HADIS DAN
HISTORISNYA
Moch Nur Adi A,
Rizka Nurhaeda, dan Hidayatul Islam
Mahasiswa
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendidikan IPS A
Agkatan 2016
E-mail : adiagung1996@gmail.com
Abstract
Stating
as-sunnah as the second source of law after the Qur'an which has a function as
a parrot is a mutual agreement among the Ulema, both as the al-ta'lid, the
al-tafsir and the al-tashri. Yet not all argue so, a deviating stream from the
sunnah of one, which rejects the hadith of the Prophet as hujjah as a whole.
With the argument that the Qur'an is revealed by Allah SWT in good Arabic, the
Qur'an can be understood without requiring the explanation of the Sunnah of the
Prophet SAW. While the defense's view of
the Sunnah and the hadith assume that the argument expressed by the group's
perverted view of the sunnah is weak, both from the point of view of the aqli
and naqli propositions. In the paper we will discuss about the meaning of
hadith or sunna according to the scholars (experts of hadith, expert ushul
fiqihdan jurisprudent) and various kinds of qauli, fi'li, ta'riri, and ahwali.
Then discuss the difference between hadith, atsar, and khabar. And explain in
detail the brief history of the Prophet's traditions from time to time.
Keywords:
sunnah, hadith, qauli, naqli
Abstrak
Menyatakan as-sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah
alquran yang memiliki fungsi sebagai bayan, merupakan kesepakatan bersama para
Ulama, baik sebagai bayan al-ta’lid, bayan al-tafsir dan bayan al-tashri. Namun
tidak semua berpendapat demikian, aliran yang menyeleweng dari sunnah salah
satunya, yang menolak hadist Nabi sebagai hujjah secara keseluruhan. Dengan
argumentasi bahwa alquran diturunkan oleh Allah SWT dalam bahasa Arab yang
baik, alquran dapat dipahami tanpa memerlukan bantuan penjelasan dari
sunnah-sunnah Nabi SAW. Sementara pandangan pembela terhadap sunnah dan hadist beranggapan bahwa argumentasi yang
diutarakan pendapat kelompok yang
menyeleweng dari sunnah adalah lemah, baik dari sudut pandangan dalil aqli dan
naqli. Dalam makalah kami akan dibahas mengenai pengertian hadis atau sunnah
menurut para Ulama (ahli hadis, ahli ushul fiqihdan ahli fiqih) dan
macam-macamnya yaitu qauli, fi’li, ta’riri, dan ahwali. Lalu membahas perbadaan
antara hadis, atsar, dan khabar. Dan menerangkan secara rinci sejarah singkat
hadis Nabi dari masa ke masa.
Kata
kunci :sunnah, hadis, qauli, naqli
A. PENDAHULUAN
Kata
al-hadîts merupakan bentuk ism dari kata al-tahdîts, yang berarti cerita
(al-ikhbâr). Bentuk jamaknya adalah ahdûtsah atau ahâdîst. 2 Kata al-hadîts dan
kata al-khabar secara bahasa adalah bersinonim. 3 Menurut Azami, kata hadis
dalam bahasa Arab, secara bahasa mempunyai arti, komunikasi, cerita,
perbincangan: religius atau sekular, historis maupun kekinian. Ketika digunakan
sebagai kata sifat, “hadis” mempunyai arti “yang baru”.[1]
Hadis
menurut bahasa adalah al-Jadid yang
berarti sesuatu yang baru, lawan kata dari al-Qadim yang
berarti lama. Hadis sering disebut
dengan al-Khabar yang berarti
berita, atau sesuatu yang dipercakapkan kemudian dipindahkan dari
seseorang kepada orang lain, yang
maknanya hampir sama dengan hadis.[2]
Menurut
tinjauan Abdul Baqa, hadis adalah isim dari tahdith yang berarti pembicaraan,
yang kemudian diartikan sebagai perkataan, perbuatan, atau penetapan yang
disandarkan dari Nabi SAW. Syeikh Islam Ibnu Hajar dalam Sharah al-Bukhari
berkata bahwa hadis dalam pengertian ‘shara’ adalah apa yang disandarkan kepada
Nabi SAW, dan dimaksudkan sebagai bandingan dari al-Quran yang qadim.[3]
Rasulullah
juga telah menggunakan kata hadis ini untuk mengungkapkan makna yang sama
dengan yang digunakan di dalam al-Qur’an. Rasulullah juga menyebut dirinya
sebagai hadis (sumber hadis), yang mengisyaratkan bahwa hadis adalah yang
bersumber dari diri Rasulullah sendiri dan bukan dari sumber lain. Oleh karena
itu, dapat dipahami bahwa Nabi sendiri adalah peletak asal mula penggunaan kata
hadis yang diistilahkan secara khusus ini.[4]Contohnya
antara lain:
أحسن الحــديث كتـــاب (رواه البخاري )
Artinya:
Perkataan yang paling baik adalah Kitab Allah (al-Qur’an) (H.R. alBukhârî).
من استـــمع إلى حديـــث قوم و ھم له
كارھــون أو يفــرون منه في أذنه انك (رواه البخــاري
)
Artinya:
Barangsiapa yang menyimuak pembicaraan suatu bangsa, sedang mereka membenci
kalau mengetahui tindakan orang tersebut karena mereka ingin merahasiakannya,
maka cairan tembaga akan disiramkan ke dalam telinganya (H.R. al-Bukhârî).
Hadis juga digunakan untuk menunjukan perkataan,
perbuatan, dan taqrir seseorang yang “masum”, bahkan sebagian pendapat
juga digunakan untuk menunjukan keterangan mengenai sifat dari Nabi SAW. kata
hadis pada tingkat pertama berkiatan dengan kalam yang dinukil dari Nabi dan
para imam “Ma’sum”, kemudian pada tingkat berikutnya dapat digunakan
sebagai perbuatan dan taqrir mereka. Meskipun Khabr dan hadis mempunyai arti
yang sama, akan tetapi cakupan arti Khabar lebih luas daripada hadis. Maka
dapat disimpulkan bahwa hadis hanya khusus digunakan untuk perkataan, perbuatan,
dan taqrir seorang ma’sum, sedangkan khabr dapat digunakan sebagai
ucapan-ucapan kepada para sahabat dan Tabi’in. Jadi diantara keduanya memiliki
realasi umum dan khusu mutlaq, yakni
setiap hadis adalah Khabar, akan tetapi tidak setiap khabar adalah hadis.
Begitupun demikian dalam ilmu ushul fiqih, khususnya berkenaan dngan
istilah-istilah seperti khabar al-wahid dan khabar al-mutawatir.
Istilah khabar digunakan menggunakan makna yang sama dengan hadis.[5]
B. PEMBAHASAN
1.
HADIS DAN
HISTORINYA
A.
Pengertian Hadis
Hadis
menurut bahasa adalah al-Jadid yang
berarti sesuatu yang baru, lawan kata dari al-Qadim yang
berarti lama. Hadis sering disebut
dengan al-Khabar yang berarti
berita, atau sesuatu yang dipercakapkan kemudian dipindahkan dari seseorang kepada orang lain, yang maknanya hampir sama
dengan hadis.[6]
Sedangkan
menurut istilah menurut ahli hadis ialah :
اقوال اانبى صل ا لله عليه ؤسلم وافعاله
واحواله
Yang
artinya: “segala perkataan Nabi, perbuatan dan hal ihwalnya”
Ihwal maksudnya adalah yang diriwayatkan oleh Nabi
Muhammad SAW yang berkaitan dengan himmah, sejarah kelahiran dan kebiasaan yang
dilakukan Nabi SAW.
Adapun
pengertian hadis menurut ahli hadis lainnya ialah:
مااضيف الى اانبى صل الله عليه وسلم
Yang
artinya: “ Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataannya,
perbuatannya dan taqrir, maupun sifat Nabi SAW.
Kemudian
para ulama ushul memberikan pengertian mengenai hadis ialah:
اقواله وافعاله وتقريراته التى تثبت
الاحكام وتقررها
Yang
artinya: Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan, dan Taqrirnya yang berkaitan
dengan hukum sayara’ dan ketetapannya”.
Berdasarkan
hadis yang diungkapkan oleh ulama ushul ini jelas bahwa hadis adalah segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, yang berkaitan dengan misi dan ajaran
Allah baik dalam ucapan, perbuatan, maupun ketetapan Nabi SAW yang disyariatkan
kepada manusia. [7]
2.
SEJARAH
PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN HADIS
A.
Hadis Pada Masa Rasulullah Saw
Masa
Rasulullah adalah masa awal perkembangan hadis dimulai, sehingga dalam
uraiannya terkait dengan pribadi Rasul sebagai
sumber hadis. Selama 23 tahun Rasulullah
SAW membimbing dan memimpin umatnya, hingga kurun waktu turunnya wahyu
sekaligus diwurudkannya hadis. Keadaan ini menuntut keseriusan para sahabat
sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepada
Rasulullah SAW adalah melalui perkataan (aqwal), perbuatan (af’al), dan
penetapan (taqrir)-nya, sehingga apa yang diucapkan dan dilakukan kemudian
dilihat dan didengar oleh para sahabat menjadi pedoman amaliah dan ubudiah bagi
mereka.[8]
1)
Cara Rasul Menyampaikan Hadis
Umat Islam pada masa Rasulullah SAW
dapat dengan langsung memperoleh hadis, karena tidak ada jarak yang mempersulit
pertemuan antara Rasulullah SAW dan umatnya. Allah menurunkan al-Quran dan
mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya menjadi satu kesatuan yang utuh.
Apa yang disampaikan dan diucapkan oleh Nabi merupakan wahyu dari Allah SWT.
Sebagaimana Allah berfirman dalam menggambarkan kondisi utusan-Nya tersebut.
وما ينطك عن ااهو, ان هو الا وهي يوحى
Yang
artinya: “Dan tiadalah yang diucapkan itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). QS Al-Najm
(53): 3-4).
Kedudukan Nabi yang telah dijelaskan di atas, menjadikan
semua perkataan, perbuatan dan taqrir-Nya sebagai sumber hadis bagi para
sahabat. Mereka berguru dan dan selalau menanyakan sesuatu yang mereka tidak
mengetahuinya, baik dalam urusan dunia maupun akhirat, mereka mentaati bahkan
mencontoh sikap dan perbuatan Nabi Muhammad SAW. Adapun tempat-tempat pertemuan
antara kedua belah pihak sangat terbuka dalam banyak kesempatan, tempat yang
digunakan Rasul sangat bervariasi, seperti masjid, rumah sendiri, pasar,
baik ketika Rasul dalam perjalanan
(safar), maupun ketika muqim (berada di rumah).[9]
Beberapa cara Rasul SAW
mneyampaikan hadis agar dapat diterima dan
diikuti oleh para sahabat Rasulullah SAW adaalh sebagai berikut:
a)
Rasulullah memusatkan pembinaanya
dengan membentuk sebuah Majelis al-Ilmi. Melalui majlis ini, para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima dan mempelajari hadis. Mereka menerima
dengan antusias yang tinggi, hingga berbagai upaya dilakukan untuk lebih serius
dan fokus dalam mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh Nabi SAW.
b)
Dalam banyak kesempatan,
Rasulullah menyampaikan hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian
disampaikannya kepada orang lain.
c)
Melalui ceramah atau pidato di
tempat terbuka, seperti ketika Haji Wada dan
futuh makkah.[10]
2)
Perbedaan Para Sahabat Dalam
Menguasai Hadis
Di
antara para sahabat, dalam menyerap apa yang diajarkan dan diucapkan Nabi dalam
penguasaan hadis tidaklah sama. Hal ini karena ada beberapa faktor,
diantaranya:
a)
Perbedaan mereka dalam memperoleh
kesempatan bersama Rasulullah SAW.
b)
Perbedaan mereka dalam soal
kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
c)
Perbedaan waktu mereka ketika
masuk Islam dan perbedaan antara jarak
tempat tinggal dan masjid Rasulullah SAW.
Beberapa
sahabat Rasulullah tercatat sebagai orang yang dapat banyak menerima hadis dari
Rasulullah SAW, antara lain:
a)
Para sahabat yang tergolong
kelompok al-Sabiqun Al-Awalun, yaitu orang yang mula-mula masuk Islam, seperti
Abu Bakar, Uma Ibn Khatab, Utsman IbnAffan, Ali Ibn Abi Thalib dan Ibn Mas’ud.
b)
Ummahat Al-Mukminin, yaitu
istri-istri Rasulullah SAW, SepertiSiti Aisyah, Dan Ummu Salamah. Mereka secara
pribadi lebih dekat dengan Rasulullah SAW, dan lebih banyak menerima hadis-hdis
tentang keluarga dan pergaulan suami istri.
c)
Sahabat Rasulullah yang dekat
dengan-Nya, kemudian menuliskan ahdis yang diucapkan Rasulullah SAW, seperti
Abdullah Amr Ibn Al-Ash.
d)
Sahabat yang meskipun tidak lama
bersama Rasul, tetapi Ia selalu bertanya kepada para sahabat, seperti Abu
Hurairah.
e)
Para sahabat yang sering
mengikuti kegiatan Majlis dan banyak bertanya kepada para sahabat lain. Usianya
tergolong hidup lebih lama dari wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn
Umar, Anas Ibn Malik, dan Abdullah Ibn Abbas.[11]
3)
Menghapal dan Menulis Hadis
a)
Menghapal Hadis
Dalam
memelihara keselarasan antara al-Quran dan hadis, sebagai dua sumber ajaran
Islam, Rasulullah Saw menanggapinya dengan jalan berbeda. Terhadap sumber al-Quran, Rasulullah SAW menginstrusikan
kepada para sahabat agar tidak hanya menulisnya, melainkan dihapalkannya juga,
sedangkan terhadap sumber hadis, Rasulullah SAW menginstruksikan kepada para
sahabat untuk tidak menulisnya, dan hanya boleh menghapalkannya. Dalam hal ini
Ia bersabda:
لاتكتبوا عنى ومن كتب عنى غير ااقران
فليمحه وحدثوعنى ولا حرج ومن كذب علي متعمدا
فليتبوء مقعده من اانار . رواه مسلم
“Janganlah kalian
tulis apa saja dariku selain al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain
al-Quran, hendaklah dihapus. Ceritakan saja apa yang diterima dariku, ini tidak
mengapa. Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja hendaklah ia
menempati tempat duduknya di neraka”.
Maka
hadis yang diterima dari Rasulullah SAW, diingat oleh para sahabat dengan
sunguh-sungguh dan hati-hati, agar tidak terjaadi kekeliruan tentang apa yang
diterimany
b)
Menulis Hadis
Rasulullah
Memerintahkan untuk tidak menyelenggarakan penulisan hadis secara resmi seperti
penulisan al-Quran, melainkan dengan dihafal dan dkitabligkan dengan tidak
boleh sama sekali mengubahnya. Sebab penulisan hadis tidak diselenggarakan
secara resmi adalah sebagai berikut:
a.
Agar tidak adanaya kesamaran
terhadap al-Quran dan menjaga agar tidak tercampur antara catatan al-quran
dengan catatatan hadis.
b.
Para saghabat yang pandai menulis
sangat terbatas, oleh karena itu tenaga
yang ada lebih dikhususkan dalam penulisan al-Quran karena dalam al-Quran
diturunkan secara berangsur-angsur dan memerlukan perhatian dan pengerahan
penulis yang kontinyu.
c.
Dengan menyelenggarakan upaya
menghafal hadis tanpa tulisan secara keseluruhan berarti telah memelihara
budaya hafalan di kalangan umat Islam bangsa Arab yang terkenal kuat
hafalannya.
d.
Secara teknis penulisan hadis
yang secara utuh dari ucapan, amalan, dan muamalah Rasulullah SAW merupakan hal
yang sulit untuk dilakukan. Dibutuhkan seorang penulis yang harus terus
menyertai Nabi SAW dalamm segala hal.[12]
Hadis Nabi SAW
yang menyatakan bahwa dilarangnya penulisan sesuatu selain al-Quran, yakni
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ide al-Khudri:
لاتكتبوا
عنى غير القران ومن كتبعنى غير القران فليمحه
. رواه مسلم
Yang artinya
“jangan kamu tulis sesuatu dariku, dan barang siapa yang telah menulis dariku
selain al-Quran, maka hendaklah dihapusnya” (H.R Muslim).
Berdasarkan
hadis tersebut, beberapa sahabat berpendapat bahwa penulisan hadis tidak
diperbolehkan, namun kebanyakan para sahabat dan para tabi’in membolehkan
menulisnya dengan berpegang pada hadis :
اكتبوا
لابى شاةز . رواه البحارى
Yang artinya:
“Tulislah olehmu untuk Abu Syah” (H.R al-Bukhari).
Sabda Nabi SAW
yang diucapkan ketika Abu Syah memint Nabi untuk menuliskan pidato (hadis) Nabi
SAW di suatu peristiwa pembunuhan seorang Bani Laits oleh golongan Khuza’ah di
tahun futuh Makkah.
اكتب عنى
فو اللذى نفسى بيده ما حرج من فمى الا حق .
رواه ابو داود عن ابن عمر
“tulislah, demi
Tuhanmu yang diriku ada dalam lindungan-Nya, tidaklah sesuatu ucapan keluar
dari mulutku, kecuali haq adanya” Riwatyat Abu Dawud dan Ibn Umar.
Dibalik
larangan Rasulullah SAW, ternyata ditemukan sejumlah sahabat yang memiliki
catatan-catatan dan melakukan penulisan hadis, diantaranya ialah:
a.
Abdullah Ibn Amr Al-Ash. Ia memiliki catatan hadis
yang Menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasul Saw, sehingga diberinya nama
al-sahifah al-sadiqah.
b.
Jabir Ibn Abdilah Ibn Amr Al-Anshari
(w.78H). Ia memiliki catatan hadis Rasulullah Saw tentang manasik Haji. Hadis-
hadisnya kemudian diriwayatkan oleh muslim. Catatannya dikenal dengan sahifah
Jabir.
c.
Abu Hurairah Al-Dausi. Ia
memiliki catatan hadis yang dikenal dengan Al-Sahifah Al-Sahihah, dutuh makkah.an
diwariskan kepada anaknya yang bernama Hammam.
d.
Abu Syah (Umar Ibn Sa’ad
Al-Anmari), Ia meminta kepada Rasulullah
SAW agar mencatatkan hadisnya yang disampaikan ketika pidato pada peristiwa
futuh Mekkah[13].
4)
Mempertemukan Dua Hadis yang
Bertentangan
Menurut
Ibnu Hajar Al-Asqalani, larangan rasulullah SAW untuk menuliskan hadis adalah
khusus ketika al-Quran turun. Hal ini karena dikhawatirkan takut tercampurnya
nasakh ayat al-Quran dengan hadis. Kemudain menurutnya larangan itu dimaksudkan
untuk tidak menuliskan al-Quran dalam satu suhuf. Artinya bahwa ketika wahyu
tidak turun dan dituliskan bukan pada suhuf untuk mencatatat wahyu,
diperbolehkan karena Al-Nawawi dan Al-Suyuthi memandang bahwa larangan tersebut
dimaksudkan bagi orang yang kuat hafalannya, sehingga tidak khawatir akan
terjadinya lupa. Namun bagi oran yang kurang kuat ingatannya dikhawatirkan akan
lupa, maka boleh mencatatnya.[14]
Menurut
Ajjaj Al-Khatib terdapat empat qaul kesimpulan pendapat para ulama,
diantaranya:
a.
Menurut sebagian ulama bahwa
hadis dari Abu Sa’id Al-Khudri bernilai mauquf, karenanya tidak dapat dijadikan
hujjah. Menurut Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini tidak bias diterima karena hadis
Abu Sa’id Al-Khudri dan hadis yang semakna dengannya adalah sahih.
b.
Ulama lain menyebutkan bahwa
larangan menulis hadis pada periode awal Islam, hal ini dikarenakan
keterbatasan orang-orang Islam. Saat ini, umat Islam sudah semakin bertambah
dan tenaga yang menulis hadis sudah memungkinkan sehingga penulisn hadis sudah
diperbolehkan. Menurut kelompok ini hokum menulis hadis sudah menjadi mubah.
Mereka hanya mengkhawatirkan jika penulisan hadis disatukan pada satu huruf
dengan al-Quran.
c.
Ulama yang memandang bahwa
larangan menulis hadis hanya bagi orang yang kua thafalannya. Hal ini untuk
melatih dan mengasah kekuatan hafalannya. Namun diperbolehkan menulis hadis
bagi orang yang hafalannya lemah seperti Abu Syah, atau yang dikhawatirkan lupa
adalah Abdullah Ibn Al-Ash.
d.
Kemudian ada pula ulama yang
memandang bahwa larangan tersebut adalah umum, yang sasarannya masyarakat
banyak. Akan tetapi orang yang mempunyai keahlian menulis dan membaca saja yang
tidak dikhawatirkan terjadi kekeliruan dalam menulisnya, adalah dibolehkan.
5)
Hadis Pada Masa Sahabat
Perkembangan
hadis selanjutnya adalah pada masa sahabat Rasulullah SAW, khususnya pada masa
Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khatab, Utsman Ibn Affan, dan Ali Ibn
Abi Thalib) yang berlangsung di tahun 11 H sampai dengan 40 H, yang pada masa
ini disebut masa sahabat besar. Pada masa ini masih terfokus pada penyebaran
al-quran, sehingga periwayatan hadis belum berkembang. Oleh karena itu pada
masa ini oleh ulama dianggap sebagai masa yang menunjukan pembatasan
periwayatan (al-tasabbut wa al-iqlal min al- riwayath).[15]
Pada masa sahabat terutama
pada masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis masih sangat terbatas dan
disampaikan kepada yang memerlukan saja karena belum bersifat pelajaran.
Dalam Prakteknya Cara
sahabat meriwayatkan hadis antara lain:
a.
Dengan Lafazh asli yaitu menurut lafash yang diterima dari dari Nabi
SAW.
b. Dengan Maknanya, mereka meriwayatkan dengan lafazhnya
karena tidak hafal lafazh yang asli dari Nabi SAW.[16]
a.
Menjaga Pesan Rasulullah Saw
Pesan
dari Rasulullah sangatlah berpengaruh untuk sahabat-sahabatnya, hingga mereka
begitu mencurahkan segala perhatiannya untuk melaksanakan dan mencontohkannya
pesan dari Rasulullah SAW. Pesan dari Rasulullah SAW adalah agar terus
berpegang teguh kepada al-Quran dan hadis serta dapat mengajarkan kepada orang
lain, sebagaimana sabda RAsulullah SAW:
تركت فيكم امرين لن تضلوا ما تمسكتم بهما
كتاب الله وسنة نبيه .
رواه مالك
Yang
artinya: “Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam yang tidak akan sesat
setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (al-Quran) dan Sunahku
(al-Hadis)”. (HR.Maliki).
b.
Berhati-hati dalam Meriwayatkan
dan Menerima Hadis.
Kehati-hatian
para sahabat dalam membatasi periawyatan disebabkan karena mereka khawatir akan
keliru, karena hadis merupakan sumber Tasyri’ setelah al-Quran yang harus
terjaga dari kekelirannya sebagaimana al-Quran, maka para sahabat lebih
khususnya Khulafa’al- rasyidin, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, serta
para sahabat lainnya seperti Al-Zubair, Ibn Abbas, dan Abu Ubaidah berusaha
memperketat dan penerimaan hadis.[17]
Abu
Bakar sebagai khalifah yang pertama kali menerima hadis menunjukan perhatiannya
dalam menjaga dan memelihara hadis dengan hati-hati. Abu
Bakar akan meminta saksi jika ada orang yang
neriwayatkan hadis. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, Abu Bakar pernah
mengumpulkan para sahabat, dan kepadanya Ia berkata: “Kalian meriwayatkan
hadis-hadis Rasul Saw yang diperselisihkan orang-orang setelah kalian akan
lebih banyak berselisih karenanya. Maka janganlah kalian meriwayatkan ahdis
tersebut.[18]
Pada
masa ini perlu dipahami bahwa belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun
hadis dalam suatu kitab seperti al-Quran, agar umat Islam tidak memalingkan
kekhususan dalam mempelajari al-Quran, dan para sahabat Rasul SAW sudah banyak
tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam dengan kesibukannya dan
tanggungjawabnya mereka, sehingga sulit untuk mengumpulkan hadis-hadis mereka
secara lengkap, alasan lainnya karena terjadinya perbedaan pendapat dalam
pembukuan hadis soal lafadz dan kesahihannnya dikalangan para sahabat sendiri.[19]
Adapun kehati-hatian para
sahabat dalam meriwayatkan hadis dilakukan dengan beberapa tindakan, antara
lain:
a)
Menyedikitkan Riwayat, yakni hanya mengeluarkan hadis sesuai batas
kebutuhan primer dalam pengajaran dan tuntutan pengajaran agama karena
dikhawatirkan akan dipergunakan oleh orang munafik sehingga ditakutkan
munculnya hadis paslu.
b)
Menepis dalam penerimaan hadis, yaitu dengan meneliti rawinya, apakah
sudah adil atau malah meragukan dan marwinya, apakah sudah falid dan tidak
bertentangan dengan al-Quran.[20]
c.
Periwayatan Hadis dengan Lafadz
dan Makna
1)
Periwayatan Lafadz
Periwayatan
Lafadz berarti meriwayatkan hadis yang matannya sama seperti yang diwurudkan
Rasulullah SAW, ini hanya bisa dilakukan kepada mereka yang benar-benar hafal
secara utuh apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Para sahabat menempuh
periwayatan hadis melalui jalan ini dengan berupaya agar periwayatan hadis
mereka bisa sesuai dengan redaksi dari Rasulullah SAW. Sebagian dari para
sahabat melarang meriwayatkan hadis hanya dengan maknanya saja, bahkan tidak
boleh mengganti satu huruf atau satu katapun, tidak boleh mendahulukan susunan
kata yang disebut Rasul di belakang ataupun sebaliknya, dan tidak boleh
meringankan bacaan yang itsqal (berat). Adapun Ibnu Umar diantara para
sahabatnya adalah yang paling keras mengharuskan periwayatan hadis dengan
lafadz, bahkan Ia seringkali menegur sahabat lain yang membacakan hadis dengan
berbeda walau hanya satu kata saja.[21]
2)
Periwayatan Maknawi
Para
sahabat lain berpendapat, bahwa dalam keadaan darurat dan memang ketika oran
tersebut tidak hafal dan tidak dapat meriwayatkan hadis sama dengan yang
diwurudkan Rasulullah SAW, maka diperbolehkan meriwayatkan hadis secara
maknawi, maksudnya adalah meriwayatkan
hadis yang matannya tidak secara utuh sama dengan apa yang didengarnya dari
Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai
dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW. Namun demikian, para sahabat tetap
menggunakan cara ini dengan sangat hati-hati agar tidak ada kekeliruan dalam
penyampaian maknanya.
6)
Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada
masa Tabi’in, pada dasarnya periwayatan yang dilakukan sama saja dengan yang
dilakukan oleh para sahabat, karena mengikuti jejak guru-guru mereka. Hanya
saja persoalan yang dihadapai berbeda dengan yang dihadapi oleh para sahabat.
Pada masa ini al-quran sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, dan pada masa ini
dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan hadis (intisyar al-riwayah ila
al-anshar), karena pada saat itu semakin pesatnya wilayah kekuasaan Islam dan
meningkatnya penyebaran para sahabat ke berbagai wilayah.
Meluasnya
wilayah Islam, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand bahkan pada tahun
93 H sampai ke Spanyol, bertepatan dengan keberangkatan para sahabat ke
berbagai wilayah dalam kewajibannya untuk tugas memangku jabatan pemerintah dan
penyebaran ilmu agama. Cara yang
dilakukan orang-orang tabi’in dalam belajar dan mengetahui hadis adalah dengan
belajar kepada para sahabat besar yang sudah tersebar di seluruh pelosok
wilayah Daulah Islamiyah.[22]
a.
Pusat-pusat Pembinaan Hadis
Kota
yang menjadi pusat pembinaan dalam periwayatan hadis untuk para tabi’in ialah
Madinah Al-Munawwarah, Makkah Al-Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir,
Maghribi dan Andalus, Yaman, dan Kurasan Abu Hurairah, Abdullah Ibn Umar, Anas
Ibn Malik, Aisyah, Abdullah Ibn Abbas, Jabir Ibn Abdillah dan Abi Sa’id
al-Khudri.[23]
Pusat
pembinaan pertama adalah Kota Madinah, karena di tempat ini Rasululullah Saw
menetap setelah hijrah, dan disinilah Rasulullah SAW membina masyarakat Islam
yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Anshar dari berbagai suku. Para
sahabat yang membina hadis di Makkah diantaranya adalah Mu’adz Ibn Jabal, Atab
Ibn Asid, Haris Ibn Hisyam, Utsman Ibn Thalhah, dan ‘Utbah Ibn Al-Haris.
Kemudian para tabiin yang tercatat nama-nama diantaranya adalah Mujtahid Ibn
Jabar, Atha ‘ibn Abi Rabah, Thawus Ibn Kaisan, dan ‘Ikrimah Maula Ibn Abbas.
Sementara sahabat yang membina di Kufah adalah Ali Ibn Abi Thalib, Sa;ad Ibn
Abi Waqas, dan Abdullah Ibn Mas’ud, sedangkan para tabi’in di tempat ini adalah
Ali Rabi’ Ibn Qasim, Kamal Ibn Zaid Al-Nakha’i, Said Ibn Zubair Al-Asadi, Amir
Ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-Nakha’i dan Abu Ishaq Al-Sa’bi. Beberapa para
sahabat lain menyebar membina hadis di tempat yang telah ditentukan, seperti Kota
Basrah, salah satu yang membina adalah Anas Ibn Malik, Kota Syam dibina oleh
Abu Ubaidah Al-Jarrah, Kota Mesir dibina oleh Amr Ibn Al-Ash, Kota Magribi dan
Andalus dibina oleh Mas’ud Ibn Al-Aswad Al-Balwi, serta Kota Yaman dibina oleh
Mu’adz Ibn Jabal.[24]
b.
pergolakan politik dan pemalsuan
hadis
Sebenarnya
pergolakan ini sudah berlangsung pada masa para sahabat, yaitu ketika kekuasaan
dopegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akibatnya cukup panjag dan berlarut-larut
dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaituKhawarij,
Syi’ah, Mu’awiyah dan golongan mayoritas yang tidak masuk ke dalam ketiga
kelompk tersebut. Pergolakan tersebut memberi pengaruh negatif terhadap
perkembanan hadis berikutnya, yaitu dengan muncuknya hadis-hadis palsu(maudhu),
selain itu pergolakan memberi pengaruh positif, yaitu lahirnya usaha yang
mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai usaha penyelamatan
dari permusuhan dan pemalsuan.[25]
7)
Masa Tadwin
Tadwin
menurut bahasa adalah kumpulan shahifah (Mutmaja’ al-Suhuf). Seangkan dalam
arti luas, tadwin dapat dartikan dengan al-Jam’u(mengumpulkan). Al-Zahrani
merumuskan pengertian tadwin sebagai berikut:
تقييد المتفرق المشتت وجمعه فى ديوان
اوكتاب تجمع فيه الصحف
“Mengikat yang
beeserak-serakan kemudian mengumpulkannya menjadi satu diwan atau kitab yang
terdiri dari lembaran-lembaran”.
Periode
tadwin pada masa ini adalah pembukuan (kodifikasi) berdasarkan perintah kepala
negara, dilakukan bukan ntuk perseorangan dan bukan untuk kepentinan pribadi.[26] Masa pembukuan secara resmi, yakni yang
diselenggarakan atas inisiatif pemerintah secara umum, karena jika secara
perorangan itu ada pada masa Tabi;in dan bahkas sejak masa Rasulullah SAW.
Pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad kedua hijriyah, yaitu pada masa
pemerintah Khalifah umar ibn Abd al-Aziz tahun 101 H.[27]
a.
Latar Belakang Munculnya Pemikian
Usaha Tadwin Hadis.
Latar
belakag pemkiran tadwin hadis adalah karena kekhawatiran Umar Ibn Abd Aziz
terhadap hilangnya hadis-hadis denga meninggalnya para ulama di medan perang,
dan kekhawatirannya akan tercampurnya hadis yang sahih denga hadis palsu, dan
juga saat ini semakin meluasnya kekuasaan Islam sementara kemampuan para
tabi’in antara yag sati dega n yang lain berbeda, hal ini jelas sangat
dibutuhkannya tadwin atau kodifikasi hadis.Umar Ibn Abd Aziz sebagai khalifah
yang berakhlak mulia, adil, dan wira’i terdorong untuk mengambil tindakan ini
adalah untuk menyelamatkan hadis dari pemusnahan dan pemalsuan.[28]
1)
Gerakan Menulis Hadis Para Kalangan
Tabi;in dan Tabi’at Tabi’in Setelah Ibn
Syihah az-Zuhri.
Malik
Ibn Anas wafat pada tahun 93-179 H di Madinah. Beliau adalah ulama yang telah
berhasil menyusun tadwin, dan bisa diwariskan untuk generasi sekarang. Kitab
hasil karyanya Al-Muwaththa’.
Kitab tersebut disusun pada tahun 143 H atas perintah khalifah Al-Mansur.
Al-Muwaththa adalah kitab tadwin yang pertama yang akhirnya dijadikan rujukan
oleh para muhaddis selanjutnya.[29]
B. Periode Keempat Dan Kelima: Masa Hadis Pada Abad Kedua Dan Ketiga Hijriyah (100-200 H Dan
200-300 H)
Aktivitas tadwin resmi dimulai pada masa Khalifah Umar
ibn Abdul al-Aziz ( khalifa ke 8 dari Daulah Ummaliyah) yang terkenal adil dan
wara serta ahli dalam berbagai ilmu, dengan pemikirannya untuk membukukan
hadis, maka sejak masa beliau pembukuan hadis dimulai.[30]
1.
Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadis
a.
Segi Kepentingan Agama
Berpangkal pada masalah pemeliharaan Syari’at. Yaitu untuk tujuan
pemeliharaan syari’at Islam. Karena agama Islam adalah agama yang terkahir dan
agama bagi seluruh alam. Jadi praktek pemeliharaan haadis dapat dilihat dari
masa Rasulullah SAW dan para sahabat dengan menggerakan cara penghafalan,
penulisan dan pengumpulan hadis yang kemudian ditingkatkan dengan adanya
pentadwinan. Itu semua adalah sunnah Ilahi atas alam dalam memelihara Hadis
Nabi SAW sebagai salah satu sumber syariat Islam.
b.
Segi Kebutuhan Umat
Tujuan dan faedah hadis dari segi kebutuhan Umat antara lain:
1)
Untuk pelaksanaan agama, Umat Islam memerlukan pedoman dengan cara yang
praktis dan efisien yaitu dengan disediakan catatan dan pengumpulan hadis Nabi
SAW dan ditentukan dengan cara pemakaiannya, karena dengan berguru dan
menghafalkan hadis di masa mutakhir ini sudah sangat sulit.
2)
Untuk istinbath hokum bagi persoalan kehidupan bermasyarakat, dan
bertakhim atau berdalil untuk pemantapan amal keagamaan.
3)
Untuk menjauhkan dari kekaburan umat
Islam mengenai hadis, karena sudah banyak hadis yang tercampur dengan
hadis paslu. Dengan adanya tadwin yang menyatukan hadis yang sahih dapat
menhilangkan keraguan kaum Muslimin dalam mengamalkan sunnah Nabinya.[31]
2.
Fase Tadwin
a.
Fase Tadwin masa pertama
Fase tadwin ini berlangsung selama abad kedua
Hijriyah. Mudawwin mengadakan tadwin dengan memasukan diwanya semua hadis, beik
sabda Nabi SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in yang meliputi hadis marfu,
mauquf dan maqhtu. Kitab yang sampai pada masa ini adalah kitab al-Muwatha.
Al-Muwatha berisi 1726 Hadis yang terdiri dari 600 musnad, 228 mursal, 613
mauquf, dan 285 maqhtu. Kitab ini disusunan oleh Malik ibn Anas yang merupakan
kitab terbesar pada masa itu, yang disusun dengan sistem tashnif, yaitu dengan
memasukan hadis yang ada kemudian dihubungkan dengan yang lain dalam satu bab
dan dikumpulkan menjadi satu mushannaf.[32]
b.
Fase Tadwin dengan Kualifikasi
Fase ini dimulai pada abad ketiga Hijriyah. Para ulama yang melakukan
tadwin hadis pada masa ini yaitu dengan memisahkan antara sabda Nabi Saw dengan
fatwa sahabat dan tabi’in, namun tetap mencampur antara hadis yang sahih,
hasan, dan dha’if,sehingga orang yang tidak ahli dalam bidang hadis tidak mampu
mengambil pengertian hukum atau mengetahui nilai dari hadis tersebut. Sistem
yang dipakai daam tadwin ini adalah tasnid, yaitu dengan menyusun hadis dalam
kitab dengan berdasarkan nama sahabat perawi. Kelamahan dari sitem tasnid
adalah sulit dalam mencari atau mengetahui hukum Syara’ sebab hadis yang
dikumpul dalam satu tempat tidak semaudhu’ atau satu tema. Kitab yang disusun
dengan sistem tasnid ini dinamakan musnad, yang disusun oleh Ahmad ibn Hanbal.
Musnad itu sudah melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadis yang lainnya yang
dapat memenuhi segala yang gdiperlukan oleh muslim dalam urusan agama, sehingga
hadis-hadis dalam kitab musnad dapat dijadikan. [33]
c.
Fase Tadwin dengan Seleksi
Fase ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi
antara hadi marfu dengan hadis maukuf,
dan maqtu. Pada fase ini dikenal dengan fase kualifikasi atau
seleksi terhadap nilai hadis dengan memilih hadi yang sahih untuk dibukukan
atau Ashr al-Tajrid wa al-Tashhih wa
al-Tanqih (masa penyaringan, pemilihandan pelengkapan).
Dilakukannya tadwin seleksi adalah karena meluasnya
pemalsuan hadis. Oleh karena itu para sahabat mengintensifiaksi dalam
menanggulangi pemalsuan hadis, yaitu
dengan melakukan hal antara lain:
a. Penelitian dan pembahasan tentang perawi hadis dari segi keadilan, kedhabitan,
hal ini diambil dari biografi para perawi.
b. Penyahihan hadis atas kaidah ilmu hadis, dengan
membedakannya dantara hadis yang sahih dengan hadis yang dha’if.
Pada masa seleksi ini digunakan sistem tashif (mushannaf).
Pelopor tadwin pada fase seleksi adalah Ishaq ibn Rawaih yang diikuti dan
disempurnakan oleh al-Bukhari dan Muslim. Corak tadwin dengan seleksi
menghasilkan dua jenis diwan hadis, antara lain:
a.
Kitab Shahih, yakni kitab yang dalam penyusunannya tidak memasukan hadis
selain yang shahih.
Kitab shahih antara lain: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, al-Mustadrak
Hakim, Shahih ibn Hibban, Shahih ibn Khuzaimah, Shahih Abu ‘Awanah, dan Shahih
ibn Jarud.
b.
Kitab Sunan, yakni kitab yang dalam penyusunannya tidak memasukan hadis
munkar, sedang hadis dha’if yang tidak munkar dan tidak sangat lemah
dimasukan ke dalam kitab sunan dengan diterangkan kedha’ifannya.
Kitab Sunan antara lain: Sunan Abu Dawud, Sunan Tarmidzi, Sunan al-Nash,
Sunan Ibn Majah, Sunan al-Damiri, Sunan al-Dailami, Sunan Baihaqi, dan Sunan
al-Daruqhuthi.[34]
Terdapat beberapa cara para ulama yang dilakukan pada Masa seleksi dan
penyempurnaan serta penyusunan kitab
hadis, antara lain:
a.
Masa Penyaringan Hadis
Masa
ini terjadi sekitar tahunn 201-300 H,
ketika pemerintah dipegang oleh dinasti Bani Abbas lebih tepatnya pada
masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir. Latar belakang munculnya periode ini
adalah karea pada periode tadwin masih belum berhasil memisahkan beberapa hadis
mauquf dan maqthu dari hadis marfu’, dan masih belum bisa memisahkan beberapa
hadis yang dha’if dari yan sahih. Bahkan masih ada hadis yang maudhu’ atau tercampur pada yang sahih.
Para
ulama melakukan penyaringan hadis melalui kaidah yang ditetapkannya, mereka
berhasil memisahkan hadis-hadis dha’if (lemah) dari yang sahih dan hadis-hadis
mauquf (periwayatan berhenti pada sahabat), dan yang maqthu’ (terputus) dari
yang marfu’(sanadnya sampai Nabi SAW). Akhirnya pada masa ini munculah
kitab-kiab yang hanya memuat hadis-hadis yang sahih yang dikenal dengan Kutub
Al-Sittah (kitab induk yang enam)[35]
Secara
lengkap kitab-kitab yang enam diturunkan sebagai berikut:
1.
Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam
Al-Bukhari
2.
Al-Jami’ Al-Shahih susunan Imam
Muslim.
3.
Al-Sunan susunan Abu Daud.
4.
Al-Sunan susunan Al-Tirmidzi.
5.
Al-Sunan susunan Al-Nasa’i dan
6.
Al-Sunan susunan Ibnu Majah.
b.
Masa Pengembangan dan
Penyempurnaan Sistem Penyusunan
Kitab-kitab Hadis.
Setelah
muncul kitab Al-Sittah dan Al-Muwaththa, para ulama kemudian menyusun
kitab-kitab Jawami’, kitab Syarah Mukhtasar, mentakhrij, menyusun kitab Athraf,
dan jawa’id, serta penyusunan kitab hadis untuk topik-topik tertentu.Penyusunan
kitab pada masa ini adalah lebih mengembangkan usaha dengan beberapa variasi
pentadwinan terhadap kitab-kitab yang sudah ada, salah satu usahanya yaitu
dengan mengumpulkan kitabsahih Bukhari Muslim, seperti yang dilakukan oleh
Muhammad In Abdillah Al-Jauzaqi dan Ibn Al-Furat.[36]
Masa
ini terbentang cukup panjang, dari mulai abad ke empat hijriyah terus
berlangsung beberapa abad berikutnya sampai abad kontemporer. Dengan demikian
masa perkembangan ini melewati dua fase sejarah perkembangan Islam, yakni fase
perkembangan dan fase modern.[37]
3.
Penyusunan Kitab-kitab Pembantu.
Para ulama Muhaditsin telah berhasil meyusun kitab
pembantu, antara lain: Kitab Ulumul al-Hadis, kitab penunjuk, dan kitab
Problema. Kitab Ulumul Hadis adalah kitab yang berisi tentang ilmu hadis, dalam
riwayat hadis ini tidak dapat dipisahkan dari dirayahnya. Sebab ilmu dirayah
memberi timbangan dan pembimbing hadis dari campuran hadis paslu. Dalam upaya
memilih hadis, dalam proses pembukuan hadis harus dibarengi dengan proses
pebstabihan hadisnya, dengan menyusun kaidah hadis, ushul-ushulnya, syarat-syarat
menerima riwayat, syarat-syarat menolaknya, syarat-syarat shahih dan dha’if,
dan kaidah tentang hadis sebagai hadis palsu. Sedangkan Kitab Problema adalah
berisi uraian yang tujuannya adalah untuk menghilangkan problematika yang
timbul yang dapat memberi pengaruh negative pada hadis, berupa kitab sanggahan,
analisi dan tangkisan seperti yang dilakukan oleh ibn qutaibah dengan kitabnya
Ta’wil Mukhtalifal al-Hadis untuk membela hadis atas serangan hadis dan
kritik para ulama ahli kalam dan ahli Ra’yu.[38]
C. Periode Ke Enam Dan Ketujuh: Perkembangan Hadis Pada
Masa Mutaakhirin.
Masa ini disebut dengan “ Ashr al-Tahzib Wa al-tartib wa al-Istidrak
wa al-Jami’i”, yakni masa pembersihan, penyusunan, penambahan, dan
pengumpulan hadis. Masa ini Berlangsung sejak abad keempat sampai 656 H,
sedangkan periode ketujuh berlangsung sejak tahun 656 H pada saat berakhirnya
Daulah Bani Abbas (Abbasiyah) sampai masa-masa seterusnya. Masa ini dikenal
dengan Ashr al Syarh wa al Jami’I wa al-Takhrij wa al-Bahts”, yakni masa
penyebara, pengumpulan, pentakhrijan, dan pembahasan.
Para ulama yang hidup pada masa ini adalah ulama
mutaakhrin, sedangkan ulama yang hidup sebelumnyah disebut ulama Mutaqaddimin.
Pada masa utaakhirin, para ulama mencukupkan periwayatan dengan mengutip kitab
hadis yang ditadwin oleh ulama sebelumnya di abad kedua dan ketiga Hijriyah.
Dengan bertolak dari tadwin itu maka ulama di abad keenam H memperluas sistem
dan corak tadwin, dengan menertibkan penyusunan, yaitu penyusunan kitab
spesiaisasi dan kitab komentar serta kitab gabungan, dan lainnya. Aktivitas
tadwin pada abaad keenam ini disebut sebagai Tadwin Ba’da tadwin.[39]
3.
Bentuk-bentuk Hadis
A.
Hadis Qauli
Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala yang disandarkan kepada
Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’,
peristiwa, dan keadaan, baik yang berhubungan dengan aqidah, syariah, akhlak,
maupun yang lainnya.[40]
Contoh hadis tentang bacaan al-fatihah dalam shalat,
yang berbunyi:
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة
الكتاب. رواه مسلم
“Tidak sah shalar seseorang
yang membaca Fatihah Al-Kitab”. (HR. Muslim)
B. Hadis Fi’li
Dimaksudkan dengan Hadis Fi’li adalah
segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai yang
sampai kepada kita. Seperti hadis tentang shalat dan haji.[41]
Contoh Hadis Fi’li tentang sholat adalah sabda
Nabi SAW yang berbunyi;
صلوا كما رايتمونى اصلى. رواه البخارى
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku
shalat”. (HR. Bukhari)
C. Hadis Taqriri
Yang dimaksud hadis
taqriri,adalah segala hadis yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang
datang dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan
sahabat, setelah memenuhi bebrapa syarat, baik mengenai pelakunya maupun
perbuatannya.[42]
Diantara contoh Hadis
Taqriri, ialah sikap Rasul SAW membiarkan para sahabatnya melaksanakan
perintahnya, sesuai dengan penafsirannya
masing-masing sahabat terhadap sabdanya yang berbunyi:
لا يصلين احد العصر الا فى بنى قريظة ز رواه البخارى
“Janganlah seorangpun shalat Asar kecuali Bani Quraizah”. (HR.
Bukhari)
D.
Hadis Ahwali
Yang dimaksud
dengan hadis Ahwali ialah Hadis yang berupa hal ihwal Nabi SAW yang
menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.[43]
Tentang keadaan fisik Nabi SAW, dalam beberapa hadis
disebutkan, bahwa fisiknya tidak terlalu tinggi dan tidak pendek, sebagaimana
yang diaktakan oleh al-Barra dalam sebuah hadis riwayat Bukhari, sebagai
berikut:
كان رسول الله صل الله عليه وسلماحسن الناس وجها واحسنه
حلقا ليسا بالطويل البا ءن ولا بالقصيرز رواه البخارى
“Rasul
SAW adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh. Keadaan fisiknya tidak
tinggi dan tidak pendek”. (HR. Bukhari)
4. Perbedaan
antara Sunnah, Atsar dan Khabar
1. Sunnah
Sunnah menrut etimologi berarti
“jalan”, sedangkan menurut terminologi ialah apa-apa yang didasarkan kepada
Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, atau taqrir.
Sunnah dalam arti terminologi ini
identik dengan pengertian hadis. Menurut pendapat sebagian ulama, bahwa
pengertian sunnah dengan hadis itu berbeda; hadis terbatas pada perkataan dan
perbuatan Nabi saw, sedang sunnah lebih luas.[44]
2. Khabar
Khabar menurut etimologi berarti “berita”, kebalikan dari kata “Insya” yang berarti mengarang. Menurut
terminologi, mengenai arti khabar terdapat tiga pendapat, yaitu:[45]
a. Pengertian khabar identik dengan hadis.
b. Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang
datang selain dari Nabi, sedang hadis adalah sebaliknya. Sehingga terkenal
dengan sebutan “Mutahaddis”bagi
orang-orang yang menggeluti bidang ilmu hadis dan disebut “Ikhbari” bagi orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan
yang sejenisnya.
c. Pengertian hadis lebih khusus daripada
khabar, sehingga setiap hadis pasti khabar, namun tidak setiap khabar pasti
hadis.
3. Atsar
Atsar menurut etimologi berarti “sisa-sisa perkampungan” atau yang
sejenisnya. Sedangkan menurut terminologinya ada dua pendapat, yaitu:
a. Pengertian atsar identik dengan
pengertian hadis, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Nawawi, bahwasanya para
ahli hadis menyebut hadis marfu’ dan hadis mauquf dengan atsar.
b. Atsar ialah sesuatu yang datang dari
sahabat (baik perbuatan maupun perkataan). Dalam hal ini atsar berarti hadis
mauquf. Dan barangkali ditinjau dari segi bahasa yang berarti bekas atau peninggalan
sesuatu, karena perkataan dan perbuatan merupakan sisa-sisa atau
peninggalan-peninggalan dari Nabi saw. Dan oleh karena yang berasal dari Nabi
saw disebut khabar, maka pantaslah kalau yang berasal dari sahabat disebut
atsar.
Dengan demikian, jelaslah bahwa
kata sunnah, hadis, khabar, dan atsar adalah sinonim, yaitu sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi saw, atau kepada sahabat, atau kepada tabi’in, baik
berupa perkataan, perbuatan, taqriri, atau sifat-sifat. Sedangkan yang
membedakan antarayang datang dari Rasulullah saw, sahabat, atau tabi’in, adalah
keterangan-keterangan periwayatannya. [46]
C. PENUTUP
Hadis merupakan perkataan nabi dan juga perkataan
nabi. Ada bebrapa macam-macam hadis yaitu hadis fi’li, hadis qouli, hadis
taqriri dan lainnya. Para ahli banyak berbendapat bahwa macam macam hadis
diatas ada melalui proses atau bisa dikatakan sejarahnya. Masa Rasulullah
adalah masa awal perkembangan hadis dimulai, sehingga dalam uraiannya terkait
dengan pribadi Rasul sebagai sumber
hadis. Selama 23 tahun Rasulullah SAW
membimbing dan memimpin umatnya, hingga kurun waktu turunnya wahyu sekaligus
diwurudkannya hadis. Ada bebrapa periode atau masa yaitu contohnya Ke Enam Dan Ketujuh yang menjelaskan dan menelaah Perkembangan Hadis
Pada Masa Mutaakhirin. Lalu ada beberapa perbedaan pandangan ahli antara ,
sunnah yaitu jalan, khabar yaitu berita, dan atsar yaitu sisa-sisa
perkampungan, kata tersebut berdasarkan menurut etimologi
DAFTAR PUSTAKA
Suparta , Munzier.2002. Ilmu Hadis. Jakarta:Pt Raja Grafindo Persada.
As-Shalih , Subhi. 2009. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadis,
terj. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ali , Ahmad. 2012. Hadis Sebagai Hujjah Dalam Perspektif Syi’ah. Refleksi, Volume
13, Nomor 3,
Soetari , Endang,. 2008. Ilmu Hadis. Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA.
M.
M. Azami. 1997. Studies in Hadith Methodology and
Literature. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
Alawi al-Maliki, Muhammad. 2012. Ilmu Ushul Hadis. Jakarta
: Pustaka Pelajar
https://media.neliti.com/media/publications/54868-ID-pemetaan-historis-hadis-hadis-sirah.pdf
dibuka pada tanggal 23 Maret 2018 pukul 11.19
http://oaji.net/articles/2015/1792-1426647267.pdf
dibuka pada tanggal 23 Maret 2018 pada pukul 11.19
Catatan:
1. Similarity makalah ini cukup
tinggi, yakni 31%.
2. Sudah saya bilang, HARAM hukumnya
mengutip dari blog, Mengapa masih dilanggar?
3. Di footnote ada referensi
berbahasa Inggris dan Arab, saya tunggu buktinya saat presentasi.
4. Footnote yang diulangi ada tata
caranya tersendiri.
Makalah
ini perlu pembenahan banyak. Jangan hanya diperbanyak halamannya, tetapi
kualitasnya juga.....
[1]
M. M. Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (Kuala Lumpur:
Islamic Book Trust, 1977), 1-2.
[2]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1.
[4]
Hal ini didasarkan pada satu riwayat al-Bukhârî yang bertanya kepada Rasulullah
mengenai orang yang akan mendapat syafa’at di hari Kiamat nanti, jawaban
Rasulullah:
نه علم أن لن يسأله عن ھذا الحديث أحد قبل
أبي ھريرة لحرصه على طلب الحديث
[5]
Ahmad Ali, Hadis Sebagai
Hujjah Dalam Perspektif Syi’ahRefleksi, Volume 13, Nomor 3, Oktober
2012, hlm. 378.
[6]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 1.
[7]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.1.
[8]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 71.
[9]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 72.
[10]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 73.
[11]
Muhammad Jamal Al-Din
Al-Qasimi, Qawa’id Al-Tahdits min Funan Mutshlahah Al-Hadits, (Beirut:
Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 1997), Hlm.72-74.
[12]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm.
35-36.
[13]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 77.
[14]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 78.
[16]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 42
[17]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 81.
[18]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 81.
[19]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 82.
[20]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 42-43.
[21]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 83.
[22]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 46.
[23]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 85
[24]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm 86-87.
[25]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
hlm. 88.
[26]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 89.
[27]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 53.
[28]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 90.
[29]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 91.
[30]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 57.
[31]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 57.
[32]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 66.
[33]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 67.
[34]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 62-63.
[35]
Subhi AL-Shalh, op.cit., hlm. 48.
[36]
Munzier Suparta, Ilmu Hadis,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 94.
[38]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 66.
[39]
Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Bandung: CV MIMBAR PUSTAKA, 2008), hlm. 67.
[40]
Suparta Munzir, Ilmu Hadis,
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 18.
[41]
Ibid, 19.
[42]
Ibid . 20.
[43]
Ibid. 22.
[44]
Ibid, 8
[45]
Ibid, 8
[46]
Ibid, 9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar