AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA
(Urain
Analitis, Kronologis, dan Naratif tentang AlQur’an dan Sejarahnya)
Oleh: Yuni Oktavia Rojiah
Mahasiswa
Jurusan PAI, FITK, Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang
Email:
yunioktavia09@gmail.com
التجريد
عند المسلمين، القرآن هدى لنّاس الذي يدلّ على الإنسان و
يحدد السعادتهم في الدنيا والآخرة. القرآن يقدم نفسه مع مجموعة متنوعة من الخصائص
والصفات والمزايا. هذه الميزات يمكن أن ينظر إلى الجوهرها أو الخارجيها و يدلّ على أنه هو حقا كلام الله و
لا أحد يستطيع أن يكتب كمثله. أنزل الله القرأن على النبي محمد صلى الله عليه وسلم عن
طريق جبريل تدريجيا. وبعد ذالك، كانت عملية وتاريخ طويلة لتصبح المصحف التي
نستخدمها اليوم. هذه العمليات تحدث أكثر من ألف و أربعمائة سنة مضت. بدأت من نزوله
والكتابته في زمان النبي و جمعه الأصحاب في زمان أبي بكر الصديق و جعله من المصحف
في زمان عثمان بن عفان. والمصحف التي نستخدمها اليوم هي المصحف المعيار لجميع
المسلمين في العالم التي تسمى بمصحف عثماني.
الكلمات المفتاحية: التاريح، القرآن، كلام الله، مصحف.
A. Pendahuluan
AlQur’an merupakan kitab
universal umat Muslim sebagai petunjuk yang meletakkan dasar-dasar prinsipil
dalam segala persoalan manusia. Petunjuk tersebut dijadikan sebagai landasan
pokok agama Islam dan sebagai pedoman hidup bagi penganutnya yang dapat
menjamin kehidupan dunia dan akhirat.
Alqur’an merupakan kitab
penyempurna dari kitab-kitab sebelumnya, yang mana keasliannya sangat dijaga
dan dipelihara oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
{ إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ } [الحجر: 9]
Artinya: “Sesungguhnya Kami yang menurunkan
AlQur’an dan Kami pulalah yang memeliharanya”. (Q.S. Al Hijr: 9)
Muhammad
Husain Thabathaba’iy, seorang ulama besar Syiah Kontemporer, mengatakan bahwa
sejarah AlQur’an mulai dari awal turunnya hingga saat ini sangatlah jelas dan
terbuka, sehingga sebenarnya AlQur’an tidak membutuhkan sejarah untuk
membuktikan keasliannya. Dan untuk memperkenalkan dirinya sebagai firman-firman
Allah, AlQur’an menantang siapapun untuk membuat hal yang serupa dengannya,
namun tiada seorangpun yang mampu menandinginya. (Quraish Shihab, 2006: 21-22).
Mushaf
AlQur’an yang ada di tangan kita saat ini bukanlah mushaf yang sama dengan
mushaf pertama yang ditulis setelah nabi menerima wahyunya, namun telah melalui
perjalanan panjang yang berliku-liku dalam kurun waktu kurang lebih selama 1400
tahun yang lalu dan memiliki latar belakang sejarah yang panjang.
Meskipun
begitu, tidak sedikit orang yang mengkritik AlQur’an dari berbagai sisi, baik
dari segi sejarah, latar belakang, maupun isinya. Hal tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai
hisrorisitas lengkapnya. Oleh karen itu, tulisan ini memberikan penjelasan
mengenai sejarah AlQur’an, mulai dari proses turunnya, pengumpulannya, dan
penulisannya hingga menjadi mushaf yang kita gunakan saat ini.
B.
Pembahasan
1.
Definisi AlQur’an
Menurut bahasa (lughah), kata AlQur’an diambil
dari kata قرأ-يقرأ-قرآنا yang berarti “bacaan” dan merupakan mashdar yang diartikan dengan arti
isim maf’ul, yaitu مقروء yang artinya “yang dibaca”[1]. Makna tersebut bernash
pada firman Allah yang menyebutkan lafadz AlQur’an berulang kali, yaitu
diantaranya terdapat pada surah Al Qiyamah ayat 16-18:
{لَا
تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ (16) إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ
وَقُرْآنَهُ (17) فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ (18)} [القيامة: 16 -
18]
Artinya: “Jangan kau gerakkan lidahmu untuk
bergegas-gegas membacanya. Bahwasannya Kami mengumpulkannya dan membacakannya.
Maka apabila Kami telah membacanya, ikutilah bacaannya.”[2]
Selain itu, banyak pula
pendapat para ulama mengenai makna AlQur’an secara bahasa (lughah),
diantaranya yaitu:[3]
1.
Menurut Asy Syafi’y, lafadz AlQur’an yang
dita’rifkan dengan “Al”, tidak berhamzah (tidak berbunyi “an”), dan
tidak diambil dari kalimat lain, memiliki arti قرأتُ (qara’tu) yaitu “aku telah baca”.
2.
Menurut pendapat Al Asy’ary dan beberapa
golongan lain, lafadz AlQur’an diambil dari lafadz قرن (qarana) yang
artinya “menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain”. Makna ini diambil
karena mempertimbangkan bahwa AlQur’an merupakan Kitab yang mana
surah-surahnya, ayat-ayatnya, dan huruf-hurufnya digabungkan satu sama lainnya.
3.
Menurut Al Farra’, lafadz AlQur’an diambil
dari kata قرائن / qara-in (ج. قرينة)
yang berarti bahwa ayat-ayat AlQur’an saling benar membenarkan satu sama lain.
4.
Menurut Az Zajjaj, kata Qur’an mengikuti
wazan fu’lan, dan diambil dari kata qar’i, yang artinya “mengumpulkan”.
5.
Menurut Al Lihyany dan segolongan ulama,
lafadz AlQur’an berarti “yang dibaca” karena merupakan mashdar dari
kata qara’a yang dimaknai dengan isim maf’ul.
6.
Menurut Dairatul Ma’arif Al Islamiyah, Schwally dan
Wellhausen, kata Qur’an berasal dari bahasa ibro (Suryani) yang
ditulis Kiryani = Keryani yang artinya “yang dibacakan”. Menurut mereka,
kata qara’a yang berarti “dia telah membaca” bukanlah bahasa Arab, namun
hanya bahasa asing yang dimasukkan di dalamnya.
Dari berbagai pendapat tersebut,
Dr. Subhi Al Shalih dalam bukunya Mabahis fi Ulum AlQur’an
mengemukakan bahwa pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan
bahwa kata AlQur’an merupakan bentuk mashdar yang berarti “membaca”. Hal
ini juga diperkuat dari pendapat lain yang menyatakan bahwa AlQur’an secara harf berasal dari akar kata qara’ah yang
berarti “bacaan” atau “himpunan”, karena Alqur’an merupakan kitab yang wajib
dibaca dan dipelajari, serta merupakan himpunan dari ajaran wahyu yang terbaik.[4]
Sedangkan menurut istilah,
banyak pula pendapat ulama mengenai makna AlQur’an, yaitu diantaranya:
1.
Menurut ahli Kalam, AlQur’an adalah kalam
Azali yang berdiri pada zat Allah yang senantiasa bergerak (tidak pernah diam)
dan tidak pernah ditimpa suatu bencana.
2.
Al Alusy dalam Ruhul Ma’ani mengatakan bahwa para Mutakallimin
memaknai AlQur’an mulai dari awal Al Fatihah sampai ahir An Naas
sebagai lafadz-lafadz yang terlepas dari sifat kebendaan, baik secara dirasai,
dikhayali, maupun hal lain yang tersusun pada sifat Allah yang qadim.
3.
Menurut As Suyuthy dalam Al Itmam, AlQur’an
adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad dan tidak ada yang bisa
menandinginya walaupun hanya satu ayat.
4.
Asy Syaukany dalam Al Irsyad berpendapat bahwa AlQur’an
adalah Kalamullah yang diturunkan kepada Muhammad yang ditilawahkan dengan
lisan dan mutawatir dalam penuqilannya.
5.
Menurut Prof.Dr. H. Muin Salim, AlQur’an merupakan
firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara
Malaikat Jibril sebagai peringatan, petunjuk, tuntunan, dan hukum bagi manusia.[5]
Dari berbagai pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa AlQur’an merupakan Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab yang dinuqilkan kepada
generasi sesudahnya secara mutawatir, bernilai ibadah bagi yang
menbacanya dan dihukum kafir bagi yang mengingkarinya, serta termaktub dalam
Mushaf yang dimulai dari surah Al Fatihah dan ditutup dengan surah An Naas.[6]
2.
Bukti Alqur’an Sebagai Wahyu Allah
AlQur’an merupakan kitab yang sempurna, tiada
bacaan yang lebih sempurna dan lebih mulia dari AlQur’an. Keagungan dan
kesempurnaannya tidak hanya dirasakan oleh orang yang mempercayainya maupun
yang mengharap petunjuknya, namun juga dirasakan oleh orang yang dekat
dengannya. Hal ini menunjukkan bahwa AlQur’an adalah firman Allah, bukan sabda
Nabi atau perkataan manusia, karena tidak mungkin seorang manusia dapat menciptakan
sesuatu yang sangat sempurna seperti AlQur’an.
AlQur’an yang merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW
memiliki keitimewaan-keistimewaan yang luar biasa, yang mana ini bisa dijadikan
sebagai bukti bahwa AlQur’an adalah benar-benar firman Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Bukti-bukti tersebut tidak hanya berasal dari dalam
AlQur’an sendiri (bukti intrinsik), namun juga dari luar AlQur’an yaitu
kesesuaian antara ayat-ayat AlQur’an dengan realita yang terjadi (bukti
ektrinsik).
Adapun bukti-bukti tersebut antara lain:
a.
Bukti Intrinsik
1.
Aspek Kebahasaan
Bahasa yang digunakan dalam AlQur’an adalah bahasa Arab yang sempurna, bukan bahasa ‘Ajam. Hal
ini merupakan suatu keistimewaan karena bahasa Arab juga memiliki
keistimewaan tersendiri dibanding bahasa lainnya, yaitu diantaranya: rasional, setiap
huruf dalam bahasa arab memiliki kandungan falasafah bahasa tersendiri, memiliki
kekayaan kosakata, sangat teliti dalam menggambarkan sesuatu, memiliki i’rab,
dan lain sebagainya.
Hal ini dijelaskan sendiri dalam beberapa ayat
AlQur’an, salah satunya yaitu ayat yang membantah tuduhan yang mengatakan bahwa
AlQur’an diturunkan oleh seorang ‘Ajam (non Arab) kepada Nabi,
yaitu:
{وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ
يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُ بَشَرٌ لِسَانُ الَّذِي يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ
أَعْجَمِيٌّ وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ} [النحل: 103]
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata,
‘Sesungguhnya AlQur’an diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)’,
padahal orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya adalah
bahasa ‘Ajam, sedangkan ini adalah dalam bahasa Arab yang terang”.[7]
Keistimewaan AlQur’an dari segi bahasa juga dapat
dilihat dari berbagai aspek, yaitu antara lain:
1.)
Nada dan Langgamnya.
Menurut cendekiawan Inggris, Marmaduke Pickthall
dalam The Meaning of Glorious Qur’an, menyatakan bahwa: “AlQur’an
merupakan simponi yang tiada taranya, dimana setiap nada-nadanya bisa
menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka cita”.[8]
Hal tersebut memang benar adanya, karena kata-kata
dalam AlQur’an memiliki keserasian bunyi dan irama, seperti contoh berikut:
{لَا
أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ (1) وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (2)
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ (3) بَلَى قَادِرِينَ عَلَى
أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ (4) بَلْ يُرِيدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ (5)
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ (6)} [القيامة: 1 - 6]
2.)
Singkat dan Padat.
Untuk menyusun kalimat
singkat namun sarat akan makna tidaklah mudah, karena pesan yang banyak, jika
tidak pandai menyusun atau merangkai kata-katanya akan membutuhkan kata yang
banyak pula. Namun, AlQur’an memiliki keistimewaan tersebut, dimana kata yang
digunakan sangat singkat, tapi memiliki banyak makna. Contohnya dalam Q.S. Al
Baqoroh [2]: 212
{ ....وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ
حِسَابٍ} [البقرة: 212]
Ayat tersebut memiliki banyak arti yang dapat
diambil, yaitu:
-
Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya tanpa ada yang berhak bertanya kepada-Nya mengenai alasan Ia
memperluas dan mempersempit rizki tersebut.
-
Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan pemberian itu, karena Dia Maha Kaya.
-
Allah memberikan rizki yang tak disangka-sangka
kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
-
Allah memberikan rizki kepada siapa saja yang
dikehendaki-Nya tanpa memperhitungkan amal-amalnya.
-
Allah memberikan rizki yang sangat banyak kepada
siapa saja yang dikehendaki-Nya, sehingga tak seorangpun yang mampu
menghitungnya.
3.)
Memuaskan Para Pemikir dan Orang Kebanyakan.
Ketika seorang seseorang
membaca suatu artikel, buku, jurnal, maupun sumber lain, maka akan ada
kemungkinan rasa ketidakpuasan karena berbagai faktor, misalnya karena
dangkalnya makna, data yang kurang rasional, maupun segi bahasanya yang membingungkan.
Namun berbeda halnya dengan AlQur’an, ketika seseorang membacanya, akan
memberikan rasa kepuasan tersendiri, baik ketika membaca lafadznya, maupun
ketika mendalami makna yang terkandung di dalamnya.
4.)
Memuaskan Akal dan Jiwa.
Manusia memiliki akal dan
jiwa, yang mana akal sebagai daya pikir dan jiwa sebagai daya rasa. Daya pikir
dijadikan sebagai pendukung pandangannya melalui berbagai argumrntasinya,
sedangkan daya rasa atau biasa disebut sebagai daya qolbu dijadikan
sebagai pengantar untuk mengekspresikan keindahan-keindahan dan imajinasinya.
Dalam bahasa tidaklah mudah untuk memuaskan keduanya dalam waktu yang sama,
namun tidak halnya dengan AlQur’an. AlQur’an mampu menggabungkan keduanya
dengan sempurna. AlQur’an memiliki aneka gaya bahasa untuk mengungkapkan
sesuatu, baik untuk kata perintah maupun larangan.
AlQur’an selalu
menguraikan ayat-ayat yang berbicara tentang sesuatu (seperti hukum, akidah,
dan etika) dengan dengan argumentasi logika dan gaya bahasa yang berbeda,
sehingga dapat menyentuh akal dan jiwa mitra bicaranya.[9] Seperti yang terdapat
pada ayat tersebut:
{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ
مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ
يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ
لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)} [البقرة:
183، 184]
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan terhadap orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa. (Yaitu) pada beberapa hari tertentu, maka jika diantara
kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain.”[10]
Pada ayat tersebut, tidak
menyatakan “Tuhan mewajibkan kepadamu”, tetapi “Diwajibkan atas
kamu”. Ini menunjukkan bahwa manusia sendirilah yang mewajibkan atas dirinya
berpuasa setelah mengetahui ungensi dan manfaat puasa. Dan ayat tersebut juga
mengisyaratkan bahwa perintah puasa bukanlah sesuatu yang baru dan khusus untuk
mereka, karena Allah mengatakan bahwa “Orang-orang sebelum kamu” juga
berpuasa. Selain itu, puasa yang disyriatkan pun tidak lama, hanya “beberapa
hari tertentu”, itu pun jika ada halangan tertentu, seperti sakit atau
dalam perjalanan tidak wajib puasa, namun menggantinya di hari lain.
Begitulah Allah
menyampaikan ayat-ayatnya dengan lembut dan sangat menyentuh akal dan jiwa
pembacanya.
5.)
Keindahan dan Ketepatan Maknanya
Tiada satupun tulisan atau
syair yang lebih indah dari AlQur’an, baik dari segi bahasa, kalimat, maupun
bunyinya. Selain itu, AlQur’an selalu memaknai bacaannya secara tepat, meskipun
dalam lafadz yang sama. Namun, tidak semua orang menyadari hal tersebut,
sehingga banyak terjadi kesalahan pemahaman AlQur’an karena kesalahan dalam
memaknai lafadz AlQur’an. Oleh karena itu, perlu pemahaman yang lebih mengenai
pemaknaan AlQur’an dengan tepat dan benar.
2.
Aspek Bilangan dan Struktur AlQur’an
Banyak rahasia dalam
AlQur’an yang belum terungkap sepenuhnya, salah satunya mengenai
bilangan-bilangan dalam AlQur’an. Banyak pertanyaan yang timbul mengenai
struktur dalam AlQur’an, seperti perbedaan mengenai jumlah ayat AlQur’an, makna
yang terkandung dalam simbol huruf, angka, surat, juz, maupun tanda ‘ain dalam
AlQur’an, mengapa ayat yang pertama turun adalah surah Al-Alaq, dan lain
sebagainya, yang mana jawaban dari semua itu merupakan salah satu bukti
keajaiban AlQur’an.
Membahas mengenai ayat
AlQur’an, banyak perbedaan mengenai jumlah ayat dalam AlQur’an, ada yang
mengatakan jumlah ayat AlQur’an adalah 6.666, 6.204, 6.214, 6.217, 6.219,
6.220, dan 6.236. Sedangkan, menurut Depag RI jumlah ayat AlQur’an adalah
6.236.[11] Perbedaan tersebut bukan
karena adanya penambahan atau pengurangan ayat AlQur’an, tapi karena adanya
perbedaan dalam perhitungan jumlah ayat dalam satu ayat tersebut. Misalnya,
pada ayat terahir surah Al Fatihah. Ada yang menafsirkan itu satu ayat, dan ada
yang menafsirkan itu dua ayat.
Selain itu, penyusunan
AlQur’an, baik penyusunan surah, ayat, maupun kata dalam AlQur’an, semuanya
disusun berdasarkan keseimbangan yang tepat. Banyak pertanyaan mengenai
penyusunan surah dalam AlQur’an, dimana surah Al-Alaq yang diturunkan pertama
kali bukan menjadi urutan surah pertama dalam AlQur’an, tetapi surah Al Fatihah
lah yang menjadi surah pertama AlQur’an (ummul Qur’an). Tidak ada yang
tau alasan mengenai penyusunan tersebut, karena Nabi sendirilah yang meminta
para sahabat menulis AlQur’an sesuai urutan yang disebutkannya (sebagaimana
penjelasan di atas). Hal tersebut akhirnya menimbulkan banyak penafsiran dari
berbagai ilmuan. Salah satunya adalah Dr. Rasyad, khalifah yang terkenal dengan
“ Fenimena Angka 19”. Beliau mempelajari keajaiban AlQur’an darisegi angka,
yaitu:[12]
-
Huruf qof (ق) yang merupakan awal dari
surah ke-50, ditemukan terulang sebanyak 57 kali atau 3 × 19.
-
Huruf Kaf (ك) , Ha (ه), Ya (ي), ‘Ain (ع), Shod (ص), dalam surah Maryam ditemukan
sebanyak 798 kali atau 42 × 19.
-
Huruf Nun (ن) dalam surah Al Qolam
ditemukan sebanyak 7 × 19.
-
Huruf Ya (ي) dan Sin (س) pada surah Yasin masing-masing terulang sebanyak 285 kali atau
15 × 19.
-
Huruf Tha (ط) dan Ha (ه) dalam surah Taha, masing-masing
terulang selama 342 kali atau 18 × 19.
-
Huruf Kha (ح) dan Mim (م) yang terdapat dalam keseluruhan
surah yang diawali dengan kedua huruf ini, semuanya merupakan perkalian dari
114 × 19 atau sama dengan 2.166 kali.
Abdurrazzaq Nawfal dalam Al Ijaz Al Adabiy li
AlQur’an AlKarim, juga melihat keajaiban AlQur’an dari sisi yang berbeda,
yaitu dari sisi kata, antara lain: [13]
-
Kata Al Hayah (hidup) dan Al Maut (mati)
dalam AlQur’an masing-masing terdapat sebanyak 145 kali.
-
Kata An Nafi’ (manfaat) dan Al Madhorroh
(mudlorot), masing-masing sebanyak 50 kali.
-
Kata Al Kharru (panas) dan Al Bardu
(dingin), masing-masing sebanyak 4 kali.
-
Kata Ash Sholihat (kebajikan) dan As
Sayyiat (keburukan), masing-masing 167 kali.
Hal tersebut menunjukkan
bahwa AlQur’an disusun secara seimbang, selain contoh di atas, ditemukan
keseimbangan khusus dalam AlQur’an, yaitu kata Yaum (hari) dalam bentuk
tunggal diulang sebanyak 365 kali, hal tersebut sesuai dengan jumlah hari dalam
setahun. Sedangkan kata Al Ayyam (bentuk jamak dari Yaum) dan Yaumaini
(bentuk tasniyah dari Yaum), berjumlah 30, yang mana itu adalah
jumlah hari dalam sebulan. Selain itu, kata Syahr (bulan) terdapat
sebanyak 12 kali, sama dengan jumlah bulan dalam setahun.[14]
Masih banyak keunikan dan
keistimewaan yang terdapat dalam AlQur’an, sehingga untuk mempelajarinya butuh
pembahasan khusus yang lebih detail dan terperinci.
b.
Bukti Ekstrinsik
AlQur’an adalah kitab petunjuk dan sebagai pedoman
untuk mencapai kehidupan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, kandungan yang
ada di dalam AlQur’an pun tidak hanya tentang ibadah dan hal-hal yang berkaitan
dengan akhirat saja, tetapi juga hal-hal yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan. Petunjuk tersebut dapat dilihat secara tersurat maupun tersirat.
Ayat-ayat AlQur’an yang menerangkan tentang ilmu
pengetahuan, seperti ayat-ayat tentang alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan
ayat tentang peniptaan manusia, semuanya terbukti secara nyata dan sesuai, hal
itu menunjukkan bahwa AlQur’an memang benar-benar kalam Allah yang tidak ada
seorang pun mampu menandinginya.
Berikut beberapa contoh mengenai peristiwa-peristiwa
ilmiahdalam AlQur’an:
1.)
Ihwal Reproduksi Manusia
Banyak
ayat AlQur’an yang menyebutksn tentang penciptaan manusia, diantaranya ayat
berikut ini:
{أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى (36) أَلَمْ
يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
(38) فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى (39)} [القيامة: 36 -
39]
Artinya:
“ Apakah manusia mengira bahwa ia akan ditinggalkan begitu saja (tanpa
pertanggungjawaban)? Bukankah dia dahulu nutfah dari mani yang dituangkan (ke
dalam rahim), kemudian ia menjadi ‘alaqoh, lalu Allah menciptakannya dan
menyempurnakannya? Lalu Allah menjadikan darinya sepasang lelaki dan
perempuan?”[15]
Dari ayat tersebut,
diketahui bahwa nutfah adalah bagian terkecil dari mani yang dituangkan
ke dalam rahim. Dalam bahasa arab, kata nutfah berarti “setetes yang
dapat membasahi”. Pada abad kedua
puluh ini, ada penemuan ilmiah yang sesuai dengan informasi tersebut, yaitu
bahwa pancaran mani dari alat kelamin pria mengandung sekitar dua ratus juta
benih manusia, sedangkan yang berhasil
dengan ovum hanya satu saja, dan itulah yang dimaksud AlQur’an dengan نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى (nutfah
dari mani yang memancar).
2.)
Ihwal Kejadian Alam Semesta
Salah satu ayat AlQur’an
yang menjelaskan tentang alam semesta adalah tentang isyarat bahwa langit dan
bumi marupakan satu gumpalan, yaitu:
{أَوَلَمْ
يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا
فَفَتَقْنَاهُمَا وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا
يُؤْمِنُونَ} [الأنبياء: 30]
Artinya: “ Tidakkah orang-orang kafir memperhatikan
bahwa langit dan bumi awalnya merupakan satu yang padu (gumpalan), kemudian
Kami memisahkannya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Maka
mengapa mereka tidak juga beriman?”[16]
AlQur’an tidak menjelaskan
mengenai pemisahan antara keduanya, namun apa yang dinyatakan dalam ayat
tersebut mengenai keterpaduan alam raya dan pemisahannya dibenarkan oleh
beberapa ilmuan, diantaranya adalah observasi Edwin P.Hubble (1889-1953)
melalui teropong raksasa pada tahun 1929 yang menunjukkan pemuaian alam
semesta.[17] Ia menemukan bahwa
galaksi-galaksi terebut selain berotasi juga bergerak menjauhi bumi. Semakin
jauh letak galaksi dari bumi, maka semakin cepat gerak tersebut. Para ilmuan
menyebutnya sebagai “The Expanding Universe”, dimana alam semesta bersifat
seperti balon atau gelembung karet yang ditiup dan menggelembung ke segala
arah.
Sebagaimana dijelaskan pula dalam Surah Adz-Dzariyat:
{وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ} [الذاريات: 47]
Artinya: “Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan
(Kami), dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya/mengembangkannya.”[18]
Menurut fisikawan
RusiaGeorge Gamow (1904-1968), ekspansi tersebut menghasilkan sekitar seratus
miliar galaksi yang mana rata-rata masing-masing meiliki seratus miliar
bintang. Namun, jika menariknya kembali ke belakang, semuanya merupakan
gumpalan yang terdiri dari neutron.[19] Dan gumpalan itulah yang
meledak dan dinamakan sebagai Big Bang.
3.)
Ihwal Gunung
Ayat berikut menjelaskan
mengenai gunung yang bergerak layaknya jalannya awan atau disebut sebagai
gunung berjalan. Ha tersebut sangat tidak masuk akal bagi orang-orang pada
umumnya, namun bukan berarti ayat tersebut salah, karena telah terbukti maksud
dari ayat tersebut, yaitu:
{
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ
اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ}
[النمل: 88]
Artinya:
“Kamu lihat gunung-gunung, kamu sangka ia tetap di tempatnya, padahal ia
berjalan sebagaimana jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah, yang membuat
dengan kokoh tiap-tiap sesuatu,. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.”[20]
Ternyata Jazirah Arab
beserta gunung-gunungnya bergerak mendekati Iran beberapa sentimeter setiap
tahunnya. Hal tersebut diketahui dari hasil rekaman sebuah satelit beberapa
waktu lalu. Sebelumnya sekitar lima juta tahun yang lalu, Jazirah Arab bergerak
memisahkan diri dari Afrik adan membentuk Laut Merah. Saat ini, sekitar daerah
Somalia sepanjang pantai Timur je Selatan berada dalam proses pemisahan yang
lamban dan telah membentuk “Lembah Belah” yang membujur ke selatan melalui
deretan Danau Afrika.
Dan itulah yang dimaksud
dengan ayat di atas mengenai pegerakan gunung atau berjalannya gunung
sebagaimana jalannya awan.
Demikian beberapa bukti ekstrinsik mengenai
keistimewaan AlQur’an yang berhubungan dengan fenomena ilmiah, namun selain itu
masih banyak fenomena-fenomena yang sesuai dengan AlQur’an, yaitu mengenai
kalender Syamsiyah dan Qomariyah, mengenai awan dan proses turunnya hujan,
mengenai pemisah antara dua laut, mengenai semut, madu, jahe, dan lain
sebagainya.
3.
Sejarah Singkat Penulisan dan Modifikasi Alqur’an
a.
Pada Masa Nabi
Alqur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
secara berangsur-angsur, baik ayat demi ayat maupun surat demi suratnya, sehingga
setiap ada ayat yang turun, Nabi memerintahkan beberapa sahabat yang terkemuka
yang kemudian diangkat menjadi sektretaris, seperti Ali bin Abi Thalib ra.,
Muawiyah ra., Ubay bin Ka’ab ra., dan Zaid bin Tsabit ra., untuk menulisnya dan
menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, karena susunan atau tertib
penulisan AlQur’an tidak didasarkan pada
tertib turunnya, tetapi Rasulullah sendiri yang menjelaskan letak ayat tersebut
dalam surah tertentu. Selain itu, Nabi juga menyampaikan ayat yang diterimanya
kepada sahabat lain untuk dihafal, sehingga bentuk hapalan dapat mereka menjadi
bukti fisik dari ayat-ayat yang telah tertulis.
Selain sahabat yang diangkat menjadi sekretaris,
sahabat-sahabat lain juga menulis AlQur’an secara suka rela, dan karena tidak
adanya ketersediaan alat tulis yang cukup, mereka menggunakan media seadanya,
yaitu pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana,
dan potongan tulang belulang binatang.
Pada masa ini, metode pengumpulan AlQur’an
dilakukan dengan dua cara, yaitu:[21]
Pertama: Al Jam’u fis Sudur, yaitu para
sahabat langsung menghafalnya setiap kali Rasulullah menerima wahyu. Hal ini sangat
mudah dilakukan karena sudah menjadi budaya (kultur) orang Arab yang menjaga
Turats (peninggalan nenek moyang mereka, diantaranya berupa syair atau cerita)
dengan media hapalan, sehingga mereka sangat terkenal dengan kemampuan
hapalannya.
Kedua: Al Jam’u fis Suthur, yaitu para
sahabat menulis ayat AlQur’an yang dibacakan Nabi setiap menerima wahyu, dan
beliau melarang para sahabat untuk menulis hadist karena takut tercampur dengan
ayat-ayat AlQur’an.
Setelah itu
mereka senantiasa menyerahkan AlQur’an kepada Nabi, baik dalam bentuk tulisan
maupun hapalan, sehingga AlQur’an pada masa ini tidak terkumpul dalam satu
mushaf, karena yang dimiliki seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain.
Ketika Rasulullah wafat, AlQur’an telah dihafal
oleh ribuan sahabat dan tertulis dalam mushaf yang tersusun sesuai keterangan
di atas. Dimana tiap ayat dan surahnya dipisah-pisah, atau diterbitkan ayatnya
saja, dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh
huruf. Tapi memang benar bahwa saat ini AlQur’an masih belum dijilid menjadi
satu mushaf yang utuh, karena beberapa faktor, yaitu:
1.
Tidak adanya faktor pendorong untuk membukukan AlQur’an menjadi satu
mushaf, mengingat Rasulullah masih hidup dan banyak sahabat yang menghafalnya,
sehingga tidak ada unsur yang diduga dapat mengganggu kelestarian AlQur’an.
2.
AlQur’an diturunkan secara berangsur-angsur, sehingga tidak mungkin
dibukukan sebelum turun secara sempurna, yaitu ketika Rasulullah wafat.
Sebagaimana yang dikatakan Az-Zarkasyi
bahwa,”AlQur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada masa Nabi agar tidak
berubah dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, penulisannya dilakukan setelah
AlQur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah”. Pengertian ini
menafsirkan apa yang diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit ra, yang mengatakan
bahwa,” Rasulullah telah wafat, sedangkan AlQur’an belum dikumpulkan sama
sekali”. Maksudnya adalah ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan
secara tertib dalam satu mushaf.
Al Katabi juga berkata bahwa,”Alasan Rasulullah tidak mengumpulkan AlQur’an dalam
satu mushaf ialah karena beliau senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap
sebagian hukum-hukum atau bacaannya.sesudah berahir masa turunnya dengan
wafatnya Rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulis mushaf secara lengkap
kepada Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya tentang jaminan pemeliharaan
AlQur’an. Dan hal ini terjadi pertama kali pada masa Abu Bakar ra. atas
pertimbangan usulan Umar bin Khattab ra.”
b.
Pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Abu Bakar merupakan Khalifah pertama yang
menjalankan urusan keislaman setelah Rasulullah wafat. Pada masa ini terjadi
peristiwa-peristiwa besar yang berkaitan dengan kemurtadan orang-orang arab,
sehingga Abu Bakar mengirim pasukan untuk memerangi orang-orang murtad
tersebut. Salah satu perang yang terjadi adalah perang Yamamah, yaitu “perang
kemurtadan (riddah)” pada tahun 12 H atau tepatnya pada Desember 632 M. Pada
perang ini mayoritas pasukannya adalah para sahabat yang hapal AlQur’an dan
jumlah sahabat yang gugur sebanyak 70 orang. Melihat hal itu Umar bin Khattab
merasa sangat kuatir, dan mengusulkan kepada Abu Bakar agar mengumpulkan dan
membukukan AlQur’an untuk mengatasi kemusnahan AlQur’an.
Mendengar usulan Umar tersebut, Abu Bakar merasa
ragu untuk melakukan pengumpulan dan pembukuan AlQur’an tersebut, karena hal
itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi sebelumnya. Namun Umar terus membujuknya
melihat banyaknya peperangan yang terjadi di tempat lain yang membunuh banyak
qori’ sehingga dikhawatirkan AlQur’an akan hilang dan musnah. Setelah
mempertimbangkan banyak hal, akhirnya Abu Bakar setuju dan meminta Zaid bin
Tsabit untuk mengumpulkan dan menulisnya yang kemudian akan dibukukan dalam
satu mushaf. Sama seperi Abu Bakar, awalnya Zaid juga tidak setuju dengan
usulan tersebut, namun setelah mendengan penjelasan dari Abu Bakar, akhirnya
Zaid menerimanya dengan lapang dada.[23]
Zaid memulai tugas berat ini dengan bersandar pada
hafalan para qari’ dan tulisan yang ditulis para sahabat pada pelepah kurma,
daun dan kulit kayu, lempengan batu, daun lontar, ataupun media lainnya. Zaid
juga membentuk tim kusus dan membuat dua butir outline persyaratan pengumpulan
ayat-ayat. Kemudian Abu Bakar menambahkan satu syarat lagi, maka terkumpullah
tiga syarat, yaitu:
1.
Ayat atau surat tersebut minimal dihafal oleh dua orang.
2.
Ada bukti fisik berupa tulisan.
3.
Untuk ayat atau surat yang tertulis, harus ada saksi yang melihat saat
menulisnya, minimal dua orang.
Dengan persyaratan tersebut, Zaid memulai tugas
berat itu dan membawahi sahabat-sahabat lainnya.beberapa anggota yang
membantunya adalah Ubay bin Ka’ab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan.[24] Penulisan dimulai dengan pengumpulan hafalan dari
para qari’ dan tulisan para sahabat hingga akhirnya mendapatkan akhir surat
At-Taubah yang hanya berada pada Abu Huzaimah Al-Anshori. Lembaran-lembaran
tersebut kemudian disimpan di tangan Abu Bakar hingga beliau wafat, kemudian di tangan Umar dan selanjutnya ke
tangan Hafsah binti Umar.
Alqur’an sudah dituliskan sejak zaman Nabi SAW,
namun pengumpulan dan pembukuannya baru mulai dilakukan pada masa ini, maka
dapat dikatakan bahwa Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan AlQur’an
dalam satu mushaf, bahkan para ulama berpendapat bahwa penamaan AlQur’an dengan
sebutan “mushaf” itu baru muncul sejak Abu Bakar mengumpulkan AlQur’an. Ali ra
berkata bahwa, “ Orang yang paling besar pahalany adalam hal mushaf adalah Abu
Bakar ra, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar, karena dia lah
orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.”
c.
Pada Masa Utsman bin Affan
Pada masa ini, terdapat adanya perbedaan dialek
(lahjah) antar suku yang berasal dari daerah yang berbeda-beda, sehingga
menyebabkan keragaman cara bacaan AlQur’an (qira’at). Hal ini menimbulkan
kekhawatiran Utsman, akhirnya ia mengambil kebijakan untuk menyalin mushaf yang
dipegang Hafsah dengan sebuat mushaf standar yang ditulis dengan sebuah jenis
penulisan yang baku. Standar inilah yang digunakan hingga saat ini dan dikenal
sebagai rasam (cara penulisan) Utsmani. Pada saat itu, seluruh mushaf yang
berbeda dengan standar ini diperintahkan untuk memusnahkannya (membakarnya).
Hal ini bertujuan untuk mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan antar
umat Islam di masa depan, baik dalam penulisan maupun pembacaan AlQur’an.[25]
Selanjutnya, naskah tersebut disempurnakan oleh
pejabat Muayyah, yaitu Ibn Muqlah dan Ibn ‘Isa pada 933 dengan bantuan Ibn
Mujahid. Ibn Mujahid mengenali adanya tujuh corak pembacaan AlQur’an yang
berkembang, hal tersebut disebabkan karena tidak adanya huruf vokal dan tanda
baca. (Philip K. Hitti, 2005: 155)
Dari kebijakan khalifah Utsman bin Affan tersebut,
ada konsekuensi yang harus diterima oleh umat Islam saat ini, yaitu AlQur’an
yang sangat plural serta kaya akan bacaan dan maknanya, menjadi suatu bentuk
tunggal, yang dikenal dengan versi mushaf Utsmani. Dan mushaf inilah yang
dianggap paling sah dan benar sampai saat ini, yang mana mushaf tersebut
merupakan hasil tafsiran dari berbagai mushaf yang berkembang saat itu, dan di
dalamnya terjadi proses selektifitas, pembuangan, dan penambahan. . (Ignaz Goldziher, 2006: X)
C. Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa AlQur’an merupakan Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui
malaikat jibril yang bernilai ibadah bagi yang menbacanya dan dihukum kafir
bagi yang mengingkarinya, serta termaktub dalam Mushaf yang dimulai dari surah
Al Fatihah dan ditutup dengan surah An Naas. AlQur’an juga merupakan wahyu
Allah yang tiada duanya, yang didukung dengan banyaknya bukti keistimewaan-keistimewaannya,
baik secara intrinsik maupun ekstrinsik.
Sejarah
turunnya AlQur’an hingga menjadi mushaf yang sempurna seperti yang kita gunakan
saat ini tidak terjadi secara tiba-tiba, namun memerlukan waktu yang sangat
panjang, yang mana selama dalam prosesnya selalu menyesuaikan dengan keadaan
serta kebutuhan masyarakat saat itu. Selain itu, sudah banyak revisi yang
dilakukan mulai dari penulisan pada zaman Nabi hingga zamannya Utsman bin
Affan, yang mana hasil dari berbagai revisi tersebut sudah kita rasakan saat
ini, yaitu adanya mushaf Utsmani sebagai mushaf standar umat Muslim.
Daftar Pustaka
Al Munawar, Said Agil Husin. 2002. AlQur’an
membangun Kesalehan Tradisi Hakiki, Jakarta: Ciputat Press.
Ash Shiddieqy, Hasbi. 1953. Sejarah dan
Pengantar Ilmu AlQur’an Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang.
At Tubany, Ziyad Ul Haq. 2009. Struktur
Matematika AlQur’an. Surakarta: Rahma Media Pustaka.
Chaeroni, Cahaya. 2017. Sejarah AlQur’an. HISTORIA.
5 (2): 193-206.
Isma’il, Muhammad Bakr. 2009. Dirasah fi Ulumul
AlQur’an dalam Mardan, AlQur’an Sebuah Pengantar Memahami AlQur’an Secara Utuh.
Jakarta: Pustaka Mapan.
Kholil, Moenawar. 1985. Al
Quran dari Masa ke Masa. Solo: C.V.Ramadhani.
Mas’ud, Muhammad. 2008. Subhanallah Quantum
Bilangan-Bilangan AlQur’an. Yogyakarta: DIVA Press.
Masduki, Yusron. 2017. Sejarah Turunnya
AlQur’an Penuh Fenomenal (Muatan Nilai-Nilai Psikologi dalam Pendidikan). MEDINA-TE.
16 (1): 39-50.
Nasruddin. 2015. Sejarah PenulisanAlQur’an. Rihlah.
2 (1): 53-68.
Nasution, Harum. 1992. (ed) Ensiklopedia Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Salim, Muin. 1989. Konsepsi Penguasaan Politik
dalam AlQur’an. Jakarta: Fakultas Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah.
Shihab, M. Quraisy. 1999. Mukjizat AlQur’an. Bandung:
Mizan.
Syafe’i, Rahmat. 2015. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung:
Pustaka Setia.
Catatan:
1.
Similarity 20%, cukup bagus.
2.
Abstrak dengan dua bahasa, Arabic dan Indonesia
3.
Maksud dari sub-judul Anda itu apa?
4.
Anda pakai footnote atau innote? Kok ada innote Quraish Shihab, Hitti,
Goldziher?
5.
Penulisan gelar (Prof., Dr., Ustadz, dll) dalam tulisan ilmiah hendaknya
dihilangkan, baik dalam tulisan inti maupun footnote.
6.
Penulisan footnote tolong diperbaiki.
7.
Untuk referensi jurnal, judul tidak usah miring tetapi diberikan tanda
petik dua: “.......” dan yang dimiringkan hanya nama jurnalnya.
[3] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu AlQur’an Tafsir,Jakarta: Bulan Bintang, 1953, hal.17
[5] Muin Salim, Konsepsi
Penguasaan Politik dalam AlQur’an, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah, 1989), hal.24
[11] Muhammad Mas’ud, Subhanallah
Quantum Bilangan-Bilangan AlQur’an, (Yogyakarta:DIVA Press,2008), hal.70
[12] Ziyad Ul-Haq At Tibany, Struktur
Matematika AlQur’an, (Surakarta:Rahma Media Pustaka,2009), hal.47
[22] Said Agil Husin Al
Munawar, AlQur’an membangun Kesalehan Tradisi Hakiki, Jakarta: Ciputat
Press, 2002, hal.18
[23] Muhammad Bakr Isma’il, Dirasah
fi Ulumul AlQur’an dalam Mardan, AlQur’an Sebuah Pengantar Memahami AlQur’an
Secara Utuh, Jakarta: Pustaka Mapan, 2009, hal.68
Tidak ada komentar:
Posting Komentar