjelasan syara’ hanya terbatas dalam lingkup perintah atau larangan, seperti wajib mauapun haramnya suatu perbuatan.[18]
2. Dalil yang menghapus hukum (naskh) harus datang setelah dalil yang dihapus (mansukh).
Secara tidak langsung, syarat bahwa nasikh merupakan dalil atau ayat yang turun sebelum ayat mansukh adalah mutlak. Karena tidak mungkin, Ayat yang nasikh (menghapus hukum) ada sebelum ayat atau dalil yang mansukh (yang dihapus).
3. khitab yang diangkat hukumnya tidak boleh berupa khitab yang berkaitan dengan waktu tertentu, karena waktunya telah habis hukum akan berakhir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dikatakan nasikh.
4. antara kedua dalil terdapat kontradiksi yang nyata atau petentangan makna antara dalil yang menghapus (nasikh) maupun yang dihapus (mansukh).
            Quraish shihab mufassir yang masyhur di Indonesia berpendapat bahwa yang dimaksud bertentangan bukanlah berbeda, tapi bertolak belakang. Beliau menekankan perbedaan makna antara berbeda dan bertolak belakang, karena sesuatu yang bertolak belakang mempunyai susunan kalimat yang sama baik subjek, objek, waktu dan tempatya. Berbeda lagi jika kita mengartikan bahwa konteksnya adalah berbeda, maka terdapat ketidaksamaan dalam satu kalimat tersebut. Contohnya jika berkata Ahmad ada dan Ahmad tidak ada, kalimat ini tidak bertolak belakang, jika yang disebut sebagai ahmad adalah orang yang berbeda, atau terdapat perbedaan setting waktu dan tempat keberadaannya.[19]
            Quraish shihab memeberikan beberapa tambahan syarat terjadinya nasikh dalam pendapatnya, terdapat tiga hal mendasar yang harus diperhatikan dalam menetapkn adanya nasikhdalam ayat al-quran, 1.) Sesuatu yang membatalkan harus lebih kuat dari yang dibatalkan, 2.) ayat yang dibatalkan benar-benar bertolak belakang dengan ayat yang membatalkan, 3.) harus terbukti ayat manakah yang turun lebih awal maupun terakhir.[20]

C. Bentuk-bentuk nasikh-mansukh dalam Al-Qur’an

a. (نس التلاوة والحكم معا)Penghapusan terhadap hukum (ḥukm) dan bacaan (tilāwah) secara bersamaan.
Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca (diamalkan) lagi. Misal, sebuah riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah:
عن عائشة، أنها قالت: كان فيما أنزل من القرآن: عشر رضعات معلومات يحرّمن، ثمم ننسخن، بخمس معلومات، فتوفّي رسول الله صلى الله عليه وسلم وهن فيما يقرأ من القرآن. (رواه مسلم)
Artinya : Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata: Adalah di antara yang diturunkan dari Al-Qur'an adalah sepuluh kali susuan yang maklum (jelas diketahui) itu menyebabkan mahram, kemudian ketentuan ini dinasakh dengan lima kali susuan yang maklum, sampai Rasulullah SAW wafat lima kali susuan ini termasuk ayat Al-Qur'an  yang dibaca. (H.R. Muslim)[21]
Riwayat hadis diatas membahas mengenai hukumRadha’ah[22].jika kita membuka dalam Alquran mengenai hukum ini, mungkin hanya dapat kita temui tentang hukum syara’ tentang tata cara menyusui dan mengasuh balita. Namun, hadis ini menayatakan sudah tidak tercantum lagi ayat mengenai Radha’ah dalam Al-Qur’an, baik secara tekstual maupun kontekstual(hukumnya).
Ayat di atas menjelaskan tentang Hukum Radha’ah yakni terjadinya ikatan darah yang disebut dengan sepersusuan, ikatan darah ini terjadi jika sesorang menyusui (melakukan Radha’ah) kepada bayi yang masih kecil, ketentuan pertama (khitab pertama) yang ditentukan Allah yaitu selama sepuluh kali, lalu di naskh menjadi lima kali saja. Ayat  tentang Radha’ah  ini tidak populer dikalangan umat muslim, bahkan terdengar asing. Karenasetelah Rasulullah SAW sudah wafat mulai banyak umat islam yang mengkaji tentangnya, salah satu penyebab lainnya adalah ayat ini telah dinasakh tilawahnya dan tidak termaktub dalam mushaf Utsmani.[23]

b. Menghapus hukumnya saja sedangkan bacaannya tetap ada. (نَسْخُ الْحُكْمِ لَا التِّلَاوَةِ)
·         tentang masa Iddah[24] yang ditinggal mati oleh suaminya.[25]
Hukum asal bagi mereka yang melaksanakaniddah cerai maupun suaminya meninggal yakniselama satu tahun penuh. Namun, dalil ini di nasakh menjadi empat bulan sepuluh hari. Qs. Al-Baqarah (2) ayat 240:

والذين يتوفون منكم ويدرون أزواجا وصية لازواجهم متاعا الى الحول غير اخراج ۚ فان خرجن فلا جناح عليكم في ما فعلن في أنفسكم من معروف ۗ  والله عزيز حكيم ﴿240
Artinya: dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah(dari rumahnuya). Akan tetapi jika mereka pindah(sendiri), maka tidak ada dosa bagimu(wali atau waris dari yang meninggal) membiarkan mereka  berbuat yang ma’ruf terhadap diri mereka. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat diatas di mansukh dengan Qs. Al-Baqarah (2) ayat 234:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ﴿234﴾
Artinya: orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meningalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya( ber iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis masa iddahnya, maka tiada dosa bagimu(para wali membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Kita dapat menganalisis bahwa tilawah (bacaan) yang terdapat dalam ayat nasikh mupun mansukh diatas mempunyai persamaan, hanya saja hukum syara’ yang termaktub dalam ayat pertama dinasikh oleh ayat kedua. Persamaan ini terdapat dalam lafadyang berbunyi (وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا ا). Az-Zarqani memberikan penjelasan dengan mengambil contoh ayat lain.[26], yakni:

·         QS. Mujādilah [58] ayat 12 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaknya kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih, jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang

Ayat ini di-naskh oleh ayat selanjutnya (ayat 13) :

أَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُو الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Artinya :Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang ananda kerjakan.
Ayat diatas menjelaskan tentang hukum bagaimana tata cara berbicara dengan Rasulullah SAW. Yaitu dengan memberi sedekah terlebih dahulu, ayat pertama di nasikh dengan ayat lain yang redaksi ayatnya sama tetapi memiliki khitab hukum yang berbeda, sehingga ayat ini dikategorikan sebagai ayat yang hukumnya mansukh tetapi bacaan (tilawahnya) tidak terhapus.

 c. nasikh tilawah tetapi hukumnya tetap (نسخ التلاوة مع بقاء الحكم)
dalil ini diperoleh dari hadis shahih yang diriwayatkan oleh umar bin khtattab RA. sebagai berikut:
عن عمر بن الخطاب وأبي بن كعب انهما قالا : كان فيما أنزل من القرآن : الشيخ والشيخة إذا زنيا مارجموهما ألبتة نكالا من الله والله عزيز حكيم.[27]
Artinya: orang tua laki-laki dan perempuan apabila keduanya berzina maka rajamlah keduanya dengan pasti sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana
hukum syara’ rajam masih tetap ada namun, teks dalil syar’i diatas telah dinasakh didalam rasm ustmani.[28]
D.Naskh Al-quran dengan Sunah
Di samping Naskh Alqur’an dengan alquran, para ulama’ juga membahas naskh Al_Qur’an dengan Hadits atau Sunnah , Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an dan Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah. Dalam fasal ini yang perlu dibahas adalah tiga macam naskh yang lainnya.
Pertama, naskh Al-Quran dengan As-Sunah. Dalam pembahasan ini dibagi dalam dua kategori, pertama, naskh Al-Qur’an dengan Hadits Ahad, dan kedua, naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawattir. Untuk yang pertama mayoritas ulama’ berpendapat bahwa Al-Qur’an tidak boleh dinaskh oleh hadits ahad, karena kedudukannya jauh berbeda dan tidak seimbang. Al-Qur’an bersifat mutawattir sedangkan ahad, dzanni. Tidak boleh menghapus seseuatu yang pasti dengan sesuatu yang dzanni.
Kedua, naskh Al-Qur’an dengan hadits mutawattir, dalam pembahasan ini para ulama’ berbeda pendapat. Imam Malik, Abu hanifah, dan Ahmad dalam suatu riwayat membolehkannya karena keduanya adalah wahyu sebagaimana firman Allah SWT :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَ(3) ان هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى(4)
Artinya : Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm 53: 3-4)
Dan juga berdasarkan firman Allah dalam Alqur’an
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ) 44(
Artinya : dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl 16: 44)
Menurut ulama’ diatas Naskh termasuk dalam bagian albayan seperti yang telah dijelaskan oleh ayat diatas.
Tetapi ulama’ lain berbeda pendapat tentang naskh Alqur’an seperti Imam syafi’i, ahli zhahir dan imam Ahmad dalam riwayat lain, tidak membolehkan naskh Alqur’an dengan As-Sunnah karena naskh Al-qur’an hanya boleh dengan Al-Qur’an. Sebagaimana deijelaskan dalam ayat :
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا(106)
Artinya : Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (Q.S Al-Baqarah 2: 106)
1.      Naskh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Mayoritas ulama’ membolehkan naskh as- Sunnah denga Al-Qur’an. Shalat menghadap ke Baitul Maqdis ditetapkan dengan As-Sunnah, lalu dinasakh oleh Al-Qur’an :

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَه..
          Artinya : Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya..

2.      Naskh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Ada empat macam naskh as-sunnah dengan as-sunnah diantaranya :
a.       Naskh mutawatir dengan mutawatir
b.      Naskh ahad dengan ahad
c.       Naskh ahad dengan mutawatir
d.      Naskh mutawatir dengan ahad
Tiga bentuk naskh yang pertama diperbolehkan sedangkan bentuk yang keempat mayoritas ulama’ melarangnya.
E. Fungsi Nasikh dan Mansukh
            Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, fungsi nasakh secara umum ada tiga yaitu : sebagai upaya untuk mengungkapkan hukum sebagai penahapan dalam tasyri’ untuk memberi kemudahan.
1.      Sebagai upaya pengungkapan hukum.
Dalam upaya untuk melaksanakan pengungkapan hukum suatu peraturan dalam syariat, baik qur’an maupun hadits, setiap ketentuan hukum harus jelas dan terpercaya sehingga bisa diamalkan. Nasakh ini digunakan untuk menghadapi dua dalil yang bertentangan. Dalam hal ini harus ada usaha atau pengumpulan dua dalil hukum atau mengkhususkan dalil (taksis), ataupun untuk memperkuat salah satu diantara keduanya (tarjih)

2.      Sebagai penahapan dalam tasryi’
Penahapan ini bertujuan untuk memperkenalkan hukum secara bertahap kepada masyarakat arab pada permulaan islam, sehingga orang-orang yang menerimaya untuk menerapakan perintah-perintah yang dikandung secara bertahap. Jadi hukum itu tidak ditentukan secara tiba-tiba serta pada akhirnya tidak memberatkan subjek hukum yang memerintah atau melarang seseorang menjalankan suatu pekerjaan.

Adanya tahapan ini, mengehendaki adanya pencabutan dan pemindahan. Contohnya mengenai larangan minum khamr, sehingga tidak mudah untuk melarang  begitu saja. Oleh karena itu allah berfirman dan menetapkan keharamannya secara bertahap.

3.      Sebagai pemberian kemudahan
Dalam hal ini, Nasakh memberikan sebuah kemudahan terhadap teks-teks naskh yang mansukhb tetap ditampilkan, sehingga hukum ayat yang dinasakh dapat dimunculkan kembali pada tata aturan masyarakat. Seperti yang digambarkan dalam surat an-Nahl ayat 27 dengan surat muzammil ayat 10. Tentang perintah kepada kaum muslimin untuk bersabar atas rintangan yang dimunculkan oleh kaum musyrik.[29]

F. Hikmah adanya nasakh-mansukh
Dalam buku mabahis fi ulumil Qur’an oleh manna al-Qattan karya mudzakir menjelaskan bahwa hikmah adanya nasakh-mansukh ialah:
1.      Memelihara kepentingan hamba
2.      Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagiorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab, jika nasakh beralih ke hal yang lebih berat maka didalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.[30]

Dari hikmah yang telah diuraikan dalam penjelasan diatas kita dapat menyimpulkan pula bahwa :

1.      Mengakui bahwa Allah SWT adalah maha kuasa atas segala sesuatu, termasuk salah satunya nasakh-mansukh, yang mana semua itu merupakan ketentuan-Nya yang tidak bisa terikat dengan logika manusia. 
2.      Menunjukkan bahwa syaria’at yang haqiqi ialah syari’at islam.
3.      Menguji para mukallaf, apakah dengan diturunkannya nasikh-mansukh bisa taat dengan menjalankan hukum-hukumnya.
4.      kita bisa mengetahui bahwa  dalam penetapan ayat Al-Qur’an harus menggunakan khabar mutawattir  sedangkan menasakh harus menggunakan  khabar ahad saja.
5.       Kita bisa banyak mengetahui tentang fiqih karena nasakh –mansukh ni berkenaan dengan ketetapan hukum.
6.      Hadirnya nasakh akan memberikan banyak pahala bagi yang mengerjaknnya
G. Penutup
Setelah mengkaji pembahasan di atas, dapat dipahami bahwa nasikh dan mansukh adalah salah satu bagian penting dari ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqh. nasikh dan mansukh memiliki peran penting dalam pengambilan dan penetapan hukum, bagi seorang mujtahid khususnya, nasikh dan mansukh menjadi point penting. Naskah dan nasikh membahas perihal penghapusan hukum syara yang ada dalam alquran maupun sunnah. Terlepas dari perbedaan pendapat antar ulama tentang kehujjahan nasikh dan mansukh, keberadaan nasikh dan mansukh tidak terlepas dari pengambilan hukum.
Di dalam artikel ini kita dapati berbagai macam penjelasan arti nasikh dan mansukh secara bahasa maupun istilah, diantaranya kita mengetahui bahwa nasikh adalah mengangkat dalil hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ lain sedangkan mansukh adalah dalil yang terkena nasikh. Mendalami ilmu nasikh dan mansukh haruslah memenuhi beberapa syarat diantaranya mengetahui ciri-ciri nasikh dan ayat-ayat yang mansukh sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel ini, bahwa nasikh dan mansukh mempunyai ciri dan syarat yang menjadikannya demikian. Di dalam artikel ini juga disebutkan macam-macam nasikh berdasarkan ketentuan yang sudah dijelaskan para ulama.
Kegunaan dan hikmah mempelajari nasikh dan mansukh yang telah dijelaskan dan disebutkan diatas, bahwa keberadaan nasikh dan mansukh adalah sebagai pedoman dalam kaidah hukum, serta hikmahnya memberikan kemudahan bagi umat manusia.

Daftar Pustaka

Abdul fattah abu sunnah.1998 Ulumul qurankairo: dar as-syaruq
Az zarqani. 1995. Manahil irfan fi ulumil quran. beirut: dar kitab al arabiy
Hasan asyari, 2016 konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. VII No.1
Ilyas. Yunahar. 2014. Kuliah ulumul quran. yogyakarta:itqan publising
Mudzakir. 1996.mabahis fi ulumil Qur’anJakarta:pustaka litera antarnusa
M. Quraish Shihab, 2013kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran lentera hati: Tangerang,
Nurseha Dzulhadi, Qosim. 2015.kontroversi nasikh dan mansukh dalam alquran, jurnal tsaqafah Vol.V No.1
Sahin Lasin,Musa.1968alla’i al-hisan fi ulumil quran kairo: dar as-syaruq,
Setiawan, Andik,dkk. 2013. tafsir ilmu tafsir untuk kelas x pminatan ilmu-ilmu gama Madrasah Aliyah. bandung:Kemenag RI
Subaidi. 2014. Historitas nasikh dan mansukh dan problematiknya dalam penafsiran alquran hermeunetik vol.VIII No 1

Catatan:
Makalah ini sudah cukup bagus, similarity hanya 18%. Hanya saja dalam penulisa hurf besar dan kecil dalam footnote masih perlu diperbaiki. Abstrak juga harusnya 2 bahasa, Arab dan Indonesia,









[1]Andik Setiawan, dkk tafsir ilmu tafsir untuk kelas x pminatan ilmu-ilmu gama Madrasah Aliyah, (bandung:Kemenag RI, 2013) hal.191
[2]Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan publising, 2014) hal.173 bandingkan dengan abdul fattah abu sinnah, ulumul quran (kairo: dar as-syuruq, 1995) hal. 118
[3] Artinya : “Allah (menghapus) menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayat- Nya. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
[4]Artinya : “ayat mana saja yang Kami batalkan, atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
[5]Musa sahin lasin, alla’i al-hisan fi ulumil quran (kairo: dar as-syaruq, 1968) hal. 167
[6]Ibid, hal 168
[7]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. 7 No. 1, 2016, hal. 65.
[8]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995) hal.138
[9]Abdul fattah abu sunnah, ulumul quran ( kairo : dar asysyruq: 1995) hal.118
[10]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 65 bandingkan dengan Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995) hal.138
[11]Pendapat ini dikemukakan dalam buku ulumul quran karya Abdul fattah abu sunnah ( kairo : dar asysyruq: 1995) hal.118, yang mengatakan bahwa maksud dari berakhirnya sebuah dalil hukum yakni berhubungan dengan tujuan Allah menetapkan hukum syara’ yang dibatasi waktunya, ketika tujuan dan waktu yang diberikan Allah SWT. Telah selesai maka berahirlah dalil itu berkaitan dengan konteks didalamnya.
[12] M. Quraish Shihab, kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran (lentera hati: Tangerang, 2013) hal.283
[13]Takhsis termasuk dalam satu bab penting dalam kaidah penafsiran alquran dimana seorang mufassir menjelaskan ayat-ayat yang bersifat global kepada penjelasan yang telah ditertulis dalam alquran, dengan memberikan batasan atas berlakunya hukum bagi pihak tertentu dalam keadaan khusus. Lihat Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan publising,2014) hal.175
[14]Lihat catatan kakiNo.8, bandingkan dengan Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan publising,2014) hal.174
[15]Muhkam adalah istilah dari ayat yang mengandung hukum
[16]Mansukhah adalah ayat yang telah terkena naskh
[17]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995) hal.141
[18]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 65
[19] M. Quraish Shihab, kaidah tafsir: syarat, ketentuan, dan aturan yang patut anda ketahui dalam memahami ayat-ayat al-quran (lentera hati: Tangerang, 2013) hal.290
[20]ibid
[21]Musa sahin lasin, alla’i al-hisan fi ulumil quran (kairo: dar as-syaruq, 1968) hal. 186
[22]Artinya: susuan
[23]Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan publising, 2014) hal.182
[24]Iddah artinya masa tenggang, berkabung, maupun menunggu selama waktu tertentu untuk tidak menikah lagi, baik setelah dicerai ataupun sang suami meninggal dunia
[25]Musa sahin lasin, alla’i al-hisan fi ulumil quran (kairo: dar as-syaruq, 1968) hal.185
[26]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995) hal. 168
[27]Az zarqani, manahil irfan fi ulumil quran (beirut: dar kitab al arabiy, 1995) hal. 168
[28]Yunahar Ilyas, kuliah ulumul quran (yogyakarta:itqan publising, 2014) hal.182
[29]Hasan asyari, konsep nasikh dan mansukh dalam al-quran, didaktika islamika Vol. VII No. 1, 2016, hal. 85
[30] Mudzakir, mabahis fi ulumil Qur’an( pustaka litera antarnusa,Jakarta cetakan ke-3 tahun 1996) hal 339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar