HADIS
DAN HISTORISITASNYA
Fernanda
Fitri Ariyanto (17110110)
Farisah
Fitri Muhi (17110114)
Mahasiswa
Jurusan PAI I Semester III UIN MALIKI MALANG
e-mail:
ariyanto.fernanda@gmail.com
Abstract
In this paper
will be discussed more in depth about the Hadith. Starting from the notion of
the Hadith itself, which the Hadith are the source of guidelines for Muslims
after al-Quran. Will then be described well about various Hadith include:
qauli, fi'li, taqririr, and ahwali. In addition, the difference of the Hadith,
sunnah, reports, and news. And also, the history of its development from the
time of the Prophet until the time after Tabi'i al-Tabi'in. Hadith of position
which gets a different treatment from each of his time. Developed since the
time of the Prophet's Hadith, then continues to the best friend but at the
intended saatperhatian still focus on the Qur'an. To continue achieving stardom
at the century II Hijri, namely codetification or tadwin.
Keyword: The Definition,
Kinds, History.
Abstrak
Di dalam
makalah ini akan dibahas lebih mendalam mengenai hadis. Mulai dari pengertian
tentang hadis sendiri, yang manahadis merupakan sumber pedoman umat muslim
setelah al-Quran. Kemudian akan dijelaskan juga tentang macam-macam hadis
diantaranya: qauli, fi’li, taqririr, serta ahwali. Selain itu, perbedaan hadis,
sunnah, atsar, dan khabar. Dan juga, sejarah perkembangannya dari masa
Rasulullah sampai pada masa sesudah Tabi’i al-Tabi’in. Yang mana kedudukan
hadis mendapat perlakuan yang berbeda dari setiap masanya.Hadis berkembang
sejak zaman Rasulullah, kemudian berlanjut kepada para sahabat tetapi pada
saatperhatian yang dituju masih berfokus pada al-Qur’an. Hingga berlanjut
mencapai masa keemasan pada abad II Hijriyah, yaitu adanya kodetifikasi atau
tadwin.[1]
Kata kunci:
Pengertian, Macam, Sejarah.
A.
Pendahuluan
Dalam
Islam, sumber dan dasar hukum yang paling utama adalah Al-Qur’an dan Hadis.
Etika berbicara, bertingkah laku, dan memutuskan suatu perkara, semuanya harus
didasarkan kepada kedua sumber pokok ini. Maka dari itu, sebagai seorang muslim
khususnya, sebaiknya mempelajari Al-Qur’an dan Hadis.
Dengan
kata lain, Al-Qur’an dan Hadis lah yang menjadi rujukan dan pedoman untuk
setiap muslim bertingkah laku ketika hidup di dunia. Sehingga dengan
menaatinya, manusia terkhususnya bagi muslim dapat mencapai kebahagiaan hidup
di dunia serta hidup di akhirat kelak.
Sementara
Al-Qur’an merupakan Kalam Allah Ta’ala yang diwahyukan kepada Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam melalui malaikat Jibril secara bertahap sebagai mu’jizat
dan ketika membacanya maka bernilai ibadah. Hadis merupakan segala perkataan
dan ucapan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, perbuatan dan ketetapan
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan
dapat menjadi penjelas suatu kata atau ayat di dalam Al-Qur’an dan
diriwayatkan.
Dalam
tulisan kali ini, akan dijabarkan pembahasan mengenai hadis. Pembahasan akan
dipersempit kepada pengertian hadis, macam-macam hadis (qauli, fi’li,
taqriri, ahwali), perbedaan antara hadis, sunnah, atsar, dan
khabar. Selain itu, di dalam tulisan ini juga akan dibahas sejarah hadis mulai
dari masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam hingga pembukuan hadis di
masa Bani Abbasiyah.
Hadis
sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu “Hadatsa” yang berarti berita dan
kisah. Terdapat cabang-cabang yang berbeda dalam Islam, seperti Sunni, Syiah,
dan Sufi. Cabang atau sekte yang berbeda, merujuk kepada koleksi hadis yang
berbeda pula. Contohnya Sunni, salah satu sekte dalam Islam, menjelaskan bahwa
hadis adalah sebuah ucapan, diskusi, perbuatan, ketetapan, dan diskripsi moral
atau fisik Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam baik itu benar atau dusta.
(Batyrzhan et al. 2014).[2]
Hadis
juga bisa jadi memiliki arti yang juga berbeda-beda menurut ahli disiplin ilmu
satu dengan yang lainnya ditinjau dari aspek terminologi. Misalnya, arti hadis
menurut ahli fiqh akan berbeda dengan arti hadis menurut ahli sunnah. Di dalam
tulisan inilah akan dibahas mengenai pengertian serta macam-macam hadis.
Dalam
segi sejarah, hadis ini dimulai dari masa Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam di mana pada masa itu, hadis begitu kaya dan dihafalkan oleh para
sahabat, lalu berlanjut kepada masa khulafaurrashidin. Lalu setelah itu,
berlanjut kepada masa sahabat, masa tabi’in, dan masa tabi’al-tabi’in
hingga masa sekarang atau kontemporer. Tetapi, bahasan dalam tulisan ini
akan dipersempit sehingga materi yang akan dibahas adalah hadis pada masa
Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam hingga pada masa tabi’ al-tabi’in
saja.
Masa
pembukuan hadis berlangsung seiring dengan perkembangan peradaban manusia yang
berkembang begitu pesat. Khususnya perkembangan peradaban Islam. Tidak hanya
terlihat dari segi kekuasaan dan luasnya wilayah kekuasaannya. Selain itu
sistem pemerintahan yang baik (kemampuan politik yang baik), keadaan ekonomi
yang stabil, dan kuatnya tentara perang juga turut andil dalam perkembangan
peradaban. Hal yang sangat berpengaruh dalam kemajuan peradaban ini adalah
berkembangnya ilmu pengetahuan dan kemampuan arsitek. Salah satu contohnya
adalah pembahasan yang akan dikaji dalam tulisan ini, yaitu dengan adanya upaya
pengumpulan hadis serta akhirnya dibukukan.
B.
Pengertian Hadis/Sunnah dan
Macam-Macamnya
1.
Secara Etimologi
Menurut Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqriy al-Fayyumiy
dalam tulisannya yang berjudul Al-Mishbah Al-Munir Fi Gharib al-Syarh al-Kabir
Li al-Rafi’iy yang kemudian ditulis oleh al-Fayumiy (w.707 H), hadis secara
bahasa memiliki tiga arti:
a)
تجد د و جوده artinya
yang baru keberadaannya
b)
ما يتحد ث به و ينقل artinya apa-apa yang diceritakan dengannya dan
dinukilkan
Sedangkan Jamal al-Din Muhammad bin Muharram bin Manzhur
atau Ibnu Manzhur (630-711 H) secara redaksional mengartikan hadis secara
bahasa adalah:
a)
الجديد من الللأ شيآء artinya sesuatu yang baru
Pakar ilmu hadis modern Modern Muhammad ‘Ajaj al-Khathib
mengatakan hadis dalam segi bahasa الجديد (yang baru) dan القريب
(dekat). Hadis diartikan جديد (baru) dalam arti bahasa, banyak kaitannya dengan
berseberangannya dengan Al-Qur’an yang bersifat قديم yang berarti terdahulu.[5]
Selain itu, merujuk pada sabda Nabi Muhammad Shollallahu
‘Alaihi Wasallam, kata hadis memiliki banyak arti, antara lain: apa saja yang
berasal dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam meliputi ucapan atau
sabda, dan ketetapannya. Selain itu, hadis juga dapat berarti omongan siapapun.
Hadis juga dapat berarti baru saja atau belum lama berselang, waktu yang akan
datang. selain itu, hadis juga dapat disebut Kitab Allah Ta’ala atau Al-Qur’an.[6]
2. Secara Terminologi
Secara istilah, pengertian hadis berbeda-beda sesuai dengan
latar belakang disiplin ilmu seorang ahli. Pengertian hadis menurut ahli hadis akan
berbeda dengan pengertian hadis menurut ahli ushul. Begitu juga menurut ahli
sunnah, pengertian hadis akan memiliki makna yang berbeda pula.
Para ulama ushul memberikan pengertian hadis sebagai:
أقواله
وتقريراته التى تثبت الآحكام وتقررها
Artinya : “Segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi
Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang berkaitan dengan hukum syara’ dan
ketetapannya.”[7]
Berdasarkan hadis tersebut, menurut ahli ushul, pengertian
hadis adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad Shollallahu
‘Alaihi Wasallam, baik ucapan, perbuatan maupun ketetapan yang berhubungan
dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah Ta’ala yang disyariatkan kepada
manusia. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam, seperti cara berpakaian, cara tidur, serta kebisaan Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam tidak dapat dikategorikan sebagai hadis.[8]
Sedangkan ulama hadis melihat sosok Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai uswah hasanah (percontohan yang
baik). Oleh karena itu, segala yang berasal dari Nabi Muhammad Shollallahu
‘Alaihi Wasallam baik berupa sabda, perbuatan, ketetapan, maupun sifat-sifatnya
wajib diteladani oleh ummatnya. Bahkan, yang juga wajib diteladani ialah segala
budi pekertinya, baik yang menghasilkan hukum syara’ atau tidak.
Lalu, ulama fiqh melihat pribadi Nabi Muhammad Shollallahu
‘Alaihi Wasallam dengan segala aktivitasnya yang meliputi perkataan, perbuatan,
maupun ketetapannya yang membuahkan hukum syara’ yang meliputi wajib,
haram, mubah maupun makruh.
Sedangkan menurut ulama ushul, pribadi Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam merupakan sebagai pengatur undang-undang.
Sehubungan dengan hal itu, maka perhatian para ulama ushul tertuju pada apa
yang keluar atau muncul dari Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam baik
berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya yang bersangkutan dengan masalah
hukum atau undang-undang.[9]
C.
Macam-Macam Hadis
1.
Qauli
Hadits atau sunnah qauliyah adalah perkataan Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam menyangkut aspen hukum, akhlak, dan ibadah.
Contohnya adalah:
“Sesungguhnya segala perbuatan itu dengan niat, dan setiap
orang akan memperoleh balasan amal berdasarkan niatnya.”
2.
Fi’li
Hadits atau sunnah fi’liyah adalah
hadis yang berupa perbuatan dan perilaku Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam yang merupakan penjelasan praktis ajaran agama. Contohnya adalah:
“Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib
Muhammad bin Al-‘Ala’ al-Hamdani telah menceritakan kepada kamu Abu Usamah dari
al-Walid, yaitu Ibnu Katsir telah menceritakan kepadaku Sa’id bin Abi Sa’id
al-Maqburi dari bapaknya dari Abu Hrairah Radhiyallahu’anhu dia berkata,
Rasulullah shalat mengimami kami pada suatu hari, kemudian beliau berpaling
seraya bersadba, Wahai fulan, tidakkah kamu memperbagus shalatmu, tidakkah
seorang yang shalat mencermati apabila dia shalat, bagaimana dia shalat. Dia
shalat adalah untuk dirinya sendiri. Demi Allah, aku melihat dari arah
belakangku bagaimana aku melihat dari arah depanku’.”
3.
Taqriri
Hadis taqriri adalah hadis yang berupa penetapan atau
penilaian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam terhadap apa yang dilakukan
atau diucapkan para sahabat yang dibenarkan oleh Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam. Contohnya adalah:
“Telah menceritakan kepada kami Amru An-Naqid Telah
menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujr dari Thawus ia
berkata, Ibnu Abbas berkata: Mu’awiyyah berkata kepadaku, “Tahukah anda, bahwa
aku telah menggunting rambut Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam di Marwa?”
aku menjawab, “Aku tidak tahu akan ini kecuali ia merupakan hujjah yang bakalan
menuntutmu.”
4.
Ahwali
Hadis ahwali adalah hadis yang berupa hal ikhwal Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Hadis ini menyangkut sifat-sifat dan keadaan
fisik serta kepribadian Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Contohnya
adalah:
كان
رسول الله صلى الله عليه و سلم أحسن الناس خلق
(متفق عليه)
“Rasulullah
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam adalah prang yang paling mulia akhlaknya. (mutafaq
‘ilaih)”
D. Perbedaan antara Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Ulama hadis bersepakat bahwa kata sunnah, khabar, dan atsar
merupakan muradif atau sinonim dari kata hadis jika dilihat dari arti
hadis secara istilahnya. Di samping itu, terdapat sedikit perbedaan antara
pengertian hadis, sunnah, atsar, dan khabar.[10]
- Sunnah
Sunnah dalam arti bahasa adalah:
الطريقة محمودة كانت او مذمومة
Artinya: “Jalan yang
terpuji dan atau yang tercela.”[11]
Pengertian seperti ini merujuk pada hadis
riwayat Muslim dari jalan Jabir bin Abdillah:
من
سن في الاسلام سنة حسنة فعمل بها ولا ينقص من اجورهم شيء, ومن سن في الاسلام سنة
سيىْت فعمل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من اوزارهم شيء.
Artinya: “Barangsiapa melakukan kebiasaan (tradisi) baik
dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, ia akan dicatat
untuknya pahala orang-orang yang mengamalkannya sesudahnya, tanpa dikurangi
pahala mereka sedikit pun; dan barangsiapa melakukan kebiasaan (tradisi) jelek
dalam Islam, kemudian diikuti oleh orang-orang sesudahnya, ia akan dicatat
untuknya siksa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa dikurangi
sedikit pun.”[12]
Di samping itu, banyak ayat Al-Qur’an yang menunjukkan arti
Sunnah secara bahasa, beberapa di antaranya yaitu: QS. Al-Anfal (8): 38, QS.
al-Hijr (15): 13, al-Ahzab (33): 38, 62, QS. al-Fathir (35): 43, al-Mukmin
(40): 85, dan al-Fath (48): 23.[13]
Ketika membaca hadis yang berisikan dialog Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sahabat Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke
Negeri Yaman, kata hadis dipahami sebagai apa-apa yang datang dari Nabi
Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam selain Al-Qur’an yang meliputi apa yang
pernah didengar, dilihat, dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam sesuai dengan pengalaman Mu’adz dalam bergaul dan bermasyarakat dengan
Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.[14]
كيف
تقضي اذا عرض لك قضاء؟ قال اقضي بكتاب الله قال
فإن لم تجد فى كتاب الله؟ قال فبسنة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: فإن لم
تجد فى سنة رسول الله و لا فى كتاب الله؟ قال: اجتهد برأيي ولاالو. فضرب رسول الله
صلى الله عليه و سلم صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله رسول الله لما يرضى
رسوله.
Artinya: “Bagaimana cara engkau menghukumi manusia, jika
dihadapkan kepadamu masalah hukum?” Mu’adz bin Jabal menjawab, “Akan kuhukumi
dia dengan Kitab Allah (Al-Qur’an)” Nabi bersabda, “Jika masalahnya tidak kau
temukan dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab, “Akan kuhukumi dia dengan sunnah
Rasulullah.” NAbi bersabda, “Jika masalahnya tidak kau temukan dalam sunnah
Rasul maupun dalam Al-Qur’an?” Mu’adz menjawab, “Akan kuhukumi dia dengan
menggunakan akal pikiranku, dengan tidak berlebih-lebihan” Kemudin Rasulullah
menepuk-nepuk dada Mu’adz seraya bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah
mempertemukan pikiran utusan Rasulullah dengan pikiran utusanNya terhadap
sesuatu yang diridlai oleh Rasulullah.”[15]
Dari segi intensitasnya, menurut Sulaiman al-Nadwiy sabda
Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam walau hanya sekali disabdakan, asal
ada yang menceritakan ulang walau hanya seorang, dapat menjadi hadis. Berbeda
dengan sunnah. Perbuatan Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang hanya
dilakukan sekali tidak dapat serta-merta menjadi sunnah. Sunnah sesuai dengan
pengertian menurut bahasa, haruslah merupakan perbuatan Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang dilakukan secara terus-menerus (kebiasaan),
diikuti para sahabat, dan ada yang meriwayatkan.
2.
Atsar
Atsar dari segi bahasa berarti natijah (kesimpulan), al-‘alamah
(tanda atau jejak), dan al-juz’u (bagian). Tanda atau jejak ini
maksudnya adalah pernah dilakukan atau bekas (diomongkan atau diperbuat oleh
Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam).[16]
Atsar juga dapat berarti sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in,
baik perkataan maupun perbuatannya.[17]
Jumhur ahli hadis mengatakan bahwa atsar sama dengan khabar,
yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi
Wasallam, sahabat, dan tabi’in. Ada juga yang menyamakan khabar dengan hadis.
Namun pendapat yang masyhur di kalangan ulama salaf adalah bahwa atsar
merupakan riwayat yang berasal dari ulama salaf, sahabat, dan tabi’in.
sedangkan, para Fuqaha’ Khurasan membedakannya dengan mengkhususkan al-Mawquf,
yaitu berita yang disandarkan kepada sahabat dengan sebutan Atsar dan
al-Marfu’, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Shollallahu ‘Alaihi Wasallam dengan istilah khabar.[18]
3. Khabar
Khabar menurut arti bahasanya merupakan omongan yang
disampaikan dari orang ke orang, yang isinya bisa benar dan bisa juga dusta.[19]
Sedangkan secara istilah, khabar berarti apa yang diberitakan tidak hanya dari
Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam, tetapi juga sesuatu yang datang
dari sahabat dan tabi’in. Dilihat dari aspek periwayatannya, khabar menjadi
lebih umum daripada hadis. Sehingga setiap hadis adalah khabar, tetapi tidak
semua khabar adalah hadis. Selain itu, khabar juga adalah sesuatu yang
disandarkan kepada selain Nabi Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam (sahabat
dan tabi’in).[20]
E.
Sejarah Singkat Hadis Nabi
dari Masa ke Masa
Perkembangan
hadis memiliki ciri yang berbeda pada setiap masa dan dibagi menjadi beberapa
periode, diantaranya:
1.
Masa Rasulullah
Masa ini
merupakan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Hadis berasal
dari sabda Rasulullah yang disampaikan secara lansung yakni, saat Nabi
melakukan khutbah, pengajian, ataupun jawaban yang diberikan Nabi saat ada
sahabat yang bertanya. Kemudian, sabda Rasullulah yang tidak langsung dilakukan
dengan cara Rasulullah mengutus beberapa sahabat ke daerah-daerah sebagai
perantara menyampaikan pesan, periwayatan secara tidak langsung juga dilakukan
melalui pemaparan dari sahabat kepada sahabat yang lain.[21] Selain itu, persebaran
hadis dilakukan melalui surat yang ditulis Nabi kepada para raja, gubernur,
serta penguasa muslim.[22]
Rasulullah pada
masa itu lebih mengarahkan para sahabat untuk menghafal ketimbang menulis. Hal
ini dilakukan karena pada masa itu kecakapan dalam hal tulis menulis masih
dinilai kurang. Walaupun, ada beberapa sahabat yang sudah pandai menulis.
Selain faktor tersebut, penulisan hadis tidak dilakukan secara resmi karena
dikhawatirkan akan bercampur dengan
al-Qur’an. Namun sahabat juga ada ang menulis catatan-catatan yang disimpan
sendiri yang sudah mendapat persetujuan dari Rasulullah.
2.
Masa Sahabat
Pada masa ini,
hadis mulai diragukan kebenarannya karena dan sulit diputuskan karena sudah
tidak ada Rasulullah yang merupakan satu-satunya pada saat itu dijadikan tempat
bertanya. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, periwayatan hadist sangat dibatasi
dan periwayatannya dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan Aisyah, puteri Abu
Bakar menyatakan jika ayahnya pernah membakar cacatan yang berisi sekitar lima
ratus hadis karena Abu Bakar khawatir akan melakukan kesalahan dalam
periwayatan hadis-hadis tersebut.[23] Hal lain yan menyebabkan terbatasnya
periwayatan hadis diantaranya karena Abu Bakar lebih disibukkan dengan
kegiatnnya menjadi khalifah dan juga kebutuhan hadis yang belum memiliki
kepentingan yang berarti dibanding masa sesudahnya. Karena perkembangan
peradaban yang belum terlalu kompleks sehingga permasalahan yang dihadapi
masyarakat pada masa ini juga belum terlalu bergantung pada hadis.
Dan juga, sikap kehati-hatian yang
dilakukan oleh Abu Bakar juga dilakukan ketika beliau melakukan pemeriksaan
hadis yang diriwayatkan oleh sahabat.
Kemudian, pada
masa kekhalifahan Umar ibn al-Khattab, Umar juga menekankan kepada para sahabat
pada masa itu untuk tidak mempebanyak periwayatan hadis. Agar masyarakat tidak
rancu dalam mempelajari antara al-Qur’an dan Hadis.[24]Sama halnya dengan
kekhalifajan sebelumnya, pada mas ini Umar sangat hati-hati dalam melakukan
periwayatan hadis. Ketika Ubay ibn Ka’ab menyampaikan sebuah hadis kepadanya,
Umar baru menerima hadis tersebut ketika ada sahabat lain yakni Abu Dzarr
membenarkan apa yang disampaikan oleh Ubay.[25]Perlakuan Umar tersebut
dilakukannya bertujuan untuk mencegah adanya pemalsuan hadis dan juga aga tidak
ada kekeliruan dalam meriwayatkan hadis.
Selanjutnya pada
masa kekhalifahan Usman Ibn Thalib, walaupun Usman juga memerintahkan kepada
para sahabat untuk tidak melakukan banyak periwayatan hadis, tetapi pada
kenyataannya beberapa sahabat melakukan periwayatan yang jumlah periwayatannya
lebih banyak ketimbang jumlah periwayatan hadis pada masa Umar. Hal ini terjadi
karena lemahnya pengendalian yang dilakukan akibat bertambahnya wilayah
kekuasaan, sehingga sulit melakukan pengendalian yang ketat.
Setelah itu, ketika
kekhalifahan berpindah kepada Ali ibn Abi Thalib, periwayatan hadis kembali
dilakukan dengan sangat hati-hati. Bahkan Ali akan menerima riwayat hadis yang
disampaikan para sahabat yang tidak Ali percayai sepenuhnya harus bersedia
bersumpah terlebih dahulu. Selain melakukan periwayatan hadis melalui lisan,
pada masa ini periwayatan hadis juga dilakukan dengan menggunakan tulisan.Walaupun
demikian, masalah politik pada masa kekhalifahan Ali telah merusak keshahihan
hadis. Pemalsuan hadis banyak dilakukan karena faktor politik. Pada masa ini,
juga terjadi peperangan antara golongan Syi’ah dan golongan Muawiyah.[26]
Walaupun para khalifah tidak memerintahkan secara
resmi kepada sahabat untuk melakukan penulisan dan pembukuan hadis, banyak
sahabat yang melakukan penulisan juga pembukuan. Seperti Jabir bin Abdillah
dengan karya Shahifah Jabir, Abu Hurairah dengan karyanya Shahifah Abu
Hurairahnya, dan masih banyka lagi sahabat lain.[27]
3.
Masa Tabi’in
Pada masa
Tabi’in, permasalahan dalam periwayatan hadis lebih sedikit darimasa sahabat. Pada
masa ini sudah tidak ada kekhawatiran di dalam masyarakat antara al-Qur’an dan
Hadis. Hal tersebut dikarenakan al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf.
Pada pemerintahan Bani Umayyah, wilayah kekuasaan Islam perluasan yang pesat.
Kemudian masa ini dikenal sebagai masa penyebaran hadist karena para sahabat
melakukan penyebaran hadis ke daerah-daerah yang kemudian diajarkan kepada para
tabi’in. Mereka kemudian mengikuti kebiasaan ibadah dan amaliah para sahabatyang
ditunjukkan kepada mereka. Pada masa ini, para tabi’in menghafal dan menulis
hadis. Diantara para tabi’in yang terkenal diantaranya: Ibn Abi Laila, abu
al-Aliyah, Ibn Syihab az-Zuhri, Urwah ibn az-Zubair, dan al-Qalamah.[28]
Saat
pemerintahan dipegang oleh Umar ibn Abdul Aziz, ia melakukan pembukuan hadist
secara resmi. Kemudian Abdul Aziz memerintahkan Abu Bakar Muhammad bin Muslim
bin Ubaidillah bin Syihab az-Zuhri untuk melakukan pembukuan dengan melakukan
kerja sama dengan para perowi yang ahli.
4.
Masa Tabi’i al-Tabi’in
Pada masa ini, periwayatan hadis menggunakan riwayah
bi al-lafzi yaitu dilakukan dengan lafadz. Melanjutkan proses kodifikasi yang
telah belangsung sejak masa tabi’in, pada masa ini kodisikasi dilakukan dengan
cara mengelompokkan hadis sesuai bidangnya masing-masing. Selain itu, dalam
periwayatan hadis mengenal sistem bernama “isnad”, yaitu dilakukan dengan cara
meneliti para perawi.[29]
Setelah masa
tabi’i al-Tabi’in, kodifikasi hadis tetap berlangsung. Jenis kodifikasi hadis
ada dua yaitu Kitab Shahih dan Kitab Sunan. Selain kodifikasi kitab hadis, ilmu
hadis juga dikodifikasi. Dibuktikan dengan munculnya beberapa kitab yang
berkaitan dengan ilmu hadis, seperti ‘ilal al-Hadis karangan Imam ‘Ali bin
‘Abdullah al-Madani (wafat 234H); Kitab Bayan Gharib Alfaz al-Hadis karangan
Abu ‘Ubaidah Mu’ammar bin al-Masni al-Tamimi al-Basri (wafat 210 H); dan masih
banyak lagi. Kemudian penyusunan kitab hadis pada abad ketiga dibagi dalam
empat bentuk, diantaranya: kitab musnad, sunan, al-mu’jam, dan al-jami’.[30]
F.
Penutup
Menurut beberapa pengertian yang telah dipaparkan di atas, dapat
disimpulkan bahwa hadis merupakan berita
yang penyampaiannya bersumber dari Rasullullah. Baik dalam perilaku yang
dilakukan maupun sifat yang dimiliki oleh Rasulullah. Ada beberapa macam hadis
diantaranya: hadis qauli, yang terdapat dari perkataan Rasulullah; hadis fi’li,
berupa perilaku yang ditunjukkan oleh Rasullulah; hadis taqriri, berupa
penilaian Rasulullah terhadap pernyataan para sahabat; dan hadis ahwali, menggambarkan
keadaan fisik Rasulullah. Dalam pemaknaannya hadis memiliki kesamaan makna
dengan sunnah, atsar dan khabar. Kemudian dalam perkembangannya hadis dimulai
sejak zaman Rasulullah sampai pada masa setelah Tabi’i al Tabi’in memiliki ciri
khas yang berbeda pada setiap masanya. Hal ini terjadi
karena perbedaan masalah yang dihadapi pada setiap periode. Pada masa Rasul
hadis sampai sekarang berkembang dan menjadi bidang ilmu yang dipelajari serta
juga dijadikan salah satu pedoman oleh umat Islam selain kepada al-Qur’an.
DAFTAR
PUSTAKA
Soetari,
Endang. Ilmu Hadist: Kajian Riwayah & Dirayah. Bandung: CV. Mimbar
Pustaka. 2008.
Suparta,
Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2003.
Thahhan,
Mahmud. Intisari Ilmu Hadits. Malang: UIN-Malang Press. 2007.
Wahid, Abdul. Hadis
Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan. Purwokerto: STAIN Purwokerto Press.
2010.
Saloot,
M. Arsyi dkk, Hadith Data Mining and Classification: A Comparative Analysis,
Published online: Springer Science+Business Media Dordrecht. 2016.
Anas, A. Nasution.Hubungan Hadis
dengan Al-Qur’an. Jurnal Thariqah
Ilmiah Vol. 02 No. 02, Jurnal, 2015.
Isnaeni,
Ahmad. Historisitas Hadis Menurut M, Mustafa Azami. Journal of al-Qur’an
and Hadith. Vol. 3. No. 1. 2014.
Yusuf, Ismail.
Sejarah Perkembangan Hadis dan Metodologinya Pada Abad III Hijriyah. Vol. III.
No. 1. 2015.
Zain, Luqman. Sejarah
Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya. Vol. 2. No. 1. 2014.
Maulana,
Lutfi. Periodesasi Perkembangan Studi Hadits.Vol. 17. No. 1. 2016.
Catatan:
1.
Similarity Cuma 10%, sangat
bagus.
2.
Menulis referensi jurnal harus
ada keterangan nama jurnalnya dan halaman.
3.
Pendahuluan tidak berisi materi,
tetapi pengantar untuk memahami materi.
4.
Kok masih ditemukan innote dalam
makalah ini?
5.
Contoh-contoh hadis harusnya
ada redaksi Arabnya, lengkap sanad dan matannya.
[1]Lutfi
Maulana. Periodesasi Perkembangan Studi Hadits.Vol. 17. No. 1. 2016,
halaman 122.
[2]Muhammad
Arsyi Saloot, dkk, Hadith Data Mining and Classification: A Comparative
Analysis, (Published online: Springer Science+Business Media Dordrecht,
2016).
[3]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN Purwokerto Press, 2010), halaman 1.
[5]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 2.
[6]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 3-6.
[7]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2003), halaman 3.
[8]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, ….
, halaman 4.
[9]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 12-13.
[10]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 6.
[11]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis,
…. ,halaman 4.
[12]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 7.
[13]Munzier Suprapta, Ilmu Hadis, ….
, halaman 7
[14]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 10.
[16]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 8.
[17]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits,
(Malang: UIN-Malang Press, 2007), halaman 28.
[18]Ali Anas Nasution, Hubungan Hadis
dengan Al-Qur’an dalam Jurnal Thariqah Ilmiah Vo. 02 No. 02, Jurnal,
(2015), halaman 72.
[19]Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan
sampai Dibukukan,…. , halaman 8.
[20]Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hadits,
…. ,halaman 28.
[21]Endang Soetari,
ILMU HADIST: Kajian Riwayah & Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka,
Edisi Kelima 2008), halaman 34.
[22]Ahmad Isnaeni, Historisitas Hadis Menurut M.
Mustafa Azami. Journal of Qur’an and Hadith. Vol. 3, No. 1, 2014, halaman
126.
[23]Dailamy,
Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto Press), halaman 264.
[24]Lukman
Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya. Vol
2, No. 1, 2014 halaman 13.
[25]Lukman
Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya............................,
halaman 13.
[26]Luqman
Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpnannya,............,
halaman 16.
[27]Dailamy,
Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Yogyakarta: STAIN
Purwokerto Press), halaman 270.
[28]Luqman
Zain, Sejarah Hadis Pada Masa Permulaan dan Penghimpnannya,............,
halaman 18.
[29] Ibid,
halaman 20.
[30]Ismail
Yusuf, “Sejarah Perkembangan Hadis dan Meodologinya Pada Abad III Hijriyah”.
Vol III, No.1, 2015, halaman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar