QAIDAH FIQHIYYAH (QAIDAH ASASIYYAH)
Didik Nur Setyono dan Rokhilah Shofi
Amaliyah
Mahasiswa Jurusan PAI Kelas A Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail : rohilahshofi@gmail.com
Abstract
This article describes some basic rules in
deterimining Islamic law, especially in the field of Fiqh Science. Qaidah
Fiqhiyyah or can also be called Qaidah Asasiyyah is a general law (kulli) that
covering all issues in fiqh and become the guidance in the determination of law in every fiqhiyyah events either
existing in the nash or that has nit been in the nash at all. Furthermore,
there are several rules of fiqhiyyah that serve as a handle by a mujtahid in
solving fiqhiyyah problems that have not been explained by nash but it is
necessary once to look for legal provisions.
Keywords: Qaidah Fiqhiyyah, legal
determination.
Abstrak
Artikel ini menjelaskan mengenai beberapa
kaidah pokok atau kaidah induk dalam menentukan hukum Islam khususnya di bidang
Ilmu Fiqh. Qaidah fiqhiyyah atau bisa juga disebut dengan Qaidah
Asasiyyah merupakan hukum umum (kulli) yang mencakup seluruh
masalah-masalah dalam fiqh dan menjadi pedoman dalam penetapan hukum dalam
setiap peristiwa fiqhiyyah baik yang sudah ada dalam nash maupun
yang belum ada dalam nash sama sekali. Lebih jauhnya, ada beberapa kaidah
fiqhiyyah yang dijadikan sebagai
pegangan oleh para mujtahid dalam memecahkan masalah fiqhiyyah yang
belum dijelaskan oleh nash yang shorih namun perlu sekali untuk
dicari ketentuan hukumnya.
Kata Kunci : Qaidah Fiqhiyyah, penentuan hukum.
A.
Pendahuluan
Kata syari’ah memiliki makna hukum yang menyeluruh, dan menyiratkan
nilai-nilai uluhiyyah, sedangkan kata fiqh adalah segala ilmu
tentang syari’ah.[1]Syariah
berkaitan erat dengan Al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan fiqh merupakan
suatu ilmu dari hasil ijtihad para ulama’. Seorang mujtahid yang menghasilkan
ilmu fiqh, berarti telah berusaha dengan segala kemampuan keilmuannya untuk
menggali sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah dari Al-Qur’an dan
Sunnah. Maka dari situlah ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa “Apabila
ada seseorang yang berijtihad kemudian benar hasil ijtihadnya itu, maka dia
telah mendapat dua pahala. Dan apabila ada seseorang yang berijtihad akan
tetapi salah hasil ijtihadnya itu, maka dia telah mendapat satu pahala.”
Ruang lingkup antara syari’ah dan fiqh ternyata selalu
berkembang dalam pemikiran manusia seiring dengan perkembangan ilmu serta
perkembangan zaman. Pada masa awal adanya Islam, ruang lingkup antara syariah
dan fiqh adalah sama, yaitu mencakup seluruh ajaran Islam. Namun
karena permasalahan dalam masyarakat dan ilmu pengetahuan semakin kompleks,
maka keduanya dibatasi ruang lingkupnya. Kemudian lahirlah istilah Ilmu Kalam,
Ilmu Tasawwuf, dan ilmu-ilmu lainnya sehingga dibedakan pula antara syariah dan
fiqh.
Adapun ushul fiqh merupakan thuruuq al-istinbath, yaitu
cara-cara yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum agar
fiqh yang dihasilkan dapat meraih
sebanyak mungkin nilai-nilai syari’ah. Perumpamaan hubungan antara ushul
fiqh dan fiqh adalah seperti hubungan antara ilmu Nahwu dan Bahasa Arab,
ilmu Nahwu merupakan ilmu alat untuk mempelajari bahasa Arab.
Qaidah Fiqhiyyah muncul setelah adanya fiqh yang
merupakan prinsip-prinsip yang dirumuskan oleh para ulama’ dari beberapa
aturan-aturan dalam menentukan fiqh. Fiqh merupakan hasil dari ijtihad
para ulama’ yang didasarkan pada sumber hukum serta diolah melalui metode
tertentu. Dari metode inilah lahir beberapa macam fiqh seperti fiqh
dakwah, fiqh jihad, fiqh ibadah, fiqh muamalah, dan lain-lain. Kemudian
dari fiqh-fiqh tersebut dapat disimpulkan beberapa prinsip-prinsip umum
yang kemudian disebut dengan Qaidah Fiqhiyyah. Oleh karena itu, Qaidah
Fiqhiyyahn dapat dipandang sebagai pedoman berpikir fiqh dalam
memecahkan masalah-masalah baru yang timbul. Jadi setiap masalah yang muncul
harus dikembalikan pada Qaidah Fiqhiyyah.
B.
Pengertian Qaidah Fiqhiyyah
Secara etimologis, Qaidah Fiqhiyyah berasal dari bahasa Arab yaitu al-qa’idah
al-fiqhiyyah ataubiasa disebut dalam bentuk jamakal-Qawa’id al
Fiqhiyyah. Kata al’qa’idah berarti dasar,asas atau pondasi. Jadi
dapat disimpulkan bahwa Qaidah Fiqhiyyah merupakan dasar-dasar atau asas-asas
yang mencakup dalam seluruh masalah-masalah fiqh.
Sedangkan
secara terminologis, para ulama’ mendefinisikan qaidah secara beragam. Sebagaimana pendapat Imam
Tajuddin dalam kitabnya al-Subki , beliau menjelaskan bahwa:
الأَمْرُ الكُلِّيِّ الَّذِيْ يَنْطَبِقُ عَلَيْهِ جُزْئِيَّاتٌ كَثِيْرَةٌ
يُفْهَمُ أَحْكَامُهَا مِنْهَا
artinya: segala
sesuatu yang bersifat umum(general) yang mencakup bagian yang sangat banyak,
yang dapat dipahami hukum bagian-bagiannya dengan kaidah itu.
Dalam kitab Syarah
Jamu’ al-Jawami’, dterangkan bahwa qaidah fiqhiyyah adalah :
قضية كلية يتعرف منها احكام جزئيتها
Artinya: “Ketentuan
pernyataan umum yang memberi pengetahuan mengenai berbagai hukum dan beberapa
bagiannya.”
Menurut Musthafa Az
Zarqa, qaidah merupakan hukum yang bersifat aghlabi yaitu berlaku
sebagian besar, yang meliputi sebagian besar dalilnya.[2]
Sedangkan dalam kitab Al-Asybah wa an-Nazhair, Imam As-Suyuthi
mengatakan bahwa kaidah merupakan hukum yang bersifat kulli, (general) yang meliputi seluruh
bagian-bagiannya.[3]
Dari definisi tersebut
diatas, dapat disimpulkan bahwa kaidah merupakan hukum asas atau dasar yang
sifatnya menyeluruh (universal) yang mencakup seluruh bagian-bagiannya.[4]
Dari makna qaidah yang universal
inilah maka qaidahfiqhiyyah dapat dipahami sebagai kaidah umum yang
meliputi seluruh cabang dari permasalahan dalam fiqh serta menjadi
pegangan bagi para mujtahid dalam menetapkan hukum dari setiap fenomena, baik
yang telah ada dalam nash yang sharih maupun yang belum ada dalil
nashnya sama sekali.[5]
C. Proses Pembentukan Qaidah
Fiqhiyyah
Proses pembentukan qaidah fiqhiyyah secara
sederhana dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Dari ilustrasi tersebut, maka dapat dipahami
sebagai berikut :[6]
1.
Qaidah Fiqhiyyah bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, dengan
melalui metodologi tertentu berupa ushul fiqh, kemudian lahirlah fiqh.
Dari penalaran deduktif inilah lahir pula berbagai macam bidang fiqh yang
banyak sekali, sesuai dengan cakupan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat
serta menarik perhatian para ulama’ untuk dicari solusinya. Beberapa ulama’
berijtihad dengan beberapa prinsip yang kemudian dikenal dengan qaidah
fiqhiyyah. Selanjutnya, qaidah fiqhiyyah tersebut dikonfirmasikan
dengan dasar dalil-dalil kulli, dan maqashidus syari’ah maqashidus
syari’ah sebagaimana telah termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah sebagai
sumber hukum Islam yang pokok.
2.
Sebagian ulama’ juga mencoba mengkritisi qaidah fiqhiyyah tersebut
karena jangkauan fiqhiyyah meliputi seluruh perilaku manusia dimanapun
dan kapanpun ia berada (global dan eternal).
3.
Qaidah fiqhiyyah merupakan kaidah yang telah mapan, baku dalam
cakupan yang luas dari segi ruang dan waktu. Qaidah fiqhiyyah telah
mencakup seluruh aspek dalam ilmu sosial atau kalangan orientalis memberi
istilah legal maxim (peribahasa hukum) karena keluasan cakupannya.
D.
Manfaat Qaidah Fiqhiyyah
Sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa qaidah fiqhiyyah merupakan
kaidah-kaidah umum yang mencakup seluruh bidang fiqh dan menjadi pegangan bagi
para ulama’ untuk menetapkan suatu hukum, baik yang sudah tertera dalam nash
yang sharih maupun yang belum ada ketetuannya dalam nash sama
sekali. Maka dari itu, dengan mempelajari qaidah fiqhiyyah, sesungguhnya
seseorang telah mempunyai pedoman dalam menyelesaikan permasalahan fiqhiyyahnya.
Beberapa manfaat mempelajari qaidah fiqhiyyah adalah:
1.
Dengan qaidah fiqhiyyah maka kita dapat mengetahui dengan mudah
benang merah dari setiap peristiwa fiqhiyyah dan menemukan titik temu
dalam permasalahan-permasalahan tersebut. Imam Sarkhasiy dalam kitabnya Khitaamu
Ba’du al-Fushuuli mengatakan bahwa : “Barang siapa yang memberi hukum pada
suatu permasalahan dengan ashal kemudian ia benar-benar memahaminya,
maka akan mudah baginya menarik kesimpulan.”[7]
2.
Dengan qaidah fiqhiyyah, kita akan lebih bijak dalam menerapkan
materi fiqh dimanapun berada, dengan keadaan dan adat yang berlainan.
Dalam kitab al-Ma’akil Imam Al-Mardinami berkata : “Siapa yang telah
menghukumi ashal dengan benar, maka ia dapat menentukan hukum sesuai dengan
keinginannya, baik berdasarkan pandangannya sendiri maupun yang berlawanan
dengannya.”
3.
Dapat dengan mudah memasukkan dan menggolongkan sesuai dengan bidang fiqh
yang ada.
4.
Orang yang benar-benar menelaah kaidah fiqh akan menjadi seorang yang faqih
serta mendapatkan kemuliaan dan mengetahui rahasia-rahasia dalam fiqh.
5.
Dengan memperhatikan qaidah fiqhiyyah,sesungguhnya kita telah
menyelamatkan hukum Islam dari keterbelakangan. Menurut Muhammad at-Thahir
‘Assyura, kurangnya upaya dalam mengumpulkan berbagai pandangan dan kaidah
untuk menetapkan suatu cabang hukum, menyebabkan berhentinya usaha dalam
menyelesaikan masalah cabang tersebut, sehingga cabang yang belum terselesaikan
itu seakan-akan telah menjadi sebuat kaidah.
E.
Macam-macam Qaidah Fiqhiyyah
Membahas mengenai fiqh, sebenarnya materi fiqh secara rinci
memiliki ratusan kaidah fiqh, akan tetapi sebagian ulama’ menetapkan
satu kaidah induk dan lima kaidah pokok yang penting untuk diketahui dan
menjadi dasar dan prinsip dalam seluruh materi fiqh.
a.
Kaidah Induk, yaitu :
جَلْبُ المَصَالِحِ وَدَرْءُ المَفَاسِدِ
Artinya : Meraih
kemashlatan dan menolak kemudahan.
Tujuan utama
disyariatkannya hukum Islam adalah untuk meraih kemaslahatan seluruh umat
manusia. Sedangkan kemaslahatan dapat diraih dengan 2 cara :
1) Mencari kemaslahatan
2) Menolak kerusakan (mafsadat)
Agar bisa mencapai maslahat ini,
maka seluruh syariat Islam selalu mengandung perintah yang bisa kemaslahatan
dan menghindari kemafsadatan.
Maslahat memiliki 3 macam yaitu :
1) Wajib untuk
dilaksanakan
2) Sunnah untuk
dilaksanakan
3) Mubah untuk
dilaksanakan
Sedangkan mafsadat memiliki
2 macam yaitu :
1) Haram untuk
dilaksanakan
2) Makruh untuk
dilaksanakan
Kaidah induk ini didasarkan pada
firman Allah dalam QS. Az-Zumar (39): 17-18 :
وَالَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوا الطَّاغُوْتَ أَنْ
يَعْبُدُوْهَا وَأَنَابُوا إِلَى اللهِ لَهُمُ البُشْرَى فَبَشِّرْ عِبَادِ ¤
الَّذِيْنَ يَسْتَمِعُونَ القَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ
الَّذِيْنَ هَدَىهُمُ اللهُ وَأَولَئِكَ هُمْ أُولُوا الأَلْبَابِ¤
Artinya : Dan
orang-orang yang menjauhi taghut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada
Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada
hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling
baik di antara-Nya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk
dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.
Dari uraian diatas, dapat
disimpulkan bahwa apabila ada dua hal yang mengandung maslahat dalam satu
waktu, maka yang diambil adalah yang paling besar kemaslahatannya. Dan
sebaliknya, apabila ada dua perkara yang mengandung maslahat dan mafsadat
secara bersamaan, maka yang harus didahulukan adalah kemaslahatannya. Apabila
keduanya sama kuatnya atau sama sama sulit, maka jalan yang harus diambil
adalah menghindari kemafsadatannya, karena menghindari kenafsadatan merupakan
kemaslahatan itu sendiri. Dari situlah muncul aqidah fiqhiyyah :
دَرْءُ المَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المَصَالِحِ
Artinya : Menolak mafsadat lebih
didahulukan daripada meraih maslahat.
b. Kaidah Pokok, meliputi :
1) Setiap perkara itu bergantung pada
tujuannya.
الأُمُورُ بِمَقَاصِدِهَا
Artinya:
Setiap perkara itu tergantung pada maksudnya.
Makna dari kaidah ini adalah bahwa setiap perbuatan/perkara, baik dalam
hubungan dengan Allah maupun hubungan dengan sesama makluk-Nya, nilainya selalu
ditentukan oleh niatnya dan tujuan dilakukannya perkara tersebut. [8]Niat
yang ada dalam hati seseorang menjadi kriteria khusus dalam menentukan status
hukum dari perbuatan yang ia lakukan. Perbuatan seseorang dapat dihukumi wajib,
Sunnah, haram, makruh, bahkan mubah itu semua tergantung dari niat yang
menyertainya.[9]
Dalam kaidah ini, para ulama’ telah sepakat bahwa
niat merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari suatu perbuatan. Tanpa
adanya suatu niat, maka suatu perkara bisa dikatakan tidak sah. Hal ini telah
dijelaskan dalam Al-quran surat Az-Zumar ayat 2 yaitu :
إِنَّآ أَنْزَلْنَآَ إِلَيْكَ الكِتَابَ بِالْحَقِّ
فَاعْبُدِ اللهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّيْنَ
Artinya:
Sesungguhnya Kami
menurunkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran. Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.
Selain itu, dijelaskan
pula pada beberapa hadits Nabi Saw :
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةٍ ...
Artinya : Sesungguhnya
setiap amal itu tergantung pada niatnya...” (HR. Bukhari dari Umar bin Khaththab)
Oleh karena itu, niat
memiliki beberapa fungsi, diantaranya:
a) Untuk membedakan
antara ibadah dengan kebiasaan/adat;
b) Untuk membedakan
antara sah atau tidak sahnya suatu ibadah dan membedakan antara yang wajib
dengan yang sunnah;
c) Untuk membedakan
kualitas suatu perbuatan, antara kebaikan dan kejahatan.
Contoh :
a) Sesuatu yang awalnya
hukumnya mubah, dapat menjadi perkara yang mendatangkan pahala karena
niatnya, misalnya makan dan minum.
b) Memeras anggur,
hukumnya menjadi mubah atau haram tergantung pada niatnya.
c) Wudhu, mandi, shalat,
puasa, apakah wajib atau sunnah juga tergantung pada niatnya.
d) Orang yang menghutangi
mengambil barang haknya tanpa sepengatahuan orang yang berhutang, hukumnya
menjadi mubah atau haram tergantung pada niatnya, apakah berniat mengingatkan
ataukah mencuri.
e) Kinayah (sindiran) dalam kata thalaq juga
tergantung niat.
2) Suatu keyakinan tidak
dapat dihapus dengan keraguan
اليّقِيْنُ لاّ يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya : keyakinan
tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
Yang dimaksud dengan yakin adalah segala sesuatu
yang menjadi mantap dalam melakukannya karena ada pandangan atau dilandasi
dengan dalil tertentu.[10] Makna dari kaidah ini adalah bahwa sesuatu
yang telah diyakini tidak dapat goyah oleh sesuatu yang meragukan. Jadi, segala
tindakan harus berlandaskan terhadap apa yang diyakini.
Maksud dari kaidah ini adalah setiap keyakinan harus dipegang dan setiap
keraguan harus ditinggalkan.
Contoh :
a) Seseorang yang telah berwudhu, kemudian ia
ragu apakah ia sudah berhadats (batal wudhunya) maka hal ini dikembalikan pada
hukum yang telah ia yakini, yaitu masih mempunyai wudhu dan tidak berhadast.[11]
Contoh ini menunjukkan kita kepada ihthiyath (kehati-hatian) dalam
melakukan ibadah, terutama dalam ibadah shalat.
Peristiwa ini didasari oleh Hadits Nabi
Saw:
شُكِيَ
إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرِّجَلُ يُخَيَّلُ أَنَّهُ
يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلاَةِ , قَالَ لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعُ صَوتًا
أَوْ يَجِدَ رِيْحًا
Artinya: Dikemukakan
kepada Rasulullah tentang seorang laki-laki yang sering merasa berhadats dalam
shalatnya, kemudian Nabi menegurnya: “Janganlah orang tersebut membatalkan
shalatnya sampai ia mendengar suara kentutnya atau mencium baunya.” (HR. Bukhari-Muslim)
b) Apabila ada seseorang yang menuduh orang
lain telah berbuat kejahatan, maka tuduhan ini tidak langsung diterima, kecuali
jika ada bukti yang sah atau saksi lain yang meyakinkan bahwa orang tersebut
telah melakukan kejahatan.
3) Kesulitan itu dapat mendatangkan kepada
kemudahan
المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرُ
Artinya:
kesukaran dapat menarik kemudahan
Al-Masyaqqoh menurut bahasa berarti kepayahan, kesusahan, kesukaran, kelelahan, atau kesulitan. Sedangkan At-Taysiir
berarti kemudahan. Makna dari kaidah ini adalah bahwa kesulitan akan
menjadi penyebab datangnya kemudahan.[12]
Jadi, setiap hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan bagi seseorang
untuk melakukannya, maka syari’at memberi keringanan bagi seseorang
tersebut agar mampu melaksanakan hukum itu tanpa mengalami kesulitan.
Kaidah ini didasarkan pada Al-Qur’an surat An-Nisa’
ayat 4 :
وَآتُوا النِّسآءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عِنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيْئًا
مَرِيْئًا
Artinya : Berikanlah makawin (mahar) kepada wanita
yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik
akibatnya.
Dalam ilmu fiqh, kesulitan yang mendatangkan
kemudahan itu ada 7 macam, yaitu:
1. Sedang dalam
perjalanan jauh (musafir)
2. Dalam keadaan sakit
3. Dalam keadaan terpaksa
4. Lupa
5. Ketidaktahuan
6. Kesulitan yang umum(umumul
balwa)
7. Ketidakmampuan dalam
melakukan hukum
Kata masyaqqoh bersifat
individual (khusus), maksudnya adalah bagi kondisi tertentu, seseorang bisa
dikatakan masyaqqoh, namun belum tentu bagi kondisi yang lain, sehingga
tidak sembarangan kondisi bisa dianggap masyaqqoh.
Contoh peristiwa dari kaidah ini
adalah :
a) Orang yang sedang
bepergian boleh meng-qashar/ men-jamak shalatnya, dan boleh
berbuka puasa karena mengalami kesulitan, akan tetapi hal ini tidak boleh
dikaitkan jika perjalanan tersebut mengandung kemaksiatan.
b) Pada musim dingin
seseorang merasa berat sekali untuk berwudhu, maka ia diperbolehkan melakukan tayammum.
Kaidah ini disebut juga sebagai qaidah
rukhshah yaitu memberikan keringanan dalam melaksanakan aturan syariah
dalam keadaan tertentu yang menuntut adanya keringanan.Rukhshah ini berbeda dengan kata dharurat pada
tingkatan mafsadat yang akan ditimbulkannya. Dalam rukhshah, tingkatan
mafsadat yang ditimbulkantidak sekuat mafsadat pada dharurat, karena
dharurat selalu dikaitkan dengan
pemeliharaan jiwa. [13]
Kaidah ini merupakan suatu jalan
agar syariat Islam dapat dilaksanakan oleh setiap orang mukallaf dimanapun dan
kapanpun yang mengalami suatu kesukaran atau kesempitan. Namun kaidah ini
dibatasi pada sesuatu yang dimungkinkan saja, tidak boleh jika seseorang
menggunakan masyaqqoh yang dapat menghilangkan ketaatan kepada Allah dan
menghilangkan kemaslahatan dalam ibadah sehingga menyebabkan lalainya seseorang
dalam menjalankan ibadah.
4) Kemudharatan harus
dihilangkan
الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya : Kemudharatan harus
dilenyapkan
Kaidah ini disebut sebagai kaidah
dharurah yaitu mengharuskan untuk menghilangkan mudharat (mafsadat) dan
pengaruh dari kemudharatan tersebut. Kemudharatan itu akan terjadi dan telah
terjadi. Jika demkian, maka harus dihilangkan. Adapun dasar hukumnya adalah
dalam QS. Al-A’raf ayat 55 :
ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ
المُعْتَدِيْنَ
Artinya : Berdoalah kepada
Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas.
Contoh dari kaidah ini adalah:
a) Mengonsumsi sesuatu
yang haram karena terpaksa, karena tidak ada makanan lain yang halal dan
apabila tidak makan ia bisa mati
b) Adanya aturan khiyar
dalam Fiqh Muamalah
c) Adanya larangan
meminum khamr dalam hukum Islam karena menghilangkan kemudharatan
d) Adanya kebolehan
membuka aurat sesuai dengan kebutuhan untuk mengobati penyakit berbahaya.
Namun ada beberapa pengecualian
dalam penerapan kaidah ini, diantaranya :
a) Menghilangkan
kemudharatan yang menimbulkan adanya kemudharatan lain yang sama tingkatan
keduanya. Misalnya si A merasa lapar kemudian memakan makanan milik si B
padahal si B juga merasa lapar. Hal ini tidak boleh dilakukan, karena makanan
itu dibutuhkan juga oleh si B, kecuali jika si B tidak merasa kelaparan.
b) Menghilangkan
kemudharatan yang akan menimbulkan datangnya kemudharatan lain yang
tingkatannya lebih tinggi. Misalnya seseorang melarikan diri dari peperangan,
tujuannya hanya untuk menyelamatkan dirinya. Perbuatan ini dilarang, karena
seandainya ia tidak meenyelamatkan diri dan mati dalam peperangan itu maka
sesungguhnya ia tercatat syahid dalam membela agama Allah dan tentunya nilainya
sangat mulia di hadapan Allah Swt.
5) Adat itu bisa
(dipertimbangkan dalam) menetapkan hukum.
العَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: Adat dapat
(menjadi pertimbangan dalam) menetapkan hukum.
Adat merupakan suatu kebiasaan yang terjadi terus
menerus di kalangan masyarakat. Para ulama’ memaknai kata al-adah hampir
sama dengan al-‘urf. ‘Urf dimaknai sebagai sesuatu yang telah dikenal
masyarakat dan diulang-ulang dalam ucapan dan perbuatannya sehingga menjadi
kebiasaan dan berlaku umum. Sedangkan adat juga demikian yaitu sesuatu yang
dikenal oleh masyarakat dan telah
menjadi suatu kebiasaan mereka.
Al-adah dengan al-‘urf dapat didefinisikan sebagai
berikut:[14]
العَادَةُ مَا تَعارَفَةُ النَّاسُ
وَأَصْبَحَ مَأْلُوفًا لَهُمْ سَائِغًا فِى مَجْرَى حَيَاتِهِمْ
Artinya : Adat ialah sesuatu yang telah dikenal
oleh seluruh masyarakat /manusia dan menjadi kebiasaan yang digemari oleh
mereka serta berlaku dalam setiap kehidupan mereka.
العُرْفُ مَا اعْتَدَ النَّاسُ وَسَارُوا عَلَيْهِ فِى
اُمُورِ حَيَاتِهِمْ وَمُعَامَلَتِهِمْ مِنْ قَوْلٍ أَوْ فِعْلٍ أَو تَرْكٍ
Apa yang menjadi kebiasaan masyarakat/manusia dan mereka lewati kehidupan
muamalat mereka dengan hal itu, baik berupa ucapan, perkataan maupun perbuatan.[15]
Adat (kebiasaan) yang timbul itu terbangun atas
nilai-nilai yang sudah ada pada masyarakat. Nilai-nilai ini terus terpelihara
seiring dengan perkembangan yang ada dalam masyarakat tersebut. islam hadir
dengan membawa nilai-nilai yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan
berpedoman pada keduanya itulah, para ulama’ membagi adat menjadi dua jenis
yaitu :
1. Al-‘adah ash-Shahihah,
yaitu adat yang sesuai
dengan nilai-nilai Islam;
2. Al-‘adah al-Fasidah, yaitu adat yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai Islam.
Dalam lingkup yang lain, Imam As-Syathibi membagi
adat menjadi dua macam yaitu :
1.
Al-‘adah al-‘ammah; yaitu adat yang umum, misalnya
kebiasaan bangun tidur, tidur, makan dan minum, dan lain-lain karena tidak ada
perbedaan tempat, waktu dan keadaan.
2.
Al-‘adah al khashshah yaitu adat yang khusus,
misalnya pakaian, bentuk rumah, dan lain-lain.
Kaidah ini didasarkan pada
Al-Qur’an Al-A’raf ayat 199 :
خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِألغُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ
الجَاهِلِيْنَ
Artinya :Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.
Dan hadits Nabi Muhammad Saw :
مَا رَآهُ المُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ
حَسَنٌ
Artinya : apa yang dipandang baik
oleh orang Muslimin maka dipandang baik pula oleh Allah.
Contoh penerapan dari kaidah ini
adalah :
a) Hukum mahar dalam
pernikahan, misalnya seberapa banyak ketentuan dalam mahar itu, maka bisa
disesuaikan dengan kebiasaan yang dilakukan masyarakat sekitar.
b) Seorang hakim tidak
diperbolehkan menerima hadiah,namun di kalangan masyarakat sudah terbiasa
memberikan hakim hadiah, akan tetapi tidak diperbolehkan menerima lebih dari
kebiasaan.
c) Lafad-lafad yang
dipergunakan dalam wakaf, nazar, sumpah atau akad boleh disesuaikan dengan
adat.
Namun pada kaidah ini perlu juga
diperhatikan pengecualian, misalnya adat yang bertentangan dengan nash Al-Qur’an
dan As-Sunnah, misalnya adat berpesta dengan minuman keras, berjudi, dan
lain-lain.
F. Penutup
Demikianlah uraian singkat
mengenai qaidah fiqhiyyah , dapat disimpulkan bahwa qaidah fiqhiyyah
dapat kita jadikan dasar dalam memahami serta menetapkan permasalahan hukum
yang terjadi di kalangan masyarakat, berkaitan dengan sikap dan perilaku
masyarakat dan sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan baik untuk
memecahkan masalah yang bersifat pribadi, keluarga dan dalam masyarakat
umumnya.
Dengan memahami qaidah
fiqhiyyah ini, sesungguhnya kita telah turut andil dalam pencapaian
kebenaran dan perkembangan hukum Islam, serta membangun masyarakat yang taat
syariat Islam. Qaidah fiqhiyyah merupakan warisan dari para ulama’
terdahulu, berupa perenungan dan hasil ijtihad yang telah mapan dan teruji.
Oleh karena itu, qaidah fiqhiyyah dapat menjadi solusi alternatif, dan
menjadi dasar dalam menyelesaikan persoalan dalam masyarakat secara arif, benar
dan adil.
DAFTAR PUSTAKA
Albani, M. Syukri. 2013. Filsafat Hukum Islam. Jakarta:
Rajawali Press.
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1993. Falsafah Hukum
Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Djazuli, A. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Prenada Media Group.
Hasbi, Teungku M. 2001. Falsafah Hukum Islam. Semarang
: Pustaka Rizki Putra.
Marzuki. 2013. Pengantar Studi Hukum Islam. Yogyakarta:
Penerbit Ombak.
Ridwan, Fathi. 1969. Min Falsafah at-Tasyri’
Al-Islami. Kairo: Dar al-Kaatib Al-‘Arabi.
Rosyada, Dede. 2002. Ushul Fiqh. Jakarta: Dirjen Bimbaga Agama Islam dan
Universitas Terbuka.
Suyatno. 2016. Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul
Fiqh. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Yahya, Mukhtar. 1993. Dasar-dasar Pembinaan
Hukum Fiqh Islami. Bandung: Al-Ma’arif.
Catatan:
1. Similarity 5%. Bagus
2. Seharusnya tiap kaidah
pokok diberikan dua atau tiga kaidah turunan dan baru diberikan contoh masing-masing.
Itu akan lebih proporsional.
[1]A. Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta: Prenada Media Group, 2005), hlm.
16.
[2]M. Hasbi As-Shiddieqy. Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 442-443.
[3]Fathi Ridwan, Min Falsafah at-Tasyri’ Al-Islami, (Kairo: Dar
al-Katib Al-‘Arabi, 1969), hlm. 171-172.
[4]Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam, (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013), hlm. 184.
[5]Mukhtar Yahya dan Fathchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami, (Bandung: Al-Ma’arif, 1993), hlm. 485.
[6]A. Djazuli, hlm. 112-113.
[7]Suyatno, Dasar-dasar Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), hlm. 227.
[8]
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013), hlm. 120.
[9]
Marzuki, hlm. 191.
[10]
Suyatno, hlm. 235.
[11] A.
Djazuli, hlm. 107.
[12]Marzuki, hlm. 194.
[13]Dede Rosyada, Ushul Fiqh, (Jakarta: Dirjen Binbaga Agama Islam dan
Universitas Terbuka, 2002), hlm. 470.
[14]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 464.
[15]Ibnu Husin, Al-Muwaafaqat II,hlm. 197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar