MAKALAH
PINJAM MEMINJAM DAN TRANSAKSI LAINNYA DALAM KEHIDUPAN
SEHARI-HARI
Disusun Untuk Memenuhi
Salah Satu Tugas
Mata Kuliah: Fiqh I
Dosen Pengampu: Benny
Afwadzi, M.Hum
Disusun Oleh:
Novia Elok Rahma Hayati (16110001)
Lestariati Nur Cholifah (16110005)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan Rahmat, Hidayah, serta
Inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Pendidikan
Agama Islam ini dengan judul “PINJAM MEMINJAM DAN TRANSAKSI LAINNYA
DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI” dengan Dosen Pengampu bapak Benny Afwadzi, M.Hum tepat pada
waktunya.
Penyusunan makalah ini semaksimal
mungkin kami lakukan dan didukung bantuan dari berbagai pihak, sehingga dapat
memperlancar dan mmpermudah dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami
dalam menyelesaikan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini baik dari
segi penyusunan, bahasa, maupun aspek lainnya. Oleh karena itu, kami berharap
bagi para pembaca untuk memberikan saran maupun kritik demi memperbaiki makalah
ini dan untuk menunjang peulisan makalah di waktu mendatang.
Akhirnya kami selaku penyusun sangat
mengharapkan semoga dari makalah sederhana kami ini dapat diambil manfaatnya
dan besar kainginan kami dapat menginspirasi para pembaca dan juga memberikan
informasi yang bermanfaat dalam kehidupan.
Malang,
04 Mei 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTR............................................................................ 2
DAFTAR ISI......................................................................................... 3
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 4
B. Rumusan Masalah....................................................................... 4
C. Tujuan.......................................................................................... 4
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pinjam-meminjam........................................................................ 5
B. Sewa-Menyewa ...........................................................................
7
C. Utang-Piutang............................................................................. 9
D. Gadai dan Jaminan...................................................................... 13
E. Upah ............................................................................................ 17
BABIII : PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 21
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam menjalani
kehidupan manusia tidak bisa melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain,
karena pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan
bantuan dan pertolongan orang lain untuk membantu meringankan pekerjaan maupun
untuk memenuhi kebutuhan demi kelangsungan hidupnya. Dengan adanya fenomena
tersebut maka terjadilah dalam hidup bermasyarakat suatu interaksi atau
transaksi yang saling melengkapi di dalam hidup ini. Salah satu bentuk
interaksi yang terjadi yaitu pinjam meminjam. Pelaksanaan atau pemberian pinjam
meminjam dari satu pihak kepada pihak yang lain merupakan suatu usaha taqarrub
kepada Allah. Namun, pada zaman sekarang banyak diantara masyarakat yang belum
mengerti hakikat pinjam meminjam itu sendiri. Terkadang tidak jarang sebagian
orang hanya berniat mencari untung untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan
mendzolimi hak-hak saudaranya atau tetangganya. Oleh karena itu, masyarakat
harus mengetahui hukum-hukum, syarat dan hal-hal yang berkaitan dengan pinjam
meminjam dimana ketentuan ini telah diatur dalam fiqih muamalah.
Fiqih muamalah merupakan hukum islam
yang mengatur hubungan antar manusia. Semua permasalahan yang ada di masyarakat
telah ada ketentuan tersendiri di dalam Islam tidak terkecuali perihal pinjam
meminjam. Allah telah mengatur semuanya di dalam hukum Islam agar manusia
memahami ketentuan dari interaksi antar manusia.
Di dalam makalah ini akan dibahas
ketentuan dan segala aspek tentang pinjam meminjam termasuk didalamnya utang
piutang, gadai, borg (jaminan), sewa-menyewa dan upah, agar nantinya pembaca
dapat mengetahui hukum, syarat dan lain sebagainya tentang pinjam meminjam.
Sehingga tidak terjadi kedzoliman diantara peminjam dan yang meminjam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan upah ?
2.
Bagaimana hukum,
syarat-syarat dan rukun-rukun dari pinjam meminjam, sewa menyewa, utang
piutang, gadai, jaminan, dan upah ?
3.
Baimana tata
cara dan ketentuan-ketentuan pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang,
gadai, jaminan, dan upah ?
C.
Tujuan
1.
Memahami
pengertian pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang, gadai, jaminan, dan
upah.
2.
Mengetahui hukum,
syarat-syarat dan rukun-rukun dari pinjam meminjam, sewa menyewa, utang
piutang, gadai, jaminan, dan upah.
3.
Memahami tata
cara dan ketentuan-ketentuan pinjam meminjam, sewa menyewa, utang piutang,
gadai, jaminan, dan upah.
BAB
II
PEMBAHASAN
- PINJAM MEMINJAM (ARIYAH)
Pinjam
meminjam atau dalam bahasa Arab disebut sebagai ‘Ariyah’ adalah suatu
kegiatan untuk meminjamkan suatu barang atau benda kepada orang lain, dan wajib
mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.[1] Prinsip ariyah
ini adalah memberikan manfaat suatu barang yang halal tersebut kepada orang
lain untuk diambil manfaatnya, namun dengan tidak merusak dzat dari barang
tersebut, sehingga dapat dikembalikan secara utuh kepada pemiliknya. Maka
setiap barang yang memungkinkan dapat diambil manfaatnya dengan tidak merusak
dzat barang tersebut, boleh dipinjamkan. Pinjam meminjam dikatakan hampir sama
dengan utang-piutang, karena kegiatan pinjam meminjam ini terjadi ketika
seseorang membutuhkan sesuatu tapi ia tidak memiliki barang yang dibutuhkannya,
dan sesuatu yang dibutuhkan tersebut dimiliki oleh orang lain.[2]
Dilihat
dari pengertian pinjam meminjam diatas menunjukkan bahwa dalam hubungan yang
terjalin dalam antar manusia untuk menciptakan kerukunan bersama diperlukan
kegiatan saling tolong menolong. Atas dasar inilah pinjam meminjam menurut
hukum asalnya adalah mubah (boleh). Namun ada yang beberapa ulama yang
menghukuminya sebagai sunnah.[3]
Beberapa
ayat Al-Qur’an dan hadits yang menjad dasar hukum Ariyah, yaitu :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
Artinya : “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Nabi SAW bersabda
:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ
فِي عَوْنِ أَخِيْهِ.
Artinya : “Allah akan selalu
menolong hamba-Nya selama hamba tersebut mau menolong saudaranya”.
1.
Syarat dan Rukun Ariyah
a.
Peminjam, syaratnya adalah :
·
Orang yang berhak menerima
kebaikan, artinya orang yang dapat memelihara hak miliknya.
·
Dewasa dan berakal sehat
·
Tidak boleh meminjamkan barang
yang ia pinjam kepada orang lain.
b.
Yang meminjamkan, syaratnya
adalah :
·
Orang yang berhak berbuat
kebaikan atas kehendaknya sendiri
·
Dewasa dan berakal sehat
·
Pemilik benda mutlak
c.
Benda yang dipinjam, syaratnya :
·
Ada manfaatnya
·
Tidak habis dipakai
·
Tidak cepat rusak
2.
Ketentuan Ariyah
a.
Baik peminjam (musta’ir) maupun
orang yang meminjamkan barang (al-mu’ir), keduanya harus berkemampuan untuk
bertindak serta berbuat baik dan mampu melakukan transaksi perjanjian.
عَنْ سَمُرَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ عَلَي الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى يُؤَدِّيْهِ (رواه الخمسة الاّ
النسائ)
“Dari
Samurah, Nabi saw. bersabda : Tanggung jawab barang yang diambil atas yang
mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (HR. Lima Orang Ahli Hadits).
b.
Barang yang dipinjamkan harus
dimanfaatkan tanpa mengurangi kondisi asal barang, dan dapat dimanfaatkan serta
diserahkan untuk kepentingan yang tidak bertentangan dengan agama.
c.
Barang yang dipinjam tersebut,
dapat dipinjamkan atau disewakan kepada orang lain oleh si peminjam jika telah
mendapat persetujuan dari pihak pemilik barang dan selama tidak mengurangi
manfaat barang tersebut.
d.
Barang yang dipinjam harus
dikembalikan kapanpun jika diminta oleh pemiliknya dan selama tidak merugikan
pihak si peminjam barang.
e.
Pihak peminjam harus mengganti
dengan barang atau harganya jika barang yang dipinjam tersebut rusak karena
ulahnya.[5]
(اَلْعَارِيَةُ مُؤَدَّةٌ وَ الزَّعِيْمُ غَارِمٌ (رواه ابو
داود و الترمذ
“Pinjaman
wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar“ (H.R. Abu Daud).
Adapun kerusakan
yang wajib diganti adalah :
·
Memakainya dengan melewati batas
kewajaran dan yang telah diizinkan oleh si peminjam.
·
Adanya kerusakan bukan karena
dipakai tapi karena kelalaian dari peminjam, misalnya kelalaian ketika
menyimpan barang, sehingga dirusakoleh anak-anak atau di curi orang.[6]
3.
Hukum Ariyah
Hukum dasar
ariyah adalah sunnah, namun dapat berubah menjadi beberapa hukum berikut ini :
a.
Mubah, pinjam
meminjam boleh dilakukan selama tidak merugikan salah satu pihak, meskipun
pihak yang lain tidak diuntungkan.
b.
Wajib, apabila pinjam
meminjam ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak, dan
apabila tidak meminjam akan mengalami suatu kerugian atau mara bahaya. Misalnya
ada salah satu anggota keluarga yang sakit parah dan harus segera diobatkan,
kalau tidak maka sakitnya akan semakin parah bahkan berujung kematian, namun
keluarga dari orang yang sakit ini tidak mempunyai biaya, maka sang keluarga
wajib meminjam uang untuk mengobatkan anggota keluarga yang sakit ini.
c.
Haram, apabila pinjam
meminjam dilakukan untuk menunjang perbuatan maksiat atau untuk berbuat jahat
dan membahayakan orang lain. Misalnya meminjam sepeda motor yang digunakan
untuk menjambret, meminjam pisau untuk membunuh, dll.[7]
4.
Hikmah Ariyah
a.
Meringankan beban satu sama lain
antar umat manusia.
b.
Menghilangkan pertengkaran.
c.
Melahirkan kasih sayang diantara
manusia.
d.
Termasuk kedalam golongan
orangyang baik di hadapan Allah, sedangkan di hadapan manusia ia sangat
dicintai.
- SEWA MENYEWA (IJAROH)
Kata
‘ijaroh’ artinya balasan atau jasa. Maksudnya adalah imbalan yang diberikan
sebagai upah suatu perbuatan. Menurut ketentuan syara’, ijaroh berarti
perjanjian atau perikatan mengenai suatu pemakaian hasil dari manusia, binatang
atau benda. H Moh Anwar menerangkan bahwa ijaroh adalah suatu perakadan
(perikatan) pemberian kemanfaatan (jasa) kepada orang lain dengan syarat
memakai iwadh atau penggantian (balas jasa) yang berupa uang ataupun sebuah
barang yang sudah ditentukan.[9] Jadi sewa
menyewa atau ijaroh itu memebutuhkan adanya orang yang memberi jasa dan orang
yang memberi upah.
Dalil
yang mendasari adanya ijaroh dalam syariat islam adalah Q.S At-Thalaq ayat 6 :
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ
Artinya
: “Jika wanita-wanita itu menyusui anakmu maka berilah mereka upahnya.”
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhua (ia berkata),
وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ رَجُلاً مِنْ بَنِي الدَّيْلِ ثُمَّ مِنْ بَنِي
عَبْدِ بْنِ عَدِيٍّ هَادِيًا خِرِّيْتًا الْخِرِّيْتُ الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ.
Artinya : “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam beserta Abu Bakar menyewa (mengupah) seorang
penunjuk jalan yang mahir dari Bani ad-Dail kemudian dari Bani ‘Abdu bin ‘Adi.”
Hukum asal dari ijaroh ini adalah boleh (mubah) bila
dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan islam. Bolehnya ketentuan
hukum ijaroh ini berdasarkan pada ayat dan hadits nabi berikut :
Q.S Al-Qashash ayat
26-27
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا
يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِين
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ
أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَىٰ أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ
حِجَجٍ ۖ
Artinya : “Salah
seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang
kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya". Si bapak berkata : saya bermaksud menikahkan engkau dengan
salah satu anak perempuanku dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya
selama delapan musim haji”.[10]
Tujuan di syariatkannya ijaroh adalah untuk memberikan keringanan pada
sesama umat dalam kehidupan. Jika ada seseorang yan mempunyai uang, namun ia
tidak dapat bekerja, namun di pihak lain ada yang mempunyai tenaga dan
membutuhkan uang, sehingga diantara keduanya dapat bekerja sama dengan
melakukan ijaroh dan saling mendapat keuntungan. Contoh lain yaitu ada seseorang
yang memiliki mobil dan memerlukan uang, di pihak lain ada yang tidak memiliki
mobil namun memiliki uang, dengan adanya transaksi ijaroh diantara keduanya
maka terbentuklah kemaslahatan dan manfaat diantara kedua belah pihak.
1.
Rukun Dan Syarat Ijaroh
a.
Penyewa (mujir) dan yang menyewakan
(mustajir)
·
Berakal
·
Atas kehendaknya sendiri (kehendak
masing-masing pihak)
·
Bukan orang yang pemboros
·
Dewasa (baligh) minimal berusia 15 tahun
b.
Barang yang disewakan (ma’jur)
·
Harus diketahui oleh penyewa secara nyata (jenis,
bentuk, jumlah, waktu sewa, sifat dan segala kecacatannya)
·
Barang tidak terlarang oleh agama
c.
Kegunaan (manfaat) barang
·
Kegunaan yang berharga
·
Orang yang menyewakan barang harus
memberitahukan terlebih dahulu kepada calon penyewaapa kegunaan dari barang
yang akan disewakan
d.
Imbalan atas jasa yang telah diberikan
(upah)
2.
Berakhirnya Sewa Menyewa
Sebagai aqad akan
berakhirnya sewa-menyewa yakni sesuai kata kesepakatan dalam perjanjian. Dengan
berakhirnya sewa menyewa, kewajiban bagi penyewa barang adalah menyerahkan
barang yang ia sewa kepada pemiliknya. Namun bagi barang-barang tertentu
seperti rumah, hewan, dan barang lainnya akan berakir masa sewanya jika terjadi
musibah kehancuran. Rumah sewa kan berakhir masa sewanya jika roboh, hewan akan
erakhir masa sewanya jika dia mati, sama halnya dengan kendaraan jika terjadi
tabrakan atau kecelakaan sampai tidak bermanfat lagi maka akan berakhir masa
sewanya. sedangkan kalau hanya terjadi kerusakan kecil selama sewa menyewa
berlangsung, maka yang berkewajiban memperbaiki atau mengganti adalah pihak
penyewa dan hal ini tidak mengakhiri masa sewa. Jika terjadi musibah kematian
diantara salh satu pihak penyewa ataupun yang menyewakan, maka hal ini tidak
mengakhiri akad sewa menyewa sebelum masa sewanya habis, dan akan dilanjutkan
oleh ahli warisnya.[13]
3.
Pembagian Ijaroh
Terdapat 2 macam ijaroh,
yaitu :
1.
Ijroh pada suatu benda tertentu, seperti
perkataan memberi ijaroh “saya sewakan kepadamu mobil ini”
2.
Ijaroh pada pekerjaan, seperti seseorang
yang memberikan upah kepada orang lain untuk menjaga kebun miliknya.[14]
4.
Ketentuan Ijaroh
a.
Kewajiban bagi orang yang menyewakan
barang
·
Mengizinkan pemakaian barang yang telah
disewakan
·
Memelihara kebesaran barang yang disewakan
b.
Kewajiban bagi penyewa barang
·
Membayar sewaan seperti yang telah
ditentukan di awal perjanjian
·
Membersihkan barang sewaannya
·
Mengembaikan barang sewaan tersebut jika
telah habis masa tempo
c.
Ketentuan bagi penyewa
·
Barang yang disewa merupakan amanat
terhadapnya, jadi apabila terjadi kerusakan karenakelalaiannya maka ia wajib
mengganti, namun jika kerusakan terjadi bukan karena kelalaiannya maka si
penyewa tidak wajib mengganti
·
Penyewa diperbolehkan mengganti pemakai
sewaannya kepada orang lain tanpa seizin orang yang menyewakannya, kecuali jika
telah ditentukan di awal akad bahwa barang tidak boleh dipinjamkan atau diganti
pemakaian
·
Bagi orang yang menyewakan barang bleh
mengganti barang yang disewakan dengan barang yang lain yang seimbang dengan
barang semula
·
Jika terjadi perselisihan pengakuan antara
penyewa dengan yang menyewakan terhadap banyaknya uph atau tempo waktu ataupun
ukuran manfaat barang yang disewakan ataupun kasus lain, dan tidak ada saksi
maka kedua belah pihak harus bersumpah[15]
5.
Hikmah Ijaroh
a.
Mencegah terjadinya permusuhan dan
perselisihan
b.
Melatih sikap husnudzon dan percaya
terhadap orang lain
c.
Merupakan salah satu bentuk tolong
menolong dalam kebaikan
d.
Memudahkan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya
- UTANG PIUTANG (QORODH)
Utang piutang (Qorodh) adalah suatu kegiatan memberikan sesuatu kepada
orang lain, dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan sesuatu yang
ia pinjam tersebut. Utang piutang sering dikaitkan dengan 2 istilah, yaitu
qorodh ataupun qardh. Untuk penjelasan 2 istilah tersebut adalah sebagai
berikut :
a.
Qardh yaitu suatu perjanjian kepada orang
lain dalam bentuk pinjaman, yang kemudian akan dibayar dengan nilai yang sama.
Misal pak andi meminjam uang 1.000.000 kepada pak salman, maka pak andi jug
aharus mengembalikan sebesar 1.000.000 kepada pak salman.
b.
Qorodh yaitu memberikan sesuatu kepada
orang lain dengan syarat harus dikembalikan lagi semisalnya yaitu boleh berupa
bukan barang tersebut. Misal mengutangkan beras 10kg atau uang 10rb, kemudian
barag atau uang tersebut menjadi milik orang yang berutang (muqtaridh) dan dia
boleh memanfaatkannya, namun suatu saat dia wajib menggantinya (membayarnya)
dengan barang yang serupa pinjaman tersebut atau seharganya. Jika yang
dikembalikan itu barang yang sama dengan semula, maka itu bukan qorodh
melainkan ariyah (pinjaman) yang hukumnya sunnat.[17]
Dasar hukum qorodh adalah sebagai berikut :
Q.S Al-Maidah ayat 2
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
ۚ
Artinya : “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
Nabi SAW
bersabda
مَا مِنْ مُسْلِمٍ
يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Artinya : “Setiap
muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti
orang yang bersedekah satu kali.” (H.R Ibnu Majah)
Utang harus dibayar dalam jumlah dan
nilai yang sama dengan yang diterima dari pemiliknya, dan tidak boleh lebih
karena kelebihan pembayaan utang ini menjadikan transaksi ini menjadi riba, dan
riba itu diharamkan. Hal ini sesuai dengan sabda nabi SAW
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
نَفْعًا فَهُوَ رِبًا
Artinya : “Setiap
hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. (H.R Harits bin Usamah)
Seseorang
yang berutang jika ia tidak mampu membayar utangnya tepat waktu maka orang
tersebut dianjurkan untuk menangguhkan hutangnya hingga ia punya kemampuan
untuk membayar. Dan jika ada orang yang sengaja menangguh-nangguhkan utangnya,
maka ia dikatakan orang yang dzalim.[18]
1. Rukun
dan syarat Qorodh
a.
Kalimat mengutangi dan jawaban yang
berutang (ijab qabul), hal ini sebagai pernyataan bahwa antara 2 pihak
benar-benar menghendaki adanya ikatan hukum yang berlaku antara keduanya.
Contoh lafadz menghutangkan : “saya hutangkan uang ini kepada engkau”, kemudian
orang yang hutang menjawab “saya mengaku berhutang uang ini kepada engkau”.
b.
Orang yang berutang dan yang berpiutang,
berikut syarat yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak :
·
Berakal
·
Atas kehendak kedua belah pihak
·
Bukan seorang pemboros
·
Baligh (dewasa)
c.
Barang yang diutangkan
·
Sesuai daya jangkau pelunasannya
2. Hukum Utang-Piutang (Qorodh)
Ada beberapa hukum dalam
utang-piutang, sebagai berikut :
a.
Mengutangi sesuatu kepada orang lain hukumnya
sunnat, hal ini disesuaikan pada dasarnya yaitu utang piutang termasuk dalam
tolong menolong dalam kebaikan.
b.
Hukumnya berubah menjadi wajib jika orang
yang berutang benar-benar memerlukannya, sebab misalkan ia tidak diberi
pinjaman akan terlantar atau membahayakan dirinya.
c.
Haram, jika utang piutang dilakukan dalam
hal untuk bermaksiat, perjudian, pembunuhan, dll.
d.
Makruh, jika benda yang dihutangkan
tersebut akan digunakan untuk sesuatu yang makruh pula.
e.
Boleh menghutangkan hewan ternak, yang nantiny
akan dibayar oleh si penghutang dengan hewan ternak yang sama.[20]
Diantara kedua belah
pihak diperlukan adanya sighah (ijab qabul) ketika melakukan transaksi utang
piutang , namun sebagian besar ulama’ berpendapat bahwa sighah tersebut dapat
disahkan daam bentuk serah-terima.
3. Ketentuan-Ketentuan Qorodh
Menurut H. Moh. Anwar
ketentuan qorodh adalah sebagai berikut :
a.
Sahnya transaksi qorodh itu dengan ijab
qobul
b.
Barang yang telah diutangkan kepada si
penghutang, maka itu menjadi hak milik penghutang
c.
Orang yang berhutang diwajibkan untuk
mengembalikan atau membayar piutang pada waktu yang telah ditentukan dengan
barang yang serupa atau harga yang sama
d.
Orang yang menghutangkan barang berhak
menegur orang yang berhutang, jika diperlukan
e.
Orang yang menghutangkan wajib memberi
tempo lagi bila si penghutang belum mempunyai kemampuan untuk membayarnya
f.
Disunnahkan kepada orang yang mengutangkan
untuk membebaskan sebagian atau semua piutangnya jika orang yang menghutang
tidak mampu untuk membayarnya
g.
Orang yang memberikan hutang berhak
mengajukan urusannya kepada hakim jika orang yang berhutang malas atau tidak
mau untuk membayarnya
h.
Hakim berhak menyita harta kepunyaan orang
yang berutang untuk dibayarkan kepada orang yang mengutangkannya
i.
Kepada orang yang berhutang disunnahkan
untuk memberikan balas jasa dengan sesuatu baik berupa uang atau barang ataupun
tenaga orang yang berhutang dengan syarat tidak dijanjikan pada waktu akad[21]
4. Menambah Jumlah Pelunasan Hutang
Pelunasan atau
pembayaran hutang wajib dilakukan oleh si penghutang sesuai dengan perjanjian
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pengembalian atau pelunasan
hutang ini wajib dikembalikan juga sebesar hutang yang diterimanya. Dan tidak
dibenarkan dalam perjanjian jika disepakati ada syarat tambahan yang melebihkan
dari jumlah hutang yang diterima. Karena hal ini termasuk kedalam riba.[22]
5. Jaminan Dalam Utang-Piutang
Dalam transaksi atau
perjanjian utang-piutang mungkin ada pemberian jaminan yang ditujukan sebagai
faktor penguat kepercayaan bagi pemberi hutang. Tujuannya adalah untuk menjaga
kalau sampai terjadi penyimpangan dari perjanjian tanpa pembayaran dari pihak
berhutang, maka adanya jaminan itu sebagai pelunas hutangnya. Ada 2 bentuk
jaminan hutang dilihat dari sifatnya :
1.
Jaminan barang, yaitu sebuah barang yang
digunakan atau dijadikan untuk penguat kepercayaan dalam hutang-piutang. Rukun
jaminan barang sebagai berikut :
a.
Lafadz pernyataan yang dilakukan saat
penyerahan dan penerimaan harus secara tegas antara kedua belah pihak
b.
Kedua belah pihak disyaratkan sebagai ahli
tasharruf, yaitu berhak menjual belikan hartanya
c.
Barang yang boleh sebagai jaminan adalah
setiap benda yang boleh dijual dengan syarat keadaan barangnya tidak dapat
rusak selama perjanjian hutang-piutang
2.
Jaminan orang, dalam arti luas disebut
‘dhaman’, ialah penanggung hutang atau seseorang yang diikutsertakan untuk
menjamin hutang seseorang. Seseorang yang diikutsertakan dalam hutang orang
lain ini dimaksudkan akan membantu menanggung pembayaran hutang tersebut kalau
yang berutang pada waktu yangtelah disepakati tidak dapat membayar membayar.
Meskipun ada jaminan orang ini namun tidak berarti yang berhutang
menggantungkan dirinya sepenuhny akepada pihak penjamin hutang, dan ia harus
tetap berusaha untuk melunasinya. Dan jika si penghutang dapat melunasi
hutangnya, maka pihak penjamin hutang tiak perlu malkukan pembayaran. Adapun
rukun dan syarat hutang piutang dengan jaminan :
a.
Yang menjamin, harus baligh berakal, tidak
mubadzir, dan atas kehendaknya sendiri
b.
Yang berpiutang, diketahui oleh penjamin
c.
Yang berhutang, mengetahui adanya penjamin
d.
Jaminan orang, keadaannya diketahui dan
sifatnya tetap (tidak berubah)
e.
Lafadz jaminan, mengandung makna jaminan
dan tidak digantungkan pada sesuatu yang sifatnya masih sementara[24]
6. Hiwalah
Hiwalah adalah
memindahkan utang dari tanggungan seseorang kepada orang lain. Timbulnya
hiwalah ini adalah sebagai akibat dari peristiwa hutang piutang bersegi, yaitu
adanya minimal 3 pihak dalam peristiwa hutang piutang. Misalnya : A berhutang
sesuatu kepada B, A menghutangkan sesuatu kepada C. Atas persetujuan B, si A
ini menyuruh C untuk membayarkan hutangnya kepada si B. Dengan berpindahnya
kewajiban si A kepada C itu berarti si A tidak emmpunyai hubungan hutang lagi
dengan si B.[25]
Apabila ditinjau dari
dalil naqli hukum hiwalah adalah boleh. Hal ini didasarkan pada hadits nabi SAW
مطل الغنيُ ظلم,
وإذاأتبع احدكم على ملئ فليتبع
“Menunda – nunda
pembayaran oleh orang kaya adalah penganiayaan, dan apabila salah seorang
diantara kamu di ikutkan ( dipindahkan) kepada orang yang mampu maka ikutilah”
( HR bukhori dan mislim)
Berikut beberapa syarat
utama yang perlu diperhatikan oleh pihak berpiutang sebagai penerima pemindahan
:
a.
Pihak yang berutang yang diwajibkan
mengalihkan pembayaran hutang tersebut mampu melunasi pembayaran hutangnya, dan
kemampuan ini harus diketahui oleh semua pihak.
b.
Pemindahan pembayaran hutang dapat
dilakukan dnegan syarat jumlah utang, jenis barang yang diutangkan dan aqad yang
dilakukan sama.[26]
Berikut beberapa rukun
hiwalah :
·
Orang yang berutang dan yang berpiutang
(muhil)
·
Orang yang berpiutang (muhtal)
·
Orang yang berutang (muhtal alaih)
·
Utang seorang muhil kepada muhtal
·
Utang seorang muhtal alaih kepada muhil
·
Sighah (akad)
Syarat sahnya hiwalah :
1.
Ijab-kobul antara seorang muhtal dan muhil
7. Hikmah Utang Piutang dan Hiwalah
·
Memberi kemudahan bagi umat manusia dalam
pergaulan hidup
D.
GADAI
DAN JAMINAN
Secara etimologi gadai atau al-rahnmempunyai
arti penetapan, penahan dan kekal. Sedangkan secara terminologi gadai adalah penahanansebagian
harta milik si peminjam atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan
haruss memiliki nilai ekonomis. Pada hakikatnya gadai diberikan untuk menjamin
sebuah tagihan.[30]
Menurut sebagian ulama, gadai
bukanlah suatu akad penyerahan milik
suatu benda dan juga manfaatnya. Namun yang muncul karena akad itu
adalah hak menahan atau hak mengkhususkan.
Adapun persoalan terhadap hukum
gadai, para ulama mengatakan bahwa gadai atau al-rahn hukumnya adalah
mubah/boleh. Dasar hukum gadai dalam Islam diatur dalam QS. Al-Baqarah ayat
283:
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang)”. (QS. Al-Baqarah: 283).
Ayat diatas menjelaskan barang
tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang bisa dikatakan sebagai jaminan,
agunan, atau juga objek pegadaian.
Ijma’ para ulama menyatakan bahwa
gadai disyariatkan sebagai jaminan terhadap utang. Akan tetapi, terdapat
perbedaan pendapat diantara ulama madzhab terhadap rentang waktu jaminan
tersebut ditahan oleh pemegang gadai.
Ulama Hanafiyyah bahwa jangka
waktu penahan barang oleh si pemegang gadai yaitu sampai penggadai dapat
melunasi utangnya. Sedangkan ulama Syafi’iyah berbicara bahwa barang
tersebut tersebut berhubungan dengan utang yang tidak dibayar dan si pemegang
gadai didahulukan dari kreditor-kreditor lainnya.[31]
Berdasarkan pembahasan ini, ulama Hanafiyyah
berpendapat bahwa orang yang menggadaikan barangnya tidak mempunyai hak lagi
atas barang tersebut dan tidak memiliki hak untuk mengambil manfaatnya dengan
cara apapun. Si pemegang gadai juga dilarang melakukan tindakan terhadap barang
itu tanpa seizin orang yang memegang gadai.
Imam Malik, Ibnu Abi Laila, Imam
Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i dan Ibnu Al-Mudzir mengatakan bahwa barang yang
digadaikan masih bisa disewakan atau dipinjamkan dalam jangka waktu yang tidak
melebihi perjanjian pembayaran utang oleh si penggadai. Ia juga berhak
bertindak atas barangnya tanpa mengurangi barang tersebut atau menghapuskan
kepemilikan dari barang itu terhadap pemiliknya.[32]
Adapun mengenai hukum pengambilan
barang gadaian oleh si pemegang gadai, ijma’ para ulama mengatakan bahwa benda
atau jasa barang yang digadaikan adalah hak milik orang yang menggadaikan.
Sedangkan yang memegang gadai tidak memiliki hak sedikitpun untuk mengambil
manfaat dari barang tersebut tanpa seizin orang yang menggadaikan barang itu.
Apabila orang yang menggadaikan mengizinkan untuk mengambil manfaat dari barang
tersebut, maka dalam hal ini terdpat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Di dalam kitab-kitab ulama Hanafiyyah
yang mu’tabar menyebutkan bahwa orang yang menggadaikan itu mengizinkan dan
membolehkan orang yang memegang gadai mengambil manfaat dari barang gadaian,
baik disyaratkan dalam akad ataupun tidak. Meskipun demikian, banyak yang
berpendapat bahwa jika barang tersebut dimanfaatkan maka harus disyaratkan
dengan akad, karena hal tersebut bagian dari utang dengan imbalan manfaat.
Pengarang kitab Al-Minah yang
mengutip dari Abdullah Muhammad bin Aslam As-Samarqandy menjelaskan bahwa
pemegang gadai tidak halal mengambil manfaat dari barang gadaian tersebut,
walaupun pada kenyataanya mendapat izin dari orang yang menggadaikan. Jika
problema ini terjadi sma artinya dengan mengizinkan riba karena piutangnya
dibayar lengkap , sedangkan manfaat yang diambil oleh pemegang gadai lebih
besar.[33]
Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat, apabila si penggadai mengizinkan barang yang digadaikan
diambil manfaatnya oleh pemegang gadai, sedangkan utang gadai termasuk qiradh,
maka hal tersebut tidak diperbolehkan karena dengan demikian dapat diartikan
bahwa qiradh yang menarik manfaat. Sedangkan, jika utang tersebut bukanlah
qiradh, maka pemegang gadai boleh memanfaatkan barang gadaian tersebut. Imam
Malik membolehkan pernyataan yang kedua apabila izin tersebut disyaratkan
dengan akad dan masa pemanfaatan barang tersebut dalam waktu tertentu.
Apabila barang-barang gadaian
tersebut dapat dikendarai atau diperah, sedangkan pemegang gadai tidak mendapat
izin dari orang yang menggadaikan, dalam kasus ini Jumhur Ulama menyatakan
bahwa barang gadaian tersebut tetap tidak dapat diambil manfaatnya oleh si
pemegang gadai.[34] Jumhur Ulama berdalil berdasarkan hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairoh dari Nabi SAW:
لا
يغلق الرهن من صاحبه الذى رهنه له غنمه و عليه غرمه
Artinya:
“tidak dikunci barang gadaian dari orang yang telah menggadaikannya,
untuknya hasilnya dan atasnya belanjaannya”.
Berdasarkan hadist tersebut, hukum
syara telah menetapkan bahwa baik hasil atau rugi adalah untuk menggadaikan,
maka yang memeganga gadai tidak memiliki hak , kecuali adanya izin dari yang
menggadaikan. Mereka mengatakan bahwa para ulama telah sepakat dengan hal ini.
1.
Unsur-Unsur
Gadai
a.
Orang yang
menggadaikan barang (Ar-Rahin)
b.
Orang yang
menerima barang gadaian (Al-Murtahin)
c.
Barang yang
digadaikan (Ar-Rahn/Al-Marhun)
d.
Uang yang
dipinjamkan karena adanya barang yang digadaikan (Al-Marhun bih)
2.
Rukun
dan Syarat Gadai
a.
Ijab qabul
(akad)
b.
Orang yang
menggadaikan (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin), kedua belah
pihak ini disebut aqid.
·
Mampu
membelanjakan harta bagi rahin
·
Memahami
tentang gadai
·
Baligh
·
Berakal sehat
·
Mumayyis
c.
Borg (barang
yang dijadikan jaminan)
·
Keadaan barang
tidak rusak
·
Barang yang
bernilai ekonomis
·
Milik orang
yang menggadaikan
·
Harus jelas
ukuran, jenis dan sifatnya
d.
Ada hutang
(uang yang dipinjamkan)
·
Bersifat wajib
di bayar
Secara sekilas pengertian gadai dan
borg (jaminan) adalah sama, namun pada dasarnya berbeda. Di dalam fiqih
muamalah borg atau jaminan diartikan sebagai barang yang dijadikan sebagai
penguat hutang-pihutang.Oleh karena itu, jaminan sangat erat kaitannya dengan
utang-piutang dan terjadi karenanya.[35]Perbedaan
antara borg dan gadai yaitu jika borg seperti yang telah dijelaskan diatas
yaitu barang yang dijadikan sebagai penguat utang piutang namun lain halnya
dengan gadai yaitu penyerahan barang berharga demi mendapatkan pinjaman.
Dalam suatu transaksi
pinjam-meminjam dan utang-piutang si pemilik uang diperbolehkan meminta jaminan
barang berharga kepada si peminjam.[36]Hakikatnya
pemberian utang merupakan salah satu perilaku kebajikan dalam menolong orang
lain yang sedang kesusahan atau tidak memiliki uang (kontan). Namun, demi
kemashlahatan bersama, si pemberi utang membutuhkan suatu jaminan yang
menyatakan bahwa utang tersebut akan dibayar oleh orang yang berhutang. Dengan
demikian, si pemberi utang boleh meminta jaminan kepada orang yang berhutang
dalam bentuk barang berharga.
Hukum meminta jaminan adalah mubah,
hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an dan penjelasan Nabi
Muhammad SAW.[37]
Dalil Al-Qur’an yang menjelaskan hukum meminta jaminan salah satunya tertuang
dalam QS. Al-Baqarah ayat 283 seperti yang telah dijelaskan di atas. Dalil
Al-Qur’an lainnya yaitu dalam surat al-Mudatsir ayat 38:
كُلُّ نَفْسٍ
بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
Artinya:
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya,”.
(QS. Al-Mudatsir:38).
Di dalam hadist dari Abu Hurairahyang
diriwayatkan al-Bukhari, mengatakan: “Punggung hewan itu dikendarai sebagai
imbalan biayanya, bila ia diagunkan dan susu hewan itu diminum sebagai imbalan
biayanya bila ia diagunkan. Kewajiban orang yang mengendarai dan meminum untuk
membiayai”.
Alasan hukum diperbolehkannya
muamalah dengan adanya jaminan yaitu agar pelaku muamalah mendapat keringanan dalam
hal kepuasan hati dan pergaulan hidup baginya dalam bermuamalah.
Jaminan diserahkan dalam bentuk
transaksi sebagai lanjutan dari transaksi utang piutang. Agar transaksi
tersebut menjadi sah maka diperlukan adanya akad dengan cara penyerahan dan
penerimaan atau bisa dengan cara lain yang menyatakan telah terjadinya jaminan
dengan rasa suka sama suka diantara kedua belah pihak.
Pemanfaatan barang
jaminan yani jika barang yang dijadikan jaminan tidak membutuhkan perawatan
seperti tanah yang kosong maka tanah ini tidak boleh dimanfaatkan oleh yang
memegang jaminan, karena pada dasarnya akad jaminan sekedar sebagai sebuah
kepercayaan bukan untuk mendapatkan hasil. Dalam kasus ini maka mengambil
hasilnya bersifat haram.[38]
Apabila barang jaminan
tersebut memerlukan biaya perawatan seperti kendaraan atau hewan, maka boleh
diambli manfaatnya yang banyaknya sama dengan biaya yang dikeluarkan untuk
perawatan. Jika barang jaminan tersebut mengalami perubahan atau pertumbuhan
seperti hewan yang melahirkan atau hewan tersebut menjadi gemuk, maka tambahan
tersebut tetap menjadi pemilik barang dan digabungkan menjadi barang jaminan.
Seperti halnya hutang
yang wajib dibayar secepatnya, jaminan juga wajib untuk diserahkan kembali
secepat pembayaran hutang kepada si pemilik barang jaminan. Sebaliknya, apabila
orang yang berhutang suddah jatuh tempo dan belum membayar hutangnya, maka
jaminan yang diberikan boleh dijual oleh si pemegang jaminan dan jika terdapat
kelebihan harga maka kelebihan tersebut diserahkan kepada si pemilik barang.
Berakhirnya
Jaminan yaiu:
a.
Ketika
terselesaikannya hutang.
b.
Orang yang
memberikan hutang membebaskan pinjaman yang di hutang oleh si peminjam.
c.
Lepasnya
tuntutan hutang.
d.
Berakhirnya
kontrak hutang.
Hikmah
dibalik transaksi gadai dan jaminan sangatlah luar biasa. Dikarenakan penerima
gadai dapat membantu meringankan kesusahan penggadai. Terkadang untuk memenuhi
kebutuhannya seseorang harus meminjam kepada orang lain, namun biasanya yang
meminjami tidak berkenan jika tidak ada jaminan yang diberikan kepadanya. Allah
telah mengetahui hal tersebut, oleh karenanaya Allah mensyariatkan gadai, yang
bertujuan agar si penerima gadai bisa nyaman terhadap harta yang
dipinjamkannya. Betapa indahnya jika manusia melakukan transaksi gadai
berdasarkan aturan syara’. Adapun hikmah dibalik semua ini yaitu terdapat
pertukaran rasa cinta kasih sayang diantara sesama manusia yang terlibat. Bagi
penerima gadai akan mendapat pahala dari Allah dikemudian hari.[39]
E.
UPAH
Kata upah berasal dari bahasa Arab ajrun
atau ajran yang artinya memberi upah, hadiah atau imbalan, ada juga yang
mengatakan bahwa kata lain dari upah yaitu iwadh. Secara terminologi
upah diartikan sebagai uang atau lain sebagainya yang dibayarkan atau diberikan
sebagai balas jasa atas tenagayang dikeluarkan dalam mengerjakan sesuatu. upah
termasuk dalam macam ijaroh yang kedua, yakni ijarah yang berhubungan dengan
pekerjaan dengan kata lain yang dijadikan sebagai objek akad adalah pekerjaan
atau yang biasa dikenal dengan istilah mempekerjakan seseorang dengan upah.[40]
Secara umum upah diberikan kepada
pihak buruh sebagai rasa terimakasih atau pengganti kerugian atas tenaga yang
dikeluarkan untuk mengerjakan sesuatu atas perintah majikan. Jadi, bisa dikatakan bahwa upah ini merupakan
harga dari tenaga (pekerjaan) yang dibayarkan atas jasanya dalam menghasilkan
suatu barang ataupun hal lainnya.
Dari beberapa penjelasan tersebut,
secara ringkasnya upah dapat dikatakan sebagai bentuk atau nama bagi sesuatu
baik itu berupa uang atau bukan yang biasanya dijadikan imbalan atau hadiah oleh pihak majikan kepada
pihak pekerja atau buruh sebagai rasa balas jasa atau sebagai pengganti atas
jasa tenaga yang dikeluarkan dalam pekejaan.
Contoh dari pengaplikasian upah
yaitu mengupah seseorang untuk menjahitkan baju, memberikan upah kepada
seseorang yang telah membangunkan rumah, memberikan imbalan kepada seseorang
yang telah membantu mengangkat barang, memberikan bayaran kepada seseorang yang
telah menggarapkan kebunnya, dan lain sebagainya. Diriwayatkan dari Rafi’ Ibnu
Rifa’ah r.a, berkata:
لقد
نهانا نبي الله ص.م عن كسب الأمة ألا ما عملت بيدها وقال هكذا بأصابعه نحو الخبز
والغزل والنفش
Artinya: “Sesungguhnya
Rasulullah melarang hasil kerja budak perempuan kecuali yang ia lakukan dengan
menggunakan kedua tangannya. Beliau bersabda sambil menunjuk ke aarh roti,
pemintalan dan penyisisran”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Dari hadist tersebut menjelaskan
bahwa Rasulullah melarang hasil kerja budak kecuali budak yang mengerjakan
pekerjaan dengan kedua tangannya seperti membuat adonan roti hingga memasaknya
menjadi roti, budak yang memintal bulu atau kapas, atau menyisirnya. Dalam
riwayat lain diartikan sebagai an-Naqsyu yang berarti menyulam.[41]
Diketahui bahwa dasar
hukum Islam mengacu pada Al-Qur’an dan hadist, begitu pula dasar hukum upah
yaitu didasarkan pada keduanya. Allah berfirman dalam QS. At-Thalaq ayat 6:
أَسْكِنُوهُنَّ
مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا
عَلَيْهِنَّ ۚ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ
يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۖ
وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ ۖ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ
أُخْرَىٰ
Artinya: “Tempatkanlah
mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika
mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan
(anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan
musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.(QS.At-Thalaq:6).
Sabda
Rasulullah SAW,
أعطوا
الأجير أجره قبل أن يجف عرقه
“Berikanlah
kepada pekerja upahnya sebelum keringatnya mengering”.
(HR. Ibnu Majah).
من
استأجر أجيرا فليسم له أجرته
“Barangsiapa
mempekerjakan seseorang, hendaklah ia menyebutkan kepadanya upahnya”.
(HR. Al-Baihaqi, Abdurrazzaq, Ishaq, Abu Dawud).
Pada masa sahabat, umat
Islam berijma’ bahwa memberikan upah bersifat boleh, karena pada dasarnya
manusia membutuhkan manfaat suatu barang layaknya kebutuhan mereka terhadap
barang tersebut.[42]
Sebelum melakukan
pemberian upah, sebelumnya syara’ menetapakan sejumlah jaminan terhadap orang yang dipekerjakan dengan upah (ajiir),
yaitu persetujuan dan kerelaan pekerja, proporsionalitas atau keadilan dan juga
kebiasaan yang berlaku dilingkungan tersebut ketika mempekerjakan seseorang (urf).
Oleh karena itu, upah harus diberikan secara adil berdasarkan kebiasaan yang
berlaku dengan berbagai pertimbangan seperti kehalian, dan harus dilakukan
berdasarkan kerelaan, kebebasan dan sesuai dengan kemauan sendiri tanpa adanya
paksaan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian, maka
tidak boleh mempekerjakan seseorang dengan paksaan, dilarang menyakiti atau
menganiaya ajiir, tidak mengulur waktu pembayaran upah dan menghalangi
haknya, atau hanya memanfaatkan tenaganya tanpa memberikan upah (iwadh).
Dikarenakan barang siapa yang hanya mengambil manfaat atau menggunakan jasa
seorang pekerja tanpa memberikan imbalan atau upah, hal ini sama dengan
memperbudaknya seperti yang dikatakan oleh para fuqaha Islam bahwa “memakan”
hasil keringat atau tenaga dan jerih payah pekerja sama artinya seperti
seseorang yang menjual orang yang masih berstatus merdeka daan memakan hasil
penjualan tersebut. Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Sabda
Rasulullah SAW:
قال
الله ثلاثة أنا خصممهم يوم القيامة ومن
كنت خصمه خصمته رجل أعطى بي ثم غدر ورجل باع حرا فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيرا
فاستوفى منه ولم يوفه أجره
Allah SWT
berfirman , “ada tiga orang yang Aku adalah seterunya kelak dihari kiamat, dan
barangsiapa yang Aku adalah seterunya, Aku pasti akan mengalahkannya dalam
perseteruan, yaitu, seseorang yang bersumpah atas Nama-Ku kemudian ia
melanggarnya. Seseorang yang menjual orang yang statusnya sudah merdeka dan ia
memakan harganya. Dan ketiga, orang yang mempekerjakan seseorang, lalu orang
yang ia pekerjakan itu telah melaksanakan pekerjaanya, namun ia tidak memenuhi
hak upahnya”. (HR. Ahmad dan Bukhari).
Berdasarkan
hadist tersebut Ibnu Tin menegaskan bahwa Allah SWT merupakan seteru terhadap
orang yang berbuat zalim, namun disini Allah SWT ingin memberikan penekanan
yang lebih dalam, memberikan ancaman terhadap ketiga kriteria yang telah
disebutkan dalam hadist tersebut.
Apabila orang yang
bekerja beleum melaksanakan pekerjaannya, maka kedua belah pihak (majikan dan
pekerja) dapat disuruh bersumpah kemudian mencari kesepakatan baru yang dapat
memberikan keuntungan dikedua belah pihak. Imam Syafi’i berkata, jika seseorang
mengupah pekerja lalu keduanya saling membenarkan akan adanya transaksi
upah-mengupah tersebut, namun mereka berselisih terhadap besarnya upah
pekerjaan itu dan jika pekerjaan belum dimulai, maka kedua belah pihak
dianjurkan membuat kesepakatan baru. Namun, jika pekerjaan telah dilakukan,
maka keduanya harus bersumpah kemudian dikembalikan kepada upah yang biasa
diberikan bagi pekerja serupa dalam hal ini merujuk pada urf.[43]
Syariat Islam memberikan
perhatian yang sangat besar terhadap hak-hak pekerja dan buruh, terlebih dalam
hal upah, oleh karena itu syariat Islam menetapkan beberapa syarat ketika
mengadakan kesepakatan akad isti’jaar (kontrak kerja).
1.
Syarat-Syarat
Kesepakatan Akad Isti’jaar
a.
Upah harus
berbentuk harta yang bernilai
b.
Upah bisa
dimanfaatkan oleh si pekerja
c.
Jelas dan
spesifikasinya diketahui oleh pihak pekerja
d.
Jenis, kadar
dan sifatnya jelas
e.
Upah harus
dijelaskan dan ditentukan secara pasti
f.
Besarnya upah
ditentukan berdasarkan perjanjian orang yang mempekerjakan dan si pekerja.
g.
Upah yang diberikan harus dipastikan halal.
h.
Barang pengganti upah tidak boleh cacat,
misalnya upahnya berupa nasi, lauk dan lain-lain.[44]
2.
Bentuk-Bentuk
Upah
a.
Upah (ajrun )
misl’ yaitu upah yang seimbang dengan kondisi pekerjaannya, baik seimbang
dengan jasa kerja maupun seimbang dengan pekerjaannya saja.
b.
Upah (ajrun)
musamma, yaitu upah yang didasarkan kerelaan atau ketidakpaksaan pekerja yang
telah disebutkan dalam perjanjian dan dipersyaratkan.
3.
Hak
dan Kewajiban Pekerja
Hak pekerja
a.
Berhak atas
upah sesuai dengan kesepakatan atau yang telah dijanjikan.
b.
Berhak
mendapatkan pekerjaan yang layak dan sesuai kemampuannya
Kewajiban
pekerja
a.
Melaksanakan
pekerjaan dengan ikhlas, tekun, cermat dan teliti.
b.
Mengerjakan
sendiri pekerjaan yang telah disepakati.
c.
Melaksanakan
sesuai dengn waktu yang diperjanjikan.
d.
Menjaga
keselamatan barang yang telah dipercayakan kepadanya.
e.
Mengganti
kerugian jika ada kerusakan pada barang yang dipercayakan akibat kelalaiannya.
Disini dijelaskan bahwa
bentuk ijarah baik dalam hal sewa-menyewa ataupun upah-mengupah, merupakan
bentuk muamalah yang dibenarkan.[45]
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari beberapa
penjelasan mengenai macam-macam transaksi muamalah yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari dapat kita simpulkan bahwa diantara beberapa transaksi muamalah
tersebut seperti pinjam meminjam, sewa meneywa, utang piutang, gadai, upah dan
jaminan, semua itu ditujukan untuk memenuhi kemaslahatan umat dalam
kehidupannya. Tidaklain juga untuk mempererat tali persaudaraan sesama umat,
karena terjadinya interaksi ini merupakan bentuk tolong menolong dalam
kebaikan. Namun diantara semua transaksi tersebut juga harus dipenuhi syarat
dan rukunnya, dan juga harus memperhatikan beberapa ketentuan yang ada di
dalamnya. Sehingga tercapai tujuan atau kemaslahatan antara pihak pihak yang
terkait.
Setelah kita mengetahui berbagai
macam seluk-beluk dari tindakan muamalah yang dibahas dalam makalah ini, kita
diharapkan dapat melakukan transaksi muamalah ini dengan benar dan mengetahui
segala ketntuan dan hukum-hukumnya sesuai dengan syariat islam.
B.
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kekungan-kekurangan yang ada di dalamnya, sehingga kritik dan
saran pembaca yang membangun sangat kami harapkan, untuk menunjang penulisan
makalah di waktu yang akan datang.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Jarjawi,
Syekh Ali Ahmad. Indahnya Syariat Islam. 1 ed. Jakarta: Gema Insani
Press, 2006.
As-Sadlan,
Shalih Bin Ghanim dan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid. Intisari Fiqih
Islam. 1 ed. Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007.
Az-Zuhaili,
Wahbah. Fiqih Islam Wa Adillatuhu. 1 ed. Jakarta: Gema Insani Press,
2011.
Sudarsono. Pokok Pokok Hukum Islam. 1 ed. Jakarta:
Rineka Cipta, 1993.
Djamali,
R. Abdul. Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum.
1 ed. Bandung: CV Mandar Maju, 1992.
Saleh, Hassan. Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Satrio,
J. Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan. 5 ed. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2007.
Syafi’i,Imam.
Ringkasan Kitab Al Umm. 2 ed. Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Syalthut,
Mahmud dan Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. 1 ed. Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000.
Syarifuddin,Amir.
Garis-Garis Besar Fiqh. 1 ed. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003.
Catatan:
1.
Similarity 8%.
[1]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 1 ed. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 430.
[2]R.
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, 1 ed. (Bandung: CV Mandar Maju, 1992), 172.
[3]Ibid., 173.
[5]H.E.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2008), 389.
[6]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 435.
[8]Ali
Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 1 ed. (Jakarta: Gema Insani
Press, 2006), 485.
[9]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 422.
[10]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2003), 216.
[11]R.
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, 158–160.
[12]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 218.
[13]R.
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, 161.
[14]Shalih
Bin Ghanim As-Sadlan dan Muhammad Shalih Al-Munajjid, Intisari Fiqih Islam,
1 ed. (Surabaya: CV Fitrah Mandiri Sejahtera, 2007), 160.
[15]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 424–425.
[16]Ali
Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 488.
[17]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 417.
[18]H.E.
Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer, 390–391.
[19]R.
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, 163–64.
[20]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 419.
[22]R.
Abdul Djamali, Hukum Islam Berdasarkan Ketentuan Kurikulum Konsorsium Ilmu
Hukum, 165.
[23]Ibid., 168.
[24]Ibid., 170.
[25]Ibid., 171.
[26]Ibid., 172.
[27]Sudarsono,
Pokok Pokok Hukum Islam, 478.
[28]Ali
Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 450.
[29]Amir
Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 222 dan 227.
[30]J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, 5 ed.
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), 87.
[31]Mahmud Syalthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, 1 ed.
(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 287.
[32]Ibid.
[33]Ibid.,
288.
[34]Ibid.,
289.
[35] Amir Syarifuddin, Garis-Garis
Besar Fiqh, 1 ed. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2003), 227.
[36]hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 392.
[37]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, 228.
[38]Ibid.,
229.
[39]Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam, 1 ed.
(Jakarta: Gema Insani Press, 2006), 485.
[40]Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 1 ed.
(Jakarta: Gema Insani Press, 2011), 83.
[41]Ibid.
[42]Ibid., 84.
[43]Imam Syafi’i, Ringkasan Kitab Al Umm, 2 ed. (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2006), 183.
[44]Wahbah
Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, 83.
[45]hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi & Fiqh Kontemporer
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), 387.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar