AL-A’MM DAN AL-KHAS, MUTLAK, MUQAYYAD
Fatikha Azizatul Ilma, M. Sochi Safiul Anam,
Mahindra Sanjaya
Mahasiswa
PAI B angkatan 2015
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : fatikhailma@gmail.com
Abstract : This article describes al-a'mm and al-khas, mutlak
muqayyad as an approach in establishing the law. In these fourth approaches to establishing an Islamic law, the
Qur'an and Hadith are at the core of all Islamic law. The rules of this
approach are aimed at Muslims to know and apply one of these approaches to
Ushul Fiqh to explain the meaning or description of a texts. Seen from the
understanding and the various lafadznya, ulama Ushul Fiqh examines and
establishes the rules of syara 'law in language to eliminate the difficulties
that arise in lafadz a nash that finds many meanings.
Keywords : Al-A’mm, Al-Khas,
Mutlak, Muqayyad
Abstrak : Artikel ini menjelaskan tentang al-a’mm dan
al-khas, mutlak muqayyad sebagai pendekatan dalam menetapkan hukum. Pada keempat
pendekatan ini untuk menetapkan sebuah hukum Islam tetap pada
berpijak pada Al-Quran dan Hadist sebagai inti dari semua hukum Islam. Kaidah-kaidah
pendekatan ini bertujuan agar umat muslim mengetahui dan menerapkan salah satu pendekatan
pada Ushul Fiqh ini untuk menjelaskan makna atau keterangan yang ada pada suatu
nash. Dilihat dari pengertian dan macam-macam lafadznya, ulama Ushul Fiqh
meneliti dan menetapkan mengenai
kaidah-kaidah hukum syara’ secara bahasa untuk menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang muncul di dalam lafadz suatu nash yang menemukan
banyak makna.
Kata Kunci : Al-A’mm, Al-Khas,
Mutlak, Muqayyad
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber pokok hukum
Islam, Setiap nash yang ada di dalamnya merupakan pedoman atau pijakan
dalam berkehidupan, terkhusus dalam pengambilan hukum (istinbhat). Dalam
pengambilan hukum terdapat dua pendekatan, yakni pendekatan makna dan
pendekatan lafadz. Dan oleh sebab itu ilmu ushl fiqh memiliki prosedur
dalam menetapkan metodologi untuk menggali hukum yang telah dinash-kan
dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Bahasa yang digunakan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah
adalah bahasa Arab, oleh karena itu jika ingin memahami dan menggali hukum yang
terkandung di dalamnya harus menguasai bahasa Arab. Dimana hal ini sangatlah
penting untuk memahami secara detail idiom (ibarat) dalam bahasa Arab beserta
pengertiannya, dan memahami gaya bahasa yang menggunakan ibarat kiasan (majaz)
dan ungkapan hakiki pada kondisi tertentu. Oleh karena itu, para ulama’
ushul fiqh melakukan upaya penelitian dan pembahasan secara sistematis mengenai
struktur bahasa Arab, gaya dan rasa bahasa Arab, baik meliputi ungkapan-ungkapan
dan mufradatnya, serta pemakaiannya dalam syari’at.
Pada dasarnya, semua yang ada dalam al-Qur’an dan
As-Sunah memuat berbagai persyaratan atau kaitan dengan keadaan, sehingga hukum-hukumnya
tidak berlaku secara keseluruhan, melainkan jika di dalam kasus yang hendak ditentukan
hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan keadaan tersebut. Penyimpangan atau pengecualian dari ketentuan ini hanya terjadi pada ayat-ayat tertentu yang
sangat sedikit jumlahnya.[1]
Dari pemaparan di atas, maka terdapat beberapa pendekatan dalam menentukan hukum yang mana aka menjadi fokus pembahasan kali ini yakni mengenai Al-A’mm,
Al-Khas, Mutlak dan Muqayyad. Dari salah satu pembahasan tersebut terutama masalah ‘am dan khash, banyak sekali terdapat pembahasan yang mendalam oleh para ulama’ ushul fiqh, karena masalah ini sering melahirkan perbedaan pandangan di antara mereka. Karena hal ini erat kaitannya dengan kedudukan qiyas terhadap nash-nash yang bersifat umum serta kedudukan hadits-hadits Ahad dengan keumuman Al-Qur’an.
B.
AL-A’MM
1. Pengertian Al-A’mm (Umum)
Pada
dasarnya dalam kaitan yang dibuat dalam ‘am ini adalah lafadz atau kata
yang tertera dalam Al-Qur’an. Adapun arti dari ‘am menurut Bahasa adalah umum, merata, dan menyeluruh. Sedangkan
jika menurut istilahi, maka akan ada pendapat menurut Abdul Hamid Hakim,
mengenai ‘am[2]:
العَامُ هُوَ
اللَّفْظُ الْمُسْتَغغْرِقُ لِجَمِيْعِ مَا يَصْلُحُ لَهُ بِحَسْبِ وَضْعٍ وَا
حِدٍ دَفعَةً
“ ‘Am adalah lafadz yang
menenjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad) yang ada dalam lafadz itu tanpa pembatasan jumlah
terntentu.”
Adapun pendapat dari ulama’ lain mengenai definisi‘am, salah satunya adalah salah satunya
adalah menurut Imam Al-Ghazali[3];
العَامُ هُوَ
اللَّفْظُ الْوَاحِدُ الدَّالُ مِنْ جِهَةٍ وَاحِدَةٍ عَلَى شَيْئَيْنِ فَصَاعِدًا
" 'Am adalah suati lafadz yang
menunjukkan dari arah yang sama kepada dua hal atau lebih."
Kemudian ada seorang tokoh yang mana ia juga menyimpulkan dari
beberapa pendapat mengenai definisi dari ‘am, yakni Muhammad Adib Saleh.
Beliau menyimpulkan bahwasanya[4] :
“lafal ‘am (umum) ialah lafal yang diciptakan untuk pengertian
umum sesuai dengan pengertian lafal itu sendiri tanpa dibatasi dengan jumlah
tertentu.”
Dari beberapa pendapat para tokoh diatas, maka dapat dirumuskan
bahwasanya lafadz ‘am[5];
1.
Hanya terdiri
dari satu pengertian tunggal yang memiliki beberapa afrậd (satuan
pengertian)
2.
Tunggal di sini
dapat digunakan dalam satuan pengertian yang sama dalam penggunaannya.
3.
Apabila hukum
yang berlaku itu untuk satu lafadz, maka hukum itu berlaku pula terhadap
setiap afrậd yang tercakup dalam lafadz tersebut.
2. Lafadz-Lafadz yang Menunjukkan Arti
‘Am
Adapun beberapa ketentuan atau syarat dalam penentuan lafadz
‘am, sehingga tidak semua lafadzbisa dikatakan sebagai ‘am, diantaranya
:
QS. At-Thur ayat 21
وَالَّذِينَ
آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ
ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ
امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak
cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka
dengan mereka , dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap
manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS, At-Thur:21)
QS. Al-Baqarah ayat 29
....هُوَ الَّذِي خَلَقَ
لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
“Dialah (Allah) yang menjadikan untukmu segala
yang ada di bumi secara keseluruhan (jami’an)....” (QS.
Al-Baqarah:29)
2.
Lafadz mufrad المفرد yang dima’rifahkan dengan ditambahالجنسيةال (“al”
yang menunjukkan jenis)[7],
misalnya dalam QS. Al-Ashr ayat 2;
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ
“Sesungguhnya
manusia itu benar-benar dalam kerugian.” (QS. Al-Ashr:2)
3.
Lafadz jama’ (الجمع) yang dima’rifahkan dengan الجنسيةالdan jama’yang dimakrifahkan dengan idhafah[8].
Contoh (jama’ yang dima’rifahkan):
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍۚ
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahandiri
(menunggu) tiga kali quru'.” (QS.
Al-Baqarah:228)
Contoh (jama’
yang dima’rifahkan dengan idhafah):
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ....ۖ
“Ambillah zakat
dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (QS.
At-Taubah:103)
4.
Isim
Maushul (الأسماء الموصولة), yakni jika dalam suatu ayat tersebut
didahului atau terdapat isim maushulnya, seperti[9]:
الذي –التي -الذين– اللاّتي/اللاّئى
5.
Contoh
dalam QS. An-Nisa’ ayat 10 :
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ
الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا ۖ وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu
menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang
menyala-nyala (neraka).”(QS.An-Nisa’:10)
6. Isim Syarat: الشرطأسماء (kata benda untuk mensyaratkan)[10],
Seperti: مَنْ (barang
siapa) dan مَا (apa-apa).
Contoh dalam QS. An-Nisa’ ayat 92 :
....وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ
إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا....ۚ
“...dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah)
ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang
diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga
terbunuh) bersedekah.” (QS. An-Nisa’:92)
7.
Isim
Nakirah (النكرةاسم )yang diawali oleh la nafii atau
dinafikan, seperti lafadz la junaaha ( (لا
جناحdalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10.
... وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ....ۚ
“...
dan tidak ada dosa (la junaaha) atas kamu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya...” (QS. Al-Mumtahanah:10)
3. Dilậlah (Penunjukan)
Lafadz Umum
Penunjukan lafadz ‘am
para ulama ushul tidak ada perbedaan dalam pendapatnya,
karena di dalam lafadz
‘am secara
lughowi telah mencakup seluruh afrad (satuan) makna dalam pengertiannya.
Sehingga ketika ada nash syara’ yang turun dalam bentuk lafadz ‘am,
maka tidak akan ada perdebatan di dalamnya, kecuali
akan ada dalil lain yang kemudian membatasi (men-takhsis) nash tersebut.
Dan hal yang demikian itu membuat adanya beberapa pandangan atau pendapat yang
cukup beragam dari para ulama’ mengenai penunjukkan lafadz‘am yang
kemudian diikuti oleh dalil takhsis, dengan perbedaan apakah lafadz
tersebut bersifat qath’i (pasti/meyakinkan) atau dzanni (diduga
kuat/tidak meyakinkan).[11]
1. Menurut ulama’ Syafiiyah berpendapat bahwa lafadz ‘am
yang belum dikhususkan, dilalah-nya kepada seluruh afrad-nya,
maka bersifat dzanny[12],
karena masih ada kemungkinan untuk ditakhsis, meskipun belum ada dalil
yang pasti untuk mentakhsis dalil (lafadz‘am).
Secara bahasa, lafadz ‘am selalu berada dalam
kemungkinan untuk terkena takhsis. Sehingga, ulama Syafi’iyah tidak bisa
mengatakan bahwa semua lafadz ‘am bisa bersifat qath’i, melainkan
dzanny. Mereka, memiliki dua argumen yang mendasari hal tersebut[13]:
a.
Sebagian afrad
dari lafadz‘am memiliki maksud yang banyak. Sehingga memungkinkan
adanya dalil yang men-takhsisnya.
b.
Hasil
penelitian terhadap nash yang mengandung lafadz‘am menunjukkan
bahwa tidak ada yang tidak terkena takhsis.
2.
Menurut ulama’
Hanafiah, lafadz‘am yang belum dikhususkan bersifat qath’iy (pasti)
mencakup seluruh satuannya. Maksud qath’i yang ditetapkan dari lafazh
yang ‘am disini adalah, apabila dalam lafazh tersebut tidak terdapat
kemungkinan-kemungkinan lain yang timbul karena adanya dalil lain yang kemudian
men-takhsiskannya. Sehingga kemungkinan adanya takhsis tidak
hilang secara muthlak. Jadi, apabila ada pen-takhsisan maka dilalahnya
terhadap yang tersisa daripada afradnya sesudah pengkhususan itu
bersifat dhanny[14].
Adapun argumen yang mendasri pendapat mereka antara lain[15] :
a.
Banyaknya
maksud dari sebagian afrad lafadz‘am yang sulit untuk diterima apabila
tidak ada qorinah yang menunjukannya, baik dalam bentuk lafadz
maupun bukan lafadz. Adapun jika setelahnya terdapat nash yang
mengeluarkan sebagian afrad-nya, maka hal ini bukanlah sebagai penjelas
atau menunjukkan sebagian afrad dari ‘am, melainkan adalah nasikh[16].Kemudian
dipertegas oleh Hanafiyah bahwasanya pengkhususan pertama terhadap lafadz‘am
harus dengan dalil qath’iy, karena yang qath’iy hanya dapat
dikhususkan dengan dalil qath’iy. Adapun pengkhususan kedua, ketiga, dan
seterusnya boleh dengan dalil dhanny, karena dilalah ‘am yang
sudah dikhususkan bersifat dhanny[17].
b.
Selama tidak
ada petunjuk untuk memalingkan makna lafadz‘am maka tetap bersifat qath’i.
Karena lafadz‘am dibentuk dan digunakan secara hakiki untuk mencakup
semua makna yang terkandung di dalamnya.
3.
Selanjutnya
adalah Imam Malik yang mana beliau lebih berada ditengah-tengah dari kedua
pendapat ulama’ Syafi’iyah dan Hanafiyah. Beliau berpendapat bahwa dalalah keumuman
Al-Qur’an itu bersifat zhanny, jika dilihat dari lahiriyahnya, namun
baginya keumuman Al-Qur’an tidak selalu bisa ditakhsis apalagi dengan
khabar ahad. Misalnya dalam QS. An-Nisa’ ayat 24[18] :
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَٰلِكُمْ
“Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Kemudian ditakhsis dengan sabda Nabi SAW:
لاتنكحالمرأةعلىعمّتهاولاعلىخالتها
“Seorang
wanita tidak bisa dikawini bersama bibi dari ayahnya atau bibi dari ibunya.”
Namun,
terkadang Imam Malik tidak memfungsikan khabar ahad hanya karena ada
keumuman Al-Qur’an, karena ketikakhabar ahad itu tidak didukung dengan nash
atau qiyas atau praktek dari penduduk Madinah seperti:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا
وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْسِلْهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ
أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
“Dari
[Ibnu Abu 'Arubah] dari [Qatadah] dari [Ibnu Sirin] dari [Abu Hurairah] dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila ada anjing
yang menjilat bejana milik salah seorang kalian, maka basuhlah (cucilah) tujuh
kali, dan salah satunya dengan tanah.” (HR. Nasai
No.337)
Maka hadits
tersebut akan ditolak dengan keumuman yang terkandung dalam firman Allah SWT.
...قُلْ أُحِلَّ
لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙوَمَاعَلَّمْتُمْمِنَالْجَوَارِحِ
مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُۖ
فَكُلُوا
مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖوَاتَّقُوااللَّهَۚإِنَّاللَّهَسَرِيعُالْحِسَابِ
"…Katakanlah: "Dihalalkan bagimu
yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu
ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah
diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan
sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan
bertakwalahkepada Allah, sesungguhnya Allah amatcepathisab-Nya." (QS. Al-Maidah:4)
Dalam sudut pandang ini Imam Malik berpendapat, kalau memang
anjing itu najis, namunketika binatang buruan ditangkap oleh anjing yang telah
dilatih dan dibacakan bismillah ketika melepaskannya, maka hasil buruanya boleh
dimakan.
4. Macam-macam
Lafadz‘Am
Dalam pembagiannya ‘am dikelompokkan pada tiga
macam :
1.
Lafadz‘am
yang maksudnya umum, merupakan lafadz yang dari
segi lafadz-nya dan artinya berarti umum. Secara definitif;[19]
هُوَ الْعَامُّ الَّذِى صَحُبَتْهُ قَرِيْنَةٌ تَنْفِى احْتِمَا لَهُ
عَلَى التَّخْصِيْصِ
“Lafadz ‘am yang disertai qarinah yang menolak kemungkinan untuk
ditakhsis.”
Misalnya dalam QS. Ali ‘Imran ayat 185 :
كُلُّ نَفْسٍ
ذَائِقَةُ الْمَوْتِ....
“Setiap diri akan merasakan kematian.” (QS. Ali ‘Imran:185)
Lafadz كُلُّ نَفْسٍ jika dari segi arti memiliki makna yang memang tidak ada
batasannya. Kemudian qarinah yang menyertai di sini adalah qarinah
haliyah atau keyakinan yang dirasakan bersama. Dan lafadz ‘am di
sini penunjukanya bersifat qath’i.
2. Lafadz ‘am yang maksudnya adalah khusush. Maksudnya
di sini adalah lafadz yang jika ditinjau dari sifat atau cirinyatermasuk
dalam ‘am, namun dari segi makna memiliki arti yang khusush. Secara
definif;[20]
هُوَ العَامُّ الَّذِى صَحُبَتْهُ قَرِيْنَةٌ تَنْفِى بَقَا ئَهُ
عَلَى عُمُوْمِهِ
“yaitu lafadz ‘am yang disertai qarinah yang meniadakan
keumumannya.”
Misalnya
dalam QS. Ali ‘Imran ayat 97.
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
سَبِيْلاً
“Kewajiban manusia terhadap Allah adalah menunaikan ibadah Haji ke
Baitullah bagi orang yang berkuasa berjalan ke sana.” (QS. Ali ‘Imran:97)
Contoh
lain terdapat pada QS. At-taubah ayat 120
مَا كَانَ لِأَهْلِ
الْمَدِينَةِ وَمَنْ حَوْلَهُمْ مِنَ الْأَعْرَابِ أَنْ يَتَخَلَّفُوا عَنْ
رَسُولِ اللَّهِ وَلَا يَرْغَبُوا بِأَنْفُسِهِمْ عَنْ نَفْسِهِ….
“Tidaklah sepatutnya bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab
Baduwi yang berdiam di sekitar mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (pergi
berperang) dan tidak patut (pula) mereka mencintai diri mereka daripada
mencintai diri Rasul.”(QS. At-taubah:120)
Lafadz النَّاسِ merupakan ‘am karena kata tunggal yang diawali
dengan alif- lam jinsiyyah.Namun, yang menjadi fokus dari ayat ini
adalah sebagian afrad-nya saja, yaitu orang mukallafyang
mempunyai kesanggupan.
3.
Lafadz
‘am yang dikhususkan. Maksudnya adalah lafadz ‘am kemungkinan
mendapat takhsis. Secara definitif[21]:
“Lafadz
‘am yang tidak disertai oleh qarinah yang meniadakan kemungkinan untuk
ditakhsish, juga tidak disertai qarinah yang meniadakan lafadz itu tetap
bersifat ‘am.”
Misalnya
dalam hadits nabi, yang berbunyi :
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ كَفَا عِلِيْهِ
“Orang yang memberi petunjuk untuk berbuat baik sama dengan orang
yang berbuat baik itu sendiri.”
Lafadz ( (منmerupakan isim istifham, sehingga menunjukkan lafadz ‘am.
Namun, tidak ada qarinah yang menyebutkan apakah lafadz tersebut ‘am
atau khusush. Sehingga ada kemungkinan lafadz tersebut
bersifat khas atau bisa jadi ‘am.
Contoh
lain dalam QS. Al-Baqarah ayat 228
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ….
“Dan wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru.” (QS. Al-Baqarah:228)
Al-muthallaqat bersifat
‘am, namun lafadz tersebut masih terbebas dari penyebutan ‘am atau
khas, namun menurut Muhammad Adib Shaleh selama belum ada dalil yang men-takhsis-kannya
maka lafadz tersebut tetap bersifat ‘am.[22]
C.
AL-KHAS
1. Pengertian Al-Khas
Khas menurut bahasa artinya yaitu tertentu. Dalam hal lain, al-Kash berarti
lafaz yang dibuat demi memperuntukkan arti satu yang spesifik.[23] Sedangkan
menurut Adib Shalih, kata khas mempunyai arti lafaz yang berisi
pengertian-pengertian yang terbatas atau suatu makna secara satu. Sebagaimana
yang disebutkan oleh Abu Zahrah, para ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa lafaz
khas pada nash syara’, memperlihatkan
pada maknanya yang khusus sebaga qath’i
(pasti) serta hukum yang didalamnya mempunyai sifat yang pasti (qath’i) semasa tiadanya faktor yang
memperlihatkan makna lain.[24]
Suatu makna
yang khusus tersebut dapat menyiratkan perseorangan semisal Ibrahim yang
memperlihatkan salah satu jenis pria, menyiratkan jumlah bilangan semisal dua
belas, empat belas, suatu masyarakat, sekerumunan, serombongan, dan lain lain.[25]
2. Dalalat Al-Khash
Dalam nash al-syar’, lafal al-khash merujuk pada dalalat qath’iyat tentang arti spesifik yang disiratkan dan hukum
yang merujuknya adalah qath’iy,
selagi tiada bukti yang menukarkan pada arti yang berbeda.
Sebagai contoh, Lafal khash yang terdapat pada surat
Al-Maidah ayat 89[26]
:
كِسْوَتُهُمْ أَوْ أَهْلِيكُمْ تُطْعِمُونَ مَا أَوْسَطِ مِنْ مَسَاكِينَ عَشَرَةِ إِطْعَامُ فَكَفَّارَتُهُ
… maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang msikin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka … (QS. Al-Maidah/5: 89)
Kata ‘asyarah
pada ayat di atas dilahirkan semata-mata akan angka sepuluh, tiada kurang dan
tiada juga lebih. Makna sepuluh tersebut telah benar tiada peluang makna lain.
Contoh lainnya yaitu firman Allah pada surat
Al-Baqarah (2) ayat 196, yang berbunyi :[27]
الْحَجِّ فِي أَيَّامٍ ثَلَاثَةِ فَصِيَامُ يَجِدْ لَمْ مَنْ
… Tetapi jika ia
tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga
hari dalam masa haji …
Kata ثلاثة
(tiga) pada ayat di atas yaitu khash,
yang tak akan berarti kurang atau lebih dari arti yang dimaksudkan oleh kata
itu sendiri, yakni tiga hari. Maka dari itu, dalalat artinya yaitu qath-‘iyyat
dan dalalat hukumnya juga qath-‘iyyat.
Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya sebenarnya
hukum yang dilihatkan lafal khash itu qath’iy,
semasa tiada qarinat yang
berkeinginan buat di-ta’wil-kan pada
pengertian berbeda.
Contohnya yaitu hadis Nabi yang berbunyi[28]
:
فى كل أربعين شاة شاة
“Pada setiap empat puluh ekor kambing, wajib zakatnya
seekor kambing.”
Lafal أربعين شاة
(empat puluh ekor kambing) dan lafal شاة
(seekor
kambing) menurut jumhur ulama sama-sama termasuk lafal khash. Sebab pada dua
lafal yang disebutkan tiada bisa dimaksudkan kurang bahkan lebih dari arti yang
dilihatkan oleh lafal tersebut. Oleh karena itu dalalat lafal yang disebutkan
yaitu qath-‘iyyat. Namun Ulama Hanafiyah berpendapat sebenarnya pada hadis Nabi
yang disebut ditemukan qarinat yang memalingkan ke makna yang berbeda. Yakni
guna zakat tersebut yaitu bagi membantu orang fakir miskin. Bantuan tersebut
bisa sampai tidak cuma melalui membagikan satu ekor kambing, tapi bisa juga
melalui memberikan kadar satu ekor kambing yang telah dizakat.
3. Sifat-sifat Lafal
Al-Khash
Lafal al-khash tersebut pada nash-nash syara’, terkadang muncul
sebagai muthlaq, tidak diiringi dengan ketentuan apa-apa; terkadang muqayyad,
yaitu diberi batasan oleh satu ketentuan; terkadang muncul sebagai shighat
(bentuk) al-amr, yaitu desakan akan dilaksanakan satu aktivitas; dan terkadang
sebagai shighat al-nahy, yaitu tidak diperbolehkannya melaksanakan satu
aktivitas. Oleh karena itu penjelasan khash ini
meliputi lafal al-mutlaq, al-muqayyad, al-amr, dan al-nahy.[29]
D.
Mutlak dan Muqayyad
1.
Pengertian
Mutlak dan Muqayyad
a.
Mutlak
Dalam
kajian usul fiqh lafadz mutlak mempunyai beberapa
pengertian, menurut bahasa lafadz mutlak mempunyai arti tidak terbatas dengan
ikatan tertentu.[30]
Sedangakan menurut para ahli ushul fiqh memberikan
pengertian tentang lafadz mutlak dengan pengertian yang sedikit berbeda dalam
perumusannya. Sebagai berikut :
1)
Abu zahrah memberikan
pengertian lafadz mutlak :
Lafadz mutlak adalah lafadz yang memberikan
petunjuk terhadap maudh’nya( sasaranpenggunaanlafadz) tapa memandang
satu,banyak atau sifatnya, tetapi memberika petunjuk kepada hakikat sesuatu
menurut apa adanya.[31]
2)
Abd al Wahab Khalaf
memberikan pengertian lafadz mutlak :
Lafadz yang menunjukan suatu satuan tanpa dibatasi secara harfiah degan
suatu ketentuan.[32]
3)
Muhammad alkhudari Beik memberikan
pengertian lafadz mutlak :
Mutlak adalah lafadz yang memberi pentunu terhadap satu dari beberapa
satuan yang mencakup tanpa ikatan yang terikat secara lafdzi.[33]
Jika
kita fahami dari beberapa pengertian tokoh ahli ushul fiqh tersebut kita bisa
menyimpulkan bahwa mutlak adalah lafadz yang
tidak ada batasan tertentu yang membatasi cakupan artinya. Adapun contoh
mutlak yang ada dalam alqur’an adalah sebagai berikut,
Al mujadalah (58:3)[34] :
يَتَمَاسَّا أَنْ قَبْلِ مِنْ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ
“maka
merdekakanlah hamba sahaya sebelum keduanya bergaul”
Dalam ayat tersebut telah disebutkan lafadz“raqabah” yang
mempunyai arti hamba sahaya, lafadz tersebutlah yang menjadi mutlak dalam ayat
tersebut karena dalam ayat tersebut tidak ada batasan yang membatasi lafadz “raqabah”
baik batasan yang berupa sifat atau keadaan. Maksudnya adalah kata hamba sahaya
atau budak
tersebut bersifat umum, baik itu budak muslim ataupun non muslim tidak ada
ketentuan di dalamnya. Oleh karena itu lafadz “Raqabah” tersebut termasuk mutlak karena mencakup keseluruhan .
b.
Muqayyad
Sedangkan muqayyad sendiri
mempunyai pengertian yang berkebalikan dengan mutlak. Muqayyad menurut bahasa
mempunyai arti terikat.[35] mengenai
pengertian muqayyad secara istilah beberapa ahli ushul fiqh juga mempunyai
pengertian tentang muqayyad. Sebagai berikut:
القيد ما دل على
الماهية بقيد من القيودها
“Al muqoyad
adalah lafadz yang menujukan arti sebenarnya yang di batasi oleh suatu hal
lain.”[36]
Berasal dari pengertian tersebut dapat di fahami bahwa muqoyad
adalah lafadz yang maknanya telah dibatasi dengan suatu sifat atau keadaan
tertentu yang pada akhirnya akan memunculkan makna tertentu sehingga maknanya
lebih mengerucut dan jelas. Dengan penjelasan tersebut telah banyak contoh yang
ada dalam alqur’an, sebagaimana yang tertulis pada surat An-Nisa’
(4:92) :
أَهْلِهِ إِلَىٰ مُسَلَّمَةٌ وَدِيَةٌ مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ
“....dan
barang siapa yang memunuh seorang mukmin karena salah, hendakalah ia
memerdekaka seorang hamba sahaya yang beriman dan membayar diyat yang di
serahkan kepada keluarganya....”
Sebagaimana yang sudah di jelaskan pada pembahasan sebelumnya,
lafadz “qarabah” ini merupakan mutlak , namun dalam ayat ini sesudah
lafadz “qarabah” tersebut terdapat lafadz yang membatasi lafadz“qarabah”
yakni lafadz“mukminat” , jika diartikan menjadi budak yang beriman,
maka lafadz tersebut sudah menjadi muqoyad karena telah di batasi maknanya dan
ruang lingkup maknanya juga menjadi lebih mengerucut dan jelas. Jadi seseorang
yang membunuh karena tidak sengaja dia harus memerdekakan seorang budak yang
beriman.
2.
Kedudukan Mutlak dan Muqayyad
Ketika berbicara tentang mutlak dan muqoyad ada beberapa hal yang
harus di perhatikan seperti halnya prinsip dasarnya lafadz mutlak tetap ada
kemutlakanya, begitu juga lafadz muqoyad tetap pada kemuqoyadanya. Kemutlakan
suatu lafadz dapa berubah menjadi tidak mutlak lagi jika terdapat sesuatu yang
memberikan batasan terhadap lafadz tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka
kemutlakan lafadz sudah berubah. Untuk membahas ssecara mendalam tentang mutlak
dan muqoyad maka ada dua hal yang harus diperhatikan agar bisa memahami
kedudukan lafadz mutlak dan muqoyad,[37]
sebagai berikut :
a.
Menerapkan
mutlak pada muqoyad[38], maksudnya
adalah apabila ada suatu ayat yang didalamnya terkandung lafadz yang tidak di
batasi makna ayat tersebut dengan dengan yang lain dan kemudian pada ayat lain
terdapat lafadz yang sama namun terdapat pembatasan makna lafadztesebutdeng
suatu yang lain, maka hal inilah yang hal inilah yang di maksud dengan
menerapkan mutlak pada muqoyad. Terdapat beberapa ketentuan mengenai hal ini,
yaitu :
·
Adanya
kesamaan ketentuan hukum dan juga sebab penetapan.[39]
Contoh, Al
Maidah ayat 3 :
الْخِنْزِيرِ وَلَحْمُ وَالدَّمُ الْمَيْتَةُ عَلَيْكُمُ حُرِّمَتْ
“....Diharamkan
atas kamu bangkai, darah,
dan daging babi...”
Al-’Am: 145
خِنْزِيرٍ لَحْمَ أَوْ مَسْفُوحًا دَمًا أَوْ مَيْتَةً يَكُونَ أَنْ إِلَّا يَطْعَمُهُ طَاعِمٍ عَلَىٰ مُحَرَّمًا إِلَيَّ أُوحِيَ مَا فِي أَجِدُ لَا قُلْ
“Katakanlah! Tidak aku temukan dalam wahyu yang di wahyukan kepadak
suatu yan diharamkan bagi orang yang hendak memakanya, kecuali darah yang
mengalir atau dang babi....”
Adapun
hubugan antara kedua ayat tersebut dengan pembahasan pada pont ini adalah
terletak pada lafadz DAM (darah). Dalam dua ayat tersebut sama-sama terdapat
lafadz DAM(darah), namun pada surat Al Maaidah:3 tersebut lafadz dam bersifat
mutlak karena tidak ada sesuatu yang membatasi lafadz tersebut, namun pada
surat Al Am:145 tersebut lafadz DAM (darah)
tidak sendiri melainkan terdapat qoid yang mengiringi lafadz tersebut
yaitu lafad MASFUKHA (mengalir), sehingga ia berubah menjadi muqoyad. Hal
ini berdasarkan pada ketentuan bahwasanya menerapkan kemutlakan pada muqoyad,
maka lafadz DAM (darah) pada surat Al Maidah:3 itu juga berarti darah yang
mengalir seperti halnya pada surat Al-Am
:145. Maksudnya adalah makna DAM yang ada pada surat Al Maidah:3
dan Al-‘Am:145 adalah mempunyai maksud yang sama yaitu darah yang mengalir.
·
Adanya
pesamaan dalam ketentuan hukum namun berbeda dalam sebab yang melatar
belakangi.[40]
Contoh :
Al Mujadilah: 3
يَتَمَاسَّا أَنْ قَبْلِ مِنْ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ قَالُوا لِمَا يَعُودُونَ ثُمَّ نِسَائِهِمْ مِنْ يُظَاهِرُونَ وَالَّذِينَ
“dan
orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka ingin menarik kembali
apa yang mereka ucapkan maka hendaklah mereka memerdekakan budak sebelum keduanya
bergaul.”
An-nisa’:92
مُؤْمِنَةٍ رَقَبَةٍ فَتَحْرِيرُ خَطَأً مُؤْمِنًا قَتَلَ وَمَنْ
“dan barang
siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah(tidak sengaja), maka hendaklah ia
memerdekakan seorang budak yang mukmin.”
Dari
kedua ayat tersebut dapat kita fahami bahwa terdapat kesamaan ketentuan hukum,
hal ini dapat di buktikan bahwa kedua ayat tersebut membicarakan tentang
kafarat memerdekakan budak, lalu yang menunjukkan adanya perbedaan sebab yang
melatar belakangi adalah apabila ayat yang pertama yang melatar belangkai
adalah masalah dzihar adapun ayat yang kedua adalah masalah ketidaksengajaan
atas pembunuhan yang terjadi. Adapun pembahasan tentang menerapkan kemutlakan
pada muqoyad adalah pada lafadz “raqabah” (budak/hamba sahaya), pada
lafadz “raqabah” dalam surat Al mujadalah tersebut menunjukan kemutlakannya,
namun pada lzfadz ”raqabah” dalam surat An-nisa’ tersebut menunukan
muqoyat karena terdapat qoyid yang membatasi lafadz “raqabah” tersebut.
Maka dalam hal ini yang perlu di ketahui adalah supaya kembali pada ketentuan
awal yakni menerapkan kemutlakan pada muqoyad, jadi lafadz“raqabah” pada
surat Al Maidah juga mempunya maksud yang sama yakni budak yang mukmin.
b.
Mutlak
tidak di bawa pada muqoyad
·
Apabila
ada perbedaan dalam ketentuan hukum yang mana sebab yang melatar belakangi
msalah juga berbeda.[41]
Contoh :
Al Maidah: 38
كَسَبَا بِمَا جَزَاءً يَهُمَاأَيْدِ فَاقْطَعُوا وَالسَّارِقَةُ وَالسَّارِقُ
“Dan pencuri
laki-laki dan perempuan, hendaklah dipotong tangan mereka masing-masing sebagai
pembalasan (hukuman) bagi
apa yang telah mereka kerjakan.”
الْمَرَافِقِ إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“hai
orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan sholat,
maka basuhah kedua tanganmu hingga kedua mata siku.”
Dari
kedua ayat tersebut dapat kita fahami secara jelas bahwa tidak ada sama sekali
kesamaan antara keduanya, baik dari segi ketentuan hukum maupun sebab yang
melatarbelakangi. Jika ayat yang pertama
menyatakan ketentuan hukum membasuh tangan hingga kedua mata siku dan ayat yang
kedua yaitu tentang ketentuan hukum potong tangan seorang pencuri dan secara
sebab yang melatar belakangi juga berbeda, jika ayat pertama yang melatar
belakangi adalah bersuci sedangkan ayat kedua adalah karena kasus pencurian.
Dalam hal ini sudah jelas tidak ada kesamaan antara dua ayat tersebut meskipun
dalam dua ayat tersebut terdapat lafadz yang sama yakni AYDI (tangan).
Lafadz “aydi” pada ayat pertama menunjukan kemutlakan dan lafadz“aydi”
yang kedua menunjukan muqoyad. Dengan alasan yang telah di jelaskan sebelumnya
maka kemutlakan pada lafadz “aydi” pada pertama tersebut tidak bisa di
ganti dengan muqoyad karena ketentuan hukum dan juga latar belakanya berbeda.
·
Terdapat
kesamaan dalam sebab yang melatar belakangi namun ketentuan hukumnya berbeda[42],
jika hal ini terjadi maka ketentuan kemutlakan tidak bisa berubah menjadi muqoyad.
Seperti contoh pada surat Al-Maidah ayat 6 :
الْمَرَافِقِ إِلَى وَأَيْدِيَكُمْ وُجُوهَكُمْ فَاغْسِلُوا الصَّلَاةِ إِلَى قُمْتُمْ إِذَا آمَنُوا الَّذِينَ أَيُّهَا يَا
“hai
orang-orang yang beriman apabila kamu hendak mendirikan sholat,
maka basuhlah kedua
tanganmu hingga kedua mata siku.”
مِنْهُ وَأَيْدِيكُمْ بِوُجُوهِكُمْ فَامْسَحُوا طَيِّبًا صَعِيدًا فَتَيَمَّمُوا
“
Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang bersih, sapulah
(usaplah) wajahmu dan tanganmu dengan tanah tersebut.”
Dari kedua ayat itu sudah jelas bahwa ketentuan hukumnya berbeda
karena ayat pertama menyatakan tentang ketentuan berwudhu dan ayat yang kedua
menyatakan tentang ketentuan tayamum, meski sebab dari dua ayat tersebut sama
sebab yang melatarbelakangi, maka konteks ayat ini mutlak tetap pada
kemutlaknya dan muqoyat tetap pada kemuqoyadanya.
c.
Pandangan Ulama tentang Mutlak dan Muqayyad
Setelah membahas tentang ketentuan-ketentuan mutlak dan muqoyad maka
yang perlu kita ketahui juga adalah bagaimana pandangan para ulama’ madzhab
menanggapi tentang mutlak dan muqoyad tersebut, adapun pendapat para ulama’
madzhab tentang mutlak dan muqoyad adalah sebagai berikut :
1.
Madzhab
hanafi, menyatakan bahwa mutlak harus tetap pada kemutlakanya dan juga muqoyad
harus tetap pada kemuqoyadanya.[43]
Jadi madzhab hanafi tidak mencampurkan antara mutlak dan muqoyad, apabila
lafadz tersebut mutlak maka lafadz tersebut tak bisa berubah menjadi muqoyad
dan begitu pula sebaliknya.
2.
Dalam
kalangan madzhab syafii, maliki dan hanbali tidak ada perbedaan pendapat,
mereka berpendapat bahwa apabila ada kesamaan dalam ketentuan hukum dan
terdapat prbedaan dalam sebab yang melatarbelakangi, maka mutlak dapat diterapkan
pada muqoyad.[44]
Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya maka mutlak bisa
diterapkan pada muqoyad dengan ketentuan-ketentuan yang disebutkan sebelumya.
E. Kesimpulan
‘Amm menurut Bahasa adalah umum, merata, dan
menyeluruh. Sedangkan jika menurut istilah, maka akan ada pendapat menurut
Abdul Hamid Hakim, mengenai ‘am yakni
lafadz yang menenjukkan pengertian umum yang mencakup satuan-satuan (afrad)
yang ada dalam lafadz itu tanpa
pembatasan jumlah terntentu.
Khas menurut bahasa artinya yaitu tertentu. Dalam hal lain, al-Kash berarti
lafaz yang dibuat demi memperuntukkan arti satu yang spesifik. Sedangkan
menurut Adib Shalih, kata khas mempunyai arti lafaz yang berisi pengertian-pengertian
yang terbatas atau suatu makna secara satu. Sebagaimana yang disebutkan oleh
Abu Zahrah, para ulama Ushul Fiqh bersepakat bahwa lafaz khas pada nash syara’, memperlihatkan pada
maknanya yang khusus sebaga qath’i
(pasti) serta hukum yang didalamnya mempunyai sifat yang pasti (qath’i) semasa tiadanya faktor yang
memperlihatkan makna lain.
Lafadz mutlak
mempunyai beberapa
pengertian, menurut bahasa lafadz mutlak mempunyai arti tidak terbatas dengan
ikatan tertentu. Sedangakan menurut para ahli ushul fiqh kita bisa menyimpulkan bahwa
mutlak adalah lafadz yang tidak ada
batasan tertentu yang membatasi cakupan artinya.
Sedangkan
muqayyad
sendiri mempunyai pengertian yang berkebalikan dengan mutlak. Muqayyad menurut
bahasa mempunyai arti terikat. Mengenai pengertian muqayyad secara istilah
beberapa ahli ushul fiqh juga mempunyai pengertian tentang muqayyad yaitu lafadz yang menujukan arti sebenarnya yang
di batasi oleh suatu hal lain. Berasal dari pengertian tersebut dapat di
fahami bahwa muqoyad adalah lafadz yang maknanya telah dibatasi dengan suatu
sifat atau keadaan tertentu yang pada akhirnya akan memunculkan makna tertentu
sehingga maknanya lebih mengerucut dan jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Amin
Sahib, Muhammad. 2016. LAFAZ
DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM - KHÂS - MUTHLAQ - MUQAYYAD), Jurnal
Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2.
Djazuli, H. A. & Nurol Aen,I. 2000. Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam)
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Effendi,Satria &
Zein, M. 2005. Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media.
HAMDANI, Muhammad Faisal. Muthlaq Dan
Muqayyad (Studi Pemikiran at-Thufy Pada Kitab Syarh Mukhtasyar Raudhah). Istishlah
Jurnal Hukum Islam, 2012, 5.2: 23-48.
Ismardi,
2014. KAIDAH-KAIDAH TAFSIR BERKAITAN DENGAN KAIDAH USHULMENURUT KHALID
UTSMAN AL-SABTKajian Terhadap Kaidah al-Amm-al-Khass, al-Mutlaq-al-Muqayyad,dan
al-Mantuq-al-Mafhum, An-Nida’:Jurnal Pemikiran Islam,Vol.39,No.1.
SA,
Romli. 2014. Study
Perbandingan Ushul Fiqh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shidik,
Safiun. 2009. Ushul Fiqh.Tangerang: PT. Intimedia
Ciptanusantara.
Syarifuddin,
Amir. 2014. Ushul Fiqh
Jilid 2, Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Tharaba, M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I
(Filsafat Hukum Islam). Malang: CV. Dream Litera Buana.
Wahid,
Abdul. 2015. KAIDAH-KAIDAH
PEMAHAMAN DAN PENGAMBILAN HUKUM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh
‘Am, Khash, Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal
Pendidikan dan Pranata Islam, Syaikhuna Edisi 10 Nomor 2, 2015.
Catatan:
1.
Similarity 2%. Sangat
bagus....
2.
Judul artikel tidak
kapital semua, tetapi mengikuti sistem penulisan seperti buku.
[1] Ismardi, KAIDAH-KAIDAH
TAFSIR BERKAITAN DENGAN KAIDAH USHUL MENURUT KHALID UTSMAN AL-SABTKajian Terhadap Kaidah
al-Amm-al-Khass, al-Mutlaq-al-Muqayyad,dan al-Mantuq-al-Mafhum, An-Nida’:Jurnal Pemikiran
Islam,Vol.39,No.1,2014, hlm. 59.
[2]Safiun
Shidik, Ushul Fiqh, PT. Intimedia Ciptanusantara:Tangerang, 2009, hlm. 83.
[3]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Kencana Prenadamedia Group:Jakarta,
2014, hlm. 55
[4]Satria
Effendi & M. Zein, Ushul Fiqh, Prenada Media:Jakarta, 2005, hlm. 196
[5]Op,. Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
56
[6]Ibid,.
Satria Effendi & M. Zein, hlm.
196.
[7]Abdul Wahid, KAIDAH-KAIDAH PEMAHAMAN DAN
PENGAMBILAN HUKUM AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH (Studi Tentang Lafazh ‘Am, Khash,
Lafazh Muthlak dan Muqayyad), Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam,
Syaikhuna Edisi 10 Nomor 2, 2015, hlm. 62
[8]Loc,.
Cit, Abdul Wahid, hlm.
62
[9] Muhammad
Amin Sahib, LAFAZ DITINJAU DARI SEGI CAKUPANNYA (‘ÂM - KHÂS - MUTHLAQ -
MUQAYYAD), Jurnal Hukum Diktum, Volume 14, Nomor 2, 2016, hlm. 140.
[10]Op,. Cit,
Satria Effendi & M. Zein, hlm.
197.
[11]Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
86.
[12]Ibid,
Abdul Wahid, hlm. 63.
[13]Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
87.
[14]Ibid,
Abdul Wahid, hlm. 64.
[15]Loc,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
87.
[16]Membatalkan
pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang kemudian. (Safiun Shidik, Ushul
Fiqh, PT. Intimedia Ciptanusantara:Tangerang, 2009, hlm. 128.)
[17]Ibid,
Abdul Wahid, hlm. 65.
[18]Loc,.
Cit, Abdul Wahid, hlm.
65.
[19]Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
91.
[20]Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
92.
[21]Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.
92.
[22]Op,. Cit,
Satria Effendi & M. Zein, hlm.
200.
[23] M. Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I
(Filsafat Hukum Islam), (Malang: CV. Dream Litera Buana), 2016, hlm. 196
[27] Djazuli dan Nurol Aen., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2000, hlm. 342
[28] Ibid, hlm. 342
[29] Djazuli dan Nurol Aen., Ushul Fiqh (Metodologi Hukum Islam),
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2000, hlm.343
[30] Hamdani, Muhammad Faisal. "Muthlaq
Dan Muqayyad (Studi Pemikiran at-Thufy Pada Kitab Syarh Mukhtasyar
Raudhah)." Istishlah Jurnal Hukum Islam 5.2 (2012): hlm. 28.
[31] Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm.129
[32] Effendi
satria, Zein M. USHUL FIQH.
2005.Jakarta : kencana. Hal. 206
[33] Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm. 128
[34] Op,.Cit,
Amir Syarifuddin, hlm. 129
[36] Djazuli
.A, aen Nurul .USHUL FIQH (Metodologi Hukum Islam) . 2000 . Jakarta:
Rajagrafindo persada, hlm.
370
[37] Romli
SA, STUDY PERBANDINGAN USHUL FIQH .
2014 .Yogyakarta: pustaka pelajar, hlm. 296
[38] Ibid, hlm. 296
[39] Ibid, hlm. 296
[40] Ibid, hlm. 296
[43] Ibid, hlm. 301
[44] Ibid, hlm. 301
Tidak ada komentar:
Posting Komentar