Klasifikasi Hadis dari Aspek Kualitasnya
Hadis shahih, Hadis hasan, Hadis dhaif
Raqib Alamah Putra, Lailatul Munadiffa, Assaidatul
kamilla
Abstract
According to language, saheeh means: healthy, safe from
shame, true or correct.
According to the term, the hadith's meaning is that the
hadith is continuous, narrated by the just and dhabith, as long as there is
nothing in it of an awkwardness and defect. Thus according to imam nawawi,
based on the rules made by ibnu shalah. Hasan Hadith is a hadith that rote
memorization is not perfect. Therefore, the difference between the sahih hadith
and the hadith hasan lies in its memorization. Ulama defines the hadith hasan
as follows:
"Hadith hasan is a hadith that does not meet the
requirements of the authentic Hadith as a whole because the transmission is
entirely or partly less than the dhabit of his dhabit of valid narration."
The word dha'if according to language, means weak, as opposed to qawi (strong).
As opposed to the word of sahih, the word dha'if also means saqim (the sick).
Then, the so-called hadith dha'if in language means weak, sick and non-strong
traditions. In terminology, scholars define it with various editors, although
the intent and content are the same. Al-Nawawi and al-Qasimi define the hadha dha'if
by:
"Hadith in which there is no requirement of hadi
sahih and the conditions of hadith hasan" Muhammad 'Ajjaj al-Khathib
states that the definition of hadha dha'if is:
"All hadiths in which there is no accumulated maqbul
properties"
Maqbul properties in the definition diata means are the
properties contained in the hadith sahih and Hadith hasan, because keduannya
meet maqbul properties. Thus, the second definition is the same as the
following definition:
"Hadith in which does not gather the properties of
authentic hadith and the properties of hadith hasan"
According to Nur al-Din 'Itr, the best definition of
hadha dha'if is:
"Hadist who lost one of his terms as hadist maqbul
(acceptable)"
That is, a hadith that does not meet any of the
requirements (criteria) of sahih hadith or Hadith hasan expressed as hadith
dha'if which means that hadith is rejected (mardud) to serve as hujjah.
Abstrak
Menurut bahasa, shahih berarti: sehat, selamat dari aib,
benar atau betul.
Menurut istilah, arti hadist shahihb ialah hadist yang
bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabith,
selama tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan cacat. Demikian menurut
imam nawawi, berdasarkan kaidah yang dibuat oleh ibnu shalah. Hadis hasan ialah
hadis yang hafalan penghafalnya tidak sempurna. Oleh karena itu, perbedaan
antara hadis sahih dengan hadis hasan terletak pada hafalannya. Ulama
mendefinisikan hadis hasan sebagi berikut :
“ hadis hasan ialah hadis yang tidak memenuhi
syarat-syarat hadis sahih secara keseluruhan karena periwayatan seluruhnya tau
sebagiannya lebih sedikit kakuatan dhabit-nya disbanding riwayat sahih”. Kata
dha’if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi(yang kuat).
Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang
sakit).Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang
sakit dan yang tidak kuat. Secara terminologi, para ulama
mendefinisikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungan
sama. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:
“hadis yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadi
sahih dan syarat-syarat hadis hasan”Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa
definisi hadis dha’if adalah:
“segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat
maqbul”
Sifat-sifat maqbul dalam definisi diata maksudnya adalah
sifat-sifat yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan, karena keduannya
memenuhi sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama
dengan definisi berikut:
“hadis yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis
sahih dan sifat-sifat hadis hasan”
Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang paling baik
tentang hadis dha’if adalah:
“Hadist yang kehilangan salah satu syaratnya sebagai
hadist maqbul (yang dapat diterima)”
Maksudnya, suatu hadis yang tidak memenuhi salah satu
syarat (kriteria) hadis sahih atau hadis hasan dinyatakan sebagai hadis dha’if
yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk dijadikan sebagai hujjah
Keywords: hadist shahih, hadist
hasan, hadist dhoif
A.
Pendahuluan
1. Hadist
shahih
a. Pengertian Hadist Shahih Dan Syarat-Syaratnya
Menurut bahasa, shahih berarti:
sehat, selamat dari aib, benar atau betul.Menurut istilah, arti hadist
shahihbialah hadist yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang-orang
yang adil dan dlabith, sera tidak terdapat di dalamnya suatu kejanggalan dan
cacat. Demikian menurut imam nawaw3i, berdasarkan kaidah yang dibua oleh ibnu
shalah.[1]
Secara bahasa shahih berarti sehat,
selamat, benar, sah dan sempurna. Menurut shubhi al-shalih, hadis shahih adalah
hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh peeriwayat yang adil dan
dhabith hingga bersambung kepada Rsulullah atau pada sanad terakhir tanpa ada
syadz ataupun illat.[2]
Berdasarkan
pengertian ini, maka syarat-syarat hadist shahih ada 5 macam yakni:
1)
Sanad Hadist
Itu Harus Bersambung (Ittshahlul Isnad)
Maksudnya, sanad hadist itu sejak dari
mukharrijnya sampai kepada Nabi tidak ada yang terputus. Karenanaya, hadist
munqathi’, mu’dlal, mudallas dan sebangsanya, tidaklah termasuk hadist shahih.
Jadi hadist nabi yang berkualitas shahih haruslah berupa hadist musnad dan
bukan sekedar hadist muttashil. Sebabl,l sebagaimana telah dijelaskan dalam bab
yang lalu, bahwa setiap hadist musnad pasti hadist muttashiol dan tidak setiap
hadist mjuttashil pasti hadist musnad. Sebabb, hadist muttashil adakalanya
marfu’ dan adakalanya tidak, sedang hadist musnad pasti marfu’nya. Kemudian
adakalanya muttashil dan adakalnya tidak muttashil, sedang hadist musnad pasti
muttashil.
2)
Para Perai Yang
Meriwayatkan Hadist Itu, Haruslah Orang Yag Bersifat Adil.
Arti adil
disini memiliki sifat:
·
Istiqomah dala
agaamanya (islam)
·
Akhlak baik
·
Tidak fasiq
·
Memelihara
muru’ahnya
Jadi arti adil
disini bukanlah eperti pengertian umum, yakni wadla’a kulla syai’in fi
mahallihi atau meletakkan
esuatu pada tempatnya, tetapi mengandung aspek tersebu diatas.[3]
3)
Para Perawi
Yang Meriwayatkan Hadist Itu Haruslah Dlabith.
Ialah memiliki ingatan dan hafalan yang
sempurna. Dia memahami dan hafal dengan baik apa yang diriwayatkan itu, serta
mampu menyampaika hafalan itu kapan saja dikehendaki. Gabungan dari sifat adil
dan dlabith, biasa disebut dengan istilah tsiqah atau tsabat. Jadi, orang yang
tsiqah pasti adil dan dlibath, tetapi orang ynag adil saja atau dlibath saja,
belumlah termasuk orang yang tsiqah.
4)
Apa Yang
Berkenaan Dengan Periwayatan Hadist Itu, Tidak Ada Kejanggalan (Syudzudz)
Yang dimaksud dengan
syudzudz adalah apa yang sebenarnya berlawanan dengan peri keadaan yang
terkandung dalam sifat tsiqah atau bertentangan dengan akidah yang telah
berlaku secara umum, atau bertentangan dengan hadist yang lebih kuat.
5)
Apa Yang
Berkenaan Dengan Periwayatan Hadist Itu Tidak Ada Sama Sekali Cacatnya.
b. Macam-macam hadis shahih
1)
hadis shahih
li-dzatihi
Yaitu hadis
yang karena keadaan dirinya sendiri telah memenuhi lima syarat hadis shahih
Contoh:
قل رسول
الله ص.م. المسلم من سلم المسلمون من لسا نه وبده وا لمها جر من هجر ما نهى ا لله
“متفق علىه
Artinya
Rasulullah
bersabda” yang dimaksud dengan orang islam (muslim) ialah orang yang tidak
mengganggu orang-orang islam lainnya, baik dengan lidahnya maupun dengan
tangannya dan yang dimaksud dengan orang yang berhijrah adalah orang yang
pindah dari apa yang dilarang oleh allah.
Hadis di atas diriwayatkan oleh Bukhari dengan
sanad sebagai berikut: Adam bin Iyas, Syu’bah, ismail (ibnu safar), As-sya’by,
Abdullah bin Amr bin Ash. Rawi dan sanad Bukhari ini memenuhi lima syarat hadis
shahih, oleh karena itu disebut hadis shahih li-dzatihi.[4]
2)
hadis shahih
li-ghairihi
Habis shahih li- gahairi
ini berasal dari hadis hasan li-dzatihi yang ada dalil lain yang menguatkannya
sehingga meningkat.. misalnya da dua buah hadis yang semakna dan sama-sama
berkualitas hasan li-dzatihi, kemudian ada ayat yang sesuai dengan hadis
tersebut, maka kualitas hadis tersebut meningkat menjadi hadis shahih
li-ghairihi.
Contoh:
لث لا ان
اشق على امتى لا مرتهم با لسواك عند كل صلا ة
Artinya:
Sekirannya
tidak akan memberatkan kepada umatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk
bersikat gigi setiap menjelang sholat.
Salah seorang rawi dari sanad Hadis ini, ada
yang bernama Muhammad bin Amr bin Al-qamah. Dia termasuk orang kepercayaan
tetapi hafalannya di perselisihkan kesempurnaannya, karena itu kualitas hasan
tersebut hasan li-dzatihi. Kemudian ada sanad yang lain memuat hadis tersebut
,amak dengan demikian hadis tersebut meningkat derajatnya menjadi shahih
li-ghairihi.[5]
c. Kriteria hadis shahih
1.
Sanadnya
Bersambung
Yang dimaksud
dengan sanad bersambung adalah dari sanad pertama sampai sanad terakhir
dikalangan sahabat hingga Nabi Muhammad atau mulai dari Nabi hingga periwayat
terakhir. Untuk menegtahui bersambung atau tidaknya suatu hadis ulama biasanya
menempuh penelitian sebagai berikut:
a)
Mencatat semua
nama periwayat dalam sanad secara teliti.
b)
Mempelajari
sejarah hidup masing-masing periwayat
c)
Meneliti
kata yang menghubungkan antara para periwayatdengan periwayat terdekat dalam
sanad.
Dari beberapa langkah diatas dapat diketahui
apakah sanad dinyatakan bersambung atau tidak.[6]
2.
periwayat
bersifat adil
Al-hakim
berpendapat bahawa seorang disebut adil apabila beragama islam, tidak berbuat bu’ah,
dan tidak berbuat maksiat. Sedangkan menurut Ibn al-Shalah ada lima kriteria
periwayat tersebut dikatakan adil yaitu beragama islam, baligh, berakal,
memelihara muru’ah dan tidak berbuat fasik.Untuk mengetahui adil atau tidak
periwayat hadis ada beberapa cara yaitu: pertama memalui popularitas keutamaan
periwayat dikalangan ulama hadis. Kedua penilaian dari para periwayat hadis
yang berisis kelebihan dan kekurangan hadis. Ketiga penerapah kaidah al-jahr wa
al-ta’dil.[7]
3.
periwayat
hadis bersifat dhabith
Dhabith
adalah orang yang kuat hafalannya, untuk hadis shahih periwayatnya harus
berstatus dhabith. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan
keadilan.Kriteria dhabith menurut M. syuhudi Ismail adalahPertama, periwayat
memahami dengan baik riwayat hadis yang telah didengar. Kedua, periwayat hafal
dengan baik riwayat hadis yang didengar, kemampuan hafalan merupakan syarat
untuk disebut dhabith.Ketiga, periwayat mampu menyampaikan apa yang telah
dihafal dengan baik.[8]
4.
Terhindar Dari Syadz (Kejanggalan)
Secara bahasa syadz merupakan isim fa’il dari syadzdza yang
berarti menyendiri. Menurut istilah ulama, syadz adalah hadis yang diriwayatkan
oleh periwayat tsiqah yang bertentangan dengan dengan riwayat oleh periwayat
yang lebih tsiqah.Menurut al-Safi’I suatu hadis dinyatakan mengandung syadz
apabila :
·
Memiliki lebih dari satu sanad
·
Para periwayat
hadis tersebut tsiqah
·
Matan atau
sanad mengandung pertentangan.
Para
ulama hadis seperti Ibn al_Shalah, al-Nawai, Ibn Hajar al-Asqalani, al-Suyuthi
dan beberapa ulama lain sepakat dengan syafi’I ketika mendefinissikan syadz
karena penerapannya tidak sulit.[9]
5.
Terhindar
Dari Illat
Jika
dalah hadis terdapat kecacatah baik secara tersembunyi atau tampak maka di
namakan hadis muallaq. Kata muallaq merupakan isim maful dari kata a’allah (ia
mencacatkannya).Secara bahasa kata illat berarti: cacat, kesalahan baca,
penyakit, keburukan. Cacat dalam ilmu hadis dapat mengakibatkan lemahnya
sanad.Mengetahui illat suatu hadis tidak mudah sebab membutuhkan upaya untuk
menyingkap illat yang tersembunyi dan samar yang hanya dapat diketahui oleh
orang ahli hadis seperti: Ibn al-Madani, Ahmad, al-Bukhari, Ibn Abi Hatim.
Sedangkan meneurut al-Khathib al-Baghdadi cara untuk menegtahui illat hadis
adalah dengan menghimpun seluruh sanadnya , melihat perbedaan diantara para
periwayatnya dan memerhatikan status hafalan, keteguhan, dan kedhabith-an
masing-masing periwayat.[10]
d. Kehujjahan Hadis Sahih
Dalam hal ini
ulama berependapat bahwa hasis shahih tidak berstatus qath’I sehingga tidak
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan persoalan akidah. Kedua, sebgaian ulama
hadis berpendapat bahwa hadis-hadis shahih riwayat al-Bukhari dan Muslim
berstatus qath’I. ketiga, Ibnu hazm memandang bahwa semua hadis shahih
berstatus qath’i. semua hadis jika memenuhi syarat keshaahihhannya adalah sama
dalam status sebagi hujjah.[11]Hadis
shahih li-dzatih maupun li-gahairihi dapat dijadikan hujjah atau dalil dalam
bidang hukum, akhlak, sosial, ekonomi dan sebagainya.
2. Hadist
Hasan
Hasan menurut bahasa berarti (sesuatu
yang disenangi dan di condongi oleh nafsu).
Sedangkan menurut istilah para ulama berbeda pendapat dalam
mendefinisikan hadis hasan ini. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan di
antara mereka ada yang menggolongkan hadis hsan sebagai hadis yang menduduki
diantara hadis sahih dan hadis dhaif, yang dapat dijadikan hujjah. Memang
menurut sejarah ulama yang mula-mula memunculkan istilh “hasan” bagi suatu
jenis hadis yang berdiri sendiri adalah Imam Al-Tirmidzi. Untuk lebih jelasnya
di bawah ini dikemukakan beberapa definisi hadis hasan.[12]Menurut
Ibnu Taimiyah Bahasa hasan yang diberikan Al-Tirmidzi sekaligus merangkum polemik tentang peristilahan yang
sering dipakai Al-Tirmidzi. Hadis hasan menurut Al-Tirmidzi adalah (dalam
redaksi Ibnu Taimiyah)“Hadis yang diriwayatkan dari dua arah (jalur), dan para
perawinya tidak terdusta dusta, tidak mengandung syadz yang menyalahi
hadis-hadis shahih.”Jadi yang dimaksud syadz versi Al-Tirmidzi adalah perawi
yang meriwayatkan hadis tersebut berlawanan dengan orang yang lebih hafal
darinya atau lebih banyak jumlahnya.Definisi di atas dipandang tidak mani dan
tidak jami. Tidak mani sebab hadis sahih yang rawinya selamat dari tuduhan
dusta dan ma’nanya bersih dari kejanggalan dan dapat tercakup ddalam definisi
tersebut. Tidak jami karena (misalnya) hadis gharib walaupun berniai hasan pada
hakikatnya tidak dapat dimasukkan dalam definisi tersebut, karena dalam
definisi tersebut disyaratkan harus mempunyai jalan datangnya erita (sanad)
dari beberapa tempat.Oleh karena itu tidak semua ahli hadis sejalan dengan
batasan yang diberikan Al-Tirmidzi. Seperti penggunaan istilah “hadis gharib” dalam menempatkan suatu
hadis. Artinya hadis tersebut yang diriwayatkan melalui satu jalur (gharib)
bisa disebut hadis hasan ? ini yang menjadi persoalan.[13]Permasalahan
seperti itu menjadi polemik dikalangan ulama hadis. Dan para ulama berusaha
memberikan penjelasan yang bemacam-macam. Diantaranya Ibnu Taymiyah yang
meberikan penjelasan, bahwasannya hadis tersebut disebut gharib, karena pada Thabaqat tabi’i hanya diraiwayatkan oleh satu
orang/satu jalur. Akan tetapi hadis tersebut diriwayatkan juga melalui jalur
lain, maka bisa disebut hadis hasan karena sebab banyaknya periwayatan
tersebut, meskipun pada dsarnya adalah gharib.
Pada diketahui, bahwa Al- Tirmidzi memaknai hasan cenderung pada “ta’addud
al-riwayat” (banyaknya riwayat).Begitu juga dengan bentuk penetapan “Shahih Hasan Gharib”. Kadang
diriwayatkan dengan sanad yang shahih
gharib, kemudian (hadist tersebut) diriwayatkan dari rawi tersebut dengan
jalur yang shahih dan juga jalur lain, maka kemudian ia menjadi hadist hasan
bersamaan dengan shahih gharib.
Karena hakekat hadis hasan adalah banyaknya periwayatan dan para perawi
tersebut tidak tertuduh bohong.Jika jalur periwayatan kedua duanya sama-sama
sahih maka ia adalah hadis shahih murni. Sementara bila salah satunya tidak
diketahui kesahihhannya maka ia menjadi hadis
hasan. Kadangkala sanadnya gharib dan tidak terdapat riwayat lain maka
itu menjadi hasan matannya, karena ada yang meriwayatkannya dari dua jalur.
Misalnya dalam satu bab sering dikatakan “diriwayatkan dari fulan an fulan”
kemudian dijelaskan matannya itu hasan meskipun sanadnya gharib. Jika dikatakan
bahwa kualitas suatu hadis adalah shahih, kemudian telah di tetapkan bahwa metode
periwaytannya shahih, dan dalam riwayat kualitasnya periwayatannya hasan, maka
dalam hadis tersebut telah berkumpul dua sifat, yakni hasan dan shahih.Suatu
hadis dikatakan gharib bila hanya ada dalam satu riwayat dan sanadnya hanya
diketahui dari hadis tersebut (tidak ada yang lain). Jika jalur periwayatannya
sahih maka itu disebut shahih gharib. Begitu juga ketika suatu hadis
diterangkan sebagai hadis gharib hasan kemudian ia menjadi hadis hasan.[14]Sementara
itu Ibnu Hajar mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut :“khabar Ahad yang
dinukilkan melalui perawi yang adil, sempurna ingatannya, bersambung sanadnya
dengan tanpa ber’illat dan syadz disebut Hadis Sahih, namun nbila kekuatan
ingatannya kurang kokoh (sempurna) disebut hasan li dzatih”.Dengan definisi
ini, dapat diketahui bahwa hadis hasan menurut Ibnu Hajar adalah Hadis yang
telah memenuhi lima persyaratan hadis shahih sebagaimana disebutkan terdahulu,
hanya saja bedanya, pada hadis hasan daya ingatan perawinya sempurna, sedang
pada hadis hasan daya ingatan erawinya kurang sempurna. Dengan kata lain dapat
disebutkan bahwa hadis hasan menurut Ibnu Hajar adalah hadis yang diriwayatkan
oleh perawi yang adil, (tetapi) tidak begitu kuat daya ingatannya,
bersambung-sambung sanadnya, dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada
matannya. Dengan demikian, hadis hasan ini menempati posisi di antara hadis
shahih dan hadis dha’if. Definisi ini sama dengan definisi Al-Zarqany, dan
Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki Al-Hasani.Al-Tirmidzi sebagai ahli hadis yang memunculkan
istilah hadis hasan ini,karena ia melihat banyak jenis hadis dha’if (yang
sebenarnya tidak terlalu dha’if), sementara dari sisi sand dan matannya hampir
mendekati sahih (tapi tidak termasuk hadis sahih), dan dapat dijadikan hujjah.
Dan ia tidak ingin menyamakannya dengan hadis shahih. Maka dari itu,
disebutnyalah dengan hadis hasan. Dengan kata lain, hadis hasan yang
dimunculkannya adalah nama lain dari hadis dha’if yang daat dijadikan
hujjah.Jadi dari definisi-definisi di atas, dapat dikatakan bahwa hadis hasan
hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja terdapat perbedan dalam soal ingatan
perawinya. Pada Hadis Shahih, ingatan atau daya hafalnnya kurang sempurna.
a) Syarat – Syarat
Hadis Hasan
Secara
rinci syarat-syarat hadis hasan sebagai berikut:
1.
Sanadnya
bersambung
2.
Perawinya ‘adil
3.
Perawinya
dhabit, tetapi kualitan ke dhabit-annya dibawah ke dhabit-an perawi hadis sahih
4.
Tidak terdapat
kejanggalan atau syadz dan
5.
Tidak ber’illat
b) Macam – Macam
Hadis Hasan
Para
ulama ahli hadis membagi Hadis Hasan menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Hadis Hasan Li
Dzatih
Pengertian Hadis Hasan Li Dzatihi
sebagaimana pengertin diatas, yaitu hadis yang sanadnya bersambung dengan
periwayatannya yag adil, dhabit meskipun tidak sempurna, dari awal sanad hingga
akhir sanad tanpa ada keganjilan (syadz) dan cacat (‘illat) yang merusak.[15]
Ibnu Al-Shalah memberikan batasan hadis
jenis ini dengan : “bahwasannya para
perawinya masyhur/erkenla dengan kejujurannya, amanah, meskipun tidak mencpai
derajat perawi hadis shahih, karena keterbatasannya kekuatan dan kebagusan
hafalnnya. Meskipun demikian, hadis yang diriwayatkannnya tidak termasuk ke
dalam golongan yang munkar.”
Hadis hasan li dz dzatihi ini bisa
derajatnya menjadi hadis shahih (li ghairihi) bila ada hadis lain yang
sejenisnya diriwayatkan melalui jalur sanad yang lain. Sebagai contohnya adalah
hadis Al-Tirmidzi yang diriwayatkan dari Muhammad bin Amr dari Abi Hurairah,
sebagaimana dicontohkan diatas. Hadis ini hasan li dzatihi. Muhammda ibn Amr
IBN Alqamah terkenal seorang yang baik dan jujur, tetapi kurang dhabith. Karena
itu banyak ulama yang melemahkan hadis-hadis yang diriwayatkannya. Oleh karena
itu, hadis dia atas berstatus hasan li dzatih. Akan tetapi ada riwayat lain
dari jalur Al-A’raj dari Abu Hurairah, maka hadis ini naik derajatnya menjadi
hadis shahih li ghairihi.
2. Hasan Li Ghairihi
Secara singkat, hasan li ghairihi ini
terjadi dari hadis dha’if jika banyak periwayatnya, sementara para perawinya
tidak diketahui keahliannya dalam meriwayatkan hadis.Akan tetapi tidak sampai
kepada derajat fasik atau tertuduh suka berbohong atau sifat-sifat jelek
lainnya.Begitulah para ulama memberikan batasan hadis jenis ini, termasuk Ibnu
Al-Shalah.
Jadi, sistem periwayatannya
terutama syarat-syarat ke shahihannya banyak yang tidak terpenuhi, akan tetapi
para perawinya dikenal sebagai oraang yang tidak banyak berbuat kesalahan atau
banyak berbuat dosa. Dan periwayatnya hadis tersebut banyak riwayat, baik
dengan redaksi yang serupa (mitslahu) maupun mirip (nahwahu).
Jadi hadis dha’if yang bisa
naik menjadi hadis hasan hanyalah hadis-hadis yang tidak terlalu
lemah.Sementara hadis-hadis yang sangat lemah, seperti hadis mudhu’, hadis
munkar dan hadis matruk, betapapaun adanya syahid dan muttabi kedudukannya
tetap sebagai hadis dha’if, tidak bisa beruba menjadi hadis hasan.[16]
c)
Tingkatan
hadis hasan
Hadis
hasan memiliki tingkatan yang diurutkan sebagai berikut:
Menurut
Al-Dzahabi, sebagaimana dikutip oleh Ajjaj Al-Khatib, tingkatan psling tinggi
adalah periwayatnya dari Bahz ibn Hakim dari bapaknya, dari kakeknya dari Amr
ibn Syu’aib dari bapaknya, dari kakeknya dari Ibnu Ishaq dari Al-Taymiy.
Kemudian bila perawinya mengatakan
bahwa sebuah hadis itu” shahih Al-Isnad” atau Hasan Isnadnya”, maka itu belem
tentu menunjukkan shahih matannya atau hasan matannya. Malah terkadang matannya
mengandung keganjilan atau kecacatan. Oleh karena itu seorang kritikus tidaklah
tepat memberi label Hadis shahih , hadis hasan hingga isnad shahih atau hasan
kecuali mampu mengemukakan data-data atau alasannya. Maka yang berhak hanyalah
orang yang mu’tamad (ahli dibidang ini dan dapat dipercaya) untuk dapat
memberikan label “sanadnya shahih” atau “sanadnya hasan”.
d)
Kehujjahan
Hadis Hasan
Jumhur
mengatakan bahwa kehujjahan hasan seperti hadis shahih, walaupun derajatnya
tidak sama. Bahkan ada segolongan ulama yang memasukkan hadis hasan ini, baik
hasan li-dzatih maupun hasan li-ghairih ke dalam kelompok shahih, sperti hakim,
Ibnu Hubbah, Ibnu Khuzaimah meskipun tanpa memberikan penjelasan terlebih
dahulu, bahkan para fuqoha dan pa ulama banyak yang beramal dengan hadis hasan
ini. Al-Khattabi lebih tetili tentang penerimaan mereka terhadap hadis ini.
Makannya Al-Khattabi kemudian mejelaskan bahwa yang mereka maksud dengan hasan
di sisni (yang bisa di terima sebagai hujjah) adalah hadis hasan li
dzatihi.Sedangkan terhadap hadis hasan li-gahairihi jika
kekurangan-kekurangannya dapat diminimalisir aau tertutupi oleh banyaknya
riwayat lain, maka sah berhujjah dengannya. Tapi pada hakikatna hasan
li-ghairihi bia digunakan sebagai hujjah. Kitab-kitab yang banyak menemukan
hadis hasan ini adalah Sunan Al-Turmudzi, Sunan Abi Daud, dan Sunan
Al-Daruquthny.
Sementara para ulama membedakan
kehujjahan hadis berdasarkan perbedaan kualitas, hadis hasan li-dzatihi dengan
li-ghairihi dah sahih li dzatihi dengan li-ghairihi, maupun antara shahih
dengan hasan, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut
berdasarkan kualitas para perawinya. Pada urutan pertama mereka menetapkan
hadis riwayat Muttafaq alaih dan seterusnya.
Penempatan hadis-hadis tersebut
berdasarkan urutan-urutah diatas, akan terlihat kegunaanya ketika terjadi
pertentangan antara dua hadis. Hadis yang menempati urutan pertama dinilai
hadis yang paling kuat dari pada hadis yang menempati urutan kedua atau ketiga
dinilai lebih kuat dari yang keempat atau lima.[17]
Hadis
hasan ialah hadis yang hafalan penghafalnya tidak sempurna. Oleh karena itu,
perbedaan antara hadis sahih dengan hadis hasan terletak pada hafalannya. Ulama
mendefinisikan hadis hasan sebagi berikut :
“
hadis hasan ialah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis sahih secara
keseluruhan karena periwayatan seluruhnya tau sebagiannya lebih sedikit
kakuatan dhabit-nya disbanding riwayat sahih”Dari definisi tersebut dapat
diketahui bahwa perbedaan antara hadis sahih dan hadis hasan tidaklah mencolok,
sehingga keduanya tidak diragukan sebagai dalil syara. Hadis hasan terdiri dari
dua kategori yaitu
1.
Hasan li
dzatihi
Hadis hasan
yang sanadnya bersambung, rawinya dail, tidak syadzdz, tidak ada ilat qadihah,
tetapi daya tangkap atau hafalan rawinya lemah.
Contoh: “ Abu
Kuraib menceritakan kepada kami katanya, Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada
kami, diterima dari nabi Muhammad bin Amr, dari abu salamah, dari Abu Hurairah,
dari Nabi Saw. katanya : seumpama tidak memberatkan kepada umatku, pasti akan
kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat.”
Menurut
Ibnu Munir, Muhammad bin Amr (salah satu rawi diatas) kurang ke dhabith-annya,
sehingga kualitas hadis tersebut menjadi hasan.[18]
2.
Hasan la lidzatihi
Hadis yang sanadnya tidak jelas
identitasnya (mastur), tetapi rawi tersebut tidak termasuk rawi pelupa, dungu,
banyak salah, fasik atau tertudu dusta.
Apabila hadis ini jalannya berbilang yaiu: dengan adanya syahid atau
mutabi, maka hadis semacam ini akan naik derajatnya menjadi hasan la
lidzatihi.Hadia hasan la lidzatihi ini berasal dari hadis dhaif, tetapi tidak
terlalu dhaif dan jlannya banyak, sehingga kedhaifannya itu tertutup. Karena
itu, hadis hasan la lidzatihi banyak di pertimbangkan di kalangan para ahli
sebagai sumber syariat juga, walaupun dalam batas-batas tertentu. Persoalannya
terletak pada rawi yaitu ketidakmungkinan membuat riwayat palsu di kalangan
orang-orang yang tidak saling mengenal. pembicaraan hal ini tetap hangat sampai
sekarang di antara ulama ada yang menolak hadis semacam ini untuk menjadi dasar
Hukum Islam dan adapula yang menerimanya. Sebagai contoh, takbir idain yang
emnetapkan tujuh kali pada rakaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua,
sebagai hasan la lidzatihi.[19]
Hadis
hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, yang diriwayatkan oleh orang yang
adil tetapi kurang sedikit dlabith, tidak terdapat di dalamnya suatu
kejanggalan dan tidak juga terdapat cacat.
Dari pengertian tersebut maka hadis
hasan adalah itu tidak ada perbedaanya dengan hadis shahih, terkecuali hanya
dibidang hafalannya. Untuk hadis hasan hafalan rawi ada yang kurang sedikit
bila dibangingkan dengan yang shahih. Dapun untuk syarat-syarat lainnya, antara
Hadis Hasan dengan yang Shahih sama.
Kata istilah hasan mulai dikenal
sejak zaman Imam Turmuzdi. Bahkan, dalam kitab sunannya, Imam Turmudzi banyak
juga menggunakan istilah Hasan-Shahih, disamping isti;ah Hasan. Yang dimksud
istilah hasan shahih menurut sebgaian ulama bahwa hadis tersebut diperselisishkan
kualitasnya, yakni ada yang mengatakan Shahih dan ada yang mengatakan Hasan,
ada juga yang berpendapat hadis tersebut kualitasnya berada antara Hasan dan
Shahih.
Pembagian
hadis hasan
1.
Hasan
li-dzatihi
Hadis yang
kehasananya bukan karena adanya petunjuk atau penguat lain, tetapi karena sebab
dirinya sendiri.
2.
Hasan
li-ghairihi
Hadis yang
sanadnya ada rawi yang diakui keahliannya, tetapi dia bukanlah orang yang
terlalu banyak kesalah dalam meriwayatkan hadis, kemudian ada riwayat dengan
sanad yang lain yang sesuai dengan maknanya.
Dengan
pengertian ini maka sesungguhnya hadis hasan li-ghairihi pada asalnya adalah
hadis dhaif. Kemudian ada petunjuk lain yang menolongnya, sehingga ia meningkat
menjadi hasan. Jadi, sekiranya tidak ada yang menolongnya, maka hadis tersebut
akan tetap berkualitas Dhaif.[20]
Menurut bahasa “al-hasan” berbentuk sifat
musyabbahat yang berarti baik , sedangkan menurut istilah, ada beberapa
pendapat para ulama hadis tentang definisi hadis hasan, mengingat kualitas
hadis hasan berada diantara hadis hahih dan dlaif. Berikutpendapat para ulama
tentang hadis hasan:
1.
Menurut
al-Khaththabiy, hadis hasan adalah hadis yang telah diketahui makhrajnya dan
perawinya cukup dikenal (masyhur). Pengertian ini lebih diterima mayoritas ulama dan dipakai
sebagian besar ulama ahli fiqih.
2.
Menurut
al-Turmudzi, hadis hasan adalah hadis yang sanadnya tidak terdapat perawai yang
tertuduh dusta, tidak terdapat syadz dan penejlasan ini diriwayatkan melalui
jalur sanad lain.
3.
Menurut Ibn
Hajar, hadis ahad yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna hafalannya,
muttasil sanadnya, tidak terdapat illat dan tidak syadz disebut hadis shahih
lidzatih. Sedangkan perawi yang kurang kuat hafalannya disebut hadis hasan li-dzatih.
Menurut Ibn Hajar hadis hasan adalah perawinya
yang kuat hafalannya , pengertian ini adalah pengertian yang paling kuat.
Sedangkan pengertian menurut al-Khaththabiy masih banyak ktirikan.
Definisi menurut al-Turmudzi mengandung
pengertian hasan li-ghairih, yakni salah satu macam hadis hasan, sebab hadis
hasan li-ghairihi pada dasarnya adalah hadis dla’if yang naik kualitasnya
menjadi hasan, karena ditunjang dengan beberapa jalur sanad yang lain. Jadi
definisinya menurut al-Turmudzi ini menyimpang dari bahasan semula yakni
tentang hadis hasan li-dzatih.
Hukum
hadis hasan
Hadis hasan nilainya sama dengan hadis
shahih yakni sama-sama bisa dipakai sebagai hujjah, walaupun kekuatannya berada
di bawah hadis shahih. Oleh karena itu semua ulama ahli fiqih memakainya
sebagai hujjah dan mengamalkannya demikian juga sebagian besar ulama ahli hadis
dan ushul fiqih , sebagian juga ada dari golongan garis keras yang menolak
sebagian ulama seperti Ibn Hibban, al- Hakim dan Ibn Huzaimah teralau gegabah
memasukkan hadis hasan ke dalam kategori hadis shahih, walaupun diakui bahwa
hadis hasan lebih rendah nilainya dari pada hadis hahih.
Contoh
hadis hasan
Menurut
al-Turmudzi, hadis ini bernilai hasan yang gharib.
Perawi
yang terlibat dalam periwayatan hadis ini ada 4 orang yaitu: Qutaibah, Ja’far
bin Sulaiman al-Dlabaghi, Abi Imran al-Jauni dan Abi Musa al-Asy’ariy. Semuanya
mempunyai sifat tsiqah (terpercaya) kecuali Ja’far bib Sulaiman al-Dlabaghi,
dia dinilai Shaduq ( sangat jujur) dilihat dari kualitas perawinya, hadis ini
yang asalnya shahih menjadi hasan.
Tingaktan
hadis hasan
Hadis
hasan memiliki tingkatan tertentu. Al-Dzahabi membagi kualitas hadis hasan
menjadi 2 tingaktan:
1.
Yang paling
tinggi, yaitu hadis hasan yang diriwayatkan melalui Bahz bin Hakim dari ayahnya
dari kakeknya, dan Ibn Ishaq dari al-Taimi serta contoh lainnya dari hadis
shahih yang berkualitas paling rendah.
2.
Kemudian di
peringkat bawahnya yaitu hads yang masih diperselisihkan kehasanan dan
kedla’ifannya, sperti yang diriwayatkan oleh al-Harits bin Abdullah, Ashim bin
Dlamarah, Hujjaj bin Aratah dan lain sebagainya.[21]
Maksud
perkataan “Hadis Shahih Al-Isnad atau Hasan Al-Isnad”
Perkataan ahli hadis: hadisun shahihun, atau
:hadza hadisun hasanul isnad” tidak sama dengan “dadza hasidun hasanun”, sebab
hadis yang shahih atau hasan sanadnya tidak bisa dipastikan shahih atau hasan
matannya, karena ternyata terdapat syadz dan terkena illat,
Jadi kalau ahli hadis mengatakan “hadza hadisun
shahihun” berarti hadis tersebut telah dijamin memenuhi 5 syarat hadis shahih,
tetapi kalau dikatakan “hadza hadisun shahihul isnad” berarti hadis tersebut
hanya memenuhi 3 syarat yaitu muttasil sanadnya, perawinya adil dan dlabith,
sedang syarat tidak terdapat illat dan syadz tidak terpenuhi.
Akan tetapi apabila ada seorang hafidh yang
bisa dipertanggung jawabkan mengatakan: “hadza hadisun shahihul isnad” walaupun
dia tidak menyebutkan tentang 2 syatar tersebut yaitu tidak terdapat syadz dan
illat, berarti hadis tersebut shahih sanad dan matannya, karena pasa dasarnya
memang tidak ada syadz dan ilat.
Maksud perkataan “hadisun
hasanun shahihun” oleh Al-Turmudzi dan lainnya
Perkataan tersebut Nampak terdapat kejanggalan,
karea kualitas hadis hasan tidak sama dengan hadis shahih, maka bagaimana
keduanya bisa terkumpul padahal berebda derajat atau tingkatan kualitasnya.
Paara ulama memberikan jawaban atas perkataan al-Turmudzi tersebut dan yang
paling baik adalah jawaban yang disampaikan oleh Ibn Hajar yang didukung oleh
al-Suyuthi yaitu:
a.
Apabila hadis
tersebut mempunyai 2 jalur sanad atau lebih, maka berarti hadis tersebut
berkualitas hasan melalui sanad tertentu, dan berkualitas shahih melalui sanad
yang lain.
b.
Apabila hadis
tersebut hanyamempunyai jalur 1 sanad maka berarti hadis tersebut hasan menurut
golongan tertentu dan berkualitas shahih menurut golongan yang lain.
Perkataan
al-Turmudzi tersebut mengandung isyarat adanya perbedaan pendapat di antara
ulama tentang penentuan kualitas hadis, atau belum bisa mentarjihkannya.
Kitab-kitab
yang diduga banyak terdapat hadis hasan
Ulama ahli hadis beluma ada yang
menulis kitab khusus memuat hadis hasan sebagaimana penulisan hadis shahih,
namum ada beberapa kitab yang didalamnya banyak memuat hadis hasan yaitu antara lain:
a.
Jami’
al-Turmudzi
Yang dikenal
juga dengan nama suanan al-Turmudzi adalah sumber untuk menetahui hadis hasan,
sebab al-Turmudzi sendiri yang mempopulerkannya. Namum terdapat kutipan yang
berbeda dalam istilah”hasan shahih” dan lain sebagainya. Untuk itu bagi
pemerhati hadis diharapkan berusaha mencari kutipan yang benar, kemudian
mengkonfirmasikan dengan sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan.
b.
Sunan Abu Dawud
Sebagaimana
surat yang pernah dikirimkan kepada warga Makkah, Abu Dawud menyebutkan, bahwa
dalam kitabnya terdapat hadis shahih dan yang menyerupainya. Apabila ada hadis
yang terlalu lemah, beliau menjelaskannya, sedangkan hadis yang sama sekali
tidak diberi komentar berarti hadisnya berkualitas baik (shahih). Berdasarkan
hal tersebut bila ditemukan hadis yang tidak beliau jelaskan kelemahannya
(kedla’ifannya) dan tidak dishahihkan oleh salah satu imam yang bisa
dipertanggungjawabkan berarti kualitas hadisnya hasan menurut Abu Dawud.
c.
Sunan
Daruquthniy telah menetapkan banyak hadis hasan dalam kitabnya itu.
Hadis
hasan li-ghairih
1.
Pengertian
Hadis
hasan ialah hadis dla’if yang bukan dikarenakan perawi yang fasiq atau
pembohong dan ia mempunyai banyak jalur sanad.
Dari pengertian
diatas dapat disimpulkan bahawa hadis dla’if bisa naik ke peringkat hasan
karena 2 hal:
a.
Apabila hadis
dlaif tersebut mempunyai jalur sanad lain, satu atau lebih, yang setingkat
kualitasnya atau lebih kuat.
b.
Apabila sebab
kedlaif’an dikarenakan buruknya hafalan, terputusnya sanad atau tidak
dikenalinya identitas perawinya (mastur).
2.
Tingakatan
hadis hasan li-ghairih
Hadis hasan
li-gahairih, kualitasnya lebih rendah dari pada hadis hasan li-dzatih. Jadi
apabila terjadi ta’arudl (pertentangan) di antara keduanya, maka hadis hasan
li-lidzatih harus didahulukan.
3.
Hukum hadis
hasan li-ghairih
Hadis hasan
li-ghairih termasuk hadis maqbul yang dapat dipakai sebagai hujjah.
4.
Contoh hadis
hasan li-ghairih
Hadis riwayat
al-Turmudzi dan beliau menilainya hasan dari jalur syu’bah bin Ashim bin
Ubaidillah bin Amir bin Rabi’ah dari ayahnya:
Artinya: “
bahwa ada seseorang wanita dari Bani Farazah menikah dengan mas kawin sepasang
alas kaki, kemudian Rasulullah SAW bertanya: Apakah kamu sudah rela, dia
menjawab: sudah, maka rasulullah membolehkannya.[22]
3.
Hadist Dha’if
A. Pengertian
hadist dha’if
Kata
dha’if menurut bahasa, berarti lemah, sebagai lawan dari qawi(yang kuat).
Sebagai lawan kata dari sahih, kata dha’if juga berarti saqim (yang
sakit).Maka, sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, yang
sakit dan yang tidak kuat. Secara terminologi, para ulama
mendefinisikannyadengan redaksi yang beragam, meskipun maksud dan kandungan
sama. Al-Nawawi dan al-Qasimi mendefinisikan hadis dha’if dengan:“hadis yang
didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadi sahih dan syarat-syarat hadis
hasan”Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib menyatakan bahwa definisi hadis dha’if
adalah:“segala hadis yang didalamnya tidak terkumpul sifat-sifat
maqbul”Sifat-sifat maqbul dalam definisi diata maksudnya adalah sifat-sifat
yang terdapat dalam hadis sahih dan hadis hasan, karena keduannya memenuhi
sifat-sifat maqbul. Dengan demikian, definisi kedua tersebut sama dengan
definisi berikut: “hadis yang didalamnya tidak berkumpul sifat-sifat hadis
sahih dan sifat-sifat hadis hasan” Menurut Nur al-Din ‘Itr, definisi yang
paling baik tentang hadis dha’if adalah:“Hadist yang kehilangan salah satu
syaratnya sebagai hadist maqbul (yang dapat diterima)” Maksudnya, suatu hadis
yang tidak memenuhi salah satu syarat (kriteria) hadis sahih atau hadis hasan
dinyatakan sebagai hadis dha’if yang berarti hadis itu tertolak (mardud) untuk
dijadikan sebagai hujjah.[23]
B. Kriteria-kriteria
hadist dha’if
Pada definisi
diatas terlihat bahwa hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari kriteria
hadis sahih atau hadis hasan. Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya,
kriteria hadis sahih adalah:
1.
Periwayat adil.
2.
Periwayat
dhabith.
3.
Sanadnya
bersambung.
4.
Terlepas dari
syadz.
5.
Terhindar dari
illat.
Adapun
kriteria-kriteria hadis hasan adalah:
1.
Sanadnya
bersambung.
2.
Periwayat adil.
3.
Periwayat
kurang dhabith.
4.
Terlepas dari
syadz.
5.
Terhindar dari
illat.
Berhubung hadis dha’if tidak memenuhi salah satu dari beberapa
kriteria diatas, maka kriteria-kriteria hadis dha’if adalah:
1.
Sanadnya
terputus.
2.
Periwayatnya
tidak adil.
3.
Periwayatnya
tidak dhabith.
4.
Mengandung
syadz.
5.
Mengandung
illat.[24]
Syarat-syarat hadist maqbul ada enam, yaitu:
1.
Rawisnya adil.
2.
Rawisnya
dhabith, meskipun tidak sempurna.
3.
Sanadnya
bersambung.
4.
Padanya tidak
terdapat suatu keracuan.
5.
Padanya tidak
terdapat ‘illat yang merusak.
6.
Pada saat
dibutuhkan, hadist yang bersangkutan menguntungkan (tidak mencelakakan)
Demikian, Al-Biqa’I
dan al-suyuthi serta yang lainnya, menghitung syarat-syarat diterimanya hadist
tersebut.Akan tetapi sehubungan dengan kriteria yang kedua mereka tidak
menambahkan kata-kata “meskipun tidak sempurna”.Ini adalah suatu masalah, sebab
bila seorang rawi tidak sempurna ke-dhabith-annya, maka hadistnya adalah hadist
hasan, bukan dha’if. Oleh karena itu ungkapan untuk kriteria yang kedua ini adalah dengan “menambahkan
kata-kata “meskipun tidak sempurna”.[25]
C. Macam-macam
hadist dha’if
1. Hadis Dha’if
karena sanadnya terputus
Dalam kaitan
dengan keterputusan sanad, Ibn Hajar al-‘Asqalani membagi hadis dha’if kepada
lima macam, yaitu mu’allaq, hadis mursal, hadis munqathi’, hadis mu’dhal, dan
hadis mudallas.
a. Hadis mu’allaq
Hadis mua’allaq
adalah hadis yang terputus diawal sanad.Kata mu’allaq secara bahasa berarti
tergantung. Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa berarti
bergantung itu diambil dari pemakaian istilah ta’liq al-thalaq(cerai gantung)
dan ta’liq al-jidar (dinding gantung) karena ada unsur kesamaan dalam hal
keterputusan sambungan.Secara terminologi, hadis mu’allaq adalah hadis yang
periwayatannya diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadis)
gugur atau terputus seorang atau lebih secara berurutan.Patokan tentang
keterputusannya teletak pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih.Jika
lebih, maka keterputusan itu harus secara berurutan.Ini berarti, seandainya
yang terputus bukan di awal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak
secara berurutan, maka hadis itu tidak dinamakan mu’allaq.
Jika
diperhatikan secara saksama, term mu’allaq pada contoh atau definisi diatas
menunjukkan dependensi hadis pada
periwayat pertama sampai pada Nabi. Ketergantungan terlihat pada terputusnya
mata rantai terakhir (periwayat terakhir) jika yang gugur satu orang, atau mata
rantai terakhir ke atas jika yang gugur lebih dari seorang yang keduanya
berakibat sanad tampak tidak terpijak
pada mukharrijal-hadits. Ketergantungan juga terlihat pada disandarkannya hadis
pada Nabi (marfu’)Hadis mu’allaq disebut hadis dha’if karena rangkaian sanadnya
hilang atau terputus, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para
periwayat yang sesungguhnya. Contoh hadis mu’allaq adalah riwayat al-Bukhari
dengan perbandingan sanad dari Abu dawud, al-Nasa’I’ dan Ibn Majah:“bab tentang
orang yang mandi telanjang sendirian ditempat yang sepi dan menutupi lebih
baik. Bahz mengatakan dari ayahnya dari kakeknya dari Nabi SAW.sabdanya, ‘Allah
lebih berhak disikapi malu dari pada manusia”.[26]
b. hadis mursal
Sebagaimana terlihat pada penjelasan sebelumnya, sebuah hadis disebut
mursal apabila diriwayatkan oleh tabi’I langsung dari Nabi tanpa menyebut
sahabat. Kata mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat
atau tanpa halangan .kata ini kemudian
digunakan untuk hadis tertentu yang periwayatannya ‘melepaskan’ hadis
tanpa terlebih dahulu kepada sahabat yang menerima hadis itu dari Nabi.[27]Secara
terminologis, mayoritas ulama hadis mendefinisikan hadis mursal dengan hadis
yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh seorang tabii’I, baik
tabi’I besar maupun tabi’I kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan
kepada sahabat Nabi. Hadis yang dinyatakan mursal itu, menurut pendapat
ini, berstatus marfu’ dan sahabat tidak menyebut nama sahabat ketika
meriwayatkan hadis itu, baik tabi’I senior maupun junior.
Dalam hal ini keterputusan terjadi pada periwayatan
pertama di kalangan generasi sahabat Nabi, yang disebut juga sanad terakhir.[28]Oleh
sebagian ulama, senioritas tabi’I menjadi unsure pembeda dinamakannya hadis
sebagai mursal atau bukan.Jika tabi’I yang menyandarkan hadis langsung
kepada Nab adalah tabi’I senior, misalnya Sa’id ibn al-Musayyib (w.94 H/712 M),
maka hadis diriwayatkan itu hadis mursal.Akan tetapi, manakala yang
menyandarkan tabi’I junior seperti ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H/742 M), maka
hadis itu dinamakan munqathi’ sebab pada umumnya tabi’I yunior menerima
hadis dari tabi’I besar dan tiak langsung dari sahabat nabi.Dalam hal ini
terjadi penyempitan muatan makna mursal dibanding pendapat pertama,
yaitu periwayat yang menggugurkan haruslah tabi’I besar (senior) bukan tabi’I
kecil (junior).[29]Oleh ulama lain, hadis mursal yang
pengguguran namasahabat dilakukan oleh tabi’I besar (senior) dinamakan mursal
jali (hadis mursal yang jelas) sementara hadis mursal yang
pengguguran nama sahabat dilakukan oleh tabi’I kecil (junior) dinamakan hadis
mursal khafi (hadis mursal yang samar). Terhadap kehujjahan dan kategori hadis
mursal ini, ulama berbeda pendapat.
a) Abu
hanifah, Malik, Ahmad dan ebberapa ulama lain berpendapat bahwa hadis mursal
dapat dijadikan hujjah secara mutlak.
b) Al-Nawawi,
Jumhur ulama hadis, al-Syafi’I dan kebanyakan ulama fiqih dan ushul menyatakan
tentang ketidakbolehan berhujjah dengan hadis mursal.
c) Boleh
menggunakan hadis mursal sebagai hujjah apabila ada riwayat lain yang musnad
atau yang juga mursal, atau yang sudah menjadi amalan sebagian sahabat.
Dari segi
definisi, kalangan ulama fiqih dan ushul fiqih mempunyai pendapat berbeda
dengan ulama hadis.Menurut mereka, hadis mursal adalah hadis yang disandarkan
langsung kepada Nabi oleh selain sahabat Nabi.Berarti bahwa periwayatan yang
menggugurkan sahabat tidak hanya terbatas pada periwayatan yang berstatus
tabi’in saja tetapi mungkin periwayatan sesudah mereka, pendapat ini memrlukan
pengertian hadis mursal yang mencangkup hadis yang digugurkan periwayatannya
dari kalangan sahabat oleh selain tabi’in.[30]Di
samping itu hadis mursal tabi’I sebagaimana dijelaskan di atas di kalangan
ulama hadis dikenal pula hadis mursal shahabi, yaitu hadis yang
disandarkan langsung oleh sahabat kepada Nabi tanpa menyebut sahabat lain yang
sesungguhnya pernah mendengar hadis itu darinya. Dalam hal ini, periwayatan yang menggugurkan sahabat
Nabi dalam sanad adalah periwayatan yang
berstatus sahabat juga. Sebagian ulama berpendapat, bahwa hadis mursal
shahabi merupakan hadis yang bersamung sanadnya, asalkan sanad sebelum
sahabat dalam keadaan bersambung. Pendapat ini didasarkan pada tiga alasan:
Periwayatan yang menggugurkan adalahsahabat
Nabi juga, sedang sahabat Nabi bersifat adil.
a.
Tidak banhyak jumlah hadis yang diterima oleh sahabat dari tabi’I sehingga
tidak perlu dikhawatirkan periwayat yang digugurkan oleh sahabat tersebut
adalah tabi’I dan sahabat Nabi.
b.
Sulit menghindari mursal shahabi karena
kebanyakan riwayat sahabat muda tertentu, misalnya Ibn’Abbas adalah musal karena usianya yang sangat muda.[31]
Keberadaan periwayat yang terdapat dalam mata rantai sanad juga
mempengaruhi kualitas hadis mursal. Menurut shihabial-halih,
hadis mursal yang disandarkan kepada para periwayat yang dapat
dipertanggungjawabkan menjadi kuat, apalagi jika hadis itu diriwayatkan secara
musnad dalam riwayat lain.[32]
c. hadis munqathi’
keterputusan
ditengah sanad dapat terjadi pada satu sanad atau lebih, secara berturut-turut
atau tidak. Jika keterputusan terjadi ditengah sanad pada satu tempat atau dua
tempat dalam keadaan tidak berturut-turut, hadis yang bersangkutan dinamakan
hadis munqathi’. Kata munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang
berarti: berhenti, kering, patah, pecah, atau putus.
Tentang
definisi hadis munqathi’, para ulama berbeda pendapat. Berikut dikemukakan
beberapa definisi hadis munqathi’ itu:
1.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang sanadnya terputus dibagian mana saja, baik pada sanad
terakhir atau periwayat pertama (sahabat) maupun bukan sahabat (selain
periwayat pertama).
2.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang sanadnya terputus, karena periwayat yang tidak berstatus
sebagai sahabat Nabi atau tabi’in
menyatakan menerima hadis dari Nabi. Sanad hadis terputus pada peringkat
sahabat atau tabi’in.
3.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang bagian sanadnya sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) hilang
atau tidak jelas orangnya.
4.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang dalam sanadnya ada periwayat yang gugur seorang atau dua
orang tidak secara berurutan.
5.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang dalam sanadnya ada seorang periwayat yang terputus atau tidak
jelas.
6.
Hadis munqathi’
adalah hadis yang sanadnya dibagian sebelum sahabat (periwayat sesudahnya) terputus
seorang atau lebih tidak secara berturut dan tidak terjadi di awal sanad.
7.
Hadis munqathi’
adalah pernyataan atau perbuatan tabi’in.
Kebanyakan
definisi hadis munqathi’ diatas bersifat umum yang mencakup hampir seluru
hadis yang mengalami keterputusan sanad,
yaitu hadis-hadis dha’if lain seperti
hadis mursal, hadis maqthu’, atau hadis mu’allaq. Hal ini ditegaskan oleh
shubhi al shalih bahwa kesha’ifan hadis munqathi’ karena tidak adanya
kesinambungan dalam sanad dan dalam hal ini hadis munqathi’ sama dengan hadis
mursal. Tidak hanya itu, tradisi ulama hadis
d. hadis mu’dhals
e. hadis mudallas
2. Hadis Dha’if
karena periwayatnya tidak ‘adil
a.
Hadis Mawdhu
Hadis nawdhu adalah hadis dusta yang
dibuat-buat dinisbahkan kepada Rasulullah.Secara bahasa, mawdhubearti sesuatu
yang digugurkan (al-Masqat), yang ditinggalkan (al-matruk), dan
diada-adakan (al-Muftara).Menurut istilah hadis Mawdhu adalah
pernyataanyang dibuat seseorang kemudian dinisbahkan pada Nabi SAW. Dengan kata lain, hadis mawdhu dibuat dan
dinisbahkan kepada Rasulullah dengan sengaja atau tidak, dengan tujuan buuruk
atau baik sekalipun. Sebagian ulama sepakat bahwa dilarang mengamalkan dan
meriwayatkan hadis palsu kecuali disertai penjelasan tentang kepalsuannya.[33]
Kriteria hadis mawdhu antara lain:
1.
Kriteria sanad: pengakuan periwayatan (pemalsu) hadis,
bertentangan dengan realita historis periwayat, periwayat pendusta, dan keadaan
periwayat dan dorongan psikologisnya.
2.
Kriteria matan: buruk lafal (redaksi)-nya seperti
tidak menyerupai perkataan nabi atau sahabat, rusak maknanyakarena bertentangan
dengan dalil-dalil syar’I dan kaidah hukum dan akhlak, dank arena
bertentangan dengan realita, akal pikian,dan adanya bukti yang sah tetang
kepalsuan.[34]
b.
Hadis Matruk
Hadis Matruk adalah hadis yang diriwaytkan oleh
periwayat yang tertduh sebagai pendusta. Menurut Mahmud al-Thahhan, sebab
periwayat tertuduh dusta adalah: yang pertama hadis yang diriwayatkan tidak
diriwayatkan kecuali dari periwayat itudan bertentangan dengan kaidah-kaidah
yang telah diketahui (al-qawa’id al-ma;ilumah), yaitu kaidah-kaidah umum
yang diinstinbath-kan oleh para ulama dari sekumpulan nash-nash umum
yang sahih. Yang kedua diketahui periwayat berdusta tentang hadis nabi SAW.
Hadis matruk berkualitas dhaif, hanya saja tidak semua
hadis yang dinilai matruk terutama dari segi periwayatannya dinyatakan matruk
dan termasuk hadis dhaif biasa, dalam beberapa kasus disebut juga sebagai hads
palsu
c.
Hadis Munkar
Hadis Munkar berasal dari kata al-inkar (mengingkari),
lawan dari al-iqrar (menetapkan). Kata munkar digunakan untuk hadis yang seakan
mengingkari atau berlawanan dengan hadis lain yang lebih kuat. Di kalangan
ulama hadis, haids munkar didefinisikan dengan
1.
Hadis yang
parah, hadis yang banyak mengalami kesalahan, dan pernah berbuat fasik.
2. Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang
dha’if bertentangan dengan riwayat periwayat yang istiqah. Dilihat dari segi
terjadinya pertentangan, hadis munkar sama dengan hadis Syadz. Perbedaannya,
pada hadis munkar pertentanga terjadi antara periwayat yang kemah dengan yang
istiqah sedangkan pada hadis syadz, pertentangan itu antara periwayat yang
istiqah dengan periwayat yang lebih istiqah.[35]
3. Hadis Dha’if
karena periwayatnya tidak dhabith
a.
Hadis Mudallas
Hadis Mudallas berasal dari kata dallasa yang secara
bahasa berarti menipu atau menyembunyikan cacat. Menurut isltilah, hadis
mudallas adalah hadis yan diriwayatkan dengan cara byang diperkirakan banwa
hadis ini tidak bercacat. Periwayatan yang menyembunyikan cacat disebut al-Mudallis,
hadisnya disebut al-mudallas, dan perbuatan menyembunyikan disebut al-tadlis.[36]
b.
Hadis Mudraj
Hadis mudraj berasal
dari kata adraja (menyisipkan), sedangkan menurut istilah ilmu hadis, mudraj
adalah hadis yang bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya dimasukkan
sesuatu kata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut
tanpa ada tanda pemisah.Hadis mudraj dapat terjadi pada sanad atau matan, yaitu
kata atau kalimat yang dimasukkan ke dalam hadis itu dapat terjadi pada sanad
atau matan.Ibnu al-Shalih menyatakan bahwa kata atau kalimat yang masuk itu
beragam jenisnya. Misalnya, seorang sahabat atau yang sesudahnya menyebutkan
perkataan sendiri setelah meriwayatkan sesuatu hadis, lalu orang sesudahnya
meriwayatkan perkatan itu secara bergandengan dengan hadis tanpa ada tanda
pemisah atau pembatas, sehingga orang yang tidak mengerti akan menganggap bahwa
semuanya adalah sabda Nabi SAW.[37]
c.
Hadis Maqlub
Hadis Maqlub adalah hadis yang diriwayatkan
denganmengganti kata dengan kata lain baik pada sanad maupun matannya. Kata mal-maqlub
sendiri berasal dari kata al-qalb yang berarti mengubah sesuatu dari
keberadaanya. Jadi hadis maqlub adalah hadis yang di dalamnya periwayat menukar
suatu kata atau kalimat dengan kata atau kalimat yang lain.
d.
Hadis Muzid
Hadis muzid adalah
sebuah hadis yang mendapat tambahan kata atau kalimat yang bukan berasal dari
hadis itu baik pada sanad atau matan.Kata muzid sendiri meripakan isim maf’ul
dari kata al-ziyadah (tambahan).Tambahan dapat terjadi pada sanad
atau matan. Tambahan pada sanad dilakukan dengan
menambahkan nama periwayat atau me-marfu-kan hadi mawquf atau memawshul-kan
hadis mursal.[38]
e.
Hadis Mudhtharib
Hadis Mudhtharib berasal dari kata al-Idhthirab
yang berarti kekacauan sesuatu dan kerusakan aturannya. Menurut istilah,
mudhtharib adalah hadis yang diriwayatkan dengan cara yang berbeda tetapi sama
dalam kekuatannya. Maksudnya, hadis yang diriwayatkan dengan bentuk yang
bertentangan dan berbeda serta tidak mungkin dilakukan komromi. Seluruh riwayat
hadis itu sama kekuatannya daru segi isi sehingga tidak mungkin dilakukan
tarjih antara kedua bentuk hadis itu.
f.
Hadis Mushahhaf
Haids mushahhaf berasal dari bahasa Arab al-Tashif
yang berarti orang yang salah dalam membaca lembaran dengan mengubah sebagian
redaksinya karena salah dalam membaca. Menurut Mahmud al-Thahhan, istilahMushahhaf berarti perubahan kata dalam hadis pada
selain yang diriwayatkan oleh periwayat istiqah baik secara lafal maupun
makna.
g.
Hadis Majhul
Kata Majhul yang disebut al-jahalahbi al
rawi, berasal dari kata jahilia lawan kataamalia amaliayang berarti bodoh, tidak
mengetahui. Menurut istilah, majhul adalah hadis yang tidak diketahui
jati diri periwayat atau keadaannya.Dalam hal ini, periwayat tidak diketahui
jati diri kepribadiannya atau kepribadiannya diketahui tetapi tidak diketahui
keadilan atau ke-dhabith-annya.[39]
4. Hadis Dha’if
karena mengandung syadz
Secarabahasasyadzmerupakanisimfa’ildarisyadzdzaberartimenyendiri(infarada).
Menurut istilah syadz adalah hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah dan
bertentangan dengan riwayat oleh periwayat yang lebih tsiqah.
Menurut
al-syafi’i, suatu hadis dinyatakan mengandung syadz apabila diriwayatkan oleh
seorang periwayat yang tsiqah dan bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan
oleh banyak periwayat yang juga tsiqah. Suatuhadis yang di nyatakanmengandungsyadzapabila:
1. Hadisitulebihdarisatusanad
2. Para periwayathadisituseluruhnyatsiqah
3. Matan/sanadhadismengandungpertentangan
Menurut al-hakim, suatuhadisdinyatakansyadzapabila:
1. Hadishanyadiriwayatkanolehsatuperiwayat
2. Periwayat yang sendiriitubersifattsiqah
Dengandemikianperbedaan al-syafi’i dan hakim dalamhaliniadalah: (1) bagian al-syafi’i hadisitulebihdarisatusanadsedangkan
al-hakim hadisituhanyadiriwayatkanolehsatu orang, (2) menurut al-syafi’i,
harusterjadipertentanganmatandansanaddariperiwayat yang sama-samatsiqahdanbagi
al-hakim tidakharusterjadipertentangandarimatandansanaddariperiwayat yang
sama-samatsiqah.
Contohhadissyadzadalahhadis yang
diriwayatkandariIbn Abbas berikut:
عن ابن رضي ا الله عنه ان رجلا تؤفى على عهد رسول الله
صلى الله علىه وسلم ولم ىدع وارثا الا مولى هو اعتقهز (رواه التر مذى والنسا ؤابن
ما جه)
“ dari Ibnu Abbas bahwa seorang laki-laki meninggal dunia di
zaman Rasulullah SAW dan ia tidak meninggalkan seorangpun ahliwaris, kecuali
seorang yang telah memerdekakannya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh al-Turmudzi, al-Nasa’I dan
ibnu Majah dengan sanad yang sama dari IbnU yaynah dari Amr bin Dinar dari Awsajah
dari Ibnu Abbas. Hadis ini disamping diriwayatkan oleh ketiga mukharij
tersebut, dengan sanad yang sama diriwayatkan pila oleh Ahmad ibn Hanbal, Abu
dawud juga meriwayatkan hadis tersebut dengan sanad yang lengkap sebagai
berikut: (1) Musa bin Ismail, (2) Hammad bin Zayd, (3) Amr bin Dinar, (4)
Aswajah dan (5) Ibn Abbas. Matanhadisdiatasmemilikibanyaksanad.Sanad yang
digunakanIbnUyainahdemikianmenurutIbnHajar, sama yang
digunakanIbnJurayidanparaperiwayatlainnya.
5. Hadis Dha’if
karena mengandung ‘Illat (cacat)
Jika
didalam sebuah hadis terdapat cacat tersembunyi dan secara lahiriah maka hadis
itu dinamakan hadis mu’allal yaitu hadis yang mengandung illat. Secara bahasa
kata illat berarti: cacat, kesalahan baca, penyakit dan keburukan. Menurut
istilah ahli hadis illat berarti sebab yang tersembunyi dapat merusak kesahihan
hadis.
Menurut
al-Khathib al-Baghdadi cara untuk mengetahui illat hadis adalah dengan
menghimpun seluruh sanadnya, melihat perbedaan di antara para periwayatnya, dan
memerhatikan status hafalan, keteguhan dan ke-dhabith-an masing-masing
periwayat.
Sedangkan
menurut Mahmud al-Thahhan, suatu hadis dinyatakan mengandung illat apabila
memenuhi criteria berikut: (1) periwayatnya menyendiri, (2) periwayat lain
bertentangan dengannya, (3) qarinah-qarinah lain yang terkait dengan dua unsur
di atas .dengan demikian cara mengetahui adanya illat hadis adalah dengan cara
menghimpun seluruh sanad hadis yang dimaksud untuk mengetahui ada tidaknya
tawabi’ , melihat perbedaan diantara para periwayatnya dan memperhatikan status
kualitas paraperiwayatnya yang berkenaan dengan keadilan dan kedhabith-an
masing-masing periwayat.
6. Tingkatan-tingkatan
hadist dha’if dan sanad-sanad yang paling dha’if
Karena sebab-sebab kedha’ifan hadist itu
berbeda-beda kekuatan dan pengaruhnya, maka tingkat hadist dha’if itu dengan
sendirinya berbeda-beda. Ada yang kadar kelemahannya kecil sehingga
hamper-hampir dihukumi sebagai hadits hasan dan ada yang terlalu dha’if.Imam
al-Hakim telah menghitung sanad-sanad yang paling lemah dan berikut ini kami
jelaskan sebagainya.[40]
Sanad-sanad penduduk Syam yang paling lemah
adalah Muhammad bin Qais dari Ubaidillah diperselisihkan keberadaannya, dan ia
sangat dekat kepada kedha’ifan. Ali bin Yazid dihukumi dha’if oleh para
muhadditsin dan ditinggalkan oleh al-Daraquthni. Adapun Al-Qasim adalah putra
Abdurrahman al-Syami.Ia adalah shaduq dan banyak mengirsalkan hadist dan
ia banyak meriwatkan hadist-hadist yang menyendiri.
Sanad-sanad penduduk MEsir yang paling
dha’if adalah Ahmad bin Muhammad bin
Hajjaj bin Rusyidin bin Sa’d dari bapaknya dari kakeknya dari Qurrah bin
Abdurrahman bin Haiwail. Banyak sekali hadist yang diriwayatkan dengan sanad
ini dari jama’ah.
Ahmad bin Muhammad bin Hajjaj dinyatakan oleh
Ibnu “Adi, “Hadistnya dapat ditulis dalam kedha’ifannya. Bapaknya perlu
diteliti hadistnya.Dan kakeknya, Rusydin, adalah dha’if. Qurrah bin Abdurrahman
adalah shaduq dan banyak meriwayatlkan hadist munkar.”
Sanad-sanad Ibnu Abbas yang p[aling lemah
adalah al-Sudi al-Shagir Muhammad bin Marwan dari al;Kalbi dari Abu Shalih dari
Ibnu Abbas.Muhammad bin Marwan ditinggalkan hadistnya oleh para muhadditsin dan
dituduh dusta. Al-kalbi adalah Muhammad bin al-Sa’ib, dan ia juga ditinggalkan
hadistnya serta dinilai sebagai pendusta oleh Sulaiman al-Taimi dan Za’idah
serta Ibnu Ma’in. Abu Shalih adalah Badzam, ia adalah rawi dha’if dan
mudallis. Al-Hafizah Ibnu Hajar berkata, ini adalah silsilatul-kadzab, bukan
silsilatudz-dzahab.[41]
Perlu diperhatikanbahwa klasifikasi diatas
adalah klasifikasi yang berdasarkan tingkat kedha’ifan para rawinya.Disamping
itu kedha’ifan para rawi pun bertingkat-tingkat bila ditinjau dari segi
persentasi sifat-sifat yang tidak terdapat pada mereka[42]Para
muhaddistin mengklasifikasikan hadist dha’if yang disebabkan cacat para rawinya.Maka
ada hadits dha’if yang dapat meningkat menjadi kuat dan ada pula hadist dha’if
yang tingkatnya sangat rendah sehingga tidak dapat menjadi kuat. Seluruhnya
hadist yang cacat rawinya dinamai dengan hadist dha’if, apa pun jenis
kecacatannya.
Klasifikasi tersebut dapat kita lihat melalui
istilah-istilah yang mereka sampaikan, seperti …… dan …… Hanya saja mereka
kebanyakan membedakan sebagai kondisi hadits dha’if dengan predikat-predikat
khusus, yakni munkar, matruk, dan mathruh, yang masing-masing akan
dibahas kemudian. Mereka membedakan hadits dha’if yang paling rendah,
yakni hadist yang dipalsukan, dengan istilah yang khususnya pula, yaitu
maudhu’.
Demikianlah macam-macam hadits dha’if yang kami
bahas dalam pasal ini, yakni ditinjau dari kecacatan para rawinya. Selanjutnya
pada pembahasan-pembahasan yang akan datang akan klami nbahas unsure-unsur
hadist yang lain, yakni kondisi mantan, kondisi sanad, dan kondisi perpaduan
matan dan sanad. Kemudian kami padukan dengan pedoman umum tentang menerima dan
menolak hadits. Sehingga dengan demikian bahasa kita ini akan marupakan bahasan
yang mencakup seluruh aspek hadist dengan penuh kejelian dan ketegasan.
7. Kedha’ifan
sanad tidak menunjukan kedha’ifan matan
Pemikiran
muhadditsin berkenaan dengan aplikasi prinsip-prinsip analisis kritis terhadap
hadist.Mereka mengingatkan bahwa kedha’ifan sanad itu tidak senantiasa membawa
kedha’ifan matan, sebagaimana halnya keshahihan sanad tidak menjamin keshahihan
matan.Oleh karena itu, kadang-kadang suatu hadist sanadnya dha’if namun
matannya sahih karena diriwayatkan pula melalui jalur lain, sebagaimana
kadang-kadang suatu sanad sahih namun matanya dha’if karena rancu atau memiliki
cacat.[43]
8. Hukum hadist
dha’if
Ketika
suatu hadist dha’if dimungkinkan bahwa rawinya benar-benar hapal terharapnya
dan menyampaikannya dengan cara yang benar, maka halini telah mengundang
perselisisan yang serius dikalangan ulama sehubungan dengan pengalamannya.
Berikut ini kami mengemukakakan kesimpulan pendapat para ulama dalam masalah ini.
Pendapat
pertama, hadist dha’if dapat diamalkan secara mutlak, yakni baik yang berkenaan
dengan masalah halal-haram maupun yang berkenaa dengan masalah kewajiban,
dengan syarat tidak ada hadist lain yang menerangkannya. Pendapat ini
disampaikan oleh beberapa imam yang agung, seperti imam Ahmad bin Hanbal, Abu
Dawud, dan sebagainya.[44]
Pendapat
kedua, itu dipandang baik mengamalkan hadits dha’if dalam fadha’il al-a’mal, baik yang berkaitan
dengan hal-hal yang dianjurkan maupun hal-hal yang dilarang. Demikian mazhab
kebanyakan ulama dari kalangan muhadditsi, fuqaha, dan lainnya. Iam al-Nawawi
syekh Ali al-Qari, dan ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan bahwa hal itu telah
disepakati para ulama.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar menjelaskan dengan sangat baik bahwa syarat mengamalkan hadits
dha’if itu ada tiga.
1.
Telah
disepakati untuk mengamalkan, yaitu hadits dha’if yang tidak terlalu dha’if
sehingga tidak bisa diamalkan hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
pendusta atau dituduh dusta atau orang yang banyak salah.
2.
Hadits dha’if
yang bersangkutan berada dibawah suatu dalil yang umum sehingga tidak dapat
diamalkan hadits dha’if yang sama sekali tidak memiiki dalil pokok.
3.
Ketika hadits
dha’if yang bersangkutan diamalkan tidak disertai keyakinan atas kepastian
keberadaannya, untuk menghindari penyandaran kepada Nabi saw. Sesuatu yang
tidak beliau katakan.
Pendapat ketiga, hadits dha’if sama sekali tidak bisa
diamalkan, baik yang berkaitan dengan fadha’il
al-a’mal maupun yang berkaitan dengan halal-haram. Pendapat ini dinisbahkan
kepada Qadhi Abu Bakar Ibnal-‘Arabi demikian pula pendapat al-Syibah al-Khafaji
dan al –jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih oleh sebagian penulis dewasa ini
dengan alasan bahwa fadha’il al-a’mal
itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya adalah syara’ dan karena pada
hadits-hadits sahih dan hadits-hadits hasan terdapat jalan lain selain
hadits-hadits dha’if.[45]
9. Periwayatan
hadist dha’if
Para
ulama muhadditsin memperbolehkan periwayatan semata terhadap hadits dha’if yang
tidak berkaitan dengan akidah dan hukum halal-haram; seperti periwayatan hadits
al-targhib wa al-tarhib, kisah-kisah,
dan nasihat-nasihat, tanpa harus menjelaskan segi kedha’ifannya selama bukan
hadits maudhu’ dan yang menyerupainya. Penjelasan mereka sehubungan dengan
periwayatan hadits dha’if ini banyak sekali. Sebagian penjelasan itu disebutkan
oleh al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya al-Kifayah.[46]
Di
antaranya pernyataan Ahmad, “Apakah kami meriwayatkan hadits dari Rasulullah
saw.yang berkaitan dengan halal dan haram, sunnah, dan hukum, maka kami
bersikap keras terhadap sanad-sanadnya; sedangkan bila kami meriwayatkan hadits
dari Rasulullah saw. Yang berkenaan dengan fadha’il
al-a’mal atau hadits-hadits yang tidak menetapkan atau menghilangkan hukum,
maka kami tidak begitu keras dalam meneliti sanad-sanandnya.”[47]
Akan
tetapi para ulama hadits tetap konsisten pada sikap kejelian dan
kehati-hatiannya sehingga mereka tidak memperbolehkan periwayatan hadits dha’if
dengan kata-kata yang mengesankan kepastian dalam menyandarkan hadits dha’if
itu kepada Rasulullah saw. Oleh karena itu tidak boleh dikatakan:
“...........................................”
Rasulullah
saw. Berkata,,,atau melakukan ,,, atau memerintahkan,,,,,
Dan
kata-kata lainnya yang mengesankan bahwa hadits dha’if yang diriwayatkan itu
benar-benar datang dari Rasulullah saw. Melainkan harus dikatakan:
“...........................................”
Diriwayatkan
dari Rasulullah saw,,, atau diberitakan,,,, atau ada riwayat menjelaskan,,,
atau diceritakan ,,, atau disampaikan kepada kita,,,
Demikian
pula hendaknya kita katakan apabila kita meriwayatkan hadits yang kita ragu
akan kesahihan dan kedha’ifannya.[48]
Mengingat bahwa
hadits dha’if itu memiliki dampak yang sangat besar bagi agama, maka para imam
hadits menyusun kitab untuk mengungkapkan problematiaka hadits dha’if dan
menjelaskan sebab-sebab kedha’ifannya, agar jelas mana hadits yang dapat
menjadikan kuat atau dapat diamalkan dalam fadha’il al-a’mal dan mana yang
tidak dapat diamalkan sama sekali.
Diantara
sumber-sumber tersebut yang terpenting adalah sebagai beikut.
1.
Kitab-kitab
yang disusun oleh para ulama tentang par arawi yang dha’if sebagaimana yang
telah disebut di muka. Sehubungan dengan uraian setiap rawi mereka mencontohkan
beberapa hadits yang diriwayatkannya untuk menjelaskan kedha’ifannya atau
sebagai dalil kedha’ifan rawi itu. Hadits –hadits tersebut termasuk kategori
hadits yang sering disebut dha’if secara mutlak, yakni hadits yang dha’if
karena jarh pada rawinya .
2.
Kitab –kitab
yang telah ditegaskan oleh para ulama bahwa apabila ada hadits yang hanya
terdapat dalam salah satu kitab hadits, maka hadits tersebut adalah dha’if.
3.
Kitab-kitab
yang disusun para ulama tentang hadits dha’if yang bukan karena jarh pada rawi,
seperti kitab-kitab yang memuat hadits-hadits mursal, mushahhaf, dan kitab
al-‘ilal, dan sebagainya yang insyaallah akan kami jelaskan sehubungan dengan
pembahasan keadaan sanad dan matan disertai penjelasan hukum masing-masing.[49]
11. Kehujjahan
Hadis Dha’if
Di kalangan
ulama terjadi perbedaan pendapat tentang kehujjahan hadis dha’if. Setidaknya
terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berhujjah dengan hadis
jenis ini. Pertama, menurut yahya ibn Ma’in, Abu Bakar ibn ‘Arabi, al-Bukhori,
Muslim, dan ibn Hazm, hadis dha’if tidak dapat diamalkan secara mutlak baik
dalam masalah fadhail al’mal maupun hukum. Kedua, Abu Dawud dan Ahmad ibn
Hanbal berpendapat bahwa hadis dha’if dapat diamalkan secara mutlak. Menurut
keduanya, bagaimanapun hadis dha’if itu lebih kuat dari pada pendapat manusia.
Ketiga, menurut ibn Hajar al-‘Asqalani, hadis dha’if dapat dijadikan hujjah
dalam masalah fadhail al-a’mal, mawa’izh, al-tarhib wa al-targhib, dan
sebagainya jika memenuhi syarat-syarat tertentu [50]
Syarat-syarat
itu adalah: (1) ke-dha’if-annya tidak parah, seperti hadis yang diriwayatkan
oleh para pendusta atau tertuduh dusta, atau sangat banyak mengalami kesalahan;
(2) terdapat dalil lain yang kuat yang dapat diamalkan ; (3) ketika
mengamalkannya tidak beriktikad bahwa hadis itu tsubut, tetapi sebaiknya dalam
rangka hati-hati. [51]
B.
Analisis
komparatif
Jika kita
pahami secara cermat bahwa hadist jika dilihat dari segi kualitasnya dapat di
tinjau dari ke shahihannya, hasan, maupun dhoifnya sesuai kriteria serta
syarat-syarat yang harus di penuhi
c.
Penutup
Dari analisis yang kami dapatkan di
berbagai sumber ini dapat di simpulkan jika hadist di lihat dari segi
kualitasnya dapat kita bagi menjadi 3:
1.
Hadist shaihih
2.
Hadist hasan
3.
Hadist dhoif
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Munzier Suparto, MA, ilmu hadis , PT Raja
Grafindo Persada ,Jakarta, 2003
Hadist hasan
Prof. Dr. M. Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna. M.
Ag. Metode Kritik Hadis , Pt remaja rosdakarya ,bandung, Tahun 2011
Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis
,angkasa, bandung, tahun 1991
Dr. Mahmud Thahhan, Intisari ilmu hadis, UIn-malang
press,malang, 2007
Catatan:
1.
Similaritynya
cukup tinggi, 25%.
2.
Daftar
Pustakanya cuma empat? Padahal jumlah halaman cukup banyak.
3.
Abstrak
seharusnya cuma satu paragraf, tidak berisi seperti yang tertulis di makalah
ini.
4.
Pendahuluannya
mana?
5.
Penulisan
footnote kacau.
6.
Dalam
karya tulis ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. Ustadz dll) dihilangkan, begitu
pula dalam foototnote.
7.
Mengapa
ada pembahasan yang diulang-ulang?
Makalah ini sangat tidak rapi, dan banyak pembahasan yang muter-muter
saja. Harusnya sebelum dikirim dirapikan terlebih dahulu, agar pembaca mudah
mencerna kata-kata yang ditulis. Anda perlu memperbaiki NIAT dalam menulis
makalah agar belajar Anda mendapatkan hasil yang baik.
[1]Drs. M. Syuhudi Ismail, pengantar ilmu hadis, Angkasa, Bandung,
1991, hlm. 179
[2] Dr. Idri, M. Ag. Studi Hadis, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2010, hlm. 157.
[3]Ibid, hlm. 179
[4] Ibid, hlm.180-181
[5]Ibid, hlm. 181.
[6]Ibid, hlm. 160.
[7]Ibid, hlm. 162-163.
[8]Ibid, hlm. 164-165.
[9]Ibid, hlm. 168.
[10]Ibid, hkm. 169-171.
[11]Ibid, hlm. 175.
[12] Drs. Munzier Suparta, MA, Ilmu
Hadis, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 141.
[13]Ibid, hlm. 142.
[14]Ibid, hlm. 143.
[15]Ibid, hlm. 144-145.
[16]Ibid, hlm. 146-147.
[17]Ibid, hlm. 148-149.
[18] Prof. DR.M.
Abdurrahman, MA dan Elan Sumarna.M.Ag, Metode
Kritik Hadis, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011, hlm.208-209.
[19] Ibid, hlm.209-210
[20] Drs. M. Syuhudi Ismail, Pengantar
Ilmu Hadis,Angkasa, Bandung, 1991, hlm.182.
[21]Dr. Mahmud Thahhan, Intisari
Ilmu Hadis, UIN –Malang Press, Malang, 2007, hlm.73-76.
[22] Ibid, hlm,78-79.
[23]Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.177-178
[24] Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.178-179
[25] DR.Nuruddin ‘Itr, ulum Al-hadits, hlm.51
[26]Dr.Idri,M.Ag, Studi hadis, hlm.178-180
[27]Idri, Hlm. 193
[28]Idri, hlm. 193.
[29]Idri,hlm.193.
[30]Rizka.Hlm. 194.
[31]Hlm. 194
[32]Hlm. 196.
[33]Idri, hlm 204
[34]Idri, hlm 204
[35]Idri, hlm 208
[36]Idri, hlm. 210.
[37]Idri, hlm. 215.
[38]Idri, hlm. 224.
[39]Idro, hlm. 237
[40] Widia 54
[41] 56
[42] 56
[43]Widia hal-56
[44]Widia hal- 57
[45]Widia 58-59
[46]Widia 61
[47]Widia 62
[48]Widia 62
[49]Widia 63-64
[50]Idri hlm. 245
[51]Idri hlm 245
Tidak ada komentar:
Posting Komentar