ILMU JARH WA TA’DIL
(PENGERTIAN, FAKTOR MUNCULNYA, dan TINGKATAN JARH WA TA’DIL)
Ainul Yaqin,
Annisa Nur Lifia, Adhe Putra P
Mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang PIPS A Semester 4 ainulyaqin18064@yahoo.co.id
Abstract
The religion of
islam in establishing the law has several sources used. One of the sources used
in establising Islamic law is hadith. Hadith is the second source of law afther
the Quran. The law of the Quran is irrevocable unless there is a misunderstanding
in interpretation. However, in the hadith there are still hadiths that need to
be reviewed the quantity and quality of the hadith. The hadith are all words,
deeds that came from prophets in ancient times. So vulnerable that hadith can
be fully and shahih to his people. The companions of the prophets, the tabi’in,
and the scholars strive troughout theis lives to maintain the authenticity and
integrity of the hadith in order to be perfecly conveyed. Thus came the science
of science used to ensure the integrity and the possession of hadith. One of
the science used is Science Jarh Wa Ta’dil. This science discussed the position
of the previous narrator narrator. Of course, it is very important for muslims
to know which hadith sahih and whee the hadith are dha’if as law-setting in
islam.
Abstrak
Agama islam dalam menetapkan
hukum memiliki beberapa sumber yang dipakai. Salah satu sumber yang dipakai
dalam menetapkan hukum islam yaitu hadist. Hadist merupakan sumber hukum yang
kedua setelah Alquran. Hukum dalam alquran sudah tidak bisa diperdebatkan lagi
kecuali adanya kesalah pahaman dalam penafsiran. Namun, dalam hadist masih ada
hadist yang perlu ditinjau kembali kuantitas dan kualitas hadist tersebut.
Hadist merupakan semua perkataan, perbuatan yang berasal dari nabi pada zaman
dahulu. Sehingga rentan sekali hadist tersebut bisa sampai secara utuh dan shahih
kepada umatnya. Para sahabat nabi, para tabi’in, dan para ulama berusaha keras
selama hidupnya untuk menjaga keaslian dan keutuhan hadist agar dapat
tersampaikan dengan sempurna. Maka dari itu munculah ilmu ilmu yang digunakan
untuk memastikan keutuhan dan keshahihan hadist. Salah satu ilmu yang digunakan
yaitu Ilmu Jarh Wa Ta’dil. Ilmu ini membahas tentang kedudukan para rawi
yang meriwatkan hadist yang sama dari perawi perawi sebelumnya. Tentu, hal ini
sangat penting bagi umat islam agar mengetahui mana hadist yang shahih dan mana
hadist yang dha’if sebagai penetapan hukum dalam islam.
Keywords: Pengertian,
Faktor Munculnya, Tingkatan Jarh Wa Ta’dil
A. PENDAHULUAN
Hadist merupakan sumber hukum yang berasal
dari nabi muhammad SAW. Hadist digunakan sumber hukum setelah alquran dan
sebagai penguat alquran. Tentunya berbeda antara alquran dan hadist. Alquran
berasal dari allah sedangkan hadist merupakan semua ucapan perbuatan dan
tindakan nabi atau yang biasa kita sebut dengan sunnah nabi. Alquran sudah
tidak bisa dibantah lagi semua hukumnya namun dalam hadist terutama pada pada
zaman sekarang banyak yang perlu diteliti kembali keaslian dan keutuhannya.
Dalam memahami hadist tentunya
tidaklah mudah. Kita harus mempelajari ilmu ilmu lain yang membahas mengenai
hadist. Yang menjadi pertanyaan pada zaman saat ini adalah keaslian hadist
tersebut. hadist merupakan kabar yang datang dari nabi pada zaman dulu. Dan
disampaikan oleh para rawi sehingga sampai ke umat nabi pada saat ini. Namun
para ulama mulai kritis terhadap hadist mengenai apakah hadist tersebut benar
benar asli dari nabi muhammad atau itu merupakan hadist palsu.
Pada zaman sahabat masih sangat
dipercaya keaslian hadistnya, namun setelah masa para tabi’in banyak sekali
problem mengenai kritik hadist. Sehingga para ulama sepakat untuk membuat suatu
disiplin ilmu yang yang membahas tentang keaslian dan keutuhan hadist nabi,
yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Dan pada kajian ini tentunya akan di jelaskan lebih
lanjut mengenai latar belakang munculnya ilmu tersebut. dan bukan hanya latar
belakang saja melainkan hal hal yang mengenai tentang ilmu ini.
Namun sebelum itu kita akan membahas
terlebih dahulu mengenai pengertian ilmu jarh wa ta’dil ini. Agar kita dapat
memahami manfaat dan peran ilmu ini pada zaman yang bisa dikatakan sudah
dipenuhi kegelapan. Dimana banyak golongan golongan yang ingin merusak agama
islam. Kita sebagai umat islam harus lebih waspada terhadap masuknya budaya
dari luar dan mengantisipasinya.
B. PENGERTIAN
ILMU JARH WA TA’DIL
Ilmu jarh wa ta’dil dalam
pengertiannya sendiri diklasifikasikan secara bahasa atau etimologi dan juga
didefinisikan secara istilah atau terminologi. Banyak sekali para ulama berpendapat
mengenai istilah dari ilmu ini. Pada hakikatnya ilmu jarh wa ta’dil ini
merupakan bagian dari ilmu rijalil hadist. Namun karena ilmu ini dianggap
sangat penting sehingga ilmu ini dianggap sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Untuk memahami pengertian secara jelas akan kita bagi menjadi dua istilah yang
perlu kita pahami terlebih dahulu, yaitu arti dari jarh sendiri dan yang kedua
arti dari ta’dil itu sendiri.[1]
Ilmu jarh wa ta’dil secara bahasa
atau secara etimologi terbagi menjadi 2 kata yaitu al jarh dan ta’dil. Al jarh
merupakan bentuk isim masdar dari kata
جرح–يجرح-جرحا yang berarti melukai. Kata
melukai ini berkaitan dengan tubuh sehingga akan timbul mengalirnya darah
keluar dari dalam tubuh sebab sesuatu yang tajam. Jika berkaitan dengan
non-fisik dapat diumpamakan dengan luka hati sebab suatu perkataan yang kasar
seseorang. Namun, jika kata ini digunakan oleh seorang hakim dalam menentukan
keadilan maka kata ini memiliki arti “menggugurkan keabsahan saksi”. Sedangakan
secara terminologi atau secara isltilah dalam kitab ushul al-hadist menyatakan
bahwa al-jahr merupakan kepribadian seorang perawi yang tidak memiliki kualitas
menjadi seorang perawi sehingga hadist yang diriwayatkannya gugur dan ditolak.
Menurut definisi lain ada yang menyatakan bahwa lemahnya hadist yang dapat
ditolak periwayatnya sebab adanya sifat tercela dari seorang perawi.[2]
هو ظهور وصف فى الراوى يسلم عدالته او ىخل حفظه وضبطه
مما يترتب عليه سقوط روايته او ضعفها وردها
“ Menampakan suatu sifat kepada rawi yang dapat merusak keadilannya
atau merusak kekuatan hafalan dan ketelitiannya serta apa-apa yang dapat
menggugurkan riwayatnya ditolak”[3]
Kata al- ta’dil secara etimologi
atau secara bahasa merupakan bentuk isim masdar dari kata ‘addala – yu’addilu,
yang memiliki arti keadilan. Sedangkan secara terminologi atau secara istilah
dapat diartikan suatu sifat yang harus dimiliki seorang perawi yaitu sifat
keadilan yang menyebabkan hadist yang diriwayatkannya dapat diterima. Keadilan
disini menyangkut akan halnya seorang perawi harus melaksanakan perintah allah
dan menjauhi larangan allah.[4]
وصف الراوى بصفات
تزكية فتظهر عدالته ويقبل خبره
“ Sifat rawi dari segi
diterima dan nampak keadilannya”
Adapun pengertian
tentang ilmu jarh wa ta’dil ialah:
هوالعلم الذى
يبحث فى احوال الرواه من حيث قبول روايتهم اوردها
“Ialah suatu ilmu yang
membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya."[5]
علم يبحث فيه عن
جرح الرواة وتعديلهم بالفاظ مخصوصة وعن مراتب تلك الالفاظ
Artinya: “ilmu yang menerangkan tentang catatan
catatan yang dihadapkan pada para perawi dan tentang pengadilannya (memandang
adil perawi) dengan memakai kata kata yang khusus dan tentang martabat kata
kata itu.”[6]
Selain
pengertian diatas, banyak dari para ulama yang memberikan pendapat mengenai
istilah ilmu jarh wa ta’dil. Para ulama ada yang mengatakan bahwa ilmu ini
membahas tentang keadaan para rawi hadist yang dapat mencacatkan atau
diterimanya suatu hadist yang di riwayatkan melalui lafadz tertentu. M. Hasbi
Ash-Shiddiqy juga berpendapat mengenai ilmu ini, beliau mengemukakan bahwa ilmu
ini menjelaskan kualitas para rawi yang kurang terpenuhi sehingga tertolaknya
suatu hadist atau bisa dikatan hadist yang cacat. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa ilmu jarh wa ta’dil ialah ilmu yang mebahas tentang suatu keadaan para
rawi hadist baik dari segi kualitas maupun sifat kepribadianya yang dapat
diterima atau ditolaknya suatu hadist.[7]
C. LATAR BELAKANG MUNCULNYA ILMU JARH WA TA’DIL
Dari pengertian secara singkat mengenai ilmu jarh wa ta’dil yang
menekankan pada aspek sanad atau para perawinya menandakan bahwa ilmu jarh wa
ta’dil ini sudah ada sejak awal kemunculan islam. Para ulama bersikap kritis
terhadap para rawi yang meriwayatkan sebuah hadis, apakah mereka jujur atau
berdusta. Oleh sebab itu, para ulama meneliti sebuah rawi dilihat dari tinjauan
kualitas dan kepribadiannya, sehingga akan diketahui mana hadist yang dapat
dijadikan sumber hukum dan mana hadist yang cacat. Para ulama juga menganjurkan
ilmu ini karena ilmu ini bisa dikategorikan sebagai nasehat dalam agama. Dan
juga dijelaskan dalan Alquran surat Al-hujarat (49) yang menjelaskan tenatng
pemilihan dalam menentukan hadist yaitu kita dilarang mengambil hadist dari
orang fasiq dan tidak tsiqot.[8]
Adapun
faktor yang melatar-belakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dil ini bukan hanya
sikap kritis dari para ulama, akan tetapi masih banyak faktor yang lain pemicu
munculnya ilmu ini. Dilihat dari tujuan ilmu ini tak lain hanyalah sebagai
menjaga keaslian dan keutuhan sumber hukum islam yang tinggi yaitu alquran dan
hadist. Menyangkut alquran sendiri mungkin para ulama tidak perlu
mendebatkannya karena sudah diyakini bahwa alquran sudah terjaga langsung oleh
allah. Namun hadist yang merupakan sunnah sunnah nabi muhammad SAW ini lah yang
menjadikan para ulama khawatir mengenai tersampainya hadist ini ke generasi
berikutnya. Faktor yang paling utama yaitu adanya gerakan pemalsuan hadist
(al-wadh’u). Sehingga para ulama berusah untuk mencegah gerakan tersebut dengan
melahirkan disiplin ilmu diantaranya,
(1) ilmu tentang isnad hadist,
(2) melakukan pengecekan dan validitas sebuah hadist,
(3) ilmu jarw wa ta’dil,
(4) mengklasifikasikan hadist menjadi tiga jenis:
shahih, hasan, dan dhaif.[9]
Maka
dari itu, mulailah berkembang salah satu disiplin ilmu yaitu ilmu jarh wa
ta’dil dan para sahabat dan para tabi’in bersikap hati hati dalam menerima
riwayat dari para perawi, yang kurang bertanggung jawab. Perkembngan ilmu ini
sudah di mulai sejak pada zama sahabat. Pada masa sahabat banyak buku yang
menjelaskan tentang keadaan perawi seperti kitab Al-kamil yang menjelaskan
keadaan perawi hadist seperti ibnu Abbas (68 H), Anas ibnu Malik (93 H), dll.
Pada masa ini masih sedikit para perawi yang dinggap cacat dalam
periwayatannya. Meskipun juga masih ada kesalahan yang tidak sengaja dalam
penulisan matannya. Sehingga hanya perlu konfirmasi antar para sahabat mengenai
kesalahan yang terjadi.[10]
Seiring
berkembangnya pada zaman sahabat dalam hal kritis hadist bukan hanya terletak
pada matannya saja, melainkan mulai ada pengkritisan tentang sanad hadistnya.
Pengkritikan ini dimulai akibat terjadinya al-fitnah al-kubra (bencan besar)
dengan terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan juga adanya perang antara
Muawiyah dan Ali. Kejadian tersebutlah yang menyebabkan perpecahan pada umat
islam. Sehingga pada masa inilah mulai digunakan ilmu jarh wa ta’dil. Kemudia
sikap kritis ini mulai berlanjut ke masa para tabi’in dan banyak para tokoh
tokoh islam yang ahli dalam karakteristik hadist seperti Yahya bin Said al-
Qattan yaitu orang yang pertama yang menghimpun mngenai ilmu ini. Pada abad
kedua hijriyah ilmu ini masih belum dibukukan. Namun mulai tumbuh generasi yang
meneruskan atau yang ahli dalam bidang kritik hadist. Diantara mereka sudah
mulai memunculkan kitab kitab yang secara khusus membicarakan ilmu jarh wa
ta’dil seperti karya imam Bukhori dll.[11]
Adapun
kitab kitab yang telah tersusun dalam ilmu jarw wa ta’dil adalah sebagai
berikut:
1. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi perawi
yang terpercaya diantaranya :
a. Kitab Al-tsiqah karangan ibnu Hibban (351 H)
b. Kitab Al-tsiqah karangan Zainuddin Qasim Al- Hanafi
(879 H)
2. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang
lemah diantaranya:
a. Kitab Adl Al- Dhu’afa karya imam Bhukori
b. Kitab Al- Kamil karangan Ibn ‘Adi (365 H)
c. Dll.
3. Kitab yang diklasifikasikan berdasarkan perawi yang
terpercaya dan lemah diantaranya:
a. Kitab Al- jarh wa At-Ta’dil karangan Ibnu Hatim Al-
Razi (337 H)
b. Kitab At- Thabaqat Al- Kubra karangan Muhammad bin
Sa’ad (235 H)[12]
Ilmu
jarh wa ta’dil berkembang pada masa sahabat hingga saat ini juga karena takut
pada apa yang pernah disabdakan nabi Muhammad SAW: “Akan ada pada umatku
yang terakhir nanti orang orang yang menceritakan hadist kepada kalian apa yang
belum pernah kalian dan juga bapak bapak kalian mendengar sebelumya. Maka
waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqoddimah Shahih
Muslim).[13]
D. TINGKATAN ILMU JARH WA TA’DIL
Dalam ilmu jarh wa ta’dil juga memiliki tingkatan tingkatannya. Seorang
perawi memiliki tingkatan jarh dan ta’dil yang berbeda-beda. Perbedaan
tingkatan jarh dengan tingkatan ta’dil yaitu terletak pada susunanya. Jika
tingkatan jarh disusun dengan urutan ke atas, sedangkan tingkata ta’dil disusun
dengan urutan ke bawah. Adapun tingkatan tingkatan jarh wa ta’dil adalah
sebagai berikut:
1.
Tingkatan
Tingkatan Jarh
a.
Tingkatan
pertama, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan adanya kelemahan atau
hanya sekedar dha’if yang tidak bisa dijadikan pegangan seperti lafadz: layyin
al-hadits (maksudnya hadits yang lemah) atau fiihi dha’fun (maksudnya padanya
ada kelemahan.
b.
Tingkatan
kedua, yaitu penyiftan seorang rawi dengan menunjukan adanya kelemahan dho’if
yang lemah sekali atau pelemahan yang lebih besar dari tingkatan sebelumnya.
Seperti: ia mempunyai hadist hadist yang munkar atau majhul (tdk memiliki
identitas)
c.
Tingkatan
ketiga, yaitu penyifatan rawi yang menggugurkan hadist, seperti mardud
al-haditsl (hadistnya ditolak), raddu hadtsahu (mereka menolak hadistnya).
d.
Tingkatan
keempat, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukkan tidak adil, seperti
matruk al-hadist (haditstnya di tinggalkan), saqih halik (gugur dan rusak),
dll.
e.
Tingktan
kelima, yaitu penyifata seoarng rawi yang menunjukan adanya tuduhan dusta,
sifat dusta, atau pemalasuan hadist, seperti fulan dituduh berdusta atau
dituduh memalsukan hadist atau mencuru hadist.
f.
Tingkatan
keenam, yaitu penyifatan seorang rawi yang menunjukan adanya sifat dusta yang
berlebihan, dan ini seburuk buruknya tingkatan, seperti fulan seorang pembohong
atau ia merupakan puncak kedustaan.
Hukum tingkatan al-jarh jika dilihat dari tngkatannya
bahwa perowi yang berada di kedua lebih rendah kedudukannya dari pada yang
pertama. Jadi bisa disimpulkan bahwa perowi yang berada ditingkatan keempat
sapai keenam hadits nya tidak bisa digunakan sebagi hujjah dan juga harus
dihapuskan.[14]
2. Tingkatan Tingkatan Ta’dil
a. Tingkatan pertama, yaituseorang rawi yang memiliki
sifat keadilan dan kedhobitan yang tinngi (bentuk mubalaghoh) seperti fulan
adalah manusia yang paling teguh, dll.
b. Tingkatan kedua, yaitu rowi yang memliki sifat
kemasyhuran dalam kedilan dan kecermatan atau sifat yang mnguatkan
kestsiqohannya seperti tsiqah tsiqah, atau tsiqah tsabit.
c. Tingkatan ketiga, yaitu sifat rowi yang munjukan
adanya ketsiqahan tanpa adanya penguatan seperti tsiqah, tsabat, mutqin dll.
d. Tingkatan keempat, yaitu rawi yang menunjukan tanpa
adanya isyarat akan kedhobitan dan kecermatan seperti orang terpercaya, orang
yang jujur dll.
e. Tingkatan kelima, yaitu rawi yang tidak menunjukan
adanya celaan (jarh) seperti manusia meriwayatkan darinya.
f. Tingkatan keenam, yaitu rawi yang yang mendekati
adanya jarh seperti fulan lumayan, haditsnya benar,dll.
Hukum tingkatan ta’dil yaitu untuk tingkatan yang
pertama bisa dijadikan sebagai hujjah meskipun kekuatan kedhobitannya berbeda
beda, namun untuk tingkatan yang selanjutnya tidak bisa dijadikan hujjah namun
boleh ditulis sebagai bahan pelajaran dan bisa membandingkan dengan hadist yang
lain.[15]
E. MACAM MACAM KE’AIBAN RAWI
Pada dasarnya aib seorang rawi itu banyak sekali namun hanya ada 5 yang
disebutkan secara umum, yaitu:
1. Bid’ah yaitu orang melakukan tindakan tercela yang
keluar dari syariat islam.
2. Mukhalafah yaitu rawi yang berlainan dengan rawi yang
lebih tsiqah.
3. Ghalat yaitu rawi yang banyak melakukan kesalahan dalam
meriwayatkan hadist.
4. Jalahatu’l hal yaitu rawi yang tidak memiliki
identitasnya atau tidak dikenal.
5. Da’wa’l-inqitha yaitu rawi yang sanadnya tidak
bersambung.[16]
F. MANFAAT ILMU JARH WA TA’DIL
Hadist
merupakan sumber hukum agama islam yang patut kita pelajari dan mengikuti
sunnah sunnah didalamnya. Dalam mempelajari sebuah hadist tentunya banyak
sekali metode yang kita pahami dari segi kualitas hadist maupun kuantitas
hadist tersebut. Kualitas sebuah hadist terletak pada sanad dan matannya. Jadi
hadist yang bisa diterima atau di tolak itu kita bisa ketahui melalui suatu
disiplin ilmu yaitu ilmu jarh wa ta’dil. Dalam hal ini, ilmu ini sangat
bermanfaat bagi kita umat nabi muhammad sebagai penerima kabar baik harus
memahami ilmu ini agar tidak salah dalam menerima sebuah hadist. Dan dengan
danya ilmu ini kita dapat mngetahui mana hadist yang shohih dan mana hadist
yang dhaif. Dan yang terpenting ilmu ini membahas tentang keadaan seoarng
perawi dari segi kualitasnya.[17]
Dalam
ilmu jarh wa ta’dil juga di jelaskan mengenai syarat syarat orang yang boleh
pentajrih atau penta’dil. Diantanya yaitu harus orang yang alim, bertaqwa,
orang yang wara’, jujur, tidak menunjukan jarh, dan tidak fanatik terhadap
rawi. Selain itu ada pula syarat lain yaitu harus minimal dua orang yang
ment’dil atau pentajrih. Namun ada pula yang mngatakan hanya cukup satu orang
saja dalam hal penta’dilan atau mentajrih sebab bilangan tidak menjadi syarat
dalam hadist.[18]
G. PENUTUP
Dari kajian diatas maka dapat disimpulkan bahwa ilmu jarh wa ta’dil
merupakan salah satu cabang ilmu hadist yang membahas tentang keadaan para rawi
dalam hal meriwayatkan sebuah hadist yang di tinjau dari kuantitas maupun
kualitas seorang perawi sehingga akan dapat diketahui riwayat hadistnya ditolak
atau dapat diterima. Ilmu jarh wa ta’dil ini sudah ada sejak pada zaman nabi
karena beberapa faktor penyebab munculnya disiplin ilmu ini. Hingga sampai saat
ini pun ilmu ini masih tetap di pelajarai agar kita sebagai generasi penerus
mampu membedakan mana hadist yang shahih dan mana hadis yang dha’if.
Salah
satu faktor yang melatarbelakangi munculnya ilmu jarh wa ta’dl ini yaitu adanya
gerakan pemalsuan hadist. Sehingga para sahabat pada zaman dahulu sangat
berhati hati dalam menyampaikan atau menerima hadist. Sehingga para ulama
mencoba untuk mencegah adanya gerakan tersebut dengan memunculkan disiplin ilmu
ini. Ilmu ini melihat kualitas hadis dari sisi sanadnya. Pada zaman sahabat masih
sedikit para perawi yang lemah, namun setelah pada zaman tabi’in mulai banyak
para perawi yang melakukan kesalahan disengaja maupun tidak sengaja. Sehingga
peran dari ilmu jarh wa ta’dil ini mulai berkembang.
Ilmu
jarh wa ta’dil memliki tingkatan tingkatan yaitu tingkatan jarh dan tingkatan
ta’dil. Perbedaan keduanya terletak pada urutan susunannya. Banyak para ulama
yang berbeda pendapat mengenai jumlah tingkatan ilmu ini. Sehingga menimbulkan
problematika di kalangan para ulama. Seperti halnya juga perbedaan pendapat
pada syarat orang yang menta’dil atau mentarjih. Ada yang mngatakan dua orang
dan ada pula yang mengatakan cukup satu orang.
Ilmu
jarh wa ta’dil ini juga memberikan manfaat dan peran yang sangat penting bagi
kita. Mengingat akan apa yang pernah disabdakan rosul mengenai akan datang
seseorang yang menyampaikan kabar yang kalian maupun bapak bapak kalian belum
mengetahui. Maka dari dengan adanya ilmu kita bisa mengetahui mana hadist yang
benar banar dari nabi atau bukan.
Demikian
kajian yang dapat kami paparkan semoga
bermanfaat bagi pembaca dan juga bagi kita selaku penulis. Apabila ada
kekurangan pada pada materi ini kami memohon saran agar bisa kami perbaiki dan
menjadi lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ma’ani,
Bahrul.2010.Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu.Jurnal penelitian:
Media Akademi
Muhammad Ahmad
dan M. Mudzakir.2004.Ulumul Hadist.Bandung: Pustaka Setia
Mujibatun,
Siti.2014.Paradigma Ulama Dalam Menentukan Kualitas Hadist.Jurnal
Penelitian: UIN Walisongo Semarang
Musaddad,
Endad.Ilmu Al-jarh Wa Al-ta’dil.(jurnal penelitian)
Muzayyin,
Ahmad.2017.Kualitas Hadist Ditentukan oleh kualitas Rawi Dalam Sanad.Jurnal
Penelitian: STAI Darul Kamal
Nuruddin,
Triyasyid.2008.Al-jarh wa At-ta’dil.Jurnal Penelitian
Rahman,
Fathur.1980.Ikhtishar Mushthalahu’l HadistBandung: PT Al-Ma’arif.
Smeer,
Zeid B.2008.Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis.Malang: UIN
Malang Press
Sulaiman,
M. Noor.2008.Antologi Ilmu Hadist.Jakarta: Gaung Persada Press.
Suryadilaga,
M. Al- fatih, dkk.2010.Ulumul Hadist.Yogyakarta: Teras
Catatan:
1.
Similarity hanya 4%. Bagus
2.
Jika referensi itu diambil dari jurnal,
maka harud dicantumkan lengkap identitas jurnalnya.
3.
Abstrak belum mengkover isi pembahasan.
4.
Tingkatan-tingkatan jarh dan ta’dil
lebih baiknya ditambahkan redaksi Arabnya, supaya diketahui Arab, latin, dan terjemahannya.
[1] Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
hal. 59.
[2] M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
hal. 176.
[3] Endad
Musaddad, Ilmu Al-jarh Wa Al-ta’dil, (jurnal penelitian)
[4] Loc.cit,
hal.176
[5] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadist, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980),
hal. 268.
[6] Muhammad
Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2004),
hal. 59.
[7] M. Noor
Sulaiman, Antologi Ilmu Hadist, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008),
hal. 177.
[8]
Zeid B. Smeer, Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis, (Malang:
UIN Malang Press, 2008), hal. 133.
[9] Ibid.
Hal. 135-136.
[10]
Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, ulumul hadist, (Bandung: Pustaka Setia,
2004), hal. 60.
[11] M.
Al-fatih Suryadilaga, dkk, Ulumul Hadist, (Yogyakarta: Teras, 2010),
hal. 158
[12] Bahrul
Ma’ani, Upaya Menghindari Skeptis dan Hadis Palsu, (Jurnal penelitian:
Media Akademi, 2010)
[13] Zeid B.
Smeer, Ulumul Hadist: Pengantar Studi Hadist Praktis, (Malang: UIN
Malang Press, 2008), hal. 135.
[14] Ibid,
hal. 141.
[15]Triyasyid
Nuruddin, Al-jarh wa At-ta’dil, (Jurnal Penelitian, 2008), hal.3
[16] Fatchur
Rahman, Ikhtishar Mushthalahu’l Hadist, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1980),
hal. 268.
[17] Ahmad
Muzayyin, kualitas Hadist Ditentukan oleh kualitas Rawi Dalam Sanad, (Jurnal
Penelitian: STAI Darul Kamal, 2017)
[18] Siti
Mujibatun, Paradigma Ulama Dalam Menentukan Kualitas Hadist, (Jurnal
Penelitian: UIN Walisongo Semarang, 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar