Kamis, 25 Oktober 2018

Hadis dan Historisitasnya (PAI I ICP Semester Ganjil 2018/2019)



HADIS DAN HISTORISITASNYA

Fernanda Fitri Ariyanto (17110110)
Farisah Fitri Muhi (17110114)
Mahasiswa Jurusan PAI I Semester III UIN MALIKI MALANG
e-mail: ariyanto.fernanda@gmail.com
Abstract
In this paper will be discussed more in depth about the Hadith. Starting from the notion of the Hadith itself, which the Hadith are the source of guidelines for Muslims after al-Quran. Will then be described well about various Hadith include: qauli, fi'li, taqririr, and ahwali. In addition, the difference of the Hadith, sunnah, reports, and news. And also, the history of its development from the time of the Prophet until the time after Tabi'i al-Tabi'in. Hadith of position which gets a different treatment from each of his time. Developed since the time of the Prophet's Hadith, then continues to the best friend but at the intended saatperhatian still focus on the Qur'an. To continue achieving stardom at the century II Hijri, namely codetification or tadwin.
Keyword: The Definition, Kinds, History.
Abstrak
Di dalam makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai hadis. Mulai dari pengertian tentang hadis sendiri, yang manahadis merupakan sumber pedoman umat muslim setelah al-Quran. Kemudian akan dijelaskan juga tentang macam-macam hadis diantaranya: qauli, fi’li, taqririr, serta ahwali. Selain itu, perbedaan hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Dan juga, sejarah perkembangannya dari masa Rasulullah sampai pada masa sesudah Tabi’i al-Tabi’in. Yang mana kedudukan hadis mendapat perlakuan yang berbeda dari setiap masanya.Hadis berkembang sejak zaman Rasulullah, kemudian berlanjut kepada para sahabat tetapi pada saatperhatian yang dituju masih berfokus pada al-Qur’an. Hingga berlanjut mencapai masa keemasan pada abad II Hijriyah, yaitu adanya kodetifikasi atau tadwin.[1]
Kata kunci: Pengertian, Macam, Sejarah.
A.    Pendahuluan
Dalam Islam, sumber dan dasar hukum yang paling utama adalah Al-Qur’an dan Hadis. Etika berbicara, bertingkah laku, dan memutuskan suatu perkara, semuanya harus didasarkan kepada kedua sumber pokok ini. Maka dari itu, sebagai seorang muslim khususnya, sebaiknya mempelajari Al-Qur’an dan Hadis.
Dengan kata lain, Al-Qur’an dan Hadis lah yang menjadi rujukan dan pedoman untuk setiap muslim bertingkah laku ketika hidup di dunia. Sehingga dengan menaatinya, manusia terkhususnya bagi muslim dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia serta hidup di akhirat kelak.
Sementara Al-Qur’an merupakan Kalam Allah Ta’ala yang diwahyukan kepada Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam melalui malaikat Jibril secara bertahap sebagai mu’jizat dan ketika membacanya maka bernilai ibadah. Hadis merupakan segala perkataan dan ucapan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan dapat menjadi penjelas suatu kata atau ayat di dalam Al-Qur’an dan diriwayatkan.
Dalam tulisan kali ini, akan dijabarkan pembahasan mengenai hadis. Pembahasan akan dipersempit kepada pengertian hadis, macam-macam hadis (qauli, fi’li, taqriri, ahwali), perbedaan antara hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Selain itu, di dalam tulisan ini juga akan dibahas sejarah hadis mulai dari masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam hingga pembukuan hadis di masa Bani Abbasiyah.
Hadis sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu “Hadatsa” yang berarti berita dan kisah. Terdapat cabang-cabang yang berbeda dalam Islam, seperti Sunni, Syiah, dan Sufi. Cabang atau sekte yang berbeda, merujuk kepada koleksi hadis yang berbeda pula. Contohnya Sunni, salah satu sekte dalam Islam, menjelaskan bahwa hadis adalah sebuah ucapan, diskusi, perbuatan, ketetapan, dan diskripsi moral atau fisik Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam baik itu benar atau dusta. (Batyrzhan et al. 2014).[2]
Hadis juga bisa jadi memiliki arti yang juga berbeda-beda menurut ahli disiplin ilmu satu dengan yang lainnya ditinjau dari aspek terminologi. Misalnya, arti hadis menurut ahli fiqh akan berbeda dengan arti hadis menurut ahli sunnah. Di dalam tulisan inilah akan dibahas mengenai pengertian serta macam-macam hadis.
Dalam segi sejarah, hadis ini dimulai dari masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam di mana pada masa itu, hadis begitu kaya dan dihafalkan oleh para sahabat, lalu berlanjut kepada masa khulafaurrashidin. Lalu setelah itu, berlanjut kepada masa sahabat, masa tabi’in, dan masa tabi’al-tabi’in hingga masa sekarang atau kontemporer. Tetapi, bahasan dalam tulisan ini akan dipersempit sehingga materi yang akan dibahas adalah hadis pada masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam hingga pada masa tabi’ al-tabi’in saja.
Masa pembukuan hadis berlangsung seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang berkembang begitu pesat. Khususnya perkembangan peradaban Islam. Tidak hanya terlihat dari segi kekuasaan dan luasnya wilayah kekuasaannya. Selain itu sistem pemerintahan yang baik (kemampuan politik yang baik), keadaan ekonomi yang stabil, dan kuatnya tentara perang juga turut andil dalam perkembangan peradaban. Hal yang sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban ini adalah berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemampuan arsitek. Salah satu contohnya adalah pembahasan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu dengan adanya upaya pengumpulan hadis serta akhirnya dibukukan.

B.     Pengertian Hadis/Sunnah dan Macam-Macamnya

1.         Secara Etimologi
Menurut Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqriy al-Fayyumiy dalam tulisannya yang berjudul Al-Mishbah Al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir Li al-Rafi’iy yang kemudian ditulis oleh al-Fayumiy (w.707 H), hadis secara bahasa memiliki tiga arti:
a)    تجد د  و جوده        artinya yang baru keberadaannya
b)   ما يتحد ث به و ينقل artinya apa-apa yang diceritakan dengannya dan dinukilkan
c)    قريب                   artinya dekat atau menjelang[3]
Sedangkan Jamal al-Din Muhammad bin Muharram bin Manzhur atau Ibnu Manzhur (630-711 H) secara redaksional mengartikan hadis secara bahasa adalah:
a)    الجديد من الللأ شيآء                  artinya sesuatu yang baru
b)   الخبر ياْ تى عن القليل وا لكثير      artinya sesuatu yang datang baik sedikit atau banyak[4]
Pakar ilmu hadis modern Modern Muhammad ‘Ajaj al-Khathib mengatakan hadis dalam segi bahasa الجديد (yang baru) dan القريب (dekat). Hadis diartikan جديد (baru) dalam arti bahasa, banyak kaitannya dengan berseberangannya dengan Al-Qur’an yang bersifat قديم yang berarti terdahulu.[5]
Selain itu, merujuk pada sabda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, kata hadis memiliki banyak arti, antara lain: apa saja yang berasal dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam meliputi ucapan atau sabda, dan ketetapannya. Selain itu, hadis juga dapat berarti omongan siapapun. Hadis juga dapat berarti baru saja atau belum lama berselang, waktu yang akan datang. selain itu, hadis juga dapat disebut Kitab Allah Ta’ala atau Al-Qur’an.[6]
2.      Secara Terminologi
Secara istilah, pengertian hadis berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu seorang ahli. Pengertian hadis menurut ahli hadis akan berbeda dengan pengertian hadis menurut ahli ushul. Begitu juga menurut ahli sunnah, pengertian hadis akan memiliki makna yang berbeda pula.
Para ulama ushul memberikan pengertian hadis sebagai:
أقواله  وتقريراته التى تثبت الآحكام وتقررها
Artinya : “Segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkaitan dengan hukum syara’ dan ketetapannya.”[7]
Berdasarkan hadis tersebut, menurut ahli ushul, pengertian hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala yang disyariatkan kepada manusia. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti cara berpakaian, cara tidur, serta kebisaan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.[8]
Sedangkan ulama hadis melihat sosok Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai uswah hasanah (percontohan yang baik). Oleh karena itu, segala yang berasal dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, maupun sifat-sifatnya wajib diteladani oleh ummatnya. Bahkan, yang juga wajib diteladani ialah segala budi pekertinya, baik yang menghasilkan hukum syara’ atau tidak.
Lalu, ulama fiqh melihat pribadi Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dengan segala aktivitasnya yang meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya yang membuahkan hukum syara’ yang meliputi wajib, haram, mubah maupun makruh.
Sedangkan menurut ulama ushul, pribadi Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan sebagai pengatur undang-undang. Sehubungan dengan hal itu, maka perhatian para ulama ushul tertuju pada apa yang keluar atau muncul dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya yang bersangkutan dengan masalah hukum atau undang-undang.[9]

C.     Macam-Macam Hadis
1.         Qauli
Hadits atau sunnah qauliyah adalah perkataan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyangkut aspen hukum, akhlak, dan ibadah. Contohnya adalah:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap orang akan memperoleh balasan amal berdasarkan niatnya.”
2.         Fi’li
Hadits atau sunnah fi’liyah adalah hadis yang berupa perbuatan dan perilaku Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang merupakan penjelasan praktis ajaran agama. Contohnya adalah:
 “Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin Al-‘Ala’ al-Hamdani telah menceritakan kepada kamu Abu Usamah dari al-Walid, yaitu Ibnu Katsir telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi dari bapaknya dari Abu Hrairah Radhiyallahu’anhu dia berkata, Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, kemudian beliau berpaling seraya bersadba, Wahai fulan, tidakkah kamu memperbagus shalatmu, tidakkah seorang yang shalat mencermati apabila dia shalat, bagaimana dia shalat. Dia shalat adalah untuk dirinya sendiri. Demi Allah, aku melihat dari arah belakangku bagaimana aku melihat dari arah depanku’.”
3.         Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis yang berupa penetapan atau penilaian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap apa yang dilakukan atau diucapkan para sahabat yang dibenarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Contohnya adalah:
“Telah menceritakan kepada kami Amru An-Naqid Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujr dari Thawus ia berkata, Ibnu Abbas berkata: Mu’awiyyah berkata kepadaku, “Tahukah anda, bahwa aku telah menggunting rambut Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam di Marwa?” aku menjawab, “Aku tidak tahu akan ini kecuali ia merupakan hujjah yang bakalan menuntutmu.”
4.         Ahwali
Hadis ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Hadis ini menyangkut sifat-sifat dan keadaan fisik serta kepribadian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Contohnya adalah:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم أحسن الناس خلق (متفق عليه)
“Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam adalah prang yang paling mulia akhlaknya. (mutafaq ‘ilaih)”

D.  Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Ulama hadis bersepakat bahwa kata sunnah, khabar, dan atsar merupakan muradif atau sinonim dari kata hadis jika dilihat dari arti hadis secara istilahnya. Di samping itu, terdapat sedikit perbedaan antara pengertian hadis, sunnah, atsar, dan khabar.[10]
  1. Sunnah
Sunnah dalam arti bahasa adalah:
الطريقة محمودة كانت او مذمومة
Artinya: “Jalan yang terpuji dan atau yang tercela.”[11]
Pengertian seperti ini merujuk pada hadis riwayat Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah:
من سن في الاسلام سنة حسنة فعمل بها ولا ينقص من اجورهم شيء, ومن سن في الاسلام سنة سيىْت فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من اوزارهم شيء.
Artinya: “Barangsiapa melakukan kebiasaan (tradisi) baik dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, ia akan dicatat untuknya pahala orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi pahala mereka sedikit pun; dan barangsiapa melakukan kebiasaan (tradisi) jelek dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, ia akan dicatat untuknya siksa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa dikurangi sedikit pun.”[12]
Di samping itu, banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan arti Sunnah secara bahasa, beberapa di antaranya yaitu: QS. Al-Anfal (8): 38, QS. al-Hijr (15): 13, al-Ahzab (33): 38, 62, QS. al-Fathir (35): 43, al-Mukmin (40): 85, dan al-Fath (48): 23.[13]
Ketika membaca hadis yang berisikan dialog Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sahabat Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Negeri Yaman, kata hadis dipahami sebagai apa-apa yang datang dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam selain Al-Qur’an yang meliputi apa yang pernah didengar, dilihat, dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sesuai dengan pengalaman Mu’adz dalam bergaul dan bermasyarakat dengan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.[14]
كيف تقضي اذا عرض لك قضاء؟ قال اقضي بكتاب الله قال فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: فإن لم تجد فى سنة رسول الله و لا فى كتاب الله؟ قال: اجتهد برأيي ولاالو. فضرب رسول الله صلى الله عليه و سلم صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله رسول الله لما يرضى رسوله.
Artinya: “Bagaimana cara engkau menghukumi manusia, jika dihadapkan kepadamu masalah hukum?” Mu’adz bin Jabal menjawab, “Akan kuhukumi dia dengan Kitab Allah (Al-Qur’an)” Nabi bersabda, “Jika masalahnya tidak kau temukan dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab, “Akan kuhukumi dia dengan sunnah Rasulullah.” NAbi bersabda, “Jika masalahnya tidak kau temukan dalam sunnah Rasul maupun dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab, “Akan kuhukumi dia dengan menggunakan akal pikiranku, dengan tidak berlebih-lebihan” Kemudin Rasulullah menepuk-nepuk dada Mu’adz seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah mempertemukan pikiran utusan Rasulullah dengan pikiran utusanNya terhadap sesuatu yang diridlai oleh Rasulullah.”[15]
Dari segi intensitasnya, menurut Sulaiman al-Nadwiy sabda Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam walau hanya sekali disabdakan, asal ada yang menceritakan ulang walau hanya seorang, dapat menjadi hadis. Berbeda dengan sunnah. Perbuatan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang hanya dilakukan sekali tidak dapat serta-merta menjadi sunnah. Sunnah sesuai dengan pengertian menurut bahasa, haruslah merupakan perbuatan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang dilakukan secara terus-menerus (kebiasaan), diikuti para sahabat, dan ada yang meriwayatkan.
2.         Atsar
Atsar dari segi bahasa berarti natijah (kesimpulan), al-‘alamah (tanda atau jejak), dan al-juz’u (bagian). Tanda atau jejak ini maksudnya adalah pernah dilakukan atau bekas (diomongkan atau diperbuat oleh Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam).[16] Atsar juga dapat berarti sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in, baik perkataan maupun perbuatannya.[17]
Jumhur ahli hadis mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, sahabat, dan tabi’in. Ada juga yang menyamakan khabar dengan hadis. Namun pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf adalah bahwa atsar merupakan riwayat yang berasal dari ulama salaf, sahabat, dan tabi’in. sedangkan, para Fuqaha’ Khurasan membedakannya dengan mengkhususkan al-Mawquf, yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan al-Marfu’, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dengan istilah khabar.[18]
3.      Khabar
Khabar menurut arti bahasanya merupakan omongan yang disampaikan dari orang ke orang, yang isinya bisa benar dan bisa juga dusta.[19] Sedangkan secara istilah, khabar berarti apa yang diberitakan tidak hanya dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, tetapi juga sesuatu yang datang dari sahabat dan tabi’in. Dilihat dari aspek periwayatannya, khabar menjadi lebih umum daripada hadis. Sehingga setiap hadis adalah khabar, tetapi tidak semua khabar adalah hadis. Selain itu, khabar juga adalah sesuatu yang disandarkan kepada selain Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam (sahabat dan tabi’in).[20]

E.     Sejarah Singkat Hadis Nabi dari Masa ke Masa
Perkembangan hadis memiliki ciri yang berbeda pada setiap masa dan dibagi menjadi beberapa periode, diantaranya:
1.      Masa Rasulullah
Masa ini merupakan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Hadis berasal dari sabda Rasulullah yang disampaikan secara lansung yakni, saat Nabi melakukan khutbah, pengajian, ataupun jawaban yang diberikan Nabi saat ada sahabat yang bertanya. Kemudian, sabda Rasullulah yang tidak langsung dilakukan dengan cara Rasulullah mengutus beberapa sahabat ke daerah-daerah sebagai perantara menyampaikan pesan, periwayatan secara tidak langsung juga dilakukan melalui pemaparan dari sahabat kepada sahabat yang lain.[21] Selain itu, persebaran hadis dilakukan melalui surat yang ditulis Nabi kepada para raja, gubernur, serta penguasa muslim.[22]
Rasulullah pada masa itu lebih mengarahkan para sahabat untuk menghafal ketimbang menulis. Hal ini dilakukan karena pada masa itu kecakapan dalam hal tulis menulis masih dinilai kurang. Walaupun, ada beberapa sahabat yang sudah pandai menulis. Selain faktor tersebut, penulisan hadis tidak dilakukan secara resmi karena dikhawatirkan  akan bercampur dengan al-Qur’an. Namun sahabat juga ada ang menulis catatan-catatan yang disimpan sendiri yang sudah mendapat persetujuan dari Rasulullah.

2.      Masa Sahabat
Pada masa ini, hadis mulai diragukan kebenarannya karena dan sulit diputuskan karena sudah tidak ada Rasulullah yang merupakan satu-satunya pada saat itu dijadikan tempat bertanya. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, periwayatan hadist sangat dibatasi dan periwayatannya dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan Aisyah, puteri Abu Bakar menyatakan jika ayahnya pernah membakar cacatan yang berisi sekitar lima ratus hadis karena Abu Bakar khawatir akan melakukan kesalahan dalam periwayatan hadis-hadis tersebut.[23] Hal lain yan menyebabkan terbatasnya periwayatan hadis diantaranya karena Abu Bakar lebih disibukkan dengan kegiatnnya menjadi khalifah dan juga kebutuhan hadis yang belum memiliki kepentingan yang berarti dibanding masa sesudahnya. Karena perkembangan peradaban yang belum terlalu kompleks sehingga permasalahan yang dihadapi masyarakat pada masa ini juga belum terlalu bergantung pada hadis.
Dan juga, sikap kehati-hatian yang dilakukan oleh Abu Bakar juga dilakukan ketika beliau melakukan pemeriksaan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat.
Kemudian, pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, Umar juga menekankan kepada para sahabat pada masa itu untuk tidak mempebanyak periwayatan hadis. Agar masyarakat tidak rancu dalam mempelajari antara al-Qur’an dan Hadis.[24]Sama halnya dengan kekhalifajan sebelumnya, pada mas ini Umar sangat hati-hati dalam melakukan periwayatan hadis. Ketika Ubay ibn Ka’ab menyampaikan sebuah hadis kepadanya, Umar baru menerima hadis tersebut ketika ada sahabat lain yakni Abu Dzarr membenarkan apa yang disampaikan oleh Ubay.[25]Perlakuan Umar tersebut dilakukannya bertujuan untuk mencegah adanya pemalsuan hadis dan juga aga tidak ada kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.
Selanjutnya pada masa kekhalifahan Usman Ibn Thalib, walaupun Usman juga memerintahkan kepada para sahabat untuk tidak melakukan banyak periwayatan hadis, tetapi pada kenyataannya beberapa sahabat melakukan periwayatan yang jumlah periwayatannya lebih banyak ketimbang jumlah periwayatan hadis pada masa Umar. Hal ini terjadi karena lemahnya pengendalian yang dilakukan akibat bertambahnya wilayah kekuasaan, sehingga sulit melakukan pengendalian yang ketat.
Setelah itu, ketika kekhalifahan berpindah kepada Ali ibn Abi Thalib, periwayatan hadis kembali dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan Ali akan menerima riwayat hadis yang disampaikan para sahabat yang tidak Ali percayai sepenuhnya harus bersedia bersumpah terlebih dahulu. Selain melakukan periwayatan hadis melalui lisan, pada masa ini periwayatan hadis juga dilakukan dengan menggunakan tulisan.Walaupun demikian, masalah politik pada masa kekhalifahan Ali telah merusak keshahihan hadis. Pemalsuan hadis banyak dilakukan karena faktor politik. Pada masa ini, juga terjadi peperangan antara golongan Syi’ah dan golongan Muawiyah.[26]
Walaupun para khalifah tidak memerintahkan secara resmi kepada sahabat untuk melakukan penulisan dan pembukuan hadis, banyak sahabat yang melakukan penulisan juga pembukuan. Seperti Jabir bin Abdillah dengan karya Shahifah Jabir, Abu Hurairah dengan karyanya Shahifah Abu Hurairahnya, dan masih banyka lagi sahabat lain.[27]
3.      Masa Tabi’in
Pada masa Tabi’in, permasalahan dalam periwayatan hadis lebih sedikit darimasa sahabat. Pada masa ini sudah tidak ada kekhawatiran di dalam masyarakat antara al-Qur’an dan Hadis. Hal tersebut dikarenakan al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada pemerintahan Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam perluasan yang pesat. Kemudian masa ini dikenal sebagai masa penyebaran hadist karena para sahabat melakukan penyebaran hadis ke daerah-daerah yang kemudian diajarkan kepada para tabi’in. Mereka kemudian mengikuti kebiasaan ibadah dan amaliah para sahabatyang ditunjukkan kepada mereka. Pada masa ini, para tabi’in menghafal dan menulis hadis. Diantara para tabi’in yang terkenal diantaranya: Ibn Abi Laila, abu al-Aliyah, Ibn Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan al-Qalamah.[28]
Saat pemerintahan dipegang oleh Umar ibn Abdul Aziz, ia melakukan pembukuan hadist secara resmi. Kemudian Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri untuk melakukan pembukuan dengan melakukan kerja sama dengan para perowi yang ahli.
4.      Masa Tabi’i al-Tabi’in
Pada masa ini, periwayatan hadis menggunakan riwayah bi al-lafzi yaitu dilakukan dengan lafadz. Melanjutkan proses kodifikasi yang telah belangsung sejak masa tabi’in, pada masa ini kodisikasi dilakukan dengan cara mengelompokkan hadis sesuai bidangnya masing-masing. Selain itu, dalam periwayatan hadis mengenal sistem bernama “isnad”, yaitu dilakukan dengan cara meneliti para perawi.[29]
Setelah masa tabi’i al-Tabi’in, kodifikasi hadis tetap berlangsung. Jenis kodifikasi hadis ada dua yaitu Kitab Shahih dan Kitab Sunan. Selain kodifikasi kitab hadis, ilmu hadis juga dikodifikasi. Dibuktikan dengan munculnya beberapa kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis, seperti ‘ilal al-Hadis karangan Imam ‘Ali bin ‘Abdullah al-Madani (wafat 234H); Kitab Bayan Gharib Alfaz al-Hadis karangan Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin al-Masni al-Tamimi al-Basri (wafat 210 H); dan masih banyak lagi. Kemudian penyusunan kitab hadis pada abad ketiga dibagi dalam empat bentuk, diantaranya: kitab musnad, sunan, al-mu’jam, dan al-jami’.[30]


F.      Penutup
Menurut beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan  bahwa hadis merupakan berita yang penyampaiannya bersumber dari Rasullullah. Baik dalam perilaku yang dilakukan maupun sifat yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada beberapa macam hadis diantaranya: hadis qauli, yang terdapat dari perkataan Rasulullah; hadis fi’li, berupa perilaku yang ditunjukkan oleh Rasullulah; hadis taqriri, berupa penilaian Rasulullah terhadap pernyataan para sahabat; dan hadis ahwali, menggambarkan keadaan fisik Rasulullah. Dalam pemaknaannya hadis memiliki kesamaan makna dengan sunnah, atsar dan khabar. Kemudian dalam perkembangannya hadis dimulai sejak zaman Rasulullah sampai pada masa setelah Tabi’i al Tabi’in memiliki ciri khas yang berbeda pada setiap masanya. Hal ini terjadi karena perbedaan masalah yang dihadapi pada setiap periode. Pada masa Rasul hadis sampai sekarang berkembang dan menjadi bidang ilmu yang dipelajari serta juga dijadikan salah satu pedoman oleh umat Islam selain kepada al-Qur’an.


DAFTAR PUSTAKA
Soetari, Endang. Ilmu Hadist: Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung: CV. Mimbar Pustaka. 2008.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2003.
Thahhan, Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Wahid, Abdul. Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press. 2010.
Saloot, M. Arsyi dkk, Hadith Data Mining and Classification: A Comparative Analysis, Published online: Springer Science+Business Media Dordrecht. 2016.
Anas, A. Nasution.Hubungan Hadis dengan Al-Qur’an.  Jurnal Thariqah Ilmiah Vol. 02 No. 02, Jurnal, 2015.
Isnaeni, Ahmad. Historisitas Hadis Menurut M, Mustafa Azami. Journal of al-Qur’an and Hadith. Vol. 3. No. 1. 2014.
Yusuf, Ismail. Sejarah Perkembangan Hadis dan Metodologinya Pada Abad III Hijriyah. Vol. III. No. 1. 2015.
Zain, Luqman. Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya. Vol. 2. No. 1. 2014.
Maulana, Lutfi. Periodesasi Perkembangan Studi Hadits.Vol. 17. No. 1. 2016.

Catatan:
1.      Similarity Cuma 10%, sangat bagus.
2.      Menulis referensi jurnal harus ada keterangan nama jurnalnya dan halaman.
3.      Pendahuluan tidak berisi materi, tetapi pengantar untuk memahami materi.
4.      Kok masih ditemukan innote dalam makalah ini?
5.      Contoh-contoh hadis harusnya ada redaksi Arabnya, lengkap sanad dan matannya.



[1]Lutfi Maulana. Periodesasi Perkembangan Studi Hadits.Vol. 17. No. 1. 2016, halaman 122.
[2]Muhammad Arsyi Saloot, dkk, Hadith Data Mining and Classification: A Comparative Analysis, (Published online: Springer Science+Business Media Dordrecht, 2016).
[3]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2010), halaman 1.
[4]Ibid.
[5]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 2.
[6]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 3-6.
[7]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), halaman 3.
[8]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, …. , halaman  4.
[9]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 12-13.
[10]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 6.
[11]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, …. ,halaman 4.
[12]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 7.
[13]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, …. , halaman 7
[14]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 10.
[15]Ibid.
[16]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 8.
[17]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), halaman 28.
[18]Ali Anas Nasution, Hubungan Hadis dengan Al-Qur’an dalam Jurnal Thariqah Ilmiah Vo. 02 No. 02, Jurnal, (2015), halaman 72.
[19]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan sampai Dibukukan,…. , halaman 8.
[20]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits, …. ,halaman 28.
[21]Endang Soetari, ILMU HADIST: Kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, Edisi Kelima 2008), halaman 34.
[22]Ahmad Isnaeni, Historisitas Hadis Menurut M. Mustafa Azami. Journal of Qur’an and Hadith. Vol. 3, No. 1, 2014, halaman 126.
[23]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press), halaman 264.
[24]Lukman Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya. Vol 2, No. 1, 2014 halaman 13.
[25]Lukman Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya............................, halaman 13.
[26]Luqman Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpnannya,............, halaman 16.
[27]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press), halaman 270.
[28]Luqman Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpnannya,............, halaman 18.
[29] Ibid, halaman 20.
[30]Ismail Yusuf, “Sejarah Perkembangan Hadis dan Meodologinya Pada Abad III Hijriyah”. Vol III, No.1, 2015, halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar