‘URF, SADDUDZARA'I, MAZHAB SAHABAT DAN SAR’U MAN QABLANA
Kumairoh, Faiqotul Mufidah, Dan Ulum Bastomi
Yahya
Mahasiswa PAI-A angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Abstrack:
Trough everyday life muslims should be based
as well as sticking on the Qur’an and Hadith. However, the death of the Prophet
Muhammad, his companions begin to ijtihad so that there is consensus and
nothing that has been mutually agreed by those with a fixed reference to the
Qur’an and Hadith. Along the development problems that occurred in the
community, then the greater the scholars effort to resolve these problems with
the start using some method other than islamic law of the Qur’an Hadith,
Consensus, and nothing including ‘Urf, Saddudzara’i, Mazhab Sahabat, and Sar’u
man Qablana. The muslims, in any country, can not live without the customs prevailing
in its territory. But these customs can be followed by the muslims for not
contrary to the provisions on nash in the Qur’an and Hadith. Law of ijtihad
these can then be specified as the source of Islamic law so that from here we
can find out just how islamic law are extremely dynamic and extremely relevant
for Muslims in the era of globalisation and multimedia this time.
Keywords:Ijtihad, Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat, Syar’u man Qablana
and Islamic Law
Abstrak:Dalam menjalani
kehidupan sehari-hari, umat Islam harus berpedoman serta berpegang teguh pada
Al-Qur’an, dan Al-Hadist. Namun, sepeninggal Rasulullah Saw, para sahabat mulai
berijtihad sehingga terdapat Ijma’ dan Qiyas yang telah disepakati bersama oleh
mereka dengan tetap merujuk pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Seiring berkembangnya
permasalahan yang terjadi di masyarakat, maka semakin besar pula usaha para
ulama’ untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan mulai menggunakan
beberapa metode pengambilan hukum Islam selain Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas
diantaranya ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat
dan Syar’u man Qablana. Kaum muslimin, di negara manapun, tidak bisa hidup
tanpa adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Akan tetapi adat istiadat ini dapat
diikuti oleh kaum muslimin selama tidak bertentangan dengan ketentuan yang di
nash dalan Al-Qur’an dan Hadits. Hukum-hukum ijtihadiyah ini kemudian dapat
ditetapkan sebagai sumber hukum Islam sehingga dari sini kita dapat mengetahui
betapa hukum Islam bersifat sangat dinamis dan sangat relevan bagi umat Islam
pada era globalisasi dan multimedia saat ini.
Kata Kunci:Ijtihad,
Urf, Saddudzara’i, Madzhab Sahabat dan Syar’u man Qablana dan hukum Islam
A.
Pendahuluan
Dewasa ini
permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat semakin kompleks. Masyarakat
menuntut adanya penyelesaian yang tepat serta dapat diterima oleh semua
kalangan masyarakat yang saat ini semakin berkembang ilmu pengetahuan dan
kemampuan teknologinya. Penyelesaian ini diharapkan mampu menjawab kebutuhan
masyarakat di era globalisasi dan multimedia ini, masyarakat juga menuntut
penyelesaian yang relevan serta logis, membawa kemaslahatan bagi umat namun
tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Dari situlah para ulama’
memandang perlu melakukan ijtihad dengan menggunakan beberapa metode penetapan
hukum Islam seperti ‘Urf, Saddudz Dzara’i, madzhab Shahabat, serta Syar’u man
Qablana untuk memberikan solusi terhadap problematika yang terjadi di
masyarakat.
Sebagai umat Islam
kita perlu memiliki pemahaman yang kuat dan pengetahuan yang mendalam mengenai
hukum-hukum Islam dengan melihat adanya perbedaan para ulama’, sehingga kita
lebih memahami perbedaan, menghormati orang lain, dan yang terpenting adalah agar
kita terhindar dari segala fanatisme buta yang berkembang saat ini karena
awamnya pengetahuan kita mengenai hukum Islam. Pada makalah ini akan membahas
mengenai beberapa kajian hukum Islam yaitu ‘Urf, Saddudzara’i, madzhab Sahabat,
serta Syar’u man Qablana agar kita semakin memiliki pengetahuan yang luas
sehingga kita dapat menjadi umat Islam yang berakar ke bawah dan berpucuk ke
atas, bukan umat yang mudah terombang-ambing terbawa arus globalisasi.
B. ‘Urf
1. Definisi ‘Urf
Kata ‘urf
berasal dari kata bahasa Arab yakni: ‘arafa, ya’rifu,(عر
ف – يعر ف ) namun dalam artian kata Al-ma’ruf(المعر
وف) yang mempunyai
makna: “ sesuatu yang dikenal”. Makna
dari kata ‘dikenal’, lebih menekankan pada pengertian “di akui oleh orang”.
Keterkaitan kata ma’ruf di dalam alquran yang memiliki arti (kebajikan)
dalam firman Allah yang berbunyi:
خُذِالْعَفْوَا
وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ .
“Maafkanlah dia dan suruhlah dia berbuat ma’ruf”. (Qs. Al-A’raf:
199)”
Pengertian
‘urf tidak memandang dari sudut berulangkalinya suatu perbuatan
dilakukan, namun terlihat dari sudut perbuatan yang dilakukan secara kontinue
dan di akui oleh lapisan masyarakat.[1]
Sedangkan‘urf
secara harfiyah adalah suatu kondisi, perkataan, perbuatan, atau ketetapan yang
dikenal dan diakui manusia tanpa menghiraukan pelaksanaanya.[2]
Kendati khalayak umum mengartikan ‘urf sebagai (kebiasaan).
Dari
penjelasan di atas, bahwa ‘urf adalah sesuatu yang harus dikenali,
diakui, dan diterima oleh lapisan masyarakat. Dalam hal ini Musthafa Syalabi
membagi antara ‘urf dan ijma’ sesuai spesifikasi perbedaannya,
yakni:
1.
Dilihat dari sudut ruang lingkup, ijma’ tidak terjadi tanpa
keterlibatan semua mujtahid. Sedangkan dalam ‘urf tidak harus ada sosok
mujtahid yang berperan, namun orang awam juga mempunyai peran dalam proses
pembentukannya.[3]
2.
Ijma’ dari
segi ‘amali (praktik) terwujud karena adanya mujtahid yang melakukannya, sedang
‘urf terbentuk secara berulang-ulang (kontinue).
3.
‘Urf bersandar pada
kebiasaan pekerjaan umat Islam, namun dalam hal ini terdapat perubahan seiring
dari transformasi umat tersebut. Sedangkan ijma’ dari berbagai kalangan ulama’
menyatakan tidak terdapat perubahan sekali ditetapkan, ia tetap berlaku sampai
ke regenerasi selanjutnya.[4]
2.
Macam-Macam ‘Urf
Ditinjau dari
berbagai sudutnya. Terdapat pengelompokkan macam-macam ‘urf di lihat dari model
pembagiannya:
1. Ditinjau dari
sudut materi yang menjadi kebiasaan. Dari sudut ini ‘urf terbagi menjadi dua
macam:
a.
‘Urf Qauli
‘Urf qauli merupakan suatu ucapan yang dilakukan oleh sebuah kelompok untuk
memahami makna ucapan tersebut. Sebagaimana orang Arab mendefinisikan ad-dabbah
untuk menjelaskan makan hewan berkaki empat, namun dari segi makna lughowi
kata tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan merangkak. Pada
dasarnya ‘urf qauli terbentuk adanya transformasi dan sempitnya makna
lafal dari makna lughowi. Oleh karena itu, jika lafal yang lazim dikenal
makna lughowinya, maka ungkapan lafal dengan
makna ini tidak bisa disebut ‘urf qauli, namun disebut haqiqat
‘urfiyyah.
b.
‘Urf Amali
‘Urf fi’li merupakan segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh sekelompok
manusia yang telah dikenali dan diakui sehingga menjadi
sebuah kebiasaan. Misalnya; (1) Kebiasaan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari seperti jual beli yang notabennya tidak memakai ijab qobul (mu’athoh)
yang memiliki arti serah terima barang atau alat tidak mengucapkan transaksi.
(2) Kebiasaan mengambil rokok antar sesama
teman tanpa mengucapkan meminta. Kebiasaan ini tidak dianggap mencuri, Karena
terdapat ‘urf fi’li yang mendasari.
c. Dari sudut obyek cakupan penggunannya, ‘urf di bagi menjadi dua
macam:
1). ‘Urf amm
‘Urf amm merupakan tradisi yang telah umum dikenal oleh
seluruh masyarakat. Misalnya; (1) Ketika seseorang menganggukkan
kepala ada dua tanda yakni menyetujui dan tidak menyetujui. Sehingga ketika ada
orang yang berbalik dari kebiasaan tersebut, akan dianggap aneh dan tidak lazim
bagi masyarakatnya. (2) Ketika berkunjung ke pemandian umum, kebanyakan
orang-orang membayar tarif sesuai yang ditentukan. Akan tetapi tidak ada batasan
penggunaan air sesuai tarif yang ditentukan.
2). ‘Urf
Khash
‘Urf khash merupakan kebiasaan yang berbanding terbalik dengan ‘urf amm yang
mana sebuah kebiasaan tidak dikenal dan diakui oleh kalangan masyarakat
tertentu. Misalnya; (1) Kata rofa’ dalam kebiasannya banyak disebutkan
dalam pakar nahwu.[5]
d.
Dari sudut penilaian baik dan buruk, ‘urf itu terbagi kepada:
1).‘Urf Shahih
‘Urf Shahih
merupakan kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang, diterima oleh orang
banyak, tidak bertentangan dengan agama, attitude, dan budaya yang
luhur. Contohnya mengadakan halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya,
memberikan
suatu reward sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2).‘Urf
Fasid
‘Urf Fasid
merupakan kebiasaan yang dilakukkan di suatu tempat
meskipun pelaksanaannya secara kolektif, namun bertentangan
dengan agama, attitude, maupun undang-undang Negara. Contohnya merayakan suatu
peristiwa secara hedonism dengan dibarengi minum-minuman keras atau sesuatu
yang memabukkan.
3.
Kedudukan ‘Urf Dalam Menentapkan Hukum
Secara global (umum) ‘urf
diamalkan oleh semua para elite dari kalangan ulama
madzhab
Hanafiyah dan Malkiyah.
a.
Ulama Hanafiyah mengambil istihsan dalam usaha ijtihadnya, salah satu
bentuk dari istihsan tersebut ialah istihsan al-‘urf (istihsan yang
menyandarkan kepada ‘urf). Sedang, ulama Hanafiyah, ‘urf didahulukan
‘Urf atas
qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yangglobal, dalam artian ‘urf mentashih umum nash.
b.
Ulama
Malikiyyah berargumen ‘urf yang berada dalam kehidupansekelompok
ahli Madinah dijadikan dasar untukmenetapkan hukum dan menjadi pendahuluatas hadis ahad. Namun Ulama Syafi’iyah
menggunakan ‘urf dalam sesuatu hal yang
tidak menemukan ketentuan batas dalam syara’ maupun dalam pengguatan bahasa.
كُلُّ ماَ وَ رَ
دَ بِهِ الْشَّرْعُ مُطْلَقَا وَلاَ ظَ
بِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فيِ الُّغَةِ يَرْ جِعُ فِيْهِ
اِلىَ الْعُرْ فِ
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada
dalam syara’ maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada ‘urf.”
Misalnya, menentukan arti dan
batasan tentang tempat simpanan (حج ز) dalam hal pencurian, arti berpisah dalam khiyar majelis, waktu
dan kadar haid, dan lain-lain. Terdapat qaul qadim (pendapat lama) Imam
Syafi’I di Iraq, dan qaul jadid (pendapat baru)nya di Mesir, menunjukkan
diperhatikannya ‘urf dalam istinbath hukum di kalangan Syafi’iyah.
Terbuktinya alasan yang dianut oleh
para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka terhadap ‘urf yakni hadist
yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam
musnadnya, yaitu:
مَا
رَا هُ الْمُسْلِمُوْ نَ حِيْنَا فَهُوَعِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ .
“Apa-apa yang dilihat oleh umat
Islam sebagai suatu yang baik, maka yang demikian di sisi Allah adalah baik.”
Dalam
pertimbangan kemaslahatan, atau banyak orang yang mengalami kesulitan jika
tidak menggunakan ‘urf tersebut.
Bahkan para ulama menempatkannya sebagai “syarat yang diisyaratkan”
الْمَعْرُوْفُ
عُرْفاً كاَ الشُرُ وطِ شَرْطاً .
“Sesuatu
yang berlaku secara ‘urf adalah seperti suatu yang telah diisyaratkan”
Para ulama yang
mengamalkan ‘urf dalam memahami dan mengistinbathkan
hukum,
menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima ‘urf, yaitu:
1)
‘Urf bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat.
2)
Kemaslahatan yang ditimbulkan dalam ‘urf ini, mengacu kepada
kelpastian ‘urf yang shahih, sebagai persyaratan untuk diterima
secara umum. Misalnya terbiasa memakan
ular, dalam hal ini dari sudut ras, agama suatu kelompok dinilai baik, namun
tidak diterima oleh akal sehat.
3)
‘Urf berlaku global
dan kolektif digolongan
orang-orang yang berada didalam lingkungannya, dan dalam sebagian golongan
besar warga tersebut. Al-Suyuthi mengatakan:
إِ
نَّمَا تُعْتَبَرُ الْعَا دَةُ إِذَا اطُّرِ دَتْ فَإِ ن لَمْ يَطَّرِ دْ فَلاَ
Sesungguhya adat yang diperhitungkna itu adalah yang berlaku secara
umum, seandainya kacau maka tidak akan diperhitungkan. Contohnya, di dalam
Indonesia untuk menggunakan alat pembayaran mempunyai satu jenis mata uang yang
resmi yaitu rupiah. Maka dalam suatu transaksi tidak apa-apa tidak menyebutkan
jenis mata uang tersebut. Karena semua orang telah mengetahui dan tidak ada
kemungkinan lain dari penggunaan mata uang selainnya. Tetapi bila terdapat
beberapa alat pembayaran yang sama-sama berlaku hal ini yang menimbulkan
kekacauan, untuk mengklarifikasi masalah tersebut harus disebutkan jenis mata
uangnya.
4)
‘Urfdijadikan
sandaran dalam penetapan hukum yang
berlaku pada saat itu, bukan ‘urf yang kemudian muncul. Dalam hal
ini ‘urf harus ada sebelum penetapanhukum. Kalupun ‘urf itu datang
dikemudian, maka tidak diperhitungkan. Ada akidah yang mengatakan:
الْعُرْفُ
الَّذِى تَحْمِلُ عَلَيْهِ الاَلْفاَ ظُ إِنَّماَ هُوَ الْمُقاَرِنُ الْسَّا بِقُ
دُوْنَ التَّأُ خُ
“‘Urf yang diberlakukan padanya suatu lafadz (ketentuan hukum)
hanyalah yang datang beriringan atau mendahului, dan bukan yang datang
kemudian.”
Contohnya ketika orang melakukan akad nikah namun
pada waktu itu tidak dijelaskan maharnya harus dicicil ataukah dilunasi,
sedangkan ‘urf yang berlaku pada waktu itu ialah melunasi seluruh mahar.
Lalu ‘urf pada waktu itu mengalami perubahan, dan orang-orang telah
terbiasa mencicil mahar tersebut. Kemudian mucul suatu permasalahan yang
menimbulkan perselisihan antara suami dan istri mengenai pembayaran
mahar. Suami berpegang tegu pada ‘urf yang sedang berlaku (yang mucul
dikemudian), sehingga ia memutuskan untuk melunasi mahar dengan mencicil, namun
sang isteri bersih kukuh meminta mahar tersebut karena ia masih menyakini ‘urf
yang lama (sesuai kebiasaan lama). Maka
berdasarkan kaidah dan syara’ tersebut, suami harus melunasi mahar tersebut
sesuai ‘urf (kebiasaan) yang terjadi pada waktu akad berlangsung dan
tidak menurut ‘urf yang muncul dikemudian.
5)
‘Urf tidak
bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada atau bertentangan dengan
prinsip yang pasti. Pada dasarnya penerimaan syarat ini hanya menguatkan
persyaratan penerimaan ‘urf shahih. ‘Urf yang bertentangan dengan
nash atau prinsip syara’, maka termasuk ‘urffasid (tidak disepakati
ulama).
Dari
uraian yang dijelaskan diatas bahwa ‘urf dapat dijadikan landasan dalam
menetapkan hukum. ‘Urf bukanlah dalil yang berdiri sendiri, namun ‘urf
menjadi dalil karena ada yang mendukung, atau adanya sandaran yang baik dari
bentuk ijma’ atau kemaslahatan[6].
4.
Kehujjahan ‘Urf
‘Urf merupakan
dalil syara’ tersendiri. Secara
global ‘urf diarahkan untuk menjaga atau memelihara kemaslahatan umat serta
menunjang terbentuknya hukum dan penafsiran beberapa nash.[7]
Dengan ‘urf yang dispesifikasikan pada global (‘amm) dan dibatasi
yang mutlak. Terkadang ‘urf meninggalkan qiyas. Oleh sebab itu, sah
apabila menjalin kesepakatan atau kontrak apabila ‘urf sudah dikenal ada
oleh masyarakat, sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut
adalah kontrak atas perkara yang ma’dum (tiada).
B.
Sadd Adz-Dzari’ah
1.
Defiisi Sadd Adz-Dzariah
Dzariah secara etimologi
mempunyai arti perantara, jalan untuk menuju kepada sesuatu yang umum. Namun
secara terminology syari’at makna dari dzariah ialah sarana atau jalan
untuk menuju kepada sesuatu yang dilarang oleh syariat. Sedangkan sad sendiri
mempunyai arti mengunci, mencegah, menutup adanya larangan untuk
melaksanakannya[8].
Maka sadd adz-dzariah dapat diartikan sebagai sebuah perilaku tindakan yang
menjadi perantara larangan bagi syariat. Pernyataan ini disinyalir sama dengan
pengertian yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syatibi:[9]
اَلتَّوَ صُّلُ
بِماَ هُوَا مَصْلَحَةُ اِلىَ مَفْسَدَ ة (الشا تب،198)
“Melakukukan
suatu perbuatan yang bermula mengandung kemaslahatan menuju suatu kemudharatan.”
Misalnya, ada seorang yang telah dikenai wajib zakat, tetapi
sebelum genap tahun ia memberikan semua hartanya kepada anak-anaknya. Sehingga
orang tersebut terhindar dari wajibnya zakat. Hal ini berkenaan sadd
adz-dzariah tidak memperbolehkan perkara tersebut di toleran, karena tujuannya
mengadung kemafsadatan (rusak) supayaterhindar dari kewajiban zakat. Sedangkan
hukum berzakat ialah wajib dan hukum memberi (hibbah) adalahsunnah.
2.
Macam-Macam Sadd Adz- Dzariah
Pernyataan yang
dicetuskan oleh Sahal Mafduz dan Rahmat Syafe’i mengenai pembagian sadd adz-
dzariah membuahkan hasil yang sama dalam mengklasifikasi macam-macam sad
adz-dzariah antara lain:
a.
Kualitas Kerusakan Dzariah
Imam al-Syatibi
membagikan teori dzariah berdasarkan kekuatan hasil akhirnya. Ada empat term
diantaranya:
1)
Suatu tindakan yang dapat dipastikan akan menimbulkan kerusakan (mafsadah).
Contohnya menggali sumur dibelakang rumah tepat di belakang pintu rumah. Hal
ini menimbulkan kecelakan semacam terperosoknya seseorang kedalam sumur. Maka kecerobohan
ini harus dipertanggungjawabka perbuatannya.[10]
2)
Suatu tindakan yang boleh dilakukan namun jarang menyebabkan mafsadah.
Contohnya menjual makanan atau minuman yang biasanya menyebabkan kemafsadatan
(kerusakan).[11]
3)
Suatu tindakan yang besar kemungkinannya mengandung mafsadah.
Contohnya menjual senjata tajam kepada kepada musuh atau orang yang sering
bertindak kriminal. Hal ini dikhawatirkan seseorang akan membunuh atau
sebagainya.
4)
Suatu tindakan yang seyogyanya
boleh dilaksanakan namun tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu
kemafsadatan (kerusakan). Contohnya, si fulan membeli mobil dari si fulana
secara kredit degan harga 80 juta. Lalu si fulan menjual kembali mobil tersebut
kepada si fulana dengan harga 40 juta secara tunai, sehinnga si fulan seakan-akan
menjual barang fiktif, sedangkan si fulana tinggal menunggu pembayaran kredit
dari mobil tersebut. Meskipun mobil tersebut sudah menjadi
miliknya. Dalam hal ini jual beli tersebut mengandung unsur riba.
b.
Kerusakan yang Ditimbulkan dari Dzariah
Pandangan Ibn
al-Qayyim mengenai pembagian dzariah akan dijelaskan dibawah ini[12] :
Pertama, suatu perbuatan dengan sendirinya membawa kepada kerusakan,
misalnya berbuat zina yang megindikasikan percampuran sperma dan merusaknya
benih-benih keturunan.
Kedua, Suatu perbuatan yang boleh dan dianjurkan namun dijadikan perantara
untuk menuju kepada sesuatu yang diharamkan baik secara sengaja maupun tidak
sengaja. Misalnya, seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan yang
sudah ditalak tiga kali namun tujuan supaya perempuan tersebut bisa rujuk
kembali dengan suami pertamanya.
Pandangan Ibn
al-Qayyim mengenai perkara diatas dalam dua bagian yaitu:
1.
Bahwasannya kemaslahatan suatu tindakan lebih dominan dari
kemafsadatannya.
2.
Kemafsadatannya lebih dominan dari pada kemaslahatannya. Dalam
situasi ini terbagi lagi menjadi empat macam:
a.
Suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk menuju
kemafsadatan, contohnya minum yang berarak atau beralkhohol atau perbuatan yang
bertentangan dengan syari’at.
b.
Suatu tindakan yang sebenarnya boleh dan dianjurkan namun mempunyai
tujuan mafsadah, contohhnya melakukan jual beli dengan tujuan untuk mendapatkan
riba.
c.
Suatu tindakan dengan tujuan kemafsadatan dan berimbas kepada
mafsadah bukan lagi maslahah, contohnya mengolok-olok berhala dihadapan orang
musyrik, hal ini berakibat sebaliknya mereka akan mengolok-olok Tuhan kita.
d.
Suatu pekerjaan yang mubah namun terkadang menyebabkan
kemafsadatan. Namun hal ini kemaslahatan juga mempunyai kedudukan kekuatan
lebih dari pada kemafsadatan, contohnya memandang wanita yang dipinang.
3.
Kehujjahan Sadd Adz-Dzariah
a)
Dilihat dari motivasi seseorang yang melakukan perbuatan
tersebut, misalnya seorang laki-laki yang menikah dengan seorang perempuan yang
sudah ditalak tiga kali namun tujuan supaya perempuan tersebut bisa rujuk kembali
dengan suami pertamanya. Tindakan
ini motivasinya bertentangan dengan syariat.
b)
Di lihat dari sudut
dampkanya, contohnya mengolok-olok berhala dihadapan orang musyrik, hal ini
berakibat sebaliknya mereka akan mengolok-olok Tuhan kita. Oleh sebab
itu, tindakan tersebut dilarang.
C.
Mazhab Sahabat
1.
Definisi Mazhab Sahabat
Mazhab sahabat terbentuk dari dua kata, mazhab
dan sahabat. Mazhab ( dalam bahasa arab) artinya jalan yang dilewati. Jamaknya
adalah Mazahib atau sistem pemikiran.[14]
Lebih jelasnya, pembentukan metode melalui sebuah pemikiran yang digunakan
sebagai panutan. Sedangkan sahabat dalam hal ini sahabat Nabi merupakan orang
yang semasa, seiman dan seiring dalam kurun waktu yang lama dengan Nabi
Muhammad Saw.[15]
Misalnya, Khulafa’ur Rasyidin, Hamzah bin Abdul Muthalib, Abdullah bin Umar,
dll. Jadi, mazhab sahabat adalah sebuah pemikiran atau pendapat para sahabat
Rasulullah.
Ada penamaan lain dalam ushul fikih mengenai
mazhab sahabat yaitu ada yang mengatakan qaul shahabi, dan fatwa
shahabi. Namun secara umum membahas mengenai perselisihan sebuah dalil
syara’. Bahkan ada juga yang mengatakan penolakan akan sebuah dalil
syara’disebutkan dalam kitab Syarh Minhaj al-‘Ushul oleh Asnawi.[16] Sahabatlah
yang meneruskan tongkat perjuangan Nabi Seusai wafatnya, dengan memberi fatwa
hukum atas persoalan yang terjadi di umat muslim.Mengenai pengertian mazhab sahabat
adalah sebagai sebagai berikut:
هٌوَفَتْوَى الصّحَابَةِ بِانْفِرَادِهِ
“Adalah fatwa sahabat secara perseorangan.”
Dari pengertian diatas, dapat dijelaskan bahwa mazhab
sahabat adalah penjelasan yang merupakan hasil usaha dalam berijtihad mengenai
syara’oleh perseorangan sehingga tidak terikat oleh sahabat yang lainnya.
Pernah suatu ketika terdapat sebuah sengketa perdata
orang yahudi dan khalifah Ali.[17]
Mereka memperselisihkan baju perang, keduanya mengadukannya kepada Syuraih
(hakim). Kemudian dia meminta khalifah Ali untuk menghadirkan dua orang saksi,
dipilihlah Hasan (anaknya) dan mantan budaknya. Setelah itu, Syuraih ini malah
menolak kesaksian dari Hasan dan menerima kesaksian dari budak tersebut.
Padahal Hasan memiliki hubungan yang dekat dengan khalifah Ali dan dapat
menerima kesaksian darinya. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa
penjelasan dari sahabat satu dengan sahabat lainnya tidak adanya sebuah
keterikatan.
Fatwa sahabat ini tentunya berasal dari apa yang
diajarkan oleh Nabi baik itu Fikih, ilmu pengetahuan, Al quran beserta hukum
didalamnya. Mereka mendengarkan langsung dari Nabi Muhammad Saw, selain itu,
mereka juga mengerti rahasia-rahasia tasyri’ dan mengalami sebuah peristiwa
pada waktu itu.[18]
Menyampaikan apa yang sudah mereka pahami tentang ayat Al quran dengan
kemampuan bahasa yang dimiliki.
2.
Mengenai Kehujahan Mazhab Sahabat
Kehujahan merupakan suatu kekuatan yang
menjadi pengikat umat muslim untuk menjalankannya, sehingga apabila ia tidak
melaksanakan sebagaimana perintah Rasulullah maka berdosa.[19]
Dalam pembahasan ini bisa dirangkum antara lain:
1) Kehujahan Mazhab Sahabat dengan orang lain
selain sahabat
Dalam hal ini kehujahan mengenai mazhab sahabat dengan yang
lain selain sahabat memiliki argumen yang bertentangan. Selain sahabat itu
misalnya: generasi setelah sahabat (tabi’in), generasi setelah
tabi’in (tabi’tabi’in) dan generasi setelahnya:
a.
Pendapat dari kelompok ulama’ antara lain: golongan Muktazilah dan
Asy’ariyah, ulama’ Hanafiyah (al-Karakhi), dalam satu qaul-nya Imam Syafi’i dan
terakhir dari satu riwayatnya Ahmad. Mereka mengemukakan tentang kehujahan mazhab
sahabat bahwa tidak dijadikan hujah bagi generasi setelahnya jika berasal dari
sebuah ijtihad mereka (dipilih oleh Al-Amidi).
Alasannya mereka adalah:
a) Dalam QS. An-Nisa’ ayat 59 dijelaskan:
فَاِن تَنَازَعْتُمْ
فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلىَ اللّهِ وَالرّسُوْلِ
“Jika kamu
berselisih pendapat kembalikanlah kepada Allah dan Rasul”
Dari ayat diatas dapat dipahami
bahwa dalam menghadapi suatu perselisihan maka kita harus mengembalikan
segalanya kepada Allah SWT dan Rasul-Nya bukan kepada mazhab sahabat.
b) Sahabat sendiri terkadang berbeda argumen
tentang suatu masalah, sehingga apabila mazhab sahabat ini dijadikan hujah maka
akan terjadi saling berbenturan satu sama lainnya.
c) Sahabat berpendapat bahwa pendapatnya itu
dihasilkan dari sebuah ijtihad bukan dari taufiq, sehingga masih
terdapat kekhawatiran pendapat itu tidak benar meskipun ketidakbenaran bagi
ijtihad itu lebih sedikit. Lainnya, ulama’ berpendapat bahwa mengikuti Al quran
dan sunah adalah wajib, sedangkan maszhab sahabat ini tidak termasuk yang disebutkan
diatas.[20]
b.
Pendapat dari kelompok Ulama’ lain seperti: Malik ibn Anas, Ahmad (dalam
riwayatnya), sahabat Abu Hanifah (al-Barza’i), qaul qadimnya al-Syafi’i, dll.
Dalam pendapat kelompok ini, mazhab sahabat ini dijadikan sebagai hujah.
Alasan mereka adalah:
a)
Didalam QS. Ali ‘Imran ayat 110 yang artinya:
“Kamu adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada umat, menyuruh berbuat
ma’ruf”
Dari sekelumit arti ayat diatas, bahwa umat terbaik
adalah sahabat, sehingga mereka menyuruh kepada umat manusia untuk melaksanakan
perbuatan dalam kehidupan sehari-hari dengan cara yang ma’ruf adalah kewajiban.
b)
Didalam Hadis Nabi Saw, dijelaskan yang artinya:
“Para sahabatku adalah laksana bintang gemintang, siapapun yang kamu ikuti
kamu akan mendapat petunjuk”
Secara pemahaman kita, bahwa sahabat Nabi disini secara
tidak langsung dapat menjadi hujah bagi umat muslim yang lainnya.Dalam
literatur lain dijelaskan, QS. At-Taubah ayat 110 yang berisi tentang Allah
yang begitu memuji sahabat-sahabat dan generasi setelahnya apabila mereka
mengikutinya. Yang banyak dalam menggunakan mazhab sahabat untuk dijadikan
sumber hukum setelah ijma’ dan mendahulukannya dari qiyas adalah Malik dan
Ahmad.[21]
c.
Pendapat Ulama’ yang belum pasti akan menerima atau menolak mazhab sahabat
dengan alasan:
a)
Mazhab sahabat tidak bisa dijadikan hujah apabila tidak bertentangan dengan
qiyas. Alasan ini dikemukakan oleh al-Mahalli.
b)
Dapat menjadi hujah mazhab sahabat ini, apabila telah tersebar tidak ada
yang menyanggah namun tetap menjadi pendapat pribadi atau perseorangan sahabat.
Padahal sahabat lain, sangat respon perihal masalah agama karena hanya Allah
yang mereka takuti.
2)
Kehujahan Mazhab Sahabat yang berasal dari ijtihad pribadi atau dengan cara
lain.
Dalam hal ini banyak ulama’ yang memiliki perbedaan akan kehujahan mazhab sahabat,
yaitu:
a.
Mazhab sahabat diluar dari ijtihad dapat dijadikan sebagai hujah. Begitu
pula mengenai perihal yang sukar dinalar, disini tidak ada suatu perbedaan
sehingga dapat dijadikan hujah karena pendapat sesuai apa yang didengar dan
diriwayatkan oleh Nabi.
b.
Mazhab shahabat masih berada pada ranah ijtihad (bukan tawfiq)
mengenai kehujahannya melihat sasarannya bagi siapa. Dalam hal ini para ulama
berargumen bahwa, pendapat sahabat ini tidak bisa dijadikan hujah bagi sesama
sahabat maupun mujahid atau lainnya karena mazhab sahabat ini tidak mengikat
sahabat lainnya hal ini dinukil dari pakar ushul fiqh: al-Amidi, al-Asnawi dan
Ibn Subki.[22]
D.
SAR’U MAN QABLANA
1.
Definisi Sar’u Man Qablana
Secara terminologi, sar’u man qablana adalah
sebuah hukum yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul Allah SWT untuk
disebarluaskan kepada umatnya, yang mana hukum tersebut merupakan syariat pada
umat terdahulu atau umat sebelum kita.[23]
Misalnya, syariat Nabi Ibrahim untuk umatnya, Nabi Musa untuk bangsa Israel,
dst.
Arti lain, sar’u man qablana yaitu suatu
syariat Allah SWT yang turun kepada nabi sebelum Nabi Muhammad Saw, kita dapat
mengambil sebuah faedahnya, namun bukan sebuah perintah untuk melaksanakannya,
selama dalam sunah tidak ada yang membahas syariat tersebut lebih-lebih banyak
yang memperselisihkan. Apabila syariat umat terdahulu ini terdapat pada syariat
kita, berarti itu telah diperintahkan dalam Al quran dan As sunnah, bukan
sebagai syar’u man qablana.[24]Pada
hakikatnya, syariat yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi terdahulu dengan Nabi
Muhammad adalah sama, yaitu tentang aqidah, surga, neraka, janji dan amanah. Misalnya
perintah dalam berpuasa, yang terdapat dalam QS. al-Baqarah:183:
ياَايُّهَاالَّذِيْنَ
اَمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ
قَبْلِكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Apabila syariat terdahulu telah dihapus,
artinya hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita. Misalnya seseorang yang
telah melakukan dosa besar, maka cara bertobatnya adalah dengan membunuh
dirinya hal ini berlaku bagi umat nabi Musa dan tidak disyariatkan untuk kita.
Syariat itu dibatalkan dengan QS. Hud ayat 3 sebagai berikut[25]:
وَأَنِ السْتَغْفِرُوْا
رَبَّكُمْ ثُمَّ تُو بُوْا اِلَيْهِ
2.
Pengelompokan Sar’u Man Qablana
Banyak pendapat mengenai sar’u man qablana
karena syariat ini bermacam-macam sehingga perlu diperjelas sebagai berikut[26]:
a.
Hukum yang dimansukh di syariat kita, dan dikhususkan kepada umat
sebelum kita. Dalam hal ini maka syariatnya tidak berlaku untuk kita. Contoh
dalam QS. al-An’am ayat 146 yang artinya:
“Kami haramkan atas orang-orang Yahudi setiap (binatang) yang punya kuku
dan dari sapi dan kambingkami haramkan pada mereka lemaknya.”
Kemudian Al quran menjelaskan bahwa syariat itu diberlakukan
bagi kita sebagaimana dalam QS. al-An’am ayat 145, artinya:
“Katakanlah aku tidak menemukan dalam apa yang diwahyukan kepadaku
sesuatu yang haram terhadap orang untuk dimakan kecuali bangkai, darah yang
mengalir dan daging babi.”
b.
Hukum yang terdapat dalam Al quran dan Sunah dan ada dalil yang
disyariatkan untuk kita seperti disyariatkan untuk umat sebelumnya. Dalam hal
ini berarti syariatnya sama dengan hukum di syariat kita.Contoh syariat atas
umat Nabi Ibrahim juga berlaku atas umat Nabi Muhammad, yaitu perihal kurban.
ضَحُّوْا فَاِنَّهَا
سُنَّةُ اَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ
“Berkurbanlah karena yang
demikian itu adalah sunah bapakmu, Ibrahim”
Kemudian didalam QS.
al-Kautsar ayat 2 dijelaskan:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ
“Maka shalatlah engkau karena Tuhanmu
dan berkurbanlah”
Pendapat lain, jumhur ulama
Hanafiyah,Syafi’iyah dan Malikiyah berargumen mengenai hukum yang berlaku atas
umat terdahulu dan juga berlaku bagi kita merupakan kewajiban untuk
menerapkannya sepanjang tidak ada hukum yang dinasakh.Karena hukum itu
diturunkan kepada Rasul Allah SWT dan diceritakan kepada umat.[27]
c. Hukum yang ada dalam
Al quran dan Sunah, akan tetapi disana tidak ada pemaparan akan nash yang
memberlakukan untuk kita atau bukan. Contohnya, sebagaimana QS. al-Maidah ayat 45
yang didalamnya tentang hukum Qishash yaitu sama, jiwa qishahsnya dengan jiwa,
mata dan mata, hidung dan hidung dsb.
Dalam syariat ini, terjadi
perbedaan pendapat, Ahmad bin Hambal dan lainnya mengemukakan bahwa yang
seperti ini adalah syariat untuk kita. Adapun yang berpendapat ini bukan
syariat kita adalah sebagian ulama.
3. Kehujahan Sar’u Man
Qablana
Pebedaan pemikiran
mengenai suatu hukum sudah tentu hal yang wajar, begitupun dengan kehujahan
dari sar’u man qablana. Persoalannya
apakah syariat ini ditetapkan pula atas umat Nabi Muhammad Saw?. Oleh sebab
itu, terdapat berbagai argumen dari para ulama mengenai sar’u man qablana[28]:
1. Sar’u man qablana
tidak dapat diberlakukan kepada umat sekarang, apabila didalam Al quran maupun
sunah tidak ada penjelasan diberlakukan untuk kita. hal ini dikemukakan oleh
kalam Asy’ariyah da Muktazilah, Hanabilah, Milkiyah, Ulama Hanafiyah dan sebagian Syafi’iyah.
2. Sar’u man qablana
berlaku untuk umat nabi Muhammad Saw. Dengan syarat hukum dalam Al quran dan
sunah itu ada, meskipun tidak diarahkan untuk kita dan sepanjang tidak
dijelaskan nasakhnya.
Oleh karenanya muncul sebuah
kaidah sar’u man qablana dan diperkuat dengan QS. al-Syura ayat 13 yang berisi
tentang Allah Swt yang telah mewahyukan dan mewasiatkan agama bagi Ibrahim,
Musa, Isa dari mereka diperintahkan untuk senantiasa menegakkan agama dan
larangan berpecah belah.
Adapun kaidah tersebut:
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا
شَرْعُ لَنَا
“Syariat
untuk umat sebelum kita berlaku untuk syariat kita”
E. Penutup
Akhir pembahasan dalam
artikel diatas menyimpulkan bahwa dalam penetapan syari’at sebagai dasar fikih
melalui perkembangan dari periode ke periode, mulai masa lalu, sekarang dan
akan datang. Syari’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada para Rasul-Nya
berbentuk sebuah sumber hukum yang pokok yaitu Al quran dan As sunah. Adapun
disana mengandung sebuah hukum yang di-istinbath-kan melalui ijtihad
yang berupa sumber sekunder termasuk ‘Urf,Saddudzara'i, Mazhab Shahabat dan Sar’u Man Qablana.
'Urf adalah sesuatu yang harus
dikenali, diakui dan diterima oleh lapisan masyarakat. Adapun macam-macam 'urf
ialah 'urf qauli, 'urf amali, 'urf amm, 'urf khash, 'urf shahih, 'urf fasid.
Sadd adz dzariah ialah perilaku tindakan yang menjadi perantara larangan bagi
syariah. Macam-maca sadd adz dzariah dilihat dari segi kualitas dzariahnya dan
kerusakan yang ditimbulkan dzariah. Adapun kehujahan yang dmiliki sadd adz
dzariah terlihat dari motivasi seseorang yang melakukan perbuatan dan dilihat
dari sudut dampaknya tindakan tersebut. Mazhab sahabat adalah fatwa sahabat
Nabi secara perseorangan yang merupakan hasil dari ijtihadnya dalam menentukan
sebuah syariat. Didalamnya tidak ada keterikatan antar sahabat satu dan
lainnya, dan mengenai kehujahannya memiliki banyak perbedaan pendapat.
Sedangkan sar’u man qablana adalah sebuah hukum yang dibawa Para Nabi sebelum
nabi Muhammad Saw. Menurut jumhur ulama’, syari’at orang terdahulu ini dapat
dijadikan sebagai pedoman hukum apabila disana tidak ada dalil yang dinasakh.
F. Daftar Pustaka
Djalil Basiq, 2010. Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta: Kencana Pernada Group.
Ismaeel SienySaeed, 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul
Ukhuwwah Publisher.
Jumantoro Totok, 2005. Kamus Ilmu Ushul
Fikih. Jakarta: Amzah.
Karim ZaidanAbdul, 2008. Pengantar Studi Syari’ah. Jakarta: Robbani
Press.
MahfudhSahal,
2004. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam. Kediri: Purna Siswa Alliyah Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien PPLirboyo.
Syafe’iRahmat,2007. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia.
SyarifuddinAmir, 2001. Ushul Fiqh Jilid
II. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu.
TharabaFahim, 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i. Malang:
Dream Litera Buana.
Wahab KhallafAbdul, 2005.Ilmu ‘Ushul Fikh. Jakarta: Rineka cipta.
Zuhdi Masyfuk, 1987. Pengantar Hukum Syariah. Jakarta: Haji Masagung.
Catatan:
1.
Similarity 9%.
Lumayan..
2.
Dalam penulisan
karya ilmiah, hindari penggunaan kata “kita”
Makalah ini oke...
[3]Sahal
Mahfudh, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri:
Purna Siswa Alliyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien PP.Lirboyo, 2004),hlm.
216
[7]Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Pernada Group,
2010), hlm.163
[14]Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,2005),
hlm.208
[15]Abdul Karim Zaidan, Pengantar Studi Syari’ah, (Jakarta: Robbani
Press, 2008), hlm.261
[16]Amir Syarifuddin, hlm.427
[17]Masyfuk Zuhdi, Pengantar Hukum Syariah, (Jakarta: Haji Masagung, 1987),
hlm.94
[18]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu ‘Ushul Fikh, (Jakarta: Rineka cipta,
2005), hlm.112
[19]Amir Syarifuddin, hlm.429
[20]Abdul Karim Zaidan, hlm.263
[21]Masyfuk Zuhdi, hlm.95
[22]Amir Syarifuddin, hlm.430
[23]Abdul Karim Zaidan, hlm.263
[24]Saeed Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwwah
Publisher, 2017), hlm.80
[25]Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i, (Malang: Dream
Litera Buana, 2016), hlm.159
[26]Abdul Karim, hlm.264
[27]Rachmat Syafe’i, hlm.145
[28]Amir Syariffudin, hlm. 394
Tidak ada komentar:
Posting Komentar