TA'WIL
DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Siti
Ana (15110234), Zainal Abidin (15110245)
PAI B
Semester VI
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: anasiti048@gmail.com
Abstract:
There are several rules that must be
considered in an effort to explore and establish the Islamic laws. Some of them are takwil, nasakh, muradhif, and musytarak.
According to Wahab Khalaf (ulama of
Ushul Fiqh) takwil is turning away
the lafadz from its original (dzahir)
meaning. Interpretation of nasakh is
the laws that was abolished by Allah, and its abolition in accordance with the
expiration of a law. Then, according to ulama
of Ushul Fiqh, muradhif has the
meaning of some lafadz used for a
meaning. While musytarak is lafadz which has two or more meanings, with
many uses and can show a different meaning.
Keywords: Ta`wil,
nasakh, muradhif, musytarak
Abstrak:
Dalam usaha menggali dan menetapkan
hukum-hukum islam, ada beberapa kaidah yang harus diperhatikan. Diantaranya
adalah ta`wil, nasakh, muradhif, musytarak. Ta`wil menurut Wahab
Khalaf (ulama` ushul fiqh) memiliki arti memalingkan lafazh dari zhahirnya,
karena ada dalil. Nasakh diartikan hukum yang dihapus atas kehendak
Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa berlaku suatu hukum.Muradhif
menurut ulma` ushul fiqh memiliki arti beberapa lafazh yang terpakai untuk
satu makna, sedangkan musytarak ialah lafazh yang memiliki dua arti atau
lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukan suatu arti secara
berbeda-beda.
Kata Kunci: Ta`wil,
nasakh, muradhif, musytarak
A. PENDAHULUAN
Al-Qur`an
dan As-Sunnah merupakan sumber hukum islam yang paling utama, dalam kedua
sumber hukum tersebut banyak lafazh yang sulit dipahami, oleh karena itu
diperlukan suatu metode yang disebut ilmu ushul fiqh agar tidak terjadi
kesalahan dalam menetapkan suatu hukum.
Diantara
dalil-dalil dalam Al`Qur`an dan As-Sunnah ditemukan adanya lafazh yang
berbeda-beda, ada lafazh yang langsung kita fahami ditinjau dari zhahirnya
saja, ada pula lafazh yang sulit kita fahami serta memerlukan dalil yang lain
untuk menguatkan. Sebagian dalil juga ada yang arti lafazhnya tidak
ada pada zhahirnya, itulah yang disebut dengan ta`wil.
Nasakh mansukh
memiliki peran yang penting dalam ulumul Qur`an, sebab dengan memahaminya kita
dapat memahami apakah hukum yang tertulis itu masih berlaku apa tidak. Dari
segi sejarah, nasakh mansukh dapat mengungkap tabir, proses perjalanan,
perundang-undang Islam dan menggali pesan yang tersembunyi dibalik tarbiyah
Allah SWT kepada hamba-Nya.
Dalam Al-Qur`an
kita sering menjumpai lafazh yang berbeda namun memilik arti sama yang disebut
dengan muradhif, begitu pula sebaliknya yakni musytarak.Oleh
sebab itu, agar tidak terjadi kesalahan dalam memahami makna ayat dan hadits
yang lafazhnya memiliki banyak makna diperlukanlah pemahaman aspek-aspek yang
terdapat pada muradhif dan musytarak.
B. TAWIL DAN NASAKH
1.
Ta'wil
a.
Pengertian
Ta'wil
·
Menurut Bahasa
Menurut
pendapat Abu Ubaidah Mamar bin Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh
Abu Jafat At-Thabary (Adib Shalih) takwil berasal dari kata. أَوَّلَ-يُؤًوِّلُ yang mempunyai arti At-Tafsir, Al-marja’,Al-Mashir.[1]
Pengertian ini diambil dari hadits
مَنْ صَامَ الدَّهْرَ فَلَا صَامَ ولَا
آلَ
Artinya:
“Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka
berarti ia tidak puasa dan tidak ada balasannya”
Di samping, takwil juga mempunyai arti Al-Jaza’. Seperti halnya Firman Allah
SWT :
ذَلِكَ خَيْرُ وَاَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
{النساء : 59}
Artinya :
“....yang demikian itu, lebih utama dan lebih
baik akibatnya.”
Dari
penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa secara
bahasa, ta`wil memiliki arti
At-Tafsir (penjelasan,uraian) atau Al-Marja, Al-Mashir (kembali, tempat
kembali) atau Al-jaza (balasan yang kembali kepadanya).
·
Secara
terminologi
Sedangkan
pengertian ta`wil secara
terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendifinisikannya. Berikut ini
merupakan pendapat dari para ulama salaf :
1.
Imam Al- Ghozali
dalam kitab Al-Musytashfa (Al-Ghozali,
1973:128)
إِنَّ
التَّأْوِيْلَ عِبَارَةٌ عَنِ احْتِمَالٍ يُعَضِّدُهُ دَلِيْلٌ يَصِيْرُ بِهِ
اَغْلَبٌ عَلَى الظَّنِّ مِنَ الْمَعْنَى الّذِي يَدُلُّ عَلَيْهِ الظَّاهِرُ.
Artinyya:
“Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan
tentang pengambilan makna dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung
oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh
lafadz zhahir”
2.
Imam Al-Amudi
dalam kitab Al-Mustashfa :
حَمْلُ اللَّفْظِ
عَلَى غَيْرِ مَدْلُوْلِهِ الظَّاهِرِ مِنْهُ مَعَ احْتِمَالِهِ بِدَلِيْلٍ
يُعَضِّدُهُ.
Artinya:
“Membawa makna lafadz zhahir yang mempunyai
ihtimal (probabilitas)
kepada makna lain yang didukung dalil.”
Dalam
menjelaskan definis ta`wil, kaum muhaditsin
dan ulama Ushul Fiqh sejalan dalam
mengemukakannya, yakni :
3.
Menurut wahab
khalaf:
صَرْفُ اللَّفْظِ
عَنْ ظَاهِرٍ بِدَلِيْلٍ
Artinya:
“Memalingkan lafadz dari zhahirnya,
karena ada dalil”
4.
Menurut
Abu-Zarhah: (Abu Zarhah:130)
إِخْرَاجُ
اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِ مَعْنَاهُ اِلَي مَعْنًى أَخَرَ يَخْتَمِلُهُ وَلَيْسَ
هُوَ الظَّاهِرُ فِيْهِ.
Artinya:
“ta`wil
adalah mengeluarkan lafadz dari artinya yang zhahir kepada makna lain, tetapi
bukan zhahirnyq”
Jika
kita teliti kembali secara seksama, pengertian ta`wil itu
lebih umum daripada pengertian khas,’amm,
dan mutlaq, dikarenakan lafadz tersebut menunjukkan arti yang
dimaksud dan dianggap dalil qothi.
Yang
menjadi penyebab adanya penakwilan terhadap lafadz-lafadz yang artinya dianggap
kuat adalah karena arti zhahirnya tidak sesuai dengan arti yang haqiqi,
sehingga hasil dari takwil menyebabkan arti yang tidak kuat menjadi kuat.
Kesimpulannya lebih mengutamakan makna dari hasil prasangka yang sesuai dengan
maksud syara[2].
b.
Macam-macam
Ta'wil
1)
Ditinjau dari
segi penerimaan dan tidaknyaa ta`wil, terdapat 2 bentuk, yakni:
·
Ta`wil maqbul
atau ta`wil yang diterima, yakni ta`wil yang telah memenuhi persyaratan yang
sudah dijelaskan diatas.
·
Ta`wil ghoiru
maqbul atau ta`wil yang ditolak, yaitu ta`wil yang hanya didasarkan pada hasrat
si penta`wil tanpa mengikuti persyartan yang sudah disebutkan.
2)
Ditinjau
dari segi jauh dekatnya pengalihan makna lafazh yang dita`wil dari segi
zhahirnya , terdapat 2 bentuk, yakni :
·
Ta`wil
qorib, yaitu ta`wil yang tidak berjauhan dari segi zhahirnya lafazh, sehingga
dengan logika dan penalaran saja kita sudah bisa memahaminya, namun tetap tidak
boleh keluar dari persyaratan yang sudah dijelaskan.
·
Ta`wil
ghoiru maqbul atau ta`wil yang ditolak, yaitu ta`wil yang hanya didasarkan pada
hasrat si penta`wil tanpa mengikuti persyartan yang sudah disebutkan.[3]
3)
Dari
segi prakteknya Zaky Al-Din Syaban berpendapat bahwa tawil dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni :
·
Tawil yang dekat dengan
arti zhahirnya dan bisa dipahami dengan mudah تأويله قريب إلى
الفهم)). Dalam ta’wil jenis ini, dalil yang kualitasnya
lebih rendah sudah cukup untuk menetapkannya.
Contoh :
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوْا إذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ...
Artinya
:
”Hai orang-orang yang beriman apabila
kamu hendak mendirikan sholat maka basuhlah muka kamu....(QS.Al-Maidah
:6)
Ayat
diatas terdapat lafadz (قمتم) yang makna zhahirnya berdiri dan mendirikan. Jika hanya
mengambil makna zhahirnya, maka disimpulkan waktu berwudhu hanya saat setelah
berdiri untuk menunaikan sholat, hal tersebut sangatlah sempit untuk difahami.
Maka diperlukan pentawilan, dari kata berdiri dirubah menjadi sengaja menunaikan
sholat. Jadi ayat fiatas menjelaskan jika hendak menunaikan sholat maka
diwajibkan wudhu terlebih dahulu.
·
Tawil
yang
jauh dari arti zhahirnya dan sulit untuk dipahami, oleh karena itu dalam
penetapannya diperlukan dalil yang kuat serta dapat menjadikan lebih rajih daripada makna zhahirnya.
Contoh
:
تَاْوِيْلٌ بَعِيْدٌ عَنِ
الْفَهْمِ....لَا بُدَّ لَهُ مِنْ دَلِيْلِ قَوِيٍّ وَيجْعَلُهُ رَاجِحًا عَلَى
المَعْنَى الظَّاهِرِ
“Tangan
Allah diatas tangan mereka (QS. AL-Fath :10)
Dalam
ayat diatas terdapat lafadz يدالله) (yang
jelas makna dzahirnya adalah Tangan Allah, namun Allah itu harus suci dari
sifat sifat yang menyerupai makhluknya, tidak mungkin arti lafadz (يدالله) itu seperti tangan kita, tangan hewan atau makhluk lainnya.
Dari situ Abu zahroh mengemukakan bahwa yang dimaksud lafadz (يدالله) adalah “ kekuasaan Allah.[4]
c.
Syarat-syarat
Ta'wil
Menurut
Abu Zahroh, untuk mentawil suatu lafadz harus diperlukan beberapa syarat
sebagai berikut :
·
Lafazh tersebut
memang bisa menerima ta`wil, seperti lafazh zhahir dan nash, serta tidak
diperuntukkan pada lafazh muhkam dan mufassar.
·
Lafadz yang
akan ditawil hendaklah memang mungkin atau perlu dilakukan, meskipun makna
yang dikehendaki jauh dari arti zhahirnya. Menurut Zaky Al-
Din Syaban jika arti zhahirnya jelas namun
tidak tidak sesuai penerapannya maka boleh mengambil arti majaz.
·
Pentawilan itu
bisa dilakukan jika arti zhahirnya bertentangan dengan kaidah yang sudah
ditetapkan atau berlawanan dengan nash yang lebih kuat dalalahnya.
·
Dalam
pentakwilan hendaklah didasari dengan dalil yang kuat dan logis agar lebih bisa
diterima serta sesuai dengan penerapannya. Menurut Abdul Karim Zaidan dalil
yang dimaksud bisa mencakup nash, ijma,
qiyas dan hikmah.
Syarat syarat diatas berkenaan dengan
boleh tidaknya ta`wil dari segi nash syara`,Adapun syarat-syarat yang harus
dipenuhi dari segi penta`wil, yakni sebagai berikut :
1) Penta`wil
harus memiliki kecakapan akademis, mampu mendalami makna nash sehingga sampai kepada apa yang dimaksud
Allah sebisa mungkin, meskipun tidak seutuhnya benar karena kebenaran hanya
milik Allah SWT.
2) Penta`wil
harus memiliki kemampuan dan keilmuan dalam ber-isdlal dan
ber-istinmbath.
3) Penta`wil
harus mempunyai sikap yang bijaksana dalam mentarjih 2 dalil yang berbeda atau
bertentangan
4) Penta`wil
harus memiliki keilmuan yang luas tentang hukum Islam, kaidah kebahasaan,
kaidah syariah,agar bisa memahami apa yang dimaksud Allah atas teks teks syara[5]`.
Pada umumnya,
ulama ushul tidak berbeda dalam menentukan syarat pentawilan. Oleh karena itu
tawil yang shohih harus berpijjak pada syarat-syarat diatas. Jika tidak
memenuhi syarat tersebut, maka pentawilan lafadz yang nash yang zhahir tidak
dapat diterima.
d.
Pandangan Ulama
tentang kedudukan dalalah ta'wil
Sebagaimana yang
sudah dijelaskan diatas, bahwa pengertian dari ta`wil adalah memalingkan lafazh
dari zhahirnya karena ada dalil, namun tidak semudah itu dalam
menerapkannya,ada perbedaan ulama` dalam menanggapi hukum ta`wil.
Perbedaan tersebut terutama terjadi
diantara madzhab syafii`i dengan madzhab Hanafi. Zaky al-Din Sya`ban
menjelaskan bahwa penta`wilan yang paling banyak itu dilakukan oleh madzhab
Hanafi. Dan hasilnya banyak ditentang oleh kalangan madzhab lainnya.
Ulama` syafi`i berpendapat bahwa
penta`wilan itu harus dilakukan dengan makna yang dekat dengan arti zhahirnya,
sedangkan menurut Madzhab Hanafi persyaratan tersebut tidak diberlakukan,mereka
lebih banyak menggunakan ilmu ro`yinya, menurutnya yang terpenting adalah
sesuai dalil syara` dan tidak menyalahinya.
Berikut contoh penolakan ta`wil oleh
madzhab Syafi`i terhadap mazhab Hanafi, yakni dalil yang
menjelaskan zakat kambing.
فىِ كلِّ اَرْبَعِيْنَ شَاةً شاةٌ
“Setiap empat puluh ekor kambing, zakatnya
harus dikeluarkan satu ekor”
Madzhab Hanafi
menta`wil hadits tersebut, bahwa yang dimaksud dengan satu ekor kambing bisa di
ganti dengan harga yang senilai dengannya, menurut madzhab Hanafi
diwahjibkannya zakat dalam hadits tersebut bertujuan untuk menaggulangi
kabutuhan fakir miskin, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa barangsiapa
yang telah memilki 40 ekor kambing, maka wajib baginya mengeluarkan zakat
dengan satu ekor kambing dan apabila tidak ingin dengan satu ekor kambing, bisa
dengan sesuatu yang senilai dengannya.
Penta`wilan yang dilakukan madzhab
Hanafi tersebut ditolak oleh madzhab Syafi`i, karena menurut madzhab Syafi`i
berdasarkan nash zhahir lafazh tersebut menuntut untuk wajibnya zakat satu ekor
kambing, karena syar`i sudah menentukan demikian. Penjelasan secara makna
zhahir lafzh nash tersebut munurut madzhab Syafi`i tidak bisa diganti dengan yang lainnya.
Dari pendapat kedua madzhab tersebut
dapat dapat dipahami perbedaan sesuatu yang tidak dapat terhindarkan, mereka
pasti mempunyai pemikiran tersendiri dalam menetapkan suatu hukum, akan tetapi
dapat diambil kesimpulan, bahwa ta`wil ini bisa diberlakukan sepanjang memenuhi
persyaratan yang sudah dijelaskandan tidak berlawanan dengan nash yang sarih.[6]
2.
Nasakh
a.
Pengertian
Nasakh
Pada
saat kajian ushul fiqh, para Ulama ushul membicarakan tentang
masalah nasakh. Maka dari itu, dibutuhkan penjelasan tentang bagaimana masalah
nasakh yang sesungguhnya jika dikaitkan dengan hukum Islam. Berikut
adalah penjelasan tentang apa pengertian dari nasakh itu sendiri.
Secara
bahasa, nasakh berarti pembatalan atau penghapusan. Sedangkan menurut istilah,
ada beberapa pendapat:
1)
Menurut Ulama
ushul fiqh, nasakh adalah penjelasan suatu hukum melalui dalil syar'i yang
mulai datang sampai berakhir masa berlakunya. Maksudnya adalah hukum yang
dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan habisnya masa
berlaku suatu hukum.
2)
Pembatalan hukum
syara' dari orang mukallaf yang ditetapkan terdahulu, sama dengan hukum syara'
yang terbaru.
Dari definisi para
ulama ushul fiqh diatas, maka nasakh akan dianggap benar apabila:
a)
Dari tuntutan
syara', maka adanya pembatalan yang mengandung hukum dari syar'i (Allah dan Rasulullah
Saw).
b)
Hukum syara'
yang dibatalkan disebut dengan mansukh.
c)
Jika ada hukum
yang dibatalkan, maka ada hukum yang datang kemudian. Artinya
adalah, lebih dahulu datang suatu hukum syara' yang dibatalkan dari hukum yang
membatalkan. Oleh sebab itu, jika ada hukum yang berkaitan dengan syarat yang
bersifat istisna' (pengecualian) maka tidak dinamakan nasakh.[7]
Penghapusan hukum (nasakh)
ini hanya terjadi pada zaman Rasululllah masih hidup. Pada masa hidupnya,
beliau dituntut untuk merealiasasikan kemaslahatan umat yang telah dikehendaki
oleh nasakh dalam ayat Al`Qur`an dan hadits.[8]
b.
Rukun Nasakh
Ulama
ushul membagi empat unsur yang dijadikan sebagai pijakan, landasan atau patokan
terjadinya nasakh, yang sering disebut dengan arkan al-nasakh yaitu rukun nasakh. Berikut
adalah penjelasan dari Imam Al-Ghazali tentang keempat unsur yang menjadi rukun
nasakh:
Bisa disebut dengan nasakh, apabila dari suatu
ketentuan hukum muncul adanya pernyataan penghapusan, hal tersebut dinamakan رفع الحكم
1)
'Adat al-Nasakh,
yaitu suatu pernyataan yang menunjukkan pembatalan (penghapusan).
2)
Nasikh, yaitu
Allah, Dia-lah yang membuat dan membatalkan hukum dengan sesuai kehendak-Nya.
3)
Mansukh, ada
hukum yang dihapuskan, dibatalkan dan dipindahkan.
4)
Mansukh 'Anhu,
yaitu ada orang yang dibebani hukum.[9]
c.
Syarat-syarat
Nasakh
Menurut Abu
Zahrah syarat nasakh adalah sebagai berikut :
i. Hukum
yang dibatalkan itu bukan persoalan yang sifatnya permanen atau abadi, seperti
halnya perintah Nabi saw kepada umatnya untuk selalu berijtihad. Nabi pernah
bersabda bahwa ijtihad itu berlaku sejak
diperintahkan sampai hari akhir ) . الجهاد ماض إلى يوم القيامة )
ii. Hukum
yang dibatalkan bukanah hukum yang baik buruknya itu bisa dipijakkan hanya
dengan akal, seperti zalim dan dusta.
iii.
Nasakh yang membatalkan itu harus datang kemudian,
dikarenakan nasakh berarti
berakhirnya keberlakuan suatu hukum tersebut.
iv.
Nasakh atau
penghapusan itu hendaklah hukum yang tidak bisa dikompromikan.
Imam Al-Ghozali juga mengemukakan
pendapat tentang syarat nasakh,yakni :
a. Hukum
yang dinasakh adalah hukum syara`
b. Hukum
yang dinasakh adalah tuntutan syara`, jika pembatalan itu diperuntukkan pada
orang yang sudah meninggal maka tidak
disebut nasakh
c. Hukum yang dinasakh bukanlah hukum yang ada kaitannya
dengan waktu, misalnya hukum berpuasa.
ثُمَّ أَتِمّوْا
الصِّياَمَ إلىَ الَّيْلِ.......
Dalam ayat tersebut sudah memberikan informasi secara
jelas bahwa berakhirnya puasa adalah sampai datangnya malam.
d. Dalil yang menjadi nasikh itu datangnya kemudian
dari dalil yang di nasakh ( mansukh) [10]
Tidak ada perbedaan yang mendasar dari
syarat syarat nasakh yang dikemukakan oleh kedua toko di atas, namun ada
persyaratan lain yang perselisihkan oleh para ulama, yakni :
1. Menurut
mu`tazilah dan sebagian ulama Hanafiyah, syarat hukum yang dinasakh itu
haruslah sudah dipernah dilaksanakan, agar membuktikan bahwa tidak ada hukum
yang ditetapkan oleh Allah secara sia-sia.
Jumhur membantah pendapa tersebut dengan
alasan sebagai berikut:
a. Baik
buruknya suatu hukum tidak hanya dinilai dengan akibat dari perbutan tersebut,
namun ada yang lebih penting dari itu, yakni ketaatan melakasanakan sesuatu
karena Allah.
b. Faktanya,
banyak hukum yang dinasakh sebelum dilaksanakan. Misalnya sholat 50
waktu yang dinasakh menjadi 5 waktu.
2. Sebagian
ulama ushul fiqih berpendapat bahwa hukum dinasakh itu harus ada penggantinya,
dengan alasan firman Allah surat Al-Baqoroh ayat 106. Namun jumhur membantah
pendapat tersebut, Allah tidak wajib menggantinya. Misalnya hukum memberi
sedekah bagi orang yang ingin melakukan pembicaraan dengan Rosul, yang dinasakh dengan ayat berikutnya, dan tidak ada pengganti hukum
tersebut.
3. Sebagian ulama` ushul dari golongan hanafiyah berpendapat
bahwa untuk menasakh nash Al-Qur`an atau hadits mutawattir haruslah dengan
nasikh yang kualitasnya setingkat atau lebih, tidak boleh dengan kualitas dalil
yang lebih rendah.Misalnya menasakh Al`Qur`an dengan hadits ahad, dengan dasar
hadits yang diriwayatkan dari Umar Ibnu Al-Khattab :
Artinya
:
لاَنَدْعُ
كِتاَبَ رَبِّناَ وَ سُنّةَ نَبيِّناَ لِقوْلٍ امْرأَةٍ لاَنَدْرِىْ أَصَدَقَتْ
أْوْ كَذَّبَتْ
“kami tidak akan meninggalkan hukum Tuhan kami dan
hukum Rasul kami hanya karena ucapan seorang wanita yang kami sendiri tidak
tahu apakah ia benar atau tidak.... (H.R. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal)
Jumhur dan Abu Daud
Azh-Zhahiri tidak menerima pernyataan tersebut, dengan alasan adanya hadits
Ahad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi yang menasakh ayat Al-Qur`an surat Al-Baqoroh ayat 180.
4. Imam
syafii berpendapat bahwa jika yang dinasakh Al-Qur`an maka
nasikhnya juga harus dengan ayat Al`Quran. Begitu pula dengan hadits, jika yang
dinasakh hadits mutawattir maka nasikhnya harus dengan hadits mutawattir pula.
Hal tersebut dibantah oleh Jumjur, bahwa Al`Qur`an bisa dinasakh dengan hadits
mutawattir, begitu pula sebaliknya.[11]
d.
Macam-macam Nasakh
1)
Nasakh yang
tidak ada gantinya, jadi setelah hukum tersebut dihapus tidak ada pergantian
dari hukum tersebut, seperti hukum bersedekah kepada fakir miskin ketika ingin
melakukan pembicaraan dengan Rosulullah.
2)
Nasakh yang
ada penggantinya, ada kalanya ganti dari hukum yang dinasakh tersebut lebih
berat dan ada kalanya lebih ringan. Seperti penghapusan hukum sholat 50 waktu
yang diganti dengan sholat 5 waktu.
3)
Nasakh
bacaan (text) atau penghapusan bacaan nashnya saja namun hukumya tetap berlaku,
seperti halnya hukum rajam bagi orang laki-laki yang zina engan perempuan tua
yang sudah menikah.
4)
Nasakh
bacaan sekaligus hukumnya, seperti saudara sesusu yang telah melampaui 10 kali
susuan maka haram untuk dinikahi (H.R Bukhari dan Muslim dari Aisyah). Hukum
tersebut telah dihapus.[12]
e.
Pandangan Ulama
tentang Nasakh
Pandangan
ulama` mengenai nasakh ini berbeda beda, ada yang mengatakan nasakh ini benar
benar terjadi dan ada juga yang mengingkarinya, berikut adalah penjelasan lebih
lanjut.
1) Golongan pertama, yakni kelompok yang mengemukakan
kebenaran terjadinya nasakh hukum syara`, pendapat ini didukung oleh mayoritas
ulama`, yang dijadikan dasar kelompok ini adalah 3 surat dalam Al`Qur`an, yakni
surat Al-Baqoroh ayat 106, surat An-Nahl ayat 101, dan surat Ar-Ra`du ayat 39.
2) Golongan
yang kedua, yakni golongan yang mengingkari adanya nasakh terhadap nash
Al`Qur`an, pendapat ini dikemukakan oleh Abu Muslim Al-Sifahani (256-322H).
Menurut Abu Muslim isi dari seluruh Al`Qur`an mengandung nilai-nilai hukum dan
tidak ada sedikit pun pergantian terhadap perkataan Allah.Pendapat ini juga
didukung oleh Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, dimana keduanya mengemukakan
bahwa, lafal اية ) ) dalam surat Al-Baqoroh ayat 106 dan surat An-Nahl ayat 101
memiliki arti syariat, dimana menurutnya syariat yang dimaksud itu adalah
syariat-syariat umat-umat yang lalu, yakni yang terdapat dalam kitab Injil,
Taurat, dan Zabur.kemudian Abu Muslim menegaskan lagi, seandainya nasakh ini
terjadi maka akan bertentangan dengan Firman Allah sendiri, yakni :
لا َيأْتِيْهِ الباَطِلٌ مِنْ بَيْنِ
يَدَيْهِ وَلاَمِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
Artinya: “yang tidak datang kebhatilan kepada
Al-Qur`an itu baik dari depan maupun belakangnya, yang mana ia turunkan dari
Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”
(QS.Al-Fushilat: 42)
Dari penjelasan ayat di atas, Abu Muslim
mengemukakan bahwasannya semua ketentuan hukum dan syariat yang ada dalam
Al-Qur`an itu bersifat kekal dan tidak bisa diganti atau dirubah.[13]
f.
Perbedaan Nasakh
dengan Takhshish
1.
Nasakh tidak
bisa dilakukan, kecuali dengan nash yang akan datang kemudian. Sedangkan
pentakhshiskan bisa dilakukan jika mengiringi dan melalui lafadz yang datang
kemudian, dari lafadz yang akan mentakhshiskan.
2.
Nasakh hanya
bisa dilakukan melalui dasar naqli saja. Sedangkan pentakhshiskan bisa
dilakukan dengan dalil ahli dan dalil naqli.
3.
Nasakh bisa
dibatalkan dari seluruh kandungan hukum lafadz tersebut, dan kemudian nash yang
telah dinasakhkan tidak berlaku lagi setelah dinasakhkan. Sedangkan
pentakhshiskan akan tetap ada, apabila sesuai dengan lafadz dan maknanya yang
umum.
4.
Pentakhshiskan
tidak akan berlaku apabila terdapat kata perintah (amar) dan mengandung satu
perintah, seperti: "bersedekahlah pada si Fulan". Sedangkan nasakh
bisa dilakukan dalam kasus seperti diatas.
5.
Dalam nasakh, apabila
yang dinasakhkan termasuk nash qath'i, maka yang menasakhkan harus qath'i juga.
Sedangkan pentakhshiskan dengan lafadz umum dan bersifat qath'i, maka boleh ditakshiskan
dengan qiyas, hadis ahad dan dalil-dalil syara' lainnya.
g.
Hikmah Nasakh
Hikmah
dengan adanya nasakh adalah untuk memelihara kemaslahatan umat beragama baik di
dunia maupun di akhirat. Dan perlu diingat kembali, sebenarnya dalam persoalan
nasakh hanya berlaku pada saat Rasulullah Saw. masih hidup, dan setelah beliau
wafat tidak diadakan lagi.[14]
C. MURADIF DAN MUSYTARAK
1.
Muradif
a.
Pengertian
Muradif
Menurut
bahasa, muradif artinya membonceng, ikut serta. Sedangkan menurut ushul
fiqh, muradif adalah اللّفْظُ
الْمُتَعَدِّدُ لِلْمَعْنّى الْوَاحِدِ, yang artinya adalah
"Beberapa lafadz terpakai untuk satu makna."
Muradif
juga bisa diartikan sebagai, lafadz yang banyak sedang artinya satu atau sama
(sinonim).
Contoh:
a) الأسَدُ dan اللَّيْثُ = singa
b)
الدَّرُ، الْمَنْزِلُ، ألْبَيْتُ = rumah
Dari
beberapa contoh lafadz diatas, sudah sangat jelas bahwa jika ada lafadz satu
dengan dua, atau tiga dan mempunyai makna yang sama, maka dinamakan lafadz
muradif.[15]
b.
Hukum
Muradif
Berkaitan
dengan muradif, memang benar para ulama mempersoalkan bagaimana hukumnya. Apakah
boleh satu lafadz diganti dengan lafadz yang berbeda akan tetapi maknanya
sama?... Contoh lafadznya adalah الأسَدُ diganti menjadi الْبَيْتُ.
Pada umumnya para Ulama berpendirian bahwa, tidak
boleh mengganti lafadz muradif-nya karena Al-Qur'an mempunyai sifat Ta'abudi
yang seluruh lafadznya mengandung mukjizat. Para Ulama juga berselisih bukan
hanya masalah muradif yang tidak boleh diganti, akan tetapi dalam hal tertentu
seperti Zikir. Ada dua syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan
permasalahan zikir yang juga menjadi golongan yang membenarkan muradif:
1) Jika tidak mendapat halangan dari Agama baik secara
jelas ataupun samar-samar, maka diperbolehkan memakai lafadz muradif,
2) Dan jika lafadz muradif-nya berasal dari satu bahasa,
contohnya adalah sama-sama menggunakan bahasa Arab, maka juga diperbolehkan
memakai lafadz muradif.[16]
2.
Musytarak
a.
Pengertian
Musytarak
Jika dilihat dari segi bahasa, musytarak memiliki arti
berserikat, berkumpul. Dan dalam ushul fiqh, musytarak adalah:
اللَّفْظُ الْمَوْضُوْعُ لِحَقِيْقَتَيْنِ مُحْتَلِفَتَيْنِ اَوْ أَكْثَرَ
"Lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang berbeda-beda."
Maksud dari
lafadz diatas adalah, apabila ada suatu
lafadz yang memiliki dua arti atau lebih dengan arti atau makna yang
berbeda-beda.[17]
Maka, dapat disimpulkan pengertian dari musytarak adalah lafadz yang memiliki
dua arti atau lebih, dengan kegunaan yang banyak dan dapat menunjukkan suatu
arti secara bergantian atau
berbeda-beda.
Contoh dari musytarak yang berbahasa arab adalah, kata
ayn yang mempunyai makna banyak. Ada
yang mengartikan mata, mata air, emas dan mata-mata. Dan ada juga kata quru
yang memiliki dua makna. Yang berarti haid, dan ada juga yang mengatakan masa suci diantara dua haid.[18]
b.
Sebab-sebab
terjadinya lafadz musytarak
Yang perlu kita
perhatikan lagi adalah tentang sebab-sebab timbulnya lafadz musytarak, antara
lain:
1)
Telah diketahui,
bahwa beragam-ragam suku dari bangsa Arab, yakni dari golongan Adnan dan
Qathan. Dari golongan tersebut terdiri dari suku dan dusun yang bermacam-macam
dan berpencar-pencar dengan tempat dan lingkungan yang berbeda-beda. Terkadang
ada suatu suku membuat nama untuk sesuatu pengertian. Kemudian suku lain
tersebut menggunakan nama untuk sesuatu pengertian lainnya yang tidak dimaksud
oleh suku pertama. Dan tidak ada sangkut pautnya antara kedua pengertian itu.
Tatkala diambil orang lain dengan berbahasa Arab dan dibukukan kedua pengertian
diambil begitu saja tanpa memperhatikan hubungannya dengan suku yang kembali
seperti semula.
2)
Terdapat satu
lafadz yang bisa digunakan untuk arti
dasar yang sama diantara kedua pengertian. Itulah yang disebut dengan
persekutuan batin (isytirak ma'nawi). Biasanya seseorang ada yang melupakan
arti atau makna dari kedua pengertian tersebut, dan disangka hanya isytirak
lafdzi (persekutuan) lafal saja. Seperti contoh, lafadz qur'un yang semula
berarti waktu tertentu. Disebabkan karena mempunyai waktu tertentu. Ada juga
perempuan yang bisa dikatakan qur'un dikarenakan ia mempunyai datang bulan dan
waktu suci yang tertentu. Dari berbagai pengertian qur'un yang menjadi arti
dasar yang menghubungkan maka disebut dengan isytirak ma'nawi (waktu yang tertentu). Akan tetapi, kemudian
dilupakan dengan arti yang menghubungkan, sehingga tidak diketahui hubungan
dari suci dan haidnya, peristiwa tersebut dinamakan isytirak lafdzi.
3)
Dikarenakan
adanya 'alaqah (hubungannya). Yang awal
mula, jika ada suatu lafadz digunakan untuk sesuatu arti. Alaqah tersebut
dilupakan dan kemudian hilang tanpa mengetahui adanya alaqah, dan disangka kata
tersebut digunakan untuk kedua arti yang haqiqi atau sebenarnya.[19]
c.
Dalil dan Bukti Lafadz Musytarak
Ada
seorang mujtahid yang mengambil dalil serta bukti-bukti dari beberapa qorinah
dan tanda-tandanya untuk menentukan apa maknanya, diantaranya
adalah:
1)
Dalam firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqoroh ayat 229, menjadi salah satu
contoh dari lafadz musytarak yaitu "Quru" (الْقرُوْءُ), yang berbunyi:
الْمُطَلَّقَّاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِمْ ثَلَاثَةُ قُرُوْءٍ.
Artinya: "wanita-wanita yang di talaq, hendaklah
menahan diri (menunggu) tiga kali Quru'."
Menurut orang arab, lafadz quru' diatas mengandung dua
makna. Yang pertama adalah berarti "haid". Dan yang kedua adalah
"suci". Baik lafadz quru' diatas ataupun lafadz lainnya, jika memiliki arti lebih
dari satu maka dapat dimaksud dengan lafadz Musytarak.
Dan jika dilihat dari segi bahasa, quru berarti
waktu rutin. Maksudnya adalah hanya terdapat pada segala sesuatu yang berkala
dengan menghalangi keadaan asli (dalam hal ini yakni haid). Hal tersebut
terdapat dua perkara yang dikuatkan:
i.
Dengan adanya 'iddah (masa menunggu), maka akan diketahui
kesucian rahim dari kehamilan, dan yang mengetahui penyebabnya adalah haid.
ii.
Dalam Al-Qur'an sudah disebutkan bahwa arti kiasan tersebut dalam
keadaan haid atau tidak suci. Dah kebanyakan orang mengartikan dalam keadaan
haid, baik dalam keadaan rutin atau berkala. Dan di Mesir, para orang awam
menyebutnya sebagai adat.[20]
2)
Lafadz اليد) ) terdapat dalam Firman Allah yang berbunyi:
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَا قْطَعُوْا اَيْدِيَهُمَا
Artinya:
"Laki-laki yang mencuri, dan perempuan-perempuan yang mencuri potonglah
tangan keduanya". (QS. Al-Maidah: 38).
Kemusytarakkan dari ayat diatas adalah terletak padaاليد , ada yang mengartikan
antara hasta (dari ujung jari sampai pundak), ada juga yang bersepakat
antara tapak tangan dan lengan (dari
ujung jari sampai siku), dan ada juga yang mengartikan antara tapak tangan
(dari ujung jari sampai pergelangan), serta pendapat terakhir yaitu kedua
tangannya (tangan kanan dan kiri).
Sedang Jumhur Mujtahidin telah mengambil dalil dengan sunnah
Rasulullah (perbuatan Rasulullah Saw),
dengan menegaskan bahwa maksud dari "tangan" dalam ayat diatas adalah
dari ujung jari sampai pergelangan tangan dari tangan kanan atau sesuai dengan
penjelasan terakhir.
3)
Lafadzالكلالة) ) dalam Firman Allah Swt QS. An-Nisa' ayat 12, yang
berbunyi:
... وَإِنْكَإِنَ
رَجُلٌ يُوْرَثُ كَلَالَةً أَوِمْرَأَةٌ
Artinya:
"Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak..."
Kalalah dari ayat diatas adalah musytarak, karena jika
dilihat dari segi bahasa yaitu orang
yang tidak meninggalkan anak dan tidak mempunyai ayah dan ibu, dari seorang
yang meninggal. Dengan diberikan kepada kerabat, baik dari pihak yang tidak
beranak dan tidak mempunyai orang tua.[21]
4)
Huruf wawu و) ) seperti dalam firman Allah Swt:
وَلاَتَأْكُلُوا
مِمَّا لَمْ يُذْكِرَاسْمُ اللهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Artinya: Dan
janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan
yang semacam itu adalah suatu kefasikan. (Qs. Al- An'am: 121)
Ayat diatas termasuk musytarak, untuk digunakan 'athaf dan haal.
Adanya haal, dikarenakan ditujukan kepada sesuatu yang nama Allah tidak
disebutkan kepadanya. Dan hal tersebut adalah kefasikan. Maksudnya
adalah,menyembelih hewan apapun tanpa menyebut nama Allah. Yang kedua dinamakan
athaf, suatu larangan yang ditujukan kepada sesuatu nama Allah dengan tidak
disebutkan kepadanya secara mutlak. Menyebutkan nama selain Allah, baik dalam
keadaan menyembelih ataupun tidak.[22]
d.
Hukum Musytarak
Dengan
adanya boleh atau tidaknya menggunakan lafadz musytarak, maka para ulama ada
yang berselisih tentang hal tersebut. Baik ada yang membolehkan ataupun tidak.
Sedangkan jumhur ulama bersepakat bahwa:
إِسْتِعْمَالُ
الْمُشْتَرَكِ فِيْ مَعْنَيْهِ يَجُوْزُ
"Menggunakan lafadz musytarak dalam dua makna atau beberapa
makna adalah boleh".
Berikut
adalah alasan mengapa mereka (para jumhur ulama) bersepakat seperti yang
diatas, yaitu terdapat dalam firman Allah:
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللهَيَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَاوَتِ وَمَنْ فِى
الأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ
وَالدَّوَآبُّ وَكَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ
Artinya: "Apakah kamu
tidak mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohon-pohonan, binatang-binatang yang
merata, dan sebagian besar dari pada manusia... (Qs. Al-Hajj:
18)
Makna dari sujud
diatas, mengartikan bahwa meletakkan dahi di tanah dan juga bisa berarti
tunjuk. Dan ayat tersebut diperuntukkan pada manusia serta makhluk Allah yang
tidak berakal, seperti: langit, bumi, bulan, bintang dan lain sebagainya. Dan ada juga Ulama yang berpendapat bahwa jika ada lafadz
musytarak yang memiliki dua makna atau lebih maka tidak boleh di lafadz musytarak-an
(لا يَجُوْزُ).[23]
- PENUTUP
Ta'wil jika dilihat dari segi bahasa,
memiliki beberapa arti. Diantaranya At- Tafsir (penjelasan,
uraian),
Al- Marja'/Al- Mashir (kembali,
tempat kembali), dan terakhir berarti Al-Jaza' (balasan kembali kepadanya). Sedangkan menurut
para Ulama, pengertian ta'wil adalah membawa makna lafadz zhahir yang mempunyai
ihtimal (probabilitas) kepada makna lain yang didukung oleh dalil.
Nasakh menurut bahasa, berarti
pembatalan atau penghapusan. Sedangkan menurut istilah, nasakh adalah suatu
hukum yang dihapus atas kehendak Allah, dan penghapusannya sesuai dengan
habisnya masa berlaku suatu hukum tersebut.
Muradif menurut bahasa yaitu membonceng,
ikut serta. Sedangkan menurut istilah yaitu suatu lafadz, baik dua, ataupun
tiga dengan mempunyai makna yang sama.
Dan kesimpulan yang terakhir adalah tentang
musytarak. Yaitu suatu lafadz yang memiliki dua arti atau lebih, dengan
kegunaan yang banyak dan dapat menunjukkan suatu arti secara bergantian atau
berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Juhaya
S.Praja, 2010. Ilmu Ushul Fiqih.
Bandung: Pustaka Setia.
Amir
Syarifuddin, 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Romli,1999.
Muqaranah Mazahib fil Ushul. Jakarta:
Radar Jaya Pratama.
Nazar Bakry, 2003. Fiqh dan Ushul
Fiqh. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada,
Abdul
Wahab Khallaf, 2002.
Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka
Amani.
Basiq Djalil, 2010. Ilmu
Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta: Kencana
Pranata Media Group.
Syafi'i Karim, 2001. Fiqih- Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Muhammad Hashim Kamali, 1996. Prinsip dan Teori-teori Hukum Islam atau Ushul Al-Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.
Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, 2007. Ushul Fikih. Jakarta: Pustaka Amani.
Syekh Abdul Wahab Khallaf, 2009. Ilmu Ushul Fikih. Surakarta: Rahma Media Pustaka.
Abdul Wahhab
Khallaf, 1996. Kaidah-kaidah Hukum Islam atau Ilmu Ushulul
Fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Catatan:
1.
Similarity
sebanyak 11%.
2.
Penulisan yang
baku: Alquran, hadis, sunah
3.
Hindari penggunaan
kata “kita” dalam tulisan ilmiah.
4.
Nama penulis buku tanpa Syekh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar