MANTHUQ, MAFHUM, MUJMAL, MUBAYYAN
Aniza Dewi Fatmala, M. Zuhrin Nada
Mahendra, Lina Alfiatur Rochmania
Mahasiswa PAI B Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Email : anizadewif6@gmail.com
ABSTRACT
Language ia an essentials means of
communication in humans everyday life. They are required understanding of each
other through good communication both directly or indirectly. Then, servants
communicate to Alloh the Almighty through Kalamullah. However, to understand
the meaning and the purpose of it is not as easy as understand the conversation
between fellow human. Moreover, it is needed deep and specific comprehension of
language terms to comprehend it to avoid any misunderstanding of the points.
Because many of the verses of the holy Qur'an are obscure and cryptic in
meaning. In this case called as Mujmal and Mubayyan verses. And also found
verse when it is reviewed its appointment (Dalalah) in a law could be conceived
directly which ia called as Mantuq verse. In contrast, there also found verse
that could not be conceived directly (implied) and there should be
explained before and it is known as
Mafhum verse.
Keywords : Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
ABSTRAK
Bahasa merupakan sebuah alat penting yang
digunakandalam kehidupan sehari-hari. Dalam berkomunikasi dengan siapapun,
diperlukan bahasa untuk saling mengerti. Termasuk komunikasi antara sesama
manusia maupun antara Allah SWT, melalui kalamullah dengan para
hamba-Nya. Namun dalammemahami arti, makna dan maksud dari kalamullah
tidak semudah memahamipercakapan dengan sesama manusia. Sehingga dalam
segibahasa yang terdapat dalam kalamullah perlu dipahami secara mendalam
dan spesifik agar tidak salah dalam memahami maksudnya. Karena masih banyak
sekali yang belum jelas dan samar maknanya. Dalam hal ini ada ayat yang belum
jelas maknanya yaitu ayat mujmaldan mubayyan. terdapat ayat
dimana jika ditinjau darisegi penunjukkannya (dalalah) akan suatu hukum
baik dapat dipahami secara langsung atau disebut sebagai ayat manthuq.
Sebaliknya, ada juga yang tidak dipahami secara tidak langsung (tersirat) dan
harus ada penunjuknya terlebih dahulu bisa disebut sebagai ayat mafhum.
Kata kunci :Manthuq, Mafhum, Mujmal, Mubayyan
A. PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, Al-Qur’an dan Hadits
merupakan pedoman bagi seluruh umat islam dan hal ini tidak bisa dipisahkan
dari hukum islam atau fiqh Islam. Segala sesuatu yang dilakukan umat muslim
haruslah sesuai dengan apa yang telah disyariatkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits,
namun untuk memahami maksud yang terkandung di dalamnya tidaklah mudah. Ada
beberapa makna yang masih samar dan membutuhkan penjelasan lebih. Untuk bisa
memahami maksud-maksud yang terkandung di dalamnya, kita bisa menggunakan salah
satu ilmu metodologi yaitu ilmu ushul fiqh. Dalam ilmu ushul fiqh ada beberapa
bab yang menjelaskan secara jelas tentang makna yang masih belum jelas didalam
Al-Qur’an.
Beberapa bab yang ada di dalam ushul fiqh
diantaranya yaitu Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan. Untuk
mendapatkan pemahaman yang jelas, maka sangat penting kita mempelajarinya dan
untuk mempelajarinya kita membutuhkan ketelitian dan wawasan yang luas agar
lebih cepat memahaminya. Kita mampu menjelaskan dan mengklarifikasi perkataan
mana saja yang di dalam Al-Qur’an yang sekiranya masih memerlukan penjelasan
yang lebih dan jelas. Karena awalnya masih bersifat umum yang nantinya dapat
diuraikan secara jelas dengan cara mempelajari Manthuq, Mafhum, Mujmal, dan
Mubayyan.
Maka dari itu kita perlu mempelajari hal
ini agar nantinya kita mampu mengetahui dan paham akan makna serta hukum yang
terdapat di dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Dalam makalah ini, kami akan
membahas mengenai perbedaan jenis-jenis lafadz yang terdiri dari Manthuq,
Mafhum, Mujmal, dan Mubayyan dalam makalah ini.
B. AL-MANTHUQ (المنطوق)
1. PENGERTIAN MANTHUQ
Para Ushulliyin (ahli ushul fiqh)
mendefinisikan manthuq dengan definisi sebagai berikut :
دلالة اللفظ فى محل النطق على حكم المذكور
“Penunjukan lafadz
menurut apa yang diucapkan atas hukum apa yang disebut dalam lafadz tersebut”
Dari definisi tersebut memiliki arti
bahwasanya jika memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang tersurat secara
gamblang dan jelas pada lafadz tersebut, pemahaman tersebut dinamakan pemahaman
secara “manthuq”.[1]Dengan
kata lain, mantuq merupakan pengertian secara harfiah dari suatu lafadz
yang terucapkan.[2]
Sehingga dalam memahami hukum apa yang
berkaitan dengan pengertian dari sebuah lafadz tersebut sudah dapat dipahami
dengan jelas apa adanya dan tidak diperlukan perantara lagi untuk memahaminya
itulah yang dinamakan dengan manthuq.[3]
Sebagai contoh, firman Allah SWT yang
terdapat dalam QS. An-Nisa’ 4:23 :
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ
ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ فَإِن
لَّمۡ تَكُونُواْ دَخَلۡتُم بِهِنَّ٢٣
23. … (jangan kamu
mengawini) anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah
kamu campuri…
Dari ayat tersebut, terdapat sebuah
penjelasan secara apa adanya bahwasanya : haram untuk mengawini seorang anak
tiri dengan dua alasan ketentuan, yaitu karena anak tiri tersebut berada dalam
asuhan suami dan ibu dari anak tiri tersebut sudah pernah digaulinya.[4]
2. KLASIFIKASI MANTHUQ
Klasifikasi manthuq dapat dilihat
dari segi lafadz dan segi dalalah-nya.[5]
a. Berdasarkan lafadznya, manthuq
dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dzahir, nash, mufassar, muhkam.
1. Dzahir
Dzahir menurut bahasa berarti jelas, terang, tampak. Sedangkan menurut istilah
yaitu “suatu lafadz yang menunjuk kepada makna yang diinginkan oleh sighat
lafadz itu sendiri, namun bukan sebuah makna tersebut yang dimaksudkan oleh siyaqul
kalam dan lafadz itu sendiri masih bisa dita’wilkan, ditafsirkan,
dan bisa juga dinaskhkan saat zaman Rosulullah.”
Dzahir juga bisa diartikan sebagai berikut :
الظاهر هو المتردد بين أمرين وهو في أحدهما
أظهر
“Dhahir yaitu lafadz
yang artinya berada diantara dua arti, namun salah satu diantaranya tersebut
lebih jelas / lebih dzahir.”[6]
Dari definisi-definisi diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa dzahir adalah dalil yang mana memungkin atau bahkan
membutuhkan takwil agar tidak terjadi kesalahpahaman, sehingga artinya dari
dapat lebih sesuai dan lebih serasi.Sebagai contoh
teradapat dalam QS. An-Nisa’: 3
وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا
طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ٣
Makna
dzahir dari ayat tersebut yaitu dihalalkannya menikahi wanita-wanita
yang disukai, namun menurut siyaqul kalam yaitu boleh menikahi wanita
sampai empat.
a.
Hukum dari lafadz
dzahir
Menurut
definisi dzahir dan contohnya, dapat kita pahamai bahwa segala ketentuan
lafadz-lafadz yang diambil dari dalil yang dzahir harus diartikan sesuai
dengan arti lafadz dzahirnya dalil tersebut. Kecuali apabila ada
pendapat atau argumentasi yang diambil dari dalil lain dan sangat kuat untuk
dijadikan dasar takwil pada arti yang lain.
Sehingga
lafadz dzahir yang umum harus diartikan tetap dan sesuai pada umumnya,
sedangkan lafadz dzahir yang mutlak juga tetap diartikan sesuai
pada mutlaknya. Oleh karena itu apabila ada lafadz ataupun dalil dzahir ditakwilkan
pada arti lain maka disebut dengan lafadz mu’awwal.
b.
Macam-macam
lafadz dzahir[7]
·
Lafadz dzahir
yang memiliki arti hakiki.
Lafadz
ini berlaku pada kehakikiannya, selama tidak ditemukan qorinah yang
mengubah artinya menjadi arti majazi. Sebagai contoh terdapat QS. Adz-dzariyat
: 47 dan Al Fath : 10
وَٱلسَّمَآءَ بَنَيۡنَٰهَا بِأَيۡيْدٖ وَإِنَّا
لَمُوسِعُونَ ٤٧
47. Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan
sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa
Dari
dua ayat tersebut, terdapat lafadz yang berbuyi أَيْدٍyang punya pengertian berbeda,
ada dua macam arti. Pertama yaitu “tangan” dan kedua yaitu “kekuasaan”. Namun
dari lafadz tersebut, arti secara dzahirnya yaitu “tangan”. Sehingga
arti dzahir dari lafadz أَيْدٍyaitu
“tangan”, walaupun juga bisa diartikan “kekuasaan” yang berarti majaz atau kiasan dari
kata “tangan” tersebut. Karena untuk menentukan arti lafadz أَيْدٍmenjadi “kekuasaan” masih
membutuhkan beberapa pendapat dan argumentasi yang sesuai serta kuat. Apabila tetap
tidak dapat menunjukkan argumentasi dari lafadz أَيْدٍdiartikan sebagai “kekuasaan”,
maka lafadz itu harus tetap diartikan secara dzahirnyayaitu “tangan”.[8]
·
Lafadz dzahir
mutlak.
Lafadz
dzahir yang mutlak ini pemberlakuannya didasarkan pada kemutlakan
lafadz itu sendiri selama tidak ditemukan dalili yang mengqayyidkannya.
Jika lafadz mutlak tersebut telah diqayyid, maka yang berlaku yaitu qayyidnya.
Sebagai contoh terdapat QS. An-Nisa’: 24
...وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمۡ ...
٢٤
24. .... Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian …
Dari
ayat tersebut bisa kita pahami bahwa halal menikahi wanita-wanita selain yang
telah disebutkan pada ayat sebelumnya, namun dihalalkannya menikahi
wanita-wanita tersebut dibatasi oleh QS An-Nisa’ : 3, yaitu tidak
diperbolehkannya menikah lebih dari empat orang.
·
Lafadz dzahir
umum.
Pemberlakuan
dzahir umum ini didasarkan pada keumumannya selama tidak ditemukan
dalil-dalil yang mentakhshishkannya, jika lafadz umum tesebut telah ditakhshish,
maka yang berlaku yaitu mukhashishnya. Sebagai contoh terdapat pada
QS. Al-Baqoroh : 275
... وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ
ٱلرِّبَوٰاْۚ ... ٢٧٥
275. … padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba….
Dari
ayat tersebut ditemukan bahwa makna dzahir pada ayat tersebut mencangkup
segala hal tentang jual beli, lalu ditakshish dengan sabda Nabi Muhammad
SAW yang artinya: “Rosulullah SAW melarang jual beli yang belum tentu dapat
dimiliki oleh pembeli” (HR. Muslim)
2. Nash[9]
Nash yaitu lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan makna itu tersebut maupun makna
yang diinginkan siyaqul kalam dan masih bisa dita’wilkan dan ditafsirkan
serta masih bisa dinasakh pada masa Nabi Muhammad SAW.
...مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ
دَيۡنٍ ... ١٢
12. …sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. …. (An
Nisa 4 : 12)
Dari
ayat itu, kita dapat mengambil sebuah pemahaman dari nashnya, bahwa
mendahulukan wasiat serta membayarkan hutang daripada membagikan berbagai
hartanya kepada para ahli waris. Arti tersebutlah yang juga diinginkan oleh siyaqul
kalam.
a.
Hukum lafadz nash
Pengamalan
lafadz nashharus sesuai dengan arti siyaqul kalam selam tidak ditemukan
dalil yang mentakwil dan menafsrikan serta menasakhnya.
b.
Macam-macam
lafadz nash
1.
Nash
Mutlak
Lafadz
nash yang mutlak berlaku pada kemutlakannya selama tidak ditemukan dalil
yang bisa menqayyidkannya. Seperti contoh yang terdapat di QS. An-Nisa 4:12
...مِنۢ بَعۡدِ وَصِيَّةٖ يُوصَىٰ بِهَآ أَوۡ
دَيۡنٍ ... ١٢
12. …sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. …. (An
Nisa 4 : 12)
Ayat
itu merupakan ayat nash yang mutlak menerima takhsish dari Nabi Muhammad
SAW sebagai mana diriwayatkan oleh Imam Nasa’i yang artinya berbunyi: “Sepertiga
itu banyak dan besar, karena jika kamu meninggalkan ahli waris dalam keadaan
yang berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin dan meminta-minta kepada orang banyak”. Sehingga wasiat
tersebut tidak boleh melebihi dari sepertiga harta.
2.
Nash Umum
Lafadz
nash yang umum berlaku pada keumumannya selama tidak ditemukan dalil
yang bisa mentakhsishkannya. Sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2:228
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ
... ٢٢٨
228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru´.
Pengertian
dari nash umum yang ada pada ayat tersebut ialah seluru wanita (istri),
yang telah berhubungan intim maupun yang belum, baik yang sedang hamil maupun
tidak, lebih baik untuk menunggu tiga kali suci/haidnya. Keumuman dari ayat
tersebut ditakhshish oleh QS Al-Ahzab : 49
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا نَكَحۡتُمُ ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ
ثُمَّ طَلَّقۡتُمُوهُنَّ مِن قَبۡلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمۡ عَلَيۡهِنَّ
مِنۡ عِدَّةٖ تَعۡتَدُّونَهَاۖ ٤٩
49. Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian
kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib
atas mereka ´iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya
Wanita
yang telah diceraikan suaminya sebelum dia dicampuri, maka mereka tidak memiliki
masa iddah. Lafadz nash, yang mutlak maupun umum, tetap diartikan
sesuai makna hakikinya hingga ditemukan dalil yang menginginkan makna
majazinya. Sebagai contoh hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim yang
artinya : “Jangalah kamu dengan dua takar”
Makna
hakiki dari lafadz “Sha” yaitu tempat ataupun alat yang digunakan untuk
menakar, namun yang diinginkan hadits tersebut ialah makna majazi, yaitu makanan
yang dijualbelikan dengan menggunakan alat takar tersebut.
3. Mufassar[10]
Mufassar ialah “lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan sighat lafadz
tersebut atupun siyaqul kalam, namun ia tidak bisa ditafsirkan serta
ditakwilkan selain dengan syara’ itu sendiri dan bisa menerima nasakh saat masa
Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana contoh yang terdapat pada QS. At-Taubah :36 yang
berbunyi
وَقَٰتِلُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ كَآفَّةٗ كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمۡ
كَآفَّةٗۚ ٣٦
36. dan perangilah
kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya
Lafadz
“kaffah” yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan mufassar,
tidak bisa ditafsirkan ataupun ditakwilkan dengan yang lainnya.
a.
Hukum lafadz mufassar
Pengamalan
lafadz mufassar harus sesuai dengan petunjuk (dalalah) dari
lafadz itu sendiri ataupun oleh syara’ selama tidak ditemukan dalil shohih yang
bisa menasakhnya.
b.
Macam-macam
lafadz mufassar
1.
Mufassar
tafsili
Mufassar
tafsili atau yang bisa disebut dengan mufassar lidzatihi yaitu mufassar
yang lafadznya sudah terperinci dan tidak menginginkan dalil lain agar bisa
menjelaskannya. Sebagaimana contoh yang terdapat pada QS. An-Nur : 4
فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ ٤
4. maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali
dera,
Lafadz
“tsamanina” (berarti delapan puluh) yang terdapat dala ayat tersebut
sudah bisa dipahami dengan lafadz itu sendiri, sehingga tidak membutuhkan
lafadz lain yang bisa menjelaskannya. Serta pengertiannya tidak bisa
ditakwilkan serta ditafsirkan.
2.
Mufassar
ijmali
Mufassar
yang lafadznya belum terperinci penjelasannya serta masih
membutuhkan lafadz lain agar bisa menjelaskan dan memperincinya. Sebagaimana
contoh yang terdapat QS. An-Nisa 4:77
وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ ٧٧
77. dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!
Yang
diinginkan dari ayat tersebut ialah menunaikan shalat serta membayar zakat,
namun tidak disebutkan bagaimana caranya, sifatnya, waktu serta hal lainnya.
Hal ini membutuhkan dalil lain untuk memperincinya. Dalil yang mampu
menjelaskan secara rinci terkait sholat dan zakat ialah sabda Nabi Muhammad SAW
yang diriwayatkan oleh Bukhari: “sembahyanglah kamu sekalian sebagaimana
kamu melihatku sembahyang”
Sehingga
jelaslah apa saja yang diinginkan oleh QS. An-Nisa’ 4:77 tersebut. Jadi, seorang
mukallaf bisa melaksanakan sholat sesuai maksud syara’.
4. Muhkam[11]
Muhkam ialah lafadz yang merujuk pada makna yang diinginkan oleh sighat
tersebut serta siyaqul kalam, namun tidak bisa ditafsirkan dan
ditakwilkan serta dinasakh saat masa Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana contoh
dalam QS. An-Nur : 4
وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ ٤
4. dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya.
Dari
ayat diatas, dapat kita ketahui bahwa terdapat pengertian agar menolak
persaksiannya mereka selamanya. Dalam ayat tersebut terdapat lafadz “abadan”
(berarti selamanya) yang tidak dapat lagi dinasakh. Menurut pendapat Imam
Hanafi bahwa semua yang terkena had terkait qadzaf tidak bisa
diterima segala persaksiannya, walaupun dia sudah melakukan taubat. Sedangkan
menurut pendapat Imam Syafi’i, jika orang itu telah bertaubat maka
persaksiannya yang diucapkannya bisa diterima.
a.
Hukum lafadz muhkan
Pengamalan
lafadz muhkamwajib secara qath’i, sebab sudah tidak bisa ditakwilkan
pada arti yang lain dan juga sebab sudah tidak bisa lagi dinasakh serta
ditafsirkan.
b.
Macam-macam
lafadz muhkam
1.
Muhkam Lidzatih
Yaitu
muhkam yang lafadznya tidak bisa menerima segala nasakh yang disebabkan
oleh lafadz itu sendiri.
2.
Muhkam
Lighoirih
Yaitu
muhkam yang lafadznya tidak bisa menerima segala nasakh karena ketiadaan
dari nasakh yang bisa menasakhnya.
b.
Berdasarkan dalalah-nya,
manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dalalah ibrah,
dalalah isyarah, dalalah nash, dalalah iqtidha’[12]
1. Dalalah Ibrah
Yaitu sebuah makna yang bisa
dipahami dari lafadznya, baik ketika lafadz tersebut berupa dzahir,
maupun berupa nash, baik berupa muhkam maupun bukan muhkam.
Sebagaimana contoh yan terdapat di QS. An-Nisa’ 4 : 10
إِنَّ ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا
يَأۡكُلُونَ فِي بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا ١٠
10. Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka
akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)
Dari
ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa diantara banyaknya perbuatan dzalim
yang termasuk paling keji ialah memakan harta benda milik anak yatim, yang mana
perbuatan tersebut mengantarkan pelakunya mendapatkan dosa yang nantinya
disiksa kelak di akhirat. Sedangkan ketika didunia, hukumannya diselesaikan
dengan keadilan sehingga perbuatan tersebut tidak terulang lagi.
2. Dalalah Isyarah
Yaitu
sebuah makna pengertian yang bisa ditangkap dari sebuah lafadz sebagai sebuah kesimpulan
dari pemahaman kepada ungkapan (ibrah) serta bukan diambil dari ungkapan
itu sendiri. Sebagaimana contoh yang terdapat di QS. Al-Baqarah 2:282
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيۡنٍ
إِلَىٰٓ أَجَلٖ مُّسَمّٗى فَٱكۡتُبُوهُۚ ٢٨٢
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu´amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Ketika
bertransaksi jual beli seseorang hendaknya menulisnya dengan baik, benar dan
dan sesuai dengan kehendak orang yang menyuruhnya untuk menulis. Sedangkan
pengertian dari dalalah isyarahnya adalah bahwasanya catatan tulisan yang
dibuat tersebut bisa digunakan sebagai argumentasi yang menguatkan dalam
transaksi jual beli yang tidak bisa dingkari oleh pihak penjual maupun
pembelinya.
3. Dalalah Nash
Yaitu
sebuah pengertianyang termasuk didalamnya sebuah hukum lain yang bisa dipahami
dari sebuah pengertian nash secara jelas dan gamblang (ibrah al-nash)
sebab adanya suatu kesamaan pada faktor penyebabnya. Sebagaimana contoh yang
terdapat dalam QS. Al-Isra : 23
فَلَا
تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ وَلَا تَنۡهَرۡهُمَا ٢٣
23. maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
Berkata
“ah” kepada orangtua dengan maksud mengejek serta menghardiknya dihukumi haram,
terlebih jika sampai memukulnya, maka sudah jelas lebih menyakitkan. Jika lebih
menyakitkan, maka tentunya lebih haram pula hukumnya. Karena sebuah perkataan
“ah” saja telah mencangkup seluruh bentuk perkataan dan perbuatan yang bisa
menyakitkan orangtua.
4. Dalalah Iqtidha’
Yaitu
dalalah (penunjukan) sebuah lafadz kepada sesuatu yang mana pengertian dari
lafadz tersebut tidak logis kecuali jika menggunakan sesuatu tersebut.
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2:178
فَمَنۡ
عُفِيَ لَهُۥ مِنۡ أَخِيهِ شَيۡءٞ فَٱتِّبَاعُۢ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَأَدَآءٌ
إِلَيۡهِ بِإِحۡسَٰنٖۗ ١٧٨
178. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula).
Dari
ayat tersebut, dapat kita pahami bahwasanya jika keluarga orang yang telah
dibunuh memberikan maafnya, maka hendaklah sikap yang baik tersebut diikuti
juga oleh orang yang diberi maaf, dalam hal ini adalah si pembunuh. Konsekuensi
logis dari uraian tersebut ialah mengharapkan imbalan harta benda dari si
pembunuh serta dia (pembunuh) yang mana telah dimaafkan ialah membayar uang
sebagai imbala yang senilai dengan diyat atau kurang. Itulah yang dimaksudkan
perintah “agar mengikutinya juga dengan sikap yang baik”
Dari
uraian keempat dalalah tersebut, satu dengan yang lain berbeda
kekuatannya. Oleh sebab itu, terdapat tingakatan dalalah. Tingkatan
tersebut berarti jika terjadi kontradiksi antar dalalah. Jumhur ulama
bersepakat bahwasanya dalalah yang tingkatannya paling tinggi ialah
dalalah ibrah sedangkan yang paling rendah ialah iqtidha’.
Berkenaan dengan dalalah isyarah dan dalalah nash para ulama
memiliki pandangan yang berbeda dalam berpendapat.
Jika
terdapat kontradiksi diantara ibrah dan isyarah, maka yang
didahulukan ialah ibrah. Demikian juga jika terdapat kontradiksi antara ibrah
dan nash, maka yang didahulukan ialah ibrah.Jika yang
kontradiksi adalah isyarah dan nash, maka menurut pendapat
madzhab Hanafi yang didahulukan ialah isyarah, sedangkan dalam madzhab
Syafi’i yang didahulukan ialah nash. Sebagaimana contoh berikut:
a.
Kontradiksi
antara ibrah dan isyarah
Ayat
pertama (QS. Al-Baqarah 2:178)
كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡقِصَاصُ فِي ٱلۡقَتۡلَىۖ ١٧٨
178. diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh;
Ayat
kedua (QS. An-Nisa’ 4:93)
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ
خَٰلِدٗا فِيهَا ٩٣
93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya
Dari
ayat kedua tersebut, menurut dalalah isyarah (implisit), pembunuh yang
melakukan dengan sengaja, seakan-akan mendapatkan balasan ialah hanya sebatas
hukumann di akhirat dalam neraka namun tidak diqishash. Berbeda dengan
pernyataan sebelumnya, ayat pertama menurut dalalah ibrah (eksplisit)
merupakan sebuah hukuman qishash bagi pembunuh.Sehingga bisa disimpulkan
dari contoh diatas bahwa yang didahulukan adalah dalalah ibrah, kemudian
bisa diambil pengertian bahwasanya
seseorang yang telah membunuh secara sengaja, hukumannya wajib diqishash
serta hukuman akhirat yaitu kekal dalam neraka jahannam selamanya.
b.
Kontradiksi
antara isyarah dan nash
Ayat
pertama (QS. An-Nisa’ 4:93)
وَمَن يَقۡتُلۡ مُؤۡمِنٗا مُّتَعَمِّدٗا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ
خَٰلِدٗا فِيهَا ٩٣
93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya
Ayat
kedua (QS. An-Nisa’ 4:92)
وَمَن قَتَلَ مُؤۡمِنًا خَطَٔٗا فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ
وَدِيَةٞ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰٓ أَهۡلِهِۦٓ ٩٢
92. dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah
(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar
diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu),
·
Menurut
pendapat madzhab Hanafi, membunuh secara sengaja tidak dikenai kafarat,
namun sekedar mendapat hukuman kelak di akhirat, yaitu disiksa didalam neraka
jahannam selamanya.
·
Berbeda dengan
madzab Hanafi, Menurut madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya membunuh secara
tidak sengaja saja dikenai kafarat, apalagi membunuh secara sengaja.
C. AL-MAFHUM (المفهوم)
1. PENGERTIAN MAFHUM
Dalam buku Ushul Al-Fiqh karya Muhammad
Khudri dijelaskan bahwa pengertian mafhum adalah sebagai berikut :
دلالة المفهوم : وهو دلالة اللفظ لا في محل
النطق على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه، أو على نفى الحكم عنه.[13]
“Mafhum merupakan
suatu implikasi dari suatu kata, yang mana tidak pada tempatnya pada ketetapan
hukum dari sesuatu yang sudah disebutkan bagi sesuatu yang didiamkan (tidak
dikomentari lagi) atau pada penafian pada suatu hukum darinya.”[14]
Sedangkan dalam buku karya Ma’shum Zein[15], Al-Ghazali
memberikan pengertian mafhum yaitu :
المَفْهُوْمُ هُوَ مَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ لَا فِيْ مَحَلِّ
النُّطْقِ
“Mafhum
merupakan suatu hukum yang mana dikarenakan suatu lafadz yang tidak menurut
pada bunyi lafadz itu sendiri” namun menurut pada pemahaman atau arti/makna
yang terkandung dalam lafadznya
Maksudnya ialah hukum-hukum yang diperoleh
tidak berdasarkan dari bunyi suatu dalil, namun berdasarkan makna yang
terkandung di dalamnya. Misalkan ayat tentang nafkah seorang istri yang telah
ditalak oleh suaminya sebagaimana terdapat dalam QS At-Talaq :6
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ
فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٦
6. Dan jika mereka
(isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin
Ayat tersebut mengandung sebuah pengertian
suatu hukum yang tidak tertulis, yakni bahwa seorang perempuan yang tidak hamil
dan ditalak oleh suaminya. Maka sang istri tidak diberi nafkah oleh mantan
suaminya tersebut, karena sesuai dengan aoa yang tertulis dalam ayat tersebut
menyatakan bahkan yang wajib diberi nafkah itu ialah ketika perempuan tersebut
keadaannya sedang hamil. Mafhumnya adalah jika perempuan tersebut tidak
hamil, berarti dia tidak wajib diberikan nafkah.
2. KLASIFIKASI MAFHUM
Dalam bagian ini, mafhum (makna yang
dipahami) dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum
mukhollafah.
a. Mafhum Muwafaqoh
المَفْهُوْمُ الْمُوَافَقَةُ حَيْثُ يَكُوْنُ
الْمَسْكُوْتُ عَنْهُ مُوَافِقًا لِلْمَلْفُوْظِ فِيْهِ
Mafhum muwafaqoh ialah mafhum yang mana jika hukum-hukum yang
tidak disebutkan didalam lafadz itu cocok ataupun sesuai dengan apa yang
disebutkan dalam lafadz tersebut tidak tidak berlawanan. Sebagaimana contoh tentang
hukum haramnya memukul orang tua karena kesuaiannya dengan ayat yang berbunyi uffin
yang terdapat dalam QS. Al-Isro’: 23
فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفّٖ ٢٣
23. maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah"
Dari ayat tersebut terdapat sebuah kesamaan (muwafaqoh)
antara “memukul” dengan perkataan “ah” yaitu kesamaan dalam hal sama-sama
memberikan rasa sakit dan menunjukkan kepada sebuah penghinaan, maka berkata
“ah” saja hukumnya haram, apalagi memukul.
Namun, apabila keadaan yang disebutkan tersebut
didalam lafadz itu lebih berat dari apa yang tidak disebutkan dalam lafadz,
maka perkara yang seperti itu disebut dengan fahwa al-khitab (فحوى الخطاب)seperti halnya
memukul dan berkata “ah”.
Namun jika keadaannya sama-sama berat, maka perkara
seperti itu disebut dengan lahna al-khitab (لحن الخطاب) seperti contoh
berkata kurang ajar ataupun mengejek dan lain halnya dengan berkata “ah”.
b. Mafhum Mukhollafah
1. Pengertian Mafhum Mukhollafah
Mafhum Mukhollafah ialah menetapkan kebalikan dari suatu hukum yang
disebut (manthuq) lantaran tidak ditemukannya suatu batasan atau qayyid
yang membatasi berlakunya suatu hukum menurut nashnya.[16]
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. An-Nisa’ 4:25
وَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ مِنكُمۡ طَوۡلًا أَن يَنكِحَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ
ٱلۡمُؤۡمِنَٰتِۚ ٢٥
25. Dan barangsiapa
diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini
wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari
budak-budak yang kamu miliki.
Pengertian ucapan (manthuq) dari ayat tersebut
dapat diambil sebuah pemahaman bahwasanya seseorang yang merdeka boleh
mengawini seorang budak / hamba sahaya yang beriman dengan batasan selama orang
yang merdeka tersebut tidak mampu mengawini seorang wanita yang merdeka yang
mana dia tidak beriman. Meskipun dalam ayat tersebut terdapat qayyid (yaitu
selama tidak mampu), namun qayyid tersebut bisa dihilangkan dengan
sebuat kata “mampu”, jadi qayyidnya terhalang. Dengan begitu bisa
diambil mafhum mukhollafahnya yakni bagi orang yang bisa dan mampu
menikahi seorang wanita yang merdeka serta beriman, maka haram baginya untuk
menikahi seorang hamba sahaya.
2. Syarat-syarat Mafhum Mukhollafah
a. Mafhum Mukhollafah tidak boleh berlawan dengan suatu dalil
yang mana dalil tersebut lebih kuat. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS.
Al-Isro’ : 31
وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَوۡلَٰدَكُمۡ خَشۡيَةَ إِمۡلَٰقٖۖ ٣١
31. Dan janganlah kamu
membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
Dari ayat tersebut, terdapat mafhum muhollafah
yaitu boleh membunuh anak sendiri jika ia tidak takut kemiskinan. hal tersebut
berlawanan dengan sebuah dalil yang lebih kuat, yakni dalam QS. Al-Isro’ : 33
وَلَا تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا
بِٱلۡحَقِّۗ ٣٣
33. Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar.
b. Dalalah Manthuqnya bukan merupakan suatu hal yang biasanya terjadi.
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. An-Nisa’: 23
وَرَبَٰٓئِبُكُمُ ٱلَّٰتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ
ٱلَّٰتِي دَخَلۡتُم بِهِنَّ ٢٣
23. anak-anak isterimu
yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri,
Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwasanya salah
satu perempuan yang haram dikawini adalah anak tiri yang ada dalam
pemeliharaannya. Hal tersebut tidak bisa diambil mafhum mukhollafahnya,
yakni jika anak tiri tersebut berada diluar pemeliaharaannya, berarti boleh
dinikah. Lafadz “fii hujuurikum” yang berarti “dalam pemeliharaanmu”
merupakan sebuah kebiasaan. Kebiasaaan seorang anak ialah mengikuti ibunya dan
seorang istri tersebut menjadi tanggung jawab suaminya.
c. Dalalah Manthuqnya bukan untuk menguatkan sebuah keadaan tertentu.
Sebagaimana contoh hadits yang terdapat dalam buku
karya Fahim Tharaba[17]
yang artinya : ”Barangsiapa yang dirinya beriman kepada Allah SWT dan juga
kepada hari akhir, maka berkatalah yang baik atau diam saja. Dan barangsiapa
yang dirinya beriman kepada Allah SWT dan juga kepada hari akhir, maka hormatilah tetangga” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits tersebut menyebutkan kalimat yang bunyinya
“beriman kepada Allah SWT dan kepada hari akhir” ialah hanya untuk menguatkan
semata, tidak diperbolehkan untuk mengambil mafhum mukhollafahnya, yakni
bahwa seseorang yang tidak beriman kepada Allah SWT dan kepada hari akhir maka
diperbolehkan berkata kotor dan mengganggu tetangganya.
d. Dalalah Manthuqnya wajib berdiri sendiri.
Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah
2 : 187
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ ١٨٧
187. (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri´tikaf dalam mesjid.
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwasanya sebuah
larangan mencampuri istri ketika sedang beri’tikaf ialah merupakan suatu
ketentuan tersendiri, tidak bisa dikaitkan dengan tempat i’tikaf itu
sendiri,seperti masjid maupun tempat lain. Sehingga tidak diperbolehkan
mencampuri istrinya ketika beri’tikaf walaupun di luar masjid.
e. Dalalah Manthuqnya tidak memikili tujuan lain melainkan untuk
membatasi hukum. Jika manthuq, seperti untuk dorongan, peringatan,
menjauhi dan lain sebagainya.
Sebagaimana contoh yang
terdapat dalam QS. Ali Imron 3 : 130
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُواْ ٱلرِّبَوٰٓاْ
أَضۡعَٰفٗا مُّضَٰعَفَةٗۖ ١٣٠
130. Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
Dari ayat tersebut dapat
kita pahami bahwa didalam ayat tersebut
mengandung tujuan tertentu. Dengan adanya larangan tentang memakan riba secara
berlipat ganda, sehingga orang mukmin menjauhinya. Karena pada dasarnya riba
itu sendiri merupakan tambahnya dari barang pokok, sedangkan berlipat ganda
merupakan tambahnya dari bunga pada setiap waktunya, sedangkan memakan riba itu
sendiri dihukumi haram.
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ ٱشۡتَرَوُاْ ٱلضَّلَٰلَةَ بِٱلۡهُدَىٰ
وَٱلۡعَذَابَ بِٱلۡمَغۡفِرَةِۚ فَمَآ أَصۡبَرَهُمۡ عَلَى ٱلنَّارِ ١٧٥
175. Mereka itulah
orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan.
Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka
Walaupun memakan riba tersebut dengan tidak berlipat
ganda, sesungguhnya mafhum mukhollafah dari ayat tersebut ialah memakan
riba secara tidak berlipat ganda, namun mafhum mukhollafahnya tidak
berlaku atau batal.
3. Kehujjahan Mafhum Mukhollafah[18]
Dalam kehujjahan Mafhum Mukhollafah, para ulama
memiliki perbedaan pendapat, yakni:
a. Menurut Ushulliyun, mafhum
mukhollafah bisa dijadikan sebuah hujjah. Dari keseluruhan macam-macam mafhum
mukhollafah, hanya mafhum laqab saja yang tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah. Sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-An’am : 145
إِلَّآ أَن يَكُونَ مَيۡتَةً أَوۡ دَمٗا مَّسۡفُوحًا أَوۡ لَحۡمَ
خِنزِيرٖ ١٤٥
145. kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi
Dari ayat tersebut dapat kita pahami bahwasanya yang
haram dimakan ialah, bangkai, darah mengalir, serta daging babi. Mafhum
mukhollafahnya ialah jika darah tersebut tidak mengalir, maka halal dimakan
seperti halnya hati dan limpa.
Alasan para Ushulliyun menggunakan mafhum mukhollafah sebagai
hujjah ialah :
1. Segera yang bisa di pahami dari orang-orang
Arab dalam percakapan sehari-hari ialah mengaikan sebuah hukum dengan sifat,
syarat ataupun membatasinya dengan bilangan maupun perkiraannnya. Sehingga
ketika sekiranya batasan serta syarat tersebut tidak ditemukan, maka yang
berlaku ialah sifat yang kebalikannya. Sebagai contoh jika ada orang tua yang
berbicara dengan anaknya “Kamu akan ayah beri hadian jika kamu naik kelas”,
maka ucapan yang seperti itu akan segera dipahami bahwasanya orang tua tidak
akan memberikan hadiah jika persyaratan naik kelas tidak dipenuhi..
2. Seluruh qayyid (sifat, syarat serta
pembatasan) yang datang dari nash syar’i, niscaya akan ada hikmahnya.
Karena syar’i tidak akan memberikan sifat, syarat, serta pembatasannya jika
tidak memiliki hikmahnya. Salah satu dari hikmahnya ialah adaanya takhsish dan
qayyid. Jika suatu nash tidak memiliki qayyid, maka yang
akan terjadi ialah keblikan penetapan hukum.
b. Menurut pendapat madzhab Hanafi, yang
ditetapkan berdasarkan nash syara’ jika dikaitkan dengan sifat, syarat
serta dibatasi dengan suatu bilangan maupun perkiraan. Sehingga kehujjahan nash
tersebut hanya untuk sebuah peristiwa tersebut, sedangkan peristiwa yang
belum memiliki ketetapan hukumnya jika dikaitkan dengan sifat, syarat, serta
dibatasi dengan suatu bilangan maupun perkiraan (hingga) tidak bisa ditetapkan
hukumnya berdasarkan kebalikan dari hukum peristiwa yang telah ada nashnya
tersebut. Beberapa alasan mereka ialah sebagai berikut :
1. Cara-cara agar mengetahui sebuah dalalah
hanya ada empat, yakni dalalah ibrah, isyarah, nash, serta iqtidha;
2. Menetapkan sebuah peritiwa yang belum memiliki
hukum dalam nash berdasarkan kebalik dari hukum sebuah peristiwa yang
berdasarkan nash, tidak bisa menggunakan salah satu dari cara tersebut.
Karena sesungguhnya mafhum mukhollafah bukanlah merupakan hasil
penunjukan (dalalah) dari nash tersebut.
c. Hukum yang ditetapkannya didasarakan pada nash
syara’ jika dihungungkan ataupun dikaitkan dengan sifat, syarat, serta
dibatasi oleh bilangan maupun perkiraan (hingga) bisa dijadikan sebagai hujjah
atas lawan hukum peristiwa yang terdapat nashnya. Jika sifat, syarat dan
batasannya berlawanan (berkebalikan) dengan yang telah disebutkan, sesudah
diadakannya pembahasan secara seksama, pandangan luas dab penelitian yang
cermat, bahwasanya sifat, syarat serta pembatasan tersebut hanyalah untuk mentakhsish
saja, tidak untuk hikamh-hikmah yang lain serta tidak berlawanan dengan mafhum
lain yang telah ditentukan.
4. Klasifikasi Mafhum Mukhollafah[19]
a. Mafhum Shifat
Yakni menetapkan sebuah kebalikan dari suatu hukum
pada salah satu dari sifat-sifatnya. Sebagaiman contoh yang terdapat dalam QS.
An-Nisa’ 4 : 92
فَتَحۡرِيرُ رَقَبَةٖ مُّؤۡمِنَةٖ ٩٢ [20]
b. Mafhum Illah
Yakni mengaitkan sebuah hukum dari sesuatu menurut
illatnya, bagaimana contoh yang terdapat dalam hadits :
كُلُّ شَرَابٍ أَسْكَرَ فَهُوَ حَرَامٌ
c. Mafhum Syarat
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum dengan suatu
syarat, sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. At-Talaq : 6
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ
يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ ٦
d. Mafhum ‘Adad
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada suatu
bilangan tertentu sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Mujadalah : 4
فَمَن لَّمۡ يَسۡتَطِعۡ فَإِطۡعَامُ سِتِّينَ مِسۡكِينٗاۚ ٤
e. Mafhum Ghayah
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada suatu
batasan-batasan tertentu sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah
2 : 230
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعۡدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ
زَوۡجًا غَيۡرَهُۥۗ ٢٣٠
f. Mafhum Laqab
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum kepada
nama orang (isim ‘alam) dan kwantitas, aktifitas, pernyataan (isim
washf) serta benda (isim jinis) sebagaimana contoh yang terdapat
dalam QS. Yusuf : 4
إِذۡ قَالَ يُوسُفُ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ ٤
g. Mafhum Hashr
Yakni menetapkan kebalikan dari sebuah hukum dengan
menggunakan lafadz hashr seperti menggunakan lafadz innama, illa, dan
lain-lain sebagaimana contoh yang terdapat dalam QS. Al-Maidah 5:75
مَّا ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ إِلَّا رَسُولٞ ٧٥
h. Mafhum Hal
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu hal
atau kondisi tertentu sebagaimana terdapat dalam QS.Al Isro’ : 37
وَلَا تَمۡشِ فِي ٱلۡأَرۡضِ مَرَحًاۖ ٣٧
i.
Mafhum Zaman
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu waktu
sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 197
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرٞ مَّعۡلُومَٰتٞۚ ١٩٧
j.
Mafhum Makan
Yakni menggantungkan sebuah hukum kepada suatu tempat
sebagaimana yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah 2 : 25
تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۖ ٢٥
D. MUJMAL
1. PENGERTIAN MUJMAL
Pengertian mujmal
secara bahasa yaitu global atau tidak terperinci[21],
dengan arti lain sebuah lafadz belum dapat dipahami secara utuh karena masih
bersifat umum atau samar. Sedangkan menurut istilah yaitu:
اَلْمُجْمَلُ هُوَ اَلَّلفْظُ الّذِى لاَيُفْهَمُ الْمَعْنَى
الْمُرَادُ مِنْهُ اِلاَّ بِالاِسْتِفْسَارِ مِنَ الْجُمَلِ
Yang artinya: “Mujmal
adalah lafadz yang tidak dapat difahami makna yang menunjukkan arti
sesungguhnya”. Selain pengertian tersebut, terdapat beberapa pendapat yang
diberikan beberapa ahli Ushul Fiqh diantaranya:
a.
Menurut
Hanafiyah, mujmal adalah “lafadz yang mengandung makna secara global
dimana kejelasan maksud dan rinciannya tidak dapat diketahui dari pengertian lafadz
itu sendiri, melainkan melalui penjelasan dari pembuat syari’at yaitu Allah SWT
dan Rasulullah SAW”[22].
b.
Adapun Abu
Ishaq al-Syirazi seorang ahli ushul fiqh dari kalangan Syafi’iyah memaknai
mujmal sebagai “lafadz yang tidak jelas pengertiannya sehingga memahaminya
memerlukan penjelasan dari luar (al-bayan) atau jika ada penafsiran dari
pembuat mujmal (Syari’)”.
c.
Sedangkan yang
dimaksud dalam istilah ushul yaitu lafadz yang tidak ditunjukkan maksudnya oleh
sighatlafadz tersebut.[23]
Dengan arti lain tidak ditemukannya qarinah-qarinah yang berkenaan
dengan lafadz sebab tersembunyi.
Dari beberapa
definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mujmal yaitu sebuah bentuk lafadz
atau ungkapan yang memiliki berbagai keadaan atau ketentuan yang tidak dapat
dipahami secara pasti kecuali dengan adanya pernyataan lain yang menjelaskan
dengan lebih terperinci. Contohnya seperti dalam ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah
ayat 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ...
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat ... ”. (QS. Al-Baqarah: 43)
Ayat ini
merupakan bentuk lafadzmujmal, karena belum dijelaskan secara terperinci
mengenai syarat, rukun, dan tata cara melakukan ibadah shalat maupun zakat
sehingga masih memerlukan penjelasan (mubayyan), yang mana selanjutnya
Rasulullah SAW menjelaskan dalam sabdanya yakni:
... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى
...
Yang artinya: “Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu
melihatku shalat”. (HR. Bukhari).
2. HUKUM LAFADZ MUJMAL
Hukum
lafadzmujmal yang ditemukan dalam Al-Qur’an maupun hadits adalah
ditangguhkan, tidak dapat dijadikan sebagai hujjah selama belum menemukan dalil
lain yang dapat menjelaskannya.[24]
Kemudian apabila sudah ditemukan penjelasan (bayan) dari penjelasan lafadz atau
dalil lain, maka lafadz mujmal tersebut dapat digunakan dan dilaksanakan sesuai
dari ketentuan hukum bayannya.
Selanjutnya,
jika dilihat dari sisi keharusan adanya penjelasan (bayan) dari syara’ tentang lafadz
mujmal, maka yang diprioritaskan terlebih dahulu adalah mencari penjelasan
(bayan) dari nash Al-Qur’an, namun jika tidak dapat ditemukan baru kemudian
mencarinya di dalam hadits.
3. SEBAB-SEBAB MUJMAL
Suatu lafadz
dapat disebut mujmal disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
a.
Berbentuk kata
tunggal (mufrad)
Dari
bentuk mufrad ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:
1.
Tashrif
kata-kata (sumber pengambilan kata), seperti: kata kerja (fi’il) lafadzقَالَ dari kata قَوْلٌ yang
artinya perkataan atau dari kata قَيْلُوْلَةٌ yang
artinya tidur siang.
2.
Lafadzmusytarak
(menunjukkan beberapa arti), seperti dalam ayat QS. Al-Baqarah ayat 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ
Artinya: “Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'”. (QS.
Al-Baqarah: 228)
Dalam lafadz
tersebut yang dimaksud dengan quru’ yaitu haid atau suci.[25]
3.
Lafadz yang
digunakan untuk menunjukkan istilah syara’ tertentu, seperti: shalat, zakat,
puasa, haji, dan lainnya.
b.
Berbentuk
susunan kata-kata (jumlah murakkab). Semisal susunan kata yang terdapat
dalam ayat Al-Qur’an mengenai pengertian tentang adanya wali atau suami dalam
bentuk adanya ikatan pernikahan atau
akad (ijab dan qabul),[26]
yakni:
أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ ۚ
Artinya:
“dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.” (QS. Al-Baqarah: 237)
Adapun
yang dimaksud dengan orang yang memegang ikatan nikah disini adalah wali atau
suami, jika yang memaafkan wali, maka suami dibebaskan dari membayar setengah
mahar dan jika yang memaafkan itu suami maka si suami tersebut akan membayar
seluruhnya.
E. MUBAYYAN
1. PENGERTIAN MUBAYYAN
Definisi mubayyan adalah kebalikan dari mujmal, yakni
suatu lafadz yang maksudnya sudah terang dan jelas, tanpa membutuhkan
penjelasan dari dalil atau lafadz lainnya.[27]
Dengan kata lain, lafadzmubayyan tidak memerlukan penjelasan lagi karena
sighatnya sudah menunjukkan maksud yang ada dalam lafadz. Selain itu, lafadzmubayyan
atau oleh ulama ushul fiqh juga disebut bayan ini dimaksudkan untuk memberi
petunjuk terhadap lafadz yang mujmal, karena tanpa adanya penjelasan ini
lafadz mujmal belum dapat dipahami maksud sebenarnya. Dan yang berhak untuk
memberi penjelasan ini adalah syari’ (pembuat mujmal).
Kejelasan lafadzmubayyan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
a.
Manthuq,
dari sisi manthuq terdapat dalam nash, dzahir, dan lafadz umumseperti
yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah
ayat 20:
إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya:
“Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu.”
Ayat
tersebut sudah sangat jelas maksudnya yaitu Allah benar-benar dipercayai oleh
semua umat Islam sebagai Dzat yang Maha Kuasa dan tidak memerlukan penjelasan (bayan)
lagi.
b.
Mafhum,
dari sisi mafhum ini bisa berbentuk kalimat yang fahwal-khitab, lahna
al-khitab, dan dalilul khitab. Misalnya seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat
237 yang didalamnya memerlukan penjelasan
2. KLASIFIKASI BAYAN
Ada beberapa macam bayan dalam menjelaskan lafadz atau
susunan kata-kata, diantaranya:
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ
وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ
Artinya: “maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan
tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang
sempurna..”(QS. Al-Baqarah: 196).
Lafadzوَسَبْعَةٍ kerap diartikan
lebih dari tujuh, untuk menjelaskan bahwa yang dimaksud benar-benar tujuh Allah
mengiringinya dengan ayat تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ yang
berarti pengganti kurban bagi orang yang meninggalkan haji adalah berpuasa tiga
hari dalam masa haji dan tujuh hari lagi setelah pulang kembali.
b.
Bayan dengan
perbuatan.[29]
Seperti perbuatan Rasulullah SAW dalam menjelaskan praktek
menjalankan kewajiban shalat:
... صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى ...
Hadits tersebut muncul setelah ‘Aisyah ditanya mengenai masalah
bagaimana cara Nabi melaksanakan kewajiban shalat, kemudian ‘Aisyah menjawab
dan menjelaskan. Ini merupakan penjelasan (bayan) dari kemujmalan ayat tentang
shalat.
c.
Bayan
berupa isyarat[30]
Contohnya seperti penjelasan Nabi mengenai jumlah hari satu bulan
Ramadhan sebagaimana hadits:
الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا)يَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ
وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ)
Artinya: “bulan itu begini dan begini, yaitu kadang-kadang dua
puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari” (HR. Bukhari).
Lafadzالشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا dalam
hadits tersebut mujmal karena dalam penjelasan itu cara Nabi menjawab dengan
mengangkat kesepuluh jari tiga kali kemudian mengulanginya sambil membenamkan
ibu jari pada kali terakhir. Dan kemudian dijelaskan dalam lafadzيَعْنِي مَرَّةً تِسْعَةً وَعِشْرِينَ وَمَرَّةً ثَلَاثِينَ .
d.
Bayan dengan
tulisan
Misalnya seperti surat Rasulullah SAW tentang tata cara pembagian
zakat secara panjang lebar kepada ‘Amr bin Hazm dan yang ditulis oleh Umar bin
Khattab.[31]
e.
Bayan dengan
tidak berbuat
Yaitu dalam pengertian tidak bereaksi apa-apa atau tidak memberikan
pengaruh. Seperti saat Nabi SAW tidak berwudlu setelah memakan daging yang
telah dimasak.
f.
Bayan dengan
diam
Seperti saat Nabi SAW sedang menjelaskan masalah wajibnya haji,
kemudian ditanya apakah wajib berhaji setiap tahun Nabi SAW diam dan tidak
memberikan reaksi apa-apa.[32]
Diamnya beliau sebagai penjelas (bayan) bahwa kewajiban haji itu tidak
dilaksanakan setiap tahunnya.
g.
Dengan
menggunakan dalil yang men-takhsis
Hal ini dapat dilihat dari dua sisi:
1.
Dari sisi waktu mengerjakan perintah
Maksudnya
tidak mungkin menunda penjelasan dari waktu mengerjakannya Artinya apabila
sampai waktunya perintah harus dikerjakan belum ada penjelasan. Kalau penundaan
ini terjadi, berati membolehkan adanya kepercayaan atau perbuatan yang salah,
karena belum dijelaskan. Hal ini tidak mungkin. Sebagai contoh ialah
urut-urutan wali dalam pernikahan. Menurut sebagian ulama tidak wajib memperhatikan
urut-urutan wali dari yang terdekat sampai yang terjauh. Oleh sebab itu,
apabila terjadi dalam sebuah penikahan seorang wali yang dari jauh menikahkan,
padahal ada yang dekat, maka pernikahan itu sah. Jika saja urut-urutan tersebut
diharuskan maka sudah pasti akan dijelaskan oleh Rasulullah SAW.
2.
Dari sisi waktu turunnya perintah
Maksudnya
ialah menunda penjelasan dari waktu perintah itu diturunkan, artinya pada saat
perintah itu diturunkan belum ada penjelasannya. Hal ini sangat mungkin
terjadi, sebab Allah telah berfirman:
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ . ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا
بَيَانَهُ
Artinya:
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (QS.
Al-Qiyamah: 18-19).
F. KESIMPULAN
Manthuq ialah memahami suatu hukum menurut segala sesuatu yang
tersurat secara gamblang dan jelas pada lafadz tersebut.Berdasarkan lafadznya, manthuq
dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu : dzahir, nash, mufassar, muhkam.Berdasarkan
dalalah-nya, manthuq dibedakan lagi menjadi empat bagian, yaitu
: dalalah ibrah, dalalah isyarah, dalalah nash, dalalah iqtidha’.
Mafhum
ialah hukum-hukum yang diperoleh tidak berdasarkan dari bunyi suatu
dalil, namun berdasarkan makna yang terkandung di dalamnya. Dalam bagian ini, mafhum
(makna yang dipahami) dibagi menjadi dua, yaitu mafhum muwafaqoh dan mafhum
mukhollafah. Mafhum mukhollafah dibagi menjadi Mafhum Shifat,
Mafhum Illah, Mafhum Syarat, Mafhum ‘Adad, Mafhum Ghayah, Mafhum Laqab, Mafhum
Hashr, Mafhum Hal, Mafhum Zaman, Mafhum Makan
Mujmal
secara bahasa yaitu global atau tidak terperinci, dengan arti lain sebuah
lafadz belum dapat dipahami secara utuh karena masih bersifat umum atau samar.
Sedangkan menurut istilah yaitu lafadz yang tidak dapat difahami makna yang
menunjukkan arti sesungguhnya”.Hukum lafadz mujmal yang ditemukan
dalam Al-Qur’an maupun hadits adalah ditangguhkan, tidak dapat dijadikan
sebagai hujjah selama belum menemukan dalil lain yang dapat menjelaskannya.
Definisi mubayyan
adalah kebalikan dari mujmal, yakni suatu lafadz yang maksudnya sudah
terang dan jelas, tanpa membutuhkan penjelasan dari dalil atau lafadz
lainnya.Dengan kata lain, lafadz mubayyan tidak memerlukan penjelasan
lagi karena sighatnya sudah menunjukkan maksud yang ada dalam lafadz.Ada
beberapa macam bayan dalam menjelaskan lafadz atau susunan kata-kata,
diantaranya:Bayan dengan perkataan, Bayan dengan perbuatan, Bayan
berupa isyarat, Bayan dengan tulisan, Bayan dengan tidak berbuat,
Bayan dengan diam, Dengan menggunakan dalil yang men-takhsis
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khudhri.
Muhammad, 2002. Ushul Al-Fiqh. Beirut: Dar el-Marefah
Effendi.
Satria, 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
El-Muttaqien.
Faiz, 2007. Ushul Fiqh. Terjemah Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh.
Jakarta: Pustaka Amani
Hadi. Saiful,2011.Ushul FiqihI,cetakanke-2. Yogyakarta:
Sabda Media
Khallaf. Abdul
Wahab, 2005. Ilmu Usul Fiqh. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Syarifuddin.
Amir, 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Tharaba.
Fahim, 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I : Filsafat Hukum Islam. Malang:
Dream Litera Buana
Zein. M
Ma’shum, 2013. Menguasai Ilmu
Ushul Fiqh: Apa dan Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren
Naya,
Farid, Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, Jurnal Tahkim
Vol. IX No. 2, Desember 2013. (Diakses pada tanggal 06/04/2018 dari
http://jurnal.iainambon.ac.id/).
Sulthon,
Muhammad, Surat-Surat Nabi Muhammad Sebagai Dokumen Zakat, (Thaqafiyyat,
vol. 13, No. 1, Juni 2012)(diakses pada tanggal 10/04/2018 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113326&val=5173).
Catatan:
1.
Similarity hanya
3%.
2.
Hindari penggunaan
kata kita dalam tulisan ilmiah.
3.
Penulisan
rujukan dari jurnal perlu diperbaiki, formatnya tidak begitu.
4.
Bentuk mafhumnya
dicantumkan, biar jelas.
[1]Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 121-122.
[2]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta : Prenada
Media, 2005), hlm. 210-211
[3]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’I
: Filsafat Hukum Islam (Malang: Dream Litera Buana, 2016), hlm. 208
[4]Loc.cit, Amir Syarifuddin,
[5]Op.cit, Fahim Tharaba 208-214
[6]Op.cit, Ma’shum Zein, hlm. 343-344
[8]Op.cit, Ma’shum Zein, hlm. 344
[13]Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh. (Beirut :
Dar el-Marefah, 2002). Hlm. 124
[14]Faiz el Muttaqien. Ushul Fiqh. Terjemah
Muhammad Al-Khudhri. Ushul Al-Fiqh. (Jakarta : Pustaka Amani, 2007) Hlm.
252
[16]Op.cit, Fahim Tharaba, hlm. 220
[17]Ibid, hlm. 222
[18]Ibid, hlm. 225-227
[20]Op.cit, Fahim Tharaba, hlm. 223-224
[22] Farid Naya,
Al-Mujmal dan Al-Mubayyan dalam Kajian Ushul Fiqh, Jurnal Tahkim Vol. IX No. 2,
Desember 2013, hlm. 188-189. (Diakses pada tanggal 06/04/2018 dari
http://jurnal.iainambon.ac.id/).
[23] Abdul Wahab Khallaf,
Ilmu Usul Fiqh, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), hal. 215.
[27] Al-Syairaziy, Al-Luma’,
hal. 26. (lihat: M. Ma’shum Zein, Menguasai Ilmu Ushul Fiqh: Apa dan
Bagaimana Hukum Islam Disarikan dari Sumber-Sumbernya, (Yogyakarta: Pustaka
Pesantren, 2013), hal. 339.)
[28] Seful Hadi, Ushul
FiqihI, (Yogyakarta: Sabda Media, 2011), cet. Ke-2, hal. 70.
[31] Muhammad
Sulthon, Surat-Surat Nabi Muhammad Sebagai Dokumen Zakat, (Thaqafiyyat,
vol. 13, No. 1, Juni 2012), hal. 113. (diakses pada tanggal 10/04/2018 dari http://download.portalgaruda.org/article.php?article=113326&val=5173).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar