Kamis, 18 Oktober 2018

Metode-Metode Tafsir (PAI H ICP Semester Ganjil 2018/2019)



Metode-Metode Tafsir: macam-macam metode tafsir (tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhui), contoh masing-masing metode tafsir, kekurangan dan kelebihan masing-masing metode
Ainaus Sa’diyah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jl. Gajayana No. 50 Malang
Email: ainaussadiyah@gmail.com
Sayyidah Ayu Maziyyah
UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Jl. Gajayana No. 50 Malang
Email: sayyidahayu.uinmalang@gmail.com 
الملخص
يناقش هذا المقالة أنواع مختلفة من أساليب تفسير. الطريقة هي الطريقة أو المسار المستخدم لتحقيق هدف. في هذه الأثناء ، التفسير هو المعرفة المستخدمة لتفسير وفهم نوايا ومحتوى القرآن. اذا فإن طريقة التفسير هي طريقة أو طريقة لتفسير وفهم نية ومحتوى القرآن. أما التفسير في وجهة الطريق لها طرق˛ هم التحليلي˛ إجمالي˛ مقارن˛ موضوعي. طريقة التحليلي هي طريقة بالتحليل. طريقة الإجمالي هي طريقة عالمي. طريقة المقاران هي طريقة بالمقارنة. طريقة الموضوعي هي طريقة بدون ساحق. وكل طرق لها فضيلة و ضعيفة.

Abstrak
Artikel ini membahas tentang macam-macam metode tafsir. Adapun metode adalah cara atau jalan yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan,  tafsir adalah  ilmu yang digunakan untuk menafsirkan dan memahami maksud dan isi Al-Qur’an. Jadi metode tafsir adalah cara atau jalan bagaimana menafsirkan dan memahami maksud dan isi Al-Qur’an. Adapun tafsir dalam segi metodenya itu mempunyai beberapa metode yang  dapat dikelompokkan menjadi empat metode, yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan Maudhu’i. Metode Tahlili merupakan metode analisis.Metode ijmali merupakan metode global.Metode muqaran merupakan metode perbandingan.Metode maudhu’I merupakan metode tematik.Dan pada setiap metode juga mempunyai kelemahan dan kelebihan yang dimiliki.
Kata Kunci: Tafsir, Macam-Macam Tafsir, Kelemahan dan Kelebihan



A.    PENDAHULUAN
Pengertian Tafsir
1.      Pengertian Tafsir Secara Bahasa
katatafsirmerupakan isim masdar dari lafadz  fassara-yufassiru-tafsiran, yang mana lafad tafsiran disini berarti keterangan, penjelasan, atau uraian. Dalam pengertian bahasa menurut al-Jurnaini bahwa kata tafsir adalah al-kasyf wa al-izhar yang berarti membuka (meniyingkap atau mengungkapkan) dan menampakkan.
Berdasarkan bahasa, pengertian tafsir tidak dapat terlepas dari kandungan makna al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan), al-idzhar (menampakkan), al-ibaanah (menjelaskan)
Mengenai arti dari kata tafsir, kata tersebut merupakan kata yang tidak asing dalam bahasa Arab.Meskipun demikian, terdapat beberapa pandangan atau perbedaan oleh beberapa pakar bahasa Arab dalam mengenai asal muasal dari kata tafsir.Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat-pendapat mereka mengenai arti kata tersebut.Berikut ini adalah beberapa pendapat mengenai arti kata tafsir menurut para ulama’ tafsir[1]:
a.       Kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah (التفسيرة), yang memiliki arti sebuah riset yang dilakukan oleh seorang dokter pada urine pasien untuk mengetahui penyakitnya. Hal ini disamakan dengan seseorang yang menafsirkan ayat al-Qur’an dengan meneliti dan mengamatinya untuk bisa mengeluarkan dan mengambil makna dan hukum yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Zarkasyi dan Shadiq Hasan Khin. Akan tetapi, di dalam
bebarapa kamus bahasa Arab, arti kata seperti ini juga ditunjukkan oleh kata al-fasr (الفسر).
b.      Kata tafsir merupakan turunan kata dari kata al-fasr (الفسر) yang mengikuti kata taf’il (تفعيل). Pendapat ini lebih dipilih oleh beberapa ulama, diantaranya Abû Hayyận, Ibnu Fậris, al-Azhari dan al-Suyûthi.
c.       Kata tafsir diambil dari ungkapan orang Arab: fassartu al-faras (فسّرت الفرس), yang berarti saya melepaskan kuda. Hal ini dianolgikakan kepada seorang penafsir yang melepaskan seluruh kemampuan berpikirnya untuk bisa mengurai makna ayat al-Qur’an yang tersebunyi dibalik teks dan sulit dipahami.
d.      Kata tafsir juga dipahami oleh sebagian ulama sebagai sebuah kata yang susunan hurufnya dibalik dari asalnya. Hal ini berkaca pada ungkapan orang Arab yang mengatakan safarat al-mar’ah (سفرت المرأة), yang berarti terbukanya cadar seorang perempuan. Dari ungkapan ini, sebagian ulama berkesimpulan bahwa kata al-tafsir berasal dari kata al-tafsir(التفسير) yang disamakan dan dianolgikan dengan kata jadzab (جذب) dan dari kata sha’iqa (صعق) dengan kata shaqi’a (صقع).
e.       Pendapat terakhir mengatakan bahwa kata tafsir berasal dari ungkapan orang Arab yang berbunyi: fusirat al-nauroh(فسّرت النورة), yang memiliki makna memercikkan air pada kapur terurai. Pendapat ini didukung oleh al-Thûfi.
Dari kelima pendapat di atas, tiga pendapat pertama memiliki kedekatan makna.Sedangkan pendapat yang dianggap kuat adalah pendapat kedua.Pendapat yang ke empat merupakan pendapat yang lemah dan pendapat yang terakhir adalah pendapat paling lemah.
2.      Pengertian Tafsir Secara Istilah
Adapun mengenai pengertian tafsir berdasarkan istilah, para ulama’ mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda[2].
a.       Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil:
التَّفْسِيْرُ شَرْحُ القُرْآنِ وَبَيَانُ مَعْنَاهُ وَالإِفْصَاحُ بِمَا يَقْضِيْهِ بِنَصِّهِ أَوْ إِشَارَتِهِ أَوْ نَحْوًا.
Artinya:
“Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuan-nya.”
b.      Menurut Syekh Al-Jazairi dalam shahih At-Taujih: 
التَّفْسِيْرُ فِيْ الحَقِيْقَةِ إِنَّمَا هُوَ شَرْحُ الَّلفْظِ المُسْتَلِّفِ عِنْدَ السَّامِعِ بِمَا هُوِ أَفْصَحُ عِنْدَهُ بِمَا يُرَادِفُهُ أَوْ يُقَارِبُهُ أَوْلَهُ دِلَالَةٌ عَلَيْهِ بِإِحْدَى طُرُقِ الدِّلَالَةِ.
Artinya:
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu dilalah-nya.”
c.       Menurut Abu Hayyan
التَّفْسِيْرُ فِيْ الإِصْطِلَاحِ عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنْ كَيْفِيَّةِ النُّطْقِ بِأَلْفَاظِ القُرْآنِ وَمَدْلُوْلَاتِهَا وَأَحْكَامِهَا الإِفْرَادِيَّةِ وَالتَّرْكِيبِيَّةِ وَمَعَانِيْهَا الَّتِيْ تَحْمِلُ عَلَيْهَا حَالَةُ التَّرْكِيْبِ.
Artinya:
“Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan–kandungan hukum, dan makna-makna yang terkandung di dalamnya.”
d.      Menurut Az-Zarkasyi
عِلْمٌ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابِ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى نَبِيِهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ أَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Artinya:
“Tafsir adalah  ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muahmmad SAW, serta menyimpulkan kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.”
B. PEMBAHASAN
Metode-Metode Tafsir
Kata metode secara epistimologi  berasal dari dua bahasa yang termasuk dari kata serapan. Yang mana dari dua bahasa tersebut adalah bahasa Yunani dan bahasa Inggris.Adapun kata metode dari bahasa Yunani adalah methodos, sedangkan kata metode dari bahasa Inggris adalah method.
Adapun secara etimologi yang berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos, berasal dari dua kata, yaitu meta dan hodos, yang mana kata meta berarti melalui,
mengikuti, menuju. Sedangkan kata hodos berarti cara-cara, berjalan. Jadi, metode dapat diartikan dengan jalan menuju atau  cara-cara.
Adapun kata metode yang berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos sering digunakan untuk uraian ilmiah, hipotesa ilmiah, pengertian penelitian, dan metode ilmiah. Sedangkan kata yang bisa disamakan dengan bahasa lain adalah bahasa Arab, yaitu manhaj dan thoriqoh. Secara etimologi kata manhaj adalah bentuk mufrod dari kata manāhij, yang berarti metode, cara, prosedur, jalan, program, acara. Sama halnya dengan pengertian manhaj, kata thōriqoh adalah bentuk mufrod dari kata thorōiq, yang secara etimologi berarti jalan, metode, prosedur, teknik, proses, cara, gaya, mode, sarana.
Dalam metode penafsiran Al-Qur’an terdapat beberapa metode yang umum digunakan oleh ulama’ tafsir. Dalam metode tafsir yang sering digunakan oleh mereka, ada yang bersifat global dan universal, akan tetapi ada juga yang menggunakannya dengan cara perbandingan (komparasi). Dan adapula yang menggunakannya dengan cara sistematis. Mengenai macam-macam metode tafsir, sebagian ulama’ tafsir salah satunya Abd al-Hayy al-Farmawi menjelaskan bahwa metode tafsir ada empat macam metode penafsiran Al-Qur’an, antara lain yaitu metode tahlili, ijmali, muqoron, maudhu’i.
1.      Al-Manhaj At-Tahlili (Metode Tahlili)
a.       Pengertian
Menurut bahasa arab, kata tahlili merupakan isim masdar dari lafadz hallala-yuhalillu-tahlil (حَلَّلَ˗يُحَلِّلُ˗تَحْلِيْلًا) yang berarti meneliti, menganalisa, menguraikan, memisahkan, memerinci, yang kemudian ditambah dengan huruf ya’, dan huruf ya’ disini adalah ya nisbah yang berfungsi untuk mengubah kata isim menjadi kata sifat, karena tarkib wasfi atau na’at man’ut tidak disusun dari dua bentuk kalimat isim. 
Secara harfiah, al-tahlili (التحليلي) berarti menjadi lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan al-tafsir al-tahlili ialah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti tertib susunan/urutan-
urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri dengan sedikit-banyak melakukan analisis di dalamnya.[3]
Metode ini bisa dikatakan dengan metode tajzi’i, yang mana metode tajzi’i adalah merupakan salah satu metode tafsir yang menguraikan dan menerangkan kandungan-kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana yang tertulis didalam Al-Qur’an. Metode ini secara umum dimulai dengan menerangkan arti kosa kata pada tiap-tiap ayat, kemudian diungkapkan secara global mengenai penjelasan arti pada ayat-ayat tersebut, setelah diterangkan dan diuraikan secara rinci mengenai arti pada ayat-ayat tersebut dan kesesuaian ayat-ayat nya, kemudian menjelaskan hubungan maksud dari ayat-ayat tersebut satu sama lain, sebab-sebab turunya (asbabun nuzul), bukti dalil-dalil yang bersal dari Rasulullah SAW (hadits atau sunnah), pendapat  dari para sahabat Rasululloh, pendapat dari para tabi’in yang terkadang terjadi percampuran dengan pendapat penafsiran mereka sendiri.
Dalam metode ini pula terkadang menyertakan perkembangan kebudayaan pada generasi Nabi sampai tabi’in, dan terkadang juga berisikan penjelasan-penjelasan dan materi-materi yang khusus yang maksud dari itu semua guna untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini.
Menurut ‘Ali Hasan al-‘Arid, tafsir tahlili adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, yang diuraikan kosa kata dan lafadznya, kemudian diungkapkan arti yang dikehendaki, sasaran penafsiran yang dituju, serta kandungan ayat-ayatnya yang meliputi unsur kemukjizatan, balaghah, dan keindahan susunan kalimatnya. Kemudian dijelaskan apa yang ditetapkan hukumnya (istinbat) dari ayat-ayat tersebut seperti hukum fiqih, dalil-dalil syari’at, akidah, akhlak, teori ilmiah yang sesuai, dan sebagainya.[4]
Menurut M. Quraish Shihab, metode tafsir tahlili adalah satu metode tafsir dimana para mufassir mengkaji dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi dan maknanya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan dan
keinginan mufassir nya, menafsirkan secara runtut sesuai dengan ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam mushaf Al-Qur’an.[5]
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang penafsirannya dengan cara menafsirkan ayat secara berurutan, mulai dari ayat pertama surat al-Fatihah sampai ayat terakhir surat an-Nas,  berurutan ayat dan surat surat nya berdasarkan urutan ayat dan surat dalam mushaf utsmani.
b.      Karakteristik Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode tafsir ini terdapat tiga karakterisitik utama yang dapat dijadikan penilaian terhadap suatu kitab tafsir yang dapat masuk dalam kategori tafsir tahlili.
Pertama, ulama’ tafsir menguraikan makna yang terkandung dalam Al-Qur’an dari berbagai aspek penafsiran, seperti arti kosakata dari tiap-tiap lafadz, gagasan dalam ayat tersebut, asbabun nuzulnya, hubungan keterkaitan antar ayat baik sebelum dan sesudahnya, serta pendapat-pendapat mengenai penjelasan ayat tersebut baik dari Nabi Muhammad SAW, para sohabat, para tabi’in, maupun bersumber dari kitab lainnya.
Kedua, ulama’ tafsir menafsirkan ayat demi ayat secara berurutan mulai dari ayat pertama surat al-Fatihah sampai ayat terakhir surat an-Nas.
Ketiga, metode ini merupakan sebuah prosedur kerja, dalam artian bahwa metode ini mempunyai langkah-langkah dalam penafsirannya. Ulama’ tafsir lazimnya menggunakan lima langkah dalam penggunaan metode ini: (1) menerangkan hubungan ayat satu dengan ayat yang lainnya dan surat satu dengan surat lainnya, (2) menjelaskan asbabun nuzulnya, (3) menganalisis kosa kata bahasa arab dalam setiap ayat yang dan ditafsirkan, (4) menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat yang akan ditafsirkan dengan menggunakan keterangan baik yang terdapat dalam hadits, ayat-ayat lainnya, penalaran rasional atau teori, maupun dari disiplin ilmu lainnya, (5) menarik kesimpulan dari ayat yang berkenaan mengenai hukum dari suatu permasalahan.
Dan begitupula seorang mufassir dalam menggunakan metode ini dengan menganalisis setiap lafal atau kosa kata (mufrodat) dari segi bahasa dan makna.Adapun analisis dari segi bahasa meliputi keindahan susunan kalimatnya, badi’, i’jaz, bayan, haqiqat, ma’ani, kinayah, majaz, isti’arah, dan lain sebagainya.
c.       Kritik Mengenai Metode Tafsir Tahlili
1.      Kelebihan dari Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode ini terdapat lima kelebihan didalamnya. Pertama, metode ini banyak digunakan oleh ulama’ tafsir.Kedua, penafsirannya dapat terselesaikan secara tuntas dan jelas.Ketiga, memiliki ruang lingkup yang cukup luas.Keempat, memuat banyak berbagai macam ide dan gagasan, karena dalam metode ini memeberikan kesempatan kepada ulama’ tafsir untuk mencurahkan semua gagasan dan ide mereka.Kelima, memuat berbagai macam ide dan gagasan ulama’ tafsir.
2.      Kelemahan dari Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode ini terdapat empat kelemahan didalamnya. Pertama, metode ini dianggap tidak konsisten karena menjadikan petunjuk Al-Qur’an tampak parsial atau terpecah-pecah sebab penafsiran yang dilakukan terhadap suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat lain yang sama dengannya.
Kedua, bersifat subyektif atau terbuka, yang mana keluasan lingkup dari metode ini yang selain menjadi kelebihan, juga menjadi kekurangan didalamya sebab terbukanya pintu penafsiran yang lebar terkadang menafsirkan Al-Qur’an dengan keinginan hawa nafsu tanpa memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku.Sehingga, penafsirannya menjadi kurang tepat dan maksud dari ayat itu pun berubah.
Ketiga, tidak mampu memberi jawaban dari persoalan sebuah masalah yang dihadapi, terutama permasalahan yang actual yang sedang dihadapi oleh umat Islam. Hal tersebut disebabkan dari luasnya ruang lingkup penafsiran dari metode ini sehingga justru tidak dapat menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan dijelaskan dari segi atau aspek ayat lainnya
Keempat, masukknya pemikiran israilliyyat dalam penafsirannya.Hal ini disebabkan karena dalam metode ini tidak membatasi sumber dan meteri yang digunakan dalam penafsirannya.Sehingga pemikiran-pemikiran asing bisa masuk kedalamnya.
d.      Contoh Metode Tafsir Tahlili
Ketika menguraikan makna ayat yang ditafsirkan, al-Baydawi memulainya dengan menjelaskan makna kosa kata dan istilah-iatilah terkait, mejelaskan hubungan satu kata dengan kata yang lain dan tidak jarang menjelaskan kedudukan kata dalam struktur kata dalam struktur kalimat. Sebagai contoh adalah penjelasan al-Baydawi ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 1-2.
 (الم ﴿١﴾ الله لا إله إلا الله هوۖالحي القيوم ﴿٢﴾)
(الم ٭الله لا إله إلا هو) إنما فتح الميم في المشهور وكان حقها أن يوقف عليها حركة الهمزة عليها ليدل على أنها في حكم الثابت˛ لأنها أسقطت للتخفيف لا للدرج˛ فإن الميم في حكم الوقف كقولهم واحد اثنان بإلقاء حركة الهمزة على الدال لا لالتقاء الساكنين˛فإنه غير محذور في باب الوقف˛ ولذلك لم تحرك الميم في لام. وقرىء بكسرها على توهم التحريك لالتقاء الساكنين. وقرأ أبو بكر بسكونها والابتداء بما بعدها على الأصل. (الحي القيوم) روى أنه عليه الصلاة والسلام قال: "إن اسم الله الأعظم في ثلاث سور في البقرة الله لا إله إلا الله هو الحي القيوم˛ وفي آل عمران الله لا إله إلا هو الحي القيوم˛ وفي طه وعنت الوجوه للحي القيوم".                                                                                                                  

Al-Baydawi memulai penjelasan dengan menguraikan cara membaca tulisan huruf muqatta’ah yakni alif-lam-mim dan perpedaan ulama dalam membacanya. Kata berikutnya yang dijelaskan oleh al-Baydawi adalah al-hayyu al-qayyum dengan mengutip riwayat atau hadits yang menjelaskan bahwa kalimat Allah la ilaha illa huw al-hayyu al-qayyum hanya terdapat dalam surat Al-Baqarah, surat Ali-Imran, dan surat Taha sampai disini jelas bahwa al-Baydawi menjadikan cara membaca teks Al-Qur’an sebagai salah dasar dalam penafsirannya.[6]
2.      Al-Manhaj  Al-Ijmali (Metode Ijmali)
a.       Pengertian
Secara etimologi ijmali berasal dari kata jamala dan ajmalayang artinya mengumpulkan atau menghimpun. Metode tafsir ijmali adalah suatu cara interpretasi terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan menghimpun beberapa ayat sesuai dengan urutan-urutan mushaf atau satu surat dan kemudian ditafsirkan pokok-pokok kandungan ayat-ayat yang dihimpun atau satu surat tersebut secara umum atau global.[7]
Secara lughowi, kata ijmali berasal dari bahasa Arab yang berarti umum, keseluruhan, total, merata. Dengan demikian, metode tafsir ijmali adalah metode tafsir yang penafsirannya dilakukan dengan cara menjelasakan atau mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an dengan pembahasan yang bersifat umum (global),  tanpa adanya uraian yang merinci terlebih lagi pembahasan yang luas dan panjang atau bisa dikatakan dengan metode yang dilakukan oleh mufassir dalam menfasirkan Al-Qur’an secara umum (global) atau singkat.
Dalam metode ini, mufassir menjelaskan makna-makna pada setiap ayat Al-Qur’an dengan penjelasan yang singkat dan mudah dipahami. Dengan kata lain, dalam metode ini hanya menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa adanya tambahan pembahasan yang lebih luas dan gaya bahasa penafsirannya tidah jauh berbeda dengan bahasa Al-Qur’an, sehingga membaca tafsiran yang menggunakan metode tafsir ini tidak jauh beda atau selayaknya dengan membaca Al-Qur’an.
Ketika menggunakan metode ini, para mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbabun nuzul), peristiwa sejarah, hadits nabi, atau pendapat ulama’ saleh.[8]
b.      Karakteristik Metode Tafsir Ijmali
Dalam metode tafsir ini terdapat beberapa karakterisitik yang dapat dijadikan penilaian terhadap suatu kitab tafsir yang dapat masuk dalam kategori tafsir ijmali.
1.      Urutan penafsirannya sesuai dan sama dengan urutan Al-Qur’an
2.      Mufassir menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa adanya perbandingan ayat
3.      Ruang lingkupnya tidak luas sehingga mufassir sedikit  meberikan pendapat dan idenya
4.      Mufassir tidak menafsirkan Al-Qur’an secara rinci, akan tetapi hanya secara umum
5.      Bahasa nya tidak jauh berbeda dengan bahasa Al-qur’an itu sendiri  
c.       Kritik Mengenai Metode Tafsir Ijmali
1.      Kelebihan dari Metode Tafsir Ijmali
Keunggulan metode ini dibanding metode-metode tafsir yang lainnya terletak pada karakternya yang mudah dimengerti, tidak mengandung unsur isra’iliyyat, dan lebih mendekati bahasa Al-Qur’an.[9]Dalam metode ini pula terdapat kelebihan yang salah satunya adalah mudah untuk digunakan oleh semua lapisan dan jenjang kaum muslimin secara menyeluruh, karena dalam tafsir ini penafsirannya secara ringkas, padat, dan jelas, sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan.
2.      Kelemahan dari Metode Tafsir Ijmali
Kelemahan dari jenis tafsir ini adalah uaraiannya yang terlalu singkat dan ringkas, sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat secara luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.[10]Dan kelemahan yang terdapat dalam metode ini pula ialah tidak adanya ruang untuk mengemukakan pendapat atau analisis sehingga menjadikan petunjuk dalam Al-Qur’an bersifat parsial.Sehingga hal tersebut menjadikan metode ini jarang dipakai oleh para mufassir, yang mana mereka lebih suka menggunakan metode yang lebih baik daripada metode ini.
d.      Contoh Metode Tafsir ijmali
Penafsiran yang dilakukan oleh Jalalain dalam tafsirnya terhadap 5 ayat pertama surat al-Baqarah, tampak tafsirnya sangat ringkas dan global hingga tidak diberi rincian atau penjelasan yang memadai. Penafsiran alif lam mim misalnya hanya ditafsiri dengan Allah Maha Tahu maksudnya. Demikian pula kata al-kitab hanya ditafsiri dengan yang dibacakan oleh Muhammad.Dan begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga penafsiran 5 ayat selesai hanya dalam beberapa baris saja.Sedangkan tafsir tahlili untuk menjelaskan 5 ayat membutuhkan 7 halaman.[11]
Diantara kitab-kitab tafsir dengan metode ini adalah[12]:
1.      Tafsir al-Jalalaian karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-mahally;
2.      Tafsir Al-Qur’an al-Azhim  karya Muhammad Farid wajdy;
3.      Shafwah al-Bayan li Ma’aniy Al-Qur’an karya Husanain Muhammad Makhlut;
4.      Tafsir Al-Qur’an karya Ibn Abbas, yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady;
5.      Al-Tafsir al-Wasith karya Commite Ulama (Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar);
6.      Al-Tafsir al-Muyassar karya Abd al-Jalil Isa
7.      Al-Tafsir al-Mukhtasar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan Umat Islam)
A.    Metode Tafsir al-Muqaran (Tafsir Perbandingan)
Al-tafsir al-muqaran ialah tafsir yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an (analog) yang memiliki redaksi berbeda namun isi kandungannya sama, atau ayat yang memiliki redaksi mirip namun isi kandungannya berlainan, dan juga menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang sekilas tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal hakikatnya sama sekali tidak berlainan.[13]Tafsir al-Qur’an dengan menggunakan metode ini memiliki cakupan yang sangat luas termasuk juga membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
Tentunya setiap aspek memiliki ruang lingkup yang berbeda, ada yang berhubungan dengan kajian redaksi serta kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya.Wilayah pembahasan aspek pertama dan kedua mencakup kajian ayat dengan ayat yang tidak hanya sebatas pada analisis redaksional (mabahits lafdziyah), melainkan mencakup perbandingan antar kandungan makna dari masing-masing ayat.Kedua aspek ini juga membahas perbedaan kasus yang terdapat pada ayat melalui peninjauan berbagai aspek yang menimbulkan perbedaan, seperti asbab al-nuzul, pemakaian dan penyusunan kata, serta konteks, situasi, dan kondisi umat ketika ayat tersebut diturunkan. Adapun aspek ketiga membahas tentang barbagai pendapat yang dikemukakan  sejumlah mufasir dalam suatu ayat, seta membandingkan berbagai pendapat.[14]
Kitab tafsir yang termasuk kedalam tafsir muqaran adalah The Qur’an and Its Interpreters, karya Mahmud Ayyoub. Tafsir ini mencoba membandingkan beberapa tafir dari para mufassir yang berbeda latar belakang aliran, madzhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu Araby (tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab Syafi’I dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir lughawi), Al-Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir mu’tazili), Al-Razy (tafsir sunni), Al-Qumi dan Al-Thabdil (syi’ah klasik), Thabathaba’I (Syi’ah modern) dan Sayyid Quthb (ijtima’i).[15]
a.)    Ruang Lingkup Metode Muqarran
1.      Perbandingan ayat dengan ayat
Dalam aspek ini dapat dilakukan pembandingan seluruh bagian ayat, baik pemakaian mufradat, urutan kata, maupun kemiripan redaksi.Dua ayat yang mirip secara redaksional, yaitu Q. S. Ali-Imran ayat 126 dengan Q. S. Al-Anfal ayat 10 :
وما جعله الله الا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر الا من عند الله العزيز الحكيم
Artinya: “Allah tidak menjadikannya (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi kamu, dan agar tenteram hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q. S. Ali-Imran: 126)
وما جعله الله الا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وما النصر الا من عند الله ان الله عزيز حكيم
Artinya: “Allah tidak menjadikan (pemberian bantuan itu)melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q. S. Al-Anfal: 10).
Jika diperhatikan kedua redaksi diatas terlihat mirip, namun didalamnya terdapat tiga perbedaan yang memebedakan redaksi pertama dan redaksi kedua. Pertama, pada ayat pertama terdapat lafal ( لكم ) sesudah lafal ( بشرى ), sedangkan pada ayat kedua tidak dijumpai lafal ( لكم ). Kedua, pada ayat kedua terdapat kalimat ( إن الله ) sesudah kalimat ( من عند الله ).Ketiga, perbedaan dalam pemakaian kata ( به ), pada ayat petama kata tersebut terletak sesudah lafal ( قلوبكم ), sedangkan ayat kedua terletak sebelum lafal ( قلوبكم ).[16]
Dilihat dari sudut historis turun ayat, ayat pertama turun berkenaan dengan perang Uhud. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan perang badar. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap redaksi memiliki kasus yang berbeda, dimana saat itu situasi dan kondisi yang dihadapi umat islam ketika perang tidaklah sama. Ketika perang badar kaum muslimin begitu khawatir dikarenakan jumlah pasukan dan perlengkapan perang yang minim berbanding jauh dengan kekuatan musuh, perang badar juga merupakan perang besar pertama bagi umat islam sedangkan dalam perang uhud umat islam berada dalam kondisi yang lebih baik dan lebih kuat, serta mereka mempunyai pengalaman lebih dalam memerangi orang kafir, sehingga ketika perang uhud terjadi umat muslim mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam berperang.[17]
Pada ayat kedua tidak ditemukannya lafal ( لكم ) yang mennunjukkan bahwa kegembiraan tidak hanya dirasakan oleh pasukan perang badar, melainkan dirasakan oleh seluruh umat muslim, karena kemenangan umat muslim pada perang badar merupakan tonggak kemenangan umat islam. Dalam surat Al-Anfal lafal ( إن ) menunjukkan berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang tertuju pada berita dan janji tersebut, sedangkan dalam surat Ali-Imran, tidak perlu pemakaian lafal (إن ) sebagai penguat, karena dalam konteks ayat ini tidak memerlukan perhatian besar. Hal ini disebabkan karena peperangan yang besar sudah pernah terjadi sebelumnya yakni ketika perang badar, sehingga lafal ( إن ) tidak lagi diperlukan.[18]
2.      Perbandingan ayat dan hadits
Hadits yang mampu dibandingkan dengan ayat al-Qur’an haruslah hadits yang shahih, sedangkan hadits dhaif tidak perlu dipertimbangkan ayat al-Qur’an karena kedudukannya yang rendah. Contoh:
a.                 Al-Qur’an:
فمكث غير بعيد فقال أخطت بما لم تحط به وجئتك من سبإ بنبإ يقين. إني وجدت امرأة تملكهم وأوتيت من كل شيئ ولها عرش عظيم.
Artinya : “Tak lama kemudian burung hud-hud berkata kepada Nabi Sulaiman:”Saya mengetahui apa yang baginda belum tahu, saya baru saja datang dari negeri Saba’ membawa berita yang meyakinkan. Saya bertemu seorang ratu yang memimpin mereka.Seluruh penjuru negeri mendatangkan sembah kepadanya.Dia mempunyai istana besar.”(Q. S. An-Naml:22-23)
لقد كان لسبإ في مسكنهم أِية جنتان عن يمين وشمال كلو من رزق ربكم واشكروا له بلدة طيبة ورب غفور
Artinya : “Kaum Saba’ mempunyai dua kebun yang subur di kiri kanan tempat tinggal mereka (seraya dikatakan pada mereka), makanlah kalian dari rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah kepada-Nya. (itulah) sebuah negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun”.(Q. S. As-Saba’:15)
b.                Al-Hadits:
ماأفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : “Tidak perbah sukses (beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita.”(HR. Bukhari)
Sepintas kedua ayat al-Qur’an di atas bertentangan dengan teks hadits yang berada dibawahnya.Kedua ayat al-Qur’an menjelaskan kesuksesan suatu Negara yang dipimpin oleh seorang perempuan (ratu Balqis), yang mana rakyat di Negeri tersebut begitu tunduk patuh kepada ratu balqis dan mereka hidup dalam keadaan aman dan makmur. Sedangkan hadits yang diriwayatkan imam Bukhari berisi tentang sebuah Negara tidak akan sukses jika dipimpin oleh seorang perempuan. Dapat dilihat dari pemahaman diatas bahwa perempuan tidak memiliki kedudukan yang seimbang dengan laki-laki, padahal banyak juga tokoh-tokoh perempuan dunia yang sukses dalam memimpin suatu Negara seperti pendiri kerajaan Mamluk yakni Syajarat al-Durr yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257)[19].
Pemahaman diatas begitu kontradiktif, untuk mengkompromikan kedua redaksi diatas memerlukan kepastian kualifikasi hadits tersebut sedangkan ayat sudah tidak diragukan lagi kebenarannya.Selain itu juga perlu diketahui asbab al-wurud hadits tersebut.Dalam hadits diatas, asbab al-wurud-nya adalah ketika Rasulullah S.A.W. mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu sebagai pengganti dari ayahnya yang telah wafat.Dari asbab al-wurud diatas, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan kurang bisa memimpin suatu Negara. Namun jika menggunakan kaidah :
العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب
Maka akan ditemukan pemahaman lain.
Melalui analisis kaidah diatas terhadap hadits riwayat imam Bukhari tadi, maka kata إمرأة . قوم ) ) merupakan format nakiroh (tak terbatas), yang berarti maksud dari kedua lafal tersebut adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua urusan. Sehingga perkiraan terjemahan dari hadits diatas adalah: “Suatu bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)”. Dengan begitu maka tentulah suatu bangsa tidak akan sukses jika setiap urusan dalam segala bidang hanya ditangani oleh seorang perempuan tanpa melibatkan laki-laki didalamnya, karenasejatinya laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing yang jika digabungkan akan menjadi suatu kerja sama yang baik.[20]
3.      Perbandingan anatar berbagai pendapat mufasir
Dengan melakukan metode perbandingan ini maka akan diketahui kecenderungan aliran para mufassir, aliran Ahlu Sunnah, Muktazilah, Syi’ah, dan khawarij begitu juga dengan keahlian para mufassir. Melalui metode ini mufassir mampu mengetahui berbagai macam penafsiran al-Qur’an yang telah dilakukan oleh ulama’-ulama’ tafsir terdahulu. Pada suatu kesempatan Quraish Shihab mempraktikkan metode muqarran dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti pada lafal ( الم ), menurutnya mayoritas ulama abad ketiga menafsirkannya denagn ungkapan ( الله أعلم ). Nemun setelah itu banyak ulama’ yang mencoba untuk menggali lebih dalam maknanya. Ada yang memahaminya denagn nama surat, ada juga yang memaknai sebagai huruf-huruf pembuka surat al-Qur’an.
Quraish juga menambhakan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut merupakan isyarat mengenai huruf-huruf yang terbanyak dalam surat-surat al-Qur’an. Namun, Quraish Shihab masih meragukan kebenaran beberapa pendapat yang dikutipnya sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat yang menafsirkan ( الم ) dengan ( الله أعلم ) yang masih relevan sampai saat ini.[21]
b.)    Kelebihan:
1.      Memberikan wawasan penafsiran lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
2.      Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita.
3.      Bermanfaat bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4.      Mufassir didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits seta pendapat para mufassir.[22]
c.)    Kelemahan:
1.      Tidak dapat digunakan bagi pemula yang baru mempelajari tafsir karena pembahasan yang dipaparkan terlalu luas dan kadang ekstrim.
2.      Kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan soal yang tumbuh ditengah masyarakat.
3.      Metode ini lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukanpara ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran baru.[23]
B.  Metode Tafsir Al-Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud metode tematik adalah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.Semua ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata, dan sebagainya.Semua dijelaskan secara rinci dan mendalam dengan disertai oleh fakta-fakta maupun dalil-dalil yang mampu dipertanggungjawabkan.[24]
Definisi tafsir maudhu’I menandakan bahwa mufassir yang menggunakan metode tematik ini dituntut harus mampu memahamiayat-ayat yang berkaitan dengan topic yang dibahas, memahami kosa kata ayat dan sinonimnya yang berhubungan dengan tema.Mufassir mengurutkan ayat sesuai dengan masa turunnya ayat agar mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut dengan pesoalan yang dibahas.Untuk mendapatkan keteranagn yang lebih luas mengenai penjelasan ayat, dapat menagmbil hadits, perkataan para sahabat sebagai penunjang.[25]
a.)    Langkah-langkah Penerapan Metode Tafsir Maudhu’i
1.    Menentukan tema masalah yang akan dibahas
2.    Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan tema tersebut
3.    Menyusun sekuensial ayat sesuai dengan kronologis turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul.
4.    Memahami munasabah (Korelasi) ayat-ayat tersebut dalam surah masing-masing.
5.    Menyusun kerangka pembahasa yang sempurna.
6.    Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevam\.
7.    Meneliti ayat-ayat secara keseluruhan
b.)    Kelebihan
1.      Menampilkan topik suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai-berai, sehingga bisa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui pandangan-pandangan al-Qur’an terhadap suatu masalah.
2.      Titik tolak keberangkatan bermula dari kenyataan yang ada di masyarakat dan berakhir pada al-Qur’an untuk mencari jawabannya.
3.      Mufassir tidak dituntut waktu dan nafas yang panjang karena ia hanya menyelesaikan topik yang dibahas.[26]
c.)  Kekurangan
1.      Kehilangan munasabat atau hubungan antara ayat yang satu dengan lainnya.
2.      Tidak bisa menafsirkan seluruh al-Qur’an, karena ada beberapa ayat yang hanya bisa ditafsirkan secara tahlili saja.
3.      Pada satu ayat terkadang mengandung beberapa pesan, yang diantaranya tidak ada kaitannya dengan topik yang dibahas.
4.      Para pakar yang mendukung metode ini menyebutkan satu syarat yang sulit dilakukan, yakni urutan turunnya ayat-ayat yang dihimpun, karena jarang ditemukan keterangan yang pasti.[27]
d.)     Beberapa karya tafsir maudhu’i[28]
1.      Al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas Muhammad al-‘Aqqad.
2.      Riba fi al-Qur’an karya Abu A’la al-Maududi.
3.      Tafsir Surat Yasin karya Dr. Ali Hasan al-‘Aridh.
4.      Tafsir Surat al-Fatihah karya Ahmad sayyid al-kumi.
C.    KESIMPULAN
Tafsir dalam segi metodenya dikelompokkan menjadi empat metode, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhu’i. Adapun pengertian metode tahlili adalah metode tafsir dengan cara merinci dan luas, metode ijmali adalah metode tafsir dengan cara penafsiran yang global, metode muqaran merupakan metode penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan analog (perbandinagan), metode maudhu’i merupakan metode penafsiran Al-Qur’an dengan mengumpulkan beberapa ayat Al-Qur’an yang membahas satu tema yang sama. Adapun pada setiap metode itu mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing.Dan para mufassir berhak memilih untuk menggunakan metode yang mereka kehendaki.






















DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. (2016): Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali Al-Shabuni, RAUSYAN FIKR, Volume 12, Nomor 1, hlm. 42.
Amin Suma, Muhammad. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Amin,Muhammad.2001.Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2.Jakarta:Pustaka Firdaus.Baidan. Nashruddin. 1998.Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kholis, Nur.Pengantar Studi Al-Quur’an dan Al-Hadits (Yogyakarta:Teras, 2008).
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung. CV Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
Effendi, Nur, dkk.2016. Studi Al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah secara Lebih Integral dan Komprehensif. Yogyakarta: Kalimedia.
Faizal, A. (2017): Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan Al-Qur’an Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM, Volume 11, hlm. 246.
Kusmana, dkk.2004. Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah dan Wacana Kajian. Jakarta: PT Pustaka Al-Husna.
M. Sja’roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I, edisi 12, (Oktober 2014).
Nor Ichwan, Muhammad. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya.
Sanaky, Hujair. “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid, edisi 18 (2008).
Tim Forum Karya Ilmiah (Refleksi Anak Muda Pesantren), dkk. 2013. Al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. Kediri: lirboyo Press.
Wijaya, Idmar. “Tafsir Muqarran”, Jurnal Universitas Islam Muhammadiyah Palembang.
Yusuf, M. Yunun. ”Metode Penafsiran Al-Qur’an: Tinjauan atas penafsiran Al-Qur’an secara tematik”, Syamil, VL 2 No. 1, (2014)

Catatan:
1.      Similarity 29%.
2.      Masak pendahuluan ditulis seperti itu?
3.      Mengapa ada kata pembahasan? Format makalah ini belum sesuai dengan istruksi saya di kelas.
4.      Mengapa ada metode yang tidak ada contohnya?
5.      Pembuatan footnote dan daftar pustaka tolong disinkronkan.

























[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), dkk. Al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. Kediri. Lirboyo Press. 2013, hlm 187-189
[2] Rosihon Anwar.Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung. CV Pustaka Setia.2000, hlm. 141-143

[3] Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta. Pustaka Firdaus. 2001, hlm. 110
[4]Kusmana, dkk.Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah, dan Wacana Kajian. Jakarta. PT Pustaka Al-Husna Baru.2004, hlm. 150
[5]Faizal Amin, Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan Al-Qur’an Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM,  Volume 11,  Nomor 1, Juni 2017, hlm. 246.
[6]Faizal Amin, Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan Al-Qur’an Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM,  Volume 11,  Nomor 1, Juni 2017, hlm. 258-259.
[7]Kusmana, dkk.Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah, dan Wacana Kajian. Jakarta. PT Pustaka Al-Husna Baru.2004, hlm. 151
[8] Rosihon Anwar. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung. CV Pustaka Setia.2009, hlm. 156
[9] Ali Aljufri, Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali Al-Shabuni. RAUSYAN FIKR, Volume.12, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 42
[10] Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya. 2001, hlm. 265
[11] Nur Efendi,dkk. Studi Al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah secara Lebih Integral dan Komprehensif.Yogyakarta.Kalimedia.2016, hlm. 315
[12] Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya. 2001, hlm. 265
[13]Muhammad Amin, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta:Pustaka Firdaus,2001)hal. 115-116.
[14]Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998). Hal. 65-67.
[15]M. Yunun Yusuf, ”Metode Penafsiran Al-Qur’an: Tinjauan atas penafsiran Al-Qur’an secara tematik”, Syamil, VL 2 No. 1, (2014), hal.61.
[16]Op.cit, hal. 69-71
[17]Ibid. hal. 71-72
[18]Idmar Wijaya, “Tafsir Muqarran”, Jurnal Universitas Islam Muhammadiyah Palembang., hal. 7-8.
[19]Nasruddin Baidan, hal. 94-100 dalam Idmar Wijaya, Tafsir Muqaran, jurnal Universitas Muhammadiyah Palembang.Hal. 9.
[20]Op.cit, hal. 8-10.
[21]Ibid, hal.10-11.
[22]Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid, edisi 18 (2008), hal. 279.
[23]Lop.cit.
[24]Nashruddin Baidhan, Ibid, hal. 151.
[25]M. Sja’roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I, edisi 12, (Oktober 2014), hal.3.
[26]Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Quur’an dan Al-Hadits (Yogyakarta:Teras, 2008), hal. 158-159.
[27]Ibid hal. 159.,
[28]Ibid, hal. 160.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar