Senin, 22 Oktober 2018

Hadis dan Historisitasnya (PAI D Semester Ganil 2018/2019)



Pengertian  Hadis dan Historinya
Oleh
Dyo Alif Pratama(17110090)
Nur Jihan Abidatur Rofifah(17110090)

ABSTRAK
Islam telah mengajarkan kepada kehidupan  manusia yang dinamis, sangat menghargai ilmu pengetahuan termasuk ilmu hadis dengan tujuan memenuhi kebutuhan umat manusia. Seperti dalam hal sosial, hukum persaudaraan, khlak yang mulia.
Para pemalsu hadis telah menodai agama islam dan memasukkan ajaran lain kepada ajaran islam. Mereka mengklaim Hadis-hadis palsu bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Namun Allah SWT telah menjaga ajaran islam dengn cara melahirkn orang-orang yang dapat dipercaya sehingga jara Islam masih tetap terjaga sampai sekarang[1]
Keyword: Pengertian Hadis dan Historisnya

I. PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam sejarah umat islam, Nabi Muhammad SAW menjadi tolak ukur atau cotoh dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, umat islam perlu memahami dan mengerti sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hanya dengan sejarah umat islam dapat menjadikan sumber rujukan untuk memahmi kehidupan Rasulullah SAW. Namun dalam menggali data-data yang falid sejarah tidak berdiri-sendiri melainkan dengan dibantu oleh ilmu-ilmu lain misalny Arkeoogi, Antropologi, Sosiologi, Etnografi dan lain-lain.
Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir yang membawa umat manusia dari zaman jahiliyah kepada zaman yang islamiah.Keberhasilan yang dicapai Nabi itu tidak diraih dengan begitu saja, tetapi perlu kesabaran dan pengorbanan dari beliau sendiri atau dari para sahabatnya. Diutusnya Nabi ke muka bumi tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak. Oleh karena itu beliau memiliki akhlak yang sangat mulia, yang bisa dicontoh oleh semua umat manusia.Untuk menjad insan yang diharapkan Nabi maka kita sudah seharusnya mengejakan sunnah-sunnahnya.

B.  Rumusan Masalah
Untuk menjawab bagaimana Hadis dijadikan sumber sejarah, maka penuis mengemukakan sub masalah:
1.      Apa Pengertian Hadis?
2.      Apa Saja Bentuk-bentuk hadis?
3.      Apa Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Khabar, Atsar?
4.       Bagaimana Sejarah Singkat Perkembangan dan Sistem PembukuanHadis?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadis
Menurut etimologi Hadis berasal dari bahasa Arab, yakni al hadits yang mempunyai jamak hidats, hudutsa, Huduts. Kata tersebut mempunyai tiga arti diantaranya: al jadid (yang baru), qarib (dekat) dan al khabar yang berarti kabar (berita).[2]
Secara terminologi, pengertian hadis dikalangan ulama dirumuskan berbeda-beda.Perbedaan pandangan tersebut disebabkan oleh objek tinjauan masing masing ilmu yang didalaminya.
Ulama hadis mendefinisikan hadis sebagai berikut:
كُلُّ مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقيَّةٍ اُوْ خُلُقِيَّةٍ.
 Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi , baik berupa sabda, perbuatan , sifat-sifat maupun hal ihwal nabi”.[3]
 Menurut ahli ushul fiqih hadis ialah:
كُلُّ مَا صُدِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ غَيْرُ الْقُرْاَنِ.
”Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi . Selain al Alquran Al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi  yang bersangkutan dengan hukum syara”.
Sedangkan pengertian hadis menurut pera Fuqaha adalah:                           
كُلُّ مَا ثُبِتَ عَنِ الَّنبِيِّصَلىَّ الّله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يَكُنْ مِنْ بَابِ الْفَرْضِ وَلَا الْوَاجِبِ.
“Segala sesuatu yang ditetapkan Nabi . Yang tidak bersangkut paut dengan masalah-masalah fardhu atau wajib”.[4]
Sementara kalangan ulama mengartikan hadis bukan hanya berasal dari dari Nabi saja, melainkan dari sahabat dan tabi’in.[5]
B. Bentuk-bentuk hadis
A.       Hadis qouly (perkataan) adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi yang berupa perkataan atau sabdanya, dalam berbagai bidang, misalnya dibidang hokum (syari’at), Aqidah, Akhlaq, Pendidikan dan sebagainya.
Contoh perkataan beliau berkenaan dengan hukum syari’at, yakni:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَلِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai apa yang dia  niatkan.
Contoh sabda Nabi yang berkenaan dengan akhlak, yakni:
ثَلاَثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الْاِيْماَنَ : اَلْاِنْصاَفُ مِنْ نَفْسِهِ, وَبَذْلُ السَّلاَمِ لِلْعاَلِمِ, وَالْاِنْفاَقُ مِنَ الْاِفْتِقَارِ.
“(perhatikan) tiga hal : barangsiapa yang sanggup menghimpunnya, niscaya akan mencakup iman yang sempurna. Yakni: (1) jujur terhadap diri sendiri, (2) mengucapkan salam perdamaian (3) mendermakan apa yang menjadi kebutuhan umum”.
B.       Hadis Fi’li (perbuatan) adalah segala perbuatan yang pernah dilakukan Nabi . Perbuatan tersebut merupakan penjelas yang praktis atas aturan-aturan syariat yang belum jelas tata cara pelaksanaannya. Misalnya cara sholat dan cara menghadap kiblat yang benar dalam melaksanakan sholat sunnah di atas kendaraan yang sedang berjalan, telah dipraktekkan oleh Nabi Muhammad di hadapan para sahabatnya.
Perbuatan (fi’li) beliau yakni yang dapat kita ketahui berdasarkan berita sahabat Jabir r.a , katanya:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَل فَاسْتَقْبَل الْقِبْلَةَ .
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW shalat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau shalat wajib, beliau turun dan shalat menghadap kiblat. (HR. Bukhari)

C.       Hadis taqriri (ketetapan) adalah penilaian Rasulullah yang berupa mendiamkan, tidak mengadakan sanggahan, atau menyetujui terhadap ucapan atau perbuatan yang dilakukan sahabat. Contoh hadis tentang ketetapan Nabi yakni tindakan dari salah seorang sahabat Nabi pada saat acara jamuan makan, menyajikan masakan dari daging biawak dan mempersilahkan kepada Nabi Muhammad dan kepada para tamu untuk memakannya. Beliau menjawab:
(لاَ، وَلَكِنْ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِيْ، فَأَجِدُنِيْ أَعَافُهُ!) قَالَ ‏ ‏خَالِدٌ:‏ ‏فَاجْتَرَرْتُهُ, فَأَكَلْتُهُ, وَرَسُوْلُ اللهِ ‏ ‏صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَنْظُرُ إِلَيَّ. (متفق عليه)
“Nabi menjawab: “tidak, hanya saja (binatang ini) tidak ada di daerah kaumku. Makanlah, karena itu halal”. Khalid berkata: “Segera aku memotongnya dan memakannya, sedangkan Rasulullah menyaksikanku”. (HR. Bukhari-Muslim)
Perbuatan yang dilakukan oleh Khalid dan para sahabat lainnya yang menikmati daging boawak tersebut, yang disaksikan oleh Nabi Muhammad , dikarenakan beliau jijik dengan hewan tersebut, karena hewan tersebut tidak terdapat di kampung beliau.[6]

D.       Hadis Himmah (hasrat) adalah keinginan Nabi Muhammad yang belum terealisasikan.[7], seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a :
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ يَقُوْلُ حِيْنَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوْيَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهُ يَزْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَىفَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَفَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ صُمْنَا يَوْمَ التَّاسِعْ. {رواه أبوداود
Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata, “Ketika Nabi Saw. Berpuasa pada hari Asyura dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata, ‘Ya Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’. Rasul Saw. Kemudian bersabda, ‘Tahun yang akan datang insya Allah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan.” (H.R. Abu Dawud).

C. Perbedaan Hadis, Sunnah, Khabar, Atsar
Hadis
Secara etimologi kata Hadis mempunyai arti: Pertama jadid yang berarti baru. Kedua Qarib yang mempunyai arti dekat.Ketiga Khabar yang mempunyai arti berita.Secara terminologi Hadis adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad , baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat.
Didalam al-Qur’an terdapat ayat yang menggunakan kata Hadis yang artinya adalah Khabar, yakni:
فَلْيَأْتُوا۟ بِحَدِيثٍ مِّثْلِهِۦٓ إِن كَانُوا۟ صَٰدِقِينَ
Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al Quran itu jika mereka orang-orang yang benar.
Sunnah
Sunnah memiliki bentuk jamak yaitu sunan yang secara bahasa memiliki pengertian:”Cara atau jalan yang biasa ditempuh, baik terpuji maupun tercela”. Sedangkan menurut ahli hadis sunnah memiliki pengertian sesuatu yang datangnya dari Nabi Muhamad , baik berupa ucapan, perbuatan, persetujuan, sifat, tingkah laku, perjalanan hidupnya baik sebulum atau sesudah diangkat menjadi Rasul.[8]
Nabi Muhammad bersabda:
من سن سنة حسنة فله اجرها واجر من عمل بها الى يوم القيامة ومن سن سنة سيءة فعليه ووزر من عمل يها الى يوم القيامة.
“Orang yang melakukan Sunnah/jalan yang baik maka baginya pahala atas jalan yang ditempuhnya itu ditambah pahala orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Dan siapa saja yang melakukan sunnah/jalan yang buruk, maka atasnya dosa karena jalan buruk yang ditempuhnya itu ditambah dosa orang-orang yang mengikutinya sampai Hari Kiamat.”
Khabar
Menurut bahasa kata khabar mempunyai arti berita yang disampaikan dari seseorang kepada orang lain. Khabar menurut terminilogi sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad atau dari yang selain Nabi.Khabar lebih umum dari pad hadis, khabar mencangkup semua hal yang berasal dari Nabi Muhammad , dan selainnya, seperti perkataan para sahabat dan tabi’in.[9]
Menurut Ahli Hadis, Khabar berarti:
ما اضيف الى النبي صلى ﷲ عليه وسلم او غيره
“Apa yang berasal dari Nabi Muhammad atau dari yang selainnya.”
Atsar
Atsar secara bahasa berarti bekas sesuatu atau sisa sesuatu. Sebagian ulama mengalami perbedaan pendapat pendapat lain mengatakn bahwa atsar lebih umum dari pada khabar, yaitu atsar berlaku bagi segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad , maupun selainnya termasuk sahabat, tabi’in, dan ulama’.

D.Sejarah singkat perkembangan dan sistem pembukuan hadis nabi
1.         Hadis pada masa nabi
a.        Keadaan hadis pada masa ini belum dibukukan (dituliskan), karena ada sabda dari Nabi yang melarang pembukuan hadis, yakni:
ﻻَ ﺗَﻜْﺘُﺒُﻮْﺍ ﻋَﻨِّﻰ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﺇِﻻَّ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ, ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺘَﺐَ ﻋَﻨِّﻰ ﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻓَﻠْﻴَﻤْﺤُﻪُ.
           “Jangan menulis apa-apa selain Qur’an dari saya, barangsiapa yang menulis apa-apa dari saya selain al-Qur’an (yakni Hadits), hendaklah menghapuskannya.
           Larangan penulisan Hadis ini mempunyai hikmah, antara lain:
1)   Pada waktu itu para sahabat-sahabat Nabi masih banyak yang “ummi” (tidak bisa baca dan tulis), sedang waktu itu al-Qur’an masih turun kepada Nabi, jadi Nabi khawatir kalau para sahabat-sahabatnya nanti bingung dan tidak bisa membedakan Qur’an dan Hadis, sehingga nantinya akan terjadi percampuran antara keduanya.
2)   Nabi percaya atas kekuatan hafalan yang dimiliki oleh para sahabat kemampuan mereka untuk memelihara semua ajaran yang disampaikan oleh Nabi (Hadis) tanpa catatan, dan ini berarti secara tidak langsung Nabi mengajarkan kepada para sahabatnya untuk percaya pada kemampuan diri sendiri :
اَلْاِعْتِمَدُ عَلىَ النَّفْسِ اَساَسُ النَّجاَحِ.
       Artinya : “Percaya atas diri sendiri adalah pangkal kebahagiaan.”
                   Tetapi disamping ada Hadis yang melarang adanya penulisan Hadis, ada juga Hadis yang membolehkan untuk penulisan Hadis, ialah sabda Nabi:
اُكْتُبْ عَنِّى, فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنْ فَمِىْ إِلَّا حَقٌّ.
Hadis ini sebagai jawaban kepada pertnayaan dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Ash tentang penulisan Sunnah-sunnah Nabi.
Dalam mengadapi kedua Hadis diatas yang tampaknya bertentangan, ada beberapa pendapat:
a.    Bahwa Hadis yang melarang penulisan Hadis telah di naskh dengan Hadis yang membolehkan penulisan Hadis (pendapat jumhur).
b.    Bahwa hadis yang melarang itu ditujukan untuk orang yang kuat hafalannya, sedang hadis yang membolehkan penulisan Hadis ditujukan untuk orang yang lemah hafalannya. Pendapat ini tidak tepat, karena berarti menganggap sahabat Abdullah bin ‘Amr adalah sahabat yang lemah halamannya, padahal tidak demikian.
c.    Bahwa yang melarang penulisan Hadis ditujukan untuk orang-orang yang menuliskan al-Qur’an dan Hadis dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur antara keduanya.
2.         Hadis pada masa Khulafaur Rasyidin
Hadis pada masa ini juga belum dibukukan, meskipun pada saat itu Umat Islam sangat memerlukan Hadis disamping al-Qur’an sebagai pedoman untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapinya. Hal ini dikarenakan para sahabat mempunyai dua kemungkinan pendapat:
a.              Hadis hendaknya tidak dibukukan karena dikhawatirkan akan tercampur dengan al-Qur’an, mengingat pada saat itu banyak sekali orang-orang selain arab dari berbagai bangsa yang masuk Islam dan belum terlalu menguasai Bahasa Arab.
b.              Hadis harus segera dibukukan guna untuk memelihara ajaran-ajaran Nabi dan supaya dapat memudahkan umat Islam untuk mencari Hadis-hadis Nabi apabila sewaktu-waktu membutuhkannya.
Tampaknya umat Islam pada waktu itu memilih pendapat yang pertama karena upaya untuk mencegah kemudhorotan.
سَذُّ الذَّرِيْعَةِ
Ada suatu kaidah fiqhiyyah yang sesuai dengan sikap para sahabat tentang pendirian dalam penulisan Hadis ini, yaitu:
دَرْءُ الْمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Artinya:”menghindari bahaya (resiko) didahulukan dari pada mencari kemaslahatannya”.
Kaidah ini berlaku jika resikonya lebih besar dari pada maslahatnya.
Penyampaian hadis pada amasa ini dilakukan dengan lisan dan memang jika benar-benar dibutuhkan saja, yaitu jika umat islam menghadapi suatu masalah yang penjelasan hukumnya menurut hadis. Hal ini disebabkan karena khalifah Abu Bakar dan Umar yang menyuruh umat islam agar membatasi hadis. Kedua khalifah ini hanya menerima hadis yang disampaikan oleh perorangan.Bahkan Ali hanya mau menerima Hadis dari perorangan jika orang tersebut disumpah.Kecuali jika yang menyampaikan hadis tersebut orang yang dapat dipercaya maka khalifah tidak menggunakan saksi atau sumpah dahulu.
3. Mulai habisnya Pemerintahan Al- Khulafa’ ‘Ar-Rasyidun sampai akhir abad I H. atau mulai tahun 41H sampai tahun 100 H.
Pada masa ini umat islam mengaami perpecahan yang diakibatkan karena soal khilafah/pemerintahan/politik.sehingga terjadi perang antara Ali dan Muawiyah yang mengakibatkan banyak korban dikalangan muslim sendiri. Perang saudara ini berakhir ketika peperangan Shiffin sebagai akibat permintaan damai dan musyawarah dalam khilafah dari pihak Muawiyah sebagai taktik untuk menghancurkan kekuasaan Ali as. Untuk menjaga persatuan umat islam khalifah Ali menerima permintaan perdamaian dari Muawiyah. Yang akhirnya mnyebabkan umat islam mengalami perpecahan menjad tiga golongan yaitu khawarij, Syiah, jumhur.
Untuk mencapai tujuan politiknya dan untuk memperoleh dukungan dari umat islam ketiga golongan tersebut tidak segan-segan membuat hadis-hadis palsu (Hadis Mdlu’).
Ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in pada waktu itu tidak tinggal diam dalam menghadapipemalsuan hadis.mereka berusaha menjaga kemurnian hadis dengan cara mengadakan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengecek kebenaran hadis yang sampai kepadanya. mereka sangat hati-hati dalam menyampaikan hadis-hadis Nabi. kemudian hasil penelitiannya disampaikan kepada umat dengan meneragkan nilai hadisnya dan perawinya secara terus terang agar umat mengetahui hadis yang shahih dan mana yang tidak, mana perawi yang dapat diterima dan mana yang tidak.
Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Tahun 99-101 H). Beliau menganggap perlunya diadakan pembukuan Hadis-hadis Nabi, karena beliau kuatir jika tidak diadakan pembukuan Hadis maka ajaran-ajaran Nabi akan lenyap, karena disebabkan banyak sahabat dan tabi’in yang telah wafat. Beliau mengintruksikan kepada seluruh Gubernur agar menghimpun dan menulis hadis-hadis Nabi SAW. Sistem yang digunakan dalam pembukuan hadis pada masa ini pengarang menghimpun Hadis-hadis yang mengenai masalah yang sama dalam satu karangan.[10]

III. PENUTUP
A.  Kesimpulan
Kita patut bersyukur kepada Allah SWT kerena telah menciptakan sahabat dan ulama’ yang memiliki perhatian besar terhadap keberadaan hadis Nabi Muhammad SAW.Kehadiran beliau telah menyelamatkan hadis yang shahih, untuk dijadikan pedoman yang kedua setelah Al Quran.Berkat beliau jugu kita dapat mengetahui langsung hadis-hadis yang telah dibukukan, pembukuan atau penulisan hadis dimulai pada zaman Umar bi Abdul Aziz.
Tidak dipungkiri juga adanya perbedaan hadis mengakibatkan pemahaman yang perbeda mengenai praktek ibadah. Tapi perlu dimengerti bahwa dengan adanya perbedaan umat islam dapat menjadi semakin dewasa dalam menyikapi problematika yang muncul pada umat Islam sendiri.










DAFTAR PUSTAKA
Mudasir, Ulumul Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, 2005)
Dimyati Ayat, Teori Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, 2016
Rahman Fathur, Musthalahul Hadis,(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974)
Suparta Munzier, Ilmu Hadis,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Zuhdi Masjfuk, Ilmu Hadis,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976)
Nata Abbudin, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008)
Haif Abu, Hadis Sebagai Sumber Sejarah,Jurnal Rihlah Volume IV No. 1/2016
Majid Abdul Khon, Ulumul Hadits,(Jakarta: Amzah, 2010)
Sya’roni Usman, Otentitas Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002)
Kaeruman Badri, Ulum Al-Hadis,(Bandung: Pustaka Setia,  2010)

Catatan:
Similarity 18%, akan tetapi format makalah ini tidak seperti instruksi saya di awal. Saya KECEWA.








[1] Abbudin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008) h.1.
[2] Abu Haif, Hadis Sebagai Sumber Sejarah,Jurnal Rihlah Volume IV No. 1/2016
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits,(Jakarta: Amzah, 2010) h.6.
[4] Usman Sya’roni, Otentitas Hadis,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002) h. 2-3
[5] Badri Kaeruman, Ulum Al-Hadis,(Bandung: Pustaka Setia,  2010) h. 60-62.
[6]Ayat Dimyati, Teori Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, 2016) h 198
[7]Fathur Rahman, Musthalahul Hadis,(Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974)
[8] Munzier Suparta, Ilmu Hadis,(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006)
[9] Mudasir, Ilmu Hadis,(Bandung: Pustaka Setia, 2005)
[10] Masjfuk Zuhdi, Ilmu Hadis,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1976) h.80-83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar