TA’ARUD, TARJIH, AMAR DAN NAHYU
Mudrikatul Aminah, Vicky Afri Pratama dan Nurul Azizah
Mahasiswa
PAI A angkatan 2015 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email:
nurulazizah454@gmail.com
Abstrac : This paper discusses some of the several ways
in taking a decision and establishing Islamic law. Because often times the
mujtahid when in determining Islamic law is debated. Therefore, this paper
discusses Ta'arud and Tarjih. That is the science used when there are two texts
that contain the opposite law. In addition, this paper also discusses Amar and
Nahyu. That is the science that discusses the linguistic rules contained in the
texts that implicate the decision of the law later.
Keywords: Ta’arud, Tarjih, Amar dan Nahyu
Abstrak : Tulisan ini membahas tentang sebagian dari
beberapa cara dalam mengambil suatu keputusan dan menetapkan hukum islam.Karena
sering kali para mujtahid ketika dalam menentukan hukum islam mengalami
perdebatan. Maka dari itu, tulisan ini membahas tentang Ta'arud dan Tarjih.
Yaitu ilmu yang digunakan apabila terjadi dua nash yang mengandung hukum yang
berlawanan. Selain itu, tulisan ini juga membahas tentang Amar dan Nahyu. Yaitu
ilmu yang membahas tentang kaidah kebahasaan yang terkandung dalam nash yang
berimplikasi pada pengambilan hukum nantinya.
Kata kunci : Ta’arud, Tarjih, Amar dan Nahyu
A. Pendahuluan
Untuk memahami
hukum-hukum dari Alqur'an dan As-sunnah perlu memerhatikan susunan atau tatanan
bahasa yang terkandung dalam nash tersebut, baik berupa mufrad atau kalimat
tunggal maupun murakkab atau susunannya serta gaya bahasanya. Sehingga dari hal
tersebut diperoleh pemahaman hukum yang dimaksud dari Alqur'an maupun As-sunnah
yang dimaksud. Kemudian pemahaman makna hukum dari nash tersebut biasanya
menimbulkan perbedaan penafsiran antar mujtahid untuk menyelesaikan masalah
tersebut perlu dilakukan Ta'arud dan Tarjih.
B.
Ta’arud dan Tarjih
1.
Ta’arud
a.
Pengertian Ta’arud
Ta’arud berasal dari kata “al-i’tiradh” yang berarti mencegah atau
menghalangi. Maka kata “at-ta’arud”
berarti saling mencegah atau saling menghalangi.[1]
Jadi, ta’arud secara etimologi adalah
pertentangan antara dua hal. Sedangkan secara terminologi yaitu satu dalil dari
dua dalil menghendaki hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki dari
dalil lain.[2]
Sebenarnya tidak ada
pertentangan dalam kalam Allah dan Rosul Allah. Maka dari itu adanya ta’arud dari satu atau beberapa dalil
adalah yang terjadi di kalangan atau pemikiran para mujtahid bukan pada
hakikatnya. Jadi dalam dalam proses ijtihad bisa saja ta’arud ini terjadi baik dalil-dalil yang qath’i maupun dalil yang zhanni.[3]
Namun apabila ditemukan pertentangan antara dalil qath’i dengan dalil zhanni
maka dalil qath’i lah yang lebih di
dahulukan. Karena dalil qath’i
menunjukkan kepastian dan keyakinan sedangkan dalil zhanni menunjukkan keragu-raguan. Sehingga bisa saja dalil qath’i menasakh dalil zhanni. Jika terjadi pertentangan antara
dua dalil qath’i maka dipilih mana
yang lebih kuat.
b.
Syarat-syarat Ta’arud
Sedangkan yang paling sering
adalah pertentangan antara dalil zhanni
dengan dalil zhanni. Adapun syarat-syarat
ta’arud, yaitu:
1) Adanya pertentangan antara dua dalil dalam penetapan
hukum. Misalnya halal dengan haram, wajib dengan tidak wajib, menetapkan dengan
meniadakan
2) Meskipun hukum dua dalil tersebut berbeda tetapi
tempatnya (objeknya) harus sama. Apabila objeknya sama tidak akan menimbulkan
pertentangan. Contohnya yaitu mengenai akad nikah. Akad nikah menimbulkan
kebolehan (halal) menggauli istri dan melarang (haram) menggauli ibu istri. Hal
ini tidak akan menimbulkan pertentangan karena objeknya berbeda.
3) Terdapat kesamaan waktu berlakunya hukum antar dua dalil
yang bertentangan. Apabila masa atau waktunya berbeda tidak akan menimbulkan
pertentangan. Mislanya mengenai hukum khamr yang dihalalkan pada masa permulaan
islam, namun kemudian diharamkan.
4) Terdapat kesamaan hubungan antara dua dalil yang saling
bertentangan
5) Dua dalil yang saling bertentangan memiliki kedudukan
(tingkatan) yang sama atau sederajat. Contohnya yaitu
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
ۖلِمَنْأَرَادَأَنْيُتِمَّالرَّضَاعَةَۚ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan...“ (Qs. Al-Baqarah:233)
Makna dari ayat ini adalah bahwa masa
penyusuan oleh ibu kepada anaknya adalah dua tahun penuh. Namun ayat lain dalam Qs. Al-Ahqaf ayat 15
وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا
“....Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan...” di dalam ayat ini Allah menjelaskan dua hal, yakni masa
kehamilan dan masa penyusuhan. Yang mana masing-masing hal tersebut memiliki
masa yang berbeda. Murid Abu Hanifah dengan mayoritas Ulama’ sepakat bahwa masa
menyusui hanyalah dua tahun penuh. Adapun keterangan dalam Qs Al-Ahqaf ayat 15
menjelaskan mengenai masa kehamilan yakni minimal 6 bulan sedangkan masa
maksimal menyusui adalah dua tahun. Karena hal ini bersifat dugaan atau
perkiraan maka secara dzahir Qs Al-Ahqaf ayat 15 besifat zhanni.[4]
c.
Cara menyelesaikan Ta’arud
Ketika terjadi ta’arud dalam ijtihad maka perlu
dicarikan sebuah solusi. Dalam memberikan solusi ta’arud ini terjadi perbedaan antara kalangan Hanafiyah dan
kalangan Syafi’iyyah.
Tindakan
yang dilakukan kalangan Hanafiyah ketika terjadi ta’arud secara umum yaitu:[5]
1.
Mencari tahu dalil yang turun terlebih dahulu. Jika itu berupa ayat maka
mana yang turun terlebih dahulu, apabila itu berupa hadis maka mana yang
terlebih dahulu diucapkan. Apabila sudah diketahui, maka dalil yang terlebih
dahulu dianggap telah dinasakh (dibatalkan) oleh dalil yangg baru.
2.
Apabila tidak menemukan keterangan mengenai mana yang terlebih dahulu, maka
cara lainnya yaitu dengan tarjih, yaitu melihat mana yang lebih kuat
diantara dalil-dalil yang bertentangan itu. Dapat melakukan tarjih dengan
menggunakan dari tiga sisi.[6]
Pertama, menunjukkan kandungan lafal
suatu nash. Kedua, dari hukum yang
dikandungnya. Sebagai contoh, terdapat perkataan para ulama : “Jika terjadi
perbedaan hukum antara yang mubah dan yang haram maka yang dimenangkan adalah
yang haram”. Dan perkataan ulama yang lain “Jika terjadi pertentangan antara
penghalang dan pendorong maka yang dimenangkan adalah penghalang”.[7]
Ketiga, dari keadilan periwayat suatu
hadis.
3.
Apabila dengan tarjih tidak menyelesaikan masalah karena sama-sama kuatnya
maka cara selanjutnya yaitu dengan mengkompromikan antara dua dalil itu. Dalam
mengkrompromikan, apabila dua dalil yang saling bertentangan adalah dalil yang
bersifat ‘am atau universal maka dapat dipahami bahwa salah satu dalil tersebut
adalah bagian dari dalil lainnya. Karena dua dalil yang berbeda tidak dapat
bersatu dalam tempat yang sama. Contohnya yaitu, adanya dalil yang menyatakan
“Bunuhlah orang-orang kafir”, maka yang dimaksud adalah kafir harbi. Dan
pernyataan lain yang bertentangan yaitu “ Jangan bunuh orang-orang kafir”, maka
yang dimaksud disini adalah kafir dzimmi. contoh lain yang terdapat dalam nas
yaitu mengenai persaksian.
اَلاَاُخْبِرُكُمْ
بِخَيْرِ الشُّهَدَاءِ, الَّذِيْ يَأْتِيْ بِالشَّهَادَةِ قَبْلَ اَنْ يَسْئَلَهَا
“apakah aku tidak memberitahu kamu sekalian tentang sebaik-baik saksi,
yaitu seorang yang memberikan kesaksian sebelum diminta” (HR. Muslim)
اِنَّ خَيْرَ اُمَّتِيْ قَرْنِيْ , ثُمَّ الَّذِيْنَ
يَلُوْنَهُمْ و ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ , ثُمَّ اِنَّ مَنْ بَعْدَهُمْ
قَوْمًا يَشْهَدُوْنَوَلاَيَسْتَشْهَدُوْنَ
“bahwa sebaik-baik umatku adalah
golonganku,kemudian orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah
mereka yaitu sekelompok manusia yang memberikan kesaksian tanpa dimintai,
tidak berkhianat dan dapat dipercaya”(HR. Bukhori Muslim).
Dalam hadis tersebut terjadi suatu pertentangan yaitu
hadis pertama menunjukkan bahwa memberi kesaksian sebelum diminta itu hukumnya
adalah boleh. Sedangkan dalam hadis kedua menjelaskan bahwa hal tersebut tidak
diperbolehkan. Kedua haddis ini dapat dikompromikan dengan cara memahami bahwa
sebuah persaksian dapat boleh meskipun tidak diminta apabila berhubungan dengan
hak-hak Allah, sedangkan persaksian hanya bisa diterima apabila diminta selama
hal tersebut menyangkut hak-hak manusia.[8]
4.
Apabila tidak bisa juga di kompromikan, maka caranya adalah dengan tidak
menggunakan kedua dalil tadi kemudian seorang mujtahid menggunakan dalil yang
lebih rendah tingkatannya, misalnya jika yang bertentangan itu dua ayat Alquran
dan tidak dapat dikompromikan maka seorang mujtahid menggunakan sumber hukum
yang satu tingkat di bawahnya yaitu sunnah Rasulullah. Dan begitulah
seterusnya. Contohnya adalah pertentangan antara Qs. Al-Muzammil 20 dengan Qs.
Al-A’raf 204
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ
الْقُرْآنِ
“(karena itu)
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Alquran”
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا
لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”.
Ayat pertama bersifat ‘am nya menjelaskan bahwa membaca
bagi makmum adalah wajib. Sedangkan, pada ayat kedua makmum tidak wajib membaca
karrena makmum hanya wajib mendengarkan dan memperhatikan bacaan imam.
Mayoritas ahi tafsir berpendapat bahwa kedua ayat ini
turun berkenaan dengan masalah sholat. Namun karena bertentangan maka dicari
dalil lain yang kedudukannya lebih rendah dari kedua dlil tersebut yang dalam
hal ini adalah hadis.
من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة
“Barang siapa sholat berjama’ah, maka bacaan imam juga bacaannya.”
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa sekalipun diantara rawi-rawinya ada yang
dhaif (lemah). Namun karena hadis ini diriwayatkan oleh sanad yang banyak dan
juga di dukung oleh hadis-hadis yang banyak sehingga hadis ini dapat dijadikan
sebagai landasan hukum.[9]
Sedangkan di kalangan Syafi’iyyah, langkah-langkah yang
dilakukan ketika terjadi ta’arud
antara dua dalil yaitu:
1.
Mengkrompromikan antara dua dalil tersebut selama masih ada kesempatan
untuk menkompromikan, karena lebih baik mengamalkan kedua dalil daripada hanya
menggunakan satu dalil saja. Karena menurut pendapat ulama Syafi’iyyah tidak
boleh lebih mendahulukan al-Qur’an daripada Hadis ataupun sebaliknya, tidak
boleh mendahulukan Hadis daripad Al-Qur’an.[10]
Karena Alqur’an dan hadis adalah sumber hukum yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 234 :
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
ۖفَإِذَابَلَغْنَأَجَلَهُنَّفَلَاجُنَاحَعَلَيْكُمْفِيمَافَعَلْنَفِيأَنْفُسِهِنَّبِالْمَعْرُوفِۗوَاللَّهُبِمَاتَعْمَلُونَخَبِيرٌ
“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(parawali) membiarka nmereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
Dan dalam
surat at-Thalaq ayat 4 :
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ
مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي
لَمْ يَحِضْنَ
ۚوَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّۚوَمَنْيَتَّقِاللَّهَيَجْعَلْلَهُمِنْأَمْرِهِيُسْرًا
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid
lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil,
waktu iddah mereka ituialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Pada surat Al-Baqarah dan at-Thalaq
diatas sama sama membahas mengenai masa iddah. Pada surat Al-Baqarah ayat 234,
perempuan yang ditinggal mati suaminya masa iddah nya adalah empat bulan
sepuluh hari. sedangkan dalam surat at-Thalaq ayat 4 masa iddahnya perempuan perempuan
yang sedang hamil baik ditinggal hidup maupun cerai hidup adalah sampai
melahirkan. Dengan kedua ayat diatas timbullah pertanyaan mengenai berapa masa
iddah perempuan hamil yang dtinggal mati suaminya. Maka dengan mengkompromikan
kedua dalil tersebut hukum yang dapat diambil yaitu masa iddah perempuan hamil
yang ditinggal mati suami adalah mengambil waktu yang paling lama diantara
empat bulan sepuluh hari dengan masa perempuat tersebut akan melahirkan.
Maksudnya yaitu apabila
perempuan tersebut melahirkan sebelum empat bulan 10 hari sejak suaminya
meninggal maka masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Namun ketika
perempuan tersebut belum juga melahirkan dalam waktu empat bulan sepuluh hari
maka masa iddahnya sampai melahirkan.
2.
Apabila tidak bisa dikompromikan, maka solusinya adalah dengan di tarjih
3.
Jika tidak dapat di tarjih antara keduanya maka jalan keluarnya adalah
melihat mana dalil yang lebih dahulu turun diantara dalil terebut. Jika telah
diketahui mana yang terlebih dahulu datang, maka dalil yang terdahulu dianggap
telah di nasakh (dibatalkan) oleh dalil yang baru
4.
Jika tidak ditemukan keterangan mana yang terlebih dahulu turun maka
selanjutnya adalah tidak memakai kedua dalil tersebut, dan kemudian menggunakan
dalil yang lebih rendah bobotnya.[11]
2.
Tarjih
a.
Pengertian Tarjih
Tarjih berasal dari kata “at-tarjih” (الترجيح) yang
merupakan bentuk masdar dari kata “rajjaha” (رجح) yang artinya mengunggulkan atau lebih
condong.[12] Rajih adalah dalil yang dikuatkan ,
sedangkan marjuh adalah dalil yang
dilemahkan. Sehingga secara etimologi
artinya membuat sesuatu cenderung atau mengalahkan. Sedangkan secara
terminologi kalangan syafi’iyyah mengartikan tarjih adalah satu dari dua dalil
yang zhanni dikuatkan untuk kemudian diamalkan.[13]
Dalam kalangan jumhur ulama menjelaskan pengertian tarjih adalah salah satu
dalil yang zhanni dikuatkan dengan
yang lainnya untuk diterapkan berdasarkan dalil tersebut.[14]
Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
dalil yang ditarjih salah satunya berasal dari dua dalil yang keduanya zhanni.
Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah, dua dalil yang di tarjih salah satunya
karena bertentangan bisa jadi keduanya qath’i,
atau keduanya zhanni. Karena itulah kalangan Hanafiyah mengartikan
tarjih sebagai usaha mencari kelebihan salah satu dari dua dalil yang sama. Hal
tersebut berarti pengertian itu tidak terbatas hanya pada dua dalil yang zhanni
saja.[15]
Sebagai contoh, terdapat perkataan para ulama : “Jika
terjadi perbedaan hukum antara yang mubah dan yang haram maka yang dimenangkan
adalah yang haram”. Dan perkataan ulama yang lain “Jika terjadi pertentangan
antara penghalang dan pendorong maka yang dimenangkan adalah penghalang”.[16]
Contoh lain mengenai tarjih
yaitu dalam hadis menjelaskan bahwa sesungguhnya
nabi SAW pernah dalam keadaan junub pada waktu subuh. Dan dijelaskan dalam
hadis lain, rasul bersabda: barang siapa
pada waktu subuh dalam keadaan junub maka tidak sah puasanya.[17]
b.
Syarat – syarat Tarjih
1)
mentarjih dalam satu masalah. Misalnya, dalam masalah haji, hukumnya sama,
yaitu wajib dengan wajib, atau sunah dengan sunah, dan lain-lain.
2)
mentarjih dengan hal yang sama, seperti dari aspek tempat, syarat, waktu
dan hal-hal yang perlu diperbincangkan.[18]
c.
Cara Pentarjihan
Ulama Ushul menjelaskan ada beberapa metode yang dapat
digunakan untuk mentarjih dua dalil yang bertentengan. Cara pentarjihan dibagi
menjadi dua yaitu 1) at-Tarjih baina
an-Nushush dan 2) at-Tarjih baina
al-qiyas
1)
Tarjih baina an-Nushush terbagi menjadi 4, yaitu :
a.
Dari segi sanad
Menurut Imam Asy-Syaukani ada 42 cara yang dapat dilakukan dalam
pentarjihan. Dikelompokkan sebagai berikut:
i. Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya
Cara ini dilakukan dengan menyelidiki jumlah perawi suatu hadis. Jumhur
berpendapat bahwa hadis yang diriwayatkan oleh banyak perawi di tarjihkan
dengan yang sedikit perawinya, kemungkinan kecil terjadi kesalahan. Tetapi Abu
Yusuf, Abu Hanifah dan Abu Hasan Al-Karkhi tidak sependapat dengan pendapat
jumhur tersebut. Mereka berpendapat banyaknya jumlah perawi tidak dapat
mentarjih hadis yang perawinya lebih sedikit, kecuali perawi tersebut lebih
dari tiga orang (Hadis Masyhur). Mereka mengasumsikan terhadap masalah
persaksian yang bertentangan, bahwa hakim dalam memutuskan perkara tidak boleh
atas dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.
ii. Pentarjihan dengan melihat riwayat itu sendiri
Maksudnya adalah membenarkan hadis masyhur daripada hadis ahad atau
membenarkan hadis mutawatir daripada hadis masyhur. Dapat dilakukan juga dengan
melihat hubungan sanadnya, contoh hadis yang sanadnya sampai kepada rasul
ditarjih dengan hadis yang sanadnya tidak sampai pada rasul.
iii. Pentarjihan melalui cara menerima hadis dari rasul
Artinya hadis yang diterima dan dipelihara ditarjihkan
melalui hafalan perawi dari hadis yang diterima melalui tulisan. Dikuatkan
dengan hadis yang menggunakan lafazh langsung dari Rasulullah, misal lafal
amara (memerintah) atau nahi (melarang) diriwayatkan oleh yang lain.
b.
Dari segi matan
Maksud dari matan adalah ijma’ atau hadis, teks ayat. Menurut Al-Amidi ada
51 cara yang dapat dilakukan dalam pentarjihan, antara lain:
i.
Mengutamakan teks yang mengandung larangan daripada teks yang mengandung
perintah, karena mencegah kemudaratan lebih baik daripada mengambil manfaat
ii.
Mendahulukan teks yang mengandung perintah daripada teks yang mengandung
kebolehan karena melakukan perintah berarti sekaligus melakukan yang hukumnya
diperbolehkan
iii. Mengutamakan arti hakikat daripada arti majazi-nya
iv. Menguatamakan dalil khusus daripada dalil yang umum
v.
Mendahulukan teks umum yang belum dikhususkan daripada teks umum yang telah
di taksis
vi. Mengutamakan teks yang sifatnya perkataan daripada teks
yang sifatnya perbuatan
vii.
Mendahulukan teks yang muhkam daripada teks yang mufassar, karena muhkam
lebih pasti dibanding mufassar
viii.
Mendahulukan teks yang jelas daripada teks yang bersifat sindiran
c.
Dari segi hukum atau kandungan hukum
Ada 11 cara pentarjihan menurut pendapat Al-Amidi, sedangkan ada 9 cara
pentarjihan menurut Asy-Syaukani, yaitu:
i.
Lebih mengutamakan teks yang mengandung bahaya menurut ulama daripada teks
yang membolehkan. Berdasarkan hadis Rasulullah SAW: “Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang
haram lebih dominan” (H.R Baihaqi)
ii.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai teks yang bersifat menentukan dengan
teks yang menghilangkan. Contoh, hadis dari Ibnu Abbas, mengatakan bahwa
Rasulullah memperistri Maimunah ketika sedang ihram (H.R. Bukhari dam Muslim).
Riwayat lain mengatakan bahwa Rasulullah memperistri Maimunah tidak dalam
keadaan ihram (H.R. Imam Malik)
Dalam masalah tersebut, Imam Syafi’i berpendapat mengenai teks yang
bersifat menghilangkan lebih diutamakan daripada teks yang bersifat menentukan.
Jadi, dari hadis tersebut tidak dalam keadaan ihram lebih diutamakan.
Jumhur berpendapat, teks yang menentukan lebih didahulukan dari teks yang
menghilangkan, karena memberi informasi tambahan dari teks yang bersifat
menentukan.
Sedangkan menurut Imam Ghazali kedua hadis tersebut hukumnya digugurkan.
Hal itu barangkali keduanya salah dan keduanya benar. Oleh karenanya perlu
dicari tanda lainnya.
iii. Lebih memilih teks yang mencegah terpidana dari hukuman
daripada teks yang menuntut terpidana mendapat hukuman. Sesuai hadis Rasulullah
SAW: “Tolaklah hukuman dalam (kejahatan)
hudu apabila terdapat keraguan”.
iv. Mendahulukan teks yang bermakna hukuman lebih ringan
daripada teks yang bermakna hukuman lebih berat. Allah berfirman dalam Q.S
Al-Baqarah ayat 185 yang artinya: “Allah
menghendaki kemudahan bagimu dan tidak mengehendaki kesukaran bagimu”.
d.
Tarjih menggunakan faktor dalil (lain) diluar Nash
Ada 15 cara pentarjihan menurut Al-Amidi, sedangkan Imam Asy-Syaukani merangkumnya
menjadi 10 cara, antara lain:
i.
Salah satu dalil yang mendukung dalil lain didahulukan, baik dalil Alquran,
sunah, Ijma’, Qiyas, dll.
ii.
Mengutamakan salah satu dalil yang diikuti oleh amalan ahli Madinah, karena
mengenai persoalan turunnya Alquran mereka lebih mengetahuinya.
iii. Mengukuhkan dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab
al-wurud serta dalil yang didalamnya ada illat daripada dalil yang tidak menjelaskan hal tersebut.
iv. Mengutamakan dalil yang menuntut sikap hati-hati daripada
dalil yang tidak menuntut hal tersebut
v.
Mengutamakan dalil yang diikuti dengan ucapan perawinya daripada dalil yang
tidak mengutamakan hal tersebut.[19]
2)
Tarjih bain al-Aqyisah
a.
Dari segi hukum Ashl
Imam
Asy-Syaukani menggunakan 16 cara dalam pentarjihan, antara lain:
i.
Hukum yang asalnya qath’i dari
yang zhanni lebih diunggulkan
ii.
Menguatkan landasan dalil ijma dari qiyas yang asas dalilnya nash
iii. Menguatkan dan mendukung dalil yang khusus
iv. Qiyas yang sesuai dengan kaidah qiyas lebih dikuatkan
daripada yang tidak
v.
Qiyas yang telah disepakati para ulama diunggulkan dan tidak dinasakh
dengan qiyas yang tidak disepakati.
b.
Dari segi hukum Furu’ (cabang)
i.
Hukum furu’ yang asalnya datang kemudian lebih diunggulkan dari hukum furu’
yang hukum asalnya lebih dahulu.
ii.
Hukum furu’ yang illatnya diperoleh secara qath’i lebih diutamakan dari hukum furu’ yang illatnya bersifat zhanni.
iii.
Menetapkan sejumlah logika nash dari hukum furu’ lebih diunggulkan daripada
hukum furu’ yang berdasarkan logika nash secara rinci.
C. Amar dan Nahyu
1.
Amar
Dalam ushul fiqih amar
didefinisikan sebagai berikut:
القول المقتضي طاعة
المأمور بفعل الماموربه
“Suatu ucapan yang menghendaki kepatuhan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan”
Dalam pengertian
lain amar didefinisikan sebagai berikut:
طلب القول من الاعلى الى الأدنى
“Tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kepada pihak yang lebih rendah”[20]
Dalam
kata amar terdapat tiga unsur, antara lain:
a.
Yang
mengucapkan kata amar/yang menyuruh,
b.
Yang
dikenai kata amar/yang disuruh,
c.
Ungkapan
yang digunakan dalam suruhan itu.[21]
Dari definisi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa “amar” adalah lafadh yang berarti perintah atau menyuruh
kepada hal-hal yang berkonotasi positif. Seperti
contoh dalam firman Allah Swt. Qs Al-Baqarah (2) ayat 110:“Dirikanlah shalat
dan tunaikanlah zakat”
Dalam penggunaan bahasa arab kata amar
dapat diartikan menjadi beberapa kata antara lain:
a.
Ijab/wajib
وأقيمواالصلاة
“dan dirikanlah shalat...”
b.
Nadab/sunnah
فكاتبوهم
ان علمتم فيهم خيرًا
“maka adakanlah mukatabah dengan mereka (budak-budak)
jika kamu ketahui adanya kebaikan dalam diri mereka”
c.
Irsyad/bimbingan
اذاتداينتم بدين الل
“jika kamu saling berhutang dengan
suatu hutang hingga waktu waktu tertentu, maka hendaklah kamu menulisnya”
d.
Ibadah/pembolehan
“maka
berburulah”
e.
Tahdid/ancaman
“lakukanlah sekehendak hatimu”[22]
Berikut
ini hakikat dari amar antara lain:
1)
Amar adalah ucapan atau lafadh yang berbentuk suruhan/perintah, seperti
contoh ayat-ayat di atas
2)
Lafadh atau ucapan datang dari pihak yang lebih tinggi
3)
Ada perbuatan yang dituntut, seperti perintah melaksanakan shalat dan
menunaikan zakat
4)
Ada pihak yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah, yaitu hamba Allah
Swt. yang beriman.[23]
Terdapat beberapa jenis ungkapan amar dalam nash, antara
lain:
a.
Fi’il
amri (kata kerja perintah)
Contoh:
فَاَقِيۡمُوا
الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ
b.
Fi’il
mudhari’ yang didahului lam al-amri
Contoh:
وَلۡيَكۡتُب
بَّيۡنَكُمۡ كَاتِبٌۢ بِالۡعَدۡلِ
“Seorang penulis yang adil di
antaramu hendaknya menuliskannya”
(Qs. Al-Baqarah: 282)[25]
c.
Masdar yang diposisikan sebagai fi’il amar
فَاِذَا لَقِيۡتُمُ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡا فَضَرۡبَ
الرِّقَابِ
“Maka, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang kafir (di medan perang), peggallah batang leher mereka” (Qs. Muhammad: 4)
d.
Isim fi’il amar
وَرَاوَدَتۡهُ الَّتِىۡ هُوَ فِىۡ بَيۡتِهَا عَنۡ
نَّـفۡسِهٖ وَغَلَّقَتِ الۡاَبۡوَابَ وَقَالَتۡ هَيۡتَ لَـكَ
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda
Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya
berkata: "Marilah ke sini."ؕ (Qs. Yusuf: 23)
e.
Kalimat berita yang berarti perintah
وَالۡمُطَلَّقٰتُ يَتَرَ بَّصۡنَ بِاَنۡفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ
قُرُوۡٓءٍ
“Dan perempuan-perempuan
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
(Qs. Al-Baqarah: 228)[26]
2.
Nahyu
Nahyu atau nahi dapat diartikan sebagai
larangan, dalam ushul fikih kata nahyu didefinisikan sebagai berikut:
طلب الترك من الأعلى
الى الأدنى
“Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan”[27]
Dalam pengertian lain, nahi diartikan
sebagai larangan/tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan atau hal-hal yang
berkonotasi negatif.
Dalam penggunaan kata nahi dalam nash
alquran atau hadis terdapat beberapa maksud, antara lain:
a. Untuk menunjukkan hukum haram
Contoh:
ۗ
بِالْحَقِّ إِلَّا اللَّهُ حَرَّمَ الَّتِي النَّفْسَ تَقْتُلُوا وَلَا
“Janganlah
kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)”
(Qs. Al Isra’: 33)
b. Untuk menunjukkan hukum makruh
Contoh:
hadis yang melarang memegang kemaluan saat buang air kecil.
“Diantara
kamu sekaian jangan memegang kemaluannya dengan tangan kanan ketika buang air
kecil.”
c. Untuk mendidik
Contoh:
تَسُؤْكُمْ
لَكُمْ تُبْدَ إِنْ أَشْيَاءَ عَنْ تَسْأَلُوا لَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai orang-orang yang beriman, Janganlah
kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan
kamu.” (Qs. Al Maidah: 101)
d.
Untuk
doa
Contoh:
ۚ رَحْمَةً لَدُنْكَ مِنْ لَنَا وَهَبْ هَدَيْتَنَا
إِذْ بَعْدَ بَنَا قُلُو تُزِغْ لَا رَبَّنَا
“Ya… Tuhan kami janganlah engkau jadikan hati kami
condong kepada kesesatan setelah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan
karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi engkau.”(Qs. Ali Imran: 8)
e. Untuk merendahkan
Contoh:
لِلْمُؤْمِنِينَ
جَنَاحَكَ وَاخْفِضْ عَلَيْهِمْ تَحْزَنْ وَلَا مِنْهُمْ
أَزْوَاجًا بِهِ مَتَّعْنَا مَا إِلَىٰ عَيْنَيْكَ تَمُدَّنَّ لَا
“Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu
kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di
antara mereka (orang-orang kafir) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap
mereka dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman” (Qs. Al Hijr: 88)
f.
Untuk
penjelasan akibat
Contoh:
ۚ
الظَّالِمُونَ يَعْمَلُ عَمَّا غَافِلًا اللَّهَ تَحْسَبَنَّ وَلَا
“Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira bahwa
Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim” (Qs. Ibrahim: 42)
g.
Untuk
keputusasaan
Contoh:
ۖ
تَعْمَلُونَ كُنْتُمْ
مَا تُجْزَوْنَ إِنَّمَا الْيَوْمَ تَعْتَذِرُوا لَا كَفَرُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“Hai
orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang
kamu kerjakan.”
(Qs. At Tahrim: 7)[28]
Ta’arud adalah pertentangan antara dua dalil. Satu dalil dari dua dalil menghendaki
hukum yang berbeda dengan hukum yang dikehendaki dari dalil lain. Jadi dalam
dalam proses ijtihad bisa saja ta’arud ini terjadi baik dalil-dalil yang qath’i
maupun dalil yang zhanni. Sedangkan Tarjih adalah salah satu dalil yang zhanni
dikuatkan dengan yang lainnya untuk diterapkan berdasarkan dalil tersebut. Maka
dari pengertian ini dapat diketahui bahwa Tarjih adalah bagian dari Ta'arud.
Dalam kaidah kebahasaan dikenal istilah “amar”, yaitu lafadh yang berarti
perintah atau menyuruh kepada hal-hal yang berkonotasi positif. Nahyu atau nahi
dapat diartikan sebagai larangan,
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi. 2011. Perbandingan Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah.
Biek, Syekh Muhammad Al Khudhari. Terjemah Ushul Fiqih.
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul
FiqiH. Jakarta: Kencana Prenadamedia
Group.
Effendi, Satria dan M. Zein. 2015. Ushul Fiqh. Jakarta:
Prenadamedia.
Faisol, Al Hakam.2015.
Modul Fiqh Wa Ushuluhu Kelas XII
Jurusan Keagamaan. Jombang: MAN Denanyar.
Haroen,Nasrun. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Khallaf,Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta : Pustaka
Amani.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garis
Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddun, Amir. 2014. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Catatan:
- Similarity 9%.
- Pendahuluan diperbaiki
- Di kelas, tolong dijelaskan pelan-pelan.
[1]Muhammad
Wafa, Metode Tarjih, (Bangil: Al-Izzah, 2001), 11.
[2]Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Prenadamedia, 2015), 238.
[4]Muhammad
Wafa, Metode Tarjih..., 68-72.
[5]Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 239.
[7]Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta :
Pustaka Amani, 2003), 341
[8]Muhammad
Wafa, Metode Tarjih..., 83-84
[9]Muhammad
Wafa, Metode Tarjih..., 90-91
[12]Muhammad
Wafa, Metode Tarjih..., 179
[13]Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 241.
[15]Satria
Effendi dan M. Zein, Ushul Fiqh..., 242.
[16]Abdul Wahhab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih..., 341
[24] Asmawi. Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011. 221.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar