ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
Nur
Syamsiah, Agus Pramono
Hadi, dan Muzzammil Ilmi
Nabilah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
P.IPS D Angkatan 2016
E-mail :nsyamsiah@
gmail.com
Abstract
This article is about Science Jarh wa al-Ta'dil. Science Jarh wa al-Ta'dil is a science that discusses the state of narration of hadith, both about the defect and the cleanliness seen in terms of acceptable or rejected penyelingannya. What is studied in Jarh wa al-Ta'dil is determining whether his fairies are acceptable or should be rejected. If the narrator is chosen by the 'ulama as a transmitter with a disability, then his transmission must be rejected and if the requirement to accept the hadith is fulfilled then the transmission is acceptable. The scholars allow the activities of jarh wa ta'dil to keep the religious syariat, not to criticize.
Keywords :Science of
Al-Jarh, Al Ta’dil
Abstrak
Artikel ini berisi tentang Ilmu Jarh
wa al-Ta’dil. Ilmu Jarh wa al-Ta’dil adalah
ilmu yang membahas tentang keadaan periwayat
hadis, baik mengenai cacatnya maupun kebersihannya yang dilihat dari segi
diterima atau ditolak periwayatannya. Yang dipelajari dalam Jarh wa al-Ta'dil adalah menentukan
apakah periwayatanya dapat diterima atau harus ditolak. Jika perawi dijarh oleh para ulama sebagai perawi
dengan cacat tubuh, maka periwayatannya harus ditolak dan jika persyaratan
untuk menerima hadis terpenuhi maka periwayatannya bisa diterima.Para ulama
memperbolehkan aktifitas jarh wa ta’dil
untuk menjaga syariat agama, bukan untuk mencela.
Kata Kunci : Ilmu al-Jarh,
al-Ta’dil.
A. Pendahuluan
Ilmu hadis
telah tumbuh sejak zaman Rosulullah SAW, sejalan dengan diwurudkannya
hadis-hadis kepada para sahabatnya.Rosulullah SAW juga telah menetapkan aturan
tentang bagaimana seharusnya hadis itu diterima dan disampaikan kepada
lainnya.Pada masa sahabat dan tabi’in, kebutuhan terhadap ilmu ini semakin
terasa.Hal ini karena, Rosulullah SAW sebagai sumber untuk merujuk hadis sudah
wafat.Sehingga diperlukan adanya tolak ukur untuk menuju kebenaran suatu
hadis.Para ahli hadis sepakat untuk menilai kualitas hadis, terlebih dahulu
harus dilihat dari segi matan dan sanadnya.Dalam studi sanad
yang harus diteliti adalah rangkaian atau persambungansanad dan keadaan
pribadi periwayat.[1]
Dalam kajian
Ulumul Hadis, pembahasan mengenai keadaan pribadi periwayat hadis merupakan fokus
kajian ilmu jarh wa ta’dil. Pada dasarnya al-jarh wa al-ta’dil merupakan
bagian ilmu rijal al-hadis, namun karena ilmu ini dipandang sebagai ilmu
terpenting maka dijadikan ilmu yang berdiri sendiri. Al-jarh wa al-ta’dil
pada awalnya merupakan dua ilmu yang masing-masing berjalan dijalurnya sendiri,
kemudian kedua ilmu tersebut dikaloborasikan.[2]Ilmu
al-jarh wa al-ta’dil dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan
seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama sekali. Apabila seorang rawi
“dijarh” oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya
ditolak.Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat
sudah terpenuhi.Kecacatan rawi itu bisa ditelusuri melalui perbuatan yang
dilakukannya.[3]
Penyampaian
dan periwayatan hadis bukanlah suatu perkara yang kecil.Suatu hadis tidak
diterima kecuali dari orang-orang yang terpercaya (tsiqoh), karena kesaksian
dalam urusan agama lebih utama dan lebih berhak untuk dikukuhkan daripada
kesaksian dalam urusan harta benda dan hak manusia.[4]Oleh
karena itu para Ulama merasa berkewajiban menerangkan keadaan yang sebenarnya
dari perawi hadis walaupun itu termasuk soal intern atau pribadi demi
menjaga kemurnian ajaran Nabi. Seandainya tidak ada ilmu al-jarh wa
al-ta’dil kemungkinan sampai sekarang tidak ada seorangpun yang dapat
mengetahui perawi yang bisa dan tidak bisa diterima hadisnya.[5]
B. Pengertian Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Secara etimologis, kata al-jarh
merupakan masdar dari kata jaraha-yajrahu yang berarti melukai.
Apabila terjadi pada tubuh, ia menyebabkan mengalirnya darah dan apabila
digunakan oleh hakim pengadilan yang ditunjukkan kepada saksi, ia berarti
menolak atau menggugurkan kesaksiannya. Sedangkan menurut terminologi ilmu
hadis, kata jarh berarti upaya mengungkapkan sifat-sifat tercela dari
periwayat hadis yang mengakibatkan lemah atau riwayat yang disampaikan
tertolak.
Adapun kata ta’dil
adalah bentuk mashdar dari kata ‘addala yu’addilu yang berarti
mengemukakan sifat-sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminologi ilmu
hadis kata ta’dil berarti upaya mengungkap sifat bersih dari seorang
periwayat hadis sehingga nampak keadilannya sehingga menyebabkan riwayat yang disampaikan diterima.
Dengan demikian, yang
dimaksud ilmu al-jarh wa al-ta’dil ialah pengetahuan yang membahas
tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun kebersihannya
dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau ditolak
riwayatnya.[6]
Para Ulama hadis mendefinisikan secara terpisah antara
istilah al-jarh dan at-ta’dil, namun ada juga yang menyatukannya.
Para Ulama hadis mendefinisikan al-jarh sebagai berikut:
اَلْجَرْحُ عِنْدَالْمُحَدِّثِيْنَ الْطَّعْنُ فِى
رَاوِى الْحَدِيْثِ بِمَايَسْلُبُ أَوْيُخِلُّ بِعَدَالَتِهِ أَوْضَبْطِهِ
“Jarh menurut muhadditsin adalah menunjukkan
sifat-sifat cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan adalah atau
kedhabitannya.”
Kemudian, para Ulama hadis mendefinisikan at-ta’dil
sebagai berikut:
وَاتَّعْدِيْلُ عَكْسُهُ وَهُوَتَزْكِيَةُالرَّوِي والْحُكْمُ
عَلْيْهِبِأَنَّهُ عَدْلُ أَوْضَابِطُ
“Ta’dil adalah
kebalikan dari jarh, yaitu menilai bersih terhadap seorang rawi dan
menghukumnya bahwa ia adil dan dhabith.”
Ulama lain mendefinisikan al-jarh dan
at-ta’dil dalam satu definisi, yaitu:
عِلْمُ يُبْحَثُ عَنِ الرُّوَاةمن حَيْثُ مَاوَرَدَفِيْ شَأَنِهِمْ
مِمَّايُشْنِيْهِمْ أَوْيُزَكِّيْهِمْ بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Ilmu yang membahas rawi hadis dari segi
yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat mencacatkan atau
membersihkan mereka, dengan lafad-lafad tertentu.”[7]
Kecacatan rawi itu dapat ditelusuri melalui
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, biasanya dikategorikan kedalam lingkup
perbuatan: bid’ah, yakni melakukan tindakan tercela atau diluar
ketentuan syari’ah; mukhalafah, yakni berbeda dengan periwayatan dari
rawi yang lebih tsiqqah; ghalath, yakni banyak melakukan
kekeliruan dalam meriwayatkan hadis; jahalat al-hal, yakni tidak
diketahui identitasnya secara jelas dan lengkap; dan da’wat al-inqitha’,
yakni diduga penyandaran sanad-nya tidak bersambung.[8]
Sebagai bandingan di bawah ini dikemukakan
pengertian jarh wa ta’dil lainnya, sebagai berikut:
1. Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk men-jarh
para rawi dan mengadilkannya. kaidah-kaidah men-jarh yaitu berkaitan
erat dengan syarat-syarat yang banyak yang harus dimiliki oleh mujarrih, dan
syarat-syarat yang banyak pula yang berkaitan dengan jarh itu sendiri
sehingga dapat diterima, kemudian berkaitan pula dengan lafal-lafalnya,
tingkatannya, beserta hukum hadis yang diriwayatkan oleh perawi pada tiap-tiap
tingkatannya. Kaidah-kaidah mengadilkan perawi maksudnya berkaitan dengan
syarat-syarat yang harus dimiliki oleh si mu’addil dan dalam proses pen-ta‘dil-annya
itu sehingga dapat diterima, selain dari itu berkaitan dengan lafal-lafal dan
tingkatan dari lafal tadi beserta hukum hadis yang diriwayatkan oleh rawi pada
tingkatannya masing-masing.
2. Jarh ialah menyipati seorang rawi dengan merendahkan
periwayatannya, atau men-dha’if-kannya, dan bahkan menolaknya. Sedangkan
ta’dil maksudnya menyifati rawi dengan menerima periwayatannya.
3. Ilmu yang menerangkan tentang hal
catatan-catatan yang dihadapkan kepada para rawi dan tentang pen-ta’dil-annya
dengan memakai kata-kata khusus dan tentang martabat-martabat dari kata-kata
itu.
Dari
beberapa pengertian di atas, jelaslah bahwa seorang rawi takkan luput dari
catatan-catatan prestasi akademik dan prestasi moralnya dalam sejarah sehingga
dapat dipertimbangkan diterima atau ditolak riwayatnya. Menurut definisi-definisi
di atas, jelaslah bahwa jarh
merupakan penilaian negatif terhadap orang yang meriwayatkan hadis,
sehingga mengakibatkan riwayatnya perlu diteliti, dipertimbangkan atau ditolak,
lalu orang yang meriwayatkan hadis yang sudah dinilai adil riwayatnya diterima
karena orang itu sudah memiliki sifat-sifat sebagai orang yang harus diterima
riwayatnya.
C. Manfaat Mempelajari Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Manfaat
mempelajari ilmu al-jarh wa at-ta’dil, antara lain sebagai berikut:
1. Ilmu ini dapat menjadi bahan untuk mengetahui
hadis-hadis yang diterima dan ditolak dari perawi-perawi hadis yang terpercaya,
tetapi disinyalir kurang atau tidak normal pikirannya pada akhir hidupnya,
mungkin karena telah lanjut usia atau sebab-sebab lain. Jika sudah diketahui
bahwa hadis ini dari orang yang terpercaya tetapi tidak normal pikirannya maka
hadis itu tertolak.
2. Dengan ilmu ini dapat diketahui hadis yang
datang dahulu dan hadis yang datang kemudian dengan demikian dapat diketahui
bahwa salah satu dari dua hadis tersebut sebagai nasikh dan yang lain mansukh,
apabila keduanya terdapat pertentangan maka perlu di kompromikan.
3. Dapat pula sebagai bahan untuk mengecek
bersambung atau tidaknya suatu hadis, karena terkadang diantara para perawinya
ada yang berbuat dusta, ada yang berbuat tadlis dan juga ada yang
meng-irsalkan hadis.[9]
D. Metode Untuk Mengetahui Keadilan Dan Kecacatan Rawi Dan
Masalah-Masalahnya
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua
ketetapan. Pertama, dengan kepopuleran di kalangan para ahli ilmu bahwa dia
terkenal sebagai orang yang adil (bisy-syuhrah).
Seperti terkenal sebagai orang yang adil di kalangan para ahli ilmu Anas bin
Malik, Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj, Asy-Sy Ahmad bin Hanbal. Oleh
karena itu, mereka sudah terkenal sebagai orang adil di kalangan para ilmu
hadis maka tidak perlu diperbincangkan lagi.Kedua, dengan pujian dari seorang
yang adil (tazkiyah), ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh orang yang
adil yang semula rawi yang di-ta’dil-kan belum terkenal sebagai rawi yang
adil.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi dengan jalan tazkiyah dapat dilakukan
oleh:
1. Seorang rawi yang adil. Jadi tidak perlu
dikaitkan dengan banyaknya orang yang men-ta’dil-kankarena jumlah itu
tidak menjadi syarat untuk penerimaan riwayat hadis. Pendapat ini menurut
kebanyakan muhadditsin. Berlainan dengan pendapat para fuqaha
yang mensyaratkan sekurang-kurangnya dua orang dalam mentazkiyahkan seorang
rawi.
2. Setiap orang yang dapat diterima
periwayatannya, baik laki-laki maupun perempuan, dan orang yang merdeka maupun
budak, selama ia mengetahui sebab-sebab yang dapat men-ta’dil-kannya.
Penetapan
tentang kecacatan seorang rawi juga dapat ditempuh melalui dua jalan, yaitu
sebagai berikut:
1. Berdasarkan berita tentang ketenaran
seorang rawi dalam ke’aibannya. Seorang rawi yang sudah dikenal sebagai orang
yang fasiq atau pendusta di kalangan masyarakat, tidak perlu lagi
dipersoalkan. Cukuplah kemasyhuran itu sebagai jalan untuk menetapkan
kecacatannya.
2. Berdasarkan pen-tarjih-an dari
seseorang yang adil yang telah mengetahui sebab-sebabnya dia cacat. Demikian
ketetapan yang dipegangi oleh muhadditsin, sedangkan menurut para fuqaha
sekurang-kurangnya harus ditarjih dua orang laki-laki yang adil.[10]
Kaidah tarjih
dan ta’dil ada dua macam, pertama naqd kharij yaitu kritik
eksternal yakni tentang cara dan sahnya riwayat dan tentang kapasitas rawi.
Kedua, naqd dakhili yaitu kritik internal tentang makna hadis dan syarat
keshahihannya.[11]
E. Syarat Ulama Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
Seorang Ulamaal-jarh wa al-ta’dil harus
memenuhi kriteria yang dapat menjadikannya objektif dalam upaya mengungkap karakteristik para periwayat.
Syarat-syaratnya yakni sebagai berikut:
1. Berilmu, bertaqwa, wara’, dan jujur.
Al-Hafizh berkata, “Seyogyanya al-jarh wa at-ta’dil tidak diterima
kecuali dari orang-orang yang adil dan kuat ingatannya, yakni orang yang mampu
mengungkapkan hadis dan kuat ingatannya sehingga menjadikannya berhati-hati dan
ingat dengan tepat terhadap hadis yang ia
ucapkan.”
2. Mengetahui sebab-sebab al-jarh wa
at-ta’dil. Al-Hafizh bnu Hajar menjelaskan salamSyarh al-Nukhbah, “Tazkiyah
(pembersihan terhadap diri orang lain) dapat diterima apabila dilakukan oleh
orang yang mengetahuinya, agar ia tidak memberikan tazkiyah hanya dengan
apa yang kelihatan olehnya dengan sepintas tanpa mendalami dan memeriksanya.
3. Ia
mengetahui penggunaan kalimat-kalimat bahasa Arab, sehingga suatu
lafaz yang digunakan tidak dipakai untuk
selain maknanya, atau men-jarh dengan lafaz yang tidak sesuai.[12]
Ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan oleh Ulama al-jarh wa al-ta’dil. Diantaranya
adalah sebagaiberikut:
1. Bersikap objektif dalam tazkiyah,
sehingga ia tidak meninggikan atau merendahkan dari martabat seorang rawi yang
sebenarnya.
2. Jarh tidak boleh mengutip jarh saja sehubungan
dengan orang yang dinilai jarh oleh sebagian kritikus tetapi dinilai
adil oleh sebagian lainnya, karena sikap demikian berarti merampas hak rawi.
3. Tidak boleh jarh terhadap rawi yang
tidak perlu di-jarh, karna hukumnya disyariatkan karna darurat. Maka
jika tidak dalam kondisi darurat jarh tidak dapat dilaksanakan.[13]
Men-ta’dil-kan atau men-tarjihkan seorang rawi itu
adakalanya mubham (tidak disebutkan sebab-sebabnya) dan mufassar (disebutkan
sebab-sebabnya). Untuk mubham ini diperselisihkan para Ulama dalam
beberapa pendapat:
1. Men-ta’dil-kan tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya diterima. Karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu
jika disebutkan semua tentu menyibukkan. Adapun men-tarjih-kan tidak
diterima jika tidak menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat
berhasil dengan satu sebab saja.
2. Ta’dil harus disebutkan sebab-sebabnya tetapi jarh tidak
perlu karena sebab-sebab ta’dil itu bisa dibuat-buat hingga harus diterangkan sedangkan jarh tidak.
3. Untuk kedua-duanya harus disebutkan sebab-sebabnya.
4. Untuk kedua-duanya tidak perlu disebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh dan mua’dil sudah mengenal
setelitinya sebab-sebab tersebut.[14]
Masalah
berikutnya adalah perselisihan dalam menentukan mengenai jumlah orang yang
dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tarjih-kan seorang
rawi yaitu sebagai berikut:
1.
Minimal dua orang baik dalam syahadah maupun
soal riwayah menurut pendapat kebanyakan fuqaha Madinah.
2.
Cukup seorang saja dalam soal riwayah bukan
dalamsoal syahadah. Sebab bilangan tersebut tidak menjadi syarat dalam
penerimaan hadis, maka tidak disyaratkan dalam men-ta’dil-kan dan
men-tarjih-kan rawi berlainan dalam soal syahadah.
3.
Cukup seorang saja baik dalam soal riwayah
maupun syahadah.[15]
Dalam kerangka jarh wa ta’dil, maka
para perawi hadis adalah mereka yang memiliki persyaratan berikut:
1. Islam
Persyaratan utama bagi orang yang meriwayatkan hadis harus seorang
muslim. Riwayat orang kafir tidak boleh diterima karena orang kafir akan tetap
berdaya upaya menipu kaum Muslimin dan membohonginya dengan berbagai macam cara
dan usaha.
2. Baligh
Orang yang meriwayatkan hadis disyaratkan dewasa karena dengan
kedewasaan ini seseorang akan mendapat taklif, tuntutan. Orang yang
sudah dewasa akan dimintai pertanggungjawaban terhadap perkataan dan
perbuatannya. Dengan demikian, ia akan selalu berhati-hati dalam segala
tindakan dan ucapannya.
3. Adil
Maksunya sifat yang dimiliki orang yang meriwayatkan hadis itu selalu
mendorong untuk berbuat takwa secara terus menerus dan selalu terpelihara
kehormatan pribadinya.
4. Dhabith
Dhabith ialah kuat
hafalan dan daya tangkapnya ketika belajar hadis dan dapat memelihara dalam
bentuk tulisan bila diperlukan. Rawi dinyatakan memiliki sifat ini bila ia
dapat belajar menerima hadis dengan baik dan dapat menyampaikan sebagaimana ia
menerimanya. Ahli hadis membagi dhabith ini pada dua bagian, yaitu dlabth
kitab (terpelihara tulisannya) dan dlabth shadr (terpelihara
hafalan).
Namun
mayoritas tokoh-tokoh hadis dan fiqih sepakat bahwa untuk menjadi seorang yang
periwayatannya dapat dijadikan hujjah minimal memerlukan dua syarat pokok,
antara lain:
1. Al-‘adalah, maksudnya seorang rawi harus muslim, baligh,
berakal, terbebas dari sebab-sebab fasik, bebas dari cela nilai-nilai kemanusiaan
(muru’ah). Menetapkan ‘adalah dengan penunjukkan atau penentuan
para mu’adil (orang yang melakukan evakuasi positif) dimana Ulama
tersebut menentukan dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil. Adapula dengan
popularitas dan keharuman nama yang dikenal lual bersikap jujur, istiqomah,
dan ingatan yang kuat.
2. Ad-Dlobt, maksudnya mereka seorang rawi hendaknya mempunyai
hafalan yang kuat, tidak berkesalahan fatal, tidak melawan arus para perawi tsiqot, dan
tidak lalai. Dlobtnya seorang rawi diketahui karena periwayatannya sesuai
dengan periwayatan para perawi yang tsiqoh. Jika ia sepakat dengan
mereka dalam hal periwayatan berarti ia dlobt. Jika berbeda banyak
dengan periwayatan mereka, berarti tidak dlobt dan periwayatannya tidak
diterima juga tidak dijadikan hujjah.[16]
F. Pertentangan Antara Al-Jarh Dan Al-Ta’dil
Terkadang pernyataan Ulama tentang tarjih
dan ta’dil terhadap orang yang sama bisa saling bertentangan. Bila
keadaannya seperti itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
keadaanya yang sebenarnya. Dalam masalah ini para Ulama terbagi dalam beberapa
pendapat, sebagai berikut:
1. Al-jarh harus didahulukan secara mutlak walaupun jumlah
mu’adil-nya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab jarih tentu
mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih
dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut
lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniah yang tidak
diketahui oleh si mua’dil. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas para
Ulama.
2. Ta’dil didahulukan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan
lebih banyak karena bisa mengukuhkan keadaan keadaan rawi-rawi yang
bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib pendapat ini tidak bisa diterima sebab
men-ta’dil-kan meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa
yang menyanggah pernyataan yang men-tarjih.
3. Bila jarh dan ta’dil bertentangan,
salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan adanya perkara yang
mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara.
4. Tetap dalam ta’arudh bila tidak
ditemukan yang men-tarjih-kan.[17]
Dalam menghadapi
kasus seperti itu maka Ulama ahli kritik hadis telah mengemukakan beberapa
teori sebagai alternatif pemecahannya, diantaranya:
1.
At-ta’dilmuqaddam ‘ala jarh, pujian terhadap perwayat hadis
didahulukan ketimbang celaan. Teori ini berlaku jika sifat dasar periwayat
hadis adalah terpuji, sedangkan sifat tercela merupakan sifat yang datang
kemudian.
2.
Al-Jarh muqaddamun’ala at-ta’dil, celaan terhadap periwayat hadis
didahulukan daripada pujian. Teori ini berlaku jika ahli kritik yang menyatakan
celaan lebih paham terhadap periwayat yang dicelanya ketimbang Ulama yang
memujinya, serta yang dijadikan dasar oleh Ulama yang memujinya hanya prasangka baik semata.
3.
Yaqaddamu al-jarh ‘ala at-ta’dil, celaan didahulukan daripada pujian dengan
syarat Ulama yang mencatat telah dikenal benar-benar mengetahui pribadi
periwayat yang dikritik dan celaan yang dikemukakan didasarkan pada argumen
yang kuat, yakni dijelaskan sebab-sebab yang menjadikan periwayat yang
bersangkutan tercela kualitasnya.
G. Faktor-Faktor Yang Melatarbelakangi
Munculnya Ilmu Al-Jarh Wa Al-Ta’dil
1. Faktor lahirnya al-jarh wa al-ta’dil
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab
lahirnya konsep al-jarh wa al-ta’dil dalam tradisi ulama hadis. Sebagai
suatu disiplin ilmu yang memiliki piranti dan kaidah-kaidah khusus, tujuan yang
paling agung adalah untuk memelihara sumber islam yaitu al-Qur’an dan sunah
Nabi Muhammad SAW. Faktor utama penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah
munculnya gerakan pemalsuan hadis (al-wadh’u).[18]
Pada zaman Nabi belum terdapat atau tidak
ada pemalsuan hadis, sebab Nabi bersikap tegas sekali dalam menegakkan keadilan
dan kebenaran serta memberantas segala macam kebohongan dan kepalsuan.Pada masa
pemerintahan Abu Bakar (632 M – 634 M) dan Umar (634 M – 644 M) sangat teliti
dalam penerimaan dan penyampaian ajaran-ajaran Nabi. Kedua Khalifah hanya
menerima dari peorangan apabila dapat dikokohkan dengan persaksian orang lain.
Khalifah menyerukan dan memerintahkan seluruh umat Islam agar berhati-hati dan
waspada dalam menerima dan menyampaikan hadis-hadis Nabi.Pada masa kedua
Khalifah tersebut juga belum ada atau tidak ada pemalsuan hadis.
Namun pada masa pemerintahan Utsman (644 M
– 656 M), dari pengikut Abdullah bin Saba’ (seorang munafik) telah mulai berani
membuat fitnah dan provokasi di kalangan umat Islam dengan tujuan memecah belah
dan menimbulkan kebencian umat Islam kepada Khalifah yang sah, sehingga
menyebabkan terbunuhnya Khalifah Utsman (656 M) mereka telah mulai berani
membuat kebohongan dalam ajaran-ajaran Nabi.
Pada masa pemerintahan Ali (656 M – 661 M),
terjadi perang saudara antara Ali cs dan Muawiyah cs kemudian setelah perang Shiffin umat Islam
terpecah menjadi tiga golongan:
a. Golongan Syi’ah yang sangat fanatik kepada
Ali dan keturunannya.
b. Golongan Khawarij yang memberontak kepada
Ali dan Mu’awiyah, karena keduanya dianggap salah.
c. Golongan Jumhur yaitu rakyat terbanyak yang
tidak tidak termasuk golongan satu dan dua.
Dari masing-masing golongan terdapat
oknum-oknum yang lemah ingatannya dan membuat hadis palsu untuk tujuan politik
dan kepentingan golongan masing-masing.Pada saat itu membuat hadis palsu secara
terang-terangan.Karena itu sebelum 41 H sudah ada pemalsuan hadis.Setelah itu
pada tahun sesudah 41 H pemalsuan hadis semakin merajalela.
Cara-cara untuk memberantas pemalsuan hadis itu banyak
ragamnya, tetapi dapat digolongkan dalam dua cara, yaitu:
a. Cara alamiah (teoritis) ialah Ulama Hadis
membuat kaidah atau aturan dan menetapkan ciri-ciri atau tanda-tanda yang
kongkrit yang menunjukkan adanya pemalsuan hadis.
b. Cara amaliah (praktis) ialah para Ulama
hadis dengan terus terang menunjukkan nama-nama dari oknum-oknum atau
golongan-golongan yang memalsukan hadis dan
hadis yang dibuatnya supaya umat Islam tidak terpengaruh dan tersesat.
Sejarah telah menunjukkan bahwa sepanjang masa selalu ada musuh
umat Islam yang membuat hadis palsu tetapi di samping itu muncul Ulama yang
berusaha menjaga kemurnian ajaran-ajaran Nabi.[19]Usaha yang dilakukan para Ulama akhirnya
membuahkan hasil yang sangat urgen, yaitu:
a. Kodifikasi sunnah
b. Ilmu Mushthalah al-hadits
c. Ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil
d. Beberapa disiplin Ilmu Hadis
e. Penulisan buku-buku tentang hadis-hadis
palsu dan para pemalsunya
f. Penulisan buku-buku tentang hadis-hadis
yang masyur. [20]
2.
Perkembangan Ilmu al-jarh wa al-ta’dil
Kritik hadis sebagai upaya untuk membedakan
yang benar dan salah, yang maqbul dan
mardud, benih-benihnya telah dimulai sejak masa
Nabi Muhammad. Tetapi waktu itu hanya terbatas pada kritik matan (al-naqd
ad-dakhili) dengan cara mengonfirmasikan apa yang telah diterima sahabat
dari sahabat yang lain kepada Nabi Muhammad untuk membuktikan yang diterimanya
itu benar dari beliau. Selain itu membandingkan dengan hadis yang lain atau
ayat al-Qur’an.
Kemudian para sahabat, kegiatan kritik
hadis sudah mulai pada kritik sanad hadis (an-naqd al-khariji).[21]Dilihat
dari penjelasan yang terkait dengan urgensi sanad dalam Islam, ilmu al-jarh
wa al-ta’dil sudah ada sejak kemunculan agama Islam yaitu sejak adanya
periwayatan hadis.[22]Hal
ini merupakan usaha untuk memilih dan menentukan hadis sahih atau dhaif. Eksistensi
al jarh wa ta’dildalam kritik sanad berfungsi sebagai tolak ukur dan
timbangan bagi seorang perawi hadis yang diriwayatkannya diterima ataupun
ditolak. Penerimaan atau penolakan didasarkan pada
kualitas pribadi dan intelektual perawi.[23]
Diantara para sahabat yang merintis sanad
hadis adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, Abdullah
bin Umar juga Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit. Sikap kritis para sahabat dalam
meriwayatkan hadis lalu dilanjutkan oleh kalangan Tabi’in.[24]
Diantaranya Said bin Al-Musayyab, Ibnu Sirin, dan Asy-Sya’bi. Pada masa ini
masih sedikit sekali perawi hadis yang dipandang cacat/lemah karena para
perawi-perawinya sebagian besar adalah para sahabat-sahabat Nabi, sedangkan
semua sahabat dipandang adil. Adapun para perawi lain yang bukan Sahabat adalah
orang-orang yang terpercaya.
Pada permulaan abad ke II H barulah
terdapat banyak perawi yang lemah.Kelemahan mereka umumnya disebabkan karena
tidak dlabith (tidak kuat dan tidak teliti hafalannya), misalnya
meng-irsalkan (mursal) hadis, dan merafa’kan (marfu’) hadis yang
sebenarnya mauquf.Diantaranya ialah Abu Harun Al-‘Abdari.
Pada akhir masa tabi’in kurang lebih 150 H
mulai banyak Ulama yang membicarakan hal-ikhwal dan kualitas para perawi hadis.Pertama
kali yang menghimpun pembicaraan mengenai jarh dan ta’dil adalah Yahya
bin Said al-Qattan dan Abdurrahman bin Mahdi. Penilaiannya tentang kualitas
para perawi Hadis dapat diterima oleh umat Islam karena kedua Ulama ini diakui
sebagai orang yang ahli dalam bidang dan obyektif.
Pada akhir abad III H Ulama mulai menyusun
kitab-kitab tentang Jarh dan Ta’dil dan juga di dalamnya diterangkan
nama-nama perawi hadis dan keadaanya yang dapat diterima ataupun ditolak
periwayatannya. Tokoh yang terkenal antara lain Yahya Bin Ma’in, Ali bin
Al-Madini dan Al-Bukhari. Terus meneruslah pada tiap-tiap masa terdapat para
Ulama yang memperhatikan keadaan perawi hingga sampailah kepada Ibnu Hajar Al’
Asqalany. Terdapat Ulama al-jarh wa
al-ta’dilyang selalu mengadakan penelitian terhadap keadaan para perawi
Hadis dengan penuh rasa tanggungjawab dan hasilnya itu bayak dibukukan dalam
kitab-kitab.[25]Kitab yang disusun mengenai jarh wa ta’dilada
beberapa macam. Ada yang menerangkan orang-orang yang dipercayai saja,
menerangkan orang-orang yang lemah dan ada kitab yang melengkapi semuanya.[26]
Menyimak perkembangan ilmu al-jarh wa
al-ta’dil, dapatdipahami bahwa meskipun secara resmi ilmu tersebut
berkembang mulai era tabi’in, namun benih-benihnya muncul sejak era sahabat,
kemudian mengalami perkembangan yang begitu pesat.Perkembangan ilmu al-jarh
wa al-ta’dil tidak terlepas dari perhatian umat terhadap hadis. Demi
menjaga validitasnya penyeleksian terhadap para pembawa berita tersebut mutlak
dilakukan dengan ketat berdasarkan metode dan ilmu al-jarh wa al-ta’dil.[27]
Ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan
termasuk dalam ghibah yang dilarang, bahkan para Ulama mengategorikannya
sebagai nasehat dalam agama. Dasar jarh wa ta’dil sudah digariskan oleh
Allah swt dalam al-qur’an dan sunah Nabi saw, diantaranya surat
Al-Hujurat ayat 6:
ياَ أَ يُّهَا ا لَّذِ يْنَ آ
مَنُوْاإِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍفَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيْبُواقَوْمًابِجَهَا لَةٍ فَتُصْبِحُواعَلَى مَا فَعَلْتُمْ
نَادِمِيْنَ
“ Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan itu.”
Dalam ayat tersebut Allah swt memerintahkan agar kita
tidak mengambil riwayat-riwayat yang datang dari orang fasiq dan
tsiqat (terpercaya).Beberapa hadis yang menjelaskan bolehnya sesorang
melakukan jarh wa ta’dil kepada orang lain, diantaranya:
a. Sabda Rosulullah saw kepada seorang
laki-laki “(Dan) itu seburuk-buruk saudara di
tengah-tengah keluarganya” (HR. Bukhari).
b. Sabda rosulullah saw kepada Fathimahbinti
Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya
(suka memukul), sedangkan Mu’awiyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta”.
(HR. Muslim).
c. Rosulullah bersabda “Sebaik-baik hamba
Allah swt adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang-pedang Allah”. (HR. Ahmad
dan Tirmidzi dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu para Ulama membolehkan
aktifitas jarh wa ta’dil untuk menjaga syari’at agama bukan untuk
mencela. Perawi juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran
dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.Al-jarh dan
al-ta’dildalam ilmu hadis terus berkembang hingga saat ini karena takut
yang diperingatkan Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam “Akan ada
pada umatku yang terakhir nanti, orang-orang yang menceritakan hadis kepada
kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar
sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah
Shahih Muslim).[28]
H. Tingkatan-Tingkatan
Al-Jarh wa Al-Ta’dil
Para perawi meriwayatkan hadis tidak
semuanya berada dalam satu tingkatan kualitas karena jika di pandang dari segi
keadilan, kedhabitan, dan hafalan mereka sangat beragam.Diantaranya ada yang
hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula
yang sering lupa atau salah.Maka Allah Swt menyikapinya melalui tangan para
Ulama.Oleh karena itu para Ulama telah menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil dan
lafad-lafad yang digunakan untuk menunjukkan pada setiap tingkatan
tersebut.Karena kualitas hafalan dan tingkat keterpercayaan tiap perawi
berbeda, maka para Ulama memberikan batasan-batasan rinci yang terkait dengan
pengklasifikasian kualitas perawi tersebut. Batasan tersebut kemudian dinamakan
maratib al-jarh wa al-ta’dil (tingkatan jarh dan ta’dil).[29]
Lafad-lafad yang digunakan dalam ilmu al-jarh
wa al ta’dil menurut Ibnu Abi Hatim, Ibnu’s-Shalah dan Imam An-Nawawy
lafad-lafad itu disusun menjadi empat tingakatan, menurut Al-Hafidh Ad-dzahaby
dan Al-‘Iraqy menjadi lima tingkatan dan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi enam
tingkatan, yakni:
1. Tingkatan ta’dil dan lafal-lafalnya
a. Pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan dengan
menggunakan lafad-lafad yang berbentuk af’alut-tafdil atau ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya:
أَوْثَقُ النَّاسِ : orang yang paling tsiqoh
أَثْبَتُ النَّاسِ حِفْظًاوَعَدَالَةً : orang yang paling mantap hafalan dankeadilannya
إِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الثَّبْتِ : orang yang
paling top keteguhan hati dan lidahnya
ثِقَةٌفَوْقَ الثِّقَةٍ : orang yang tsiqah melebihi orang yang tsiqah
b. Kedua, memperkuat
ketsiqahan rawi dengan membubuhi satu sifat dari sifat-sifat yang menunjukkan
keadilan dan kedlabitannya, baik sifatnya selafad (mengulang) maupun semakna.
Misalnya:
ثَبْتٌ ثَبْتٌ :
orang yang teguh (lagi) teguh
ثِقَةٌ ثِقَةٌ :
orang yang tsiqah (lagi) tsiqah
حُجَّةٌ حُجَّةٌ :
orang yang ahli (lagi) petah lidahnya
ثَبْتٌ ثِقَةٌ :
orang yang teguh (lagi) tsiqah
حَافِظٌاحُجَّةٌ :
orang yang hafidh lagi petah lidahnya
ضَابِطٌ مُتْقِنٌ :
orang yang kuat ingatan lagi meyakinkan ilmunya
c. Ketiga, menunjuk keadilan dengan suatu lafad yang mengandung arti kuat ingatan.
Misalnya:
ثَبْتٌ : orang yang teguh (hati dan
lidahnya)
مُتْقِنٌ :
orang yang meyakinkan (ilmunya)
ثِقَةٌ :
orang yang tsiqah
حَافِظٌ :
orang yang kuat hafalannya
حُجَّةٌ :
orang yang petah lidahnya
d. Keempat, menunjukkan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafad yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil (tsiqah). Misalnya:
صَدُوقٌ :
orang yang sangat jujur
مَأمْوُنٌ :
orang yang dapat memegang amanat
لاَبَأْسَ بِهِ :
orang yang tidak cacat
e. Kelima, menunjukkan kejujuran rawi tetapi tidak adanya kedlabitan. Misalnya:
مَحَلُّهُ الصِّدْقٌ :
orang yang berstatus jujur
جَيِّدُالْحَدِيْثِ : orang
yang baik hadisnya
حَسَنُ الْحَدِيْثِ : orang yang bagus hadisnya
مُقَارِبُ الْحَدِيْثِ :
orang yang hadisnya berdekatan dengan hadis orang lain yang tsiqah
f. Keenam, menunjuk arti mendekati cacat, seperti sifat-sifat tersebut diikuti
dengan lafad “insyaallah” atau lafad tersebut di-istigfar-kan (pengecilan arti)
atau lafad itu dikaitkan dengan suatu pengharapan.Misalnya:
صَدُوْقٌ إِنْ شَاءَاللّهُ :
orang yang jujur, insyallah
فُلاَنٌ أَرْجُوْبِأَنْ لاَبَأْسَ بِهِ :
orang yang diharapkan tsiqah
فُلاَنٌصُوَيْلِحٌ :
orang yang sedikit keshalehannya
فُلاَنٌ مَقْبُوْلٌ حَدِيْثُهُ :
orang yang diterima hadisnya
Para ahli ilmu mempergunakan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh
rawi-rawi yang dita’dilkan menurut tingkatan pertama sampai keempat sebagai
hujjah. Sedangkan hadis para perawi yang
dita’dilkan menurut tingkatan kelima dan keenam hanya dapat ditulis,dan baru
dapat dipergunakan apabila di kuatkan oleh hadis dari perawi lain.
2. Tingakatan jarh dan lafad-lafadnya
a. Pertama, menunjuk pada keterlaluan si rawi tentang cacatnya dengan menggunakan
lafad-lafad yang berbentuk af’alut-tafdlil atau dengan ungkapan lain
yang mengandung pengertian sejenis. Misalnya:
أَوْضَعُ النَّاسِ :
orang yang paling dusta
اَكْذَبُ النَّاسِ : orang
yang paling bohong
إِلَيْهِ المُنْتَهَى فِى الْوَضْعِ :
orang yang paling top kebohongannya
b. Kedua, menunjuk
kesangatan cacat dengan menggunakan lafad yang berbentuk shighatmuballagah.
Misalnya:
كَذَّابٌ :
orang yang pembohong
وَضَّاعٌ :
orang yang pendusta
دَجَالٌ :
orang yang penipu
c. Ketiga, menunjuk kepada tuduhan dusta atau bohong. Misalnya:
فُلاَنٌ مُتَّهَمٌ بِالكَذِبِ :
orang yang dituduh bohong
اَوْمُتَّهِمٌ بِالوَضْعِ :
orang yang dituduh dusta
فُلاَنٌ فِيْهِ النَّظْرُ :
orang yang perlu diteliti
فُلاَنٌ سَاقِطٌ : orang yang gugur
فُلاَنٌ ذَاهِبُ الْحَدِيْثِ :
orang yang hadisnya telah hilang
فُلاَنٌ مَتْرُوْكُ الْحَدِيْثِ :
oranv yang ditinggalkan hadisnya
d. Keempat, menunjuk kepada berkesangatan lemahnya. Misalnya:
مُطْرَحُ الْحَدِيْثِ :
orang yang dilempar hadisnya
فُلاَن ضَعِيْفٌ :
orang yang lemah
فُلاَنٌ مَرْدُوْدُالْحَدِيثِ :
orang yang ditolak hadisnya
e. Kelima, menunjuk kepada kelemahan dan kekacauan rawi mengenai hafalannya.
Misalnya:
فُلاَنٌ لاَيُحْتَجُّ بِهِ :
orang yang tidak dapat dibuat hujjah
فُلاَنٌ مَجْهُولٌ :
orang yang tidak dikenal identitasnya
فُلاَنٌ مُنْكِرُالْحَدِيْثِ :
orang yang munkar hadisnya
فُلاَنٌ مُضْطَرِبُ الْحَدِيْثِ :
orang yang kacau hadisnya
فُلاَنٌ وَاهٍ :
orang yang banyak duga-duga
f. Keenam, mensifati rawi dengan sifat-sifat yang menunjuk kelemahannya, tetapi
berdekatan dengan ‘adil. Misalnya:
ضُعِّفَ حَدِيْثُهُ :
orang yang didla’ifkan hadisnya
فُلاَنٌ مَقَالٌ فِيْهِ :
orang yang diperbincangkan
فُلاَنٌ فِيْهِ خَلْفٌ :
orang yang disingkiri
فُلاَنٌ لَيِّنٌ :
orang yang lunak
فُلاَنٌ لَيْسَ بِالْحُخَّةٍ :
orang yang tidak dapat digunakan hujjah hadisnya
فُلاَنٌ لَيْسَ بِالقَوِىِّ :
orang yang tidak kuat
Orang-orang yang ditarjih dengan tingkatan pertama sampai dengan
tingkatan keempat, hadisnya tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali, tidak
boleh diriwayatkan, bahkan tidak di anggap sama sekali.Adapun orang-orang yang ditarjih menurut tingkatan
kelima dan keenam, hadisnya masih boleh diriwayatkan, boleh ditulis dan masih bisa
dijadikan sebagaii’tibar (tempat membanding).
Dalam masalah yang berkaitan dengan jarh wa ta’dil para
sahabat tidak menjadi sasaran dalam pembahasan ilmu ini. sebab sudah disepakati
oleh kebanyakan para Muhadditsin bahwa para sahabat semuanya dipandang ‘adil,
karena itu semua periwayatannya dapat diterima. Dengan demikian yang menjadi
sasaran utama ilmu jarh wa ta’dil ini ialah perawi-perawi selain
sahabat.[30]
I. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
diketahui bahwa ilmu al-jarh wa al-ta’dil merupakan ilmu pengetahuan
yang membahas tentang keadaan periwayat hadis, baik mengenai catatannya maupun
kebersihannya dengan menggunakan lafad-lafad tertentu sehingga diterima atau
ditolak riwayatnya. Faktor
utama penyebab lahirnya disiplin ilmu ini adalah munculnya gerakan pemalsuan
hadis (al-wadh’u).
Sejarah perkembangan ilmu ini
benih-benihnya telah dimulai sejak masa Nabi Muhammad.Tetapi waktu itu hanya
terbatas pada kritik matan saja.Kemudian para sahabat, kegiatan kritik hadis
sudah mulai pada kritik sanad. Dilihat dari penjelasan yang terkait dengan
urgensi sanad dalam Islam, ilmu al-jarh wa al-ta’dil sudah ada sejak
kemunculan agama Islam yaitu sejak adanya periwayatan hadis. Kritik sanad
berfungsi sebagai tolak ukur dan timbangan bagi seorang perawi hadis yang diriwayatkannya
diterima ataupun ditolak.Penerimaan atau penolakan didasarkan pada kualitas
pribadi dan intelektual perawi.
Lafad jarh ialah sifat seorang rawi
yang dapat mencacatkan keadilan dan hafalannya. Men-jarh atau men-tarjih
seorang rawi berarti mensifati seorang rawi dengan sifat-sifat yang dapat
menyebabkan kelemahan dan tertolak apa yang diriwayatkannya.Para Ulama telah
menetapkan tingkatan jarh dan ta’dil dan lafad-lafad yang digunakan
untuk menunjukkan pada setiap tingkatan tersebut. Tingkatan al-jarh wa
al-ta’dil itu masing-masing ada enam.
DAFTAR PUSTAKA
Suryadilaga, Alfatih. 2010. Ulumul Hadis.
Yogyakarta: Teras
Sumbulah, Umi. 2008. Krtik Hadis: Pendekatan
Historis Metodelogis. Malang: UIN Malang Press
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Solahudin, M.Agus, dan Suyadi Agus. 2008. Ulumul Hadis. Bandung:
Pustaka Setia
Zuhdi, Masjfuk. 1993. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya: PT Bina
Ilmu
Soetari, Endang. 2008. Ilmu hadis: kajian riwayah dan dirayah.
Bandung: CV. Mimbar Pustaka
‘Itr, Nuruddin. 2012. Ulumul Hadis. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya
Rohman, Fatchur. 1987. Ikhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT
Alma’arif
Al Thohhan, Mahmud. 1995. Dasar-Dasar Ilmu Takhrij dan Studi Sanad.
Semarang: Dina Utama
Smeer, Zeid B. 2014. Studi
Hadis Kontemporer. Yogyakarta: Aura Pustaka
Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1980. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis.
Jakarta: Bulan Bintang
Makalah sudah baik. Similarity 17%.
[1]M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis,
(Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.156
[2]Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis
Metodelogisnya, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 77
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), hlm.32
[4]M. Alfatih Suryadilaga,op.cit., hlm. 157
[5]Umi Sumbullah, op.cit.,hlm.80
[9]Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ilmu hadis, (Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 109
[10]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi,op.cit., hlm.
159-160
[11]Endang Soetari, Ilmu Hadits:Kajian Riwayah Dan
Dirayah, (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), hlm. 197
[12]Nuruddin ‘Itr, Ulumul Hadis, (Bandung: PT
Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 85
[14]Fatchur Rahman, ikhtishar Mushtalahul Hadis,
(Bandung: PT Alma’arif, 1987), hlm. 272
[15]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit.,hlm.
161-162
[16]Mahmud Al
Thohhan, Dasar-Dasar Ilmu Takhrij Dan Studi Sanad, (Semarang: Dina
Utama, 1995), hlm. 143
[17]M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi, op.cit., hlm.
163
[18]Zeid B. Smeer, Studi Hadis Kontemporer,
(Yogyakarta: Aura Pustaka, 2008), hlm. 201
[19]Masjfuk Zuhdi, op.cit., hlm. 116-121
[20]Zaid B. Smeer, op.cit., hlm. 202
[21]M. Alfatih Suryadilaga, dkk,op.cit.,hlm. 157
[22]Zaid B. Smeer, op.cit.,hlm. 198
[23]Umi Sumbulah, op.cit., hlm. 80
[24]M. Alfatih Suryadilaga, dkk, op.cit., hlm. 158
[25]Masjfuk Zuhdi, op.cit., hlm. 104-105
[26]Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), hlm. 157
[27]Umi Sumbulah, op.cit., hlm. 83
[30]Fatchur Rahman, op.cit., hlm. 273-278
Tidak ada komentar:
Posting Komentar