URF, SADDUDZARAI’I, MADZHAB
SHAHABAT, SAR’U MAN QABLANA
Luthfia Laili Rizmayanti, Rangga Eliyansyah, Robiatul
Adawiyah
Mahasiswa PAI B angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Email : luthfia.laili144@gmail.com
Abstract : This article describes the urf, saddudzara'i,
madhhab shahabat, and sar'u manqablana as a source of law that is not agreed
upon by the scholars in the establishment of Islamic law. Of these three
sources to establish an Islamic law remains on the basis of the Qur'an and
Hadith as the core of all Islamic law. In making this law aims to Muslims to
know and apply one of the strategies on Ushul Fiqh is to mengistinbath a
problem in the life of the community. Seen from the aims of Urf, Saddudzara'i,
the Sahabat School, Sar'u Man Qablana where scholars conduct ijtihad to obtain
a decision for the sake of the welfare of society in living a sanctity law.
Keywords : Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat, Sar’u Man
Qablana
Abstrak : Artikel ini menjelaskan tentang urf, saddudzara’i, madzhab shahabat, dan
sar’u manqablana sebagai sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama
dalam penetapan hukum islam. Dari ketiga sumber ini utuk menetapkan sebuah
hukum Islam tetap pada berpijak pada Al-Qur’an dan Hadist sebagai inti dari
semua hukum Islam. Dalam pengambilan hukum ini bertujuan agar umat muslim
mengetahui dan menerapkan salah satu strategi pada Ushul Fiqh ini untuk
mengistinbath suatu permasalahan didalam kehidupan masyarakat. Dilihat dari
tujuan dari Urf, Saddudzara’i, Madzhab
Shahabat, Sar’u Man Qablana dimana ulama melakukan ijtihad untuk memperoleh
suatu keputusan demi kemaslahatan masyarakat dalam menjalani sebuah hukum
kesyariatan.
Kata Kunci : Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahabat, Sar’u Man
Qablana
A. Pendahuluan
Agama islam adalah agama yang paling
sempurna. Dalam agama islam memiliki sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Hukum islam yang berasal dari Al-Qur’an tidak bisa diragukan dan
diperdebatkan lagi kebenaran yang ada pada setiap ayat dan surahnya karena
Al-Qur’an itu merupakan firman Allah SWT.
Selain Al-Qur’an, sumber hukum Islam yang
juga dispakati oleh semua kalangan ulama adalah hadist. Dimana
hadits atau as-Sunnah ini merupakan suatu penetapan hukum yang dilakukan oleh
Rasulullah saw. ketika ada kesamaran atau ketidak jelasan pada al-Quran maka
bertanyalah orang-orang Islam pada zaman Nabi kepada Rasulullah.
Namun, Setelah Rasulullah SAW wafat, muncullah masalah baru dan
sumber hukum baru seperti ‘Urf, Saddudzara’i, Madzhab Shahaby dan Syar’u Man
Qoblana. Walaupun ada beberapa ulama yang tidak menyepakati hal ini, tapi
metode penetapan hukum ini diakui keberadaan dan esksitensinya dalam Fiqih
Islam.
Maka, dalam makalah ini kami akan membahas tentang ‘Urf,
Saddudzara’i, Madzhab Shahaby, dan Syar’u Man Qoblana. Agar supaya kita dapat
mengetahui pengertian dari masing-masing sumber hukum ini dan mengapa sumber
hukum ini masuk kepada sumber hukum Islam yang tidak di sepakati.
B.
‘URF
1. Pengerian Urf
Urf ialah hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara
kehidupan muammalah, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Menurut banyak ulama
urf juga bisa disebut sebagai adat dan beberapa ulama fiqih memberikan definisi
adat sebagai perkara yang diulang-ulang, lebih umum dari urf yang dimana setiap
urf disebut adat, tetapi tidak setiap adat disebut dengan urf. Maka pengertian
secara umum, antara urf dan adat adalah sama. Keduanya adalah sebuah nama yang
telah menjadi kebiasaan manusia yang dilakukan berulang-ulang dan menjadi acuan
dalam menjalani kehidupan[1].
Urf adalah sesuatu yang sudah terkenal di kalangan manusia yang
selalu diikuti, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Menurut pandangan ahli
syariat Urf dan adat adalah dua kata yang berarti sama. Contoh Urf perkataan
adalah kebiasaan masyarakat menggunakan kata ‘‘anak” dimaksudkan untuk anak laki laki bukan untuk
anak perempuan, contoh lain adalah kebiasaan masyarakat menggunakan kata
“daging” pada selain daging ikan, padahal kata “daging” bisa berlaku untuk
semua binatang. Contoh urf perbuatan adalah kebiasaan masyarakat melakukan
transaksi jual beli tanpa menyebutkan lafal ijab kabul, melainkan langsung
dengan saling memberikan uang dan barangnya.
Dalam beberapa aspek Urf memiliki perbedaan dengan ijma :
a.
Terbentuknya
urf terjadi karena kesepakatan mayoritas manusia terhadap suatu perbuatan
maupun perkataan yang didalamnya berbaur kaum elite, orang awam, yang melek dan
buta huruf, para mujtahid dan bukan mujtahid. Sedangkan Ijma adalah penetapan
hukum yang terbentuk oleh para mujtahid saja, yang tidak termasuk didalamnya
kelompok pedagang, pegawai, dan pekerja apa saja.
b.
Terwujudnya Urf
karena adanya kesepakatan semua orang dan kesepakatan sebagian besarnya, dimana
pengingkaran beberapa orang tidak akan mempengaruhi kerusakan terjadinya Urf.
Berbeda dengan ijma, ijma hanya akan terwujud dengan bersepakatnya seluruh
mujtahid dalam menetapkan hukum, penolakan beberapa orang mujtahid akan membuat
ijma itu batal dan tidak terjadi.
c.
Dijadikannya
urf sebagai landasan ketentuan hukum jika berubah, ketentuan hukumnya akan ikut
berubah dan tidak mempunyai ketentuan hukum seperti yang dilandaskan nash dan
ijma. Sedangkan yang telah dijadikan landasan ketentuan hukum seperti ijma
sharikh. yang kekuatan hukumnya berdasar pada nash dan tidak ada lagi celah
untuk berijtihad pada ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh ijma.
2. Kehujjahan Urf
Para ulama yang berhujjah dengan ‘Urf memiliki beberapa argumentasi
yang menjadi alasan untuk menjadikan ‘Urf sebagai sumber hukum fiqh, yaitu:[2]
a.
Al qur’an surah
al a’raf ayat 199
حُذِالْعَفْوَوَأْمُرْبِاالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
Artinya : “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
b.
Hadis “sabda
rasul kepada isteri abu sufyan (hindun) ketika ia mengadu tentang suamninya
yang pelit dalam memberi nafkah, rasul bersabda (ambilah dari harta abu sufyan
secukup untuk keperluanmu dan anakmu menurut Urf)”
c.
Kebiasaan yang
dilakukan manusia yang menunjukan bahwa merekan akanmendapatkan maslahat dan
terhindar dari mafsadat.
Ulama malikiyyah dan hanafiyyah adalah ulama yang sangat terkenal
dalam berhujjah dengan menggunakan Urf dari bagian jumhur fuqaha. Disini
disebutkan bahwa imam syafii dalam membina sebagian hukum madzhabnya yang baru
juga menggunakan urf. Sehingga dikatakan oleh Al qarafy bahwa semua madzhab
memegang Urf, barang siapa yang meneliti madzhab maka ia akan menemukan
ketegasannya terhadap Urf.
3. Macam-macam Urf
1.
Jika ditinjau
dari segi hukumnya, urf terbagi menjadi dua:
a.
Urf shahih
Yaitu urf yang
tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash. Tidak membatalkan
yang wajib dan tidak menghalalkan yang haram. Contohnya adalah seorang laki
laki yang memberikan hadiah kepada
mempelai perempuan pada saat tunangan tidak dihitung sebagai mahar.
b.
Urf fasid
Yaitu kebiasaan
yang ada di masyarakat namun
bertentangan dengan syariat sehingga dapat mendatangkan mafsadat dan
tidak memberikan maslahat. Contohnya adalah para pedagang yag biasa melakukan
riba di pasar pada saat jual beli tidak bisa dibenarkan walaupun sudah menjadi
kebiasaan.[3]
2.
Jika ditinjau
dari segi sifatnya, urf dibagi menjadi dua:[4]
a.
‘Urf Perkataan
(qoulu)
Adalah sebuah
kebiasaan yang ada dimasyarakat yang berupa ucapan ataupun perkataan.
Contohnya: penggunaan kata walad, menurut bahasa walad memiliki arti anak
laki-laki dan perempuan tapi kebiasaan dimasyarakat kata walad hanya digunakan
untuk anak laki-laki.
b.
‘Urf Perbuatan
(amali)
Adalah sebuah
kebiasaan yang ada di masyarakat baik berupa perbuatan maupun perilaku.
Contohnya: kebiasaan yang ada dimasyarakat dalam melaksanakan transaksi jual
beli yang tidak mengucapkan lafad ijab melainkan langsung dengan saling
memberikan uang dan barang.
3.
Jika ditinjau
dari ruang lingkupnya, terbagi menjadi dua yaitu :[5]
a.
‘Urf Umum
Yaitu kebiasaan
yang ada dimasyarakat yang berlaku umum dan mencakup semua tempat, keadaan dan
masa. Contohnya: orang yang mengucapkan terimakasih terhadap orang yang telah
menolongnya atau seseorang yang memberikan hadiah kepada orang yang telah
berjasa dalam hidupnya.
b.
‘Urf Khusus
Adalah
kebiasaan yang ada dimasyarakat namun hanya berlaku di tempat- tempat tertentu,
keadaan tertentu dan masa tertentu. Contohnya : halal bihalal yang dilakukakan
pasca idul fitri hanya dilakukan oleh bangsa Indonesia, sedangkan bangsa-
bangsa lain tidak ikut serta dalam melakukannya.
4.
Hikmah ‘Urf[6]
Urf
yang shahih adalah urf yang wajib dipelihara pada tasyri juga pada hukum.
Karena apa yang telah diketahui orang itu dan yang telah dijalani orang itu
dapat dijadikan hujjah kemaslahatan dan kesepakatan mereka selama itu semua
tidak bertentangan dengan syariat dan tidak menyalahi nash maka wajib untuk
memeliharanya.
Kemudian
berkenaan dengan Urf fasid adalah tidak wajib untuk memeliharanya karena dalam
pelaksanaan dan pemeliharaannya bertentangan dengan syariat juga bertentangan
dengan nash.
C.
Saad Adz-Dzara’i
1. Pengertian Saad
Adz-Dzara’i
Saad Adz-dzara’i ialah pengharaman wasilah/ sarana yang mubah
menurut hukum asal. Karena sarana atau wasilah ini biasanya mengakitbatkan atau
menuntun pada perbuatan haram. Saad adz-dzara’i disandarkan pada sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi: “Hindarilah
yang syubhat...”. Di lain sisi saad adz-dzara’i juga menjadi bagian dari
menarik manfaat yaitu kaidah jalbul mashalih (menarik manfaat). Perintah saad
adz-dzara’i ada kalanya untuk mendatangkan kemaslahatan pribadi dan
kemaslahatan umum, namun juga bisa untuk menolok mafsadah (dar’u al- mafasid)
baik pribadi maupun umum, akan tetapi saad adz-dzara’i biasanya lebih masuk
kepada prinsip penolakan mafsadah.[7]
Menurut epistimologi zari’ah memiliki arti sarana / wasilah,
sedangkan menurut pandangan ulama ushul zari’ah adalah hal yang telah menjadi
jalan bagi sesuatu yang diharamkan maupun yang dihalalkan. Jalan yang
menghantarkan pada sesuatu yang haram adalah haram, dan jalan yang
menghantarkan pada sesuatu yang mubah adalah mubah.
Contohnya:
-
Zina haram,
maka melihat aurat wanita yang bisa menghantarkan pada zina adalah haram.
-
Hukum sholat
jumat adalah wajib, maka tidak melakukan dan meninggalkan kegiatan jual beli
karena ingin melaksanakan sholat jumat maka hukumnya adalah wajib.[8]
2. Kehujjahan Zari’ah
Saad adz-dzari’ah
bersandar pada Alquran dan Hadis.[9]
a.
Alquran
Dalam alquran
surat al-baqarah ayat 104 terdapat larangan memaki berhala.
Firman Allah:
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ
ءَامَنُوْالآَتَقُوْلُوْارَعِنَاوَقُوْلُوْااُنْظُرْنَاوَاسْمَعُوْاوَلِلْكَفِرِيْنَ
عَذَابٌ أَلِيْمٌ
“Wahai orang-orang
yang beriman! Janganlah kamu katakan “Raa'inaa”, tetapi
katakanlah "Unzurnaa", dan dengarkanlah.
Dan orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.”
Adanya larangan mengucapkan kata raa’inaa dikarenakan orang
yahudi menggunakan kata raa’inaa untuk menhina Nabi, maka orang-orang dilarang
untuk mengucapkan kata itu untuk menutup cela dari hinaan mereka kepada Nabi.
b.
Hadis
Nabi menahan diri untuk tidak membunuh orang- orang munafik
walaupun mereka terus menyebarkan fitnah-fitnah di kalangan kaum muslimin. Nabi
menahan diri untuk tidak membunuh disebabkan zari’ah, jika orang munafik itu
dibunuh maka orang munafik akan memfitnah Nabi kembali dengan mengatakan Nabi
Muhammad membunuh sabahatnya.
3. Macam- macam perbuatan yang ditinjau dari akibat
a. Perbuatan yang akibatnya sudah pasti
akan memberikan bahaya.
b. Perbuatan yang jarang mendatangkan
bahaya.
c. Perbuatan yang akan menimbulkan bahaya
menurut dugaan yang sangat kuat.
d. Perbuatan yang lebih banyak
mendatangkan mafsadat namun belum mencapai tujuan kuat datangnya mafsadat itu
sendiri.
D.
Madzhab
Shahabi
1.
Pengertian
Madzhab Shahaby
Masih ada beberapa dalil yang tidak sepakati oleh ulama tentang
nilainya sebagai hujjah di antaranya “pendapat sahabat” atau yang dalam fiqh
dikenal dengan Madzhab Shahaby. Yang di maksud dengan Madzhab Shahaby
di sini adalah pendapat para sahabat di dalam masalah ijtihadiyah.[10]
Yang di maksud dengan Madzhab Shahaby disini adalah perkataan atau
pendapat atau ijtihad yang dilakukan oleh sahabat bukan termasuk Ijma’
sahabat atau kesepakatan semua sahabat dalam menetapkan hukum dalam suatu
masalah.
Ushuliyun dan Muhadditsun berbeda pendapat mengenai Sahabat
Rasulullah SAW. Ushuliyun berpendapat bahwa Sahabat Rasulullah adalah Orang
muslim yang beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang bertemu dengan
Rasulullah, wafat dalam keadaan beriman dan berteman dekat dengan Rasulullah
dalam jangka waktu yang lama. Sedang menurut Muhadditsun, berpendapat bahwa
Orang muslim yang beriman dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang bertemu
dengan Rasulullah, wafat dalam keadaan beriman, dekat dengan dengan Rasulullah
dalam jangka waktu lama maupun sebentar. Dalam sejarah, terbukti bahwa Madzhab
Shahaby adalah sandaran hukum tentang peristiwa atau permasalahan hukum
yang terjadi setelah Rasulullah SAW tutup usia.
Jadi, setelah Rasulullah tutup usia, semua masalah atau kejadian
yang sebelumnya ditanyakan kepada Rasululla untuk penetapan hukumnya, menjadi
ditanyakan kepada sahabat, dan para sahabat dengan berusaha bersungguh-sungguh
memecahlan masalah yang di tanyakan.
2.
Contoh
Madzhab Shahaby
Adapun
beberapa contoh mengenai Madzhab Shahaby ini antara lain :
a.
Pada musim
paceklil (musim kekurangan persediaan makanan, dan bahaya kelaparan yang
mengakibatkan kematian) Umar bin Khattab tidak melaksanakan hukum potong tangan
pada para pencuri.
b.
Umar bin
Khattab juga tidak melaksanakan potong tangan pada budak yang mencuri barang
milik majikannya karena tidak diberi makan oleh majikannya. Hal ini berdasarkan
kisah seorang bernama Amr bin Hamdrani dimana budaknya mencuri cermin milik
istrinya kemudian mengadu kepada Umar bin Khattab dan Umar bin Khattab
menyuruhnya untuk melepaskan budaknya
c.
Tambahan adzan
sekali pada masa Utsman bin Affan saat sholat Jumat. Hal ini karenakan pada
masa Utsman bin Affan muslim banyak sekali sehingga adzan di tambah sekali lagi
supaya yang dari jauh tetap bisa mengikuti hsolat Jumat bersama-sama.
d.
Pembukuan
mushaf Al-Quran yang dilakukan pada masa Utsman bin Affan.
e.
Terkait wanita
yang di tinggal oleh suaminya, Umar bin Khattab da Utsman bin Affan sepakat
bahwa wanita itu di wajibkan menunggu suaminya selama 4 tahun. Jika dalam waktu
4 tahun sang suami juga belum ada kabarnya, maka di perbolehkah untuk
mendatangkan wali dari pihak suami dan menceraikannya. Kemudian si istri menjalani
masa iddahnya selama 4 bulan 10 hari. Sedangkan menurut Ali bin Abi Thalib
wanita yang di tinggal oleh suaminya, artinya Allah menguji kesabarannya maka
diharapkan untuk menunggu kabarnya. Jika kabarnya suami itu meninggal atau
thalak
3.
Kehujjahan
Madzhab Shahaby
Jumhur ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi
hujjah, karena Allah tidak mengharuskan kita untuk mengikutinya.[11]
Kita sebagai umat Islam, telah diperintahkan untuk bersandar kepada Al-Quran
dan Sunnah, sedangkan para sahabat bukan termasuk Ma’shum seperti Rasulullah.
Pendapat yang kedua, menetapkan bahwa madzhab shababy
menjadi hujjah dan didahulukan daripada Qiyas dan pendapat yang ketiga
pendapat sahabat menjadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau
tidak berlawanan dengan qiyas.[12]‘Abd
al-Wahab Khallaf 12 menyimpulkan bahwa[13] :
“pertama, tidak ada perbedaan pendapat bahwa pendapat sahabat adalah hujjah
dalam hal yamg bersifat sam’i dan bukan ‘aqli, karena para sahabat mendasarkan
pendapatnya kepada apa yang di dengar dari Rasulullah. Kedua, tidak ada
perbedaan pendapat pula bahwa segala yang disepakati para sahabat adalah hujjah
karena kesepakatan mereka atas sesuatu kasus sebagai bukti bahwa mereka
menyandarkan pendapatnya kepada dalil yang tegas/pasti, seperti memberi hal 1/6
bagian kepada nenek/jadat”
Menurut A. Basiq Djalil tentang madzhab shahaby, terdapat
hal-hal yang yang disepakati oleh para ulama dam terdapat pula yang
diperselisihkan[14],
yaitu :
a.
Ulama
menyepakati, bahwa madzhab shahaby tidak menjadi hujjah bagi sahabat
yang lainnya. Misalnya pendapat Abu Bakar tidak menjadi hujjah bagi Umar bin
Khattab dan pendapat Umar bin Khattab tidak juga menjadi hujjah bagi Ibn Abbas
dalam Daulah Abbasiyah.
b.
Adapun yang
diperselisihkan adalah tentang boleh atau tidaknya madzhab shahaby
dijadikan hujjah untuk para tabiin maupun orang yang sesudahnya. Berkaitan
dengan hal ini, terdapat 2 pendapat yaitu :
1)
Para ulama
berpendapat madzhab shahaby tidak dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum syariat bagi yang lainnya.
2)
Sebagian ulama
yang lain berpendapat jika madzhab shahaby boleh untuk dijadikan hujjah
bagi yang lainnya dengan syarat tidak bertentangan dengan qiyas
Dengan
demikian, fatwa-fatwa sahabat itu tidak keluar dari enam kemungkinan berikut ini
:[15]
a.
Fatwa tersebut
mereka dengar langsung dari Rasulullah.
b.
Fatwa tersebut
mereka dengar dari sahabat yang mendengarkan fatwa Rasulullah
c.
Fatwa tersebut
mereka fahami dari ayat-ayat al-Quran yang kabur maknanya
d.
Fatwa tersebut
telah di sepakati dan sampai kepada kita melalui riwayat salah seorang sahabat
e.
Fatwa tersebut
merupakan pendapat sahabat secara pribadi, karena mereka sangat menguasai
Bahasa Arab, sehingga mengetahui lafadz yang tidak kita ketahui. Dan juga
karenakesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi. Kelima hal ini adalah hujjah
yang wajib diikuti.
f.
Fatwa tersebut
berdasarkan pada pemahaman sahabat sendiri yang tidak datang dari Rasulullah.
Maka hal ini tidak dapat dijadikan hujjah.
E.
Syar’u
Man Qablana
1. Pengertian Syar’u Man Qablana
Sar’u Man Qablana secara bahasa adalah
syari’at yang dianut oleh orang- orang terdahulu. Sedangkan menurut istilah
yang dimaksud sar’u man qablana ialah ketentuan hukum dan suatu ajaran yang
berlaku pada masa Rasulullah SAW sebelum beliau diangkat menjadi rasul.[16]
Contonya adalah syari’at Nabi Ibrahim as
yang ditujukan untuk kaumnya sendiri, syari’at Nabi Musa as yang
ditujukan kepada bangsa Israil, syari’at Nabi Isa as ditunjukkan kepada kaum
Hawariyyin. [17]
2. Klasifikasi
syar’u man qablana
Syar’u man qablana dibagi menjadi 3 kelompok :
a.
Syari’at yang sudah ada sejak dulu yang terdapat pada Al-Qur’an atau
penjelasan nabi yang sudah disyariatkan bagi umat sebelum Rasulullah SAW yang
dijelaskan pula dalam nash bahwa yang demikian itu sudah dinasakh (ganti) dan
tidak diberlakukan lagi bagi umat nabi.[18]
Syariat yang berlaku bagi umat Nabi Musa as adalah contoh dari syari’at ini.
Dimana seseorang yang telah melakukan maksiat maka tidak diampuni dosanya
kecuali membunuh dirinnya sendiri. Namun kemudian syari’at ini di nasakh dengan
ayat dibawah ini :
وَأَنِ
اسْتَغْفِرُوْارَبَّكُمْ ثُمَّ تُوْبُوْا أِلَيْهِ .....
Artinya : “Dan kehendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan
bertaubatlah kepadanya ...” (Q.S Huud : 3)[19]
b.
Didalam Al-Qur’an dan hadist dijelaskan hukum-hukum yang disyari’atkan
bagi umat terdahulu dan dinyatakan pula diberlakukan bagi umat nabi dan umat
selanjutnya. Adapun firman Allah yang
terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 183 :
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ ءَامَنُوْاكُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَاكُتِبَ عَلَى
الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman diwajibkan
atasmu puasa sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kalian, mudah-mudahan
kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”
Q.S Al- Baqarah diatas menjelaskan bahwa puasa sudah
disyariatkan sejak dahulu bagi umat terdahulu serta diwajibkan untuk umat Nabi
Muhammad SAW.[20]
c.
Di dalam Al-Qur’an dan hadist sudah dijelaskan bahwa hukum berlaku bagi
umat terdahulu namun tidak jelas dinyatakan berlaku untuk kita, dan tidak dijelaskan
juga bahwa hukum itu telah di nasakh.
3. Kehujjahan
Sar’u Man Qablana
Terdapat banyak perbedaan dari kalangan ulama
mengenai syar’u man qablana sebagai dalil dalam menetapkan hukum bagi umat
Rasulullah SAW, diantaranya :
a. Pendapat mengenai syar’u manqablana dari
Ulama’ Hanafiyah dan Hanabilah dan sebagian ulama’ Syafi’iyah, ulama’ Malikiyah
serta ulama’ Asy’ariyah dan Mu’tazilah bahwasannya selama hukum tidak
dijelaskan pemberlakuannya maka hukum tersebut tidak berlaku bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan syari’at terdahulu itu khusus berlaku bagi
umat ketika itu. Sedangkan syari’an yang dibawa Nabi Muhammad sebagai rasul
terakhir berlaku secara umum dan menasakh syari’at sebelumnya.
b. Sebagian sahabat Abu Hanifah, sebagian
ulama Malikiyah, sebagian ulama Imam Syafi’i dan Imam Ahmad mengatakan bahwa
hukum yang telah ada di dalam Al-Qur’an dan Hadist meskipun tidak ditujukan
bagi umat Rasulullah, dan juga tidak ada penjelasan tentang nasakhnya, maka
hukum itu juga diberlakukan juga untuk umat Rasulullah SAW. Pendapat diatas ditunjukkan
dari ayat Al-Qur’an:
شَرَعَ
لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَاوَصَّى بِهِ نُوْحَا وَالّذِي أوْحَيْنَا أِلَيْكَ
وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ أِبْرَا هِيْمَ وَمُوْسَى
وَعِيْسَى أَنْ اَقِيْمُوْا الدِّيْنَ وَلاَ
تَتَفَرُّقُوْا فِيْهِ
Artinya : “Dia
telah mensyariatkan bagi kaum tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepada-mu dan apa yang telah Kami
wahyukan Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya .... “(QS. Asy-Syura’ : 13) [21]
F. Kesimpulan
Urf ialah
hal-hal yang dibiasakan oleh manusia dalam perkara kehidupan muammalah, baik
berupa ucapan maupun perbuatan. Macam-macam urf ditinjau dari segi hukumnya (urf shahih, dan
urf fasid), urf ditinjau dari segi sifatnya (urf perkataan,urf perbuatan), dan
urf ditinjau dari ruang lingkupnya (urf umum, urf khusus).
Saad
Adz-dzara’i ialah pengharaman wasilah/ sarana yang mubah menurut hukum asal. Menurut
pandangan ulama ushul zari’ah adalah hal yang telah menjadi jalan bagi sesuatu
yang diharamkan maupun yang dihalalkan.
Madzhab Shahaby
adalah perkataan atau pendapat atau ijtihad yang dilakukan oleh sahabat bukan
termasuk Ijma’ sahabat atau kesepakatan semua sahabat dalam menetapkan
hukum dalam suatu masalah.
Sar’u man qablana ialah ketentuan hukum dan suatu ajaran yang berlaku
pada masa Rasulullah SAW sebelum beliau diangkat menjadi rasul.
DAFTAR PUSTAKA
Zaidan,
Abdul Karim. 2008. Pengantar Studi Syariah. Jakarta: Rabbani Press
Abdullah,
Sulaiman. 1995. Sumber Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika
Tharaba,
M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i. Malang: CV Dream
Litera Buana
Khallaf,
Abdul Wahab. 2005. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: PT Asdi Mahasatya
Saeed,
Sieny Ismaeel. 2017. Ushul Fiqih Aplikatif. Malang: Darul Ukhuwah
Publisher
Djazuli
dan Aen, Nurol. 2000. Ushul Fiqh. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Djazuli.
2005. Ilmu Fiqh. Jakarta : Prenadamedia Group
Djalil
, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media
Zahrah,
Muhammad Abu. 1994. Ushul Fiqih. Jakarta : PT Pustaka Firdaus
Dahlan
, Abd. Rahman. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Catatan:
1.
Similarity Cuma
4%. Oke...
2.
Perujukan dalam
makalah ini agak minim
[1]Abdul
Karim Zaidan, Pengantar Studi Syariah, (Jakarta: Rabbani Press, 2008)
hlm. 258
[2]Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995) hlm. 77-79
[3]Ibid,,
hlm. 78
[4]M. Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatus Syar’i, (Malang: CV Dream Litera
Buana, 2016) hlm. 161
[5]Ibid,,
hlm.162
[6]Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2005) hlm. 105
[7]Saeed,
Ismaeel Sieny, Ushul Fiqih Aplikatif, (Malang: Darul Ukhuwah Publisher,
2017) hlm. 101
[8]Sulaiman
Abdullah, op. Cit. hlm. 164-165
[9]Sulaiman
Abdullah, op. Cit. hlm. 166
[10] Djazuli
dan Nurol Aen, Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000)
hlm. 211
[11] Ibid,,
hlm. 211
[12]
Djazuli, Ilmu Fiqh, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2005) hlm. 97
[13] Ibid,,
hlm. 97
[14] Basiq
Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta : Prenada Media, 2010) hlm. 164
[15]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994)
hlm. 331
[16] Abd.
Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm. 230
[17] M.
Fahim Tharaba, op. Cit. hlm.156
[18] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 392
[19] M.
Fahim Tharaba, op. Cit. hlm.159
[20] Amir
Syarifuddin, op. Cit. hlm. 392
[21] Amir Syarifuddin, op.
Cit. hlm. 395
Tidak ada komentar:
Posting Komentar