MACAM – MACAM TAFSIR
Nailatus Sa’adah, Uyunul Hikam
PBA – D UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang
E-mail :
nailitus96@gmail.com
Abstract
:This
article talks about Tafsir, Tafsir etymologically
means to explain and express. Meanwhile, according to the interpretation of the
term is the science which deals with how to pronounce lafadh - lafadh Qur'an,
meaning - meaning it represents and the law - the law, either as stand-alone or
composed, and meaning - meaning that possibility when it is composed. In the
field of science, the interpretation has become a separate Islamic disciplines,
after a while is an inherent part of study al hadith, in addition to the field
- the other disciplines. Tafsir has been progressing methodically and
stubtansial. Occurrences stream commentary and bi bil ma'tsur ra'yi helped give
color to the Muslim thought. On the other hand, there are quite serious
problems in the body tafsir bil ma'tsur, namely the emergence of variant
history, from history shohih to accurate and valid up to history that can not
be accounted for according to the parameters - and rijalul sanad hadith - in
the discipline Ulumul hadith. That is why, at the same time tafsir bil ma'tsur
is facing serious problems, because there has been a blend various history.
The scholars have done a division of the book - the book of essays concerning al - Qur'an and books - books that different methods and schools of writing - into four different kinds of methods, namely interpretation Tahlily, Ijmaly interpretation, interpretation Muqaran, Maudlu'y interpretation.
The scholars have done a division of the book - the book of essays concerning al - Qur'an and books - books that different methods and schools of writing - into four different kinds of methods, namely interpretation Tahlily, Ijmaly interpretation, interpretation Muqaran, Maudlu'y interpretation.
Keyword
: commentary,
meaning of bil Ma’tsur, meaning of bi Ra’yi
Pendahuluan
Tafsir menurut bahasa
berarti keteragan atau penjelasan. Sedangkan menurut istilah menurut : 1. Al
Jurjany : Tafsir ialah membuka dan menjelaskan. Pada istilah syara’, ialah:
menjelaskan makna ayat, keadannya, kisahnya, dan sebab yang karenanya ayat
diturunkan, dengan lafadh yang menunjukkan kepadanya dengan jelas sekali. 2.
Az- zarkasyi: tafsir ialah suatu pengetahuan yang dengan pengetahuan itu dapat
dipahamkan kitabulloh yang diturunkan kepada nabinya Muhammad SAW, menjelaskan
maksud – maksudnya, mengeluarkan hukum – hukumnya dan hikmah – hikmahnya. 3.
Asy – Syaikh Thahir Al Jazairy: tafsir pada hakikatnya ialah mensyarahkan
lafadz yang sukar dipahamkan oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan
maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut murodifnya, atau yang
mendekatinya, atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melaui suatu jalan dalalah
(petunjuk). 4. Al – kilby dalam at- Tashil: Tafsir itu ialah mensyarahkan al-Qur’an,
menerangkan maknanya dengan menjelaskan apaa yang dikehendakinya dengan Nashnya
atau dengan isyaratnya, ataupun dengan najuanya.[1]
Tafsir secara etimologis
berarti menjelaskan dan mengungkapkan. Sedangkan menurut istilah
tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh – lafadh
Al-qur’an, makna – makna yang ditunjukkannya dan hukum – hukumnya, baik ketika
berdiri sendiri atau tersusun, serta makna – makna yang dimungkinkannya ketika
dalam keadaan tersusun. Di bidang keilmuan, tafsir telah menjadi disiplin ilmu
keislaman tersendiri, setelah beberapa saat merupakan bagian inheren studi al
hadits, di samping bidang – bidang keilmuan yang lain. Tafsir telah mengalami
perkembangan secara metodologis dan stubtansial. Kemunculan aliran tafsir bil
ma’tsur dan bi ra’yi turut memberikan warna bagi pemikiran muslim. Di sisi yang
lain, ada persoalan yang cukup serius di tubuh tafsir bil Ma’tsur, yaitu dengan
munculnya varian riwayat, dari riwayat yang shohih sampai akurat dan valid
sampai hingga riwayat yang tidak bisa dipertanggungjawabkan menurut parameter –
sanad dan rijalul hadits – dalam displin ulumul hadits. Itulah sebabnya, pada
waktu yang bersamaan tafsir bil Ma’tsur sedang menghadapi masalah serius, karena
telah terjadi pembauran berbagai riwayat.
Para ulama telah melakukan
pembagian tentang kitab – kitab karangan menyangkut al – Qur’an dan kitab –
kitab yang metode dan madzhab penulisannya berbeda – beda menjadi empat macam
metode, yaitu tafsir Tahlily, tafsir Ijmaly, tafsir Muqaran, tafsir
Maudlu’y.
Tafsir Tahlily merupakan
suatu tafsir yang mengkaji ayat – ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya.
Metode tahlily merupakan metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu. Dalam
metode ini para mufassir mengkaji ayat – ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan
surat demi surat sesuai dengan mushaf Utsmani, yang dikaji yaitu menguraikan
ayat al-Qur’an dari kosakata dan lafadh , menjelaskan arti yang dikehendaki,
sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur I’jaz dan balaghoh dan
keindahan susunan kalimat.Metode Thalily dibagi lagi menjadi tujuh macam: yaitu
tafsir bil Ma’tsur, tafsir bi al-Ra’yi, tafsir Shufy, tafsir Fiqhy, tafsir
Falsafy, tafsir ‘Ilmy, tafsir Adaby.[2]
Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil Ma’tsur menurut
sebagian pendapat adalah corak tafsir al-Qur’an yang dalam operasional
penafsirannya mengutip dari ayat – ayat al-Qur’an itu sendiri dan dari hadits –
hadits Nabi Muhammad SAW, pendapat sahabat dan tabi’in. Pengertian lain tafsir
bil Ma’tsur, yaitu penafsiran
(penjelasan) ayat al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an yang lain, ada kesinambungan antara ayat sebelum dan
sesudah, juga surat sebelum dan sesudah. Namun pendapat dari tabi’in tidak
dimasukkan dalam tafsir bil ma’stsur, tetapi dimasukkan dalam golongan tafsir
bi al-ra’yi. Pendapat tabi’in tidak dimasukkan dalam penafsiran bil ma’tsur
karena menurut para mufassir pendapat para tabi’in sudah banyak terkooptasi
akal, atau karena dalam penafsiran al-Qurannya lebih mementingkan kaidah –
kaidah bahasa tanpa memperlihatkan lebih jauh dari segi riwayatnya.[3]
التفسير بالمأثور هو الذي يعتمد على صحيح المنقول بالمراتب التي
ذكرت سابقا في شروط المفسر : من تفسير القرأن بالقرأن أو بالسنة لأنها جاءت مبينة
لكتاب الله, أو بما روي عن الصحابة لأنهم أعلم الناس بكتاب الله, أو بما قاله كبا
ر التابعين لأنهم تلقوا ذلك غالبا عن الصحابة.
Menurut Manna Qathan,
tafsir bil Ma’tsur ialah tafsir yang disandarkan kepada riwayat-riwayat yang
shohihsecara tertib yang sebagaimana telah diceritakan dalam syarat – syarat
mufassir, antara lain : menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau dengan as
– Sunnah karena sunnah merupakan penjelas bagi kitabulloh, atau dengan riwayat
– riwayat yang diterima dari para sahabat sebab mereka lebih mengetahui tentang
Kitabulloh, atau dengan riwayat – riwayat dari tabi’in besar sebab mereka telah
menerimanya dari para sahabat.[4]
Menafsirkan al-Qur’an
dengan tafsir bil Ma’tsur adalah suatu jalan yang terbaik untuk mengetahui
pengetahuan yang benar, jalan yang paling baik untuk memelihara dari
penyelewengan – penyelewengan dalam Kitabulloh. Sedangkan menggunakan denga
tafsir bi Ra’yi yang semata-mata menafsirkan dengan akal adalah haram.
“ Barang siapa menafsirkan
al-Qur’an dengan akalnya atau dengan sesuatu yang tidak diketahuinya, maka
hendaklah menyediakan tempatnya di neraka “. (HR. at - Tirmidzi, dan Nasa’I dan
Abu Dawud. At – Tarmidzi berkata: bahwa
hadits shohih)
Mengikuti tafsir bil
Ma’tsur tidak diperselihkan lagi, harus diikuti meskipun ada perbedaan
penafsiran terhadap suatu lafadz al-Qur’an seperti ada yang menafsirkan “ ash-
Shirotol Mustaqim’ dengan al-Qur’an, atau ada yang menafsirkannya dengan Islam.
Kedua penafsiran tersebut, satu sama lain saling mendekati artinya sebab agama
Islam ialah agama yang mengikuti al-Qur’an.
Perkembangan tafsir bil
Ma’tsur melalui dua periode, yaitu periode dimasa Rasululloh Saw dan periode
pembukuan. Pada periode pertama yaitu peiode pada masa Rasululloh SAW,
Khulafaur Rsayidin dan para sahabat yang lain yakni pada abad pertama dan kedua
tahun hijriyah. Periode ini disebut dengan periode Syafahiyah atau pengajaran
secara langsung, artinya para sahabat langsung belajar dan menerima penafsiran
yang diberikan oleh Rasululloh SAW. Mereka menghafalnya di luar kepala, dan
menyampaikannya kepada sahabat – sahabat lain dan tabi’in meriwayatkannya dari
meraka dengan periwayatan yang benar. Semasa
Rasululloh Saw hidup beliau melarang para sahabat untuk menulis hadits agar
al-Qur’an dengan jelas dapat dibedakan dari hadits dengan struktur kalimatnya
yang merupakan mu’jizat. Dengan begitulah, al-Qur’an tetp murni, autentik,
tidak bercampur aduk dengan yang lainnya, seperti: hadits.
Periode kedua, yaitu
periode pembukaan.Pada periode ini dibukukan segala yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW dan para sahabat, baik itu yang terjadi pada permulaan tahun 100
atau 200 Hijriah.
Yang lebih mendekati
kebenaran (rajih) adalah bahwa sekalipun pembukuan Hadits-hadits
Rasulullah SAW telah dimulai pada masa sahabat, akan tetapi penyusunannya dalam
bentuk yang dikenal sekarang, pemisahan tafsir dari hadits, pembagian bab-bab
dan sistematikanya sehingga menjadi satu bidang ilmu tersendiri, terpisah dari
bidang lainnya, barulah terjadi pada abad ketiga hijriah, seperti tafsir Imam Ibn
Jarir Al-Thabary dan lain-lain.
Kemudian, pembukuan tafsir
bi al-Ma`tsur mengambil bentuk dengan tanpa menyebutkan
sanad-sanadnya.Ulama tafsir benyak menukil hadits-hadits yang menafsirkan.
Al-Qur`an dengan tanpa membedakan antara hadits yang shahih dan yang tidak
shahih, sehingga dalam kitab-kitab tafsir banyak ditemukan haits-hadits Maudlu`
dan cerita-cerita Isrsiliyat yang berhasil diugkap oleh ulama lain
dan mereka menjelaskan, bahwa semua itu adalah tidak benar. Sampai mereka
menilai hadits-hadits yang diriwayatkan sebagai penafsir sekian banyak surat
dalam Al-Qur`anitu tidak dapat dikatakan sebagai hadits shahih kecuali pada
sedikit surat dalam Al-Qur`an. Mereka menyatakan, bahwa sebagian kaum muslimin
telah menambahkan hadits-hadits palsu dengan tujuan agar kaum muslimin
terdorong dan terangsang untuk membaca Al-Qur`an setelah dilihat kenyataan,
bahwa kaum muslimin telah berpaling dari membaca Al-Qur`an, sebaliknya mereka
lebih menyukai membaca wirid-wirid dan dzikir-dzikir. Akan tetapi
ini adalah alasan yang sama sekali tidak dapat melepaskan diri mereka dari
dosa, oleh karena tidaklah boleh mendustakan kepada Rasulullah SAW sekalipun
dengan sebab dan motivasi yang baik.[5]
Contoh ayat yang
ditafsirkan dengan tafsir bil Ma’tsur:
فإذا قرأت القرأن فاستعذ با الله من الشيطان
الرجيم
Apabila kamu membaca
al-Qur’an, maka berlindunglah kamu kepada Alloh dari setan yang terkutuk. Kapan
Isti’adzah harus dibaca? Sesudah menbaca al-Qur’an, kata sebagian sahabat
(seperti Abu Hurairah) dan tabi’in seperti (Malik dan dawud). Sebelum membaca
al-Qur’an, kata sebagian besar sahabat, tabi’in, dan ulama’. Kita mengatakan
kedua – duanya. Sebelum membaca al-Qur’an setan akan memasukkan keraguan
(waswas)untuk membaca firman Alloh. Sesudah membaca al-qur’an setan akan
memasukkan keraguan untuk menerima firman Alloh dan (apalagi) melaksankannya.[6]
Salah
satu ahli Tafsir yang terkenal yaitu Ibnu
Abbas. Dalam setiap problem penafsiran, Ibnu Abbas senantiasa menjadi
sumber informasi hal – hal ghoib dan kadangkala dia nampak seperti Tuhan. Salah
satu contoh ayat yang ditafsirkan adalah pada surat al – Baqoroh ayat 266.
Ketika itu kaum mukmin telah dilanda kebbingungan menegenai makna dari ayat
tersebut.
أيود أحدكم أن تكون له جنة من نخيل وأعناب تجري من تحتها الأنهار له فيها من كل
الثمرات وأصابه الكبر وله ذرية ضعفاء فأصابها إعصار فيه نار فاحترقت كذلك يبين
الله لكم الأيات لعلكم تتفكرون.
Umar lantas bertanya kepada seluruh orang
tentang makna ayat yang membingungkan ini, tetapi dia tidak menemukan seorang
pun yang dapat memberikan kepadanya jawaban yang memuaskan (dalam riwayat lain
berkata “Alloh lebih mngetahui”, lalu Umar pun marah dan berkata : katakanlah,
yahu atau tidak tahu). Kemudian Ibnu Abbas yang berada di belakangnya dengan
sikap tawaddu’ dan berkata : “dalam diriku ada sedikit pengetahuan tentang itu,
wahai Amir al-Mukminin “. Umar mendekatinya dan berkata: “katakanlah wahai putra
saudaraku, jangan kau rendahkan dirimu”. Maka Ibnu abbas menjelaskan: “ ini
adalah perumpamaan yang diberikan Alloh
dan dia mengatakan: apakah salah seorang diantara kamu sekalian ingin beramal
sepanjang usianya dengan amalan orang- orang baiak dan bahagia, sehingga ketika
dia lebih butuh untuk dapat menutup usianya dengan perbuatan baik, ketika
usianya sudah mulai habis dan ajalnya sudah dekat, maka dia menutupnya dengan
perbuatan orang – orang yang celaka dan merusak seluruhnya dan niscaya Dia telah
membakar apa yang dibutuhkan olehnya” (Al-Thabari, jilid II, hal.46)[7]
Contoh kitab tafsir yang
menggunakan tafsir bil Ma’tsur : Jami’ al bayan fi tafsir al-Qur’an karangan
Imam Ibn Jarir al-Thabari, Ma’alim al-Tanzil yang dikenal dengan al-
Tafsir al-Manqul karangan Imam al-Baghawy, Tafsir al-qur’an al-‘Adhim karangan
Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir (Ibn
Katsir).
Tafsir bi Ra’yi
Tafsir birra’yi Mulanya,
para ulama enggan menafsirkan ayat-ayat alqur’an, apalagi ada atsar yang
menyatakan : “Barang siapa yag menafsirkan alqur’an menurut ra’yu
(pendapat/akal) , dan ia benar, maka ia telah salah. Kemudian mereka menolak
segala bentuk penafsiran yang berdasarkan pada ra’yu semata, kecuali yang
memiliki dasar atau memenuhi persyaratan menurut standar mereka. [8]
Setelah itu, muncul dalam
islam berbagai golongan, dan setiap golongan berusah untuk memahami
alqur’an sesuai standar masing-masing.
Islam mengalami perluasan dan perkembangan ke berbagai daerah, sehingga terjadi
pula perkembangan pengetahuan keislaman dengan berbagai macam ragamnya.
Demikian pula para ulama semakin mendalami ilmu-ilmu yang ditekuninya yang
ditandai dengan munculnya berbagai hasil dari karya ilmiah mereka, termasuk
tafsir alqur’an dengan berbagai macam corak dan orientasi sesuai dengan latar
belakang ilmu mereka.
Berbagai corak penafsiran alqur’an muncul disebabkan
kenyataan bahwa banyak kalagan mufasir yang menguasai ilmu-ilmu lain, seperti
ahli fiqih,bahasa, filsafat, falak, kedokteran,ilmu kalam, dan lain sebagainya.
Selain itu alqur’an diturunkan bukan hanya untuk muhammad dan masanya tetapi
untuk umat seterusnya. Pemahaman umat yang sekarang terhadap alqur’an tentu
berbeda dengan penafsiran umat terdahulu.
Oleh sebab itu, tidaklah
mengherankan jika muncul para mufasir yang menafsirkan ayat-ayat alqur’an
dengan menonjolkan pembahasannya berdasarkan ilmu-ilmu lain yang mereka kuasai.
Misalya : Az-zamakhsyari dalam segi ilmu balaghah, Ar-qurtubi dalam perincian
hukum syara’, Abi su’ud dalam keindahan
bahasa dan susunannya, An-nasafi dalam macam-macam ilmu qiraat, serta Ar-razi
dalam berbagai pemahaman ilmu kalam dan filsafat. Kemudian terbitlah berbagai
kitab tafsir, dimana peran ijtihad dan ra’yu para mufasirnya tampak denga
jelas.[9]
التفسير بالرأي هوما يعتمد فيه المفسر في بيان
المعنى على فهمه الخاص واستنباطه بالرأي المجرد و ليس منه الفهم الذي يتفق مع روح
الشريعة.
Pengertian dari tafsir
birra’yi sendiri ialah suatu tafsir
dimana mufassir dalam menjelaskan makna ayat bedasarkan pemahaman dan
istinbatnya dengan akal semata mata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan
ruh syari’ah, sedangan hukum mengikuti tafsir birra’yi yang semata mata akal
adalah haram[10].
Menurut imam Al-Farmawi,
tafsir birra’yi yang lebih terperinci dan pembagiannya ada dua, yakni :
a.
Tafsir
birra’yi yang terpuji dan dapat di terima, yaitu apabila mufasirnya telah
memenuhi syarat-syarat yang telah disepakati bagi seorang mufasir serta meninggalkan
lima hal yang dilarang baginya.
b.
Tafsir
birra’yi yang tercela dan tak dapat diterima, yaitu apabila mufasirnya tidak
dapa memenuhi syarat-syarat bagi seorag mufasir serta tidak telepas dari lima
hal yang terlarang.[11]
Ulama
salaf yang paling keras menentang tafsir birra’yi ialah ibnu taimiyah. Ia tidak
mau mempergunakan ijtihad dalam soal tafsir. Menurutnya tafsir dengan
semata-mata ijtihad haram hukumnya. Selanjutnya ibnu taimiyah mengtakan :“orang
yang tergesa-gesa menafsikan alqur-an berdasarkan pada ilmu bahasa dengan tidak
memerlukan naqal dalam hal-hal yang mengenai lafadz-lafadz yang gharib,
lafadz-lafadza yang mubham dan lafadz-lafadz yang mubadal dan dalam hal
ikhtisar, hadzf, idlmar, taqdim dan ta’khir, akan menghadapi kesalahan masuk ke
dalam golongan orang yang menafsirkan alqur-an dengan pikiran”.
Pendirian
ibnu taimiyah yang keras ini ialah karena pada masa itu timbul kaum batiniah
yang mempergunakan hawa nafsunya dalam menetapkan makna-makna al-quran. Maka
untuk membendung aliran-aliran tersebut, ibnu taimiyah mempertahankan pokok
pemikirannya.
Diantara
tafsir-tafsir palsu yang sesat yang mau dibendung oleh ibnu taimiyah ialah:
haqaiqut tafsir karangan abuabdur rahman as-sulami, tafsir al ajaaib wal
gharaib karangan mahmud bin hamzah al-kurmani, tafsir “isyari” karangan syaikh
akbar muhyiddin ibnul araby.
Sedangkan
tafir birra’yi yang cenderung mempertahankan madzab mu’tazilah ialah tafsir
yang dikarang oleh az-zamakhsyari (al-kasysyaf), dan tafsir maftihul ghaibi.
Sebagai
seorang penganut golongan ahlus sunnah wal jamaah, imam al-ghazali mengetengahi
antara:
a.
Tafsir
birra’yi ekstrim (tafsiri batini) versus tafsir bilma’tsur asli (ibnu taimiyah)
b.
Tafsir
birra’yi setengah ekstrim ( mu’tazilah ) versus tfsir bima’tsur asli (ibnu
taimiyah) plus tafsir ibnu jarir ath-thabari
Menurut al-ghazali, kita wajib memahamkan al-quran denga
nash semata-mata jika kita memperolehnya. Adapun di tempat-tempat yang tidak
diperoleh nash yang sahih, maka dipergunakanlah ijtihad. Pintu ijtihad dibuka
selebar lebarnya oleh imam al-ghazali bagi mereka yang berkeahlian dalam
mengistinbathkan hukum dari al-quran dengan syarat tidak menyalahi sesuatu yang
tega dari nabi SAW.
Menurut al-ghazali kita dilarang mempergunakan ijtihad
pada dua tempat :Pertama , mempergunakan ijtihad untuk mempertahankan
makut-maksut tertentu yag sesuai dengn hawa nafsu. Kedua : menetapkan makna
–makna alquran berdasarkan pada pengetahuan bahasa dengan tidak memperhatikan
apa yang di maksutkan dari kalimat-kalimat itu oleh syara’ sendiri dan tidak
memperhatikan perpautan ayat-ayat satu sama lainnya
Pada
akhirnya al-ghazali menetapkan bahwa untuk memahami alquran kita tidak boleh
berpegang pada naqal semata-mata, sebagaimana juga tidak boleh berpegang pada
ijtihad semata-mata . jalan yang lurus ialah mempergunkan naql yang diterima
dari nabi jika naqal itu dapat di peroleh dan mempergunakan akala dalam
menggali makna-makna dalam alqur-an . tak dapat diragukan bahwa tidaklah akal
mencapai sesuatu kenyataan alam, melainkan lebih dahulu telah diisyaratkan oleh
al-quran.
Dengan
demikian maka kita tidak boleh menafsirkan al-quran dengan mempergunakan
ijtihad dalam ayat-ayatb atau lafadz-lafadz yang tidak
diterangkan oleh nabi . adapun menafsirkan ayat-ayat yang atau lafadz-lafadz
yang sudah diterankan oleh nash nabi, makakita tidak boleh mempergunakan
ijtihad[12].
Perlu di
sebutkan disini syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufasir yaitu :
a.
Mempunyai
i’tikad yang lurus dan benar serta selalu menetapin ketentan-ketentuan agama
b.
Ikhlas
semata-mata bermaksut untuk ber-taqarrub kepada allahdalam setiap amalnya
c.
Selalu
bersandar dan berpedoman kepada riwayat yang bersumber dari rasulullah SAW. Dan
para sahabatnya serta menjauhi bid’ah
d.
Menguasai
15 ilmu yang di perlukan oleh seorang mufasir, yakni ilmu-ilmu bahasa arab,
nahwu sharaf, isytiqaq, ma’ani, badi’, bayan, qiraat, usuluddin, usul al fiqh,
asbab an nuzul, an nasikh wa mansukh, fiqih, hadis, dan ilmu mauhibah.
Diantara
lima hal yang harus ditinggalkan atau dilarang bagi seorang mufasir ialah
sebagai berikut :
a.
Memaksa
untuk cepat- cepat merasa paham maksut ayat tanpa lebih dahulu memenuhi
syarat-syarat seorang mufasir
b.
Terlalu
jauh memasuki hal-hal yang merupakan monopoli allah untuk mengetahuinya
c.
Melakukann
kegiatan berdasarkan hawa nafsu dan mencari keuntungan diri sendiri
d.
Menafsirkan
ayat-ayat untuk mendukung pendapat madzhab yang fasid
e.
Memastikan
bahwa tafsirannya itulah satu-satunya yang sesuai dengan maksut suatu ayat
tanpa membedakan dalil
Syarat-syarat
yang diterapkan oleh jumhur mufasirin bagi tafsir birra’yi seperti yang
dikemukakan di atas, tampaknya merupakan jalan keluar dari perbedaan pendapat
yang terjadi diantara para ulama’. Yakni disatu pihak yang membolehkan
penafsiran birra’yi dengan dalilnya antara lain bahwa alqur’an sendiri yang
mendorong untuk menggunakan ijtihad atau ra’yu dalam merenungkan arti ayat-ayat
dan memahami pokok-pokok kandungannya.
Sementara itu ulama yang menolak pemakaian
tafsir birra’yi adalah untuk menghindari terjadinya penafsiran alquran oleh
orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang ilmu bahasa arab dan
pokok-pokok agama. Atau penafsiran ayat-ayat alquran hanya untuk mendukung hawa
nafsunya saja. Sedangkan pinsip-pinsip yang di sepakati oleh kalangan sunni dan
mu’tazilah dalam penafsiran alquran adalah :
a.
Penafsiran
harus sesuai degan pengertian bahasa
b.
Ayat
yang mutasyabih ditafsirkan oleh ayat yang muhkam
c.
Ketika
menafsirkan suatu ayat tidak mengabaikan riwayat
d.
Tidak
taasub pada golongan
Ad-Dzahabi
mengemukakan beberapa sumber yang harus dijadikan rujukan oleh seorang mufasir
yang menggunakan atau ra’yu-nya agar tafsirnya dapat diterima. Sumber-sumber
yang dimaksud ialah :
a.
Al-quran
Dalam menafsirkn suatu
ayat ,mufasir yang bersangkutan harus lebih dahulu menguasai dan meneliti
ayat-ayat lain yang berkaitan, terdapat ayat sebagai mubayyin atau mufasir ,
bagi ayat-ayat yang sedang di teliti. Inilah yang dimaksut dengan menafsirkan
ayat dengan ayat
b.
Hadits
rasulullah saw, yang ada kaitannya dengan ayat yang akan di tafsirkan. Ketika
ditemukan hadits sahih yang menafsirkan ayat tersebut, hadit itulah yang harus
di pegang, bukan ijthad mufasir
c.
Qaul-al
sahabi, yakni riwayat sahih yang bersumber dari sahabat tentang penafsiran
suatu ayat yang harus di pegang sebelum menggunakan ra’yu mufasir
d.
Kaiah-kaidah
yang telah ditetapkan dalam bahasa arab. Tidak diperbolehkan menafsirkan dengan
ijtihad yang bertentangan dengan kaidah-kaidah bahasa arab
e.
Penafsiran
dengan ijtihad tidak boleh menyimpang dari makna yang dimaksut dan dikehendaki
oleh susunan kata-kata dalam ayat
tersebut
Dengan
demikian, dapat disebutkan bahwa ciri tafsir birra’yi yang terpuji dan dapat
diterima tidak pernah mengabaikan bahan-bahan yang ditetapkan secara riwayat ,
sebaliknya tafir birra’yi yang tercela ditolak karena mengabaikan bahan-bahan
riwayat tersebut[13]
Berikut
diantara kitab-kitab tafsir birra’yi yaitu :
1.
Tafsir
yang disusun oleh abdurrahmn bin kaisan al-sham
2.
Tafsir
yang disusun oleh abu ali al- juba’i
3.
Tafsir
yang disusun oleh abdul jabbar
4.
Tafsir
al-kasysyaf yang di susun oleh az-zamakhshary
5.
Tafsir
mafatihul ghaibi yang di susun oleh fakhruddin ar-razi
6.
Tafsir
ibnu faurak
7.
Tafsir
madarikut tanzil wa haqaiqut ta’wil disusun oleh an-nasafy
8.
Tafsir
l- khazin disusun oleh alauddin ali al-baghdady
9.
Tafsir
al bahrul muhith, disusun oleh abu hayyan
10. Tafsir anwarut tanzil wa asrarut taw’il disusun oleh
l-baidlawi
11. Tafsir jalalain di susun oleh jalaluddin al mahali dan
jalaluddin as suyuthi
12. Tafsir irsyadu aqlis salim disusun oleh abu su’ud
al-im’ady
13. Tafsir as-sirajul munir disusun oleh al-khatib
asy-syarbini
14. Tafsir ruhul ma’ni disusun oleh syihabuddin al-alusy
15. Tafsir fathul bayan disusun oleh shiddiq hasn khan [14]
Kesimpulan
Tafsir
merupakan ilmu yang membahas tentang cara mengucapkan lafadh – lafadh
Al-qur’an, makna – makna yang ditunjukkannya dan hukum – hukumnya, baik ketika
berdiri sendiri atau tersusun, serta makna – makna yang dimungkinkannya ketika
dalam keadaan tersusun.
Para ulama telah melakukan
pembagian tentang kitab – kitab karangan menyangkut al – Qur’an dan kitab – kitab
yang metode dan madzhab penulisannya berbeda – beda menjadi empat macam metode,
yaitu tafsir Tahlily, tafsir Ijmaly, tafsir Muqaran, tafsir Maudlu’y.
Tafsir
bil Ma’tsur dan tafsir bi Ra’yi merupakan salah satu penafsiran yang
menggunakan metode Tahlily. Metode Tahlily adalah suatu tafsir yang mengkaji
ayat – ayat al-Qur’an dari segala segi dan maknanya. Metode tahlily merupakan
metode yang digunakan oleh para ulama terdahulu.
Tafsir
bil Ma’tsur yaitu corak tafsir al-Qur’an yang dalam operasional penafsirannya
mengutip dari ayat – ayat al-Qur’an itu sendiri dan dari hadits – hadits Nabi
Muhammad SAW, pendapat sahabat dan tabi’in. Pengertian lain tafsir bil Ma’tsur, yaitu penafsiran (penjelasan) ayat
al-Qur’an terhadap ayat al-Qur’an yang lain,
ada kesinambungan antara ayat sebelum dan sesudah, juga surat sebelum
dan sesudah.
Pengertian dari tafsir
birra’yi ialah suatu tafsir dimana
mufassir dalam menjelaskan makna ayat bedasarkan pemahaman dan istinbatnya
dengan akal semata mata yakni bukan pemahaman yang sesuai dengan ruh syari’ah,
sedangan hukum mengikuti tafsir birra’yi yang semata mata akal adalah haram
Daftar Rujukan
Rakhmat,Jalaluddin.Tafsir bil Ma’tsur Pesan
Moral al-Qur’an. Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Syafe’I,Rachmat.2006.Pengantar Ilmu Tafsir,
Bandung : Pustaka
Sirojuddin Iqbal, Mansyuri.1989. Pengantar
Ilmu Tafsir,Bandung : Angkasa Bandung
Ilyas, Hamim. 2004 . Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta : TERAS
Goldziher, Ignaz.2003. Madzhab Tafsir, Yogyakarta: eLSAQ Press
Al-‘Aridi, Ali Hasan. 1994. Sejarah dan
Metodologi Tafsir, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Catatan Revisi:
1.
Tidak
ditemukan adanya indikasi copy-paste.
2.
Hilangkan
pembahasan tentang metode tafsir (tahlili, ijmali, muqaran, maudhu’i) karena
itu akan dibahas oleh kelompok yang lain.
3.
Pendahuluannya
tolong dirubah, karena apa yang ditulis tidak seperti pendahuluan yang ada
dalam artikel ilmiah. Diskusi mengenai makna tafsir secara etimologis dan
terminologis bisa ditaruh dalam sub-judul tersendiri.
4.
Dalam
tulisan ilmiah, penulisan gelar ditiadakan, baik dalam tulisan inti, footnote,
maupun daftar pustaka.
5.
Pelajari
lagi cara penulisan footnote dan disamakan, misalnya mengenai judul buku yang
harus dicetak miring.
6.
Berikan
contoh yang jelas dan terstruktur tafsir bil ma’tsur (al-Qur’an dengan
al-Qur’an, dengan sunnah Nabi, dengan pendapat sahabat, dan dengan pendapat
tabi’in), juga contoh tafsir bil ra’yi (mahmud dan madzmum).
7.
Identitas
kitab tafsir dan pengarangnya tolong dijelaskan secara singkat.
8.
Makalah
ini terlihat tidak terstruktur rapi, sehingga pembaca sulit memahaminya. Jadi
tolong dirapikan agar sistematis.
Tolong
makalah ini diperbaiki dari sisi sistematika penulisannya, agar menjadi makalah
yang berkualitas. Semangat!!!
[1] Dr. Hamim Ilyas, M.A, Studi Kitab
Tafsir, TERAS, Yogyakarta, 2004, hlm 14-15
[2] Ibid, hlm. 42
[3] Dr. Usman, M.Ag Ilmu tafsir, TERAS, Yogyakarta
: 2009, hlm. 25
[4]Drs. Mansyuri Sirojuddin
Iqbal dan Drs. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 114
[5] Dr. Ali Hasan Al-‘Aridi, Sejarah dan
Metodologi Tafsir, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 47
[6] Jalaluddin Rkhmat, Tafsir bil Ma’tsur
Pesan Moral al-Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994, hlm.5-6
[7] Ignaz Goldziher, Madzhab tafsir, eLSAQ
Press, Yogyakarta, 2003, hlm.98-99.
[8]Prof.Dr.H.Rachmat
Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 242.
[9]Prof.Dr.H.Rachmat
Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 243.
[10]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali,
Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 115.
[11]Prof.Dr.H.Rachmat
Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 244
[12]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali,
Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 117.
[13]Prof.Dr.H.Rachmat
Syafe’i MA, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka , Bandung, 2006, hlm 245
[14]Drs. Mansyuri Sirojuddin Iqbal dan Drs. Fudlali,
Pengantar Ilmu Tafsir, Angkasa Bandung, Bandung, 1989, hlm 119
Tidak ada komentar:
Posting Komentar