MANTUQ, MAFHUM, MUJMAL DAN MUBAYYAN
Anis Kartika Nurjannah (15110104)
Moh.Rizal Prasetya M (15110160)
Siti Rohmah (15110187)
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
e-mail : rahmahs110497@gmail.com
Abstract
This article describes the mantuq, mafhum, and
mujmal, mubayyan in the study of ushul fiqih, all of these approaches are based
on Al-Qur'an and Hadits as the target of all teachings of Islam there is no
exception to application in ushul fiqih. In application the mantuq and mafhum describe
the explicit sentences (mantuq) and implied sentences (mafhum) based on lafadz
in the nash, while mujmal and mubbayan themselves explain about lafadz in the
nash that are still unclear (mujmal) and explain the clear lafadz (mubayyan ).
All of these has a purpose to explain
the meaning and explanation that exist in the nash.
Keywords
: Mantuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
Abstract
artikel ini menjelaskan tentang mantuq,
mafhum,dan mujmal, mubayyan dalam kajian ushul fiqih, semua pendekatan ini
berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasaran dari semua ajaran agama
Islam tak terkecuali pada penerapannya di ushul fiqih. Dalam penerapannya
mantuq dan mafhum menjelaskan tentang kalimat yang tersurat (mantuq) dan
kalimat tersirat (mafhum) sesuai dengan lafadz dalam nash, sedangkan mujmal dan
mubbayan sendiri menjelaskan tentang lafadz dalam nash yang masih belum jelas
(mujmal) dan menjelaskan lafadz yang sudah jelas (mubayyan). Semua kaidah tadi
bertujuan untuk menjelaskan makna dan keterangan yang ada pada nash.
Kata Kunci : Mantuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
A. Pendahuluan
Al-Qur’an dan Hadits adalah pedoman seluruh
umat muslim, disetiap tindakan atau perilaku yang dilakukan oleh seorang muslim
harus sesuai dengan tuntunan yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits.
Namun dalam memahami kandungan dalam
Al-Qur’an dan Hadits, membutuhkan suatu ilmu yang dapat menjelaskan maksud-maksud yang terkandung di Al-Qur’an dan Hadits dan salah
satu ilmu yang membahasilmu-ilmu tersebut adalah ilmu Ushul Fiqih.
Pembahasan yang dibahas dalam Ushul Fiqih
lahyang dapat memantu kita untuk memahami dan menjelaskan suatu maksud yang ada
dalam Al-Qur’an maupun Hadits. Namun biasanya didalamIlmuUshul Fiqih terdapat pembahasan mantuq mafhum dan mujmal
mubayyan. Pembahasan ilmu tersebut ini sangatlah penting, karena untuk
mendapatkan suatu pemahaman yang jelas tanpa menimbulkan pertanyaan-pertanyaan
yang lain di perlukan pengetahuan yang luas mengenai suatu makna perkataaan
yang akan di teliti. Dengan kita mengetahui mantuq mafhum dan mujmal
mubayyan ini diharapkan kita akan
dapat mengklasifikasikan yang mana perkataan yang masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut kata-kata atau lafadz yang ada dalam Al-Qur’an dan
Hadits karena masih memiliki sifat umum dan kurang terperinci, dan juga dapat
mengetahui mana saja kata-kkata atau lafaz yang sudah jelas sehingga maksudnya
dapat di uraikan dengan jelas dan dapat dipahami secara menyeluruh.
Lafadz kata berdasarkan maknanya dibagi menjadi dua yaitu: MantuqdanMafhum.
A. MANTUQ
Mantuq berasal
dari kata “nataqa”yang artinya berucap,
berkata, bercakap[1].
Dalam ushul fiqh[2]
mantuq adalah
"ماَدَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ فِى مَحَلِّ النُّطْق"
Adalah lafad yang menunjukan kepada sesuatu dalam
konteks ucapan, atau lafadz yang menunjukan kepada hukum sesuatu yang
disebutkan dan yang diucapkan.Contohnya
"ﱼﱽﱾﱿ"
Secara teksnya menunjukan “larangan” membantah.
Pembagian Mantuq[3]
Mantuq terbagi
menjadi dua yaitu An-Nash dan Dzahir
1. An-Nash adalah sesuatu yang tidak membutuhkan takwil atau
penafsiran, contohnya “فصيام ثلاثة
أيّام”.
2. Ad-Dzahir adalah sesuatu yang membutuhkan penafsiran, contohnya
"ﲭﲮﲯﲰﲱﲲ"
Lafadz “aidi”
secara dzahir adalah jamak dari “yad” (tangan) yang merupakan anggota tubuh
yang kita kenal. Oleh karena itu, ketika lafadz “aidi” disandarkan ke dzat
Allah maka diartikan sebagai “kekuatan”.
B. MAFHUM
Mafhum secara
bahasa berasal dari kata “fahima”yang
artinya mengerti[4]. Dalam ushul fiqh[5]
mafhum adalah
"ماَدَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لافِى مَحَلِّ النُّطْق"
Secara definisi
adalah lafadz yang menunjukan arti dibalik suatu ungkapan (ucapan). Contohnya
adalah
"ﱼﱽﱾﱿ"
Ayat ini
menunjukan secara mafhumnya pengharaman atau haramnya memukul kedua orang tua.Tidak
boleh mengucapkan “ah” dalam ayat tersebut dinamakan mantuq, yaitu sesuai
dengan lafaz ayat atau teks ayat, adapun tentang tidak bolehnya memukul ibu
bapak adalah hasil pemahaman dari para ulama tentang larangan mengucapkan “ah”
di ayat tersebut, yang demikian dinamakan mafhum.
Pembagian Mafhum[6]
Mafhum terbagi menjadi
dua, yaitu: Mahfum Muafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
1. Mafhum Muwafaqah[7]
Mafhum Muwafaqah
adalah lafadz yang menunjukan ketetapan hukum mantuq yang sesuai (arti yang
tersirat) dengan hukum tersebut (mantuq). Baik untuk menafikan dan menetapkan.
Keterikatannya dalam arti tersebut diketahui dari lafadz atau dari segi bahasa
bukan dari ijtihad.Arti yang tersirat lebih utama dalam hukum daripada mantuq
hal ini disebut(Fahwa Al-Khitab).
Adapun arti
tersirat sama pentingnya dengan mantuq di dalam hukum disebut (Lahnu
Al-Khitab).
Contoh Fahwa
Al-Khitab adalah:
"ﱼﱽﱾﱿ"
Dari ayat ini
diketahui bahwa larangan berkata “ah” kepada orang tua (mantuq) dan haramnya
memukul orang tua (mafhum),keterikatan nya dalam dua hal tersebut adalah
sama-sama saling menykiti. Akan tetapi, memukul pengharamannya lebih utama atau
kuat daripada berkata “ah”.
Contoh dari Lahnu Al-Khitab adalah:
"ﱓﱔﱕﱖﱗﱘﱙﱚﱛﱜﱣﱤ"
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta
anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya(An-Nisa
10).
Dari ayat ini
diketahui bahwa haramnya memakan atau mengambil harta anak yatim (mantuq) dan
haramnya menghina serta mengejek (mafhum). Maka, menghina serta mengejek anak
yatim hukumnya adalah sama-sama haram karena dua-duanya mengandung unsur
kejelekan.
2.
Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah
adalah lafadz yang menunjukan ketetapan suatu hukum yang bertolak belakang dari
“mantuq” atau lawan kata dari sebuah mantuq pada suatu hukum. Contohnya
"ﱼﱽﱾﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲅﲆ"
Penjelasannya
adalah bahwa kita diharamkan atau dilarang berkata “ah” ataupun membantah
terhadap orang tua, akan tetapi dibalik itu semua diwajibkan (mukhalafah) untuk berkata lembut atau sopan kepada
orang tua.
"فىِ ساَعِمَةِ اْلغَنَمِ زَكاَةٌ. (رواه ابو داود)"
“Ternak
yang dipelihara wajib dikeluarkan zakatnya” (HR.Abu Daud).
Mafhum
mukhalafah hadits tersebut adalah menunjukkan bahwa ternak yang dipelihara
tidak wajib zakat.
Berikut ini
beberapa macam-macam mafhum mukhalafah, menurut golongan yang menerima mafhum
mukhalafah sebagai hujah[8]:
1. Mafhum Sifat
Yaitu hubungan
hukum terhadap salah satu sifat dari beberapa sifat sesuatu. Contoh firman
Allah yang berbunyi:
"ﱍﱎﱏ"
….maka
hendaklah engkau memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman… (QS.An-Nisa
ayat: 92).
Bagi golongan
yang menerima mafhum mukhalafah berarti dilarang memerdekakan selain hamba
mukmin, dengan jalan mafhum mukhalafa. Sedangkan bagi golongan yang menolak
mafhum mukhalafah tidak bolehnya selain mukmin, bukan karena mafhum mukhalafah
tetapi karena tidak termasuk yang diperintahkan oleh Allah.
2. Mafhum Illat
Yakni hubungan dengan
illat (sebab hukum). Contoh firman Allah yang berbunyi:
"ﰞﰟﰠﰡﰢﰣﰤﰥﰦﰧﰨﰩﰪﰫﰬﰭ"
“…sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan. (QS.Al-Maidah ayat: 90)”.
Perintah
menjauhi pada surat Al-Maidah ayat 90 tersebut, adalah salah satu larangan
haram, illat haramnya khamer di atas adalah “sifat memabukkannya” menurut
sebagian ulama, jadi mafhum mukhalafah-nya “tidak haram bila tidak sampai
mabuk”. Yang mana itu merupakan sebuah contoh karena hukum khamer yang
diharamkan adalah zatnya, bukan sifatnya sebagaimana haramnya minuman keras
yang dibuat dari “selain perasan anggur”.
3. Mafhum Adad
Adalah hubungan hukum
dengan bilangan tertentu. Contoh firman Allah yang berbunyi:
"ﱚﱛﱜﱣﱤﱥﱦﱧﱨﱩﱪ"
“Dan orang-orang
yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera (QS.An-Nur ayat: 4)”.
Mafhum
mukhalafah dari surat An-Nur ayat 40 tersebut ialah tidak boleh mendera kurang
atau lebih dari delapan puluh. Ada pula bagi golongan yang menolak mafhum
mukhalafah, tidak boleh kurang atau lebih dari delapan puluh itu adalah karena
tidak masuk dalam perintah yang telah diperintah oleh Allah, bukan karena
mafhum mukhalafah.
4. Mafhum Ghayah yakni batas yang dijangkau oleh hukum. Sebagai
contoh dalam firman Allah yang berbunyi:
"ﰞﰟﰠﰡﰢﰣﰤﰦﰧﰨﰩﰪﰫﰬﰭﰮﰯﰰﰱﰲﰳﰴ"
Wahai
orang-orang yang beriman pabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, (QS. Al-Maidah ayat 6).
Mafhum mukhalafah
dari surat Al-Maidah ayat 6 tersebut ialah tidak sempurnanya wudhu bila
mengusap tangan tidak sampai dengan siku. Bagi golongan yang menolak mafhum
mukhalafah tidak sempurnanya wudhu tersebut adalah karena tidak sesuai dengan
perintah, bukan karena mafhum mukhalafah.
5. Mafhum Hasrah ialah pengkhususan hukum dengan menggunakan alat
penghusus, (alat penghususan antara lain ialah satu kalimat nafi atau
memindahkan, kemudian diiringi dengan istisna” atau penegcualian). Sebagai
contoh dalam firman Allah yang berbunyi:
"ﱭﱮﱯﱰﱱﱲﱳﱴﱵﱶﱷﱸﱹﱺﱻﱼﱽﱾﱿﲀﲁﲂﲃﲄﲆﲇﲈﲉﲊﲋﲌﲍﲎﲏﲐﲑﲒﲓﲔﲕ"
Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah yang mengalir atau daging babi -- karena sesungguhnya semua itu
kotor -- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang
dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang". (QS.Al-An’am ayat 145).
Mafhum
mukhalafah dari ayat tersebut adalah selain bangkai, darah yang mengalir,
daging babi, adalah halal. Bagi golongan yang menolak mafhum mukhalafah
halalnya selain bangkai, darah yang mengalir, daging babi, ialah karena hukum
asal sesuatu itu adalah hahal kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya, jadi
bukan karena mafhum mukhalafah.
C. Mujmal
Menrut bahasa mujmal memiliki arti samar-samar
atau tidak jelas, yang dimaksudkan dalam kata tidak jelas disini adalah suatu
lafadz yang masih memerlukan suatu penjelasan. Sedangkan menurut istilah Ushul
Fiqh sendiri mujmal memiliki arti
"ما يفتقر الى البيان"
adalah suatu lafadz
yang memerlukan penjelasan atau bayan, jadi suatu lafadz yang mungkin mencakup
semua keadaan dan hukum yang terkadung didalamnya tidak akan dapat dimengerti
atau diketahui secara jelas jika tidak ada bayannya (penjelas)[9].
Contohnya adalah:
ﱱﱲﱳﱴ.............ﱸ
Dan dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat (QS. Al-Baqarah: 43).
Dari ayat di atas, kata mafhum terdapat pada kata
As-shalat, mengapa demikian karena di ayat tersebut tidak dijelaskan mengenai
bagaimana perilaku shalat, dan rukun-rukunnya. Oleh karena itu kata ﱲbersifat mujmal, dikarenakan ayat tersebut
masih membutuhkan penjelasan. Mengenai penjelasan kata As-shalat, Rasulullah
pernah bersabda yang artinya: “Salatlah kalian seperti kalian melihatku
shalat”.
Menurut bahasa mubayyann memilik arti
menjelaskan, yang artinya suatu lafadz yang mempunyai penjelasan. Sedangkan
dalam Ilmu Ushul Fiqh sendiri memiliki arti “mengeluarkan sesuatu dari bentuk yang musykil
(kabur)kepada bentuk yang terang”. Jadi, mubayyan adalah penjelasan atau
yang menjelaskan, sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan. Hukum mubayyan sendiri
adalah tawaquf yang memiliki arti ditunda, ditangguhkan sampai adanya bayyan
atau penjelas. Jadi hukum mubayyan sendiri adalah sebagai penjelas dari mujmalatau
lafadz yang belum jelas.[10]
Macam-macam
mubayyan dilihat dari segi jenisnya, antara lain:
1. Penjelasan dengan kata-kata (mubayyan qauli’)
Contoh dalam firman Allah yang berbunyi:
“…فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ ۗ …”
“maka
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu
telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” (QS.Al-Baqarah ayat 196).
Perkataan
“sepuluh hari yang sempurna” pada ayat tersebut merupakan penjelasan dari tiga
hari dan tujuh hari yang disebutkan sebelumnya dalam ayat tersebut.[11]Disitulah
letak mubayyan qauli nya yang mana setelah menjelaskan [12]
tentang kewajiban untuk berpuasa 3 hari kemudian ditambah 7 hari, kemudian pada
ayat tersebut diperjelas dengan kalimat “Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna”.
2. Penjelasan dengan perbuatan (mubayyan
bifii’li)
Contoh
seperti penjelasan cara-cara shalat yang harus diikuti sebagaimana yang
diterangkan dengan perbuatan Nabi sendiri, yang mana sesuai dengan sabda Nabi
yang berbunyi:
صَلُوْا
كَماَ رَ أَيْتُمُوْا نِى اُصَلِّى
.
“Shalatlah engkau
sebagaimana engkau melihat aku melakukan shalat”.
Dalam
sabda Nabi tersebut sudah jelas bahwa Nabi menyuruh umatnya untuk melaksanakan
shalat seperti apa yang ia lakukan, mubayyan fi’li disini Nabi langsung
menjelaskan hadits tersebut dengan perbuatannya.
Penjelasan
dengan tulisan atau surat (mubayyan al-kitab)
3. Penjelasan dengan tulisan atau surat (mubayyan
al-kitab)
Contohnya,
seperti ukuran zakat dan ukuran diat anggota-anggota badan, banyak Nabi
melakukan dengan surat-surat untuk dikirim kedaerah-daerah Islam pada waktu itu
yang mana pada saat itu daerah kekuasan Islam sudah semakin luas dan itu
memerlukan surat-surat untuk mengontrol perlaksanaan pemerintahan.
4. Penjelasan dengan isyarat (mubayyan isyarat)
Contoh,
seperti jumlah hari pada bulan ramadhan, dengan Nabi mengucapkan
اَلشَّهْرُ
هكَذَا, وَهَكَاذَا, وَهَكَذَا.
“satu bulan itu sekian
dan sekian dan sekian”.
Sewaktu Nabi mengucapkan “sekian” pertama dan
kedua adalah dengan
Nabi mengangkat semua jari tangan, dan ketika
waktu mengucap “sekian”yang ketiga
kalinya, Nabi melipatkan satu ibu jarinya, itu merupakan isyaratyang
menunjukkan bahwa Nabi mengatakan bulan ramadhan adalahsebanyak duapuluh
sembilan hari. Yang demikian itulah merupakanpenjelasan isyarat.
5. Penjelasaan dengan meninggalkan (mubayyan
biltarkhi)
Contoh
yang disebutkan dalam suatu hadits Nabi yang berarti “adalah akhir dua
perkara dari Nabi SAW adalah tidak mengambil wudhu (lagi) setelah makan sesuatu
yang dibakar” (HR.Ibnu Hibban)[13]
Dari
riwayat hadits tersebut tampak bahwa pada mulannya setiap makan-makanan yang
dibakar maka Nabi SAW. Wudhu,kemudian Nabi tinggalkan yakni Nabi tak wudhu lagi
walaupun selesai makan-makanan yang sudah dibakar. Nabi meninggalkan wudhu
dalam hal tersebut, oleh ulama dikatakan sebagai penjelasan atas bayyan.[14]
E. Kesimpulan
Lafadz kata berdasarkan maknanya dibagi menjadi
dua yaitu: Mantuq dan Mafhum.
Mantuq Adalah lafad yang menunjukan kepada
sesuatu dalam konteks ucapan, atau lafadz yang menunjukan kepada hukum sesuatu
yang disebutkan dan yang diucapkan.Mantuq terbagi menjadi dua yaitu An-Nash dan
Dzahir.
Mafhum adalah Secara definisi adalah lafadz
yang menunjukan arti dibalik suatu ungkapan (ucapan).Mafhum terbagi menjadi
dua, yaitu: Mahfum Muafaqah dan Mafhum Mukhalafah.
Mujmal adalah suatu lafadz yang memerlukan
penjelasan atau bayan, jadi suatu lafadz yang mungkin mencakup semua keadaan
dan hukum yang terkadung didalamnya tidak akan dapat dimengerti atau diketahui
secara jelas jika tidak ada bayannya (penjelas).
Mubayyan adalah penjelasan atau yang menjelaskan,
sedangkan mujmal adalah yang dijelaskan. Hukum mubayyan sendiri adalah tawaquf
yang memiliki arti ditunda, ditangguhkan sampai adanya bayyan atau penjelas.
Jadi hukum mubayyan sendiri adalah
sebagai penjelas dari mujmal atau lafadz yang belum jelas.
Macam-macam mubayyan dilihat dari segi
jenisnya, antara lain:Penjelasan dengan kata-kata (mubayyan qauli’), Penjelasan
dengan perbuatan (mubayyan bifii’li), Penjelasan dengan tulisan atau surat
(mubayyan al-kitab), Penjelasan dengan isyarat (mubayyan isyarat), Penjelasaan
dengan meninggalkan (mubayyan biltarkhi).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.2011.UshulFiqh,Muqarrar
Littullab, cetakan 2
Bakry,Nazar.2003.Fiqh danUshulFiqh,Jakarta: PT
Raja Grafindo
Djalil,Basiq.2010.Ilmu
Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Ismaeel,Safed.2017.Ushul FiqhAplikatif, Malang:
DarulUkhuwwah Publisher
Kamus
Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar, S.
Askar,
Shidiq,Safiudin.UshulFiqh,Intimedia
Syafe’i,Rachmat.2015.Ilmu UshulFiqh,Bandung:CVPustaka
Setia
Syarifuddin.2012.Garis-GarisBesarUshulFiqh,Jakarta:
Kencana
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul
Fiqh. Jakarta:Kencana
Wahab,Abdul.2015.Ilmu UshulFiqh,Jakarta: PT
AsdiMahasatya
Catatan:
1.
Similarity
5%.
2.
Pendahuluan
diperbaiki.
3.
Pembahasan
mantuq masih kurang.
4.
Footnote
diperbaiki.
Secara umum,
makalah ini masih minim pembahasan. Perlu diperbanyak dan diperkaya lagi pembahasannya.
[1]
Kamus Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar,
S. Askar, hal. 32.
[2]Ushul
Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[3]Ushul
Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[4]Kamus
Bahasa Arab Indonesia, Al-Azhar, S.
Askar, hal. 631.
[5]Ushul
Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 187, Juli 2011.
[6]A.
Basiq Djali, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Fajar Interpratana, Jakarta:
Kencana, 2010, hal. 100.
[7]Ushul
Fiqh, Muqarrar Littullab, cetakan 2, hal 188-189, Juli 2011.
[8]
A. Basiq Djali, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, Fajar Interpratana,
Jakarta: Kencana, 2010, hal. 104.
[9]A.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, hal 108-109.
[10]A.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, hal 108-109.
[11]Ibid,
hal 113.
[12]Ibid,
hal 113.
[13]A.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, hal 113-114.
[14]A.
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua, Jakarta: Kencana Prenada
Media Grup, hal 114.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar