AL-QUR’AN DAN HISTORISITASNYA
(STUDI AL-QUR’AN DAN HADITS)
Tasya Annisa
Fajriatis Subkhiyah
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: tasyaannisa123@gmail.com
fajriatissubkhiyah38@gmail.com
e-mail: tasyaannisa123@gmail.com
fajriatissubkhiyah38@gmail.com
Abstract
As we know that the Qur'an is the word of Allah SWT. But in this article I will review about the Qur'an which we not only know as the word of Allah SWT but also there are other interesting things through the description in the following theme namely "Al-Qur'an and its Historicality" which will be discussed in the next section. This study aims to develop our insight into the importance of knowing the definition of the Qur'an itself as well as its historicity or history, so that we are expected not only to read but also to understand meaning, authenticity, as well as the ins and outs of the Qur'an. or we usually call it asbabun nuzul. Because with this concept our faith will increase over time. By having the historical insight of Al-Qur'anul Karim also without realizing it will deepen our love for Allah SWT and this is also included in the deeds that are worth worship.In other words, worship without understanding will also result in nothing. Because as if we just carry out it without knowing what the meaning and purpose of doing it.
As we know that the Qur'an is the word of Allah SWT. But in this article I will review about the Qur'an which we not only know as the word of Allah SWT but also there are other interesting things through the description in the following theme namely "Al-Qur'an and its Historicality" which will be discussed in the next section. This study aims to develop our insight into the importance of knowing the definition of the Qur'an itself as well as its historicity or history, so that we are expected not only to read but also to understand meaning, authenticity, as well as the ins and outs of the Qur'an. or we usually call it asbabun nuzul. Because with this concept our faith will increase over time. By having the historical insight of Al-Qur'anul Karim also without realizing it will deepen our love for Allah SWT and this is also included in the deeds that are worth worship.In other words, worship without understanding will also result in nothing. Because as if we just carry out it without knowing what the meaning and purpose of doing it.
Abstrak
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Namun dalam artikel ini akan mengulas mengenai Al-Qur’an yang tidak sekadar kita ketahui sebagai firman Allah SWT melainkan juga terdapat hal menarik lainnya melalui uraian dalam tema berikut ini yakni “Al-Qur’an dan Historisitasnya” yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menumbuh kembangkan wawasan kita mengenai betapa pentingnya mengetahui definisi Al-Qur’an itu sendiri sekaligus historisitasnya atau sejarahnya, sehingga kita diharapkan untuk tidak hanya sekadar membaca melainkan juga memahami makna, otentitas, begitu pula seluk beluk turunnya Al-Qur’an atau biasa kita sebut dengan asbabun nuzul. Sebab dengan adanya konsep tersebut keimanan kita akan bertambah seiring berjalannya waktu. Dengan memiliki wawasan sejarah Al-Qur’anul Karim pula tanpa kita sadari akan memperdalam kecintaan kita terhadap Allah SWT dan demikian inilah juga termasuk dalam amalan yang bernilai ibadah. Dalam artian lain, ibadah tanpa pemahaman pula akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Sebab seolah kita hanya melaksanakan saja tanpa tahu apa maksud dan tujuan melakukan hal tersebut.
Seperti yang kita ketahui bahwasannya Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT. Namun dalam artikel ini akan mengulas mengenai Al-Qur’an yang tidak sekadar kita ketahui sebagai firman Allah SWT melainkan juga terdapat hal menarik lainnya melalui uraian dalam tema berikut ini yakni “Al-Qur’an dan Historisitasnya” yang akan dibahas pada bagian selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menumbuh kembangkan wawasan kita mengenai betapa pentingnya mengetahui definisi Al-Qur’an itu sendiri sekaligus historisitasnya atau sejarahnya, sehingga kita diharapkan untuk tidak hanya sekadar membaca melainkan juga memahami makna, otentitas, begitu pula seluk beluk turunnya Al-Qur’an atau biasa kita sebut dengan asbabun nuzul. Sebab dengan adanya konsep tersebut keimanan kita akan bertambah seiring berjalannya waktu. Dengan memiliki wawasan sejarah Al-Qur’anul Karim pula tanpa kita sadari akan memperdalam kecintaan kita terhadap Allah SWT dan demikian inilah juga termasuk dalam amalan yang bernilai ibadah. Dalam artian lain, ibadah tanpa pemahaman pula akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Sebab seolah kita hanya melaksanakan saja tanpa tahu apa maksud dan tujuan melakukan hal tersebut.
Keywords:Historicality, Aunthenticity of the Qur’an, Asbabun Nuzul
A.
Pendahuluan
Setelah kita ketahui Taurat, Zabur, dan Injil lebih dahulu hadir,
kemudian hadirlah kitab suci Al-Qur’an sebagai penyempurna. Tak hanya itu
melainkan juga merupakan mukjizat yang luar biasa besar dibandingkan mukjizat
lainnya.Dan turunnya Al-Qur’an terjadi dalam dua fase yakni diturunkan di
Mekkah dan di Madinah dalam kurun waktu sekitar 23 tahun.
Bila kita ketahui isi maupun kandungan Al-Qur’an pasti akan kita
temukan beberapa aspek yang diantaranya meliputi segala suatu tentang
ketuhanan, kenabian, kemanusiaan, alam semesta, dan masih ada aspek lainnya
yang sangat berpengaruh pada kehidupan manusia dalam artian memudahkan roda
kehidupan dengan teguh berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an. Dengan Al-Qur’an, umat manusia memiliki tuntunan dan
tujuan hidup yang tidak bisa lepas dari prinsip atau pokok yang terdapat di
dalamnya. Jika seseorang ingin mengetahui hakikat hidup maka dengan memhami
kandungan Al-Qur’an, dan jika seseorang ingin menguasai ilmu pengetahuan juga
dengan Al-Qur’an.
Maka dari itu alangkah baiknya sebagai umat
Islam kita tidak hanya sekadar melaksanakan perintah sholat melainkan juga
senantiasa membaca dan memahai kalamullah yakni kitab suci Al-Qur’an, sebab dengan
membaca Al-Qur’an pun akan bernilai ibadahdi sisi Allah SWT.Lebih baik lagi
jika mampu merealisasikan dalam kehidupan serta mengajarkannya.
Dalam artikel ini akan dibahas mengenai Al-Qur’an dan
historisitasnya seperti yang disebutkan sebelumnya. Dan penulis berharap agar
apa yang dipaparkan nantinya dapat dipahami dan dapat terealisasi kedepannya melalui
amalan-amalan yang dilakukan. Terutama bagi pembaca yang telah memahami artikel
ini.
B.
Definisi
Al-Qur’an
Definisi Al-Qur’an bagi sebagian orang awam memang terkadang mereka
anggap sekadar kitab suci yang apabila membacanya bernilai ibadah dan mendapatkan pahala. Namun juga ada yang sudah mulai mengetahui
bahwasannya Al-Qur’an merupakan penyempurna kitab-kitab terdahulu yakni Taurat,
Zabur, dan Injil.Namun para ahli ternyata menghasilkan definisi yang berbeda
dari tiap individunya.Ada yang menunjukkan bahwa definisi Al-Qur’an merupakan
Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ketika itu Malaikat
Jibril datang dengan tujuan agar Al-Qur’an menjadi hujjah maupun bukti
bahwasannya beliau ialah memang sungguh sosok Rasul Allah.
Dan Al-Qur’an pun sebagai pedoman bagi umat manusia yang
keseluruhan isinya yakni dimulai dari surat Al-Fatihah hingga An-Nas memberikan
petunjuk-petunjuk yang membawa umat manusia menuju jalan yang lurus, sehingga
terciptalah ketentraman dalam hidupnya tanpa kebimbangan sebab sudah pasti
tidak akan pernah ada pergantian ayat dan senantiasa terjaga keotentikannya
hingga saat ini. Selain berbeda dari segi terminologi para ahli pun menyebutkan
definisi Al-Qur’an dari segi etimologi.
Dr.Subhi al-Shalih
merumuskan definisi Al-Qur’an yang dipandang
sebagai definisi yang diterima para ulama, terutama
ahli bahasa, ahli Fiqh, dan ahli Usul Fiqih.
اَلْقُرْﺁنُ هُوَالْكِتَابُ الْمُعْجِزُالْمُنَزﱠلُ عَلَى النَّبِيِّ
ص. م. الْمَكْتُوْبُ فِى الْمَصَاحِفِ الْمَنْقُوْلُ عَلَيْهِ بِالتَّوَاتِرُالْمُتَعَبَّدُ
بِتِلاَوَتِهِ
“ Al-Qur’an adaah firman Allah yang bersifat
(berfungsi) mukjizat (sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad) yang
turun-temurun kepada Nabi Muhammad, yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang
dinukil (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, dan yang membacanya dipandang
beribadah.”[1]
Dari pendapat diatas jelas bahwa Al-Qur’an
sebagai mukjizat terbesar Nabi SAW yang turun melalui perantara malaikat jibril
secara berangsur-angsur sebagai pedoman hidup bagi umat Islam yang didalamnya
terdapat pengajaran tentang ibadah, aqidah, akhlak, tarikh, pahala dan ancaman
serta hukum, yang mana umat Islam dapat memahaminya dengan tidak hanya membaca
tetapi juga merenungi dan mempraktekkan isi kandungan dalam Al-Qur’an. Dengan
begitu Al-Qur’an sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu dan penyempurna
kehidupan umat Islam.
Dalam Al-Qur’an, berisi ajaran yang hakikatnya
memiliki tujuan untuk menuntun seluruh umat Islam menjadi pribadi yang sholeh
dan memiliki keturunan sedemikian pula yang mampu meneruskan kepada penerus
umat Islam seterusnya. Allah Swt. menurunkan mukjizat Al-Qur’an dengan memiliki prinsip atau tujuan
pokok sebagai pedoman umat manusia yang termaktub dalam isi dari kandugan
Al-Qur’an, antara lain:
· Tauhid
Kepecayaan
mengenai Ketuhanan yang Maha Esa merupakan tuntunan utama bagi umat manusia
bahwasannya Tuhan adalah satu yang patut disembah dan memohon apapun hanya
kepada-Nya yaitu Allah Swt. Sekalipun Adam yang merupakan manusia pertama
dibumi ia percaya terhadap Keesaan Allah Swt. Namun setelahnya, banyak
keturunan yang menyimpang darinya, mengikuti ajaran yang jauh dari hakikat
Keesahan Tuhan seperti menyembah matahari, api, para dewa dan lain sebagainya.
Mengetahui hal itu, diutuslah para Nabi dan Rasul untuk meluruskan ajaran umat
manusia untuk menuju ajaran yang diridhai oleh Allah Swt.
· Janji dan ancaman Tuhan
Allah Swt.
menjanjikan ancaman bagi makhluknya yang beriman dan mematuhi semua petunjuk-Nya,
maka Allah akan mewujudkan kebahagian dalam hidupnya dan dihilangkan
kekhawatirannya akan celaka di kehidupan akhirat kelak. Namun sebaliknya, bagi
setiap orang yang ingkar kepada Tuhannya dan enggan untuk menerima ajaran
maupun nasihat dari pada orang-orang terdahulu, maka akan ditimpakan
kesengsaraan dalam hidupnya.
· Ibadah
Tujuan manusia
dalam hidupnya adalah untuk beribadah kepada Allah Swt. Dalam Islam, Ibadah
dinilai desuatu yang sangat luas. Tidak hanya dengan melakukan Ibadah Mahdhoh seperti sholat,
puasa , haji, dan yang lainnya, namun hal-hal baik yang diniatkan untuk Allah
Swt. dinilai suatu ibadah. Seperti mencari ilmu dengan niat untuk menghilangkan
kebodohan dan agar berguna bagi umat nusa bangsa adalah suatu ibadah.
Membersihkan rumah dengan niat mensucikan agar nyaman untuk beribadah,
beraktivitas maupun berkumpul dengan keluarga, hal tersebut jugadikatakan
sebagai suatu ibadah.
Ibadah sebagai
bentuk rasa syukur manusia kepada Tuhannya atas nikmat dan karunia yang ia
peroleh. Ibadah juga merupakan suatu tanggung jawab atau konsekuensi bagi
manusia yang bertuhan. Tidak cukup bagi manusia yang beriman tanpa melaksankan
ibadah, sebagaimana tidak cukup bagi manusia yang melakukan suatu amalan tanpa
dilandasi dengan keimanan.
· Jalan dan cara mencapai kebahagiaan
Setiap orang yang
beriman, pasti memiliki impian untuk memperoleh kebahagiaan baik di dunia
maupun di akhirat. Untuk mencapai impian tersebut, Allah Swt.dalam
Al-Qur’an memberi petunjuk bagi
hamba-Nya untuk senantiasa menjaga keimanan dan ketaqwaan serta menjalankan
perintah atau aturan yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya serta menjauhi segala
larangan-Nya.
· Cerita-cerita umat teradahulu (tarikh)
Di dalam
Al-Qur’an terdapat kisah tentang para Nabi atau Rasul besrta umatnya seperti
kisah Nabi Musa dengan umatnya, Nabi Ibrahim dengan umatnya, Nabi Nuh dengan
umatnya, dan masing-masing Nabi maupun Rasul beserta umatnya. Kisah-kisah tersebut
diutarakan kembali dengan maksud sebagai pelajaran bagi umat manusia sekarang
tentang kehidupan orang-orang terdahulu yang memiliki penyimpangan. Ha itu
sebagai tuntunan bagi setiap manusia untuk menjadi umat yang lebih baik
daripada umat seblumnya dan semakin taat atas apa yang diajarkan dalam agama.
Terdapat pendapat bahwa penulisan lafal
Al-Qur’an ada yang disertai hamzah ataupun tanpa disertai hamzah. Walaupun para
ahli menyebutkan definisi yang berbeda-beda, namun setidaknya kita dapat menyimpulkan
sendiri sesuai dengan pemahaman kita masing-masing asalkan tidak menyimpang
dari ketentuan, dan lebih baik jika justru menambah kecintaan kita pada Allah
SWT. Sehingga
ketakwaan pun bertambah tanpa harus merisaukan pendapat ahli mana yang lebih tepat
atau bahkan paling tepat. Sebab Islam tidak akan mempersulit kaumnya melainkan
kaumnya sendiri yang menciptakan keresahan yang dengan mudah kita terima begitu
saja godaan setan dengan keinginan kuat, keimanan, serta ketakwaan pada Allah
SWT. [2]
Perbedaan pendapat mengenai penggunaan hamzah
atau tidak dalam kata Al-Qur’an merupakan kajian yang dilakukan oleh para
ulama’ atau ahli agama dalam memperdalam ilmunya sesuai dengan pemikiran
mereka. Tidak perlu mempersalahkan ulama atau ahli agama dalam menuturkan
pemikiran mereka, tetap berkeyakinan terhadap apa yang diyakini selagi hal
tersebut tidak menimbulkan mudharat dan tidak mengurangi kecintaan terhadap
wahyu Allah Swt. (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur).
Seperti pada beberapa pendapat tentang asal
kata Al-Qur’an:[3]
o Al-Syafi’i, salah seorang imam mazhab yang
terkenal (150-204 H) berpendapat, bahwa kata Al-Qur’an itu ditulis dan dibaca
tanpa hamzah (Al-Quran bukan Al-Qur’an) dan tidak diambil dari kata lain.
o Al-Farra’ seorang ahli bahasa yang terkenal,
pengarang kitab Ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah dan diambil dari
kata qarain jamak qarinah, yang artinya indikator (petunjuk).
Hal itu disebabkan sebagian ayat-ayat Al-Qur’an itu serupa satu dengan yang
lain, maka seolah-olah sebagian ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang
dimaksud oleh ayat lain yang seripa itu.
o Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu Kalam, pemuka
aliran sunni (wafat 324 H) berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an tidak menggunakan
hamzah dan diambil dari kataقَرَنَ, yang artinya menggabungkan. Hal
ini disebabkan surat-suat dan ayat-ayat A-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan
dalam satu mushaf.
o Al-Zajjaj, pengarang kitab Ma’anil Qur’an
(wafat 311 H) berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an itu berhmazah, berwazan fu’lan,
dan diambil dari kata الْقَرْءُ, yang artinya penghimpunan. Hal iini disebabkan Al-Qur’an
merupakan kitab suci yang menghimpu intisari ajaran-ajaran dari kitab-kitab
suci sebelumnya.
o Al-Lihyani, seorang ahli bahasa (wafat 215 H)
berpendapat, bahwa lafal Al-Qur’an itu berhamzah, bentuknya masdar dan diambil
dari kata قَرَاءَ, yang artinya membaca. Hanya saja lafal Al-Qur’an ini
menurut al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul. Jadi Qur’an artinya maqru’
(dibaca).
o Dr. Subhi al-Salih, pengarang kitab Mabahits
fi Ulumil Qur’an mengemukakan, bahwa pendapat yang paling kuat adalah lafal
Al-Qur’an itu masdar dan sinonim (murodif) dengan lafal qiro’ah, sebagaimana
tersebut dalam al-Qiyamah ayat 17-18:
اِنﱠ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْاَنَهُ , فَاِذَا
قَرَاْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْاٙنَهٗ
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah
selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu.”
Dengan demikian maka permasalahan ini terdapat
sangkut pautnya terhadap fungsi Al-Qur’an itu sendiri serta terkait dengan
historisitasnya sehingga turunlah Al-Qur’an yang hingga detik ini terbukti
mampu memperbaiki problematika umat.
Murni merupakan kata yang pantas untuk
mendefinisikan Al-Qur’an selain yang ada pada pembahasan sebelumnya begitu pula
dengan tanpa adanya pengurangan maupun penambahan itulah kemudian dapat
dimaksud dengan otentitas Al-Qur’an. Dengan demikianlah peradaban umat dari
masa ke masa akan membaik atau bahkan menumbuhkan ketentraman apabila
berpedoman dengan Al-Qur’an yang tetap sama isi dan kandungannya hingga saat
ini walau perubahan zaman sekalipun.
a.
Masa
Turunnya
Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur
berupa beberapa ayat dari sebuah surat atau berupa sebuah surat yang pendek
secara lengkap. Adapun penyampaian Al-Qur’an secara keseluruhan, memakan waktu
lebih-kurang 23 tahun ketika Nabi masih tinggal di Mekah sebelum hijrah dan 10
tahun ketika Nabi sesudah hijrah ke Madinah.[4]
Surah atau ayat yang diturunkan sebelum Nabi
hijrah dinamakan Makkiyah. Dalam kategori ini, surah dan ayat terbilang
pendek-pendek dan singkat dalam bahasannya. Hal itu dikarenakan sasaran
utamanya adalah orang-orang suku Quraisy dan suku Arab lainnya yang sudah
memahami bahasa Arab. Adapun isi dari surat Makkiyah banyak membahas tentang
ketauhidan, yaitu seruan untuk meyakini secara murni tentang Tuhan Yang Maha
Esa bahwa Dia lah benar-benar Sang Pencipta dan Tuhan yang Agung.
Sedangkan, surah atau ayat yang diturunkan
setelah Nabi SAW hijrah dinamakan Madaniyah. Dimana surah dan ayatnya terbilang
panjang-panjang serta gaya bahasa yang digunakan panjang dan juga jelas. Dalam
hal ini, sasarannya tidak lagi orang-orang Quraiys atau orang-orang Arab saja,
namun juga orang-orang non Arab dari berbagai bangsa yang baru masuk Islam, dimana
pemahaman mereka mengenai bahasa Arab masih kurang. Secara umum, isi dari surat
Madaniyyah adalah mengenai norma-norma hukum untuk membina dan membentuk umat
Islam yang memiliki keberagaman atau perbedaaan dengan masyarakat lainnya
secara adil dan makmur.
Nabi SAW menerima wahyu yang pertama ketia Ia sedang
berada di Gua Hira yaitu surat al-alaq ayat 1-5. Sedangkan, wahyu yang
diterakhir diterima Nabi SAW ketikaberwukuf di Arafah untuk melaksanakan Haji
Wada’ pada 9 Dzulhijjah tahun kesepuluh Hijriah adalah sural al-Maidah ayat 3.
Wahyu yang pertama dan yang terakhir berselang waktu kurang lebih 23 tahun.
Adapun tujuan Al-Qur’an diturunkan berangsur-angsur adalah
untuk meneguhkan hati Nabi SAW yang melaksanakan amanat besar dari Tuhannya
untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya. Dengan perjuangan yang tiada henti
tidak bisa dipugkiri bahwa Nabi memperoleh banyak kecaman, ancaman, dan
permusuhan dari orang-orang kafir. Dengan diturunkannya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur sebagai penghibur dan peneguh hati Nabi SAW dikala susah sedih
dalam memperjuangkan agama Allah Swt. Tujuan lain diturunkannya Al-Qur’an
secara berangsur-angsur adalah untuk memudahkan Nabi SAW dalam menghafalkan
Al-Qur’an dikala Nabi SAW belum pandai membaca dan menulis, sebagai petunjuk
bagi umat Islam untuk meningglkan sikap
atau perbuatan yang negatif dan tradisi jahiliyah setelah mereka memahami dan
mengamalkan isi dari Al-Qur’an dan ajaran yang dibawa Nabi SAW secara bertahap.
Pemeliharaan
dan pengalaman dari Rasulullah kepada sahabat yang dilakukan dengan semaksimal
mungkin. Biasa kita sebut dengan istilah tartil merupakan metode yang
Rasulullah lakukan untuk mengajarkan membaca Al-Qur’an dengan perlahan serta
baik dan benar kepada para sahabat untuk kemudian ditirukancara membacanya. Karena anjuran yang benar ketika membaca Al-Qur’an adalah
dengan membacanya secara pelan, tidak tergesa-gesa, dan dengan suara yang
indah. Dengan begitu, umat Islam mampu menghayati dan memahami setiap ayat dan
kandungan yang ada didalamnya.
Begitulah memang segala sesuatunya membutuhkan proses untuk
memperoleh pemahaman yang baik walau sedikit demi sedikit. Sesuai dengan
pepatah yang mengatakan “sedikit sedikit lama-lama menjadi bukit”merupakan
istilah atau ibarat yang tepat untuk hal
ini.Sebab terbukti hingga kini banyak umat Islam yang mulai bisa membaca
Al-Qur’an atau bahkan mahir di dalamnya, baik itu dari segi membacanya atau
pemahamannya mengenai Al-Qur’an.Ini semua tak lepas dari Nabi Muhammad yang
telah mendedikasikan dan senantiasa dengan senang hati membagi ilmunya kepada
para sahabat hingga turun-temurun kepada anak
cucunya. Proses memahami dan mendalami Al-Qur’an
merupakan suatu usaha yang bernilai ibadah. Tidak bisa dibayangkan kebaikan apa
saja yang akan datang jika Al-Qur’an tidak hanya dibaca, namun juga dipahami
dan diamalkan isi atau kandungan yang ada didalamnya. Lebih baik lagi jika
mampu menghafalnya dan megamalkannya.
Berkat Rasulullah jugalah yang pada awalnya
mengajarkan dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa hingga pada akhirnya pun
para sahabat menjadi paham. Sebab kita tahu
bahwa segala sesuatu yang dilakukan dengan tergesa-gesa tidak akan membawa
kebermanfaatan akan tetapi justru sia-sia belaka. Yang demikian ini patutlah
kita teladani salah satu perilaku dari Muhammad SAW tersebut.
Berbicara mengenai perlahan seperti yang disebutkan sebelumnya
ternyata berkaitan dengan turunnya Al-Qur’an yang diturunkan secara
berangsur-angsur dan tidak sekaligus. Lagi-lagi kekuasaan Allah lah yang
membuat kita takjub akan segala rencanaNya termasuk juga fenomena Al-Qur’an
yang diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan dengan firman Allah Q.S
Al-Isra’ ayat 106 sebagai berikut:
وَقُرْآناً فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى
مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنزِيلاً
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan
berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami
menurunkannya bagian demi bagian”. (QS. Al-Isra’, 17:106)
b.
Yang
Menyampaikan Al-Qur’an
Peran Malaikat Jibril tidak terlepas pada penyampaian Al-Qur’an itu
sendiri.Sebab selain dikenal dengan Al-Ruhul Amin yakni Malaikat terpercaya
dimata Allah SWT. Dalam proses turunnya kalamullah tersebut Malaikat Jibril menurunkan
firman Allah ke dalam hati Rasulullah, Muhammad bin Abdullah untuk memberi
peringatan kepada umat manusia yang telah dijelaskan dalam firman Allah SWT
dalam Q.S As-syu’ara ayat 193-194 :
(193). نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril)”
(194). عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
“Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”
“Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril)”
(194). عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ
“Ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan”
c.
Penerima
Al-Qur’an
Q.S
Al-Qolam (68) : 4
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung.”
Q.S
Al-Fath (48) : 29
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الإنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.kamu Lihat
mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda
mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang
mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati
penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala
yang besar.” (QS Al-Fath: 29)
Q.S An-Najm (53) : 3-4
(3). وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”
(4). إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya”
(4). إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),
d.
Para
Penulis Al-Qur’an
Nama-nama
yang tercantum dalam sejarah kepenulisan Al-Qur’an yakni diantaranya yang
tergabung dalam Khulafaur Rasyidin yang empat, Amir bin Fuhairah, Ubay bin
Ka’ab, Tsabit bin Qais bin Samas, Zaid bin Tsabit, Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
e.
Bukti
Keautentikan Al-Qur’an
v Q.S Al-Isra’ (17) : 88
قُل لَّئِنِ ٱجْتَمَعَتِ ٱلْإِنسُ وَٱلْجِنُّ عَلَىٰٓ أَن يَأْتُوا۟
بِمِثْلِ هَٰذَا ٱلْقُرْءَانِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِۦ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ
لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah: “Sesungguhnya jika
manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya
mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian
mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain.”
v Q.S Hud (11) : 13
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَٮٰهُ ۖ
قُلْ فَأْتُوا۟ بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِۦ مُفْتَرَيٰتٍ وَادْعُوا۟
مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ
اللَّهِ إِن كُنتُمْ صٰدِقِينَ ﴿هود:١٣﴾
“Bahkan mereka mengatakan: “Muhammad telah membuat-buat Al Quran
itu”, Katakanlah: “(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup
(memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
v
Q.S. Yunus (10) : 38
أَمْ يَقُولُونَ ٱفْتَرَىٰهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا۟ بِسُورَةٍ مِّثْلِهِۦ وَٱدْعُوا۟ مَنِ ٱسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ صَٰدِقِينَ
“Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.”
Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakana itu), maka cobalah datangkan
sebuah surah seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil
(untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.”
C. Bukti-bukti Al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
Wahyu adalah
pemberitahuan Tuhan kepada Nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan, berita-berita
dan cerita-cerita dengan cara yang samar tetapi meyakinkan kepada Nabi/Rasul
yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah betul-betul dari Allah
sendiri.[5]
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ
اَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ اِلَّاوَحْيًا اَوْمِنْ وَّرَاءِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا
فَيُوْحَى بِاِذْنِهٖ مَايَشَٓاءُ
“Tidak ada manusia yang diajak bicara oleh Tuhan secara
langsung (face to face), kecuali dengan perantaraan wahyu (ilham) atau di balik
tabir atau dengan mengutus seorang utusan (Malaikat), kemudian ia diberi wahyu
dengan izin Tuhan apa-apa yang Dia kehendaki.” (QS. Asy-Syura: 51)
Berdasarkan ayat diatas, wahyu dibagu menjadi tiga macam
yakni
1)
Wahyu yang diperoleh tanpa melalui perantaraan, sebagaimana yang dialami
oleh Nabi Ibrahim ketika menerima perintah untuk menyembelih putranya yang
bernama Ismail. Wahyu tersebut diperolehnya melalui mimpi yang benar.
2)
Wahyu yang diperoleh dengan mendengar langsung firman Allah Swt. di balik
tabir, sebagaimana yang dialami oleh Nabi Musa ketika ia memperoleh
pengangkatan atas kenabiannya.
“Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah
Tuhanmu, karena itu lepaskanlah sepatumu sebab sesungguhnya engkau berada di
tempat suci, yakni Thuwa. Dan Aku telah memilih engkau sebab itu dengarkanlah
apa yang diwahyukan.” (QS. Thaha: 11-12)
Hal yang sama juga terjadi ketika peristiwa
Mi’raj Nabi Muhammad SAW, dimana Nabi
memperoleh perintah sholat lima waktu secara langsung oleh Allah Swt.
3)
Wahyu yang diperoleh melalui perantaraan Malaikat Jibril atau “Ruhul Amin”,
Sebagaimana peritiwa turunnya Al-Qur’an, dimana Nabi SAW dapat melihat malaikat
Jibril secara langsung dalam wujud asli maupun jelmaan manusia sebagai seorang
laki-laki bernama Duhyah bin Khalifah.
Kategori wahyu yang ketiga merupakan bukti bahwasanya
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi SAW melalui
perantara malaikat Jibril adalah benar adanya. Al-Qur’an bukanlah karangan atau
buatan Nabi SAW sebagaimana anggapan orang-orang kafir, mereka mengatakannya
karena tidak mengetahui hakikat wahyu Tuhan yang diberikan kepada makhluknya.
Jika Al-Qur’an adalah karangan Nabi untuk apa Jibril datang dengan menyampaikan
wahyu dari Allah? Ketika menerima pun Nabi merasa gejala atau perubahan dalam
dirinya seperti badan Nabi yang bertambah berat, keluar banyak keringat meski
dalam cuaca yang dingin. Proses penerimaan wahyu melalui perantara malaikat
Jibril inilah yang terberat dibandingkan proses perolehan wahyu lainnya.
Dalam Q.S Al-Hijr ayat 9 yang berbunyi :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ
وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran,
dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
Telah dijelaskan bahwasannya Al-Qur’an merupakan kitab suci yang
terpelihara bahkan Allah lah yang memelihara. Dan kitab suci ini begitu sangat
sempurna dibanding kitab-kitab yang lain.[6]
Suatu keistimewaan yang luar biasa dan hanya dianugerahkan kepada Nabi
Muhammad SAW dan RasulNya biasa diistilahkan dengan mukjizat.Tidak hanya nabi
dan rasulNya, ternyata Al-Qur’an pun memiliki sesuatu yang menakjubkan pada isi
maupun kandungannya.Yang demikian ini merupakan kebesaran serta karunia Allah
SWT sehingga tiada mungkin tertandingi oleh manusia berilmu tinggi
sekalipun.Sudah menjadi takdir bahwa keajaiban tersebut dikhususkan pada
orang-orang terpilih menurut kehendak Allah SWT.
Adapun syarat-syarat mukjizat antara lain merupakan segala sesuatu
yang mustahil dilakukan oleh makhluk, bertentangan dengan adat, harus disertai
bukti kebenaran dan bertanggung jawab atas pengakuannya dalam artian ia dapat
menunjukkan bahwa yang dilakukan memang benar adanya, begitu pula ketika
dimintauntuk mempraktekkan apa yang ia katakan sebagai mukjizatnya. Pada
intinya ialah tidak akan pernah ada makhluk Allah yang dapat menantang ataupun
menandingi mukjizat yang telah dikehendaki Allah pada orang terpilih seperti
yang telah disebutkan sebelumnya.
Aspek-aspek kemukjizatan Al-Qur’an antara lain dari segi :
ü Gaya bahasa (uslub)
ü Isi kandungannya:
Mengungkapkan berita bersifat gaib, I’jazul ‘ilmi (kemukjizatan
ilmu pengetahuan), memberi aturan hukum yang bersifat universal.
ü Sifat agung yang tiada mungkin ada makhluk Allah yang mendatangkan
mukjizat Al-Qur’an
ü Merupakan undang-undang yang detail dan sempurna
ü Mengabarkan hal gaib yang tidak diketahui kecuali dengan wahyu
ü Tidak bertentangan dengan pengetahuan umum yang sudah terbukti
keabsahannya
ü Menepati janji dan ancaman yang ada di dalamnya
ü Memenuhi kebutuhan manusia
ü Berpengaruh pada yang taat dan yang menentang
D. Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al-Qur’an (Masa Nabi,
Abu Bakar, dan Usman)
Sebelum mengerti sejarahnya, maka kita perlu mengetahui arti dari
pengumpulan Al-Qur’an itu sendiri atau yang biasa disebut dengan Jam’ul Qur’an
di dalam bahasa Arab.Berasal dari kata”Jama’a – Yajma’u – Jam’an”yangartinya mengumpulkan.Menurut
istilah yakni salah satunya menurut Al-Qurthubi dan Ibnu Katsir yang menyatakan
bahwa maksud dari Jam’ul Qur’an ialah menghimpun Al-Qur’an dalam lubuk hati
serta menghafalkannya.
Al-Qur’an telah ditakdirkan turun di kawasan Arab.Menurut mereka
para penduduk Arab, Al-Qur’an sangat erat kaitannya dengan kehidupan
sehari-hari sehingga mereka tidak menganggap bahwasannya Al-Qur’an merupakan
kalimat yang berdiri sendiri.
Alasan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab telah tertuang dalam
firman Allah SWT pada Q.S At-Thaha : 113 yang berbunyi :[7]
وَكَذٰلِكَ أَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا وَّصَرَّفْنَا فِيْهِ مِنَ الْوَعِيْدِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ أَوْ يُحْدِثُ لَهُمْ ذِكْرًا ١١٣
“Dan
demikianlah Kami menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, dan Kami telah
menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka
bertakwa, atau agar (Al-Quran) itu memberi pengajaran bagi mereka.”
Nabi Muhammad SAW meminta beberapa sahabat untuk
menuliskan wahyu diantaranya; Zain bin Tsabit, Mu’awiyah, Ubay bin Ka’ab dan
Khalid bin al-Walid. Mereka adalah sahabat Nabi yang pandai baca tulis dan
dijadikan sebagai penulis wahyu. Penulis wahyu diperintahkan Nabi untuk
menuliskan wahyu sesuai petunjuk Tuhan melalui Jibril. Mereka menuliskannya di
hadapan Nabi SAW pada benda-benda seperti; batu, kulit binatang, tulang,
pelepah kurma, dan lain sebagainya, meskipun ayat-ayatnya masih
terpencar-pencar dan belum tersusun diatas mushaf ataupun suhuf Al-Quran para
penulis wahyu membuat naskah pribadi dalam pengumpulan ayat-ayat tersebut.
Benda-benda yang telah dipenuhi oleh tulisan atau ayat-ayat disimpan di rumah
Nabi SAW.
Dengan belum diadakannya penyusunan Al-Qur’an dalam satu
mushaf, Al-Qur’an tetap terjaga dan terpelihara secara murni karena suhuf yang
diletakkan di rumah Nabi, para penulis wahyu yang membuat naskah-naskah
Al-Qur’an untuk mereka pribadi serta di dukung oleh banyaknya sahabat yang
menghafal Al-Qur’an, Hal itu tidak menghawatirkan atas kekeliruan maupun tidak
terjaganya Al-Qur’an. Berdasarkan janji Allah Swt atas apa yang Dia kehendaki
dalam surat al-Hijr: 9, yang artinya:
“Sesungguhnya Aku telah menurunkan peringatan (al-Qur’an)
dan sesungguhnya Aku telah memeliharanya (mengamalkannya).”
Setelah Nabi SAW wafat, Abu bakar diangkat
menjadi khalifah. Pada masa pemerintahannya terjadi beberapa konflik dengan
gerakan murtad yang mana mereka menolak untuk membayar zakat yang dipimpin oleh
Musailamah al-Kadzab. Abu Bakar segera bertindak terhadap gerakan tersebut
dengan mengirim pasukan perang dibawah pimpinan Khalid bin al-Walid. Terjadilah
peperangan pada tahun 12 H di Yamamah. Pasukan gerakan murtad bersih keras
untuk memerangi umat Islam, dari peperangan tersebut menimbulkan banyak korban
yang terbunuh termasuk 70 sahabat yang
hafidz Qur’an.
Setelah terjadinya perang Yamamah yang
mengakibatkan banyak pasukan Islam yang terbunuh dan sahabat hafidz Al-Qur’an.
Umar memiliki ide untuk mengumpulkan Al-Qur’an dalah dalam mushaf untuk
mengantisipasi hilangnya sebagian Al-Qur’an dengan wafatnya para sahabat tahfidz
Qur’an. Usulan tersebut diterima oleh Abu bakar setelah diadakannya diskusi dan
pertimbangan diantara mereka.Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadikan
kesepakatan untuk menyusun mushaf, dimana Abu Bakar menunjuk Zain bin Tsabit
untuk segara menyusun dan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Zaid sangat berhati-hati dalam menjalankan
tugas ini, sekalipun dia seorang penulis wahyu utama dan hafal seluruh
Al-Qur’an. Dia dalam menjalankan tugasnya berpegangan dengan dua hal, yaitu:[8]
1)
Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditulis dihadapan Nabi dan yang disimpan di rumah
Nabi.
2)
Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hafidz Qur’an.
Zaid tidak mau menerima tulisan ayat-ayat
Al-Qur’an, kecuali kalau disaksikan dengan dua orang saksi yang adil, bahwa
ayat itu benar-benar dituls dihadapan Nabi atas perintah (petunjuk)nya.[9]
Penulisan
dan penghimpunan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf dilaksanakan oleh
Zaid bin Tsabit dalam waktu 1 tahun, yaitu antara setelah terjadinya perang
Yamamah dan sebelum wafatnya khalifah Abu Bakar. Dengan hal itu, Khalifah Abu
bakar tercatat sebagai orang yang pertama yang menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an
dalam satu mushaf, Umar sebagai orang pertama yang memiliki ide untuk
dilaksanakannya penghimpunan Al-Qur’an serta Zaid bin Tsabit sebagai orang
pertama yang melakukan penulisan dan penghimpuan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Setelah penulisan Mushaf Al-Qur’an selesai,
Abu bakar menyimpannya dan setelah itu umar memiliki amanah untuk menyimpannya
setelah Abu Bakar wafat. Kemudian Mushaf tersebut disimpah oleh istri Nabi yang
bernama Hafsah setelah umar wafat. Hafsah merupakan istri nabi yang pandai
dalam baca tulis dan hafal Al-Qur’an.
Pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan,
terjadi probleatika dalam membaca Al-Quran. Kalangan umat Islam memiliki
perbedaan dalam membaca Al-Qur’an, hal ini mengakibatkan terjadinya kesalahan
dalam pemahaman Al-Qur’an dan pecahnya persatuan dan kesatuan umat Islam.
Mengetahui hal itu, seorang sahabat yang bernama Hudzaifah memberi usul atau
saran kepada khalifah Utsman untuk segera melakukan tindakan dengan
menyeragamkan tulisan Al-Qur’an. Diketahui bahwa penurunan wahyu Al-Qur’an
menggunakan tujuh dialek Arab pada waktu itu.
Dalam al-Mashahif terdapat sejumlah
riwayat yang menerangkan tentang sejauh mana perbedaan bacaan yang terjadi saat
itu. Diantaranya, mereka sedang membaca Al-Qur’an, lalu mereka berselisih
tentang suatu bacaan, hingga hampir timbul fitnah di antara mereka.[10]
Hal seperti itu sangat berbahaya akan timbul suatu anggapan siapa yang lebih
baik dan benar dalam membaca Al-Qur’an. Dari situ akan timbul pengkafiran yang
menyatakan dirinya paling benar. Itu merupakan suatu poblematika yang sedikit
rumit pada masa Khalifah Utsman bin Affan mengenai keabsahan dan kebenaran
bacaan Al-Qur’an.
Khalifah Utsman menerima saran dari Hudzaibah
untuk menyeragamkan tulisan Al-Qur’an dengan membentuk panitia yang diketuai
oleh Zaid bin Tsabit, beranggotakan Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘Ash, dan
Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam. Mereka bertugas untuk menyalin suhuf
Al-Qur’an yang benar yakni suhuf yang disimpan oleh Hafsah setelah wafatnya Umar.
Penyalinan Suhuf Al-Qur’an ke dalam mushaf
dilakukan dengan jumlah beberapa untuk disebarkan dibeberapa daerah Islam
dengan disertai instruksi bahwa seluruh suhuf maupun mushaf Al-Qur’an yang
berbeda dengan Mushaf Utsman harus dimusnahkan demi keseragaman bacaan
Al-Qur’an yang baik dan benar sesuai dengan wahyu tang diturunkan kepada Nabi
SAW. Serelah Mushaf Usmani tersebar, seluruh umat Islam dan juga para Nabi
menerima hal itu dan mematuhi instruksi yang disampaikan.
Panitia Zaid berhasil menyelasaikan tugas pada
tahun 25 H. Setelah penyalinan selesai, Suhuf Hafsah dikembalikan kepada Hafsah. Kemudian Suhuf Hafsah dibakar
oleh Marwan bin al-Hakam, seorang Khalifah Dinasti Umayyah. Hal itu Ia lakukan
dengan terpaksa demi keamanan dalam keseragaman Al-Qur’an yang mana telah
diusahakan oleh Khalifah Utsma untuk menyalin suhuf Hafsah ke dalam Mushaf Utsman untuk
menghindari keragu-raguan umat islam terhadap mushaf yang memiliki dua naskah
yaitu suhuf Hafsah dan mushaf Utsman.
Dari zaman Rasulullah kemudian Abu Bakar
hingga pada Umar ibn Khattab, naskah ditulis oleh para sahabat untuk kemudian
disimpan. Pertanyaannya ialah mengapa saat itu Al-Qur’an hanya tersampaikan
lewat lisan? jawabannya ialah sebab dikhawatirkan tercampur ataupun menjadi
kurang terjaga keotentikannya sehingga pada saat bangsa Arab mulai membuka diri
dengan bangsa-bangsa lainnya barulah naskah tersebut ditulis dan disusun
kembali dan kemudian disebarluaskan ke luar Arab walau hanya ke beberapa daerah
saja. Dan ketika itu merupakan masa dimana Usman bin Affan memimpin
pemerintahan. Naskah tersebut dijadikan naskah berstandar yang biasa kita kenal
dengan mushaf Al-ustmani.
Kemudian pada masa Ali bin Abi Thalib memimpin pemerintahan muncul
lah kajian tentang tata bahasa Al-Qur’an (ilm I’rab Al-Qur’an). Beliau
memerintahkan Abul Aswad Ad-Duwali menyusun dengan kaidah bahasa Arab sebab
sebelumnya terjadi pengrusakan akibat perbuatan orang-orang asing yang
dikhawatirkan mencampur adukkan bahasa mereka dengan bahasa Arab yang memang
sudah menjadi bahasa paten Al-Qur’an.
Setelah masa Ali bin Abi Thalib kemudian dilanjutkan dengan
khulafaurrasyidin para tabi’ tabi’in pun memunculkan ilmu-ilmu mengenai
Al-Qur’an. Adapun yang dibahas antara lain meliputi penafsiran ayat, nasikh wal
mansukh, dan sebagainya. Dan yang ada hingga kini setelah masa-masa tersebut
ialah telah adanya pembukuan Al-Qur’an yang kita pakai sehari-hari sebagai
pedoman hidup.
Ada perbedaan diantara pengumpulan mushaf oleh Abu Bakar dan Usman
bin Affan, yakni Abu Bakar melakukan pengumpulan mushaf disebabkan oleh
banyaknya penghafal Al-Qur’an yang gugur di medan perang, sedangkan Usman bin
Affan melakukan pengumpulan mushaf disebabkan karena banyaknya cara membaca
diberbagai wilayah dikhawatirkan adanya tradisi saling menyalahkan akan terus
berkelanjutan hingga kemudian mengakibatkan sesuatu yang tidak diinginkan.
Ada cara unik yang dilakukan oleh Abu Bakar dalam pengumpulan
mushaf yakni dengan memindahkan ayat-ayat yang ada pada kulit binatang, tulang,
ataupun pelepah kurma yang lalu kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf.
Terdapat suatu riwayat yang mengatakan bahwasannya selama ini yang banyak umat
kira ialah pengumpulan mushaf dilakukan pada saat pemerintahan Usman bin Affan
ialah kurang tepat. Sebab Usman bin Affan hanyalah menyelaraskan model qira’at
(bacaan) yang ada di kalangan umat saat itu. Hal ini pun juga atas persetujuan
kaum Muhajirin dan Anshar ketika itu hadir di hadapnya.
Sedangkan yang mengumpulkan Al-Qur’an terlebih dahulu sebenarnya ialah
Abu Bakar. Akan tetapi Usman bin Affan tidak lepas dari sejarah pengumpulan
mushaf Al-Qur’an, sebab beliau juga berkontribusi dalam penjagaan Al-Qur’an
sehingga tidak pernah ada penambahan, pengurangan, atau bahkan penyimpangan
hingga akhir zaman serta berhasil menghindarkan perselisihan ataupun fitnah
yang dikhawatirkan akan terjadi pada saat itu.
Al-Qur’an memiliki surat-surat yang secara etimologi dapat
diartikan sebagai “mulia,derajat, atau tingkat di sebuah bangunan”. Hikmah dari
adanya surat itu pun salah satunya ialah seperti yang kita lihat fenomena yang
ada terkait Al-Qur’an ialah akan menambah kerinduan hingga banyak yang tertarik
untuk menghafal yang alhasil menumbuhkan bibit-bibit pecinta Al-Qur’an.[11]
Seperti yang telah dijelaskan bahwa pengumpulan Al-Qur’an pada masa
Usman bin Affan dikarenakan adanya perbedaan cara membaca. Adapun cara membaca
yang dimaksud biasa dikenal dengan Qira’at, yakni ilmu mengenai tata cara
memenuhi kalimat dalam Al-Qur’an serta perbedaannya tergantung dari asal
daerah. [12]Dan
Qira’at terjadi dalam tiga zaman yang antaralain terjadi pada zaman Rasulullah,
sahabat, dan tabi’in hingga muncul ulama Qira’at. Adapun arti lain dari Qira’at
yakni dikatakan sebagai mazhab pembaca kitab suci Al-Qur’an yang kemudian
dikembangkan para pembaca maupun qari’ sebagaimana telah diberi amanah menjadi
imam pembaca Al-Qur’an.[13]
Adapun sedikit penjelasan mengenai teks Al-Qur’an karya
orientalis.Penerjemahan ayat-ayat Al-Qur’an sangat menarik untuk dikaji atau
bahkan dipahami. Sehingga dengan kerja keras kajian orientalis pun menjadi
berkembang dan dikelompokkan menjadi tiga sebagai berikut ini:
Ø Karya yang mencari pengaruh Yahudi Kristen dalam Al-Qur’an. Adapun
karyanya seperti “Judische Elemente im Koran (1878) karya Hartwig Hirschfeld.
Ø Karya yang mencoba memaparkan kronologis Al-Qur’an, seperti pada
karya Theodor Noldeke (1836-1930) yang berjudul Geshichte des Qorans.
Ø Karya yang menerangkan aspek tertentu dalam Al-Qur’an seperti
contoh “Die Richtunger der Islamischen Koranauslegung” karya Ignaz Goldziher.
E.
Penutup
Setelah melalui proses kajian dan pembahasan diatas,
Al-Qur’an dari segi historisitasnya memiliki keontetikan dan sejarah yang
memiliki makna luar biasa, dimana terdapat bukti-bukti yang jelas bahwa Al-Qur’an
benar-benar wahyu Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabi akhir zaman sebagai
mukjizat terbesarnya. Dari masa ke masa, Al-Qur’an tetap terjaga meskipun
melalui tahap-tahap yang sangat sederhana dalam penjagaannya hingga dapat
dibukukan dalam satu mushaf yang sampai saat ini memudahkan umat Islam dalam
mengamalkannya. Tidak diragukan lagi bahwasanya usaha yang dikerahkan oleh para
khalifah dalam melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW. serta menjaga kitab suci
Al-Qur’an tidak terdapat kesukaran atau kesulitan bagi mereka. Mengingat janji
Allah Swt. adalah sebaik-baik penjaga kitab suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup umat Islam yang mana memberi petunjuk dalam segala aspek
kehidupan.Kandungan yang termaktub didalamnya seperti tauhid, ibadah, janji dan
ancaman, akhlak, kisah umat terdahulu, memberikan petunjuk bagi umat manusia
untuk memperoleh jalan hidup yang benar untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Sebagai umat islam yang bijak, tidak perlu memperdebatkan
mengenai hal-hal yang dianggap benar atau dianggap salah dalam pemikiran
seseorang, cukup yakin dengan wahyu yang diturunkan Allah Swt. dan sabda Rasul
terkait keaslian Al-Qur’an yang patut kita jaga dengan terus mengamalkannya dan
mengajarkan kepada saudara muslim yang lain. Karena Al-Qur’an tidak
menyulitkan, namun manusia yang membuat kesulitan.Maka dari itu, seluruh umat
Islam memiliki tanggungjawab untuk menjaganya.
DAFTAR PUSTAKA
Syahin, Abdul Shabur. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan.
Mesir: Nahdet Mesir, 2005.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1982.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya:
Karya Abditama, 1997.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1993.
Pramono, Muhammad Fajar. "Pola-pola Pemeliharaan Al-Qur’an dalam Tinjauan
Historis".STIQ ISY KARIMA. Vol. 1 No. 1, Edisi 2017.
Nawawi,Maimun. "Bahasa dan Hegemoni Kekuasaan (Analisa Historis Sosiologis Tentang
Sakralitas Bahasa Al-Qur’an".OKARA.Vol. 2 No. 7, Edisi 2012.
Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan. Nahdet Mesir,
Mesir, 2005.
MAnsharuddin. "Sistematika Susunan Surat di dalam Al-Qur’an: Telaah
Historis". STAI Hasan Jufri Bawean.Vol. 2 No. 2, Edisi 2016.
Muslimin. "Urgensi Memahami Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya”.IAIT Kediri. Vol. 26 No. 2, Edisi 2015
Bahri, Samsul. "Sejarah dan Perkembangan Qira’at Al-Qur’an".SEAR FIQH.Vol. 10 No. 2, Edisi 2013.
Catatan:
1.
Similarity hanya 11%, sangat bagus.
2.
Dalam tulisan ilmiah, hindari penggunaan kata kita.
3.
Penulisan gelar (Prof.. Dr, Ustadz, dll) di tulisan inti atau footnote harus
dihilangkan.
4.
Lihat KBBI mengenai kata-kata yang sudah menjadi kosakata Indonesia, misalnya
yang seharusnya: Alquran, hadis, sunah, dll.
5.
Penulisan footnote tolong dibenahi, sebab tidak sesuai dengan aturan, terutama
penulisan referensi dari jurnal.
6.
Makalah ini belum sistematis, terkesan agak acak-acakan. Tolong dibuat sistematis
dan logis. Antara satu pembahasan dengan pembahasan lainnya menjadi benar-benar
jelas.
7.
Pembahasan mengenai sejarah Alquran hendaknya dipisah-pisah agar mudah dipahami.
[2]Abuddin
Nata, Al-Qur’an dan Hadits, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 51.
[6]Muhammad Fajar Pramono, "Pola-pola Pemeliharaan Al-Qur’an dalam Tinjauan
Historis". STIQ ISY KARIMA. Vol. 1 No. 1, Edisi 2017, hal 3.
[7]Maimun Nawawi, "Bahasa dan Hegemoni Kekuasaan (Analisa Historis Sosiologis Tentang
Sakralitas Bahasa Al-Qur’an". OKARA.Vol. 2 No. 7, Edisi 2012, hal.168.
[11]Ansharuddin M, "Sistematika Susunan Surat di dalam Al-Qur’an: Telaah
Historis". STAI Hasan Jufri Bawean.Vol. 2 No. 2, Edisi 2016, hal.211.
[12]Muslimin, "Urgensi Memahami Qira’at dalam Al-Qur’an dan Sejarah Perkembangannya”.IAIT Kediri.Vol. 26 No. 2, Edisi 2015, hal.2.
[13]Samsul Bahri, "Sejarah dan Perkembangan Qira’at Al-Qur’an". SEAR
FIQH.Vol. 10 No. 2, Edisi 2013, hal.108.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar