MANTUQ DAN MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN
Siti khotimah (15110018)
Nuzulul furqon (15110019)
Mustika sari (15110074)
Mahasiswa PAI A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail:
brook26mf@gmail.com
Abstract
This article aims mantuq and mafhum, mujmal and mubayyan. Mantuq here means explicit meaning and mafhum that is the meaning implicitly, while mujmal means a vague or global word has not known the meaning then mubayyan is the explanation of mujmal. In terms of the four languages of this subject are within the scope of the rules of ushuliyah where every case there must be hidden intentions in it that not many people know that.So it can be seen that in the making of Islamic laws not all directly refer to the core of the problem, this is to stimulate the mind to always think about the sciences of Allah and man as his creatures can only try to clear the mind and strengthen the faith.
Keywords: mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan
Abstrak
Artikel ini mengangkat tema mantuq dan mafhum, mujmal dan mubayyan.
Mantuq disini berarti makna secara tersurat dan mafhum yakni makna secara
tersirat, sedangkan mujmal berarti kata yang samar atau global belum diketahui
maksudnya kemudian mubayyan adalah
penjelas dari mujmal. Dari segi bahasa keempat pokok bahasan ini berada
di lingkup wilayah kaidah-kaidah ushuliyah yang mana setiap perkara pasti ada
maksud-maksud tersembunyi di dalamnya yang tidak banyak orang mengetahuinya.
Jadi bisa diketahui bahwasannya dalam pengambilan hukum-hukum islam tidak
semuanya langsung merujuk kearah inti masalah, hal ini untuk merangsang pikiran
agar senantiasa berfikir tentang ilmu-ilmu Alloh dan manusia sebagai makhluknya
hanya bisa berusaha untuk menjernihkan pikiran dan mempertebal keimanan.
Kata kunci : mantuq, mafhum, mujmal, mubayyan
A.
PENDAHULUAN
Ushul fiqih adalah ilmu yang mempelajari tentang proses penetapan
hukum yang di dasarkan pada alqur’an dan hadits Nabi. juga mempelajari tentang
dasar-dasar dan jalan yang harus ditempuh dalam usaha melakukan istimbath hukum
dalil-dalil syara’. Secara umum juga mempelajari tentang peraturan dan
pembahasan yang dengan itu digunakan sebagai landasan hukum yang bersangkutan
dengan amal perbuatan. Dalam artian lain ushul fikih juga di artikan sebagai
pembahasan yang menunjukkan artian secara garis besar (global) yang masih
membutuhkan penjelasan dari keterangan lain agar dapat di pahami secara rinci.
Dalam hal ini penulis akan menerangkan mengenai mantuq, yakni suatu
lafadz atau kata yang mengandung arti secara tersurat langsung merujuk kepada
intinya. Kemudian mafhum, yakni kandungan yang berada di dalam mantuq yang
mengartikan makna tersirat. Mujmal, yakni suatu lafadz atau kata yang
mengindikasikan artian secara umum dan luas sehingga tidak jelas artinya atau
samar-samar. Dan mubayyan, yakni kata atau lafadz penjelas dari mujmal yang
mana dengan bayan ini bisa mengerucutkan arti yang sebenarnya di maksud di
dalam mujmal.
Untuk lebih detailnya lagi maka ada pembagian-pembagian dari
masing-masing bahasan yang mana dalam hal ini di dasarkan pada masalah-masalah
yang terjadi di dunia seiring berjalannya waktu. Mantuq sendiri di bagi menjadi
dua, yakni shorih dan ghoiru shorih, mafhum juga di bagi menjadi dua, yakni
muafaqoh dan mukholafah, mujmal di bagin menjadi dua, yakni mufrod dan
murokkab, dan kemudian mubayyan di bagi menjadi lima, yakni bayan dengan
perkataan, perbuatan, tulisan, isyarat, dan perbuatan meninggalkan.
B.
MANTHUQ
1.
Pengertian
Secara etimologi manthuq berasal bahasa Arab (نطق- ينطق) yang artinya berbicara, منطوق
(isim maf’ul) berarti yang dibicarakan.
Ahli Ushul Fiqh
mendifinisikan bahwa Manthuq adalah “Pengambilan suatu Hukum dari
penunjukan lafad berdasarkan apa yang tersurat atau yang telah
disebutkan dalam lafad “
Definisi ini mengandung arti bahwa apabila kita ingin mengetahui
suatu hukum dan telah menemukan dalilnya cara penunjukan atau pengambilan hukum
dalam dalil tersebut dengan apa adanya atau sama dan sesuai yang tertera dalam
lafad (tersurat) hal inilah yang
dinamakan manthuq.
contoh Q.S An-nisa’ ayat : 23
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ
وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ
بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ
أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang
perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam ayat
tersebut salah satu hukum yang dapat di ketahui bahwa haram hukumnya menikahi anak tiri dengan dua ketentuan,
yaitu anak tiri itu dibawah asuhan suami dan ibu darn ibu anak tiri itu telah
digauli . hukum ini yang sudah tersurat dalam surat An nisa’ ayat 23
2.
Pembagian
Manthuq.
Manthuq dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a.
Manthuq
Sharih.
Merupakan manthuq
yang pengambilannya terhadap suatu hukum tersebut muncul dari istilah
secara keseluruhan dan sering digunakan. Dalam contoh diatas رَبَائِبُ dengan arti anak
tiri. Manthuq sharih menurut kalangan
ulama Hanafiyah disebut ibarat Nash.
b.
Manthuq
Ghoiru Sharih.
Merupakan
Manthuq yang pengambilan hukum dari
lafad yang tidak muncul dari istilah yang resmi di gunakan tetapi dari maakna
atau sifat yang harus ada paa lafad tersebut .
seperti penunjukan angka 4 dengan
bilangan genap . Bilangan genap itu bukan istilah resmi uang angka 4, melainkan
suatu sifat yang harus ada padanya.[1]
Pembagian
Manthuq dalam buku Fiqih dan Ushul Fiqih
Karya Nazar Bakry adalah sebagai berikut:
a.
Nash,
adalah suatu hukum yang pengambilan
bukum nya dari lafad yang telah di sebutkan terang terangan dan tidak memerlukan penta’wilan kembali.
Seperti firman Allah SWT.
فَلْيَصُوْمُ
ثَلاَ ثَةَ اَيَّامٍ
“ Maka hendaklah puasa tiga hari “
b.
Zhahir, adalah suatu arti lafad yang menunjukan
maknanya bukalah arti pada umumnya. Seperti firman Allah SWT.
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ
“ dan kekal wajah Tuhan engkau”
Wajah dalam ayat
tersebut bukan bearti wajah pada umumnya melainkan di artikan sebagai zat
Allah, karena mustahil bagi Allah SWT memiliki wajah.[2]
C. MAFHUM.
1.
Pengertian
Al- Mafhum
menurut ulama ushul fiqh adalah Penunjukan lafad dari berlakunya suatu hukum yang disebut yang mana
lafad tidak di bicarakan terhadap apa
yang tidak disebutkan atau tidak berlakunya hukum itu.[3]
Maksudnya mafhum adalah suatu lafadz yang mana kandungan dari hukumnya
dapat di pahami dari balik arti
manthuqnya. Dapat disebut juga mafhum adalah makna
tersirat.[4]
2.
Pembagian
Mafhum
a.
Mafhum
Muwafaqah
Merupakan mafhum yang apabilah hukum
yang di mengerti dalam lafad tersebut beriringan dengan hukum yang secara nyata di sebutkan.
Mafhum Muwafaqah di bagi menjadi dua
yaitu:
1.
Mafhum
awlawi atau Fahwa al-Khitab yaitu bila hukum yang berlaku pada lafad tersirat
tersebut lebih kuat dari pada yang disebutkan. Misalnya dalam Q.S Al-Isro’ ayat
23
۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا
إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ
أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
Dan Tuhanmu
telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan
"ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia.
Hukum yang disebutkan dalam ayat ini
adalah larangan dalam ayat ini adalah mengucapkan kata kasar kepada orangtua;
kemudian hukum yang tidak disebutkan adalah larangan memukul yang kedudukan adalah
lebih kuat.
2.
Mafhum musawi atau lahnun khittab.adalah
apabila hukum yang tersirat dalam lafad dengan hukum yang disebutkan lafad sama
sama kuat.
Seperti Firman Allah SWT:
misalkan dalam surat An-nisa’ ayat:
10
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).”
Hukum yang disebutkan dalam ayat ini
adalah haramnya memakan harta anak yatim, sedangkan hukum yang tidak diebutkan
adalah membakar harta anak yatim yang kedudukan nya sama.[5]
b.
Mafhum mukhalafah
adalah pengertian yang di pahami berbeda dengan yang tersurat dalam lafad baik
dalam istinbat (menetapkan) maupun Nafi
( meniadakan). Oleh karena itu hukum yang di pahami selalu berkebalikan dengan
lafad yang di sebutkan.
seperti firman Allah SWT: Q.S Jum’at
ayat 9.
Dapat dipahami dari ayat diatas
bahwasannya di perbolehkan melakukan jual beli pada hari jum’at tetapi sebelum
adzan dan pada waktu setelah sholat ju’mat.
Mafhum Mukhalafah terbagi menjadi
lima:
1.
Mafhum
dengan sifat.
Adalah pengambilan suatu hukum dengan menghubungkan salah satu sifatnya .
Contohnya, hadis Nabi SAW” Pada binatang yang digembalakan di rerumputan bebas,
maka ada zakatnya” jadi mafhum
mukhalafahnya adalah binatang yang di kandung (diberi makan dengan mengeluarkan
biaya) tidak diwajibkan zakat sesuai dengan yang diterangkan dalam hadis Nabi SAW:
Artinya: “Zakat kambing yang di gembalakan
apabila ada 40 sampai 120 kambing maka
zakat nya satu kambing ( H.R Bukhari dan Nasa’i).
2.
Mafhum
dengan ghayah.
Merupakan suatu
lafad yang menunjukkan hukum sampai batasan atau hinggaan, lafad ini
bisanya di paparkan dengan lafad “ilaa” dan dengan “hatta
Seperti firman Allah
Contohnya “makan dan minumlah hingga
jelas bagimu benang putih dan benang hitam”. Mafhum Mmukhalafahnya adalah
apabila sudah terang benang putih dari benang hitam (fajar) maka berhentilah
makan dan minum yang artinya berpuasa,
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S Al-
Baqoroh :187
Artinya:…Makan dan minumlah hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
3.
Mafhum
dengan syarat
Contohnya “jika
mereka ( istri - istri yang telah di talak ) itu sudah hamil, maka berikanlah
pada mereka nafkahnya (Q.S At-Talak:6). Jadi Mafhum mukhalafahnya adalah
apabila seorang istri yang sudah di jatuhi talak tersebut belum hamil maka
tidak di haruskan memberi nafkah.
4.
Mafhum
dengan bilangan.
Contohnya firman Allah SWT. “Maka derahlah mereka yang menuduh itu
delapan pulu kali dera.” Mafhum mukhalafahnya adalah hukuman dera bagi orang
menuduh itu tidak di perbolehkan dihukum dera lebih dari delapan pulu dera atau
pun kurang dari delapan pulu kali dera. Sebagaiman firman Allah Q.S A-Nur:4)
Artinya: Orang - orang yang menuduh wanita - wanita yang baik - baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu ) delapan
pulu kali dera, dan jangan lah kamu terimah kesaksian mereka buat selama - lama
nya. Dan mereka itulah orang orang yang fasik.
5.
Mafhum
dengan gelar (Laqob)
Merupakan mafhum yang lafad yang disebutkan tersebut kan
menunjukkan kedudukan dari isim fa’il
tersebut.
contoh: Muhammad adalah utusan Allah Mafhum Mukhalafahnya adalah
selain Muhammad [6]
D. MUJMAL
1.
Pengertian
·
Menurut
Bahasa Al-Mujmal = kabur, tidak jelas, atau samar.
·
Menurut
Istilah ushul fiqh =
ما يفثقرإلى
البيان
“Lafadz yang memerlukan bayan”
·
Paham
hanafiyah berpendapat bahwa mujmal adalah kalimat atau lafal yang maknanya
masih global yang dimana maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui jika hanya
melalui istilah itu sendiri kecuali ada penjelasan dari pembuat syariat yakni Alloh
SWT dan Rasulullah SAW.
·
Menurut
paham syafiiyah Abu Ishaq Al Syirazi mengatakan bahwa mujmal merupakan istilah
yang sulit di mengerti dan belum jelas maknanya sehingga membutuhkan penjelasan
dari luar (al bayan) atau ada penjelasan tersendiri dari pembuat mujmal (syar’i).[7]
·
Menurut Syekh Abdul Wahhab Khallaf
Mujmal adalah suatu lafadz dimana
shighotnya masih belum mampu untuk menunjukkan apa yang terkandung dalam lafadz
tersebut, serta tidak ada qorinah lafadz atau keadaan yang dapat
menjelaskannya.[8]
·
Menurut Syekh Wahbah Az-zuhaili
Mujmal adalah lafadz yang samar yang tidak
dapat diketahui kecuali dengan penjelasan dari pembicara sendiri. Tidak dapat
diketahui dengan akal karena hanya bisa diketahui dengan dalil naqly dari
pembicara itu sendiri. Maksudnya lafadz itu tidak dapat diketahui kecuali
adanya penjelasan dari yang memujmalkan/al mujmil.[9]
Jadi dapat disimpulkan bahwa mujmal adalah
lafadz yang masih abstrak/belum jelas yang mana keabstrakan tersebut dapat di
hapus oleh yang jelas yakni bayan.[10]
2.
Sebab
– sebab mujmal .
Suatu lafadz
dapat dikatakan mujmal apabila terdapat atau dalam
keadaan sebagai berikut :
a.
LafadzMusytarak yaitu 1 lafadz yang mempunyai 2 arti atau lebih.
b.
Apabila
lafadz tersebut di tafsirkan secara berbeda dari makna aslinya dengan makna
syariatnya.
Contoh: Sholat menurut bahasa adalah berdo’a kemudikan diartikan
dengan syara’ menjadi suatu perbuatan yang dimulai dari takbir dan di akhiri
dengan salam.[12]
c.
Kata
yang dianggap asing / tidak diketahui maknanya.
Contoh: lafadz القالرعة
dalam Q.S Al-Qori’ah dan الحاقة dalam Q.S Al-Haqqoh yang mana kata ini tidak
dapat diketahui maknanya selain Allah sendiri yang menjelaskannya, sehingga
Allah menjelaskan kata ini dalam ayat selanjutnya yang mana kata ini memiliki
makna kiamat.
3.
Hukum
al mujmal
Jumhur ulama mengatakan :
حكم المجمل التو
قف فيه إلى أن يبين
“hukum mujmal adalah tawaquf
(ditunda, ditangguhkan) sampai ada atau terdapat bayan (penjelasan)”
Maksudnya
adalah jika terdapat suatu dalil yang bersifat mujmal maka kita boleh tidak
mengamalkannya jika saat itu masih belum ada penjelasan dari dalil tersebut.
Tetapi jika telah ada atau ditemukan penjelasan dari dalil tersebut maka kita
wajib mengamalkan dalil tersebut.
Tetapi dalam
hal ini Daud Adzahiri tidak sependapat dengan jumhur ulama. Menurut beliau,
boleh mengamalkan dalil yang mujmal meskipun tidak terdapat bayan. Beliau
beralasan bahwasannya sebelum Nabi wafat islam tela disempurnakan maka tidak
mungkin terdapat dalil yang mujmal setelah Nabi wafat. Dasarnya yakni firman
Alloh dalam QS. Al Maidah ayat 4 yang artinya:
“hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu....”
4.
Macam-macam
Al-Mujmal[13]
1.
Lafal mufrod, artinya suatu kalimat yang terbentuk dari susunan
lafal. Jika di lihat dari segi jenis maka lafal mufrod di bagi menjadi tiga ;
a.
Isim (kata benda). Misalnya nama orang, nama tempat, nama-nama
benda hidup dan mati.
b.
Fiil (kata kerja). Misalnya ... ضرب, فعل
c.
Huruf, suatu kalimat yang tidak berarti tanpa adanya sambungan
kalimat lainnya. Misalnyaوberarti “dan” kedudukannya juga menjadi athaf atau penyambung antar
kata.
2.
Lafal murakkab, artinya
lafadz yang tersusun dari dua kalimat atau lebih dengan susunan
isnadnya.
E. MUBAYYAN
1.
Pengertian
·
Menurut
bahasa = yang menjelaskan[14].
·
Menurut
istilah = mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil (kabur) kepada bentuk
yang terang[15].
2.
Macam-macam
bayan
1.
Bayan
dengan perkataan[16]
Contoh
: firman Allah
واتواالزكاة
“dan tunaikanlah zakat.....”
Dijelaskan
dengan perkataan Rasulullah
فيما سقت السماء العشر
“bagi yang disiram air hujan, zakatnya yaitu
seper sepuluh”
2.
Bayan
dengan perbuatan[17]
Contoh
: penjelasan tentang tata cara sholat yang langsung di praktekkan oleh Nabi
sebagaimana dalam hadits
“sholatlah engkau sebagaimana engkau melihat
aku melakukan sholat” (Al-Hadits)
3.
Bayan
dengan tulisn atau surat
Contoh
: Rasulullah pernah mengirim surat ke daerah-daerah islam pada saat itu yang
mana isi surat tersebut yakni penjelasan mengenai ukuran zakat dan diyat
anggota badan
4.
Bayan
dengan isyarat
Contoh
: penjelasan Nabi tentang jumlah hari pada bulan ramadhan
الشهر هكذا, وهكذا, وهكذا
“satu bulan itu sekian dan sekian dan sekian”
Penjelasan
: pada saat Nabi menyebutkan kata sekian yang pertama dan yang kedua
Nabi mengangkat sepuluh jarinya sedangkan pada saat Nabi mengatakan sekian yang
ketiga Nabi melipat satu ibu jarinya. Jadi hal tersebut menjelaskan bahwa
jumlah hari dalam bulan romadlon sebanyak 29 hari.
5.
Bayan
dengan meninggalkan
Contoh
:
“adalah akhir dua perkara dari Nabi SAW
(adalah) tidak mengambil wudlu (lagi) setelah makan sesuatu yang di bakar” (Hadits
Ibnu Hibban)
Dari
hadits tersebut dapat kita ketahui bahwa pada awalnya setiap Nabi usai memakan
sesuatu yang di bakar maka Nabi selalu berwudlu kemudian Nabi meninggalkan
perbuatan tersebut. Maka dalam hal ini ulama sepakat bahwa itu merupakan bayan.
3.
Hukum
menangguhkan bayan
Dilihat dari segi konteksnya misalnya jika ada orang yang bertanya
mengenai hal yang mendesak dan orang itu sangat membutuhkan jawaban atas
pertanyaan itu dalam waktu itu juga, maka hukum dari menjawab pertanyaan
tersebut adalah tidak boleh melakukan penangguhan. Hal ini di dasarkan pada
ketentuan ulama, “Menangguhkan penjelasan dari waktu yang diperlukan adalah
tidak boleh”
Maksudnya adalah jika ada seseorang yang bertanya hal demikian
kemudian tidak terjawab atau diam maka berarti juga membenarkan orang tersebut
melakukan ijtihad sendiri dengan pemikirannya tidak sesuai kehendak agama.
Dalam konteks lain misalnya perintah sholat, Rosululloh hanya
menyampaikan melalui Al-Qur’an surat al baqoroh ayat 11 tentang perintah
mendirikan sholat tetapi tidak langsung menjelaskan bagaimana tata caranya,
kemudian Rosululloh mencontohkan langsung melalui perbuatan pada saat waktu
sholat tiba. Hal ini menunjukkan bahwa diperbolehkannya penundaan penjelasan
dalam konteks tertentu.[18]
F.
PENUTUP
Dari beberapa penjelasan diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa
kaidah-kaidah ushuliyah dari segi lughawinya terdapat beberapa pembahasan
diantaranya yakni manthuq, mafhum, mujmal, dan mubayyan. Manthuq yakni
pengambilan hukum dari lafadz secara tersurat, sedangkan mafhum yakni pengambilan
hukum dari lafadz yang memiliki makna tersirat. Mujmal yakni suatu lafadz yang
masih global dimana untuk memahaminya masih membutuhkan penjelasan, sedangkan
mubayyan yakni lafadz yang menjelaskan mujmal.
G.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis – garis besar Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Bakry, Nazar. 1993. Fiqh dan Ushul Fiqih. Jakarta: CV Rajawali Pers.
Shdiq,Sapiudin. 2011. Ushul Fiqih.
Jakarta: Kencana
Farid Naya, “Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam kajian ushul fiqih”.
Vol. 9 No. 2, 2013, 189
Wahhab Khallaf, Abdul. 1996. Kaidah-kaidah hukum islam (ilmu
ushulul fiqh). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Az-Zuhaili,
Wahbah. Ushulul Fiqhil Islami.
Muthahhari, Murtadha dan M. Baqir Ash-Shadr. 1993. Pengantar
ushul fikih & ushul fikih perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Ruslani dan Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk
Madrasah Aliyah Program Keagamaan).
Thurobah, Fahim. 2016. Hilmatut tasyri’ wa hikmatu syar’i.
Malang: CV. Dream Litera Buana
Djalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Catatan:
1.
Similarity 6%.
2.
Abstrak diperbaiki
3.
Footnote diperbaiki, harus lebih teliti lagi
4.
Perujukan dalam makalah ini cukup minim.
5.
Pembahasan mengenai mantuq masih kurang
6.
Mengenai mafhum mukhalafah, harusnya dijelaskan apa mafhum mukhalafahnya.
[1]Amir Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada Media
Group,2012),hlm.121-122.
[3]Amir
Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2012),hlm.123
[5]Amir
Syarifuddin,Garis – garis besar Ushul Fiqh,(Jakarta: Kencana Prenada
Media Group,2012), hlm.123-125
[7]Farid Naya, “Al-Mujmal
dan Al-Mubayyan dalam kajian ushul fiqih”. Vol. 9 No. 2, 2013, 189
[8]Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-kaidah hukum islam (ilmu ushulul fiqh), (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 284
[9]Syekh Wahbah
Az-Zuhaili,Ushulul Fiqhil Islami, hlm. 340
[10]Murtadha
Muthahhari dan M. Baqir Ash-Shadr, Pengantar ushul fikih & ushul fikih
perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 161
[11]Ruslani dan
Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk Madrasah Aliyah Program
Keagamaan), hlm. 54
[12]Fahim Thurobah,Hilmatut tasyri’ wa hikmatu syar’i
(Malang:
CV. Dream Litera Buana,2016) hlm.205.
[13]Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm.
109-110
[14]Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 108
[15]Abdul Hamid
Hakim, Mabadi’ul Awwaliyah, hlm. 18
[16]Ruslani dan
Moh. Anwar Zaenori, Fikih-Ushul Fikih (untuk Madrasah Aliyah Program
Keagamaan), hlm.54-55
[17]Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 113
[18]Basiq Djalil, Ilmu
Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar