Senin, 03 Oktober 2016

Fiqih pada Masa Pertumbuhan (PAI E Semester III)




 “Fiqih pada Masa Pertumbuhan”


  1. Ahmad Sholikul Amrullah            (15110176)
  2. Naa’imatul Hidayah                       (15110177)
  3. Fasta Bichul Choirinisa     (15110178)







Abstract
Islam is a universal religion and rahmatan lil ‘alamin, for anyone, wherever they are and at any time. Religion Islam is the only religion that can adapt in any condicitions without losing the basic values (substansial) of the noble Islamic teachings. That’s what causes why Islam can be valid forever and wherever (Al-Islamu haqqun likulli wa meal times), not destroyed inedible times are always dynamic and demanding change.
Speaking at today’s Islam can not be separated from the history of the birth and the growth of Islam in the past. The emergence of Islam around the 6 M can not be separated from the social conditions of Arab society at that time that we are familiar with jahiliyah period.The social conditions of the Arabs that causes why Islamic law is more likely to be “hard” and “firm” especially in matters jinayah (criminal law). So that we can say that the social conditions of a society or a nation will affect the laws in force in the community.
Keyword : The growth of Islamic law at the time of the prophet Muhammad Saw, Khulafa Rasyidin, and Tabi’in.















PEMBAHASAN
A. PERTUMBUHAN FIQIH PADA MASA NABI MUHAMMAD SAW.
            Pemerintahan di kota Makkah dijalankan oleh suatu majlis yang beranggotakan kepala-kepala keluarga yang dipilih berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka di dalam masyarakat. Banyak di antara mereka yang mempunyai kekayaan yang dipinjamkan kepada orang-orang yang memerlukannya dengan bunga yang tinggi.Transaksi perdagangan uang yang demikian merupakan pemerasan manusia manusia atas manusia, yang kemudian dikualifikasikan sebagai riba dan dilarang oleh Allah.Solidaritas para pedagang kaya ini sangat besar dan kesetiakawanan mereka ditunjukkan dalam menentang nabi Muhammad (kelak) ketika menyampaikan wahyu Allah Makkah.[1]
            Sejak dahulu sampai sekarang kedudukan kota Makkah sangat penting dalam kehidupan manusia. Disamping ia terletak di persimpangan jalan perdagangan transito disana terletak rumah suci yang disebut Baitullah atau Ka’bah yang sengaja dibuat untuk tempat manusia tawaf : berjalan mengelilingi ka’bah dengan tubuh bagian kiri berada di arah Ka’bah. Di sana juga terdapat makam Ibrahim yaitu batu tempat nabi Ibrahim meletakkan kakinya ketika membangun Ka’bah itu dahulu. Disalah satu sudut ka’bah terletak batu yang disebut Hajar al aswad, ( batu hitam ). Tempat manusia mulai melakukan tawaf.Tidak jauh dari ka’bah terdapat air zam-zam yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan nabi ismail dan ibunya siti hajar.Tidak jauh dari ka’bah terdapat dua bukit yang bernama safa dan marwah.
            Disinilah lahir seorang bayi yang oleh ibunya Aminah diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam bahasa arab berarti: terpuji atau (yang di puji (Hazairin,1955).
            Muhammad (nama yang popular kemudian) lahir pada bulan Rabiul awwal tahun gajah. Para penulis sejarah nabi Muhammad menyebut kelahiran pada tanggal 12 Rabiul awwal (bulan ketiga tahun hijrah) bersamaan dengan tanggal 20 Appril tahun 571 Masehi. Tapi ada pula yang menyamakan bulan Rabiul awwal dengan bulan agustus, tahun 570 M (Muhammad Husain Haikal,1979:55)
            Setelah ibunya meninggal dunia beberapa tahun kemudian, Muhammad dipelihara kakeknya Abdul Muthallib dan setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad diasuh pamannya Abi thalib. Muhammad berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia hidup dikalangan mereka yang berkuasa di Makkah. Pada usia 25 tahun, beliau kawin dengan seorang janda kaya bernama khadijah yang umurnya lima belas tahun lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan. Khadijah tertarik dengan Muhammad karena sifatnya yang mulia, jujur, dan dapat di percaya.
            Ketika berumur 40 tahun, pada tahun 610 M, beliau menerima wahyu pertama.Pada waktu itu pula beliau ditetapkan tuhan jadi atau utusan.Tiga tahun kemudia, malaikat jibril membawa perintah Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterima kepada umat manusia.Dalam melaksanakan tugasnya sebagai rasul menyampaikan wahyu ilahi, beliau dimusuhi, dianiaya dan dikejar oleh kaumnya sendiri.Atas petunjuk Allah beliau pindah dari Makkah ke Yathrib, sebelum hujrah, beliau isra’ dan mi’raj pada tanggal 27 rajjab.Isra’ artinya perjalanan malam dari masjidil haram di Makkah ke Masjidil Aqsa di Yerussalam (Palestina).Miraj artinya naik ke langit sampai ke sidrat al- muntaha dengan kendaraan buraq.Pada peristiwa unik ini beliau menerima perintah shalat.Di madinah beliau menyebarkan wahyu-wahyu tuhan yang isinya agak berbeda dengan wahyu-wahyu yang beliau terima di Makkah. Beliau wafat dalam usia 63 tahun, pada tahun 632 M setelah berhasil melakukan tugasnya sebagai rasullulah selama 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.
            Menurut Hart, seorang non muslim ahli astronomi dan sejarah, di antara sekian banyak orang besar yang pernah hidup di dunia, yang paling terkemuka adalah Nabi Muhammad karena hanya dialah manusia dalam sejarah yang paling berhasil menyebarkan ajaran agama dan membina kehidupan dunia (he was the only man in history who was supremely successful on both the religious and secular levels).
            Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Muhammad. Dan ini membawa konsekuensi bahwa umat islam harus mengikuti firman-firman tuhan yang terdapat dalam al-quran dan sunnah nabi Muhammad yang di catat dalam kitab-kitab hadis. Melalui wahyu Allah menegaskan posisi Nabi Muhammad dalam rangka agama islam, dengan kata-kata antara lain sebagai berikut:
1.    Kami mengutus Muhammad untuk menjadi rahmad bagi alam semesta (QS 21:107).
2.    Hai orang-orang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah rasulnya (QS 4:59).
3.    Barangsiapa yang taat kepada rasul berarti dia taat kepada Allah (QS 4:80).
4.    Pada diri Rasullulah terdapat suri teladan yang baik (QS 33:21).
5.    Apa yang di bawanya ikutilah dan apa yang dilarangnya, jauhilah (QS 59:7).
Yang  dibawa oleh nabi Muhammad adalah wahyu-wahyu tuhan. Diantara wahyu-wahyu itu terdapat ayat-ayat hukum menurut mengenai soal-soal ibadah jumlahnya 140 dalam Al-quran.Ayat-ayat ibadah itu berkenaan dengan soal shalat, zakat, puasa dan haji.Sedangkan ayat hukum mengenai muamalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat yang terdapat dalam Al-Quran. Ayat –ayat hukum ini tersebar di dalam berbagai surat sehingga untuk memahaminya secara baik di perlukan suatu metode khusus. Menurut almarhum prof.Hazairin (Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia) metode terbaik adalah metode otentik yakni perbandingan langsung antara semua ayat yang ada sangkut pautnya satu dengan yang lain dengan persoalan pokok masalah yang di bicarakan, misalnya ayat-ayat mengenai perkawinan, warisan dan sebagainya harus di hubungkan sedemikian rupa walaupun letak dan jaraknya jauh di dalam konteks ayat yang bersangkutan. Dengan mempergunakan metode ini di sebut metode tematik atau madhui.Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an itu menurut penelitian Profesor. Abdul Wahab Kalaf seperti yang telah disinggung pada halaman 79 dan 81 diatas adalah sebagai berikut[2]:
1.    Hukum keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan sebanyak 70 ayat:
Ø Mengenai hukum perkawinan misalnya terdapat dalam Al-Quran surah 2 ayat 221, 230, 232,235; surah 4 ayat 3, 4, 22, 23, 24, dan 25, 129; surah 24 ayat 32, 33; surah 60 ayat 10 dan 11; surah 65 ayat 1 dan 2.
Ø Mengenai hukum kewarisan terdapat dalam beberapa ayat Al-Quran, misalnya dalam surah 2 ayat 180 dan 240, surah 4 ayat 7 sampai dengan 12, 32, 33 dan 176, surah 33 ayat 6.
2.    Mengenai hukum perdata lainnya, diantaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70 ayat, contohnya dalam surah 2 ayat 280, 282, 283: surah 8 ayat 56 dan 58.
3.    Mengenai hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 275, 282, 284 : surah 3 ayat 130; surah 4 ayat 29; surah 83 ayat 1-3.
4.    Hukum pidana terdiri dari 30 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 178 dan 179;surah 4 ayat 92 dan 93; surah 5 ayat 33, 38 dan 39; surah 24 ayat 2; surah 42 ayat 40.
5.    Mengenai hukum tata Negara ada 10 ayat antara lain dalam surah 3 ayat 110, 159; surah 3 ayat 104; surah 4 ayat 59; surah 42 ayat 38.
6.    Mengenai hukum internasional terdapat 25 ayat anatara lain dalam surah 2 ayat 190 sampai dengan 193; surah 8 ayat 39 dan 41; surah 9 ayat 29 dan 123; surah 22, ayat 39 dan 40.
7.    Mengenai hukum acara dan peradilan terdapat 13 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 282; surah 4 ayat 65 dan 105; surah 5 ayat 8; surah 38 ayat 26.
Ayat-ayat hukum ini pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja.Menurut penelitia Abdul Wahab Khallaf hadis hukum berjumlah kurang lebih 4500 buah.Dengan mempergunakan Al-Quran sebagai dasar.Kalau kita perhatikan dan bandingkan ayat Quran yang turun di Makkah dengan ayat Quran yabg turun di Madinah dengan mudah kita membedakan ayat-ayat tersebut. Cirinya antara lain adalah:
Ø Ayat-ayat yang turun di Makkah terdapat di bagian belakang Al-Quran, sedangkan ayat yang turun di Madinah terdapat di bagian depan Al-Quran.
Ø Ayat-ayat yang turun di Makkah didahului dengan ya ayyuhan nas sedang ayat yang turun di Madinah didahului dengan kata ya ayyuhal lazi na amanu.
Ø Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah kalimatnya pendek-pendek, penuh dengan sanjak-sanjak, dengan irama kata yang kuat sekali, sedang ayat-ayat yang diturunkan di Madinah kalimatnya panjang-panjang, dan bahasanya tenang, dalam bahasa hukum.
Ø Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah berisi soal-soal iman, keesaan Tuhan, hari kiamat dan akhlak, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah umumnya memuat soal-soal hukum, sosial, politik, dan soal-soal kemasyarakatan lainnya.
Demikianlah, dengan mempergunakan Al-Quran dan as Sunnah setiap masalah yang timbul dalam masa Nabi Muhammad dapat diatasi.Kalau dilihat ayat-ayat hukum yang turun di Madinah disebabkan karena ada masalah-masalah tertentu, yang ditanyakan jawabannya kepada Nabi.Sebab-sebab turunnya ayat disebut juga dengan Asbabun nuzul.Buku ini banyak ditulis dalam bahasa Arab, yang dilakukan oleh K.H. Qamaruddin Shaleh, diterbitkan oleh penerbit Diponegoro Bandung (1975). Pada penerbit yang sama dapat juga diperoleh kumpulan ayat tentang hukum islam. Tentang turunnya ayat-ayat hukum dapat dikemukakan dalam peristiwa berikut (sebagai contoh):
1.    Peristiwa Mursid Ghanawi. Mursid ghanawi adalah utusan Nabi Muhammad dari Madinah ke Makkah. Sesampai di kota itu dilamar oleh seorang wanita kaya dan cantik. Tatkala wanita itu Mursid, mursid tidak segera memberikan putusan untuk menerima atau menolak karena ada masalah yakni wanita itu belum memeluk agama islam. Setelah ia kembali ke Madinah ditanyakan pendapat Nabi mengenai masalah itu. Nabi Muhammad tidak segera memberikan jawaban. Pada saat demikian turunlah ayat hukum yang kini terdapat pada surat 2 ( Al-Baqarah ) ayat 221 yang terjemahannya berbunyi :
“Janganlah kamu ( Mursid ) mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman, sesungguhnya seorang budak belian yang muslim lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia mempesonakan kamu. Jangan pula wanita muslim kawin dengan pria musyrik kendatipun ia mengagumkan kamu. Seorang budak muslim lebih baik dari pria musyrik, sebab mereka itu mengajak kamu ke neraka, sedang Allah memanggil kamu masuk ke dalam surga dan keampunan.”
Ayat ini sangat fundamental bagi prkawinan antar agama  dan, pada waktu membicarakan RUU perkawinan tahun 1973 dahulu, pernah menjadi masalah di dalam DPR kita, sebab ada orang yang menganggap ayat ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi, kelompok muslim, pada waktu itu diwakili PPP, menganggap ayat hukum itu tidak mungkin diubah oleh manusia. Karena alasan hak asasi pun tak mungkin seorang wanita islam kawin dengan pria yang bukan muslim. Dalam agama islam, kewajiban lebih dahulu harus dilaksanakan. Dan adalah kewajiban asasi manusia, dalam hal ini wanita, melaksanakan kewajiban asasinya lebih dahulu menaati larangan Allah, sebelum menuntut hak asasinya.
2.    Kasus janda sa’ad bin rabi. Janda sa’ada bin Rabi’ mempunyai 2 anak perempuan pada waktu sa’ad gugur dalam peperangan membantu Nabi Muhammad melawan orang Quraisy Makkah. Menurut adat Arab, kalau seorang laki-laki meninggalkan janda serta anak perempuan, janda dan anak perempuan tidak mendapat bagian apa-apa dari harta peninggalan suami/ayahnya. Janda sa’ad mengadukan nasibnya kepada Nabi dan menanyakan harta yang ditinggalkan suaminya, sebab menurut hukum warisan adat pada waktu itu, harta peninggalan sa’ad jatuh pada saudara laki-lakinya . Tatkala nabi Muhammad berpikir memecahkan masalah yang sulit tersebut turunlah ayat mengenai warisan yang intinya antara lain :
“Berikan 2/3 (dari harta peninggalan sa’ad itu) kepada anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya dan sisanya berikan kepada saudara-saudaranya (asabah)”
Ayat ini merupakan bagian dari ayat kewarisan yang kini terdapat di dalam QS. An-Nisa’: 11 dan 12. Dengan turunnya ayat itu berubahlah antara lain kedudukan janda dan anak-anak perempuan dalam pembagian harta peninggalan suami dan ayahnya. Para wanita yang selama ini hanya mempunya kewajiban dalam keluarga kini diimbangi dengan haka yang diperolehnya dari harta peninggalan suami dan ayahnya. Dengan mengemukakan 2 contoh tersebut di atas dapatlah dilihat bagaimana proses turunnya ayat-ayat hukum yang sekarang menjadi sendi dasar hukum perkawinan dan kewarisan islam.
Sebagai contoh ayat hukum yang memberi jawaban terhadap pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang kepada Nabi Muhammad, dapat dikemukakan QS. An-Nisa’: 176 yang bunyi terjemahannya sebagai berikut :
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang arti kalalah, jawablah yang dimaksud dengan kalalah adalah orang ( baik-baik laki atau wanita ) yang mati tidak meninggalkan anak (walad)”.
Selain dari Nabi Muhammad memecahkan masalah yang timbul dalam masyarakat melalui wahyu, beliau juga memutuskan sesuatu berdasarkan pendapat beliau sendiri dengan sunnahnya, yang sekarang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis.
B. PERTUMBUHAN FIQIH PADA MASA KHULAFA RASYIDIN (632M-662M)
            Dengan wafatnya Nabi Muhammad, berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada di Mekkah maupun setelah hijrah ke Madinah.Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan meninggalnya Rasullulah itu.
            Kedudukan Nabi Muhammad sebagai utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut khalifah, suatu kata yang “dipinjam” dari Al-quran (surat 2:30). Di dalam Al-quran selain dalam surat Al-Baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah yang tersebar dalam sebelas ayat.ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini. Dan sebagai khalifah (wakil) tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan segala sifat-sifat tuhan ke dalam kenyataan hidup dan kehidupan dan wajib mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkannya.Manusia wajib melakukan tugas untuk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah ditentukan oleh tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.
            Kata Khalifah yang terdapat dalam Al –quran, terutama kata khalifah yang terdapat dalam ayat yang berhubungan dengan pengangkatan Adam menjadi khalifah (Tuhan) dimuka bumi ini (Q.S 2;30) dipinjam dan dijadikan gelar bagi orang yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat islam dan kepala Negara.
            Abu al-Hasan al Mawadi (disingkat al-Mawardi) dalam bukunya al-ahkam as-sultaniyah (Hukum Pemerintahan) menyatakan bahwa tugas utama seprang khalifah, adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Untuk itu ia mempunyai beberapa hak tertentu. Ia berhak memaklumkan perang dan membangun tentara untuk menjaga keamanan dan batas Negara. Ia harus menegakkan keadilan dan kebenaran. Ia harus berusaha agar semua lembaga-lembaga Negara memisahkan antara yang baik dengan yang tidak baik, melarang hal-hal tercela, menurut ketentuan Al-Quran. Ia mengawasi jalannya pemerintahan dan menarik pajak sebagai sumber keuangan Negara. Ia menjadi hakim yang mengadili sengketa hukum, menghukum mereka yang melanggar hukum dan melarang segala segala macam penindasan. Iamensahkan soal-soal akidah dan hukum yang disepakati oleh ahli-ahli hukum. Ia tidak berhak mencampuri kekuasaan legislative. Dengan kekuasaan eksekutif yang dimilikinya ia melakukan sentralisasi untuk menjaga persatuan umat.
            Pengankatan seorang khalifah dapat terjadi 1,dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus Abu bakar,atau dengan 2, penunjukan khalifah sebelumnya sebagaimana kasus umar. Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih berat dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bay’at) dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.
            Demikianlah, untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri. (sahabat artinya :teman, rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang yang hidup semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi Muhammad dalam menyebarluaskan ajaran islam).
            Masa pemerintahan khulafaur rasyidin ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum islam karena dijadikan model atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum islam di zamana mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan hukum islam pada waktu itu.
1.   Abu Bakar Asshiddiq Beliau adalah ahli Hukum yang tinggi.
Ia memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk islam, dia terkenal sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam. Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama islam yang kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan karena hubungan yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian yang dalam tentang jiwa islam lebih dari yang lain. Karena itu pula pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali ( Hazarin,1955).
            Dalam masa pemerintahan Abu Bakar ini pula, sebagaimana telah diuraikan dahulu,atas anjuran umar, di bentuk panitia khusus yang yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat quran yang telah ditulis di zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma, tulang –tulang unta, dan sebagainya dan menghimpunnya kedalam satu naskah. Panitia ini dipimpin oleh zaid bin tsabit salah seorang pencatat wahyu dan sekertaris Nabi Muhammad ketika beliau masih hidup.Sebelum diserahkan kepada Abu bakar, himpunan naskah al-quran diuji dahulu ketetapan pecatatannya dengan hafalan para penghafal Al-Quran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah abu bakar meninggal dunia, naskah disimpan oleh umar bin khattab dan sesudah khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Quran itu disimpan dan dipelihara oleh Hafsah janda Nabi Muhammad (Hazairin,1995). Demikianlah, di masa Abu bakar ini telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum islam selanjutnya.
2.   Setelah Abu Bakar meninggal dunia Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah II.
Pemerintah umar bin khattab berlangsung 634 sampai 644 M sebagai sahabat nabi. Umar turut aktif dalam penyiaran agama islam. Ia melanjutkan usaha abu bakar meluaskan daerah islam sampai ke palestina, sirya, irak, dan Persia di sebelah utara serta ke mesir bagian barat daya. Ia menetapkan tahun islam yang terkenal dengan tahun hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah).Karena usianya yang relative masih muda dibandingkan dengan abu bakar, umar lama memegang pemerintahan.Sifatnya keras dan sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha bertindak adil melaksanakan hukum.Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan ayat-ayat al quran berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata pada suatu waktu tertentu.Ia mengikuti abu bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, khalifah umar terkenal keberaniannya dalam menerapkan hukum yang terdapat dalam Al-Quran puntuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan hukum.
            Banyak tindakan umar di lapangan hukum, namun yang akan dikemukakan adalah contoh-contoh ijtihad umar yang telah disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni
1.    Talak tiga yang diucapkan sekaligus disuatu tempat suatu ketika, dianggap sebagai talak yang tidak mungkin rujuk kembali sebagai suami istri, kecuali salah satu pihak (dalam hal ini bekas) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum ditentukan oleh umar berdasarkan kepentingan para wanita, karena di zamannya banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga kepada istrinya, untuk dapat kawin lagi dengan wanita lain.
2.    Al-quran telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf di dalamnya, yaitu (diantaranya ) orang yang baru memeluk agama islam yang seyoginya dilindungi karena masih lemah imannya dank arena ia memeluk agama islam hubungan dengan keluarganyan ( mungkin ) terputus.
3.    Menurut Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman potong tangan. Di masa pemerintahan umar terjadi kelaparan dalam masyarakat semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu, ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Quran tidak dilaksanakan oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan keadaan ( darurat ) dan kemaslahatan (jiwa) masyarakat.
4.    Di dalam Al-Quran (QS 5:5 ) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi wanita ahlul kitab (wanita yahudi Nasrani ). Akan tetapi khalifah umar melarang perkawinan campuran yang demikian, untuk melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan ( rahasia ) Negara (H.M.Rasjidi:1973)
Demikianlah beberapa contoh ijtihad Khalifah umar bin khatab. Di samping itu, umar juga mengemukakan pokok-pokok pikirannya mengenai peradilan seperti yang tercantum dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Ayari yang menjadi hakim ( kadi ) di kuffah, irak. Isinya antara lain sebagai berikut ( MS.Madkur,1982:43-46) sesungguhnya tugas untuk memutuskan suatu perkara adalah kewajiban seorang hakim.
Bila suatu perkara yang dimajukan kepada anda tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam Al-Quran, dan tidak pula terdapat ketentuan dalam sunnah nabi, bandingkanlah (qiyaskan) perkara serupa sebelumnya. Apabila dalam kasus tang sama telah ada penyelesainnya, maka pergunakanlah kaidah hukum yang telah ada itu untuk menyelesaikan kasusu tersebut. Pilihlah diantaranya yang menurut pendapat anda yang paling di ridhai Allah, yang lebih sesuai serta lebih mendekati kebenaran.Hindari diri dari perasaan marah dan ragu-ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti hati orang-orang yang berperkara.
Demikian cuplikan surat khalifah Umar bin Khattab kepada salah seorang hakim di masa pemerintahannya. Isi dan makna surat itu, agaknya, masih tetap actual dan berlaku juga untuk hakim zaman sekarang.
3.   Panita pemilihan Khalifah, memilih Utsman menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar bin Khattab.
Pemerintahan usman bin affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai tahun 656 masehi. Ketika dipilih, usman telah tua (70 tahun) dengan kepribadian yang agak lemah.Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang disekitarnya untuk mengejar keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan.Hal ini dimanfaatkan teruta oleh keluarganya sendiri dari golongan umayah.Banyak pangkat-pangkat tinggi dan jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya.Pelaksanaan pemerintahan seperti ini, dalam bahasa orang sekarang, disebut nepotisme (kecenderungan untuk mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara).Banyak juga jasa-jasa usman, namun yang relevan untuk diuraikan di sini adalah tindakannya untuk menyalin dan membuat Al-Quran standar, yang di dalam kepustakaan kadang-kadang disebut dengan kodifikasi Al-Quran atau peresmian Al-Quran.
Standardisasi Al-Quran perlu diadakan, karena, pada masa pemerintahannya wilayah islam telah sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan dialek yang tidak sama.perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan arti. Berita tentang ini sampai pada usman.Ia lalu membentuk panitia yang dipimpin oleh zaid bin tsabit untuk menyalin naskah Al-Quran yang telah dihimpun di masa khalifah Abu bakar dahulu, di simpan hafsah, janda nabi Muhammad. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah Al-Quran kedalam lima mushaf. Untuk dijadikan standar dalam penulisan dan bacaan Quran di wilayah kekuasaan islam pada waktu itu. Semua naskah yang dikirim ke ibukota propinsi ( Makkah, kairo, Damaskus, Baghdad) itu disampan dalam masjid besarnya masing-masing seperti umat islam Indonesia menyimpann Al-Quran pusakanya di masjid baitur Rahim dalam kompleks istana merdeka Jakarta
4.   Setelah Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah ke-4.
Ia memerintahkan tahun 656 sampai tahun 662 m. sejak kecil diasuh dan dididik oleh nabi Muhammad, dan karena hubungannya rapat dengan nabi. Selain itu menantu dan keponakan nabi Muhammad.
Semasa pemerintahannya Ali tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hukum islam, karena keadaan Negara tidak stabil. Disana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam tubuh umat islam yang bermuara pada perang udara yang kemudian menimbulkan kelompok-kelompok, diantaranya dua kelompok besar umat islam sekarang ini yakni ahlus sunanah wal jama’ah (sunni), yaitu kelompok jamaah umat islam yang berpegang pada teguh pada sunnah nabidan syiah yaitu pengikutAli bin Abi thalib. Perpecahan antara kedua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai politik yaitu siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan kekeluargaan.Sumber hukum islam du masa khulafa rasyidin ini adalah Al-Quran, as-sunnah, ijma’, sahabat dan Qiyas.
            Prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh sahabat pada masa ini adalah melalui penelusuran mereka terhadap Al-Quran dan Hadis.Bila dari kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri, baik dengan jalan qiyas maupun pedoman kepada kemaslahatan orang banyak.
            Selain itu pergolakan politik pada masa Ali ibn Abi Thalib yang berakibat terpecahnya umat Islam kepada golongan khawarij, syiah, al-sunnah, juga cukup berpengaruh kepada terjadinya perbedaan pendapat itu.Kelompok khawarij tidak mau menerima hadits riwayat Utsman, Ali, Mu’awiyah atau siapa saja yang sealiran dengan tiga sahabat utama tersebut.Tidak hanya riwayat hadits, tetapi pendapat dan fatwa-fatwa mereka ditolak oleh kelompok khawarij. Di lain pihak, kelompok syiah menolak hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat selain Ali beserta ahlul bait dan imam-imam mereka. Dengan sikap keberagaman seperti masing-masing kelompok diatas dengan sendirinya mempunyai aliran hukum dalam Islam.Sedangkan kalangan ahlissunnah wal jama’ah dapat menerima hadits shohih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dipercaya tanpa membeda-bedakan kelompok mana mereka berasal.Kelompok yang disebut terakhir ini juga bersedia mengambil fatwa atau pendapat secara umum.[3]
C.        PERKEMBANGAN FIQIH PADA MASA TABI’IN
Setelah masa kepemimpinan empat khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayyah.Pemerintahan ini didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang sebelumnya menjadi Gubernur Damaskus.
Fitnah besarang dihadapi umat Islam pada akhir pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi Thalib adalah tahkim yaitu perdamaian antara pihak ‘Ali dan Mu’awiyah yang kedudukannnya berbeda; ‘Ali sebagai khalifah, sedangkan Mu’awiyah sebagai Gubernur.
Dalam menghadapi tawaran damai dari pihak Mu’awiyah, pengikut ‘Ali terbagi dua: satu kelompok yang mendesak ‘Ali untuk menerima tawaran damai tersebut, dan sekelompok lagi menolaknya.
Karena menganggap bahwa damai adalah jalan yang terbaik, ‘Ali menerima tawaran itu dengan menjadikan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai utusan, sedangkan utusan dari pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn ‘Ash, secara politik, perdamaianm dimenangkan oleh pihak Mu’awiyah, dan ‘Ali mnenolak hukum tahkim tersebut.
Pendukung ‘Ali yang tidak menyetujui tahkim membelot dan tidak lagi mendukung ‘Ali.Mereka inilah yang dalam sejarah dikenal sebagai Khawarij.Kelompok ini memusuhi sahabat yang terlibat tahkim, bahkan memandang kafir terhadap orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim.Kelompok inilah, menurut mu’arikh, yang merencanakan pembunuhan terhadap ‘Ali dan Mu’awiyah.Namun, hanya ‘Ali yang berhasil mereka bunuh.
Terbunuhnya ‘Ali memberikan “berkah” kepada Mu’awiyah ia dengan mudah dapat mengambil alih kepemimpinan umat islam. Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah, sistem kepemimpinan khilafah diganti dengan sistem kerajaan. Ketika itu umat islam,paling tidak, terpecah menjadi tiga kelompok: penentangan ‘Ali dan Mu’awiyah, (Khawarij), pengikut setia ‘Ali (Syi’ah), dan jumhur. Fase ini merupakan awal zaman tabi’in.
Berikut adalah faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam, sumber-sumbernya, pengaruh ahli ra’yu dan ahli hadits terhadap hukum islam, pengaruh golongan politik terhadap hukum, dan pemikiran hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan ulama’ jumhur.[4]
A.        FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Dalam fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Di antara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.     Perluasan Wilayah
Dalam sejarah telah diketahui, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman Khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota Negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke Barat sehingga dapat menguasai, Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai Samudra Atlantik.Penaklukan ke Spanyol dilakukanpada zaman pemerintahan Walid ibn ‘Abd al-Malik (705-715 M).
      Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, sahabat dicegah keluar dari Madinah agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan dan dapat bermusyawarah bersama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum yang penting.Pada zaman Utsman, sahabat diperbolehkan keluar dari Madinah (Kamil Musa, 1989: 112).Oleh karena itu, Utsman mendapat kesulitan dalam mengumpulkan mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah penting.Setelah itu, sahabat tersebar di berbagai daerah baeru yang dikuasai oleh Islam hingga murid-muridnya (tabi’in) juga tersebar di berbagai daerah.
      Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif  ini merupakan petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam, karena semakin luas wilayah yang dikuasai berartinsemakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalaan hukum yang harus diselesaikan.
2.     Perbedaan penggunaan ra’yu
Pada zaman tabi’in, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits (madrasah al-hadits) dan aliran ra’yu (madrasah al-ra’y) atau al-madrasah al-Madinah dan madrasah al-Kufah.
      Aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu disbanding dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu mendororng perkembangan ikhtilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.
B.   SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM ZAMAN TABI’IN
Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan yamng telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut:
1.      Mencari ketentuannya dalam al-Qur’an.
2.      Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah.
3.      Apabila tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
4.      Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar; 1991,81)
Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum Islam pada periode ini adalah (1) Al-Qur’an, (2) Sunnah, (3) ijmak dan pendapat sahabat, (4) ijitihad.
C.    PENGARUH AHLI HADITS DAN AHLI RA’YU TERHADAP HUKUM
Madrasah Madinahadalah ulama’ yang banyak berpegang teguh pada Sunnah dan kaya dalam pemeliharaan Sunnah.Oleh karena itu, salah seorang imam, yaitu Imam Malik, berpendapat bahwa ijmak penduduk Madinah adalah hujjah yang wajib diikuti. (‘Umar Sulaimanm al-‘Asyqar, 1991:84-5). Madrasah Madinah merupakan rujukanm utama aliran Maliki yang didirikan oleh Imam Malik.
      Madrasah Ra’yu atau Madrasah al-Kufah adalah sekelompok ulama’ yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan ra’yu disbanding dengan Madrasah Madinah.Sejak dibebaskan untuk keluar dari Madinah, banyak sahabat yang tinggal di Kufah. Di antara mereka adalah (1) Ibnu Mas;ud, (2) Abu Musa Al-Asy’ari, (3) Sa;ad ibn Abi Waqash, (4) ‘Amar ibn Yasir, (5) Khuzaifah ibn Al-Yaman, dan (6) Anas ibn Malik. Jumlah mereka terus bertambah terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman ibn ‘Affan hingga mencapai tiga ratus orang.
      Atas jasa sejumlah sahabat yang tinggal di Kufah, sebagian penduduk Kufah berhasil dibina menjadi ulama’ dan meneruskan gagasan aliran ra’yu.Telah diketahui pada zaman tabi’in atau Dinasti Bani Umayyah, ulama’ terbagi menjadi dua aliran, yaitu ulama’ yang tetap tinggal di Madinah dan akhirnya terbentuk aliran Madinah, kemudian sahabat yang keluar dari Madinah menetap di Kufah.Mereka menyebarkan hukum Islam yang pada akhirnya terbentuk hukum Islam corak Kufah.Ulama’ Madinah sangat hati-hati dalam penggunaan ra’yu, sedangkan ulama’ Kufah relatif lebih longgar dalam penggunaan ra’yu.
D.   PEMIKIRAN HUKUM ISLAM KHAWARIJ, SYI’AH, DAN JUMHUR
Pada awalnya tiga aliran ini adalah aliran politik, karena sumber ikhtilaf mereka adalah masalah kepemimpinan umat Islam.Dalam perjalanannya, Khwarij berubah menjadi aliran kalam.Sedangkan Syi’ah memperkuat eksisitensinya dalam aliran politik dengan membangun berbagai doktrin dan ajarannya.Adapun jumhur tetap setia mendukung pemerintahan Quraisy.
      Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani (t. th: 114-38)- Khawarij terbagi menjadi banyak kelompok (sekte); di antaranya sekte Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdah, dan al-Ajaridah. Karena aliran teologi (kalam), pemikiran Khawarij lebih dikenal dalam bidang kalam.
1.      Pemikiran Hukum Islam Khawarij
Beberapa gagasan Khawarij tentang hukum Islam, di antaranya sebagai berikut.
      Pertama, umat Islam yang tergolong jumhur atau Sunni percaya bahwa kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy (Shahih al-Bukhari, t.th., VIII: 5 dan Shahih Muslim, t.th., II:120-1). Sebaaliknya menurut Khawarij, pemimpin umat Islam tidak mesti keturunan Quraisy; setiap orang yang beragama Islam berhak menjadi pemimpin, apakah ia berasal dari kalangan merdeka maupun kalangan budak (Syahratani, t.th:116). Karena pendapat di atas merupakan gagasan baru, terutama dari sudut waktu, al-Syahratani menyebutnya sebagai gagasan bid’ah.
      Kedua, dalam al-Qur’an terdapat sankasi bagi pelaku zina, yaitu dicambuk (al-jild) seratus kali (an-Nur [24]:2). Dan dalam sunnah ditentukan pula bahwa sanksi bagi pelaku zina adalah rajam. Dalam hadits riwayat Muslim dari Yahya ibn Yahya al-Tamimi, Hasyim, Manshur, al-Hasan Hathan ibn ‘Abd Allah al-Ruqasyi, dari ‘Ubadah ibn ‘al-Shamit disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Ambillah dariku, ambillah dariku. Allah telah memberimu jalan kepada perempuan; sanksi zina laki-laki (yang belum menikah)dan perempuan (yang belum menikah) adalah seratun kali pukulan serta diasingkan selama satu tahun; sanksi zina bagi laki-laki yang sudah menikah dan sanksi zina bagi perempuan yang sudah menikah adalah seratus kali pukulan dan dirajam.”
      Khawarij tidak menerima dan tidak mau melaksanakan tambahan sanksi bagi pelaku zina yang terdapat dalam hadits di atas.Mereka berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku zina adalah seratus kali pukulan, tidak ditambah dengan rajam.Sebab, sanksi pukulan ditentukan dalam al-Qur’an, sedangkanm rajam ditetapkan dalam Sunnah. (al-Syahratani t.th:121)
      Ketiga, dalam al-Qur’an terdapat wanita yang haram dinikah. Di antara yang haram dinikah adalah anak perempuan, banatukum (an-Nisa’(4): 23-4). Menurut jumhur ulama’, kata banat tidak terbatas pada anak tetapi juga mencakup cucu dan terus dalam garis keturunan ke bawah. Dengan demikian jumhur berpendapat bahwa menikah dengan cucu (terus ke bawah) adalah haram.
      Khawarij (sekte al-Maimuniyyah) berpendapat bahwa menikahi cucu perempuan adalah boleh (halal atau tidak haram), sebab yang diharamkan dalam al-Qur’an adalah anak; cucu tidak diharamkan.Adapun contoh-contoh gagasan Khawarij lainnya.[5]
2.      Pemikiran Hukum Islam Syi’ah
Syi’ah adalah kelompok umat Islam yang berpihak pada Ahl al-Bait.Menurut keyakinan mereka, yang berhak menjadi pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, karena beliau adalah anggota keluarga (laki-laki) Nabi yang terdekat, anak paman Nabi.Dalam perjalanan sejarahnya, Syi’ah terpecah menjadi beberapa sekte.
      Secara umum, sumber hukum dalam pandangan Syi’ah adalah sebagai berikut:
a.       Hadits shahih (tradisi yang otentik), yaitu hadits yang kebenarannya dapay diusut kembali dan sampai kepada imam (a’immah ma’shum) yang diceritakan oleh seorang imam adil yng kejujurannya disepakati oleh imam-imam ahli hadits.
b.      Hadits hasan (tradisi yang baik), yaitu hadits yang kebenarannya seperti hadits shahih, yakni dapat dikembalikan kepada imam ma’shum, tetapi diceritakan oleh seorang imam yang terhormat dan ahli-ahli hadits tidak menyebutnya tsiqah, adil, dapat dipercaya, dipuji oleh ahli hadits dengan kata-kata lain.
c.       Hadits musak (“kuat”), yaitu hadits yang driwayatkan oleh orang-orang yang dikenal tisiqah, adil, benar dan jujur oleh ahli sejarah, sekalipun beberapa atau semua perawinya bukan pengikut Ali r. a.
d.      Hadits dla’if (lemah), yaitu hadits yang tidak mencapai atau memenuhi syarat-syarat hadits musak.[6]
Kalangan syi’ah juga mempunyai beberapa aliran fiqih yang berbeda dengan kaum muslimin, di antaranya sebagai berikut:
a.       Membolehkan nikah mut’ah dengan dalil firman Allah SWT: “…Maka istri-istri yang mana yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban…” an-Nisa’[4] ayat:24. Dan kita tahu bahwa mayoritas ulama’ Islam mengharamkan nikah ini dan menilai ayat ini ditujukan untuk nikah yang sudah diketahui umum sesuai dengan susunan redaksi ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang akad yang sudah biasa dilakukan, setelah sebelumnya ayat membahas tentang wanita yang haram dinikahi. Dan mahar dinamakan upah juga disebutkan dalam ayat lain, firman Allah SWT: Maka nikahilah wanita-wanita itu dengan izin walinya dan berikanlah upah mereka, yaitu mahar, artinya mahar mereka dan jumhur ulama’ mengharamkan nikah mut’ah karena Rasulullah sudah mengharamkannya berdasarkan riwayat terakhir dari beliau.
b.       Orang Syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan firman Allah SWT: dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) wanita-wanita yang kafir, dan bertentangan dengan pendapat jumhur ulama’ yang membolehkannya berdasarkan firman Allah SWT: dan makanan orang-orang yang diberi kitab adalah halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari kaum mu’minat dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.
c.       Dalam pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang Syiah tidak mengambilnya kecuali hadits-hadits yang datang dari periwayatan ahli bait dan para pengikutnya. Adapun ijma’, mereka menolaknya sebagai sumber hukum bagi perundang-undangan Islam karena mengamalkan ijma’, sama artinya dengan mengabaikan pendapat sahabat yang lain atau tabi’in.
d.       Mayoritas orang Syiah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak dikaji dengan pendapat pribadi, namun diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta para imam yang ma’shum.

3.      Pemikiran Hukum Jumhur
Yaitu orang-orang yang bersikap abstain (apolitis) dan dan tidak ikut-ikutan terjun ke dalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan ‘Ali dan para lawan politiknya.[7]
      Pemikiran jumhur ulama’ secara tersirat sudah dapat dilihat dalam pembahasan mengenai pemikiran hukum Khawarij dan Syiah.
      Di antara pemikiran hukum Islam jumhur adalah sebagai berikut:
a.       Penolakan terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi jumhur, nikah mut’ah haram dilakukan. Dalam hal ini, pendapat jumhur sejalan dengan pendapat ‘Umar ibn Khathab r. a.
b.      Nabi Muhammad Saw tidak dapat mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang menyatakan bahwa beliau bersabda: “kami seluruh para nabi tidak mewariskan (harta); harta yang kutinggalkan adalah shadaqah.” (Ahmad Amin, III, t.th:261)
Dalam hal ini, jumhur ulama’ sependapat dengan Abu Bakar.
c.       Jumlah perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah empat orang (penafsiran terhadap surat an-Nisa’ [4] ayat 3, dan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.[8]

Revisi:
1.      Tidak ditemukan indikasi copy-paste.
2.      Format makalah ini belum seperti artikel dalam jurnal yang menjadi patokan. Mohon untuk disesuaikan.
3.      Penulisan footnote tolong diperbaiki lagi, misalnya penulis tidak usah menggunakan gelar dan judul buku dibuat miring (italic).
4.      Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr. Ustadz, dll) ditiadakan.
5.      Makalah ini belum sempurna, tidak ada pendahuluan, kesimpulan dan daftar pustaka.
6.      Penulisan abstrak dan keywords diperbaiki lagi.
7.      Pembahasan fiqih pada masa Nabi, dibagi menjadi dua yakni pada masa Makkah dan Madinah. Ini belum saya lihat dalam makalah. Coba dibaca bukunya Mun’im Sirry, Sejarah dan Pengantar Fiqih Islam.
8.      Makalah ini tidak referensial, perujukan harus lebih diperlengkap. Perujukan memakai footnote, bukan yang lain.
9.      Makalah ini mirip seperti makalah sejarah peradaban Islam, sehingga mohon untuk lebih diberikan analisis lebih pada aspek fiqihnya, bukan pada kajian sejarahnya. Mencantumkan sejarah itu boleh, tetapi bukan menjadi yang utama. Dalam makalah ini, saya melihatnya lain.
10.  Dua kubu, antara ahli hadis dengan ahli ra’yi tolong diberikan keterangan yang lebih banyak karena itulah yang nantinya menjadi titik tolak kemajuan di bidang fiqiih. Juga dipaparkan adanya beberapa Imam Mujtahid pada masa ini. 

Makalah ini perlu perbaikan lebih. Tolong diperhatikan beberapa saran revisi yang telah saya tulis sebelumnya. Semangat!!!!!!


[1]  Prof. H. Mohammad Daud Ali: Hukum Islam, 1990. Hlm.157.

[2] Prof. H. Mohammad Daud Ali: Hukum Islam, 1990. Hlm.163.
[3] Prof. Dr. Alaiddin Koto, M. A:  Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004. Hlm.16.
[4] Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.53-54.
[5] Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.54-60.
[6] Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.60-61.
[7]Dr. Rasyad Hasan Khalil: Tarikh Tasyri’, 2009.Hlm. 83.
[8] Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm. 64.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar