AL AMM AL KHASS MUTLAQ dan MUQAYAD
Firhan Ubaidillah El Abrary, dan Nadita Bening Estu
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang
PAI C 2018
firhan.ubaidillah@gmail.com
Abstrac :
In this article describes one of the
important elements that can be used as an approach in studying Islam is
UshulFiqh science, which is the study of the rules that serve as a guide in
establishing the laws of shari'ah that are amaliyah obtained from the
propositions, detailed proposition. Through the rules of UshulFiqh which will
be known syara 'texts and the laws it demonstrates. Among UshulFiqh's important
rules is Istinbath in terms of linguistics, one of which is Ammlafadz, Khas,
Mutlaq and Muqayyad.
Keyword : Al Amm, Khass, Mutlaq danMuqayyad
Abstrak :
Didalamartikelinimenjelaskantentangsalah satu
unsur penting yang dapatdigunakan sebagai pendekatan dalam mengkaji Islam
adalah Ilmu Ushul Fiqh, yaitu ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah yang
dijadikan sebagaipedoman di dalam
menetapkan hukum-hukum syari’at yang bersifat amaliyah yang diperoleh daridalil-dalil
yang rinci. Melalui kaidah-kaidah Ushul Fiqh yang akan diketahui nash-nash
syara’ dan hukum-hukum yang ditunjukkannya. Diantara kaidah-kaidah Ushul Fiqh
yang penting diketahui adalah Istinbath dari segi kebahasaan, salah satunya
adalah lafadz Amm, Khas, Mutlaq dan Muqayyad.
Kata Kunci : Al Amm, Khass, Mutlaq danMuqayyad
A. Pendahuluan
Dalam
teks hukum, setiap lafaz atau kata mengandung suatu pengertian yang biasanya
mudah dipahami. Dalam suatu lafaz, ada pula yang mengandung beberapa pengertian
yang dimana pengertian tersebut merupakan bagian-bagian dari lafaz itu sendiri.
Didalam lafaz lafaz itu pasti memiliki hukum berlaku. Oleh karena itu bagian
bagian yang termasuk dalam lafaz tersebut juga mengikuti hukum yang tersebut.
Disamping itu, juga terdapat lafaz yang hanya mengandung satu pengertian saja.
Lafaz yang mengandungbeberapa pengertian itulah yang disebut Amm atau umum, dan
sedangkan yang mengandung satu pengertian saja itu disebut Khass atau khusus.
Didalam
lafaz khusus ini, ada lafaz yang digunakan tanpa terkait dengan sifat apapun,
dan ada juga lafaz yang dikaitkan dengan sifat ataupun keadaan tertentu. Lafaz
yang tidak terkait dengan sesuatu apapun itulah yang dinamakan mutlaq,
sedangkan lafaz yang berkaitan dengan susuatu itu disebut muqoyyad
B. Al Amm
Apa yang dimaksuddenganlafazAmm? LafazAmmmenurutistilahLafazAmmberartiumum,
yang dimaksudumumdisiniialahlafazAmmmemilikipengertianumumterhadasemua yang
termasukdidalampengertianlafazitu. Dan menurut Bahasa
LafazAmmberartiumumdanmerata. Dalamarti lain LafazAmmyaitu kata yang
memberikanpengertianumum yang meliputisegalasesuatu yang terkandungdalam kata
itusendiridengantidakterbatas.[1]
Para ulama ushulfiqhberpendapatbahwa :
a. Menurut Ulama
Syafi’iyahberpendapatbahwasemualafazdantandaAmmsecarahakiki. Karena
haltersebutdapatmudahdipahami
b. Menurut Ulama
Hanafiyahberpendapatbahwasetiaplafaz yang mencakupbanyak,
baiksecaralafazataumakna
c. Qadhi Abdul Wahab berpendapatbahwatidakada
yang dapatdikaitkankepadaAmmkecualihanyadenganlafaz[2]
1. Bentuk-BentukLafazAmm (Umum)
a. Lafazكل
(setiap) dan جامع (seluruhnya)
Dalamfirman AllahSWT :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ
الْمَوْتِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan mati”.
(Ali ‘Imran, 185)
هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah Allah yang menjadikan untukmu segala yang ada di bumi secara
kese-luruhan (jami’an)”. (Al-Baqarah:29)
Lafazكلdan حامعtersebut
di atas, keduanya mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas jumlahnya.
b. Kata jamak yang disertai alif dan
lam di awal seperti:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ
“Para ibu (hendaklah) meenyusukan anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuannya”.
(Al-Baqarah:233)
Kata al-walidat dalam ayat tersebut bersifat umum yang mencakup setiap yang
bernama atau disebut ibu.
c. Kata
benda tunggal yang di ma’rifatkan dengan alif-lam :
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
(Al_baqarah: 275)
Lafazal-bai’ (jual beli) dan al-riba adalah kata benda yang di ma’rifatkan
dengan alif lam. Oleh karena itu, keduanya adalah lafadz ‘am yang mencakup
semua satuan-satuan yang dapat dimasukkan kedalamnya.
d. Lafaz Asma’ al-Mawshul.
Seperti ma, al-ladziina, al-ladzi dan sebagainya. Salah satu contoh adalah
firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang (al-ladzina) memakan harta anak yatim secara
zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sebeenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perut dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala”.
(An-Nisa:10)
e. Lafaz Asma’ al-Syart}
(isim-isim isyarat, kata benda untuk mensyaratkan), seperti kata ma, man dan
sebagainya. Misalnya:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا
خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا
“dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah”.
(An-Nisa’:92)
f. Isim nakirah dalam susunan kalimat nafi (negatif), seperti kataلَا جُنَاحَdalam ayat berikut:
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“dan tidak ada dosa atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada
mereka maharnya”. (Al-Mumtahanah:10)[3]
2.
Dalalah Al Amm
Jumhur Ulama, di
antaranya Syafi’iyah, berpendapat bahwa lafaz Al Amm itu dzanniy
dalalahnya atas semua satuan-satuan di dalamnya. Dan demikian pula lafaz
Amm setelah di-takhshish, sisa satuannya juga dzanniy dalalahnya, sehingga
terkenalah di kalangan mereka suatu kaidah ushuliyah yang berbunyi:
مَا مِنْ عَامٍ إِلاَّ
خُصِّصَ
“Setiap dalil yang Ammharus ditakhshish”.
Oleh karena itu, ketika LafazAmmditemukan, hendaklah berusaha dicari pentakhshishnya. Berbeda dengan jumhur
ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa Lafaz Amm itu qath’iy dalalahnya,
selagi tidak ada dalil lain yang mentakhshishnya atas satuan-satuannya. Karena
lafadz Amm itu dimaksudkan oleh bahasa untuk menunjuk atas semua satuan yang
ada di dalamnya, tanpa terkecuali. Sebagai contoh, Ulama Hanaifiyah
mengharamkan memakan daging yang disembelih tanpa menyebut nama Allah karena adanya firman
Allah yang bersifat umum, yang berbunyi:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا
لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ
“dan janganlah kamu memakan binatang yang tidak disebut nama Allah ketika
menyembelihnya”. (Al-An`am:121)
Ayat tersebut, menurut mereka, tidak dapat ditakhshish oleh hadits Nabi
yang berbunyi:
المْسْلِمُ يَذْبَحُ
عَلَى اسْمِ اللهِ سَمَّى أَوْ لمَ يُسَمِّ . (رواه أبو داود)
“Orang Islam itu selalu menyembelih binatang atas nama Allah, baik ia
benar-benar menyebutnya atau tidak.”
(H.R. Abu Daud)[4]
3.
Macam-macam Lafaz Amm
a. Lafadz ‘am yang
dikehendaki keumumannya karena ada dalil atau indikasi yang menunjukkan
tertutupnya kemungkinan ada takhshish (pengkhususan).
Misalnya:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي
الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“ Dan tidak ada suatu binatang
melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
Memberi rizkinya”.
( QS. Hud:6)
Yang dimaksud adalah seluruh jenis hewan melata, tanpa kecuali
c.
LafazAmm tetapi yang dimaksud adalah makna khusus karena ada indikasi yang
menunjukkan makna seperti itu. Contohnya:
\
مَا كَانَ لِأَهْلِ
الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badui yang
berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah”
(At-Taubah: 120)
Yang dimaksud ayat tersebut bukan seluruh penduduk Mekah, tapi hanya
orang-orang yang mampu.[5]
d.
LafazAmm yang terbebas dari indikasi yang dimaksud makna umumnya atau sebagian
cakupannya. Contoh:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quruk”.
(Al-Baqarah: 228)
Lafaz Amm dalam ayat tersebut adalah al-muthallaqat (wanita-wanita yang
ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
makna umum atau sebagian cakupannya.[6]
C. AL Khass
Apaitu Al Khass? Al KhassmerupakanLafaz yang diciptakanuntukmemberipengertiandalamsatuantertentu.
LafazKhassbisamenunjukanlafaztunggalmisalnyainsan (manusia), rajulun
(laki-laki), Muhammad (nama orang), hayawan (hewan) selainitu Al
Khassbisamengarahkepadapengertianabstrakmisalnyajahlun (bodoh), ilmun (ilmu) Al
Khass juga bisamerujukkepadalafaztunggalmisalnyajam’un (seluruhnya), fariqun
(sekelompok).[7]
1. Dalalah AL Khass
DalalahLafazKhassadalahdalambentukqath’iy
yang secarapastidenganartitidakadakemungkinan lain dariitu.
DapatdilihatdariFirman Allah “ Idahseorangwanita yang
berceraidengansuaminyadanwanitaitudalamkeadaanhamiladalahmelahirkananak “ Arti
kata Idahmelahirkananakdisituhanyakhususbagi yang
diceraikandalamkeadaanhamilataubisadisebutketentuanwanitahamilituhanyalahmelahirkananak.[8]
2. MacamTakhsis
a.
Mentakhshish ayat
Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an. Misalnya:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”.
(Al-Baqarah:228)
Ketentuan dalam ayat di atas berlaku umum, bagi mereka yang hamil atau
tidak. Tapi ketentuan itu dapat ditakhshish dengan surat At-Thalaq ayat 4
sebagai berikut:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya”.
(At-Thalaq:4)
Dapat pula ditakhshish dengan surat Al-Ahzab:49:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ
أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka
sekali-kali tidak wajib atas mereka idah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya”.
(Al-Ahzab:49)
Dengan demikian keumuman bagi setiap wanita yang dicerai harus beriddah
tiga kali suci tidak berlaku bagi wanita yang sedang hamil dan yang dicerai
dalam keadaan belum pernah digauli.
b.
Mentakhshish Al-Qur’an
dengan As-Sunnah. Misalnya firman Allah
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya”
(Al-Maidah:38)
Dalam ayat di atas tidak disebutkan batasan nilai barang yang dicuri.
Kemudian ayat di atas ditakhshish oleh sabda Nabi SAW:
لاَ قَطْعَ فِي أَقَلَّ
مِنْ رُبْعِ دِيْنَارٍ . (رواه الجماعة)
“Tidak ada hukuman potong tangan di dalam pencurian yang nilai barang
yang
dicurinya kurang dari seperempat dinar”.
(H.R. Al-Jama’ah).
Dari ayat dan hadits di atas, jelaslah bahwa apabila nilai barang yang
dicuri kurang dari seperempat dinar, maka si pencuri tidak dijatuhi hukuman
potong tangan.
c. Mentakhshish As-Sunnah dengan Al-Qur’an. Misalnya hadits
Nabi SAW yang
berbunyi:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ
صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ خَتىَّ يَتَوَضَّأَ . متفق عليه
“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kamu bila ia berhadats
sampai ia berwudhu”. (Muttafaq ‘Alayh).
Hadits di atas kemudian ditakhshish oleh firman Allah dalam Al-Maidah ayat
6:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang
air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka
bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih). (Al-Maidah:6).
Keumuman hadits di atas tentang keharusan berwudhu bagi setiap orang yang
akan shalat, ditakhshish dengan tayammum bagi orang yang tidak mendapatkan air,
sebagaimana firman Allah di atas.
c.
Mentakhshish As-Sunnah
dengan As-Sunnah. Misalnya hadits Nabi SAW:
فِيْمَا سَقَتْ السَّمَاءُ
الْعُشْرُ . متفق عليه
“Pada tanaman yang disirami oleh air hujan, zakatnya sepersepuluh”.
(Muttafaq Alayh).
Keumuman hadits di atas tidak dibatasi dengan jumlah hasil panennya.
Kemudian hadits itu ditaksis oleh hadits lain yang berbunyi:
لَيْسَ فِيْمَا دُوْنَ
خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ . متفق عليه
“Tidak ada kewajiban zakat pada taanaman yang banyaknya kurang dari 5
watsaq (1000 kilogram)’. (Muttafaq Alayh).
Dari kedua hadits di atas jelaslah bahwa tidak semua tanaman wajib
dizakati, kecuali yang sudah mencapai lima watsaq.
d. Mentakhsish Al-Qur’an dengan Ijma’.
إِذَا نُودِيَ
لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا
الْبَيْعَ
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual
beli.(Al-Jum’ah:9).
Menurut ayat tersebut, kewajiban shalaat Jum’at berlaku bagi semua orang.
Tapi para ulama telah sepakat (ijma’) bahwa kaum wanita, budak dan anak-anak
tidak wajib shalat Jum’at.
e.
Mentakhshish Al-Qur’an
dengan qiyas. Misalnya:
الزَّانِيَةُ
وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَة
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seorang dari keduanya seratus kali dera. (An-Nur:2).
Keumuman ayat di atas ditakhshish oleh An-Nisa’ ayat 25:
فَإِذَا أُحْصِنَّ
فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنَاتِ مِنَ
الْعَذَابِ
Apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan
perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman
wanita-wanita merdeka yang bersuami. (An-Nisa’:25).
Ayat di atas menerangkan secara khusus, bahwa hukuman dera bagi pezina
budak perempuan adalah saparuh dari dera yang berlaku bagi orang merdeka yang
berzina. Kemudian hukuman dera bagi
D.
Mutlaq Muqayyad
1.
Pengertian
Mutlaq dan Muqoyyad
Berbagai definisi yang diberikan oleh para
ulama ushul mengenai pengertian Mutlaq. Tetapi semua definisi itu bertemu pada
suatu pengertian bahwa yang dimaksud oleh mutlaq itu adalah lafaz-lafaz yang
menunjukkan kepada hakikat sesuatu dengan tidak adanya ikatan atau batas yang
dapat mempersempit keluasan artinya. [9]
Seperti
kata Raqabah dalam firman Allah SWT:
فَتَحْريرُرَقَبَةٍ
“Maka
bebaskanlah oleh seorang hamba sahaya” (Q.S Mujadalah ayat 3)
Lafaz
ini termasuk Mutlaq karena tidak ada pembatasan dengan suatu sifat tertentu.
Karena kata Raqabah memiliki arti hamba sahaya. Ini berarti boleh membebaskan
hamba sahaya yang mukmin ataupun yang tidak mukmin.
Begitupun
para ulama memberi definisi terhadap muqoyyad. Banyak definisi yang diberikan
dan semuanya juga bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud muqoyyad
adalah lafaz-lafaz yang menunjukkan kepada hakikat sesuatu dengan adanya ikatan
atau batas yang dapat mempersempit keluasan artinya.[10]
Misalnya
pada kata raqabah disifati dengan kata mu’minah pada ayat:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ
”Dan
barangsiapa membunuh seorang mukmin karena bersalah (hendaklah) ia memerdekakan
seorang hamba sahaya yang beriman” (Q.S. An-Nisa’ ayat 92)
2.
Hukum
Muqoyyad
اَلْمُطْلقُ
بَاقىٍى عَلَى تَقْيِيْدِهِ مَالَمْ يَقُمْ دَلِيْلٌ عَلَى إِطْلَاقِهِ
“Lafadz
muqoyyad tetap dihukumi muqoyyad sebelum ada bukti yang memutlakannya”.
Contoh,
kafarat zihar atau menyamakan istri dengan ibunya. Yaitu memerdekakan budak
ataupun berpuasa selama dua bulan berturut-turut ataupun jikalau ia tidak
mampu, maka harus memberi makan orang miskin sebanyak 60 orang. Seperti pada
Q.S Al-Mujadalah ayat 3-4.[11]
3.
Hukum
Mutlaq yang sudah dibatasi
اَلْمُطْلقُلَايَبْقَىعَلَىإِطْلَاقِهِإِذَايَقُوْمُدَلِيْلٌعَلَىتَقْيِيْدِهِ
”Lafaz mutlaq
tidak boleh dinyatakan mutlaq jika telah ada yang membatasinya”
Lafaz
mutlaq jika sudah ditentukan batasannya mala ia berubah menjadi muqoyyad.
Contohnya dalam ketentuan wasiat. Seperti dalam Q.S An-Nisa’ ayat 11. Pada ayat
tersebut lafaznya masih bersifat mutlaq karena tidak adanya batasan dalam
jumlah yang harus dikeluarkan dalam wasiat tersebut. Kemudian ayat tersebut
dibatasi ketentuannya dengan adanya hadits yang menyatakan bahwa wasiat paling
banyak adalah satu per tiga harta yang ada[12].
Sebagaimana Hadits nabi:
فَإِنَّ
رَسُوْلَ اللّهِ قَالَ الثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَبِيْرٌ(رواهالبخارىومسلم)
“Wasiat
itu sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4.
Hukum
Muqoyyad yang dihapuskan batasannya.
اَلْمُقَيَّدُ
لَا يَبْقَى عَلَى تَقْيِيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِيْلٌ عَلَى إِطْلَاقِهِ
“Muqoyyad tidak
akan tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan
kemutlakannya”
Lafaz
muqoyyad jika dihadapkan oleh dalil dalil lain yang memhapus kemuqoyyadannya
maka ia menjadi mutlaq. Seperti contohnya hukum menikahi anak tiri yaitu haram.
Karena, pertama, anaktiri adalah pemeliharaan bapak tirinya dan yang kedua
adalah ibu yang dikawininya telah dicampuri. Dan alasan yang dianggap membatasi
muqoyyad adalah alasan kedua. Karena alasan pertama hanya mengikuti saja. Oleh
kaena itu jika ayah tiri belum mencampuri ibunya maka anak tiri boleh untuk
dinikahinya. Maka hukum mengawini anak tiri tersebut yang semua haram
(muqoyyad) menjadi halal dikarenakan batasan muqoyyadnya telah dihapus[13].
5.
Beberapa
ketentuan dalam Hukum Mutlaq dan Muqoyyad
a.
Jika
dalam suatu lafaz terdapat suatu tuntutan dan muqoyyad pada lafaz lain,
digabungkan mutlaq kepada muqoyyad, jika keduanya bersesuaian menurut sebab dan
hukum. Seperti hadits tentang kifarat puasa.[14]
صُومَ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
”Puasalah kamu
dua bulan berturut-turut” (HR. Muttaqun Alaihi)
Digabungkan kepadanya dengan hadits:
صُومَ شَهْرَيْنِ
“Puasalah kamu
dua bulan”
Pada
Hadits yang pertama sudah ditentukan waktunya (Muqoyyad) dan sedangkan pada
hadits yang kedua tidak ada ketentuannya (Mutlaq), Oleh karena itu, maka di
kompromikan antara hadits yang kedua dengan yang pertama, kkarena bersesuaian
menurut sebab dan hukumnya.
اَلْمُطَلّقُيَحْمِلُعَلَىاَلْمُقَيَّدِاِذَااتَّفَقَافِىالسَّبَبِوَالْحُكْمِ
“Mutlaq digabungkan kepada Muqoyyad bila
bersesuaian menurut sebab dan hukum”.
b.
Jika
menurut sebab tidak sesuai, maka mutlaq tidak digabungkan kepada muqoyyad.
Seperti antara kifarat Zihar dengan kifarat membunuh. [15]
وَ الَّذينَ يُظاهِرُونَ مِنْ نِسائِهِمْ ثُمَّ
يَعُودُونَ لِما قالُوا فَتَحْريرُ رَقَبَةٍ ...مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
”Mereka yang
menzihar istrinya, kemudian mereka surut dari apa yang dikatakannya, maka
hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum keduanya bercampur” (Q.S.
Mujadalah ayat 3).
Dan Firman
Allah SWT:
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيْرُ رَقَبَةٍ
مُّؤْمِنَةٍ
“Barangsiapa
yang membunuh orang mukmin dengan salah(kekeliruan), maka hendaklah
memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin”
(Q.S An-Nisa
ayat 92)
Dalam
ayat ini berisikan hukum yang sama. Yaitu sama sama memerdekakan budak, tetapi
keduanya memiliki sebab yang berbeda dan berlainan. Yang pertama disebabkan
karena Zhihar dan yang kedua dikarenakan membunuh dengan tidak sengaja, maka
mutlaq tidak dapat digabungkan kepada muqoyyad
اَلْمُطَلّقُ
لاَ يَحْمِلُ عَلَى الْمُقَيَّدِ اِذَا لَمْ يَتَّفَقَا فِى السَّبَبِالْحُكْمِ
“Mutlaq
tidak digabungkan kepada muqoyad apabila tidak bersesuaian pada sebab”.
Menurut
ulama kalangan Syafi’iyah, lafaz mutlaq itu dianggap muqoyyad sehingga hamba
sahaya yang akan dimerdekakan pada kafarah zihar itu disamakan dengan hamba
sahaya yang ada pada kafarat pembunuhan bersalah, yakni sama sama beriman.
Sedangkan menurut ulama kalangan Hanafiyah malah sebaliknya, masing masing
kafarat itu dipahami secara mandiri sehingga kafarat zihar adalah memerdekakan
hamba sahaya tanpa diharuskan hamba sahaya yang beriman seperti pada kafarat
pembunuhan bersalah.[16]
c.
Jika
menurut sebab tidak sama tetapi sama menurut hukum. Maka menurut kebanyakan
ulama Syafi’iyah mutlaq dibawa kepada muqoyyad.
اَلْمُطْلَقُلاَيُحْمَلُعَلَىالْمُقَيَّدِإِنِاخْتَلَفَافىالسَّبَبِ
“Mutlaq itu
dibawa ke muqoyad jika sebabnya berbeda”
DAFTAR PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-garisbesarUshulFiqh,
Jakarta: KencanaPrenada Media
Bakry, Nazar. 2003. FiqhdanUshulFiqh, Jakarta:
PT. Raja GrafindoPersada
Syafe’I, Rachmat. 2010. IlmuUshulFiqh, Bandung:
Pustaka Setia
Djazuli, Ahmad. 2000. UshulFiqhdanMetodologiHukum
Islam, Jakarta: PT. Raja GrafindoPersada
Khalaff, Abdul Wahab. 2005. IlmuUshulFikih, Jakarta:
RinekaCipta
Effendi, Satria. 2005. UshulFiqh,
Jakarta:KencanaPrenada Media
Tharaba, Fahim. 2016. HikmatutTasyri, Malang:
CV. Dream LiteraBuana
Syarifuddin, Amir. 2008. UshulFiqh,
Jakarta: KencanaPrenada Media
Shidik,
Safiudin. 2009. Ushul Fiqh, Jakarta: PY Intimedia Ciptanusantara
Catatan:
1.
Similaritynya
besar, yakni 32%.
2.
Abstrak dan
pendahuluannya diperbaiki.
3.
Keterangan yang
bukan ayat dalam makalah ini terlalu minimalis.
[2]Amir Syarifuddin, UshulFiqh, (Jakarta: Prenada
Media, 2008), hal. 58-59
[3]Djazuli, UshulFiqhmetodologihukumislam, hal.
334-336
[4]Djazuli, UshulFiqhmetodologi hokum islam, hal.
336-337
[6]Abdul Wahab Khalaff, IlmuUshulFiqh, (Jakarta:
RinekaCipta, 2005) hal. 237
[7]Fahim Tharaba, HikmatutTasyri’, hal. 196-197
[8]Amir Syarifuddin, Garis-garisbesarUshulFiqh,
(Jakarta :Prenada Media, 2012), hal. 113
[10]Ibid
[11]Safiudin
Shidik, Ushul Fiqh (Jakarta: PT Intimedia Ciptanusantara; 2009) hlm.
114-115
[12]Ibid,. hlm
115-116
[13]Ibid,. hlm
116-117
[15]Ibid hlm.
227-228
[16]Satria
Effendi M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta; Prenada Media, 2005) hlm. 210
Tidak ada komentar:
Posting Komentar