Metode-Metode
Tafsir: macam-macam metode tafsir (tahlili, ijmali, muqaran, dan maudhui),
contoh masing-masing metode tafsir, kekurangan dan kelebihan masing-masing
metode
Ainaus
Sa’diyah
UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, Jl. Gajayana No. 50 Malang
Email:
ainaussadiyah@gmail.com
Sayyidah
Ayu Maziyyah
UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang, Jl. Gajayana No. 50 Malang
Email:
sayyidahayu.uinmalang@gmail.com
الملخص
يناقش
هذا المقالة أنواع مختلفة من أساليب تفسير. الطريقة هي الطريقة أو المسار المستخدم
لتحقيق هدف. في هذه الأثناء ، التفسير هو المعرفة المستخدمة لتفسير وفهم نوايا
ومحتوى القرآن. اذا فإن طريقة التفسير هي طريقة أو طريقة لتفسير وفهم نية ومحتوى
القرآن. أما التفسير في وجهة الطريق لها طرق˛ هم التحليلي˛ إجمالي˛ مقارن˛ موضوعي.
طريقة التحليلي هي طريقة بالتحليل. طريقة الإجمالي هي طريقة عالمي. طريقة المقاران
هي طريقة بالمقارنة. طريقة الموضوعي هي طريقة بدون ساحق. وكل طرق لها فضيلة و
ضعيفة.
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang macam-macam metode tafsir. Adapun metode adalah cara atau
jalan yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan, tafsir adalah
ilmu yang digunakan untuk menafsirkan dan memahami maksud dan isi
Al-Qur’an. Jadi metode tafsir adalah cara atau jalan bagaimana menafsirkan dan
memahami maksud dan isi Al-Qur’an. Adapun tafsir dalam segi metodenya itu
mempunyai beberapa metode yang dapat
dikelompokkan menjadi empat metode, yaitu Tahlili, Ijmali, Muqaran, dan
Maudhu’i. Metode Tahlili merupakan metode analisis.Metode ijmali merupakan
metode global.Metode muqaran merupakan metode perbandingan.Metode maudhu’I
merupakan metode tematik.Dan pada setiap metode juga mempunyai kelemahan dan
kelebihan yang dimiliki.
Kata
Kunci: Tafsir,
Macam-Macam Tafsir, Kelemahan dan Kelebihan
A.
PENDAHULUAN
Pengertian
Tafsir
1.
Pengertian Tafsir Secara Bahasa
katatafsirmerupakan isim masdar dari lafadz fassara-yufassiru-tafsiran, yang mana
lafad tafsiran disini berarti keterangan, penjelasan, atau uraian.
Dalam pengertian bahasa menurut al-Jurnaini bahwa kata tafsir adalah al-kasyf
wa al-izhar yang berarti membuka (meniyingkap atau mengungkapkan) dan
menampakkan.
Berdasarkan bahasa, pengertian tafsir tidak dapat terlepas dari
kandungan makna al-bayan (menerangkan), al-kasyf (mengungkapkan),
al-idzhar (menampakkan), al-ibaanah (menjelaskan)
Mengenai arti dari kata tafsir, kata tersebut merupakan kata yang
tidak asing dalam bahasa Arab.Meskipun demikian, terdapat beberapa pandangan
atau perbedaan oleh beberapa pakar bahasa Arab dalam mengenai asal muasal dari
kata tafsir.Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat-pendapat mereka mengenai
arti kata tersebut.Berikut ini adalah beberapa pendapat mengenai arti kata tafsir menurut
para ulama’ tafsir[1]:
a. Kata tafsir berasal dari kata al-tafsirah (التفسيرة), yang memiliki arti
sebuah riset yang dilakukan oleh seorang dokter pada urine pasien untuk
mengetahui penyakitnya. Hal ini disamakan dengan seseorang yang menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan meneliti dan mengamatinya untuk bisa mengeluarkan dan
mengambil makna dan hukum yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Pendapat ini
dikemukakan oleh al-Zarkasyi dan Shadiq Hasan Khin. Akan tetapi, di
dalam
bebarapa kamus bahasa Arab, arti kata seperti ini juga
ditunjukkan oleh kata al-fasr (الفسر).
b. Kata tafsir merupakan turunan kata dari kata al-fasr (الفسر) yang mengikuti kata
taf’il (تفعيل). Pendapat ini lebih dipilih
oleh beberapa ulama, diantaranya Abû Hayyận, Ibnu Fậris, al-Azhari dan al-Suyûthi.
c. Kata tafsir diambil dari ungkapan orang Arab: fassartu al-faras (فسّرت الفرس), yang berarti saya
melepaskan kuda. Hal ini dianolgikakan kepada seorang penafsir yang melepaskan
seluruh kemampuan berpikirnya untuk bisa mengurai makna ayat al-Qur’an yang
tersebunyi dibalik teks dan sulit dipahami.
d. Kata tafsir juga dipahami oleh sebagian ulama sebagai sebuah kata yang
susunan hurufnya dibalik dari asalnya. Hal ini berkaca pada ungkapan orang Arab
yang mengatakan safarat al-mar’ah (سفرت المرأة), yang berarti
terbukanya cadar seorang perempuan. Dari ungkapan ini, sebagian ulama
berkesimpulan bahwa kata al-tafsir berasal dari kata al-tafsir(التفسير) yang disamakan dan
dianolgikan dengan kata jadzab (جذب) dan dari kata
sha’iqa (صعق) dengan kata shaqi’a (صقع).
e. Pendapat terakhir mengatakan bahwa kata tafsir berasal dari ungkapan orang
Arab yang berbunyi: fusirat al-nauroh(فسّرت النورة), yang memiliki makna
memercikkan air pada kapur terurai. Pendapat ini didukung oleh al-Thûfi.
Dari kelima pendapat di atas, tiga pendapat
pertama memiliki kedekatan makna.Sedangkan pendapat yang dianggap kuat adalah
pendapat kedua.Pendapat yang ke empat merupakan pendapat yang lemah dan
pendapat yang terakhir adalah pendapat paling lemah.
2. Pengertian Tafsir Secara Istilah
Adapun mengenai pengertian tafsir berdasarkan
istilah, para ulama’ mengemukakan dengan redaksi yang berbeda-beda[2].
a. Menurut Al-Kilabi dalam At-Tashil:
التَّفْسِيْرُ شَرْحُ القُرْآنِ وَبَيَانُ مَعْنَاهُ
وَالإِفْصَاحُ بِمَا يَقْضِيْهِ بِنَصِّهِ أَوْ إِشَارَتِهِ أَوْ نَحْوًا.
Artinya:
“Tafsir adalah menjelaskan Al-Qur’an, menerangkan
maknanya, dan menjelaskan apa yang dikehendaki nash, isyarat, atau tujuan-nya.”
b. Menurut Syekh Al-Jazairi dalam shahih At-Taujih:
التَّفْسِيْرُ فِيْ الحَقِيْقَةِ إِنَّمَا هُوَ شَرْحُ
الَّلفْظِ المُسْتَلِّفِ عِنْدَ السَّامِعِ بِمَا هُوِ أَفْصَحُ عِنْدَهُ بِمَا
يُرَادِفُهُ أَوْ يُقَارِبُهُ أَوْلَهُ دِلَالَةٌ عَلَيْهِ بِإِحْدَى طُرُقِ
الدِّلَالَةِ.
Artinya:
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan kata yang
sukar dipahami oleh pendengar sehingga berusaha mengemukakan sinonimnya atau
makna yang mendekatinya, atau dengan jalan mengemukakan salah satu
dilalah-nya.”
c. Menurut Abu Hayyan
التَّفْسِيْرُ فِيْ الإِصْطِلَاحِ عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنْ
كَيْفِيَّةِ النُّطْقِ بِأَلْفَاظِ القُرْآنِ وَمَدْلُوْلَاتِهَا وَأَحْكَامِهَا
الإِفْرَادِيَّةِ وَالتَّرْكِيبِيَّةِ وَمَعَانِيْهَا الَّتِيْ تَحْمِلُ عَلَيْهَا
حَالَةُ التَّرْكِيْبِ.
Artinya:
“Tafsir adalah ilmu mengenai cara pengucapan kata-kata
Al-Qur’an serta cara mengungkapkan petunjuk, kandungan–kandungan hukum, dan
makna-makna yang terkandung di dalamnya.”
d. Menurut Az-Zarkasyi
عِلْمٌ يُفْهَمُ بِهِ كِتَابِ اللهِ المُنَزَّلُ عَلَى
نَبِيِهِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَبَيَانُ مَعَانِيْهِ وَاسْتِخْرَاجُ
أَحْكَامِهِ وَحِكَمِهِ.
Artinya:
“Tafsir adalah
ilmu yang digunakan untuk memahami dan menjelaskan makna-makna kitab
Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muahmmad SAW, serta menyimpulkan
kandungan-kandungan hukum dan hikmahnya.”
B. PEMBAHASAN
Metode-Metode Tafsir
Kata metode secara epistimologi berasal dari dua bahasa yang termasuk dari
kata serapan. Yang mana dari dua bahasa tersebut adalah bahasa Yunani dan
bahasa Inggris.Adapun kata metode dari bahasa Yunani adalah methodos,
sedangkan kata metode dari bahasa Inggris adalah method.
Adapun secara etimologi yang berasal dari
bahasa Yunani yaitu methodos, berasal dari dua kata, yaitu meta dan hodos,
yang mana kata meta berarti melalui,
mengikuti, menuju. Sedangkan kata hodos berarti
cara-cara, berjalan. Jadi, metode dapat diartikan dengan jalan menuju atau cara-cara.
Adapun kata metode yang berasal dari bahasa
Yunani yaitu methodos sering digunakan untuk uraian ilmiah, hipotesa ilmiah,
pengertian penelitian, dan metode ilmiah. Sedangkan kata yang bisa disamakan
dengan bahasa lain adalah bahasa Arab, yaitu manhaj dan thoriqoh.
Secara etimologi kata manhaj adalah bentuk mufrod dari kata manāhij, yang
berarti metode, cara, prosedur, jalan, program, acara. Sama halnya dengan
pengertian manhaj, kata thōriqoh adalah bentuk mufrod dari kata thorōiq, yang
secara etimologi berarti jalan, metode, prosedur, teknik, proses, cara, gaya,
mode, sarana.
Dalam metode penafsiran Al-Qur’an terdapat
beberapa metode yang umum digunakan oleh ulama’ tafsir. Dalam metode tafsir
yang sering digunakan oleh mereka, ada yang bersifat global dan universal, akan
tetapi ada juga yang menggunakannya dengan cara perbandingan (komparasi). Dan
adapula yang menggunakannya dengan cara sistematis. Mengenai macam-macam metode
tafsir, sebagian ulama’ tafsir salah satunya Abd al-Hayy al-Farmawi menjelaskan
bahwa metode tafsir ada empat macam metode penafsiran Al-Qur’an, antara lain
yaitu metode tahlili, ijmali, muqoron, maudhu’i.
1. Al-Manhaj At-Tahlili (Metode Tahlili)
a. Pengertian
Menurut bahasa arab, kata tahlili merupakan
isim masdar dari lafadz hallala-yuhalillu-tahlil (حَلَّلَ˗يُحَلِّلُ˗تَحْلِيْلًا) yang berarti meneliti, menganalisa, menguraikan,
memisahkan, memerinci, yang kemudian ditambah dengan huruf ya’, dan huruf ya’
disini adalah ya nisbah yang berfungsi untuk mengubah kata isim menjadi kata
sifat, karena tarkib wasfi atau na’at man’ut tidak disusun dari dua bentuk
kalimat isim.
Secara harfiah, al-tahlili (التحليلي) berarti menjadi
lepas atau terurai. Yang dimaksud dengan al-tafsir al-tahlili ialah metode
penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan
uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan mengikuti
tertib susunan/urutan-
urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu sendiri
dengan sedikit-banyak melakukan analisis di dalamnya.[3]
Metode ini bisa dikatakan dengan metode
tajzi’i, yang mana metode tajzi’i adalah merupakan salah satu metode tafsir
yang menguraikan dan menerangkan kandungan-kandungan dari ayat-ayat Al-Qur’an
dari berbagai segi, dengan memperhatikan urutan ayat-ayat Al-Qur’an sebagaimana
yang tertulis didalam Al-Qur’an. Metode ini secara umum dimulai dengan
menerangkan arti kosa kata pada tiap-tiap ayat, kemudian diungkapkan secara global
mengenai penjelasan arti pada ayat-ayat tersebut, setelah diterangkan dan
diuraikan secara rinci mengenai arti pada ayat-ayat tersebut dan kesesuaian
ayat-ayat nya, kemudian menjelaskan hubungan maksud dari ayat-ayat tersebut
satu sama lain, sebab-sebab turunya (asbabun nuzul), bukti dalil-dalil
yang bersal dari Rasulullah SAW (hadits atau sunnah), pendapat dari para sahabat Rasululloh, pendapat dari
para tabi’in yang terkadang terjadi percampuran dengan pendapat penafsiran
mereka sendiri.
Dalam metode ini pula terkadang menyertakan
perkembangan kebudayaan pada generasi Nabi sampai tabi’in, dan terkadang juga
berisikan penjelasan-penjelasan dan materi-materi yang khusus yang maksud dari
itu semua guna untuk memahami Al-Qur’an yang mulia ini.
Menurut ‘Ali Hasan al-‘Arid, tafsir tahlili
adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, yang
diuraikan kosa kata dan lafadznya, kemudian diungkapkan arti yang dikehendaki,
sasaran penafsiran yang dituju, serta kandungan ayat-ayatnya yang meliputi
unsur kemukjizatan, balaghah, dan keindahan susunan kalimatnya. Kemudian
dijelaskan apa yang ditetapkan hukumnya (istinbat) dari ayat-ayat tersebut
seperti hukum fiqih, dalil-dalil syari’at, akidah, akhlak, teori ilmiah yang
sesuai, dan sebagainya.[4]
Menurut M. Quraish Shihab, metode tafsir
tahlili adalah satu metode tafsir dimana para mufassir mengkaji dan menjelaskan
ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai segi dan maknanya, sesuai dengan pandangan,
kecenderungan dan
keinginan mufassir nya, menafsirkan secara runtut
sesuai dengan ayat demi ayat dan surat demi surat, sesuai dengan urutan dalam
mushaf Al-Qur’an.[5]
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa
metode tafsir tahlili adalah metode tafsir yang penafsirannya dengan cara
menafsirkan ayat secara berurutan, mulai dari ayat pertama surat al-Fatihah
sampai ayat terakhir surat an-Nas,
berurutan ayat dan surat surat nya berdasarkan urutan ayat dan surat
dalam mushaf utsmani.
b. Karakteristik Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode tafsir ini terdapat tiga
karakterisitik utama yang dapat dijadikan penilaian terhadap suatu kitab tafsir
yang dapat masuk dalam kategori tafsir tahlili.
Pertama, ulama’ tafsir menguraikan makna
yang terkandung dalam Al-Qur’an dari berbagai aspek penafsiran, seperti arti
kosakata dari tiap-tiap lafadz, gagasan dalam ayat tersebut, asbabun nuzulnya,
hubungan keterkaitan antar ayat baik sebelum dan sesudahnya, serta
pendapat-pendapat mengenai penjelasan ayat tersebut baik dari Nabi Muhammad
SAW, para sohabat, para tabi’in, maupun bersumber dari kitab lainnya.
Kedua, ulama’ tafsir menafsirkan ayat demi
ayat secara berurutan mulai dari ayat pertama surat al-Fatihah sampai ayat
terakhir surat an-Nas.
Ketiga, metode ini merupakan sebuah
prosedur kerja, dalam artian bahwa metode ini mempunyai langkah-langkah dalam
penafsirannya. Ulama’ tafsir lazimnya menggunakan lima langkah dalam penggunaan
metode ini: (1) menerangkan hubungan ayat satu dengan ayat yang lainnya dan
surat satu dengan surat lainnya, (2) menjelaskan asbabun nuzulnya, (3)
menganalisis kosa kata bahasa arab dalam setiap ayat yang dan ditafsirkan, (4)
menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat yang akan ditafsirkan dengan
menggunakan keterangan baik yang terdapat dalam hadits, ayat-ayat lainnya,
penalaran rasional atau teori, maupun dari disiplin ilmu lainnya, (5) menarik
kesimpulan dari ayat yang berkenaan mengenai hukum dari suatu permasalahan.
Dan begitupula seorang mufassir dalam
menggunakan metode ini dengan menganalisis setiap lafal atau kosa kata
(mufrodat) dari segi bahasa dan makna.Adapun analisis dari segi bahasa meliputi
keindahan susunan kalimatnya, badi’, i’jaz, bayan, haqiqat, ma’ani, kinayah,
majaz, isti’arah, dan lain sebagainya.
c. Kritik Mengenai Metode Tafsir Tahlili
1. Kelebihan dari Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode ini terdapat lima kelebihan
didalamnya. Pertama, metode ini banyak digunakan oleh ulama’ tafsir.Kedua,
penafsirannya dapat terselesaikan secara tuntas dan jelas.Ketiga, memiliki
ruang lingkup yang cukup luas.Keempat, memuat banyak berbagai macam ide dan
gagasan, karena dalam metode ini memeberikan kesempatan kepada ulama’ tafsir
untuk mencurahkan semua gagasan dan ide mereka.Kelima, memuat berbagai macam
ide dan gagasan ulama’ tafsir.
2. Kelemahan dari Metode Tafsir Tahlili
Dalam metode ini terdapat empat kelemahan
didalamnya. Pertama, metode ini dianggap tidak konsisten karena menjadikan
petunjuk Al-Qur’an tampak parsial atau terpecah-pecah sebab penafsiran yang
dilakukan terhadap suatu ayat berbeda dengan penafsiran ayat-ayat lain yang
sama dengannya.
Kedua, bersifat subyektif atau terbuka,
yang mana keluasan lingkup dari metode ini yang selain menjadi kelebihan, juga
menjadi kekurangan didalamya sebab terbukanya pintu penafsiran yang lebar
terkadang menafsirkan Al-Qur’an dengan keinginan hawa nafsu tanpa memperhatikan
kaidah-kaidah yang berlaku.Sehingga, penafsirannya menjadi kurang tepat dan
maksud dari ayat itu pun berubah.
Ketiga, tidak mampu memberi jawaban dari
persoalan sebuah masalah yang dihadapi, terutama permasalahan yang actual yang
sedang dihadapi oleh umat Islam. Hal tersebut disebabkan dari luasnya ruang
lingkup penafsiran dari metode ini sehingga justru tidak dapat menyelesaikan
satu pokok bahasan, karena seringkali satu pokok bahasan dijelaskan dari segi
atau aspek ayat lainnya
Keempat, masukknya pemikiran israilliyyat
dalam penafsirannya.Hal ini disebabkan karena dalam metode ini tidak membatasi
sumber dan meteri yang digunakan dalam penafsirannya.Sehingga
pemikiran-pemikiran asing bisa masuk kedalamnya.
d. Contoh Metode Tafsir Tahlili
Ketika menguraikan makna ayat yang ditafsirkan,
al-Baydawi memulainya dengan menjelaskan makna kosa kata dan istilah-iatilah
terkait, mejelaskan hubungan satu kata dengan kata yang lain dan tidak jarang
menjelaskan kedudukan kata dalam struktur kata dalam struktur kalimat. Sebagai
contoh adalah penjelasan al-Baydawi ketika menafsirkan QS. Ali Imran (3): 1-2.
(الم ﴿١﴾ الله لا إله إلا الله هوۖالحي القيوم
﴿٢﴾)
(الم ٭الله لا إله إلا هو) إنما فتح الميم في المشهور وكان حقها أن
يوقف عليها حركة الهمزة عليها ليدل على أنها في حكم الثابت˛ لأنها أسقطت للتخفيف
لا للدرج˛ فإن الميم في حكم الوقف كقولهم واحد اثنان بإلقاء حركة الهمزة على الدال
لا لالتقاء الساكنين˛فإنه غير محذور في باب الوقف˛ ولذلك لم تحرك الميم في لام.
وقرىء بكسرها على توهم التحريك لالتقاء الساكنين. وقرأ أبو بكر بسكونها والابتداء
بما بعدها على الأصل. (الحي القيوم) روى أنه عليه الصلاة والسلام قال:
"إن اسم الله الأعظم في ثلاث سور في البقرة الله لا إله إلا الله هو الحي
القيوم˛ وفي آل عمران الله لا إله إلا هو الحي القيوم˛ وفي طه وعنت الوجوه للحي
القيوم".
Al-Baydawi memulai penjelasan dengan menguraikan cara
membaca tulisan huruf muqatta’ah yakni alif-lam-mim dan perpedaan ulama dalam
membacanya. Kata berikutnya yang dijelaskan oleh al-Baydawi adalah al-hayyu
al-qayyum dengan mengutip riwayat atau hadits yang menjelaskan bahwa kalimat
Allah la ilaha illa huw al-hayyu al-qayyum hanya terdapat dalam surat
Al-Baqarah, surat Ali-Imran, dan surat Taha sampai disini jelas bahwa
al-Baydawi menjadikan cara membaca teks Al-Qur’an sebagai salah dasar dalam
penafsirannya.[6]
2. Al-Manhaj Al-Ijmali (Metode
Ijmali)
a. Pengertian
Secara etimologi ijmali berasal dari
kata jamala dan ajmalayang artinya mengumpulkan atau menghimpun.
Metode tafsir ijmali adalah suatu cara interpretasi terhadap ayat-ayat
Al-Qur’an dengan menghimpun beberapa ayat sesuai dengan urutan-urutan mushaf
atau satu surat dan kemudian ditafsirkan pokok-pokok kandungan ayat-ayat yang
dihimpun atau satu surat tersebut secara umum atau global.[7]
Secara lughowi, kata ijmali berasal dari
bahasa Arab yang berarti umum, keseluruhan, total, merata. Dengan demikian,
metode tafsir ijmali adalah metode tafsir yang penafsirannya dilakukan dengan
cara menjelasakan atau mengemukakan isi kandungan Al-Qur’an dengan pembahasan
yang bersifat umum (global), tanpa
adanya uraian yang merinci terlebih lagi pembahasan yang luas dan panjang atau
bisa dikatakan dengan metode yang dilakukan oleh mufassir dalam menfasirkan
Al-Qur’an secara umum (global) atau singkat.
Dalam metode ini, mufassir menjelaskan
makna-makna pada setiap ayat Al-Qur’an dengan penjelasan yang singkat dan mudah
dipahami. Dengan kata lain, dalam metode ini hanya menafsirkan ayat Al-Qur’an
tanpa adanya tambahan pembahasan yang lebih luas dan gaya bahasa penafsirannya
tidah jauh berbeda dengan bahasa Al-Qur’an, sehingga membaca tafsiran yang
menggunakan metode tafsir ini tidak jauh beda atau selayaknya dengan membaca
Al-Qur’an.
Ketika menggunakan metode ini, para
mufassir menjelaskan Al-Qur’an dengan bantuan sebab turun ayat (asbabun nuzul),
peristiwa sejarah, hadits nabi, atau pendapat ulama’ saleh.[8]
b. Karakteristik Metode Tafsir Ijmali
Dalam metode tafsir ini terdapat beberapa
karakterisitik yang dapat dijadikan penilaian terhadap suatu kitab tafsir yang
dapat masuk dalam kategori tafsir ijmali.
1. Urutan penafsirannya sesuai dan sama dengan urutan Al-Qur’an
2. Mufassir menafsirkan ayat Al-Qur’an tanpa adanya perbandingan ayat
3. Ruang lingkupnya tidak luas sehingga mufassir sedikit meberikan pendapat dan idenya
4. Mufassir tidak menafsirkan Al-Qur’an secara rinci, akan tetapi hanya
secara umum
5. Bahasa nya tidak jauh berbeda dengan bahasa Al-qur’an itu sendiri
c. Kritik Mengenai Metode Tafsir Ijmali
1. Kelebihan dari Metode Tafsir Ijmali
Keunggulan metode ini dibanding metode-metode tafsir
yang lainnya terletak pada karakternya yang mudah dimengerti, tidak mengandung
unsur isra’iliyyat, dan lebih mendekati bahasa Al-Qur’an.[9]Dalam
metode ini pula terdapat kelebihan yang salah satunya adalah mudah untuk
digunakan oleh semua lapisan dan jenjang kaum muslimin secara menyeluruh,
karena dalam tafsir ini penafsirannya secara ringkas, padat, dan jelas,
sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan.
2. Kelemahan dari Metode Tafsir Ijmali
Kelemahan dari jenis tafsir ini adalah uaraiannya yang
terlalu singkat dan ringkas, sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat
secara luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas.[10]Dan
kelemahan yang terdapat dalam metode ini pula ialah tidak adanya ruang untuk
mengemukakan pendapat atau analisis sehingga menjadikan petunjuk dalam
Al-Qur’an bersifat parsial.Sehingga hal tersebut menjadikan metode ini jarang
dipakai oleh para mufassir, yang mana mereka lebih suka menggunakan metode yang
lebih baik daripada metode ini.
d. Contoh Metode Tafsir ijmali
Penafsiran yang dilakukan oleh Jalalain
dalam tafsirnya terhadap 5 ayat pertama surat al-Baqarah, tampak tafsirnya
sangat ringkas dan global hingga tidak diberi rincian atau penjelasan yang
memadai. Penafsiran alif lam mim misalnya hanya ditafsiri dengan Allah
Maha Tahu maksudnya. Demikian pula kata al-kitab hanya ditafsiri dengan
yang dibacakan oleh Muhammad.Dan begitu seterusnya, tanpa ada rincian sehingga
penafsiran 5 ayat selesai hanya dalam beberapa baris saja.Sedangkan tafsir
tahlili untuk menjelaskan 5 ayat membutuhkan 7 halaman.[11]
Diantara kitab-kitab tafsir dengan metode
ini adalah[12]:
1. Tafsir al-Jalalaian karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din
al-mahally;
2. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya
Muhammad Farid wajdy;
3. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy Al-Qur’an karya Husanain Muhammad Makhlut;
4. Tafsir Al-Qur’an karya Ibn Abbas, yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady;
5. Al-Tafsir al-Wasith karya Commite Ulama (Produk Lembaga Pengkajian
Universitas Al-Azhar);
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Abd al-Jalil Isa
7. Al-Tafsir al-Mukhtasar karya Commite Ulama (Produk Majlis Tinggi Urusan
Umat Islam)
A. Metode Tafsir al-Muqaran (Tafsir
Perbandingan)
Al-tafsir al-muqaran ialah tafsir
yang dilakukan dengan cara membandingkan ayat al-Qur’an (analog) yang
memiliki redaksi berbeda namun isi kandungannya sama, atau ayat yang memiliki
redaksi mirip namun isi kandungannya berlainan, dan juga menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an yang sekilas tampak berlawanan dengan al-hadis, padahal hakikatnya
sama sekali tidak berlainan.[13]Tafsir
al-Qur’an dengan menggunakan metode ini memiliki cakupan yang sangat luas
termasuk juga membandingkan pendapat para mufasir dalam menafsirkan suatu ayat.
Tentunya setiap aspek memiliki
ruang lingkup yang berbeda, ada yang berhubungan dengan kajian redaksi serta
kaitannya dengan konotasi kata atau kalimat yang dikandungnya.Wilayah
pembahasan aspek pertama dan kedua mencakup kajian ayat dengan ayat yang tidak
hanya sebatas pada analisis redaksional (mabahits lafdziyah), melainkan
mencakup perbandingan antar kandungan makna dari masing-masing ayat.Kedua aspek
ini juga membahas perbedaan kasus yang terdapat pada ayat melalui peninjauan
berbagai aspek yang menimbulkan perbedaan, seperti asbab al-nuzul,
pemakaian dan penyusunan kata, serta konteks, situasi, dan kondisi umat ketika
ayat tersebut diturunkan. Adapun aspek ketiga membahas tentang barbagai
pendapat yang dikemukakan sejumlah
mufasir dalam suatu ayat, seta membandingkan berbagai pendapat.[14]
Kitab tafsir yang termasuk kedalam
tafsir muqaran adalah The Qur’an and Its Interpreters, karya Mahmud
Ayyoub. Tafsir ini mencoba membandingkan beberapa tafir dari para mufassir yang
berbeda latar belakang aliran, madzhab dan disiplin ilmunya, seperti Ibnu Araby
(tafsir sufi), Ibnu Katsir (mazhab Syafi’I dan Salafi), Al-Wahidi (tafsir
lughawi), Al-Qurthuby (mazhab Maliki), Al-Zamakhsyari (tafsir mu’tazili),
Al-Razy (tafsir sunni), Al-Qumi dan Al-Thabdil (syi’ah klasik), Thabathaba’I
(Syi’ah modern) dan Sayyid Quthb (ijtima’i).[15]
a.) Ruang Lingkup Metode Muqarran
1. Perbandingan ayat dengan ayat
Dalam aspek
ini dapat dilakukan pembandingan seluruh bagian ayat, baik pemakaian mufradat,
urutan kata, maupun kemiripan redaksi.Dua ayat yang
mirip secara redaksional, yaitu Q. S. Ali-Imran ayat 126 dengan Q. S. Al-Anfal
ayat 10 :
وما جعله الله
الا بشرى لكم ولتطمئن قلوبكم به وما النصر الا من عند الله العزيز الحكيم
Artinya: “Allah tidak
menjadikannya (pemberian bala bantuan itu) melainkan sebagai kabar gembira bagi
kamu, dan agar tenteram hati kamu karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah
bersumber dari Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(Q. S. Ali-Imran:
126)
وما جعله الله الا بشرى ولتطمئن به قلوبكم وما النصر الا من عند الله ان الله
عزيز حكيم
Artinya: “Allah tidak
menjadikan (pemberian bantuan itu)melainkan sebagai kabar gembira dan agar
hatimu karenanya menjadi tenteram. Dan kemenangan itu hanyalah bersumber dari
sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”(Q. S.
Al-Anfal: 10).
Jika
diperhatikan kedua redaksi diatas terlihat mirip, namun didalamnya terdapat
tiga perbedaan yang memebedakan redaksi pertama dan redaksi kedua. Pertama,
pada ayat pertama terdapat lafal ( لكم ) sesudah lafal ( بشرى ), sedangkan pada
ayat kedua tidak dijumpai lafal ( لكم ). Kedua, pada ayat kedua terdapat kalimat
( إن الله
) sesudah kalimat ( من عند الله ).Ketiga, perbedaan dalam pemakaian kata ( به ), pada ayat petama
kata tersebut terletak sesudah lafal ( قلوبكم ), sedangkan ayat kedua terletak sebelum
lafal ( قلوبكم ).[16]
Dilihat dari
sudut historis turun ayat, ayat pertama turun berkenaan dengan perang Uhud.
Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan perang badar. Hal tersebut menunjukkan
bahwa setiap redaksi memiliki kasus yang berbeda, dimana saat itu situasi dan
kondisi yang dihadapi umat islam ketika perang tidaklah sama. Ketika perang
badar kaum muslimin begitu khawatir dikarenakan jumlah pasukan dan perlengkapan
perang yang minim berbanding jauh dengan kekuatan musuh, perang badar juga
merupakan perang besar pertama bagi umat islam sedangkan dalam perang uhud umat
islam berada dalam kondisi yang lebih baik dan lebih kuat, serta mereka
mempunyai pengalaman lebih dalam memerangi orang kafir, sehingga ketika perang
uhud terjadi umat muslim mempunyai kepercayaan diri yang tinggi dalam
berperang.[17]
Pada ayat
kedua tidak ditemukannya lafal ( لكم ) yang mennunjukkan bahwa kegembiraan
tidak hanya dirasakan oleh pasukan perang badar, melainkan dirasakan oleh
seluruh umat muslim, karena kemenangan umat muslim pada perang badar merupakan
tonggak kemenangan umat islam. Dalam surat Al-Anfal lafal ( إن ) menunjukkan
berita yang menggembirakan untuk menunjukkan penekanan dan perhatian besar yang
tertuju pada berita dan janji tersebut, sedangkan dalam surat Ali-Imran, tidak
perlu pemakaian lafal (إن ) sebagai penguat, karena dalam konteks ayat ini tidak memerlukan
perhatian besar. Hal ini disebabkan karena peperangan yang besar sudah pernah
terjadi sebelumnya yakni ketika perang badar, sehingga lafal ( إن ) tidak lagi diperlukan.[18]
2. Perbandingan ayat dan hadits
Hadits yang mampu
dibandingkan dengan ayat al-Qur’an haruslah hadits yang shahih, sedangkan
hadits dhaif tidak perlu dipertimbangkan ayat al-Qur’an karena kedudukannya
yang rendah. Contoh:
a.
Al-Qur’an:
فمكث غير بعيد
فقال أخطت بما لم تحط به وجئتك من سبإ بنبإ يقين. إني وجدت امرأة تملكهم وأوتيت من
كل شيئ ولها عرش عظيم.
Artinya : “Tak lama kemudian burung
hud-hud berkata kepada Nabi Sulaiman:”Saya mengetahui apa yang baginda belum
tahu, saya baru saja datang dari negeri Saba’ membawa berita yang meyakinkan.
Saya bertemu seorang ratu yang memimpin mereka.Seluruh penjuru negeri
mendatangkan sembah kepadanya.Dia mempunyai istana besar.”(Q. S. An-Naml:22-23)
لقد كان لسبإ في
مسكنهم أِية جنتان عن يمين وشمال كلو من رزق ربكم واشكروا له بلدة طيبة ورب غفور
Artinya : “Kaum Saba’ mempunyai dua
kebun yang subur di kiri kanan tempat tinggal mereka (seraya dikatakan pada
mereka), makanlah kalian dari rizki yang dianugerahkan Tuhan, dan bersyukurlah
kepada-Nya. (itulah) sebuah negeri yang aman makmur dan Tuhan Yang Maha Pengampun”.(Q.
S. As-Saba’:15)
b.
Al-Hadits:
ماأفلح قوم ولوا
أمرهم امرأة
Artinya : “Tidak perbah sukses
(beruntung) suatu bangsa yang menyerahkan semua urusan mereka kepada wanita.”(HR.
Bukhari)
Sepintas kedua ayat
al-Qur’an di atas bertentangan dengan teks hadits yang berada dibawahnya.Kedua
ayat al-Qur’an menjelaskan kesuksesan suatu Negara yang dipimpin oleh seorang
perempuan (ratu Balqis), yang mana rakyat di Negeri tersebut begitu tunduk
patuh kepada ratu balqis dan mereka hidup dalam keadaan aman dan makmur.
Sedangkan hadits yang diriwayatkan imam Bukhari berisi tentang sebuah Negara
tidak akan sukses jika dipimpin oleh seorang perempuan. Dapat dilihat dari
pemahaman diatas bahwa perempuan tidak memiliki kedudukan yang seimbang dengan
laki-laki, padahal banyak juga tokoh-tokoh perempuan dunia yang sukses dalam
memimpin suatu Negara seperti pendiri kerajaan Mamluk yakni Syajarat al-Durr
yang memerintah wilayah Afrika Utara sampai Asia Barat (1250-1257)[19].
Pemahaman diatas begitu
kontradiktif, untuk mengkompromikan kedua redaksi diatas memerlukan kepastian
kualifikasi hadits tersebut sedangkan ayat sudah tidak diragukan lagi
kebenarannya.Selain itu juga perlu diketahui asbab al-wurud hadits
tersebut.Dalam hadits diatas, asbab al-wurud-nya adalah ketika Rasulullah
S.A.W. mendengar berita bahwa puteri Raja Persia dinobatkan menjadi ratu
sebagai pengganti dari ayahnya yang telah wafat.Dari asbab al-wurud
diatas, tidak mengherankan jika pemahaman bahwa perempuan kurang bisa memimpin
suatu Negara. Namun jika menggunakan kaidah :
العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب
Maka akan ditemukan pemahaman
lain.
Melalui
analisis kaidah diatas terhadap hadits riwayat imam Bukhari tadi, maka kata إمرأة . قوم ) ) merupakan format nakiroh (tak terbatas), yang berarti
maksud dari kedua lafal tersebut adalah semua kaum, semua perempuan, dan semua
urusan. Sehingga perkiraan terjemahan dari hadits diatas adalah: “Suatu
bangsa tidak pernah memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan
(sepenuhnya kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan kaum pria)”.
Dengan begitu maka tentulah suatu bangsa tidak akan sukses jika setiap urusan
dalam segala bidang hanya ditangani oleh seorang perempuan tanpa melibatkan
laki-laki didalamnya, karenasejatinya laki-laki dan perempuan memiliki
kelebihan dan kekurangan masing-masing yang jika digabungkan akan menjadi suatu
kerja sama yang baik.[20]
3.
Perbandingan
anatar berbagai pendapat mufasir
Dengan
melakukan metode perbandingan ini maka akan diketahui kecenderungan aliran para
mufassir, aliran Ahlu Sunnah, Muktazilah, Syi’ah, dan khawarij begitu juga
dengan keahlian para mufassir. Melalui metode ini mufassir mampu mengetahui
berbagai macam penafsiran al-Qur’an yang telah dilakukan oleh ulama’-ulama’ tafsir
terdahulu. Pada suatu kesempatan Quraish Shihab mempraktikkan metode muqarran
dengan membandingkan pendapat beberapa mufassir seperti pada lafal ( الم ), menurutnya mayoritas ulama abad ketiga
menafsirkannya denagn ungkapan ( الله أعلم ). Nemun setelah itu banyak ulama’ yang
mencoba untuk menggali lebih dalam maknanya. Ada yang memahaminya denagn nama
surat, ada juga yang memaknai sebagai huruf-huruf pembuka surat al-Qur’an.
Quraish juga
menambhakan dengan mengutip pendapat Rasyad Khalifah yang mengatakan bahwa
huruf-huruf tersebut merupakan isyarat mengenai huruf-huruf yang terbanyak
dalam surat-surat al-Qur’an. Namun, Quraish Shihab masih meragukan kebenaran
beberapa pendapat yang dikutipnya sehingga ia mengambil kesimpulan bahwa pendapat
yang menafsirkan ( الم ) dengan ( الله أعلم ) yang masih relevan sampai saat ini.[21]
b.) Kelebihan:
1.
Memberikan
wawasan penafsiran lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan
metode-metode lain.
2.
Membuka
pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita.
3.
Bermanfaat
bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
4.
Mufassir
didorong untuk mengkaji berbagai ayat dan hadits-hadits seta pendapat para
mufassir.[22]
c.) Kelemahan:
1. Tidak dapat digunakan bagi pemula yang
baru mempelajari tafsir karena pembahasan yang dipaparkan terlalu luas dan
kadang ekstrim.
2. Kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan soal yang tumbuh ditengah masyarakat.
3. Metode ini lebih banyak menelusuri
penafsiran-penafsiran yang pernah dilakukanpara ulama daripada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru.[23]
B. Metode Tafsir Al-Maudhu’i (Tematik)
Yang dimaksud metode tematik adalah
membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan.Semua
ayat yang berkaitan, dihimpun, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosakata,
dan sebagainya.Semua dijelaskan secara rinci dan mendalam dengan disertai oleh
fakta-fakta maupun dalil-dalil yang mampu dipertanggungjawabkan.[24]
Definisi tafsir maudhu’I menandakan bahwa mufassir
yang menggunakan metode tematik ini dituntut harus mampu memahamiayat-ayat yang
berkaitan dengan topic yang dibahas, memahami kosa kata ayat dan sinonimnya
yang berhubungan dengan tema.Mufassir mengurutkan ayat sesuai dengan masa
turunnya ayat agar mengetahui perkembangan petunjuk al-Qur’an menyangkut dengan
pesoalan yang dibahas.Untuk mendapatkan keteranagn yang lebih luas mengenai
penjelasan ayat, dapat menagmbil hadits, perkataan para sahabat sebagai
penunjang.[25]
a.) Langkah-langkah Penerapan Metode Tafsir
Maudhu’i
1. Menentukan tema masalah yang akan
dibahas
2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema tersebut
3. Menyusun sekuensial ayat sesuai dengan
kronologis turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul.
4. Memahami munasabah (Korelasi)
ayat-ayat tersebut dalam surah masing-masing.
5. Menyusun kerangka pembahasa yang
sempurna.
6. Melengkapi pembahasan dengan
hadits-hadits yang relevam\.
7. Meneliti ayat-ayat secara keseluruhan
b.)
Kelebihan
1.
Menampilkan topik suatu permasalahan secara utuh tidak bercerai-berai,
sehingga bisa dijadikan tolak ukur untuk mengetahui pandangan-pandangan
al-Qur’an terhadap suatu masalah.
2.
Titik tolak keberangkatan bermula dari kenyataan yang ada di masyarakat dan
berakhir pada al-Qur’an untuk mencari jawabannya.
3.
Mufassir tidak dituntut waktu dan nafas yang panjang karena ia hanya
menyelesaikan topik yang dibahas.[26]
c.) Kekurangan
1.
Kehilangan munasabat atau hubungan antara ayat yang satu dengan
lainnya.
2.
Tidak bisa menafsirkan seluruh al-Qur’an, karena ada beberapa ayat yang
hanya bisa ditafsirkan secara tahlili saja.
3.
Pada satu ayat terkadang mengandung beberapa pesan, yang diantaranya tidak
ada kaitannya dengan topik yang dibahas.
4.
Para pakar yang mendukung metode ini menyebutkan satu syarat yang sulit
dilakukan, yakni urutan turunnya ayat-ayat yang dihimpun, karena jarang
ditemukan keterangan yang pasti.[27]
d.)
Beberapa karya tafsir maudhu’i[28]
1.
Al-Mar’ah fi al-Qur’an karya Abbas
Muhammad al-‘Aqqad.
2.
Riba fi al-Qur’an karya Abu A’la
al-Maududi.
3.
Tafsir Surat Yasin karya Dr. Ali
Hasan al-‘Aridh.
4.
Tafsir Surat al-Fatihah karya
Ahmad sayyid al-kumi.
C. KESIMPULAN
Tafsir dalam segi metodenya
dikelompokkan menjadi empat metode, yaitu metode tahlili, ijmali, muqaran, dan
maudhu’i. Adapun pengertian metode tahlili adalah metode tafsir dengan cara
merinci dan luas, metode ijmali adalah metode tafsir dengan cara penafsiran
yang global, metode muqaran merupakan metode penafsiran Al-Qur’an dengan
menggunakan analog (perbandinagan), metode maudhu’i merupakan metode penafsiran
Al-Qur’an dengan mengumpulkan beberapa ayat Al-Qur’an yang membahas satu tema
yang sama. Adapun pada setiap metode itu mempunyai kelebihan dan kekuarangan masing.Dan
para mufassir berhak memilih untuk menggunakan metode yang mereka kehendaki.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. (2016): Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali
Al-Shabuni, RAUSYAN FIKR, Volume 12, Nomor 1, hlm. 42.
Amin Suma, Muhammad. 2001. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta:
Pustaka Firdaus.
Amin,Muhammad.2001.Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2.Jakarta:Pustaka Firdaus.Baidan.
Nashruddin. 1998.Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Kholis, Nur.Pengantar Studi Al-Quur’an dan Al-Hadits (Yogyakarta:Teras, 2008).
Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS.
Bandung. CV Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon. 2009. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Effendi, Nur, dkk.2016. Studi Al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah
secara Lebih Integral dan Komprehensif. Yogyakarta: Kalimedia.
Faizal, A. (2017): Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan
Al-Qur’an Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM, Volume 11, hlm.
246.
Kusmana, dkk.2004. Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah
dan Wacana Kajian. Jakarta: PT Pustaka Al-Husna.
M. Sja’roni,
“Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I, edisi 12,
(Oktober 2014).
Nor
Ichwan, Muhammad. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya.
Sanaky, Hujair.
“Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak
Mufassirin)”, Al-Mawarid, edisi 18 (2008).
Tim
Forum Karya Ilmiah (Refleksi Anak Muda Pesantren), dkk. 2013. Al-Qur’an Kita;
Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. Kediri: lirboyo Press.
Wijaya, Idmar. “Tafsir Muqarran”, Jurnal Universitas
Islam Muhammadiyah Palembang.
Yusuf, M. Yunun. ”Metode Penafsiran Al-Qur’an: Tinjauan atas penafsiran Al-Qur’an secara
tematik”, Syamil, VL 2 No. 1, (2014)
Catatan:
1.
Similarity 29%.
2.
Masak pendahuluan ditulis seperti itu?
3.
Mengapa ada kata pembahasan? Format makalah ini belum sesuai dengan
istruksi saya di kelas.
4.
Mengapa ada metode yang tidak ada contohnya?
5.
Pembuatan footnote dan daftar pustaka tolong disinkronkan.
[1] Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren), dkk.
Al-Qur’an Kita; Studi Ilmu, Sejarah dan Tafsir Kalamullah. Kediri. Lirboyo
Press. 2013, hlm 187-189
[2] Rosihon Anwar.Ilmu Tafsir Untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung. CV
Pustaka Setia.2000, hlm. 141-143
[3] Muhammad Amin Suma. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2. Jakarta. Pustaka
Firdaus. 2001, hlm. 110
[4]Kusmana, dkk.Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah, dan
Wacana Kajian. Jakarta. PT Pustaka Al-Husna Baru.2004, hlm. 150
[5]Faizal Amin, Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan Al-Qur’an
Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM, Volume 11,
Nomor 1, Juni 2017, hlm. 246.
[6]Faizal Amin, Metode Tafsir Tahlili; Cara menjelaskan Al-Qur’an
Dari Berbagai Segi Berdasarkan Susunan Ayat. KALAM, Volume 11,
Nomor 1, Juni 2017, hlm. 258-259.
[7]Kusmana, dkk.Pengantar Kajian Al-Qur’an; Tema Pokok, Sejarah, dan
Wacana Kajian. Jakarta. PT Pustaka Al-Husna Baru.2004, hlm. 151
[8] Rosihon Anwar. Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung. CV Pustaka
Setia.2009, hlm. 156
[9] Ali Aljufri, Metode Tafsir Al-Wadhi Al-Muyassar Karya M. Ali
Al-Shabuni. RAUSYAN FIKR, Volume.12, Nomor 1, Juni 2016, hlm. 42
[10] Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk
Raya. 2001, hlm. 265
[11] Nur Efendi,dkk. Studi Al-Qur’an; Memahami Wahyu Allah secara Lebih
Integral dan Komprehensif.Yogyakarta.Kalimedia.2016, hlm. 315
[12] Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk
Raya. 2001, hlm. 265
[13]Muhammad
Amin, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an 2 (Jakarta:Pustaka Firdaus,2001)hal.
115-116.
[14]Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1998). Hal. 65-67.
[15]M.
Yunun Yusuf, ”Metode Penafsiran Al-Qur’an: Tinjauan atas penafsiran Al-Qur’an
secara tematik”, Syamil, VL 2 No. 1, (2014), hal.61.
[17]Ibid.
hal. 71-72
[19]Nasruddin
Baidan, hal. 94-100 dalam Idmar Wijaya, Tafsir Muqaran, jurnal
Universitas Muhammadiyah Palembang.Hal. 9.
[21]Ibid, hal.10-11.
[22]Hujair
A. H. Sanaky, “Metode Tafsir (Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin)”, Al-Mawarid, edisi 18 (2008), hal. 279.
[24]Nashruddin
Baidhan, Ibid, hal. 151.
[25]M.
Sja’roni, “Studi Tafsir Tematik”, Jurnal Study Islam Panca Wahana I,
edisi 12, (Oktober 2014), hal.3.
[26]Nur Kholis, Pengantar Studi Al-Quur’an dan Al-Hadits
(Yogyakarta:Teras, 2008), hal. 158-159.
[27]Ibid hal. 159.,
[28]Ibid, hal. 160.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar