MAKALAH
JUAL-BELI, RIBA, DAN QIRADH DALAM
KONSEP EKONOMI SYARI’AH
Makalah
ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqh 1
Dosen
Pengampu:
Benny
Afwadzi, M.Hum
Disusun
oleh:
Abidlah
Salfada B. (16110020)
Khoirun
Nisa’ (16110018)
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA
PENGANTAR
Dengan
menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, puji syukur kami
panjatkan kehadirat Allah SWT, yang tlah melimpahkan Rahmat, Hidayah, dan
Inayah-Nya sehingga kami dapat merampungkan penyusunan makalah dari mata kuliah
Fiqih 1 dengan judul “Jual-Beli, Riba, dan Qiradh dalam Konsep Ekonomi
Syari’ah” dengan Dosen Pengampu bapak Benny Afwadzi, M. Hum.
tepat pada waktunya.
Penyusunan
makalah semaksimal mungkin kami upayakan dan didukung bantuan berbagai pihak,
sehingga dapat memperlancar dalam penyusunannya. Untuk itu tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam
meranmpungkan makalah ini.
Namun
tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat
kekurangan baik dari segi penyusunan, bahasa, dan aspek lainnya. Oleh karena
itu, dengan lapang dada kami membuak selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca
yang ingin memberi saran maupun kritik demi memperbaiki makalah ini.
Akhirnya
penyusun sangat mengharapkan semoga dari makalah sederhana ini dapat diambil
manfaatnya dan besar kainginan kami dapat menginspirasi para pembaca untuk
mengangkat permasalahan lain yang relevan pada makalah-makalah selanjutnya.
Malang, 04
Mei 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia secara
keseluruhannya akan selalu menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat
ekonomi, yaitu persoalan yang menghendaki seseorang atau suatu kelompok untuk
membuat keputusan dalam hal menentukan cara yang terbaik untuk melakukan suatu
kegiatan ekonomi. Di satu pihak, kegiatan ekonomi meliputi usaha pelaku ekonomi
memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Di lain pihak, kegiatan ekonomi
meliputi kegiatan untuk menggunakan barang dan jasa yang diproduksi dalam perekonomian. Dengan demikian, kegiatan
ekonomi adalah sebagai kegiatan memproduksi maupun menggunakan atau
mengkonsumsi barang dan jasa.
Manusia khususnya umat Muslim dalam transaksi
sehari-harinya sering dibingungkan dengan konsepsi riba. Seperti masalah apakah
bunga bank adalah tergolong riba atau bukan, seberapa riba yang ditoleransi,
ataukah masuk dalam permasalahan semua bunga haram atau tidak. Riba dengan
segala ancamannya termasuk perkara yang urgen untuk dibahas dan dikaji
eksistensinya, guna mencegah madharat umat yang hidup dalam kungkungan sistem
ribawi lebih jauh lagi.
Masyarakat muslim yang ingin bersih dari sistem
ribawi nampaknya juga masih dibingungkan dengan konsep ekonomi syariah,
terutama karena kurangnya pengetahuan dan sosialisasi, mereka bingung akan
bagaimana memulai usaha dalam lingkup ekonomi Syar’i. Maka disini akan penulis
uraikan juga tentang akad atau transaksi kerjamasama yang disebut Mudharabah.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana konsep jual beli dalam ekonomi syari’ah?
2.
Bagaimana konsep riba dalam ekonomi syari’ah?
3.
Bagaimana konsep akad mudharabah dalam ekonomi syari’ah?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui konsep jual beli dalam ekonomi syari’ah.
2.
Untuk mengetahui konsep riba dalam ekonomi syari’ah.
3.
Untuk mengetahui konsep akad mudharabah dalam ekonomi syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jual
Beli
Jual
beli merupakan kegiatan tukar-menukar barang dengan barang yang lain dengan
cara yang yang telah ditentukan (akad).[1]
Pengertian Jual beli menurut etimologi berarti pertukaran antara sesuatu dengan
sesuatu (yang lain).[2]
Dalam istilah Fiqih disebut al Ba’i,
al-Tijarah, dan al-Mubadalahyang memiliki arti menjual atau mengganti.
Adapun pengertian jual beli menurut terminologi, Suatu kegiatan tukar-menukar
benda yang mempunyai nilai tertentu antara kedua belah pihak yang telah
bersepakat untuk melakukan transaksi sesuai dengan ketetapan hukum syara’ atau
ketentuan yang disepakati. Maksud dari sesuai ketetapan hukum syara’ yakni
kesesuaianya terhadap rukun-rukun, persyaratannya, dan hal-hal lainnya yang
tentunya berkaitan dengan jual beli. Selanjutnya mengenai benda tersebut yang
dapat mencangkup barang dan uang, benda tersebut ada yang dapat dipindahkan,
yang tetap, serta ada yang dapat dibagi.[3]
1.
Dasar
Hukum
a. Al
Quran, diantaranya :
1) Allah
berfirman dalam QS. Al Baqarah : 275, “Padahal
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.”
2) Allah
berfirman dalam QS. Al Baqarah : 282, “Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.”
3) Allah
berfirman dalam QS An Nisa’ : 29, “Kecuali
dengan jalan perniagaan yang dilakukan suka sama suka.”
b. As
Sunnah
Hadist
yang diriwayatkan oleh Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’ : “ Nabi Muhammad Saw ditanya tentang mata
pencaharian yang paling baik. Beliau menjaab, ‘Seseorang yang bekerja dengan
tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.”
c. Ijma’
Ulama
telah menyepakati bahwa jual beli diperbolehkan dengan suatu perkara jika
manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhannya, tanpa adanya bantuan atau
barang dari orang lain. Namun, jika bantuan tersebut yang dibutuhkannya itu,
maka ia harus mengganti dengan barang lainnya yang sesuai.[4]
2.
Hukum
dan sifat jual beli
Jumhur
ulama membagi jual beli menjadi 2 yakni jual beli sah (shahih) dan jual beli
yang tidak sah. Jual beli sah ialah jual beli yang telah memenuhi ketentuan
syara’, sedangkan jual beli tidak sah ialah jual beli yang tidak memenuhi
syara’ baik rukun maupun syaratnya sehingga menjadikan jual beli tersebut
menjadi rusak (fasid) atau batal.
Berbeda dengan ulama Hanafiyah yang membagi menjadi tiga yakni sah, batal, dan
rusak.
Perbedaan
tersebut berpangkal pada jual beli yang tidak memenuhi ketentuan syara’,
diriwayatkan dalam hadist muslim dari siti aisyah, “Barang siapa yang berbuat suatu amal yang tidak kami perintahkanm maka
bertolak. Begitu pula barang siapa yang memasukkan suatu perbuatan kepada agama
kita, maka tertolak”
Berdasar
pada hadist diatas jumhur ulama berpendapat bahwa akad maupun jual beli yang
keluar dari ketentuan hukum atau syara’ harus ditolak baik dalam muamalat
maupun ibadah. Adapun ulama hanafiyah dalam masalah muamalah yang terkadang
tidak ada ketentuan syara’ sehingga tidak sesuai, dan akd tersebut telah rusak
tetapi tidak batal. Dengan demikian ada akad yang batal saja ada pula yang
rusak saja. Jual beli shahih adalah
jual beli yang memenuhi ketentuan syariat yang telah ditentukan. Jual beli batal adalah jual beli yang
tidak memenuhi akan salah satu rukun, atau tidak sesuai dengan syara’ misalnya
jual belinya orang gila dan anak kecil. Jual
beli rusak adalah jual beli yang sesuai syariat pada asalnya namun bukan
pada sifatnya misalnya jual beli yang dilakukan oleh orang yang mumayyiz namun
bodoh sehingga memunculkan pertentangan.[5]
3.
Rukun
dan Syarat Jual Beli .
Menurut
jumhur para ulama menyebutkan bahwa ada 3 rukun jual beli yakni :
a. Penjual
dan Pembeli (Ba’i dan Mustari),
adapun syaratnya :
1) Berakal, hal
ini bertujuan supaya antara penjual maupun pembeli tidak terkecoh atau tertipu
saat melakukan transaksi. Adapun orang yang gila atau bodoh tidak sah hukum
jual belinya.
2) Tidak adanya
rasa terpaksa atau dipaksakan. Inti dari kalimat
tersebut yakni suka sama suka.
3) Baligh, sehingga
anak kecil yang belum mencapai batas baligh tidak sah melakukan jual belinya.
Namun dalam konteks anak yang belum baligh namun telah mengerti, mereka
diperbolehkan berjual beli yang dalam konteks kecil-kecil. Apabila hal tersebut
tidak diperbolehkan, maka akan menimbulkan kesulitan sedangkan dalam agama
islam tidak sekali-kali memberikan aturan yang menyulitkan kepada pemeluknya.[6]
4) Beragama islam, syarat
ini khusus hanya untuk pembeli saja dalam benda-benda tertentu, misalnya
seseorang dilarang menjual hambanya yang beragama islam kepada pembeli yang non
islam karena dikhawatiekan oembeli tersebut akan merendahkan abid yang bergama
islam tersebut.[7]
Dalam agama islam, Allah melarang mukmin memberi jalan kepada orang kafir untuk
merendahkan mukmin. Allah berfirman dalam QS An Nisa’ : 141, “Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan
bagi orang kafir untuk menghina mukmin.”
b. Uang
atau benda yang diperjual belikan (Ma’qud
Alaih), memiliki syarat sebagi berikut.
1)
Suci,
Karena
barang yang tidak suci (najis) tidak sah untuk diperjual belikan. Contohnya
kulit binatang yang belum disamak.
2)
Bermanfaat,
apabila
tidak mempunyai manfaat tertentu maka hal tersebut merupakan perilaku
menyia-nyiakan atau pemborosan harta yang sangat dilarang dalam islam, Allah
berfirman dalam QS. Al Isra’ : 27, “Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu saudara-saudarannya setan.”
3)
Barang
tersebut dapat diserahkan, misalnya ikan dalam laut, harta
rampasan yang masih ditangan yang merampasnya, benda yang masih atau sedang
dijaminkan. Karena hal tersebut mengandung unsur penipuan (tipu daya).
4)
Barang
kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinnya, atau mengusahakan. Dalam
Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmizi, Rasulullah Saw bersabda “ Tidak sah jual beli selain mengenaibarang
yang dimiliki.”
5)
Barang
tersebut telah diketahui oleh penjual dan pembeli, adanya
kejelasan pada zat, bentuk, kadar (ukuran), dan sifatnnya sehingga tidak
terkandunya unsur pengecohan (tipu daya).
c. Ijab
dan Qabul (Shighat), Ijab yang
berarti perkataan penjual sedangkan Qabul yang berarti Ucapan dari pembeli.
Lafadz tersebut harus memenuhi syarat, yakni:
1) Keadaan
ijab dan qabul saling berhubungan, antara lain salah satunnya merupakan jawaban
yang cocok dan belum berselang lama.
2) Ijab
dan qabul tidak dimaksudkan dengan urusan yang lain, misalnya “ Kalau saya jadi
pergi, saya jual barang ini sekian.”
3) Tidak
mempunya waktu, karena apabila jual beli yang berwaktu sebulan atau setahun
misalnya hal tersebut tidak sah.
5) Para
ulama fiqih berpendapat mengenai Ijab Qabul, diantaranya sebagai berikut.
a) Menurut
ulama Syafi’iyah, ijab qabul adalah “Tidak
sah akad jual beli kecuali dengan sighat (ijab qabul) yang diucapkan”
b) Menurut
Imam Malik, memiliki pendapat “bahwa ijab
qabul itu telah sah dan dapat dilakukan secara dipahami saja”
c) Pendapat
ketiga ini ialah penyampaian akad beserta perbuatan atau disebut aqaad bi al-mu’athah yakni “aqaad bi al-mu’athah adalah mengambil
dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab qabul), sebagaimana seseorang
membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari
penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran.”[9]
4.
Macam-macam
Jual Beli
a. Jual
beli berdasarkan pertukarannya, terbagi menjadi empat yakni.
1) Jual
beli saham (pesanan)
Ialah jual beli dengan
cara melalui pesanan, dengan menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian
barangnya diantar belakangan.
2) Jual
beli muqayadhah (barter)
Ialah jual beli dengan
cara menukar antar barang misalnya menukar baju dengan sepatu.
3) Jual
beli muthlaq
Ialah jual beli dengan
menggunakan alat penukar yang elah disepakati seperti uang.
4) Jual
beli alat penukar dengan alat penukar
Ialah jual beli barang
yang biasanya dipakai sebagai alat penukar lainnya misalnya uang perak dengan
uang emas.
b. Jual
beli berdasarkan segi harga, terbagi menjadi empat yakni.
1)
Jual beli yang
menguntungkan (al-murabbahah)
2)
Jual beli yang
tidak menguntungkan, yakni menjual dengan harga aslinya (at tauliyah).
3)
Jual beli rugi
(al-khasarah)
4)
Jual beli al
musawah, yakni penjual menyembunyikan harga aslinya namun kedua belah pihak
menyetuji (meidlai). Jenis jual beli inilah yang berkembang sekarang.[10]
c. Jual
beli yang dilarang dalam islam
1) Terlarang
sebab Ahliah (ahli akad)
a)
Jual beli orang
gila, jumhur ulama fiqih sepakat bahwa tidak jual beli orang gila ini,
begitupun sejenisnya misalnya mabuk, sakalor, dan alin-lain.
b)
Jual beli anak
kecil, menurut syafiiyah jual beli anak mumayiz yang belum baligh tidak sah
karena tidak ada ahliah. Menurut malikiyah, hanafiyah, dan hanabilah
berpendapat bahwa hal tersebut sah apabila diizinkan walinya. Juga karena untuk
melatih kedewasaan.
c)
Jual beli orang
buta, menurut syafiiyah tidak sah karena tidak dapat membedakan barang jelek
atau baik. Namun menurut jumhur mengkategorikan jual beli shahih jika barang
tersebut diberi sifat.
d) Jual
beli terpaksa, menurut syafiiyah dan habilah tidak sah karena tidak ada
persetujuan kedua belah pihak saat akad. Namun menurut hanafiyah ditangguhkan
(mauquf) samapai rela (hilang rasa terpaksa). Sedangkan menurut malikiyah tidak
lazim baginya ada khiyar.
e)
Jual beli
fudhul, yakni jual beli milik orang lain tanpa seiin si pemiliknya. Menurut
Hanafiyah dan malikiyah hal ini ditangguhkan, namun menurut syafiiyah dan
hanabilah tidak sah.
f)
Jual beli orang
yang terhalang, misalnya bodoh, bangkrut, ataupun sakit.
g)
Jual beli
malja’, yakni jual beli yang dilkukan saat dalam keadaan bahaya, yakni guna
menghindar dari perbuatan zalim. Menurut hanafiyah hal tersebut disebut fasid
sedangkan menurut hanabilah yakni batal.
2) Terlarang
sebab sighat
a)
Jual beli
mu’athah, yakni jual beli yang telah disepakati oleh kedua belah pihak mengenai
barang maupun harganya namun tidak memakai ijab qabul.
b)
Jual beli barang
yang tidak ada ditempat akad, jumhur ulama berpendapat hal ini tidak sah,
c)
Jual beli tidak
bersesuaian antara ijab dan qabul, tidak sah menurut kesepakatan ulama. Apabila
jika lebih baik seperti meninhhikan harga menurut hanafiyah membolehkannya
namunsyafiiyah menganggap hal tersebut tidak sah.
d) Jual
beli munjiz, yakni jual beli yang dikaitkan dengan syarat atau ditangguhkan
pada waktu yang akan datang. Menurut hanfiyah fasid sedangkan jumhur ulama
sepakat batal.[11]
3) Terlarang
sebab ma’qud alaih (barang jualan)
a)
Jual beli benda
yang tidak ada atau dikhawatirkan tidak ada, jumhur ulama sepakat bahwa
hukumnya tidak sah.
b)
Jual beli barang
yang tidak dapat diserahkan, misalnya burung yang ada diudara, ataupun ikan
yang berada dalam air tidak berdasar pada syara’.
c)
Jual beli
gharar, yakni jual beli yang mengandung sifat kesamaran. Menurut Ibn Jazi al
Maliki, gharar yang dilarang ada 10 beberapa diantaranya yakni tidak diketahui
harga, barang,sifat barang amupun ukuran
barang, jual beli husha, munabdzah, mulasamah.
d)
Jual beli barang
yang najis dan yang terkena najis, untuk barang yang najis jumhur ulama sepakat
hal tersebut dilarang namun untuk barng yang terkena najis yang tidak mungkin
dihilangkan msilanya minyak yang terkena bangkai tikus, ulama hanafiyah
memperbolehkan untuk barang yang tidak unuk dimakan sedangkan menurut malikiyah
memperbolehkan setelah dibersihkan.
e)
Jual beli air,
menurut jumhur ulama empat madzab sepakat jual beli air yag dimiliki yang
disimpan di tempat pemiliknya dibolehkan namun ulama zhahiriyah melarang secara
mutlak. Juga disepakati jual beli air yang mubah yakni yang semua manusia boleh
memanfaatkan air tersebut. [12]
f)
Jual beli barang
yang tidak jelas (majhul), menurut hanafiyah fasid sedangkan menurut jumhur
para ulama yakni batal karena akan mendatangkan pertentangan antar manusia.
g)
Jual beli barang
yang tidak ada ditempat akad (gaib) dan tidak dapat dilihat, menurut ulama
hanafiyah memperbolehkan tanpa menyebut sifat-sifatnya namun pembeli tetap
berhak khiyar ketika melihatnya. Tidak sah menurut syafiiyah dan hanabilah
sedangkan malikiyah memperbolehkan namun harus memenuhi syarat yang telah
ditentukan.
h)
Jual beli
sesuatu sebelum dipegang, menurut syafiiyah melarang secara mutlak. Menurut
hanafiyah juga melarang jual beli yang dapat dipindahkan namun untuk barang
yang tetap dibolehkan. Menurut ulam malikiyah melarang atas makanan, sedangkan
menurut hanabilah melarang atas makanan yang diukur.
i)
Jual beli
buah-buahan atau tumbuhan, hal dilarang apabila belum terdapat buah, disepakati
tidak ada akad. Setelah ada buah namun belum matang disebut fasid menurut ulama
hanafiyah dan batal menurut jumhur ulama. Yang diperbolehkan yakni saat buah
trsebut sudah matang.
4) Terlarang
sebab syara’
a) Jual
beli riba, riba nasihah dan riba fadhl adalah fasid menurut ulama hanafiyah,
namun batal menurut jumhur ulama.
b) Jual
beli dengan uang dari barang yang diharamkan, menurut hanafiyah hal tersebut
fasid. Namun menurut jumhu ulama adalah batal sebab berkiblat pada hadist
riwayat bukhari dan muslim tentang Rasulullah mengharamkan jual beli khamr,
bangkai, anjing, dan patung.
c) Jual
beli dari barang hasil pencegatan barang, menurut syafiiyah dan hanabilah
pembeli boleh khiyar. Menurut hanafiyah itu makruh tahrim. Menurut malikiyah
jual beli tersebut merupakan fasid.
d) Jual
beli waktu azzan jumat, yakni bagi laki laki yang mempunyai kewajiban
melaksanakan sholat jumat.
e) Jual
beli anggur untuk dijadikan khamar, menurut syafiiyah dan hanafiyah zahirnya
shahih tapi makruh. Menurut malikiyah dan hanabilah adalah batal.
f) Jual
beli induk tanpa anaknya yang masih kecil, hal ini dilarang sampai anaknya
tumbuh besar dan mandiri.
g) Jual
beli barang yang sedang dibeli oleh orang lain masih dalam khiyar.
h) Jual
beli memakai syarat, menurut syafiiyah, hanafiyah dan malikiyah sah/boleh
apabila bersyarat baik juga bermanfaat namun menurut hanabilah tidak boleh jika
manfaat hanya diterima oleh salah satu pihak.[13]
B. Riba
1. DefinisiRiba
Pengertianribasecaraetimologis(lughawy) adalahtambahan(az-ziyadah), tumbuh(an-numuw), dan menjadi
tinggi (al-‘ulum).[14]Adapunsecaraterminologisribaberartipengambilantambahandarihartapokok/intiatau
modal secarabatil. Terdapatbanyakpendapat yang menjelaskandefinisiriba,
namunditilikdarisegikeumuman,
makapengertianribapadaintinyaadalahpengambilantambahan,
baikdalamtransaksijualbeli(trade) maupunpinjam-meminjam(loan) secarabatilataukontradiktifdenganprinsippokokmuamalahsyari’ah.
Definisi dengan makna sejenis dituturkan pula oleh jumhur ulama
lintas sejarah Islam dari berbagai latar belakang madzhab fiqh. Berikut
pendapat mereka[15]:
a.
Badr
ad-Din al-Ayni, Penulis kitab Umdatul Qari Syarah Shahih Bukhari.
“Prinsip
dasar dalam riba adalah adanta unsur penambahan.Menurut syariah, riba berarti
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi jual beli yang nyata.”
b.
Imam
Sarakhsi dari Madzhab Hanafi
”Riba
adalah tambahan yang sengaja ditambahkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya
iwadh atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
c.
Raghib
al-Asfahani
“Riba
adalah penambahan atas harta awal/utama.”
d.
Imam
an-Nawawi dari Madzhab Syafi’i
“Salah
satu bentuk riba yang dilarang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah penambahan
atas harta pokok karena adanya unsur waktu.”
e.
Qatadah
“Riba
jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya dengan batasan waktu/tempo
hingga waktu yang telah ditentukan. Apabila telah datang saat pembayaran dan si
pembeli tidak mampu melakukan pembayaran penuh, maka ia memberikan bayaran
tambahan atas penangguhan tersebut.”
f.
Zaid
bin Aslam
”Riba
jahiliyah yang berujung pada pembungaan sejalan dengan waktu ialah apabila
seseorang uang memiliki piutang atas yang ia berikan hutang. Ketika jatuh
tempo, ia berkata ‘Bayar sekarang atau besok dengan persyaratan tambah biaya.’”
g.
Mujahid
“Seseorang
menjual dagangannya dengan batasan waktu. Apabila telah jatuh tempo dan
(pembeli tidak mampu bayar), maka dia menambahkan tambahan biaya berdasarkan
waktu yang bertambah.”
h.
Ja’far
ash-Shadiq dari kalangan Syi’ah
“Diantara
hikmah pengharaman riba oleh Allah SWT adalah agar manusia tidak stagnan dalam
berbuat kebaikan. Sangkut-pautnya dengan riba adalah, ketika dibolehkan
mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak terdorong berbuat baik lagi atas
transaksi pinjam-meminjam, padahal salah satu tujuan utama dari qardh adalah
untuk menjalin ukhuwah yang erat dan kebajikan antar pribadi”.
2.
Jenis Barang Ribawi
Pembahasan riba sangat masyhur dan memang telah dibahas oleh para
Fuqoha’ dengan terperinci dengan segala permasalahannya di dalam kitab-kitab
karangan mereka. Penulis akan menampilkan kseimpulan umum atau garis besar dari
pendapat para jumhur ahli fiqh tersebut dalam masalah barang ribawi. Pada
intinya, barang ribawi meliputi:[16]
a.
Emas
dan perak, baik wujudnya dalam bentuk uang maupun manifestasi lainnya. Menurut
Imam Syafi’i riba pada emas dan perak diharamkan karena benda-benda tersebut
termasuk jenis barang harga.[17]
b.
Bahan
makanan pokok, seperti gandum, jagung, beras, termasuk juga bahan makanan
tambahan, misal buah-buahan dan sayur mayur.
3.
Jenis-Jenis Riba dan Contohnya
Pada dasarnya riba diklasifikasikan menjadi dua, yaitu riba
utang-piutang yang dasar hukum pengharamannya didasarkan pada al-Qur’an,
dan riba jual beli yang dasar pelarangannya diterangkan dalam as-Sunnah.
Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qardh dan riba jahiliyyah.
Sedangkan kelompok kedua terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.[18]
a.
Riba
Qardh
Substansi
maknanya yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan
terhadap yang berhutang (muqtarid).
b.
Riba
Jahiliyah
Riba
Jahiliyah merupakan hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si peminjam tidak
mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
c.
Riba
Fadhl
Riba
Fadhl dapat dimaknai pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran
yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.
d.
Riba
Nasi’ah
Dapat
diartikan sebagai penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang diperlukan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi'ah muncul
dan terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
4.
Larangan Riba dalam al-Qur’an dan as-Sunnah
Hukum mengambil dan bertransaksi dengan memasukkan unsur ribawi di
dalamnya mutlak dilarang bagi umat islam. Segala jenis riba tidak diperbolehkan
untuk diaplikasikan bagaimanapun keadaannya dan apapun dalihnya. Dasar hukum
pengharaman riba-pun bersumber dari berbagai ayat al-Qur’an dan sunnah
Rasulullah saw.
a.
Larangan
riba dalam al-Qur’an
Allah SWT dalam mengharamkan riba bagi umat islam tidak jatuh dalam
sekali vonis, melainkan menggunakan gradual atau bertahap. Allah SWT sangat
mengetahui kondisi psikologi maupun sosial dari hamba-Nya pada saat itu, maka
Allah tidak dengan serta merta menjatuhkan vonis hukum bahwasanya riba adalah
haram. Dengan cara seperti ini pula, Allah ingin larangan terhadap riba ini
tidak mengagetkan serta mengejutkan mereka yang telah biasa melakukan –bahkan
membudayakan- transaksi ribawi yang telah mengakar kuat serta mendarah daging
pada kehidupan mereka, khususnya pada dimensi kehidupan ekonomi mereka,
sehingga berimplikasi kepada mampu-nya umat Islam meninggalkan secara tuntas
tradisi riba namun dengan bertahap dan perlahan, namun pasti.
Allah SWT menurunkan hukum pengharaman riba dalam 4 (empat) ayat
secara gradual.[19]
Tahap pertama, dalam surat ar-Ruum
ayat 39, Allah SWT menolak asumsi jahiliyyah bahwasanya ketika mereka
menolong orang lain yang sedang membutuhkan dana, dengan pertolongan ribawi
adalah salah satu upaya untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah ‘Azza wa
Jalla. Pada akhir ayat Allah SWT menyatakan bahwasanya untuk meraih ridho Allah
SWT adalah dengan melakukan amal shaleh terutama bersedekah yang diniatkan
untuk Allah semata, dan bukan malah melakukan pemberian pinjaman terhadap orang
lain yang mengandung unsur ribawi di dalamnya. Pada tahap pertama ini, riba
masih belum dinyatakan haram.
Tahap kedua, dalam surat an-Nisa’
ayat 160 dan 161, Allah SWT ingin menampakkan secara jelas bahwasanya tradisi riba
juga terdapat pada umat Yahudi terdahulu. Tradisi riba yang telah mengakar kuat
pada umat Yahudi secara gamblang Allah nyatakan sebagai sebuah keburukan dan
kecacatan, dikarenakan transaksi ribawi sejatinya adalah sebuah kebatilan yang
amat sangat merugikan orang lain. Secara tidak langsung, Allah memberikan
isyarat bagi umat Muslim bahwa akan turun ayat selanjutnya yang akan menyatakan
pelarangan transaksi ribawi bagi kaum Muslim.
Tahap ketiga, melalui surat Ali
Imran ayat 130, Allah memulai pelarangan riba, namun tidak secara tuntas
sekaligus. Allah hanya melarang transaksi ribawi dengan syarat riba tersebut
mensyaratkan kelipatan yang besar. Para mufassir berpendapat bahwasanya ayat
ini menggambarkan bahwa tradisi mengambil riba dengan berlipat ganda sudah
terjadi pada zaman jahiliyyah dahulu. Allah sebagai pencipta sangat mengerti
kondisi kesiapan mental umat Muslim dahulu. Ayat ini sekaligus menggambarkan
kebijaksanaan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, yang mana Allah melarang secara
sedikit demi sedikit sebuah tradisi yang telah mengakar kuat, sehingga perasaan
dan mental mereka mulai dipersiapkan untuk mendapat pelarangan riba secara
mutlak.
Tahap keempat, melalui surat al-Baqarah
ayat 278-279, Allah mengharamkan riba dan segala jenis tambahan dalam
pinjaman secara mutlak dan keseluruhan kepada umat Islam. Ayat ini sekaligus
menjadi tahap terakhir dalam pengharaman riba, sehingga implikasinya setelah
diturunkan ayat ini maka secara mutlak dan
tuntas riba diharamkan bagi kaum Muslim. Bahkan Allah mengancam akan
memerangi siapapun yang melakukan dan masih berurusan dengan transaksi ribawi.
b.
Larangan
Riba dalam as-Sunnah
Sebagaimana yang diketahui, al-Qur’an tidak hanya menjadi
satu-satunya sumber hukum primer dalam menentukan hukum Islam, tetapi juga
terdapat as-Sunnah atau hadits. Demikian pula, pelarangan riba tidak hanya
didasarkan pada kitabullah, tetapi juga terdapat pada hadits Rasulullah saw.
Hal tersebut –sebagamaina semestinya- adalah penegas bahwa salah fungsi hadits
adalah sebagai bayan atau penjelas rincian terhadap hal-hal yang mujmal
atau global dalam al-Qur’an.
Pada
tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijriah, dalam penyampaian pidato terakhirnya di
hadapan sahabat-sahabatnya yang mulia, Rasulullah berwasiat agar setiap muslim
untuk menjauhi riba.[20]
اخبرنىعونبنأبيجحيفةقالرأيتأبياشترىحجامافامربمحاجمهفكسرتفسألتهعنذلكقالإنرسولاللهصلىاللهعليهوسلمنهىعنثمنالدموثمنالكلبوكسبلأمةولعنالواشمةوالمستوشمتواكلالرباوموكلهولعن
المصور
Diriwayatkan
oleh Aun bin Abi Juhaifah,” Ayahku membeli seorang budak yang pekerjaannya
membekan (mengeluarkan darah kotor dari dalam kepala). Ayahku kemudian
memusnahkan peralatan si budak tersebut. Aku bertanya kepada ayah mengapa
beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa Rasulullah SAW. melarang untuk
menerima uang dari transaksi darah, anjing, dan kasab budak perempuan. Beliau
juga melaknat pekerjaan penato dan yang minta di tato, menerima dan memberi
riba serta beliau melaknat para pembuat gambar.” (HR. Bukhari no. 2084 kitab Al
Buyu)
انه
سمع أبا سعيد الخدري رضي الله عنهم قال جاء بلال إلى النبي صلى الله عليه وسلم
بتمربرني فقال له النبي صلى الله عليه وسلم من أين هذاقال بلال كنا عندنا تمر ردي
فبعت منه صاعين بصاع لنطعم النبي صلى الله عليه وسلم فقال النبي صلى الله عليه
وسلم عند ذلك أوه عين الربا عين الربا لا
تغعل ولكن إذا أردت أن تشتري فبع التمر بيع اخر ثم اشتره
Diriwayatkan
oleh Abu Said al-Khudri bahwa pada suatu ketika Bilal membawa barni (sejenis
kurma berkualitas baik) ke hadapan Rasulullah SAW. dan beliau bertanya
kepadanya, “Dari mana engkau mnedapatkannya?” Bilal menjawab, “Saya mempunyai
sejumlah kurma dari jenis yang rendah mutunya dan menukarkan dua sha’ untuk
satu sha’ kurma jenis barni untuk dimakan oleh Rasulullah SAW.. “ Selepas itu
Rasulullah SAW. terus berkata, “Hati-hati! Hati-hati! Ini sesungguhnya riba,
ini sesungguhnya riba. Jangan berbuat begini, tetapi jika kamu membeli (kurma
yang mutunya lebih tinggi), juallah kurma yang mutunya rendah untuk mendapatkan
uang dan kemudian gunakanlah uang tersebut untuk membeli kurma yang bermutu
tinggi itu.” (HR. Bukhari no. 2145, kitab Al- Wakalah)
حدثنا
عبدالرحمن بن أبي بكرة عن أبه رضي الله
عنهم قال نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن الفضة بالفضة والذهب باالذهب إلا سواء
بسواء وأمرنا أن نبتاع الذهب بالفضة كيف شئنا والفضة با لذهب كيف شئنا
Diriwayatkan
oleh Abdurrahman bin Abu Bakar bahwa ayahnya berkata, “Rasulullah SAW melarang
menjual emas dengan emas perak dengan perak kecuali sama beratnya, dan
membolehkan kita menjual emas dengan perak dan begitu juga sebaliknya sesuai
dengan keinginan kita.” (HR Bukhari no. 2034. kitab al-Buyu).
روى
الحاكم عنابن مسعود أن النبي قال: الربا ثلاثة وسبعون بابا أيسرها مثل أن ينكح
الرجل أمه
Al-Hakim
meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud bahwa Nabi SAW. bersabda, “Riba itu mempunyai 73
pintu (tingkatan); yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang yang
melakukan zina dengan ibunya.”[21]
5.
Alasan Pembenaran Pengambilan Riba
Jamak diketahui bahwasanya perkara atau konsep riba ini sangat
jelas pembahasannya, baik oleh ulama mutaqaddimin maupun mutaakhirin,
namun masih ada saja sebagian cendekiawan yang beropini untuk membenarkan
pengambilan riba atau bunga uang. Alasan berikut merupakan pokok dari
pembenaran mereka:[22]
a.
Ketika
berada daam kondisi darurat, maka bunga dihukumi halal.
b.
Pengharaman
hanya ditujukan terhadap bunga yang dinilai berlipat ganda, sedangkan bunga
yang dipandang tidak sampai kategori ‘menzalimi’ orang lain dan ssedikit maka
dihalalkan.
c.
Khitab
larangan yang dituju oleh nash-nash Qur’an maupun hadits bukanlah bank –karena
bank adalah lembaga-, melainkan individu, sehingga bank dianggap legal untuk
bertransaksi ribawi.
a.
Darurat
Pembahasan yang tepat dan komprehensif sangat dibutuhkan untuk
memahami apa yang dimaksud dengan kondisi darurat. Tentu saja pemaknaan
definisi darurat dari sudut pandang fiqh dengan darurat yang dipahami dalam
kehidupan sehari-hari sangatlah kontras berbeda.
1)
Imam
Suyuti berpendapat bahwa “darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika
seseorang berbuat tindakan tersebut dengan segera, akan berdampak kepada
kehancuran atau kematian.”[23]
2)
Dalam
pembahasan di kalangan ulama mutaqaddimin dalam kitab-kitab turots
mereka, keaadan darurat ini sering dimisalkan dengan seseorang yang terjebak di
hutan dan tidak ada alternatif pilihan makanan apapun kecuali daging babi yang
hukum awalnya mutlak haram. Ketika kondisi seperti ini, maka hukum daging babi
yang semula haram, menjadi halal.
Hal yang patut
diperhatikan adalah pembatasan dalam konsumsi atau pengambilan rukhsah
syar’iah. Dalam kajian ushul fiqh, maka pembatasan pengambilan
dispensasi ‘darurat’ sesuai dengan kaidah:
الضرورات تقدر
بقدرها
“Darurat harus dibatasi sesuai kadarnya.”
Kaidah di atas
mempunyai makna bahwasanya kondisi darurat ada batasan waktu berlakunya, serta
terdapat limitasi atau batasan ukurannya. Contoh yang paling umum disajikan
terkait dengan pemaknaan darurat di atas adalah ketika seseorang yang terjebak
di dalam hutan tadi sudah menemukan binatang selain babi, misal ayam atau sapi,
maka keringanan atau rukshsah untuk memakan daging babi secara otomatis
akan hilang. Demikian juga ketika tiga suap daging babi telah cukup untuk
menyambung energi hidupnya, maka suapan ke-empat dan selanjutnya menjadi haram.[24]
b.
Berlipat
Ganda
Sebagian cendekiawan modernis berpandangan bahwasanya riba yang
diharamkan adalah ketika bunga yang diterapkan mencapai hitungan yang berlipat ganda dan memberatkan peminjam
hutang. Sedangkan, apabila suku bunga atau riba tidak sampai menyebabkan
peminjam tidak keberatan atau merasa terzalimi, maka wajar-wajar saja jika
dianggap wajar dan boleh. Pendapat ini didasarkan atas pemahaman yang keliru
dan kurang benar atas ayat 130 dari surat Ali Imron,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ
أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ١٣٠
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan.”
Berbekal pemahaman nash yang tekstual, memang ayat di atas secara
eksplisit hanya melarang riba apabila sampai bilangan yang berlipat ganda.
Namun, apabila ingin pemahaman komprehensif yang dipakai, maka menemukan munasabah
atau korelasi hubungan ayat di atas dengan ayat-ayat pelarangan riba yang lain
secara menyelruh, serta memahami berdasarkan tahapan-tahapan pelarangan riba,
maka akan sampai kepada kesimpulan bahwa vonis haram terhadap hukum riba dengan
segala variasinya mutlak diberikan.
Term atau istilah berlipat gnada pada ayat di atas perlu dipahami
kedudukannya sebagai hal (حال) atau
sifat murni dari riba, dan bukan sebagai kualifikasi untuk persyaratan masuk
dalam kategori riba atau tidaknya.
Dr. Abdullah Draz dalam konferensi fiqh Islami di Paris tahun 1978,
mengutarakan ketidak-konsistensian dan kerapuhan asumsi syarat di atas. Ia
memaparkan apabila ditilik dari sudut kebahasaan, kata ضعفberarti
kelipatan. Sesuatu yang berlipat menurut ukuran umum maka hitungan minimal yang
dipakai berarti 2 kali lebih besar dari ukuran awal, sedangkan kata اضاعف adalah bentuk
plural dari kelipatan tadi. Sehingga ukuran minimal jamak adalah hitungan 3.
Dengan demikian, kata اضعافاmempunyai nilai 6 (berasal dari 2 dikali 3). Adapun fungsi
penempatan kata مضاعفةadalah sebagai ta’kid atau penguat bagi kata sebelumnnya.[25]
Berbekal interpretasi seperti itu, maka menurutnya apabila jumlah
suku bunga yang berlipat ganda itu dijadikan syarat –sesuai asumsi linguistik-,
maka bunga yang haram adalah ketika minimal menyentuh angka 6 kali lipat atau
margin 600%. Dalam kehidupan sehari-hari, hampir mustahil dijumpai ada yang
menerapkan bunga sebesar itu. Maka anggapan mensyaratkan riba yang diharamkan
adalah hanya riba yang berlipat ganda, itu adalah sebuah asumsi yang penuh
kerapuhan.
Analisis lain yang penting yang sekaligus merapuhkan asumsi ini
adalah dari sudut pandang penggunaan kaidah mahfum mukhalafah. Secara
simpel, apabila digunakan analogi konsekensi secara terbalik, -jika berlipat
ganda dilarang, kecil boleh; jika sendirian dilarang, berkelompok boleh; jika
tidak di dalam, di luar dan sebagainya- maka akan ditemui pemahaman yang rancu
dan salah kaprah dalam pemahaman Qur’an.[26]
Sebagai contoh, dalam surat al-Isra disebutkan larangan
untuk mendekati zina. Apabila digunakan pemahaman yang menyalahi kadiah mafhum
mukhalafah, maka akan ditemu banyak sekali kerancuan makna. “Janganlah
mendekati zina!”, maka ayat tersebut akan dipahami yang dilarang adalah
perbuatan mendekati zina-nya, sedang perbuatan zina tidak dilarang. “Janganlah
memakan daging babi!”, ayat tersebut akan dipahami sebagai larangan
terhadap mamakan daging babi, sedangkan memakan tulang, lemak, kulit, dan semua
bagian babi selain dagingnya dihukumi halal. Tentunya pemahaman seperti ini
sangatlah kacau.
c.
Sasaran
Hukum Taklif
Sebagian ulama kontemporer berpikiran bahwasanya ketika ayat riba
turun kepada Nabi saw, dan sesuai zamannya pada saat itu di kawasan semenanjung
Arab belum didirikan bank atau lembaga keuangan serupa, yang ada hanyalah
individu yang melakukan aktivitas ekonominya sendiri. Berdasarkan asumsi
tersebut, maka mereka simpulkan bahwa bank ataupun semua lembaga keuangan yang
bukan individu maka tidak terkena taklif hukum haramnya riba.[27]
Pandangan semacam ini mengandung beberapa celah dan cela di
dalamnya. Apabila ditilik dari segi pemahaman historis maupun teknis, maka
dapat ditemukan antithesis bagi pendapat ini.
Pada zaman pra-Rasulullah sejatinya telah ada dan marak dibentuk
ribuan lembaga keuangan yang mendapat legalitas dari pihak pemerintahan, yang
berarti juga bank-bank pada zaman dahulu telah masuk ke area pemerintahan
legal.
Dalam kawasan kultur hukum, perseroan atau badan hukum acap kali
disebut sebagai juridical personality atau syakhsiyah hukmiyah. Di mata hukum, juridical
personality dipandang sebagai badan atau lembaga yang sah di mata hukum dan
dapat menjadi dewan perwakilan bagi banyak individu.
Apabila menggunakan akal sehat untuk memahami analogi sederhana,
maka kerusakan atau mudharat yang ditimbulkan oleh perseroan atau
lembaga akan jauh lebih besar daripada kerusakan yang dibuat oleh individu.
Alangkah rapuhnya asumsi bahwa kerusakan apapun yang dilakukan bank akibat
transkaksi riba tetap dihukumi halal karena berdasarkan ‘khitab tidak
tertuju’ padanya karena bank bukan merupakan individu. Memang bank bukan insan
mukallaf, tetapi dia melakukan fi’il mukallaf yang jauh lebih besar
kerusakannya daripada yang ditimbulkan oleh seorang individu.[28]
Terlepas dari alasan itu semua, masih ada beberapa ulama yang
membolehkan bunga bank dengan syarat si peminjam yang dikenai bunga tidak
merasa keberatan dan terzalimi oleh riba yang dia tanggung. Ulama kalangan ini
seperti Quraish Shihab dan Muhammad Rasyid Ridha.[29]
6.
Fatwa-Fatwa Lembaga Agama tentang Riba
Perkara riba tidak luput dari bahasan atau kajian fiqh ormas-ormas
besar dan influental di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdatul
Ulama. Mau tidak mau, sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap umat, maka
ormas sebagai wadah bersosialisai umat Islam, turut serta membahas dan
menentukan sikap terhadap perkara riba, tentunya fatwa hukum yang dikeluarkan
sesuai dengan kacamata perspektif masing-masing ormas. Baik Muhammadiyah,
Nahdatul Ulama dan juga ormas lain mempunyai lembaga ijtihad khusus untuk
memutuskan perkara fiqh. Muhammadiyah mempunyai Majelis Tarjih, sedang NU
memiliki Bahsul Masa’il.
Penulis juga akan membahas keputusan dari ormas luar Indonesia
dalam sub-bab kali ini untuk memperkaya wawasan pembaca terhadap fatwa-fatwa
yang berkaitan dengan riba. Berikut adalah ringkasan fatwa dari ormas-ormas
berpengaruh:
a.
Majelis
Tarjih Muhammadiyah
Muhammadiyah telah mengambil keputusan tentang masalah fiqh
ekonomi/keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan pada tahun 1968 dan
1972, keuangan secara umum pada tahun 1976, dan koperasi simpan pinjam pada
tahun 1989 melalui Majelis Tarjih-nya.[30]
Terkait pembahasan tentang riba padaMajelis Tarjih Sidoarjo tahun
1968, telah diputuskan beberapa poin penting, yaitu:
1)
Berdasarkan
nash yang cukup jelas dari al-Qur;an dan as-Sunnah, maka hukum riba adalah
haram.
2)
Bank
yang terdapat transaksi dan unsur ribawi di dalam operasionalnya berhukum haram
dan bank tanpa operasional dan transaksi ribawi berhukum halal.
3)
Permasalahan
bunga bank yang dikeluarkan oleh bank-bank milik pemerintah kepada nasabah-nya
atau sebaliknya dipandang suatu yang musytabihat.
4)
Memberi
saran terkait dengan pengusahaan terwujudnya lingkungan dengan praktek ekonomi
syari’ah, khususnya lembaga bank yang dapat melindungi umat dari sistem ribawi
terhadap PP Muhammadiyah.
Keputusan di atas mengandung makna bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan dalam operasional antara bank swasta dan bank milik negara. Tingkat
suku bunga yang diterapkan oleh bank Nasional relatif lebih rendah dibanding
dengan suku bunga bank swasta. Meski demikian, tetap menjadi perhatian bahwa
hukum keabsahan suku bunga bank masih dalam taraf musytabihat.
b.
Lajnah
Bahsul Masail Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama menentukan posisi diri ormas-nya dalam konteks
masalah riba melalui beberapa sidang yang digelar oleh Lajnah Bahsul Masail.
Menurut Lajnah, hukum bank dan sistem pembungaannya disamakan dengan hkum
gadai. Terdapat tiga pendapat yang dikeluarkan tentang perkara ini:[31]
1)
Bunga
bank dihukumi haram karena termasuk utang yang dipungut biaya tambahan.
2)
Bunga
bank dihukumi halal karena tidak ada syarat diajukan dalam akad, sedangkan adat
yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat.
3)
Bunga
bank dihukumi sebagai perkara syubhat karena terjadi perselisihan dalam
memutuskan hukumnya.
c.
Sidang
Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sidang OKI kedua berlangsung di negara Pakistan, lebih tepatnya di
Karachi pada Desember 1970. Semua anggota sidang bersepakat dalam dalam dua hal
pokok, yaitu:[32]
1)
Operasional
bank yang dalam praktik nyatanya menggunakan transaksi berbasis bunga adalah
bertentangan dengan syari’ah Islam.
2)
Urgensi
untuk mengadakan atau mendirikan bank-bank alternatif yang dalam akad
transaksinya sejalan dengan aturan main syari’ah.
Islamic Development Bank
(IDB) atau Bank Pembangunan Islam berdiri sebagai hasil dari kongres ini.
d.
Konsul
Kajian Islam Dunia
Konferensi rutin yang digelar dan diikuti oleh ulama-ulama besar
yang terhimpun dalam Konsul Kajian Islam Dunia telah menentukan posisi hukum
syari’ah yang tegas terhadap bunga bank dalam Konferensi II KKID yang dihelat
di Kairo, tepatnya di Universitas al-Azhar pada mei 1965 M. Pada konferensi itu
ditetapkan bahwa para ulama sepakat tidak adanya keraguan sedikitpun atas vonis
hukum haram yang dijatuhkan kepada praktik transaksional yangmengandung unsur
ribawi, terutama praktik suku bunga seperti yang bank konvensional selama ini
gencar lakukan.[33]
Konferensi II KKID dihadiri oleh sekitar tiga ratus ulama besar
lintas nasional. Di antara tokoh besar nan masyhur yang hadir adalah Dr. Yusuf
Qardhawi, Syekh al-Azhar Prof. Abu Zahra, Prof. Abdullah Draz, Prof. Dr.
Mustofa Ahmad Zarqa, dan masih ulama berkaliber internasional lain.
Selain dihadiri oleh banyak ulama internasional, konferensi ini
juga turut dihadiri banyak ahli ekonomi dan bankir dari Amerika, Eropa, dan
juga negara Islam. Menurut salah satu ulama, yaitu Dr. Yusuf Qardhawi, slaah
satu hal yang paling menarik dari konferensi tersebut adalah level ghirah atau
minat dan determinasi yang tinggi, justru mayoritas ditunjukkan oleh para ahli
ekonomi dan bankir Internasional, bahkan melebihi geliat semangat para ulama
yang hadir. Mereka yang dianggap paling kompeten dalam bidan perbankan juga bersepakat
berpandangan bahwa harus segera diadakan sebuah sistem perbankan yang bebas
dari transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi di dalamnya.[34]
e.
Fatwa
Lembaga Keagamaan Lain
Serupa dengan pandangan atau keputusan hukum oleh lembaga-lembaga
yang telah disebutkan di atas, beberapa lembaga mengutarakan pendapatnya bahwa
praktik suku bunga bank adalah salah satu bentuk riba dan dihukumi haram.
B.
Mudharabah
1.
Pengertian
Mudharabah
Istilah Mudharabah sejatinya berasal dari kata dharb, yang
secara harfiah berarti memukul atau berjalan. Pengertian yang lebih lanjut dharb
adalah memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Pengertian lain dari dharb
jika ditilik dari segi keumuman dalah melakukan perjalanan dalam konteks
atau tujuan perniagaan. Istilah dharb masyhur di kalangan masyarakat
Irak. Dengan pengertian yang serupa, penduduk Hijaz menggunakan istilah qarh
atau muqarradhah. Dalam pengertian lain, makna qiradh ialah
sebagian harta milik pemodal diserahkan kepada pengelola modal dan ia akan
mengambil bagian dari keuntungan usaha si pengelola modal.[35]
Secara teknis, Antonio (2001) mendefinisikan mudharabah
sebagai akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama sebagai pemilik modal
menyediakan keseluruhan modal, sedang pihak lainnya menjadi pengelola modal
tersebut. Margin profit dari syirkah mudharabah dibagi dalam bentuk
presentasi berdasarkan kesepakatan yang dibuat dalam akad, sedangkan apabila
usaha yang dijalankan pengelola modal merugi, maka kerugian hanya akan
ditanggung oleh pemilik modal, dengan syarat kerugian yang muncul bukan akibat human
error pengelola modal. Apabila loss atau kerugian yang didapat
disebabkan karena ulah kesalahan pengelola modal, maka dia harus menanggung
kerugian tersebut tanpa melibatkan shohibul maal.[36]
2.
Landasan
Syari’ah Syirkah Mudharabah
Dari konteks keumuman, landasan dasar syari’ah transaksi kerjasama mudharabah
ini lebih cenderung berupa perintah untuk melakukan usaha riil. Berikut ayat
al-Qur’an dan hadits yang menjadi landasan-nya:
a.
Al-Qur’an
وَءَاخَرُونَ يَضۡرِبُونَ فِي ٱلۡأَرۡضِ يَبۡتَغُونَ مِن فَضۡلِ
ٱللَّهِ وَءَاخَرُونَ يُقَٰتِلُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِۖ
“dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di
jalan Allah...”
Penyandaran mudharabah pada ayat di atas adalah dari kata yadhribun
yang merupakan akar kata dari istilah mudharabah yang berarti melakukan
suatu usaha riil.
لَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَبۡتَغُواْ فَضۡلٗا مِّن رَّبِّكُمۡۚ
فَإِذَآ أَفَضۡتُم مِّنۡ عَرَفَٰتٖ فَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ عِندَ ٱلۡمَشۡعَرِ
ٱلۡحَرَامِۖ وَٱذۡكُرُوهُ كَمَا هَدَىٰكُمۡ وَإِن كُنتُم مِّن قَبۡلِهِۦ لَمِنَ
ٱلضَّآلِّينَ ١٩٨
“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
(rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari
´Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy´arilharam. Dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”
فَإِذَا قُضِيَتِ ٱلصَّلَوٰةُ فَٱنتَشِرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ
وَٱبۡتَغُواْ مِن فَضۡلِ ٱللَّهِ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا لَّعَلَّكُمۡ
تُفۡلِحُونَ ١٠
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung”
Alasan kedua ayat di atas dapat dijadikan landasan hukum
pelaksanaan syirkah mudharabah adalah
karena kedua ayat tersebut sama-sama menekankan kaum Muslim untuk mau berusaha.
b.
Al-Hadits
كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ
إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَة اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ
بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً
ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى
الأوسط عن ابن عباس).
”Abbas bin Abdul Muththalib, apabila ia
memberikan sejumlah harta dalam transaksi syirkah mudharabah, maka ia membuat
kualifikasi atau persyaratan kepada mudharib, agar harta itu tidak dibawa
melewati lautan, tidak memasuki lembah dan tidak diberikan kepada
binatang, Jika mudharib melanggar
kualifikasi-kualifikasi tersebut, maka ia bertanggung jawab dan dikenai
kewajiban menanggung risiko. Kabar persyaratan yang diajukan Abbas tersebut
terdengar sampai kepada Rasulullah Saw, lalu beliau membenarkannya”. (HR ath-Thabrani).
ثلاثة فيهن البركة : المقارضة والبيع الى اجل وخلط البر باالشعير للبيت لا للبيع(ابن ماجه)
“Tiga macam mendapat barakah: muqaradhah/ mudharabah, jual beli
kredit yang benar, mengaduk gandum
dengan tepung untuk konsumsi keluarga dalam rumah, bukan untuk tujuan
komersil”. (HR.Ibnu Majah).
عنعبداللهوعبيداللهابنيعمرأنهمالقياأبوموسىألأشعريباالبصرةمنصرفهمامنغزوةنهاوندفتسلفامنهمالاوابتاعامنهمتاعاوقدمابهالمدينةفباعاهوربحافيهوأرادعمرأخذرأسالمالالربحكلهفقالالوكانتلفكانضمنهعلينافكيفلايكونالربحلنافقالرجلياأميرالمؤمنينلوجعلتهقراضافقالقدجعلتهقراضاوأخذمنهمانصفالربح
(أخرجهمالك )
Dari
Abdullah dan ‘Ubaidullah, belau berdua anak Umar, bahwa mereka berdua bertemu
dengan Abu Musa Al-Asy’ary di Basrah, dalam kondisi perjalanan pulang setelah
peperangan Nahawand. Keduanya mendapat harta dari Abu Musa untuk ditujukan ke
Madinah. Di tengah perjalanan keduanya membeli perhiasan, lalu menjualnya di
Madinah, sehingga keduanya mendapat profit. Umar mengambil modal dan
keuntungan semuanya. Tetapi kedua putranya berkata,”Jika harta itu tiada,
bukankah kami yang berkewajiban menggantinya? Bagaimana mungkin kami tidak
mendapat keuntungan?” Maka berkata seseorang penduduk kepada Umar,“Wahai Amirul
Mukminin, alangkah baiknya jika engkau menginvestasikan harta itu sebagai akad
qiradh”. Umar-pun menyetujuisaran tersebut. Umar berkata,”Aku menjadikannya sebagai
qiradh”. Umar mengambil setengah dari keuntungan.
c.
Ijma’
Ulama
Menurut Imam Zila’i, para sahabat telah ersepakat akan keabsahan
pengelolaan harta anak yatim secara muqarradhah atau mudharabah.[37].
d.
Qiyas
Akad
mudharabah dianalogikan/diqiyaskan kepada akad musaqah.[38]
3.
Jenis-jenis
Mudharabah
Secara garis besar, akad syirkah mudharabah dibagi menjadi
dua macam, yaitu mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
a.
Mudharabah
Muthlaqah
Pemaknaan yang tepat dari mudharabah muthlaqah ialah bentuk
kesepakatan kerjasama antara pemilik modal dan pengelola modal yang wilayah
cakupannya sangat luas dan tidak terbatas pada kualifikasi atau syarat-syarat
usaha tertentu, tidak dibatasi oleh durasi (waktu), atau lokasi usaha.
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Sebagai kebalikan konsep dari mudharabah muthlaqah, mudharabah
muqayyadah juga disebut sebagai mudharabah terbatas. Makna yang tepat
adalah pengelola modal dibatasi dengan jenis usaha tertentu, durasi, atau
lokasi usahanya digelar.[39]
4.
Mudharabah
dalam Ranah Perbankan
Aplikasi akad mudharabah seing kali diterapkan pada
produk-produk pembiayaan dan pendanaan (funding). Pada konsep
penghimpunan dana, akad mudharabah diaplikasikan pada:[40]
a.
Tabungan
berjangka
b.
Deposito
spesial (special investment)
Sedangkan dalam konsep pembiayaan, mudharabah diaplikasikan
untuk:
a.
Pembiayaan
modal usaha
b.
Investasi
khusus (mudharabah muqayyadah)
5.
RukunAkad
Mudharabah
a.
Transaktor
(pemilik modal dan pengelola)
b.
Objek
Mudharabah (modal dan usaha)
c.
Laba
untuk dibagi bersama
d.
Akad
Ijab dan Qobul
6.
Syarat
Pembagian Keuntungan
Dalam pembiayaan mudharabah, pendistribusian profit juga harus
mengikuti aturan main seperti hal berikut:[41]
a.
Keuntungan
harus dialamatkan bagi kedua belah pihak, tidak boleh hanya satu pihak yang
hanya mendapat profit.
b.
Transparansi
keuntungan atau keuntungan harus diketahui kedua belah pihak dan bersifat
proporsional, atau dinyatakan dalam bentuk presentase.
c.
Pemilik
modal bersedia bertanggung jawab atas semua kerugian usaha yang dijalankan oleh
pengelola modal, selama kerugian bukan diakibatkan dari kelalaian atau human
error pengelola modal.
d.
Apabila
pengelola modal atau mudharib melakukan kesalahan yang berimplikasi
kepada munculnya kerugian, maka mudharib harus bertanggung jawab penuh
atasnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pengertian
jual beli menurut terminologi, Suatu kegiatan tukar-menukar benda yang
mempunyai nilai tertentu antara kedua belah pihak yang telah
bersepakat untuk melakukan transaksi sesuai dengan ketetapan hukum syara’ atau
ketentuan yang disepakati. Maksud dari sesuai ketetapan hukum syara’ yakni
kesesuaianya terhadap rukun-rukun, persyaratannya, dan hal-hal lainnya yang
tentunya berkaitan dengan jual beli. Hukum asal jual beli adalah boleh, tetapi
terdapat beberapa jual beli yang rusak, sehingga dihukumi haram.
Pengertianribasecaraetimologis(lughawy) adalahtambahan(az-ziyadah), tumbuh(an-numuw), dan menjadi
tinggi (al-‘ulum).[42]Adapunsecaraterminologisribaberartipengambilantambahandarihartapokok/intiatau
modal secarabatil. Ditinjau segikeumuman,
makapengertianribapadaintinyaadalahpengambilantambahan,
baikdalamtransaksijualbeli(trade) maupunpinjam-meminjam(loan) secarabatilataukontradiktifdenganprinsippokokmuamalahsyari’ah.
Jumhur ulama telah bersepakat bahwa hukum riba adalah haram, tetapi
terdapat sebagian ulama kontemporer yang tidak mengharamkan riba secara
keseluruhan, khususnya dalam pembahasan suku bunga bank.
Mudharabahadalah akad
kerjasama usaha antara dua pihak di mana
pihak pertama sebagai pemilik modal menyediakan keseluruhan modal,
sedang pihak lainnya menjadi pengelola modal tersebut. Margin profit
dari syirkah mudharabah dibagi dalam bentuk presentasi berdasarkan kesepakatan
yang dibuat dalam akad, sedangkan apabila usaha yang dijalankan pengelola modal
merugi, maka kerugian hanya akan ditanggung oleh pemilik modal, dengan syarat
kerugian yang muncul bukan akibat human error pengelola modal. Apabila loss
atau kerugian yang didapat disebabkan karena ulah kesalahan pengelola
modal, maka dia harus menanggung kerugian tersebut tanpa melibatkan shohibul
maal.[43]
Daftar Pustaka
Muhammad, Arifin bin Badri. Riba Dan TInjauan Kritis Perbankan
Syari’ah. Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009.
Rizal, Yahya. Akuntansi Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik
Kontemporer. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2014.
Syafi’i, Antonio. Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik.
Jakarta: Gema Insansi, 2001.
Zainuddin, Ali. Hukum Perbankan Syariah. Jakarta: Sinar
Grafika, 2010.
Dewan
Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2014.
Rasjid,
Sulaiaman, Fiqih Islam Hukum Fiqih Lengkap. Bandung: Sinar Algesindo,
1994.
Rahmat Syafei, Fiqih
Muamalah. Bandung: CV Pustaka Setia, 2006.
Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002.
Masduqi, Ghufron A., Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2002.
Jaziri, Abdurrahman, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-arba’ah. tp.
Hasbi,Teungku Muhammad, Hukum-Hukum Fiqh Islam. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 1997.
Catatan:
Similarity 8%.
[1] Sulaiaman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih
Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm.278.
[2]Rahmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2006), Hlm.73.
[3]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT
RajaGrafindo,2002), Hlm.68-69.
[4]Rahmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2006), Hlm.74-75.
[5]Ibid, Hlm. 91-93.
[6]Sulaiaman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih
Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm. 279-282.
[7]Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT
RajaGrafindo,2002), Hlm.75
[8]Sulaiaman
Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih
Lengkap), (Bandung: Sinar Algesindo, 1994), Hlm. 279-282.
[9]Al Jaziri,
op.cit., hlm. 156.
[10]Rahmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2006), Hlm. 101.
[11]Rahmat
Syafei, Fiqih Muamalah, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2006), Hlm. 97.
[12]Ibid.Hlm. 98.
[13]Ibid. Hlm. 99-101.
[14]Muhammad Arifin bin Badri, Riba
Dan TInjauan Kritis Perbankan Syari’ah (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009). Hlm 1.
[15]Syafi’i Antonio, Bank
Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 38
[16]Ibid.Hlm. 42
[17]Teungku
Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam. (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1997). Hlm. 340
[18]Zainuddin Ali, Hukum
Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 92
[19]Ibid.Hlm. 48
[20]Syafi’i Antonio, Bank
Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001). Hlm. 51
[21]Zainuddin
Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 106
[22]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 54
[23]Ibid.
Hlm. 55
[24]Ibid.
Hlm. 55
[25]Zainuddin
Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 108
[26]Ibid.
Hlm. 109
[27]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 58
[28]Ibid.
Hlm. 59
[29]Ghufron
A. Masduqi, Fiqh Muamalah Kontekstual. (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002). Hlm. 166
[30]Zainuddin
Ali, Hukum Perbankan Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2010). Hlm. 113
[31]Ibid.
Hlm. 115
[32]Ibid.
Hlm. 117
[33]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 66
[34]Ibid.
Hlm. 66
[35]Rizal
Yahya, Akuntansi Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik Kontemporer, 2nd ed.
(Jakarta: Penerbit Salemba Empat, 2014). Hlm. 108
[36]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 95
[37]Ibid.Hlm. 96
[38]Dewan
Syariah Nasional MUI, Himpunan Fatwa Keuangan Syariah. Hlm. 80
[39]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 97
[40]Ibid.
Hlm. 97
[41]Rizal Yahya, Akuntansi
Perbankan Syariah, Teori Dan Praktik Kontemporer. 2014. Hlm. 111
[42]Muhammad Arifin bin Badri, Riba
Dan TInjauan Kritis Perbankan Syari’ah (Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2009). Hlm 1.
[43]Syafi’i
Antonio, Bank Syariah, Dari Teori Ke Praktik (Jakarta: Gema Insansi, 2001).
Hlm. 95
Tidak ada komentar:
Posting Komentar