TA’WIL DAN NASAKH, MURADIF DAN MUSYTARAK
Fitri Hisniya Tsani, Nurul Kamilia Dwiastuti, dan
Ismatul Maula Ramadhani
Mahasiswa PAI-A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstrack
This article talks about the rules of ushul fiqh
which include ta'wil, nasakh, muradif and musytarak. Ta'wil
is a phrase about taking the meaning of lafadz which is probability supported
by the proposition and makes a meaning stronger than the meaning pointed by
lafadz dzahir. The explanation is according to Imam al-Ghazali.
Furthermore, there are several takwil requirements, the base of ta’wil
and the classification of ta’wil. While the meaning of nasakh
itself is canceling a law with the proposition that comes later. It extends to
the discussion of the criteria of nasakhs and texts that do not accept
the nasakh that includes the criteria of the nasakh itself. Al-Muradif
are some lafadz which show the same meaning. And muradif law here is
about the emergence of problems due to the lafadz-lafadz muradif, in
this case, the scholars questioned about the law. While the definition of Musytarak
is a lafadz that has more than one meaning. which contain many real meanings,
but they are not the same or different. Musytarak law here means about
whether or not allowed to use lafadz musytarak.
Keywords: Ta’wil, Nasakh,
Muradif, Musytarak
Abstrak
Artikel ini
berbicara mengenai kaidah ushul fiqh yang meliputi ta’wil, nasakh, muradif dan
musytarak. Ta’wil merupakan suatu ungkapan tentang pengambilan
arti dari lafadz yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan
menjadikan arti yang lebih kuat dari arti yang ditunjuk oleh lafadz dzahir.
Penjelasan tersebut menurut Imam al-Ghazali. Lebih jauhnya, ada beberapa
syarat-syarat ta’wil, landasan ta’wil serta klasifikasi ta’wil. Sedangkan
makna nasakh sendiri merupakan membatalkan sesuatu hukum dengan dalil
yang datang kemudian. Meluas pada
pembahasan kriteria nasakh dan nash-nash yang tidak menerima nasakh
yang mencakup kriteria nasakh itu sendiri. Al-Muradif merupakan
beberapa lafadz yang menunjukkan pengartian yang sama. Serta hukum muradif disini yaitu tentang munculnya persoalan
yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama
mempersoalkan tentang hukumnya. Sedangkan
pengertian musytarak merupakan satu
lafadz yang memiliki pengartian lebih dari satu. yang
mengandung banyak arti yang sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama
atau berbeda. Hukum musytarak disini maksudnya yaitu
tentang diperbolehkan atau tidaknya memakai lafadz musytarak.
Kata Kunci: Ta’wil, Nasakh, Muradif, Musytarak
A.
Pendahuluan
Keilmuan Islam salah satunya membicarakan
mengenai Ilmu Syari’ah yang memiliki dua hal pokok yang mendasar. Pertama,
untuk memenuhi usaha kebahagiaan dunia dan akhirat, seorang muslim memerlukan
materi perangkat ketentuan tersebut yang disebut Fiqih. Lalu pokok yang kedua,
sebelum adanya produk materi perangkat Fiqih perlu diketahui tentang cara yang
diusahakan dalam menetapkan ketentuan yang akan melahirkan materi fiqih
tersebut yang disebut Ushul fiqih. Ushul fiqih sebagai mata ajaran inti dalam
keilmuan agama Islam. Mempelajari ushul fiqih dan ilmu fiqih diajarkan secara
beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Karenanya di dalam Ushul fiqih memiliki
kumpulan kaidah-kaidah dan metode yang akan memiliki peran dalam memberikan
aturan dan arahan dalam menetapkan hukum Islam.
Alquran sendiri dalam memahaminya secara tepat
dan benar, maka sudah seharusnya dalam memahami kaidah dalam kebahasaannya
terlebih dahulu. Seorang harus memahami arti kata serta maksud kalimat dalam
mengkaji Alquran. Alquran tersusun dari sebuah kata yang memiliki nilai seni
sebagai wujud kekuasaan Allah SWT dalam mengatur kehidupan manusia, yang oleh
karenanya dalam memahaminya memperlukan kaidah menasakhkan, menta’wilkan,
memuradifkan dan memusytarakkan sebuah lafadz di dalamnya.
Sehingga untuk menghindari suatu kesalahan
dalam penafsiran diperlukan seorang penafsir memahami lafadz itu sendiri dalam
memaknai sebuah lafadz dengan beberapa kaidah yang meliputi takwil, nasakh,
muradif, dan musytarak.
B.
Ta’wil
1.
Definisi
Ta’wil
Pada
awalnya At-Ta’wil (التأويل) berasal dari kata dasar awwala-yu’awwilu. ((اول-يؤول yang memiliki
arti: penjelasan dan dari arti ini sama seperti kata al-tafsir yang
berarti: uraian, tafsir, atau dari kata al-marju’ (المرجوع) yang mengandung arti tempat kembali
atau al-jaza’ (الجزاء) yaitu balasan.
Al-Muawwal yang merupakan bentuk isim maf’ul dari kata mashdar al-ta’wil
yang dalam bahasa berawal dari kata ala, ya’ulu yang berati:
kembali.
Jadi ta’wil menurut pengertian secara istilah,
dalam hal ini para ahli ushul berbeda dalam mendefinisikannya, diantaranya
adalah:
a) Al-Amidiy
التأويل
هو حمل اللفظ على غيره مدلوله الظاهر منه مع احتماله بدليل يعضده
Yang memiliki arti Ta’wil yaitu
membawa arti lafadz dzahir yang mempunyai probabilitas (ihtimal atau
kemungkinan-kemungkinan) kepada arti lain yang didukung dalil.
b) Imam al-Ghazaly
التأويل
هو عبارة عن احتمال يعضده دليل يصير به اغلب على الظن من المعنى الذي يدل عليه
الظاهر
Yang mengandung arti Ta’wil adalah suatu ungkapan tentang pengambilan arti dari lafal yang
bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih
kuat dari arti yang ditunjuk oleh lafal dzahir. [1]
Dari
hal tersebut dapat didefinisikan yang terbagi dalam beberapa definisi dapat
diartikan bahwa ta’wil adalah memindahkan suatu perkataan dari arti yang jelas
(dzahir) kepada arti yang tidak jelas (lemah atau marjuh), yang
kemungkinan besar lebih sesuai karena ada alasan yang kuat, sehingga arti lain
inilah yang dianggap lebih sesuai.
Oleh
sebab itu, adanya ketidaksesuaian arti lahir dengan arti hakiki, menjadi
penyebab adanya penta’wilan, sehingga dalil hasil penta’wilan yang semestinya
tidak kuat atau lemah (marjuh) menjadi kuat (wajih).
Dapat
dijelaskan pula bahwa di dalam hukum Islam yang dimaksud dari ta’wil itu
sendiri yakni memindahkan suatu kata dengan maksud yang jelas kepada yang tidak
jelas karena hal tersebut dapat menyebabkan adanya suatu dalil yang bisa
menyebabkan dari maksud yang tidak jelas itu harus digunakan. Sedangkan pada suatu perkataan yang dita’wilkan
itu disebut dengan mu’awwal atau yang dita’wil.[2]
Adanya suatu lafadz yang memalingkan dari pengertian yang lazim menuju
pada pengertian yang tidak lazim membutuhkan dalil yang dapat mengunggulkan
makna lafadz tersebut. Oleh sebab itu, adanya pembahasan kalimat بِدَ لِيْلٍ يُصِيْرُهُ رَا جِحاً
yang memiliki arti dengan adanya dalil yang mengunggulkannya.[3]
Jadi ta’wil dapat ditolak
ketika diketahui tidak adanya dalil atau ada dalil tetapi kedudukannya bersifat
lemah atau dalil yang memiliki kesamaan kekuatan dengan dalil pendukung makna
lazimnya.
2.
Kriteria
atau syarat-syarat Ta’wil
Terdapat
beberapa syarat-syarat Ta’wil adalah:
a.
Dalam menta’wil suatu lafadz dalil seorang yang
menta’wil sudah memiliki
keahlian dalam bidang penta’wilan. Serta dibutuhkannya dalam penguasaan
berbagai ilmu-ilmu syara’ (agama), seperti ilmu fiqh, ilmu hadits, dan ushul
fiqh. Sehinggamemungkinkan untuk mengkompromikan dua dalil yang saling
bertentangan dengan menta’wilkannya.
b.
Di dalam hal ini lafadz yang dita’wil
harus diwajibkan untuk memiliki sebuah kriteria lafadz yang hanya boleh dita’wil
dan hal tersebut masih berada di dalam kajiannya, seperti:
· Sesuai
dengan tatanan dalam ilmu bahasa Arab,
· Dan
harus mencapai dengan ketentuan-ketentuan syara yang sudah ada dan istilah yang
sudah ada di dalamnya.
Lafadz tersebut dapat ditakwilkan dan
secara lahiriyah lafadz tersebut juga memiliki makna lazim dan makna yang tidak
lazim.
c.
Ta’wil haruslah
didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dimana statusnya bisa benar-benar bisa
menguatkan terhadap hasil dari penta’wilannya tersebut.
d.
Dengan melalui takwil bahasa,
maka akan bisa menghasilkan lafadz yang bisa di ta’wil dan harus mencakup dari beberapa
arti. Jadi dalam hal ini lafadz ta’wil harus sesuai dengan kriteria
lafadz agar dalam pen ta’wilan itu sesuai
dengan pengkajiannya.
e.
Ta’wil tidak
diperbolehkan untuk bertentangan dengan nash qath’iy, karena hal ini
menyebabkan nash qath’iy masuk dalam bagian tata urutan syari’ah yang
secara umum. Jika memang hal itu tidak demikian, maka dalam hal itu ta’wil
tidak akan dianggap sah, karena ta’wil itu merupakan salah satu cara
berijtihad yang bisa berkualitas dhanniy, sedangkan dhanniy sendiri
tidak akan kuat untuk melawan yang qath’iy.
f.
Arti dari penta’wilan nash
itu sendiri harus lebih kuat dari arti lahiriah dengan menghasilkan bukti yang
bisa dikuatkan oleh beberapa dalil. Karena bila didapati dalil yang
mendukungnya lemah, maka dalil tersebut tidak dapat mendukung pemalingan makna
dan tidak dapat diamalkan. Bahkan ta’wil dapat dikatakan
meragukan ketika dalil tersebut mempunyai kekuatan yang sama berdasarkan
dilalah lafadznya dengan makna yang lazim.
Lebih jelasnya untuk mengetahui arti dari
pentakwilan nash dimana yang bisa dianggap lebih kuat dari arti lafdhiahnya,
sehingga dapat dilakukanlah dengan melalui beberapa cara:
· Arti
yang diperoleh dengan melalui cara ibaratun-nash
· Arti
yang diperoleh dengan melalui cara isyaratun-nash
· Arti
yang diperoleh dengan melalui cara dalalatun-nash
· Arti
yang diperoleh dengan melalui cara iqtidla’
Jika dalam hal ini pada kenyataannya
terkadang masih tetap terjadi masalah diantara dengan keempat cara tersebut,
maka dalam hal ini yang didahulukan yaitu menggunakan dengan cara
ibaratun-nash dari isyaratun-nash, dari keduanya didahulukan dari dalalatun-nash
dan dengan itu baru melalui cara iqtidla’.
3.
Landasan
Ta’wil
Pada
dasarnya takwil itu tidak ada dan juga tidak terbentuk, kecuali dengan bukti
adanya suatu dalil yang menguatkan. Kemudian dari munculnya ide pokok tersebut,
akan memunculkan beberapa masalah (juz’i). diantaranya yaitu merupakan
suatu kewajiban yang berguna untuk mengamalkan pada setiap petunjuk yang
berasal dari beberapa yang mencakup arti nash secara nyata (dhahir).
Maka dari semua dalil dianggap hujjah dengan kejelasan dan
keberadaannya, sehingga dalam hal ini lafadz mutlak itu akan sesuai
dengan kemutlakannya dan tidak diikat, kecuali dengan bukti berupa dalil. Dan
juga lafadz umum akan berlaku sesuai dengan keumumannya dan itu tidak perlu di takhsish,
kecuali dengan adanya sebuah dalil. Adapun yang terdapat dalam lafal khas itu
bisa diamalkan sesuai dengan dasar hakikat artinya sendiri dan hal itu tidak
boleh mengubah menjadi arti kalimat majazi, kecuali dengan adanya sebuah
dalil. Dan sementara dalam hal itu takwil sudah menyalahi landasan
tersebut.
Maka di dalam landasan umum takwil itu
sendiri adalah mengamalkan sebuah dalil dimana yang sesuai dengan konteks
bahasanya itu sendiri dan bisa mengambil ketetapan hukumnya. Dan takwil itu
mencakup berbagai kemungkinan yang awalnya berasal dari akal, bukan berasal dari
bahasa. Sebab takwil itu dapat mengubah arti yang sesuai dengan kebutuhan
bahasa. Dan takwil tidak akan ada jika tidak terdapat bukti dengan adanya
sebuah dalil.
4.
Klasifikasi
Ta’wil
Dapat diketahui bahwa dalam hal ini di
dalam ta’wil itu juga terkadang tidak membutuhkan sebuah dalil
sebagaimana yang sudah dijelaskan, namun akan tetapi boleh saja hal tersebut
bisa didasarkan pada pemahaman akal atau pada pemahaman tekstual atau
juga pada pemahaman kontekstual, sehingga dari faktor ini dapat
diketahi, bahwa ta’wil itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Ta’wil
Qarib
Ta’wil qorib merupakan ta’wil
yang dimana di dalam penta’wilannya itu hanya berdasarkan pada dalil
terendah, maksudnya yaitu berdasarkan pada pemahaman secara logis, tekstual maupun
kontekstual. Dalam takwil qarib dalam penetapannya hanya membutuhkan
dalil yang sederhana.[4]
Contoh:
اِذَا قُمْتُمِْالَى الصَّلاَةِ
فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْوَاَيْدِيَكُمْ ِالَى ْالْمَرَافِقِ
Dan dalam ayat ini jika diartikan
secara lahiriyah, lafadz yaitu, merupakan kewajiban berwudlu dimana setelah
sholat dilaksanakan. Pengartian ini menunjukkan bahwa ayat tersebut
bertentangan dengan syarat sah nya sholat dimana yang mengharuskan untuk lebih
dahulu berwudlu, sedang dalam syarat harus dilakukan, yaitu baik di dalam
menurut pemahaman akal maupun syara’.
Dari hal tersebut bahwa demikian
lafal اِذَا قُمْتُمْ
ِالَى الصَّلاَة (berdiri untuk
shalat) itu harus ditakwilkan dengan cara merubah arti hakikinya (yaitu: اِذَا فَعَلْتُمْ)
menjadi arti majazinya, yaitu اِذَا عَزَمْتُمْ atau اِذَا
أرَدْتُمْ .
b.
Ta’wil
Ba’id
Ta’wil ba’id merupakan
ta’wil dimana yang persyaratannya tidak
dapat dipenuhi di dalam suatu penta’wilan yang
berdasarkan pada dalil terendah. Maka dari hal itu jika ternyata di dalam ta’wil itu sudah ditemukan adanya
sebuah penyimpangan dari persyaratan tersebut, maka hal seperti itu ta’wil
harus ditolak. Berbeda dengan ta’wil qorib, ta’wil bad’i
dalam menetapkannya tidak hanya membutuhkan dalil yang sederhana, melainkan
dalam hal ini membutuhkan dalil yang kuat agar dapat memalingkan dari makna
yang lazim pada makna yang tidak lazim, sehingga akan menghasilkan makna yang
tidak lazim tersebut menjadi kuat dan dapat dipergunakan.
Demikian dalam hal ini, beberapa para
ulama ahli ushul fiqh telah berbeda persepsi dalam menanggapi di dalam sebuah
persoalan dalam penetapan ta’wil
ba’id, yaitu ada yang sebagian menyebutnya dengan sebuah istilah ta’wil
ba’id dan sebagian lagi dengan istilah ta’wil qarib dan shahih.
Contoh:
فَكَفَّا رَتُهُ اِطْعَامُ
عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ مِنْ اَوْسَطِ مَا تُطْعِمُوْنَ اَهْلِيْكُمْ اَوْ
كِسْوَتُهُمْ
Yang mempunyai arti: “Maka kafarah (sangsi pelanggaran) sumpah
adalah memberi makan sepuluh orang miskin” (Q.S Al-Maidah: 89).
Di dalam ayat ini, dzahir nash bisa
menunjukkan adanya sebuah keharusan untuk memberi makan dalam jumlah khusus,
yaitu dengan sepuluh orang miskin, dan istilah adad (hitungan sepuluh)
ini merupakan lafadz khusus yang secara ijma’ menunjukkan berkualitas qath’iy.
Dengan menanggapi masalah pemberian
makanan untuk sepuluh orang miskin tersebut, para ulama ahli ushul fiqh
menyatakan adanya perbedaan pendapat dalam hal menta’wilkannya, yaitu:
1.
Di dalam kelompok Hanafiyah ini
melakukan suatu pen ta’wilan terhadap suatu lafal ‘asyaroti masakina
dengan menggunakan arti dimana yang tidak tercakup di dalam lafal tersebut,
yaitu seperti “sepuluh makanan” atau bisa jadi dengan arti “ukuran makanan bagi orang-orang miskin”,
sebab lafadz tersebut tidak hanya dikhususkan kepada jumlah orang miskin saja,
akan tetapi juga merupakan suatu ukuran dimana yang wajib dikeluarkan dari
makanan untuk sepuluh orang miskin, sehingga di dalam pengertiannya dapat
berubah menjadi:
· Dapat
memberi makanan untuk sepuluh orang miskin atau
· Dapat
memberi makanan untuk satu orang miskin dimana dengan sepuluh makanan. Sebab
dari ukuran tersebut merupakan satu ukuran untuk dua keadaan.
Hal ini didasarkan yang dimaksud dengan
kebutuhan mendesak yang merupakan sebuah hikmah disyari’atkannya nash. Dengan
demikian, menurut kelompok Hanafiyah penta’wilan seperti itu
diperbolehkan.
2.
Dari kelompok Syafi’i juga
mengutarakan pendapatnya bahwa dalam penta’wilan tersebut yang sudah
dijelaskan itu merupakan takwil ba’id dan hal tersebut dianggap batal,
karena:
· Pada
lafadz عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ merupakan lafadz khusus dimana dapat menunjukkan sebuah arti qath’iy,
sehingga hal tersebut tidak membutuhkan untuk pentakwilan lagi.
· Adanya
ada pembahasan dalam lafadz طْعَامُdan juga di
dalam nash dalam bentuk isim idlafah, dimana dapat muncul menjadi:
َفَكَفَّا رَتُهُ اِطْعَامُ طَعَامِ
عَشَرَةٍ مَسَا كِيْنِ مِنْ اَوْسَ
Jadi dari hal tersebut, bahwa di dalam
istinbat hukum dengan melalui takwil, itu bisa didasarkan pada pemahaman
syari’ah yang sudah ditentukan oleh dasar umum, dari nash-nash lain, bahwa
sebuah ketetapan yang didasarkan pada ijma’ atau dengan melalui dasar
musyawwarah dari hukum-hukum syara’ secara menyeluruh, baik yang dapat bersifat
juz’iyyah, kulliyah, dalalatun-nash maupun maqashidnya.
C.
Nasakh
1.
Definisi
Nasakh
Di dalam beberapa hukum Islam pada prinsipnya terdapat beberapa istilah
nasakh yang menunjukkan arti membatalkan, menghapuskan atau menyalin. Adapun
menurut istilah nasakh ini merupakan membatalkan sesuatu hukum dengan dalil
yang datang kemudian. Dan dari hal itu bahwa hukum yang dibatalkan disebut
dengan mansukh. Sedangkan di dalam hukum yang bisa membatalkan disebut
dengan nasikh.[5][6]
Jadi dapat dikatakan bahwa nasikh ini
memiliki arti yang menghapus, dan sedangkan mansukh memiliki arti yang dihapus.
Contohnya: Jika mendapat sebuah cahaya matahari, yang mana akan
menghapuskan suatu bayangan. Terlihat bahwa bayangan itu dapat hilang karena
tergantikan oleh datangnya cahaya matahari.
Adapun nasikh-mansukh yang saling
berkaitan dengan ilmu fiqih yaitu pencabutan
suatu undang-undang atau perintah serta penggantinya dengan yang sebaliknya.
Dalam Alquran dan Sunnah terdapat suatu
perintah yang sifatnya sementara, yang dimaksud sementara di sini bahwa setelah
masa itu turun perintah yang berbeda, yang lafadznya membatalkan perintah yang
pertama.[7]
Adanya pemberian penegasan yang sama atau pemberian penjelasan terhadap makna
yang dibawa Allah SWT, telah ditegaskan bahwasannya Alquran hanya bisa
dihapuskan oleh Alquran itu sendiri, serta Sunnah Nabi tidak dapat menggantikan
ketentuan Alquran karena Sunnah tersebut yang seharusnya mengikuti Alquran.[8]
Di dalam firman Qs. Yunus:15 “Tiadalah patut bagiku untuk menggantikan
dengan kemauanku sendiri” merupakan hujjah bahwa Alquran tidak dapat
dinasakh kecuali dengan Al-Quran. Hanya Allah SWT yang berhak mengahapuskan dan mengganti lalu menetapkan segala apa yang
Dia Kehendaki, karena Allah sumber dan pemula bagi segala perintah.[9]
Demikian pula dengan ketentuan mengenai
Sunnah Rasul. Tiada yang bisa dibatalkan melainkan dengan Sunnah Rasul juga.
Apabila suatu Sunnah Rasul di-nasakh oleh Alquran, sunnah yang lain
harus ditetapkan oleh Nabi yang memperjelas adanya sunnah yang sebelumnya telah
di-nasakh oleh sunnah Nabi yang terakhir itu. Sehingga tegaklah bahwa suatu
ketentuan dapat di-nasakh hanya oleh ketentuan lain yang sederajat atau lebih.[10]
Sebagai satu contoh dari pencabutan suatu
perintah oleh penggantinya yaitu berupa hadist Nabi Muhammad SAW:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ
زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُهَا
“Dulu
aku melarang kalian berziarah ke kuburan, maka sekarang (larang itu aku Tarik)
beriarah ke kuburan.” (Hadist shahih riwayat Muslim)
Dengan adanya hadis yang terkait
tersebut merupakan menjadi salah satu
bukti bahwa nasikh dan mansukh itu sudah diakui
keberadaannya. Disamping itu pula, bahwa apabila mengkaji lebih dalam dan
sungguh-sungguh di dalam sebuah nash Alquran Surah Al-Baqarah ayat 106, yang
berbunyi:
مَا نَنْسَخْ مِنْ اَيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نأتِ بِخَيْرٍ
مِّنْهَاّ اَوْمِثْلِهَا
“Hal-hal
yang kami hapus dari suatu ayat atau kami jadikan lupa padanya, kami datangkan
gantinya yang lebih baik dari pada ayat itu atau yang sebanding”. (Al-Baqarah:
106).
Berdasarkan dari kedua dalil tersebut
diatas dapat menjelaskan bahwa (Hadis Rasulullah dan QS.
Al-Baqarah:106) menghasilkan adanya timbul perbedaan diantara para ulama
terutama yang dapat menyangkut sebuah masalah, yaitu:
· Nasikh
dan Mansukh tersebut hanya berlaku dalam hal untuk apa saja?
· Apakah
ada dari suatu ayat Alquran yang bisa dihapuskan oleh ayat yang lain?
· Mungkinkah
ada Sunnah yang dapat dihapus oleh Alquran, atau justru sebaliknya?
Dari perbedaan itulah para ulama fiqih
berpendapat tentang nasikh dan mansukh dimana sebagian besar para ulama ini
sudah bersepakat menunjukkan tentang kualifikasi naskh, antara lain sebagai
berikut:
· Nasikh
sendiri harus terpisah dari mansukh; yaitu maksudnya antara bahwa yang
menghapus dan yang tidak dihapus itu tidak akandapat menyatu,
· Dalam
hal ini nasikh itu harus lebih kuat, sebisa sama-sama kuatnya dengan mansukh
(misalnya: Alquran yang dapat menghapuskan hadits; atau Hadis dengan
Hadis),
· Nasikh
harus menunjukkan dengan berupa dalil-dalil syara’,
· Mansukh
tidak terbatas pada suatu waktu dan harus menunjukkan pula dengan berupa hukum
syara’.
Sebab
disyariatkan nask menurut Imam Syafi’i merupakan sebagai bentuk rahmat Allah
bagi manusia untuk meringankan ataupun agar meluaskan syariat tersebut bagi
manusia. Tidak seorang pun yang berhak mengganti hukum-hukum-Nya. Dan Allah-lah
Dzat yang Maha cepat perhitungannya.[11]
2.
Kriteria
dan Nash-nash yang Tidak Menerima Nasakh
a.
Kriteria Nasakh
Dalam menanggapi masalah yang terdapat
di beberapa syarat yang harus ada pada unsur-unsur nasakh, para ulama ahli
ushul fiqih telah berbeda pendapat bahwa:
1.
Nasikh, syaratnya yaitu:
· Nasakh
harus terpisah dari mansukh
· Hukum
yang telah ada pada nasakh juga harus lebih kuat dibanding dengan hukum yang
ada pada mansukh.
· Dengan
kualitas hukum yang ada di dalam nasakh maka harus menunjukkan sama kuatnya
dengan yang juga terletak pada mansukh.
· Nasikh
harus menunjukkan bukti yaitu dengan berupa dalil syara’. Jika tidak, maka akan
diibaratkan seperti kematian, maka hal ini tidak dapat disebut nasakh, sebab
hukum yang terdapat pada maut itu tidak ada.
· Adanya
nasikh itu terletak setelah mansukh.
2.
Mansukh, syaratnya
yaitu:
· Mansukh tidak harus
dibatasi oleh waktu. Misalnya: dalam menetapkan hukum kebolehan di dalam makan
dan minum pada malam hari di bulan puasa. Maka kebolehan ini masih dibatasi
sampai terbitnya fajar. Jikafajar itu sudah terbit, maka kebolehan ituakan
hilang dengan sendirinya, sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam surat
al-Baqarah: 187. Hal ini tidak bisa disebut nasakh, sebab di dalam hukum
pertama dengan sendirinya akan hilang karena waktu yang disebutkan telah
habis.
· Mansukh disini harus
berupa hukum syar’i, karena hal ini yang dapat menghapus yaitu berupa hukum
syara’ itu sendiri.
Jadi, dari para ulama
ahli ushul fiqh ada yang mengatakan pendapatnya bahwa yang dimaksud yang ada
pada ayat nasikh-mansukh itu merupakan ayat yang umum yang sudah di takhsish,
atau pada ayat mutlak yang sedang di taqyid atau yang sudah menjadi muqayyad.[12] Ulama
yang berpendirian tersebut bisa dipandang sebagai ikhtilaf dalam menyebut atau dalam memberi nama: yang
lain yaitu menyebutnya dengan takhsish
dia
menyebutnya mansukh. Jika terdapat hadis yang sedang bertentangan dengan
Alquran, tentu hal tersebut tidak perlu lagi untuk menggunakan nasikh-mansukh
karena di dalam ayat Alquran itu sendirisudah lebih kuat, sebab mustahil
jika pada ayat Alquran harus dihapus lagi oleh hadis. Dan tidak masuk akal pula
jika Rasulullah yang seharusnya beliau menjelaskan dari ayat Alquran itu malah bertentangan. Jika terdapat hadis yang
sedang bertentangan dengan Alquran, yaitu tidak
dikategorikan masuk ke dalam ciri yang bukan hadis Shahih, melainkan hadis
palsu.
3.
Rukun Naskh
Dari uraian di atas, terdapat beberapa rukun naskh
yaitu ada empat, diantaranya:
a.
‘Adah al-Naskh, yaitu suatu
pernyataan yang menunjukkan tentang adanya pembatalan (penghapusan) berlakunya
hukum yang telah ada.
b.
Nasikh, yakni Allah SWT, karena
Dia-lah yang telah membuat suatu hukum dan Dia pula yang membatalkannya, hal
ini sesuai dengan kehendak-Nya. Oleh karena itu, nasikh pada dasarnya yaitu
Allah SWT.
Adapun yang
dimaksud dengan nasikh itu yakni hukum syara’, namun, hal ini maksudnya
sebagai majaz (metafora) dari nasikh. Seperti yang telah
dikatakan bahwa “puasa Ramadhan itu me-naskh kan puasa Asyura. Jadi,
terkadang nasikh itu juga bermaksud sebagai nash yang me-naskh
kan. Sebagai contoh, terdapat pada salah satu ayat yang membahas tentang dakwah
dengan menggunakan pedang telah di naskh kan oleh ayat tentang dakwah
dengan cara memberikan suatu peringatan secara bijaksana. Dari kedua penggunaan
nasikh yang terdapat dalam contoh ini yaitu dari segi majaz,
bukan dari segi hakikatnya, karena nasikh pada hakikatnya yakni Allah
SWT.[13]
4.
Hikmah Naskh
Dalam
pensyari’atan berbagai hukum dalam islam, terdapat beberapa pendapat dari para
ulama ushul fiqh, yang memiliki maksud untuk menjaga kemaslahatan umat manusia,
baik di dunia ataupun di akhirat. Selain itu, Allah SWT sebagai syari’ juga
menuntut kepatuhan dan ketulusan para hamba-Nya guna melakukan keseluruhan
perintah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Hal ini
berkaitan dengan syari’ yang juga senantiasa memperhatikan keadaan umat manusia
beserta lingkungan sekitarnya, sehingga suatu kemaslahatan yang diinginkan
syari’ itu dapat tercipta dan terjamin.
Adapun yang
memungkinkan syari’ mensyari’atkan satu hukum pada suatu saat, tetapi setelah
adanya perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan, hukum ini tidaklah sejalan
lagi dengan suatu kemaslahatan yang telah dikehendaki syari’. Pada hal yang
terakhir ini, Wahbah Al-Zuhaili memiliki pendapat yang sesuai dengan kehendak
syari’ dan suatu tujuan yang ingin dicapai, oleh karenanya, syari’ merubah
hukum tersebut atau menggantinya dengan suatu hukum lain. Namun selanjutnya
terjadi perubahan situasi, kondisi, dan lingkungan yang mengelilingi umat
tersebut bukan berarti syari’ tidak mengetahuinya, bahkan yang membuat
perubahan itu ialah dirinya sendiri. Hal ini telah menunjukkan bahwa syari’at
islam itu diturunkan kepada seluruh umat Islam secara berturur-turut dan
mengikuti pada keadaan umat tersebut. Oleh sebab itu, permasalahan naskh hanya
berlaku pada masa Rasulullah SAW masih hidup.[14]
D.
Al-Muradif
1.
Definisi
Muradif
Muradif memiliki pengertian bahwa muradif merupakan beberapa lafadz yang
menunjukkan pengartian yang sama.
Misalnya :
lafadz hinthotun dan qomhun yang memiliki arti gandum.[15]
Kata
muradif yang terdapat dalam bahasa
memiliki arti kata yang searti atau yang serupa, sedangkan muradif secara istilah adalah lafadz yang mempunyai bentuk lafadz
yang banyak, akan tetapi pengertiannya sama (sinonim).
Seperti : lafadz
Al-Insan dan Al-Basyar yang berarti manusia.[16]
Arti
muradif menurut bahasa yaitu
membonceng atau ikut serta. Muradif
yang dimaksudkan oleh ahli ushuk fiqih yakni beberapa lafadz terpakai untuk
satu makna.
Contoh :
· Al-As adu dan Al-Laitsu yang artinya singa.
· Ad-Daaru dan Al-Munzilu dan Al-Baitu yaitu berarti rumah.
Dari
keterangan diatas, telah dijelaskan kepada kita bahwa dua, tiga atau beberapa
lafadz yang memiliki satu makna dinamakan sebagai lafadz muradif[17].
2.
Hukum Muradif
Maksud
dari hukum muradif disini yaitu
tentang munculnya persoalan yang dikarenakan adanya lafadz-lafadz muradif, dalam hal ini, para ulama
mempersoalkan tentang hukumnya, semisal apakah boleh satu lafadz diganti dengan
lafadz lain yang memiliki makna sama. Seperti lafadz Al-As adu diganti dengan lafadz Al-Laitsu.
Pada
umumnya para ulama berpendirian bahwa bacaan Alquran yang memiliki sifat Ta’abudi, tidak boleh diganti dengan
lafadz. Muradif-nya dikarenakan
Alquran dan seluruh lafadznya mengandung mukjizat, sedangkan muradif satu lafadz dalam Alquran bukan
merupakan teks Alquran yang dengan sendirinya tidak mengandung mukjizat.
Sehubungan
dengan permasalahan muradif ada juga
perselisihan pendapat para ulama dalam
hal-hal tertentu, misalnya dalam masalah dzikir. Dalam masalah dzikir menurut
golongan yang membenarkan muradif
dengan memberikan dua syarat yang harus dipenuhi yaitu;
· Diperbolehkan
menggunakan lafadz muradif, bila
penggantian lafadz muradif tersebut
tidak mendapat halangan dari Agama, baik secara jelas maupun samar-samar.
· Diperbolehkan
menggunakan lafadz muradif, jika
penggantian lafadz boleh digunakan lafadz muradif-nya
itu berasal dari satu bahasa, yakni sama-sama bahasa Arab misalnya.[18]
Hukum lafadz muradif ini memiliki perbedaan pendapat
dari para ulama’, apakah dua lafadz atau lebih yang memiliki arti sama bisa
digantikan dalam pemakaiannya atau tidak. Berkenaan dengan masalah ini, para
ulama mempunyai argumen yang berbeda-beda. Ada yang memperbolehkan namun ada
juga yang tidak memperbolehkan. Akan tetapi untuk argumen yang kuat
memperbolehkan selama tidak terdapat halangan syar’i. Pembolehan ini dibatasi
pada lafadz-lafadz yang terdapat selain di Alquran. Sementara para ulama menyepakati bahwa di dalam Alquran dua lafadz
atau lebih yang memiliki makna sama tidak boleh dipertukarkan dalam
pemakaiannya.
Sedangkan jika
berkaitan dengan lafadz muradif yang
terdapat dalam dzikir-dzikir dalam shalat terdapat perbedaan pendapat antar
para ulama.
Imam Malik dan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa tidak diperbolehkan membaca takbir selain dengan
lafadz Allahu Akbar, sementara Imam
Abu Hanifah mengatakan jika diperbolehkannya takbir dengan lafadz yang memiliki
arti sama dengan Allahu Akbar,
misalnya Allah A’dham atau Allah A’la.[19]
E.
Al-Musytarak
1.
Definisi
Musytarak
Musytarak merupakan satu lafadz yang memiliki
pengartian lebih dari satu.[20]
Musytarak yaitu lafadz yang
mengandung banyak arti yang sesungguhnya, namun arti-arti tersebut tidak sama
atau berbeda.
Para Ulama’
ushul mengemukakan definisi musytarak di antaranya yang memiliki arti “Satu
lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan
yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut”. Lalu dikemukakan pula
oleh Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqih yang memiliki makna “Satu
lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya
dengan jalan bergantian”.[21]
Seperti lafadz yadun digunakan untuk dua arti, yakni
tangan kiri atau tangan kanan.
Dari pengertian tersebut bisa
diambil pemahaman bahwa hakikat lafadz musytarak
itu, tidak bisa dijadikan sebagai suatu alat yang digunakan untuk menunjukkan
pada salah satu arti tertentu dari arti-arti lafadznya, selama tidak ada qorinah (indikasi) yang menjelaskannya.[22]
Secara bahasa, musytarak memiliki arti berserikat,
berkumpul. Dalam ushul fiqih musytarak yang
dimaksudkan yakni lafadz yang dibentuk untuk dua arti atau lebih yang
berbeda-beda.
Sebagai contoh
misalnya lafadz Quruu’ yang terdapat
dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 yang maksudnya wanita-wanita yang
ditalaq, hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali Quru’. Dalam ayat tersebut
lafadz quru’ yang mana quru’ sendiri menurut orang Arab memiliki dua makna.
Pertama, dengan arti “haid”. Kedua,
degan arti “suci”. Jadi masing-masing
lafadz yang memiliki pengartian lebih dari satu sebagaimana lafadz quru’ dan lainnya, dinamakan lafadz musytarak.[23]
2.
Hukum
Musytarak
Hukum musytarak di sini maksudnya yaitu
tentang diperbolehkan atau tidaknya memakai lafadz musytarak. Berkaitan dengan hal ini terjadi perselisihan pendapat para
ulama, ada satu pihak yang berpendapat membolehkan, namun pihak yang lain
berpendapat sebaliknya.
Jumhur ulama
mengatakan bahwa menggunakan lafadz musytarak
dalam dua makna atau beberapa makna adalah boleh. Dalam hal ini mereka
beralasan dengan menggunakan firman Allah QS.
Al-Hajj ayat 18, yang memiliki arti :
“Apakah kamu
tidak mengetahui bahwa kepada Allah SWT bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari dan bulan, bintang, gunung, pepohonan-pepohonan,
binatang-binatang yang melata, dan sebagian besar dari pada manusia?”
Disini terdapat
lafadz sujud yang menunjukkan arti musytarak,
dikarenakan bisa memiliki arti meletakkan dahi di tanah dan bisa juga berarti
tunduk. Dalam ayat tersebut ditujukan kepada manusia dan makhluk yang tidak
berakal misalnya buah, langit, bumi dan sebagainya.
Selain itu,
terdapat pula ulama yang memiliki anggapan bahwa digunakannya lafadz musytarak dua makna atau lebih itu tidak
diperbolehkan.[24]
Dalam hukum
lafadz musytarak jika terdapat lafadz
musytarak yang tidak memiliki
penjelasan maknanya, padahal yang dikehendaki yaitu salah satu artinya, maka
lafadz yang musytarak itu di
tinggalkan, adapun yang menyebabkan hal ini yaitu karena tidak mungkin kita
dapat beramal selain dengan cara mengetahui maksud dari lafadz yang
sesungguhnya. Maka dari itu masing-masing lafadz musytarak yang terdapat dalam naskh baik Alquran ataupun sunnah
harus di sertai dengan qorinah, baik qorinah qauliyah ataupun haliyah
(keadaan).[25]
F.
PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa adanya penetapan dan penggalian hukum Islam
membutuhkan kedalaman pada pemahaman mengenai kaidah-kaidah ushul fiqihnya yang
akan mempengaruhi dalam penggalian dan penetapan suatu hukum Islam. Telah
dijelaskan mengenai kaidah ta’wil, nasakh, muradif, serta musytarak. Dari keempat kaidah
tersebut sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan kaidah kebahasaan dalam nash-nash
Alquran maupun Hadits. Dalam Alquran telah dijumpai mengenai kebahasaan lafadz
yang di dalamnya terdapat makna yang berbeda dengan lafadz aslinya, seperti halnya
ketika menemui pemindahan suatu lafadz dari makna yang terang kepada makna yang
lemah atau disebut ta’wil. Dan
dengan adanya penghapusan dalil yang terdahulu yang digantikan dengan dalil baru yang sifatnya
sederajat atau lebih kuat yang biasa disebut dengan nasakh. Terdapat juga lafadz
yang berbeda-beda namun memiliki arti yang sama atau yang disebut dengan muradif, begitu pula sebaliknya ada satu lafadz
tetapi memiliki makna arti yang cukup banyak dan disebut dengan musytarak.
DAFTAR PUSTAKA
Zein, M. Maksum. 2013. Menguasai ilmu ushul Fiqh.
Yogyakarta : Pustaka Pesantren.
Sudarsono… Pokok-pokok hukum Islam. PT. Adi
Mahasatya.
Syafe’i, Rahmat. Ilmu Ushul Fiqih.
Abdurrahman. Menempatkan hukum dalam agama.
Faiso, Al-Hakaml. Modul Fiqh Wa Ushuluhu. Jombang : MAN Denanyar
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua). Jakarta : Kencana Prenada Media
Group.
Ash-Shadr,
Ayatullah Baqit.
1993. Sejarah Singkat Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Wafaa,
Muhammad. 2001.
Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. Bangil: Al-Izzah.
Hasanuddin
Berutu, Ahmad. 2008.
Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam As-Syafi’i dan
Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia”. Malang: UIN Malang.
Suryani, Eli. “Aliran-aliran dalam Hukum Islam di IAIN Bukit Tinggi”
(Paper)
Catatan:
1.
Similarity
8%.
2.
Footnote
dari buku/jurnal yang pertama harus dicantumkan secara lengkap keterangan
buku/jurnalnya.
[1] M. Maksum Zein, Menguasai
ilmu ushul Fiqh, hlm. 345
[2] Sudarsono, pokok-pokok
hukum Islam, hlm. 66
[3] Muhammad
Wafaa, Metode Tarjih atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’. (Bangil:
Al-Izzah, 2001), hlm. 128.
[5] Rahmat Syafe’I, Ilmu
Ushul Fiqih, hlm. 175
[6] Sudarsono, Pokok-pokok
hukum Islam, hlm. 57
[7] Ayatullah
Baqit Ash-Shadr, Sejarah Singkat Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1993), hlm. 162
[9] Ibid…,hlm. 104
[10] Ibid…hlm. 106
[11] Ahmad Hasanuddin Berutu, Skripsi: “Teori Nasikh Mansukh Imam
As-Syafi’i dan Relevansinya dalam Pembaharuan Fiqih di Indonesia” (Malang:
UIN Malang, 2008), hlm. 40
[12] Abdurrahman, Menempatkan
hukum dalam agama, hlm. 34
[13] Nasrun Haroen, Ushul
Fiqh I, (Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 183.
[14] Nasrun Haroen, hlm.
183.
[15] Al-Hakam Faisol, Modul Fiqh Wa Ushuluhu, (Jombang : MAN
Denanyar), hlm. 38-39.
[16] M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh, (Yogyakarta :
Pustaka Pesantren, 2013), hlm. 380.
[17] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih (Satu & Dua),
(Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 116.
[18] Ibid.., hlm. 116-117.
[19] Al-Hakam Faisol, hlm.
39.
[20] Ibid..,hlm. 39.
[21] Eli Suryani,
“Aliran-aliran dalam Hukum Islam di IAIN
Bukittinggi” (Paper)
[22] M. Ma’shum Zein, hlm.
382.
[23] Basiq Djalil, hlm.
117-118.
[25] Al-Hakam Faisol, hlm.
39-40.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar