Maqashid al-Syariah
Ahmad Adri
Mubarok (15110174)
Siti Rohmah
(15110187)
Abstrack
talks
about maqhosid al-Sharia or Islamic law purposes is an important discussion of
Islamic law that does not escape the attention of ulama and experts in Islamic
law. some ulama put it in the discussion of usul fiqh, and other ulama discussing it as a independent lesson
and expanded in the philosophy of Islamiclaw. if researched all the instruction
and interdiction of Allah in the Qur'an, and a instruction and interdiction by
prophet Muhammad saw in the Sunnah is defined in fiqh, it would seem that all
have a specific purpose and nothing is uselees. all of which have
wisdom(hikmah), namely as a mercy for humans, as stated of the Qur'an, at
al-Anbiya: (107), about thepurpose of the prophet Muhammad is be a messager.
mercy for all of in the world at that verses, interpreted by the benefit of
people. whilesimply, beneficiaries that could be interpreted as a good thing
and can be accepted by common sense. It means, reason can know and understand
what the motive behind the establishment of a law, namely because it contains a
benefit to humans, although explainedthe reason by God or by way of
rationalization.
keywords: maqhosid al-Sharia, ta’lif and illat law.
Pengertian
Maqashid al-Syari’ah
Terma ‘Maqasid’ berasal dari bahasa Arabمقاصد(maqasid), yang merupakan bentuk jamak kata مقصد(maqsad), yang bermakna maksud, sasaran, prinsip, niat
atau tujuan. Maqasid hukum Islam adalah sasaran-sasaran atau maksud-maksud
dibalik hukum itu.[1]Terma
‘al- syari’ah’ berasal dari kata bahasa Arab الشريعةyang brarti jalan yang harus diikuti, yakni
jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan, atau sering juga disebut dengan
hukum Islam. Dengan demikian, secara sederhana maqashid al-syari’ah berarti
maksud-maksud atau tujuan-tujuan disyariatkan hukum Islam.[2]Karena
itu, yang menjadi bahasan utama dalam maqashid al-syari’ah adalah masalah
hikmah dan ‘illah (alasan) ditetapkanyan suatu hukum. Kajian ini
merupakan kajian utama dalam filsafat hukum Islam, sehingga pada akhirnya
istilah maqashid al-syari’ah identik dengan filsafat hukum Islam.
Tujuan hukum Islam harus diketahi oleh mujtahid
(orang yang melakukan ijtihad) dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam
Islam secara umum dan menjawab persoalan-persoalan hukum kontemporer yang
kasusunya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Qur’an dan sunah. Tujuan hukum
harus diketahui dalam rangka mengetahui apakah suatu kasus masih tetap
diterapkan berdsarkan satu ketentuan hukum, karena adanya perubahan struktur
sosial dapat menyebabkan hukum tidak dapat ditetapkan. Disinilah pentingnya
mengkaji tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) yang menjadi dasar
didalam perumusan ketentuan-ketentuan pokok dalam hukum Islam.[3]
Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan
hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini maupun di akhirat
kelak[4].
Tujuan disyariatkanya hukum Islam ini bermaksud juga untuk kemaslahatan umat
manusia. Dalam pandangan al-Syathibi sebagai salah satu tokoh ahli usul yang
mengemukakan teori maqashid al syari’ah menyatakakan bahwa maqashid
al-syari’ah dalam arti kemaslahatan terdapat dalam aspek-aspek hukum secara
keseluruhan. Menurut Wael B. Hallaq (dalam Bakri, 1996: 68 ) Al-Qur’an sebagaisumber
ajaran agama Islam meberikan fondasi yang sangat penting, yakni the
principle goverming the interest of people (prinsip membentuk kemaslahatan
manusia), terhadap syariat. Bagi al-Syathib, bahwa dalam Al-Qur’an Allah telah
memberikan sesuatu secara terperinci atau tidak, bukanlah menjadi persoalan.
Menurutnya, dengan pernyataan Allah dalam Al-Qur’an bahwa Islam merupakan Agama
yang sempurna menunjukkan Al-Qur’an telah mencakup dasar-dasar kepercayaan dan
praktik agama dengan berbagai aspeknya . Adapun sunah, menurut al-Syathibi,
menjadi bayan (penjelasan) terhadap Al-Qur’an. Hukum-hukum yang tertera
dalam Al-Qur’an harus terlebih dahulu dicari uraianya dalam sunah. Jika dalam
Al-Qur’an dan sunah belum ditemukan penjelasan tentang tujuan ditetapkanya
syariat, barulah para mujtahid dapat melakukan ijtihaduntuk menemukanya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan kembali
bahwa tujuan utama disyariatkanya hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Menurut ushuliyyun (para ahli usul fikih),
termasul al-Syathibi, kemaslahatan ini akan terwujud jika lima unsur pokok yang
ada pada manusia dapat diwujudkan dan dapat dipelihara. Kelima unsur pokok ini disebut
juga dengan kebutuhan dharuriyah atau
dharuriyah khomsah[5]
Kebutuhan
Dharuriyah
Kebutuhan
Primer (al-umur al-dharuriyah/ الأمور
الضرورية) adalah kebutuhan yang harus
ada untuk melaksanakan kemaslahatan agama dan dunia. Jika kebutuhan ini tidak
dipenuhi (hilang), kemaslahatan manusia akan menjadi kacau balau, kemaslahatan
tidak tercapai, dan kebahagiaan ukhrawi tidak bakal dapat diraih.[6]Karena
kebutuhan dharuriyah sendiri merupakan segala hal yang menjadi eksistensi
kehidupan manusia yang harus ada demi kemaslahatan mereka. Hal-hal itu
tersimpul kepada lima sendi, yaitu lima kebutuhan pokok manusia yang sekaligus
menjadi ciri dan kesempurnaan hidup manusia.Kelima hal ini kemudian disebut al-dharuriyyah
al-khamsah (lima kebutuhan pokok manusia).[7]
Allah
menyuruh melakukan segala upaya untuk memelihara dan mempertahankan kelima kebutuhan
tersebut. Sebaliknya, Allah melarang melakukan usaha-usaha yang dapat
menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan itu. Kelima
kebutuhan pokok itu secara berurutan adalah memelihara agama (حفظ
الدين), memelihara jiwa (حفظ النفس),
memelihara akal (حفظ العقل), memelihara keturunan (حفظ
النسل), dan memelihara harta (حفظ المال).[8]
1.
PEMELIHARAAN TERHADAP AGAMA (حفظ
الدين)
Islam menjaga hak dan
kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah kebasan berkeyakinan dan
beribadah, setiap pemeluk agama berhak atas mahdzabnya, ia tidak boleh dipaksa
untuk meninggalkanya menuju agama atau mahdzab lain, juga tidak boleh ditekan
untuk berpindah dari keyakinanya untuk
masuk Islam.[9]
Agama merupakan tujuan
pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup
manusia, dan didalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan
pegangan hidup setiap Muslim, terdapat juga syariah(t) yang merupakan jalan
hidup seorang Muslim baik dalam berhubungan dengan Tuhanya maupun dalam
berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam masyarakat.[10]
Dalam memelihara Agama, Allah
menyuruh manusia beriman kepada-Nya, kepadaMalaikat, kepada Rasul-Nya, kepada
Kitab Suci, dan kepada Hari Akhir. Disamping itu, Allah juga memerintahkan
melakukan ibadah pokok, seperti: Sholat, Zakat, Puasa, dan Haji yang didahului dengan
mengikrarkan dua kalimah syahadat. Untuk menjaga agama Allah juga memerintahkan
manusia (ummat Islam) untuk berjihad dijalan Allah. Jika ketentuan-ketentuan
itu tidak terpenuhi, maka terancamlah eksistensi agama manusia.
Dalam Al-Qur’an dan sunah banyak
ditemukan ketentuan-ketentuan mengenai perintah untuk melakukan ibadah-ibadah
pokok serta memperkuat keimanan seperti tersebut. Allah juga melarang manusia
melakukan perbuatan yang dapat mengancam eksistensi agama, karena itulah Allah
mengharamkan murtad (Q.S al-Baqarah [2]: 217). Allah juga memerintahkan untuk
memerangi orang yang tidak beriman (Q.S at-Taubah [9]: 29).[11]
Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh
seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinan (agama)-nya.
2.
PEMELIHARAAN TERHADAP JIWA (حفظ
النفس)
Pemeliharaan jiwa merupakan tujan kedua hukum Islam. Karena itu
hukum Islam wajib memelihara
hak manusia untuk hidup dan mempertahankan kehidupanya. Untuk itu hukum Islam melarang
pembunuhan (Q.S 17:33) sebagai upaya menghilangkan jiwa manusia dan melindungi
berbagai sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk mempertahankan
kemaslahatan hidupnya.[12]
Untuk memelihara eksistensi jiwa Allah juga memerintahkan
kepada manusia untuk makan, minum, berpakaian, dan berlindung dari berbagai
penyakit dan bahaya. Allah juga melarang perbuatan yang mengancam jiwa manusia.
Disamping itu, Allah juga memberi ancaman kepada seseorang yang mlakukan
perbuatan yang merusak jiwa dengan hukuman qisas.[13]
3.
PEMELIHARAAN TERHADAP AKAL (حفظ
العقل)
Akal
merupakan sumber hikmah (pengetahuan), sinar hidayah, cahaya mata hati,dan
media kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat. Melalui akalnya manusia
mendapatkan petunjuk menuju ma’rifat kepada Tuhan dan Penciptanya.
Dengan akalmya, dia menyembah dan menaati-Nya, menetapkan kesempurnaan dan
keagungan untuk-Nya, mensucikan-Nya dari segala kekurangan dan cacat,
membenarkan para rasul dan para nabi, dan mempercayai bahwa mereka adalah perantara
yang akan memindahkan kepada manusia apa yang diperintahkan Allah kepada
mereka, membawa kabar gembira untuk mereka dengan janji, dan membawa peringatan
dengan ancaman. Maka manusaia mengoperasikan akal mereka, untuk mempelajari
yang halal dan yang haram, yang
berbahaya dan bermanfaat, serta yang baik dan yang buruk.[14]
Untuk
memlihara akal, Allah menyuruh manusia untuk melakukan perbuatan yang menjaga
dan meningkatkan eksistensi akal. Karena itu, Allah meyuruh menuntut ilmu (Q.S
Thaha [20]:114). Sebaliknya manusia dilarang berbuat sesuatu yang merusak akal,
seperti meminum minuman keras (Q.S al-Maidah [5]:90). Allah juga mengancam
dengan memberikan sanksi pukulan empat pukuh kali bagi para peminum minuman
keras melalui sunah Nabi.[15]
Pemeliharaan
akal sangat dipentingkan oleh hukum Islam, karena dengan mempergunakan akalnya,
manusia dapat berpikir tentang Allah, alam semesta dan dirinya sendiri. Dengan
mempergunakan akalnya manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula menjadi pelaku dan pelaksana
hukum islam.Oleh karena itu pemeliharaan akal menjadi salah satu tujuan hukum
Islam.Penggunaan akal itu harus diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang
bermanfaat bagi kepentingan hidup manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan
kehidupan.[16]
4.
PEMELIHARAAN TERHADAP KETURUNAN (حفظ النسل)
Untuk
memelihara keturunan, Allah memerintahkan manusia untuk membina dan
melangsungkan keturunan dengan cara yang sah. Untuk hal ini Allah melengkapi
manusia dengan nafsu syahwat yang dapat mendorong untuk melakukan hubungan
suami istri dengan sah. Karena itulah Allah mensyariatkan lembaga pernikahan
(Q.S al-Nur [24]:32).[17]
Pemeliharaan
keturunan sangatlah penting, agar kemurnian darah dapat dijaga dan kelanjutan
umat manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan keempat hukum Islam. Hal ini
tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk dapat saling mewarisi
(Q.S 4:11), larangan-larangan perkawinan yang disebut secara rinci dalam
Al-Qur’an (Q.S 4:23), dan larangan berzina (Q.S 17:32). Hukum kekluargaan dan
kewarisan Islam adalahhukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah untuk
memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu
dicatat bahwa dalam Al-Qur’an, ayat-ayat hukum mengenai kedua bagian hukum
Islam ini diatur lebih rinci da pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum
lainya, agar pemeliharaan dan kelanjutan keturunan dapat berlangsung dengan
sebaik-baiknya.[18]
5.
PEMELIHARAAN TERHADAP HARTA (حفظ
المال)
Harta
merupakan salah satu kebutuhan yang inti dalam kehidupan, dimana manusia tidak
akan terpisah darinya. Manusia termotivasi untuk mencari harta demi menjaga
eksistensinya dan demii menambah kenikmatan materi dan religi. Namun, semua
motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat yaitu harta dikumpulkanya dengan cara
yang halal, dipergunakan untuk hal-hal yang halal, dan dari harta ini harus
dikeluarkan hak Allah dan masyarakat setempatnya.[19]
Pemeliharaan
harta ini adalah tujuan kelima hukum Islam. Menurut ajaran Islam, harta adalah
pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia dapat mempertahankan hidup dan
melangsungkan kehidupanya. Untuk menjaga harta, Allah memberikan keleluasaan
kepada manusia untuk mencari harta, tetapi harus dengan cara yang baik (Q.S
al-Jumu’ah [62]:10), Allah juga melarang segala perbuatan yang merusak dan
meniadakan harta seperti mencuri dan yang sejenis denganya. Pengabaian terhadap
ketentuan ini akan diancam dengan sanksi yang cukup berat, yaitu hukuman potong
tangan (Q.S al-Maidah [5]:38).[20]
Urgen
Maqashid
al-Syari’ah sangatlah penting bagi pemahaman seorang mujtahid dalam membangun
suatu hukum-hukum syari’ah. Ibn ‘Asyur mengatakan bahwa para ulama wajib
mengetahui ‘illat-‘illat tasyri’ beserta tujuanya dengan cara tersurat maupun
tidak tersurat atau secara bathin. Jika mereka telah menemukan hukum-hukum
tersebut maka niscaya merekak mampu memberikan fatwa-fatwa hukum.
Adapun
pemahaman-pemahaman tersebut yang harus diketahui yaitu :
1. Dalam menemukan hukum fikih
para ulama harus mampu mengetahui terlebih dahulu perkataan-perkataan ataupun
dalil-dalinya dalam bentuk lughawi dan lafziyah.
2. Untuk menjelaskan hubungan
dalil yang satu dengan yang lainaya, harus membahas dalil-dalil yang
bertentangan dari tang sudah di nashakhkan terlebih dahulu.
3. Menggunakan Qiyas jika
perkataan-perkataan syara’ belum ditemukan hukumnya.
4. Jika didalamnya tidak
terdapat Nash ataupun Qiyas maka, harus memberikan suatu hukum didalamnya.
5. Jika sekiranya tidak ada
pembahasan tentang hukum ‘illat maka, harus menemukan hukum-hukum syari’ah yang
bersifat ta’abbudi terlebih dahulu.
Dengan demikian Maqashid al-Syari’ah dapat
membantu para mujtahid untuk membuat suatu hukum-hukum syari’ah ataupun untuk
menentukan aturan-aturann hukum dan pengetahuan tentang illat-illat hukum.
Aplikasi Maqashid al-Syari’ah dalam Formulasi
hukum Islam
Pemahaman maqashid al-syariah pada kasus-kasus
maqashid ijtihad Para Sahabat sangatlah penting dalam membangun sebuah
hukum-hukum syariah, seperti yang diceritakan pada kasus-kasus ijtihad para
sahabat, yang menceritakan tentang Maqashid di era para sahabat, memiliki
signifikansi penting. Signifikansinya adalah para sahabat tidak selalu
menerapkan ‘dalalah lafal’ dalam istilah para pakar Usul Fikih. ‘Dalalah lafal’
berarti imlikasi langsung dari suatu
bunyi bahasa, dalam hal ini ‘bunyi Nas’ para sahabat menerapkan
implikasi praktis yang didasarkan pada ‘dalalah maksud’.
‘Dalalah
maksud’ berarti implikasi tujuan atau niat dibalik lafal tertentu. Dalalah
Maksud ini memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dalam memahami teks (lafz).
Namun mazhab fikih (Neo-) Tradisionalis tidak menilai pemahaman para sahabat
sebagai ‘dalalah maksud’, yang berbeda dengan ‘dalalah lafal’ dari suatu Nas.
Neo-Tradisionalis mengklaim bahwa ada ‘sebab-sebab’ dan hukum tersebut tidak
lagi diterapkan ketika ilat itu sudah tidak ada atau sudah ditakhsis
(dispesifikasi) oleh Nas lain.
Misalnya,
ilat yang berhubungan dengan penerapan hukuman tindak pidana pencurian adalah
‘pencurian yang dilakukan oleh orang yang tidak terdesak oleh kebutuhan’. Maka,
hukuman pencurian secara kasuistik tidak diterapkan kepada pencuri yang
dimaafkan oleh Khalifah ‘Umar tersebut. Jika interpretasi seperti ini terhadap
beberapa ijtihad ‘Umar tidak memungkinkan, maka (Neo-) Tradisionalis menilai
ijtihad ‘Umar ini ‘bertentangan denagn Nas’.
Namun,
saya menilai bahwa kriteria itu (tidak terdesak oleh kebutuhan), yang
dimasukkan ke dalam ilat, tidak memiliki sifat ‘konsisten’ atau ‘mundabit’
seiring dengan perubahan orang dan kondisi. Maka, kriteria tersebut bukanlah
ilat, dari sudut pandang teknis, adalah lebih ‘sesuai’ menghubungkan kebijakan
‘Umar RA dengan Maqashid bantuan sosial, ketimbang menghubungkan dengan klaim
ilat diatas.
contoh
diatas mengilustrasikan konsep-konsep Mqashid awal dalam apliaksi hukum Islam
dan Implikasi yang muncul akibat pemberia keudukan fundamental pada Maqashid[21].
Kesimpulan
Secara
sederhana maqashid al-syari’ah adalah maksud-maksud atau tujuan-tujuan
disyariatkan hukum Islam.yang mendasar pada
lima kebutuhan pokok manusia yang sekaligus menjadi ciri dan
kesempurnaan hidup manusia. Kelima kebutuhan pokok itu secara berurutan adalah
memelihara agama (حفظ الدين), memelihara jiwa (حفظ
النفس), memelihara akal (حفظ العقل),
memelihara keturunan (حفظ النسل), dan memelihara harta (حفظ
المال).
Maqashid
al-Syari’ah sangatlah penting bagi pemahaman seorang mujtahid dalam membangun
suatu hukum-hukum syari’ah. Maqashid al-Syari’ah dapat membantu para mujtahid
untuk membuat suatu hukum-hukum syari’ah ataupun untuk menentukan
aturan-aturann hukum dan pengetahuan tentang illat-illat hukum.
Pemahaman
maqashid al-syariah pada kasus-kasus maqashid ijtihad Para Sahabat sangatlah
penting dalam membangun sebuah hukum-hukum syariah, seperti yang diceritakan
pada kasus-kasus ijtihad para sahabat, yang menceritakan tentang Maqashid di
era para sahabat, memiliki signifikansi penting yang mengilustrasikan
konsep-konsep Mqashid awal dalam apliaksi hukum Islam dan Implikasi yang muncul
akibat pemberia keudukan fundamental pada Maqashid
Daftar Pustaka
Daud
Ali, Mohammad. 2005. Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Marzuki.
2013. pengantar HUKUM ISLAM. Yogyakarta: Omabak
Koto,
Alaiddin. 2004. ILMU FIQIH dan USHUL FIQIH. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Al-Mursi,
Ahmad. 2009. Maqashid Syariah. Jakarta: AMZAH
Revisi:
1.
Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.
Makalah ini belum sesuai dengan artikel
jurnal yang menjadi patokan. Tolong diperbaiki lagi dan perhatikan setiap
instruksi dari saya.
3.
Penulisan gelar (Prof. , Dr, Ustadz, dll)
ditiadakan dalam tulisan ilmiah, baik dalam konten tulisan, footnote, maupun
daftar pustaka.
4.
Tolong format makalah dirapikan.
5. Penulisan footnote tolong dipelajari lagi.
6.
Tidak ada pendahuluan.
7.
Keterangan urgensitas maqasyid tolong lebih
dipertegas lagi,
8.
Cari aplikasi maqasyid dalam permasalahan
kontemporer.
[1]Jasser
Auda.Membumikan HUKUM ISLAM melalui MAQASID SYARIAH(Bandung:,Mizan Media Utama.
2008) hlm 32
[2]Dr.Marzuki,M.Ag.
Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 14
[3]
Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 50-51
[4]
Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm
61
[5]
Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 58-59
[6] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM
ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 60
[7]
Prof.Dr.H.Alaiddin Koto, M.A. ILMU FIQIH dan USHUL FIQIH(Jakarta: PT Raja
Grafindo.2004)hlm 122
[8]
Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 61
[9]
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 1
[10]
Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm
63
[11]
Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62
[12]
Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm
63
[13] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM
ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62
[14]
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 93
[15] Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM
ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 62
[16]
Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm
63
[17]Dr.Marzuki,M.Ag.
Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 63
[18]
Prof.H.Muhammad Daud Ali,S.H. Hukum Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo.2005)hlm
64
[19]
Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar. Maqashid Syariah(Jakarta: AMZAH.2009)hlm 167
[20]
Dr.Marzuki,M.Ag. Pengantar studi HUKUM ISLAM(Yogyakarta:ombak.2013)hlm 63
[21]
Jasser Auda.Membumikan HUKUM ISLAM melalui MAQASID SYARIAH(Bandung:,Mizan Media
Utama. 2008) hlm 41-42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar