“Fiqih pada Masa Pertumbuhan”
- Ahmad Sholikul Amrullah (15110176)
- Naa’imatul Hidayah (15110177)
- Fasta Bichul Choirinisa (15110178)
E-mail: Fastabichul10@gmail.com
Abstract
Islam
is a universal religion and rahmatan lil ‘alamin, for anyone, wherever they are
and at any time. Religion Islam is the only religion that can adapt in any
condicitions without losing the basic values (substansial) of the noble Islamic
teachings. That’s what causes why Islam can be valid forever and wherever
(Al-Islamu haqqun likulli wa meal times), not destroyed inedible times are
always dynamic and demanding change.
Speaking
at today’s Islam can not be separated from the history of the birth and the growth
of Islam in the past. The emergence of Islam around the 6 M can not be
separated from the social conditions of Arab society at that time that we are
familiar with jahiliyah period.The social conditions of the Arabs that causes
why Islamic law is more likely to be “hard” and “firm” especially in matters
jinayah (criminal law). So that we can say that the social conditions of a
society or a nation will affect the laws in force in the community.
Keyword
: The growth of Islamic law at the time of the prophet Muhammad Saw, Khulafa
Rasyidin, and Tabi’in.
PEMBAHASAN
A. PERTUMBUHAN FIQIH PADA MASA NABI
MUHAMMAD SAW.
Pemerintahan di kota Makkah
dijalankan oleh suatu majlis yang beranggotakan kepala-kepala keluarga yang
dipilih berdasarkan kekayaan dan pengaruh mereka di dalam masyarakat. Banyak di
antara mereka yang mempunyai kekayaan yang dipinjamkan kepada orang-orang yang
memerlukannya dengan bunga yang tinggi.Transaksi perdagangan uang yang demikian
merupakan pemerasan manusia manusia atas manusia, yang kemudian
dikualifikasikan sebagai riba dan dilarang oleh Allah.Solidaritas para pedagang
kaya ini sangat besar dan kesetiakawanan mereka ditunjukkan dalam menentang
nabi Muhammad (kelak) ketika menyampaikan wahyu Allah Makkah.[1]
Sejak dahulu sampai sekarang
kedudukan kota Makkah sangat penting dalam kehidupan manusia. Disamping ia
terletak di persimpangan jalan perdagangan transito disana terletak rumah suci
yang disebut Baitullah atau Ka’bah yang sengaja dibuat untuk tempat manusia
tawaf : berjalan mengelilingi ka’bah dengan tubuh bagian kiri berada di arah
Ka’bah. Di sana juga terdapat makam Ibrahim yaitu batu tempat nabi Ibrahim
meletakkan kakinya ketika membangun Ka’bah itu dahulu. Disalah satu sudut
ka’bah terletak batu yang disebut Hajar al aswad, ( batu hitam ). Tempat manusia mulai melakukan tawaf.Tidak jauh
dari ka’bah terdapat air zam-zam yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan
nabi ismail dan ibunya siti hajar.Tidak jauh dari ka’bah terdapat dua bukit
yang bernama safa dan marwah.
Disinilah lahir seorang bayi yang
oleh ibunya Aminah diberi nama Ahmad, dan oleh kakeknya Abdul Muthalib
dinamakan Muhammad. Kedua nama ini berasal dari satu akar kata yang di dalam
bahasa arab berarti: terpuji atau (yang di puji (Hazairin,1955).
Muhammad (nama yang popular
kemudian) lahir pada bulan Rabiul awwal tahun gajah. Para penulis sejarah nabi
Muhammad menyebut kelahiran pada tanggal 12 Rabiul awwal (bulan ketiga tahun
hijrah) bersamaan dengan tanggal 20 Appril tahun 571 Masehi. Tapi ada pula yang
menyamakan bulan Rabiul awwal dengan bulan agustus, tahun 570 M (Muhammad
Husain Haikal,1979:55)
Setelah ibunya meninggal dunia
beberapa tahun kemudian, Muhammad dipelihara kakeknya Abdul Muthallib dan
setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad diasuh pamannya Abi thalib. Muhammad
berasal dari keluarga terhormat tetapi tidak kaya dan sebagai seorang pemuda ia
hidup dikalangan mereka yang berkuasa di Makkah. Pada usia 25 tahun, beliau
kawin dengan seorang janda kaya bernama khadijah yang umurnya lima belas tahun
lebih tua dari beliau dan masih mempunyai hubungan kekerabatan. Khadijah
tertarik dengan Muhammad karena sifatnya yang mulia, jujur, dan dapat di percaya.
Ketika berumur 40 tahun, pada tahun
610 M, beliau menerima wahyu pertama.Pada waktu itu pula beliau ditetapkan
tuhan jadi atau utusan.Tiga tahun kemudia, malaikat jibril membawa perintah
Allah untuk menyebarluaskan wahyu yang diterima kepada umat manusia.Dalam
melaksanakan tugasnya sebagai rasul menyampaikan wahyu ilahi, beliau dimusuhi,
dianiaya dan dikejar oleh kaumnya sendiri.Atas petunjuk Allah beliau pindah
dari Makkah ke Yathrib, sebelum hujrah, beliau isra’ dan mi’raj pada tanggal 27
rajjab.Isra’ artinya perjalanan malam dari masjidil haram di Makkah ke Masjidil
Aqsa di Yerussalam (Palestina).Miraj artinya naik ke langit sampai ke sidrat
al- muntaha dengan kendaraan buraq.Pada peristiwa unik ini beliau menerima
perintah shalat.Di madinah beliau menyebarkan wahyu-wahyu tuhan yang isinya
agak berbeda dengan wahyu-wahyu yang beliau terima di Makkah. Beliau wafat
dalam usia 63 tahun, pada tahun 632 M setelah berhasil melakukan tugasnya
sebagai rasullulah selama 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.
Menurut Hart, seorang non muslim
ahli astronomi dan sejarah, di antara sekian banyak orang besar yang pernah
hidup di dunia, yang paling terkemuka adalah Nabi Muhammad karena hanya dialah
manusia dalam sejarah yang paling berhasil menyebarkan ajaran agama dan membina
kehidupan dunia (he was the only man in
history who was supremely successful on both the religious and secular levels).
Pengakuan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi seorang muslim tanpa
pengakuan terhadap kerasulan Muhammad. Dan ini membawa konsekuensi bahwa umat
islam harus mengikuti firman-firman tuhan yang terdapat dalam al-quran dan
sunnah nabi Muhammad yang di catat dalam kitab-kitab hadis. Melalui wahyu Allah
menegaskan posisi Nabi Muhammad dalam rangka agama islam, dengan kata-kata
antara lain sebagai berikut:
1.
Kami
mengutus Muhammad untuk menjadi rahmad bagi alam semesta (QS 21:107).
2.
Hai
orang-orang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah rasulnya (QS 4:59).
3.
Barangsiapa
yang taat kepada rasul berarti dia taat kepada Allah (QS 4:80).
4.
Pada
diri Rasullulah terdapat suri teladan yang baik (QS 33:21).
5.
Apa
yang di bawanya ikutilah dan apa yang dilarangnya, jauhilah (QS 59:7).
Yang dibawa oleh nabi Muhammad adalah wahyu-wahyu
tuhan. Diantara wahyu-wahyu itu terdapat ayat-ayat hukum menurut mengenai
soal-soal ibadah jumlahnya 140 dalam Al-quran.Ayat-ayat ibadah itu berkenaan
dengan soal shalat, zakat, puasa dan haji.Sedangkan ayat hukum mengenai
muamalah jumlahnya 228, lebih kurang 3% dari jumlah seluruh ayat yang terdapat
dalam Al-Quran. Ayat –ayat hukum ini tersebar di dalam berbagai surat sehingga
untuk memahaminya secara baik di perlukan suatu metode khusus. Menurut almarhum
prof.Hazairin (Guru Besar Hukum Adat dan Hukum Islam Universitas Indonesia)
metode terbaik adalah metode otentik yakni perbandingan langsung antara semua
ayat yang ada sangkut pautnya satu dengan yang lain dengan persoalan pokok
masalah yang di bicarakan, misalnya ayat-ayat mengenai perkawinan, warisan dan
sebagainya harus di hubungkan sedemikian rupa walaupun letak dan jaraknya jauh
di dalam konteks ayat yang bersangkutan. Dengan mempergunakan metode ini di
sebut metode tematik atau madhui.Klasifikasi 228 ayat hukum yang terdapat dalam
Al-Qur’an itu menurut penelitian Profesor. Abdul Wahab Kalaf seperti yang telah
disinggung pada halaman 79 dan 81 diatas adalah sebagai berikut[2]:
1.
Hukum
keluarga yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan sebanyak 70
ayat:
Ø Mengenai hukum perkawinan misalnya terdapat dalam Al-Quran
surah 2 ayat 221, 230, 232,235; surah 4 ayat 3, 4, 22, 23, 24, dan 25, 129;
surah 24 ayat 32, 33; surah 60 ayat 10 dan 11; surah 65 ayat 1 dan 2.
Ø Mengenai hukum kewarisan terdapat dalam beberapa ayat
Al-Quran, misalnya dalam surah 2 ayat 180 dan 240, surah 4 ayat 7 sampai dengan
12, 32, 33 dan 176, surah 33 ayat 6.
2.
Mengenai
hukum perdata lainnya, diantaranya hukum perjanjian (perikatan) terdapat 70
ayat, contohnya dalam surah 2 ayat 280, 282, 283: surah 8 ayat 56 dan 58.
3.
Mengenai
hukum ekonomi keuangan termasuk hukum dagang terdiri dari 10 ayat antara lain
dalam surah 2 ayat 275, 282, 284 : surah 3 ayat 130; surah 4 ayat 29; surah 83
ayat 1-3.
4.
Hukum
pidana terdiri dari 30 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 178 dan 179;surah 4
ayat 92 dan 93; surah 5 ayat 33, 38 dan 39; surah 24 ayat 2; surah 42 ayat 40.
5.
Mengenai
hukum tata Negara ada 10 ayat antara lain dalam surah 3 ayat 110, 159; surah 3
ayat 104; surah 4 ayat 59; surah 42 ayat 38.
6.
Mengenai
hukum internasional terdapat 25 ayat anatara lain dalam surah 2 ayat 190 sampai
dengan 193; surah 8 ayat 39 dan 41; surah 9 ayat 29 dan 123; surah 22, ayat 39
dan 40.
7.
Mengenai
hukum acara dan peradilan terdapat 13 ayat antara lain dalam surah 2 ayat 282;
surah 4 ayat 65 dan 105; surah 5 ayat 8; surah 38 ayat 26.
Ayat-ayat
hukum ini pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja.Menurut penelitia Abdul
Wahab Khallaf hadis hukum berjumlah kurang lebih 4500 buah.Dengan mempergunakan
Al-Quran sebagai dasar.Kalau kita perhatikan dan bandingkan ayat Quran yang
turun di Makkah dengan ayat Quran yabg turun di Madinah dengan mudah kita
membedakan ayat-ayat tersebut. Cirinya antara lain adalah:
Ø Ayat-ayat yang turun di Makkah terdapat di bagian belakang
Al-Quran, sedangkan ayat yang turun di Madinah terdapat di bagian depan
Al-Quran.
Ø Ayat-ayat yang turun di Makkah didahului dengan ya ayyuhan nas sedang ayat yang turun di
Madinah didahului dengan kata ya ayyuhal lazi na amanu.
Ø Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah kalimatnya
pendek-pendek, penuh dengan sanjak-sanjak, dengan irama kata yang kuat sekali,
sedang ayat-ayat yang diturunkan di Madinah kalimatnya panjang-panjang, dan
bahasanya tenang, dalam bahasa hukum.
Ø Ayat-ayat yang diturunkan di Makkah berisi soal-soal iman,
keesaan Tuhan, hari kiamat dan akhlak, sedang ayat-ayat yang turun di Madinah
umumnya memuat soal-soal hukum, sosial, politik, dan soal-soal kemasyarakatan
lainnya.
Demikianlah,
dengan mempergunakan Al-Quran dan as Sunnah setiap masalah yang timbul dalam
masa Nabi Muhammad dapat diatasi.Kalau dilihat ayat-ayat hukum yang turun di
Madinah disebabkan karena ada masalah-masalah tertentu, yang ditanyakan
jawabannya kepada Nabi.Sebab-sebab turunnya ayat disebut juga dengan Asbabun
nuzul.Buku ini banyak ditulis dalam bahasa Arab, yang dilakukan oleh K.H.
Qamaruddin Shaleh, diterbitkan oleh penerbit Diponegoro Bandung (1975). Pada
penerbit yang sama dapat juga diperoleh kumpulan ayat tentang hukum islam.
Tentang turunnya ayat-ayat hukum dapat dikemukakan dalam peristiwa berikut
(sebagai contoh):
1.
Peristiwa
Mursid Ghanawi. Mursid ghanawi adalah utusan Nabi Muhammad dari Madinah ke
Makkah. Sesampai di kota itu dilamar oleh seorang wanita kaya dan cantik.
Tatkala wanita itu Mursid, mursid tidak segera memberikan putusan untuk
menerima atau menolak karena ada masalah yakni wanita itu belum memeluk agama
islam. Setelah ia kembali ke Madinah ditanyakan pendapat Nabi mengenai masalah
itu. Nabi Muhammad tidak segera memberikan jawaban. Pada saat demikian turunlah
ayat hukum yang kini terdapat pada surat 2 ( Al-Baqarah ) ayat 221 yang
terjemahannya berbunyi :
“Janganlah kamu ( Mursid )
mengawini wanita musyrik sebelum ia beriman, sesungguhnya seorang budak belian
yang muslim lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia mempesonakan kamu.
Jangan pula wanita muslim kawin dengan pria musyrik kendatipun ia mengagumkan
kamu. Seorang budak muslim lebih baik dari pria musyrik, sebab mereka itu
mengajak kamu ke neraka, sedang Allah memanggil kamu masuk ke dalam surga dan
keampunan.”
Ayat ini sangat fundamental bagi prkawinan antar agama dan, pada waktu membicarakan RUU perkawinan
tahun 1973 dahulu, pernah menjadi masalah di dalam DPR kita, sebab ada orang
yang menganggap ayat ini bertentangan dengan hak asasi manusia. Akan tetapi,
kelompok muslim, pada waktu itu diwakili PPP, menganggap ayat hukum itu tidak
mungkin diubah oleh manusia. Karena alasan hak asasi pun tak mungkin seorang
wanita islam kawin dengan pria yang bukan muslim. Dalam agama islam, kewajiban
lebih dahulu harus dilaksanakan. Dan adalah kewajiban asasi manusia, dalam hal
ini wanita, melaksanakan kewajiban asasinya lebih dahulu menaati larangan
Allah, sebelum menuntut hak asasinya.
2.
Kasus
janda sa’ad bin rabi. Janda sa’ada bin Rabi’ mempunyai 2 anak perempuan pada
waktu sa’ad gugur dalam peperangan membantu Nabi Muhammad melawan orang Quraisy
Makkah. Menurut adat Arab, kalau seorang laki-laki meninggalkan janda serta
anak perempuan, janda dan anak perempuan tidak mendapat bagian apa-apa dari
harta peninggalan suami/ayahnya. Janda sa’ad mengadukan nasibnya kepada Nabi
dan menanyakan harta yang ditinggalkan suaminya, sebab menurut hukum warisan
adat pada waktu itu, harta peninggalan sa’ad jatuh pada saudara laki-lakinya .
Tatkala nabi Muhammad berpikir memecahkan masalah yang sulit tersebut turunlah
ayat mengenai warisan yang intinya antara lain :
“Berikan
2/3 (dari harta peninggalan sa’ad itu) kepada anak-anaknya, 1/8 untuk jandanya dan
sisanya berikan kepada saudara-saudaranya (asabah)”
Ayat ini merupakan bagian dari ayat kewarisan yang kini
terdapat di dalam QS. An-Nisa’: 11 dan 12. Dengan turunnya ayat itu berubahlah
antara lain kedudukan janda dan anak-anak perempuan dalam pembagian harta
peninggalan suami dan ayahnya. Para wanita yang selama ini hanya mempunya
kewajiban dalam keluarga kini diimbangi dengan haka yang diperolehnya dari
harta peninggalan suami dan ayahnya. Dengan mengemukakan 2 contoh tersebut di
atas dapatlah dilihat bagaimana proses turunnya ayat-ayat hukum yang sekarang
menjadi sendi dasar hukum perkawinan dan kewarisan islam.
Sebagai contoh ayat hukum yang memberi jawaban terhadap
pertanyaan yang dikemukakan oleh seseorang kepada Nabi Muhammad, dapat
dikemukakan QS. An-Nisa’: 176 yang bunyi terjemahannya sebagai berikut :
“Mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang arti kalalah, jawablah yang dimaksud dengan kalalah adalah
orang ( baik-baik laki atau wanita ) yang mati tidak meninggalkan anak (walad)”.
Selain dari Nabi Muhammad memecahkan masalah yang timbul
dalam masyarakat melalui wahyu, beliau juga memutuskan sesuatu berdasarkan
pendapat beliau sendiri dengan sunnahnya, yang sekarang telah dibukukan dalam
kitab-kitab hadis.
B. PERTUMBUHAN FIQIH PADA MASA KHULAFA
RASYIDIN (632M-662M)
Dengan wafatnya Nabi Muhammad,
berhentilah wahyu yang turun selama 22 tahun 2 bulan 22 hari yang beliau terima
melalui malaikat jibril baik waktu beliau masih berada di Mekkah maupun setelah
hijrah ke Madinah.Demikian juga halnya dengan sunnah, berakhir pula dengan
meninggalnya Rasullulah itu.
Kedudukan Nabi Muhammad sebagai
utusan Tuhan tidak mungkin diganti, tetapi tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam dan kepala Negara harus dilanjutkan oleh orang lain. Pengganti
Nabi Muhammad sebagai kepala Negara dan pemimpin umat islam ini disebut
khalifah, suatu kata yang “dipinjam” dari Al-quran (surat 2:30). Di dalam
Al-quran selain dalam surat Al-Baqarah ayat 30 itu terdapat perkataan khalifah
yang tersebar dalam sebelas ayat.ide yang dapat disimpulkan dari ayat-ayat
tersebut adalah bahwa manusia harus mempunyai tujuan hidup menata dunia ini.
Dan sebagai khalifah (wakil) tuhan dibumi ini, manusia harus menerjemahkan
segala sifat-sifat tuhan ke dalam kenyataan hidup dan kehidupan dan wajib
mengatur bumi ini sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkannya.Manusia wajib
melakukan tugas untuk mencapai tujuan hidupnya menurut pola yang telah
ditentukan oleh tuhan dalam ajaran-ajaran-Nya.
Kata Khalifah yang terdapat dalam Al
–quran, terutama kata khalifah yang terdapat dalam ayat yang berhubungan dengan
pengangkatan Adam menjadi khalifah (Tuhan) dimuka bumi ini (Q.S 2;30) dipinjam
dan dijadikan gelar bagi orang yang menggantikan kedudukan Nabi Muhammad
sebagai pemimpin umat islam dan kepala Negara.
Abu al-Hasan al Mawadi (disingkat
al-Mawardi) dalam bukunya al-ahkam
as-sultaniyah (Hukum Pemerintahan) menyatakan bahwa tugas utama seprang
khalifah, adalah menjaga kesatuan umat dan pertahanan Negara. Untuk itu ia
mempunyai beberapa hak tertentu. Ia berhak memaklumkan perang dan membangun
tentara untuk menjaga keamanan dan batas Negara. Ia harus menegakkan keadilan
dan kebenaran. Ia harus berusaha agar semua lembaga-lembaga Negara memisahkan
antara yang baik dengan yang tidak baik, melarang hal-hal tercela, menurut
ketentuan Al-Quran. Ia mengawasi jalannya pemerintahan dan menarik pajak
sebagai sumber keuangan Negara. Ia menjadi hakim yang mengadili sengketa hukum,
menghukum mereka yang melanggar hukum dan melarang segala segala macam
penindasan. Iamensahkan soal-soal akidah dan hukum yang disepakati oleh
ahli-ahli hukum. Ia tidak berhak mencampuri kekuasaan legislative. Dengan
kekuasaan eksekutif yang dimilikinya ia melakukan sentralisasi untuk menjaga
persatuan umat.
Pengankatan seorang khalifah dapat
terjadi 1,dengan persetujuan masyarakat sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Abu bakar,atau dengan 2, penunjukan khalifah sebelumnya sebagaimana kasus umar.
Jika diperlukan pemilihan, dapat dibentuk suatu badan khusus menyelenggarakan
pemilihan itu. Sesudah dipilih, khalifah harus berjanji bahwa ia akan memenuhi
kewajiban yang dipercayakan kepadanya. Ia harus melaksanakan janjinya dengan
setia, sebab tanggung jawab dan kewajibannya sebagai kepala Negara, jauh lebih
berat dari hak-hak istimewa yang ada padanya. Ia mendapat janji setia (bay’at)
dari rakyat atau wakil-wakilnya yang memenuhi syarat.
Demikianlah, untuk menggantikan
kedudukan Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat dan kepala Negara, dipilihlah
seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri.
(sahabat artinya :teman, rekan, kawan. Sahabat nabi adalah orang yang hidup
semasa dengan nabi, menjadi teman atau kawan Nabi Muhammad dalam
menyebarluaskan ajaran islam).
Masa pemerintahan khulafaur rasyidin
ini sangat penting dilihat dari perkembangan hukum islam karena dijadikan model
atau contoh oleh generasi-generasi berikutnya, terutama generasi ahli hukum
islam di zamana mutakhir ini, tentang cara mereka menemukan dan menerapkan
hukum islam pada waktu itu.
1.
Abu
Bakar Asshiddiq Beliau adalah ahli Hukum yang tinggi.
Ia
memerintah dari tahun 632 sampai 634 M. Sebelum masuk islam, dia terkenal
sebagai orang yang jujur dan disegani. Ikut aktif mengembangkan dan menyiarkan islam.
Atas usaha dan seruannya banyak orang-orang terkemuka memeluk agama islam yang
kemudian terkenal sebagai pahlawan-pahlawan islam yang ternama. Dan karena
hubungan yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad, beliau mempunyai pengertian
yang dalam tentang jiwa islam lebih dari yang lain. Karena itu pula
pemilihannya sebagai khalifah pertama adalah tepat sekali ( Hazarin,1955).
Dalam masa pemerintahan Abu Bakar
ini pula, sebagaimana telah diuraikan dahulu,atas anjuran umar, di bentuk
panitia khusus yang yang bertugas mengumpulkan catatan ayat-ayat quran yang
telah ditulis di zaman nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma,
tulang –tulang unta, dan sebagainya dan menghimpunnya kedalam satu naskah.
Panitia ini dipimpin oleh zaid bin tsabit salah seorang pencatat wahyu dan
sekertaris Nabi Muhammad ketika beliau masih hidup.Sebelum diserahkan kepada
Abu bakar, himpunan naskah al-quran diuji dahulu ketetapan pecatatannya dengan
hafalan para penghafal Al-Quran yang selalu ada dari masa ke masa. Setelah abu
bakar meninggal dunia, naskah disimpan oleh umar bin khattab dan sesudah
khalifah II ini meninggal dunia pula, naskah Al-Quran itu disimpan dan
dipelihara oleh Hafsah janda Nabi Muhammad (Hazairin,1995). Demikianlah, di
masa Abu bakar ini telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum islam
selanjutnya.
2.
Setelah
Abu Bakar meninggal dunia Umar menggantikan kedudukannya sebagai Khalifah II.
Pemerintah
umar bin khattab berlangsung 634 sampai 644 M sebagai sahabat nabi. Umar turut
aktif dalam penyiaran agama islam. Ia melanjutkan usaha abu bakar meluaskan
daerah islam sampai ke palestina, sirya, irak, dan Persia di sebelah utara
serta ke mesir bagian barat daya. Ia menetapkan tahun islam yang terkenal
dengan tahun hijriyah berdasarkan peredaran bulan (Qomariyah).Karena usianya yang relative masih muda dibandingkan
dengan abu bakar, umar lama memegang pemerintahan.Sifatnya keras dan
sebagaimana biasanya, orang yang mempunyai sifat keras selalu berusaha
bertindak adil melaksanakan hukum.Terkenal keberaniannya dalam menafsirkan
ayat-ayat al quran berdasarkan keadaan-keadaan yang nyata pada suatu waktu
tertentu.Ia mengikuti abu bakar dalam menemukan hukum. Namun demikian, khalifah
umar terkenal keberaniannya dalam menerapkan hukum yang terdapat dalam Al-Quran
puntuk mengatasi sesuatu masalah yang timbul dalam masyarakat berdasarkan
kemaslahatan atau kepentingan hukum.
Banyak tindakan umar di lapangan
hukum, namun yang akan dikemukakan adalah contoh-contoh ijtihad umar yang telah
disinggung juga dalam pembicaraan yang lalu, yakni
1.
Talak
tiga yang diucapkan sekaligus disuatu tempat suatu ketika, dianggap sebagai
talak yang tidak mungkin rujuk kembali sebagai suami istri, kecuali salah satu
pihak (dalam hal ini bekas) kawin lebih dahulu dengan orang lain. Garis hukum
ditentukan oleh umar berdasarkan kepentingan para wanita, karena di zamannya
banyak pria yang dengan mudah mengucapkan talak tiga kepada istrinya, untuk
dapat kawin lagi dengan wanita lain.
2.
Al-quran
telah menetapkan golongan-golongan yang berhak menerima zakat, termasuk muallaf
di dalamnya, yaitu (diantaranya ) orang yang baru memeluk agama islam yang
seyoginya dilindungi karena masih lemah imannya dank arena ia memeluk agama
islam hubungan dengan keluarganyan ( mungkin ) terputus.
3.
Menurut
Al-Quran surat Al-Maidah (5) ayat 38 orang yang mencuri diancam dengan hukuman
potong tangan. Di masa pemerintahan umar terjadi kelaparan dalam masyarakat
semenanjung Arabia. Dalam keadaan masyarakat ditimpa oleh bahaya kelaparan itu,
ancaman hukuman terhadap pencuri yang disebut dalam Al-Quran tidak dilaksanakan
oleh khalifah umar berdasarkan pertimbangan keadaan ( darurat ) dan
kemaslahatan (jiwa) masyarakat.
4.
Di
dalam Al-Quran (QS 5:5 ) terdapat ketentuan yang membolehkan pria muslim menikahi
wanita ahlul kitab (wanita yahudi
Nasrani ). Akan tetapi khalifah umar melarang perkawinan campuran yang
demikian, untuk melindungi kedudukan wanita islam dan keamanan ( rahasia )
Negara (H.M.Rasjidi:1973)
Demikianlah
beberapa contoh ijtihad Khalifah umar bin khatab. Di samping itu, umar juga
mengemukakan pokok-pokok pikirannya mengenai peradilan seperti yang tercantum
dalam suratnya kepada Abu Musa Al-Ayari yang menjadi hakim ( kadi ) di kuffah,
irak. Isinya antara lain sebagai berikut ( MS.Madkur,1982:43-46) sesungguhnya
tugas untuk memutuskan suatu perkara adalah kewajiban seorang hakim.
Bila
suatu perkara yang dimajukan kepada anda tidak terdapat ketentuan hukumnya
dalam Al-Quran, dan tidak pula terdapat ketentuan dalam sunnah nabi, bandingkanlah
(qiyaskan) perkara serupa sebelumnya.
Apabila dalam kasus tang sama telah ada penyelesainnya, maka pergunakanlah
kaidah hukum yang telah ada itu untuk menyelesaikan kasusu tersebut. Pilihlah
diantaranya yang menurut pendapat anda yang paling di ridhai Allah, yang lebih
sesuai serta lebih mendekati kebenaran.Hindari diri dari perasaan marah dan
ragu-ragu dalam menyelesaikan sesuatu serta jangan menyakiti hati orang-orang
yang berperkara.
Demikian
cuplikan surat khalifah Umar bin Khattab kepada salah seorang hakim di masa
pemerintahannya. Isi dan makna surat itu, agaknya, masih tetap actual dan
berlaku juga untuk hakim zaman sekarang.
3.
Panita
pemilihan Khalifah, memilih Utsman menjadi Khalifah ketiga menggantikan Umar
bin Khattab.
Pemerintahan
usman bin affan ini berlangsung dari tahun 644 sampai tahun 656 masehi. Ketika
dipilih, usman telah tua (70 tahun) dengan kepribadian yang agak
lemah.Kelemahan ini dipergunakan oleh orang-orang disekitarnya untuk mengejar
keuntungan pribadi, kemewahan dan kekayaan.Hal ini dimanfaatkan teruta oleh
keluarganya sendiri dari golongan umayah.Banyak pangkat-pangkat tinggi dan
jabatan-jabatan penting dikuasai oleh familinya.Pelaksanaan pemerintahan
seperti ini, dalam bahasa orang sekarang, disebut nepotisme (kecenderungan untuk
mengutamakan atau menguntungkan sanak saudara).Banyak juga jasa-jasa usman,
namun yang relevan untuk diuraikan di sini adalah tindakannya untuk menyalin
dan membuat Al-Quran standar, yang di dalam kepustakaan kadang-kadang disebut
dengan kodifikasi Al-Quran atau peresmian Al-Quran.
Standardisasi
Al-Quran perlu diadakan, karena, pada masa pemerintahannya wilayah islam telah
sangat luas dan didiami oleh berbagai suku bangsa dengan berbagai bahasa dan
dialek yang tidak sama.perbedaan cara mengucapkan itu menimbulkan perbedaan
arti. Berita tentang ini sampai pada usman.Ia lalu membentuk panitia yang
dipimpin oleh zaid bin tsabit untuk menyalin naskah Al-Quran yang telah
dihimpun di masa khalifah Abu bakar dahulu, di simpan hafsah, janda nabi
Muhammad. Panitia ini bekerja dengan satu disiplin tertentu, menyalin naskah
Al-Quran kedalam lima mushaf. Untuk dijadikan standar dalam penulisan dan
bacaan Quran di wilayah kekuasaan islam pada waktu itu. Semua naskah yang
dikirim ke ibukota propinsi ( Makkah, kairo, Damaskus, Baghdad) itu disampan
dalam masjid besarnya masing-masing seperti umat islam Indonesia menyimpann
Al-Quran pusakanya di masjid baitur Rahim dalam kompleks istana merdeka Jakarta
4.
Setelah
Utsman meninggal dunia, orang-orang terkemuka memilih Ali bin Abi Thalib
menjadi Khalifah ke-4.
Ia
memerintahkan tahun 656 sampai tahun 662 m. sejak kecil diasuh dan dididik oleh
nabi Muhammad, dan karena hubungannya rapat dengan nabi. Selain itu menantu dan
keponakan nabi Muhammad.
Semasa pemerintahannya Ali
tidak banyak dapat berbuat untuk mengembangkan hukum islam, karena keadaan
Negara tidak stabil. Disana timbul bibit-bibit perpecahan yang serius dalam
tubuh umat islam yang bermuara pada perang udara yang kemudian menimbulkan
kelompok-kelompok, diantaranya dua kelompok besar umat islam sekarang ini yakni
ahlus sunanah wal jama’ah (sunni), yaitu kelompok jamaah umat islam yang
berpegang pada teguh pada sunnah nabidan syiah yaitu pengikutAli bin Abi thalib.
Perpecahan antara kedua kelompok ini dimulai dengan perbedaan pendapat mengenai
politik yaitu siapa yang berhak menjadi khalifah, kemudian disusul dengan
masalah pemahaman akidah, pelaksanaan ibadah, sistem hukum dan
kekeluargaan.Sumber hukum islam du masa khulafa rasyidin ini adalah Al-Quran,
as-sunnah, ijma’, sahabat dan Qiyas.
Prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh sahabat pada
masa ini adalah melalui penelusuran mereka terhadap Al-Quran dan Hadis.Bila
dari kedua sumber ini tidak ditemukan ketentuan-ketentuan hukum dari suatu
kasus yang dihadapi, mereka berijtihad sendiri, baik dengan jalan qiyas maupun
pedoman kepada kemaslahatan orang banyak.
Selain itu pergolakan politik pada masa Ali ibn Abi
Thalib yang berakibat terpecahnya umat Islam kepada golongan khawarij, syiah,
al-sunnah, juga cukup berpengaruh kepada terjadinya perbedaan pendapat
itu.Kelompok khawarij tidak mau menerima hadits riwayat Utsman, Ali, Mu’awiyah
atau siapa saja yang sealiran dengan tiga sahabat utama tersebut.Tidak hanya
riwayat hadits, tetapi pendapat dan fatwa-fatwa mereka ditolak oleh kelompok
khawarij. Di lain pihak, kelompok syiah menolak hadits yang diriwayatkan oleh
sahabat-sahabat selain Ali beserta ahlul bait dan imam-imam mereka. Dengan
sikap keberagaman seperti masing-masing kelompok diatas dengan sendirinya
mempunyai aliran hukum dalam Islam.Sedangkan kalangan ahlissunnah wal jama’ah
dapat menerima hadits shohih yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dipercaya
tanpa membeda-bedakan kelompok mana mereka berasal.Kelompok yang disebut
terakhir ini juga bersedia mengambil fatwa atau pendapat secara umum.[3]
C.
PERKEMBANGAN
FIQIH PADA MASA TABI’IN
Setelah
masa kepemimpinan empat khalifah berakhir, fase selanjutnya adalah zaman
tabi’in yang pemerintahannya oleh dipimpin Bani Umayyah.Pemerintahan ini
didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang sebelumnya menjadi Gubernur
Damaskus.
Fitnah
besarang dihadapi umat Islam pada akhir pemerintahan Khalifah Ali ibn Abi
Thalib adalah tahkim yaitu perdamaian
antara pihak ‘Ali dan Mu’awiyah yang kedudukannnya berbeda; ‘Ali sebagai
khalifah, sedangkan Mu’awiyah sebagai Gubernur.
Dalam
menghadapi tawaran damai dari pihak Mu’awiyah, pengikut ‘Ali terbagi dua: satu
kelompok yang mendesak ‘Ali untuk menerima tawaran damai tersebut, dan sekelompok
lagi menolaknya.
Karena
menganggap bahwa damai adalah jalan yang terbaik, ‘Ali menerima tawaran itu
dengan menjadikan Abu Musa Al-Asy’ari sebagai utusan, sedangkan utusan dari
pihak Mu’awiyah adalah ‘Amr ibn ‘Ash, secara politik, perdamaianm dimenangkan
oleh pihak Mu’awiyah, dan ‘Ali mnenolak hukum tahkim tersebut.
Pendukung
‘Ali yang tidak menyetujui tahkim membelot dan tidak lagi mendukung ‘Ali.Mereka
inilah yang dalam sejarah dikenal sebagai Khawarij.Kelompok ini memusuhi
sahabat yang terlibat tahkim, bahkan memandang kafir terhadap orang yang
terlibat dan menyetujui hasil tahkim.Kelompok inilah, menurut mu’arikh, yang merencanakan pembunuhan
terhadap ‘Ali dan Mu’awiyah.Namun, hanya ‘Ali yang berhasil mereka bunuh.
Terbunuhnya
‘Ali memberikan “berkah” kepada Mu’awiyah ia dengan mudah dapat mengambil alih
kepemimpinan umat islam. Pada zaman pemerintahan Bani Umayyah, sistem
kepemimpinan khilafah diganti dengan sistem kerajaan. Ketika itu umat
islam,paling tidak, terpecah menjadi tiga kelompok: penentangan ‘Ali dan
Mu’awiyah, (Khawarij), pengikut setia ‘Ali (Syi’ah), dan jumhur. Fase ini
merupakan awal zaman tabi’in.
Berikut
adalah faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum islam, sumber-sumbernya,
pengaruh ahli ra’yu dan ahli hadits terhadap hukum islam, pengaruh golongan
politik terhadap hukum, dan pemikiran hukum Islam Khawarij, Syi’ah, dan ulama’
jumhur.[4]
A.
FAKTOR-FAKTOR
YANG MENDORONG PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM
Dalam
fase ini, perkembangan hukum Islam ditandai dengan munculnya aliran-aliran
politik yang secara implisit mendorong terbentuknya aliran hukum. Di antara
faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam adalah sebagai berikut:
1.
Perluasan
Wilayah
Dalam
sejarah telah diketahui, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman Khalifah.
Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan
adalah memindahkan ibu kota Negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah
kemudian melakukan ekspansi ke Barat sehingga dapat menguasai, Tunisia,
Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai Samudra Atlantik.Penaklukan ke Spanyol
dilakukanpada zaman pemerintahan Walid ibn ‘Abd al-Malik (705-715 M).
Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, sahabat
dicegah keluar dari Madinah agar tidak menyebarkan hadits secara sembarangan
dan dapat bermusyawarah bersama-sama dalam menghadapi persoalan-persoalan hukum
yang penting.Pada zaman Utsman, sahabat diperbolehkan keluar dari Madinah
(Kamil Musa, 1989: 112).Oleh karena itu, Utsman mendapat kesulitan dalam
mengumpulkan mereka untuk menyelesaikan masalah-masalah penting.Setelah itu,
sahabat tersebar di berbagai daerah baeru yang dikuasai oleh Islam hingga
murid-muridnya (tabi’in) juga
tersebar di berbagai daerah.
Banyaknya daerah baru yang dikuasai
berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam. Persoalan tersebut
perlu diselesaikan berdasarkan Islam karena agama khanif ini merupakan
petunjuk bagi manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong
perkembangan hukum Islam, karena semakin luas wilayah yang dikuasai
berartinsemakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk,
semakin banyak pula persoalaan hukum yang harus diselesaikan.
2.
Perbedaan
penggunaan ra’yu
Pada
zaman tabi’in, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran
hadits (madrasah al-hadits) dan
aliran ra’yu (madrasah al-ra’y) atau al-madrasah al-Madinah dan madrasah al-Kufah.
Aliran hadits adalah golongan yang lebih
banyak menggunakan riwayat dan sangat “hati-hati” dalam penggunaan ra’yu,
sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu disbanding dengan aliran
hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu mendororng perkembangan
ikhtilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum
Islam.
B.
SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM ZAMAN TABI’IN
Secara
umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan yamng telah
dilakukan sahabat dalam istinbath
al-ahkam. Langkah-langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut:
1.
Mencari
ketentuannya dalam al-Qur’an.
2.
Apabila
ketentuan itu tidak didapatkan dalam al-Qur’an mereka mencarinya dalam sunnah.
3.
Apabila
tidak didapatkan dalam al-Qur’an dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat
sahabat.
4.
Apabila
pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad (‘Umar Sulaiman al-‘Asyqar;
1991,81)
Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum Islam
pada periode ini adalah (1) Al-Qur’an, (2) Sunnah, (3) ijmak dan pendapat
sahabat, (4) ijitihad.
C.
PENGARUH
AHLI HADITS DAN AHLI RA’YU TERHADAP HUKUM
Madrasah Madinahadalah ulama’ yang banyak berpegang teguh
pada Sunnah dan kaya dalam pemeliharaan Sunnah.Oleh karena itu, salah seorang
imam, yaitu Imam Malik, berpendapat bahwa ijmak penduduk Madinah adalah hujjah yang wajib diikuti. (‘Umar
Sulaimanm al-‘Asyqar, 1991:84-5). Madrasah Madinah merupakan rujukanm utama
aliran Maliki yang didirikan oleh Imam Malik.
Madrasah Ra’yu atau Madrasah al-Kufah
adalah sekelompok ulama’ yang tinggal di Kufah yang lebih banyak menggunakan
ra’yu disbanding dengan Madrasah Madinah.Sejak dibebaskan untuk keluar dari
Madinah, banyak sahabat yang tinggal di Kufah. Di antara mereka adalah (1) Ibnu
Mas;ud, (2) Abu Musa Al-Asy’ari, (3) Sa;ad ibn Abi Waqash, (4) ‘Amar ibn Yasir,
(5) Khuzaifah ibn Al-Yaman, dan (6) Anas ibn Malik. Jumlah mereka terus
bertambah terutama setelah terjadi pembunuhan terhadap Utsman ibn ‘Affan hingga
mencapai tiga ratus orang.
Atas jasa sejumlah sahabat yang tinggal di
Kufah, sebagian penduduk Kufah berhasil dibina menjadi ulama’ dan meneruskan
gagasan aliran ra’yu.Telah diketahui pada zaman tabi’in atau Dinasti Bani
Umayyah, ulama’ terbagi menjadi dua aliran, yaitu ulama’ yang tetap tinggal di
Madinah dan akhirnya terbentuk aliran Madinah, kemudian sahabat yang keluar
dari Madinah menetap di Kufah.Mereka menyebarkan hukum Islam yang pada akhirnya
terbentuk hukum Islam corak Kufah.Ulama’ Madinah sangat hati-hati dalam
penggunaan ra’yu, sedangkan ulama’ Kufah relatif lebih longgar dalam penggunaan
ra’yu.
D.
PEMIKIRAN
HUKUM ISLAM KHAWARIJ, SYI’AH, DAN JUMHUR
Pada
awalnya tiga aliran ini adalah aliran politik, karena sumber ikhtilaf mereka
adalah masalah kepemimpinan umat Islam.Dalam perjalanannya, Khwarij berubah
menjadi aliran kalam.Sedangkan Syi’ah memperkuat eksisitensinya dalam aliran
politik dengan membangun berbagai doktrin dan ajarannya.Adapun jumhur tetap
setia mendukung pemerintahan Quraisy.
Sebagaimana dijelaskan oleh al-Syahrastani
(t. th: 114-38)- Khawarij terbagi menjadi banyak kelompok (sekte); di antaranya
sekte Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdah, dan al-Ajaridah. Karena aliran
teologi (kalam), pemikiran Khawarij lebih dikenal dalam bidang kalam.
1.
Pemikiran
Hukum Islam Khawarij
Beberapa
gagasan Khawarij tentang hukum Islam, di antaranya sebagai berikut.
Pertama, umat Islam yang tergolong jumhur
atau Sunni percaya bahwa kepemimpinan mesti dipegang oleh Quraisy (Shahih
al-Bukhari, t.th., VIII: 5 dan Shahih Muslim, t.th., II:120-1). Sebaaliknya
menurut Khawarij, pemimpin umat Islam tidak mesti keturunan Quraisy; setiap
orang yang beragama Islam berhak menjadi pemimpin, apakah ia berasal dari
kalangan merdeka maupun kalangan budak (Syahratani, t.th:116). Karena pendapat
di atas merupakan gagasan baru, terutama dari sudut waktu, al-Syahratani
menyebutnya sebagai gagasan bid’ah.
Kedua, dalam al-Qur’an terdapat sankasi
bagi pelaku zina, yaitu dicambuk (al-jild)
seratus kali (an-Nur [24]:2). Dan dalam sunnah ditentukan pula bahwa sanksi
bagi pelaku zina adalah rajam. Dalam hadits riwayat Muslim dari Yahya ibn Yahya
al-Tamimi, Hasyim, Manshur, al-Hasan Hathan ibn ‘Abd Allah al-Ruqasyi, dari
‘Ubadah ibn ‘al-Shamit disebutkan bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Ambillah dariku, ambillah
dariku. Allah telah memberimu jalan kepada perempuan; sanksi zina laki-laki
(yang belum menikah)dan perempuan (yang belum menikah) adalah seratun kali
pukulan serta diasingkan selama satu tahun; sanksi zina bagi laki-laki yang
sudah menikah dan sanksi zina bagi perempuan yang sudah menikah adalah seratus
kali pukulan dan dirajam.”
Khawarij tidak menerima dan tidak mau
melaksanakan tambahan sanksi bagi pelaku zina yang terdapat dalam hadits di
atas.Mereka berpendapat bahwa sanksi bagi pelaku zina adalah seratus kali
pukulan, tidak ditambah dengan rajam.Sebab, sanksi pukulan ditentukan dalam
al-Qur’an, sedangkanm rajam ditetapkan dalam Sunnah. (al-Syahratani t.th:121)
Ketiga, dalam al-Qur’an terdapat wanita
yang haram dinikah. Di antara yang haram dinikah adalah anak perempuan, banatukum (an-Nisa’(4): 23-4). Menurut
jumhur ulama’, kata banat tidak
terbatas pada anak tetapi juga mencakup cucu dan terus dalam garis keturunan ke
bawah. Dengan demikian jumhur berpendapat bahwa menikah dengan cucu (terus ke
bawah) adalah haram.
Khawarij (sekte al-Maimuniyyah)
berpendapat bahwa menikahi cucu perempuan adalah boleh (halal atau tidak
haram), sebab yang diharamkan dalam al-Qur’an adalah anak; cucu tidak
diharamkan.Adapun contoh-contoh gagasan Khawarij lainnya.[5]
2.
Pemikiran
Hukum Islam Syi’ah
Syi’ah
adalah kelompok umat Islam yang berpihak pada Ahl al-Bait.Menurut keyakinan
mereka, yang berhak menjadi pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad wafat
adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, karena beliau adalah anggota keluarga (laki-laki)
Nabi yang terdekat, anak paman Nabi.Dalam perjalanan sejarahnya, Syi’ah
terpecah menjadi beberapa sekte.
Secara umum, sumber hukum dalam pandangan
Syi’ah adalah sebagai berikut:
a.
Hadits
shahih (tradisi yang otentik), yaitu hadits yang kebenarannya dapay
diusut kembali dan sampai kepada imam (a’immah
ma’shum) yang diceritakan oleh seorang imam adil yng kejujurannya
disepakati oleh imam-imam ahli hadits.
b.
Hadits
hasan (tradisi yang baik), yaitu hadits yang kebenarannya seperti hadits shahih, yakni dapat dikembalikan
kepada imam ma’shum, tetapi
diceritakan oleh seorang imam yang terhormat dan ahli-ahli hadits tidak
menyebutnya tsiqah, adil, dapat
dipercaya, dipuji oleh ahli hadits dengan kata-kata lain.
c.
Hadits
musak (“kuat”), yaitu hadits yang driwayatkan oleh orang-orang
yang dikenal tisiqah, adil, benar dan
jujur oleh ahli sejarah, sekalipun beberapa atau semua perawinya bukan pengikut
Ali r. a.
d.
Hadits
dla’if (lemah), yaitu hadits yang tidak mencapai atau memenuhi
syarat-syarat hadits musak.[6]
Kalangan
syi’ah juga mempunyai beberapa aliran fiqih yang berbeda dengan kaum muslimin,
di antaranya sebagai berikut:
a.
Membolehkan
nikah mut’ah dengan dalil firman
Allah SWT: “…Maka istri-istri yang mana
yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka
maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban…” an-Nisa’[4] ayat:24. Dan kita tahu bahwa mayoritas ulama’
Islam mengharamkan nikah ini dan menilai ayat ini ditujukan untuk nikah yang
sudah diketahui umum sesuai dengan susunan redaksi ayat sebelumnya yang
menjelaskan tentang akad yang sudah biasa dilakukan, setelah sebelumnya ayat
membahas tentang wanita yang haram dinikahi. Dan mahar dinamakan upah juga
disebutkan dalam ayat lain, firman Allah SWT: Maka nikahilah wanita-wanita itu dengan izin walinya dan berikanlah
upah mereka, yaitu mahar, artinya mahar mereka dan jumhur ulama’
mengharamkan nikah mut’ah karena
Rasulullah sudah mengharamkannya berdasarkan riwayat terakhir dari beliau.
b.
Orang
Syiah mengharamkan seorang muslim menikahi wanita ahli kitab berdasarkan firman
Allah SWT: dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (pernikahan) wanita-wanita yang kafir, dan bertentangan
dengan pendapat jumhur ulama’ yang membolehkannya berdasarkan firman Allah SWT:
dan makanan orang-orang yang diberi kitab
adalah halal bagi kalian dan makanan kalian halal bagi mereka dan wanita-wanita
yang menjaga kehormatannya dari kaum mu’minat dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya dari orang-orang yang diberi kitab.
c.
Dalam
pemakaian sunnah sebagai sumber hukum, orang Syiah tidak mengambilnya kecuali
hadits-hadits yang datang dari periwayatan ahli bait dan para pengikutnya.
Adapun ijma’, mereka menolaknya sebagai sumber hukum bagi perundang-undangan
Islam karena mengamalkan ijma’, sama artinya dengan mengabaikan pendapat
sahabat yang lain atau tabi’in.
d.
Mayoritas
orang Syiah menolak qiyas karena ia berupa pendapat pribadi, dan agama tidak
dikaji dengan pendapat pribadi, namun diambil dari Allah dan Rasul-Nya serta
para imam yang ma’shum.
Yaitu
orang-orang yang bersikap abstain (apolitis) dan dan tidak ikut-ikutan terjun
ke dalam pergolakan politik. Mereka tidak mau bergabung dengan pasukan ‘Ali dan
para lawan politiknya.[7]
Pemikiran jumhur ulama’ secara tersirat
sudah dapat dilihat dalam pembahasan mengenai pemikiran hukum Khawarij dan
Syiah.
Di antara pemikiran hukum Islam jumhur
adalah sebagai berikut:
a.
Penolakan
terhadap keabsahan nikah mut’ah. Bagi jumhur, nikah mut’ah haram dilakukan.
Dalam hal ini, pendapat jumhur sejalan dengan pendapat ‘Umar ibn Khathab r. a.
b.
Nabi
Muhammad Saw tidak dapat mewariskan harta, karena terdapat sebuah hadits yang
menyatakan bahwa beliau bersabda: “kami
seluruh para nabi tidak mewariskan (harta); harta yang kutinggalkan adalah
shadaqah.” (Ahmad Amin, III, t.th:261)
Dalam
hal ini, jumhur ulama’ sependapat dengan Abu Bakar.
c.
Jumlah
perempuan yang boleh dipoligami dalam satu periode adalah empat orang
(penafsiran terhadap surat an-Nisa’ [4] ayat 3, dan hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim.[8]
Revisi:
1. Tidak ditemukan
indikasi copy-paste.
2. Format makalah ini belum seperti artikel dalam jurnal yang menjadi patokan.
Mohon untuk disesuaikan.
3. Penulisan footnote tolong diperbaiki lagi, misalnya penulis tidak usah
menggunakan gelar dan judul buku dibuat miring (italic).
4. Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof., Dr. Ustadz, dll) ditiadakan.
5. Makalah ini belum sempurna, tidak ada pendahuluan, kesimpulan dan daftar
pustaka.
6. Penulisan abstrak dan keywords diperbaiki lagi.
7. Pembahasan fiqih pada masa Nabi, dibagi menjadi dua yakni pada masa Makkah
dan Madinah. Ini belum saya lihat dalam makalah. Coba dibaca bukunya Mun’im
Sirry, Sejarah dan Pengantar Fiqih Islam.
8. Makalah ini tidak referensial, perujukan harus lebih diperlengkap.
Perujukan memakai footnote, bukan yang lain.
9. Makalah ini mirip seperti makalah sejarah peradaban Islam, sehingga mohon
untuk lebih diberikan analisis lebih pada aspek fiqihnya, bukan pada kajian
sejarahnya. Mencantumkan sejarah itu boleh, tetapi bukan menjadi yang utama.
Dalam makalah ini, saya melihatnya lain.
10. Dua kubu, antara ahli hadis dengan ahli ra’yi tolong diberikan keterangan
yang lebih banyak karena itulah yang nantinya menjadi titik tolak kemajuan di
bidang fiqiih. Juga dipaparkan adanya beberapa Imam Mujtahid pada masa ini.
Makalah ini
perlu perbaikan lebih. Tolong diperhatikan beberapa saran revisi yang telah
saya tulis sebelumnya. Semangat!!!!!!
[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali: Hukum Islam,
1990. Hlm.157.
[2]
Prof. H. Mohammad Daud Ali: Hukum Islam, 1990. Hlm.163.
[3]
Prof. Dr. Alaiddin Koto, M. A: Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, 2004. Hlm.16.
[4]
Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.53-54.
[5]
Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.54-60.
[6]
Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm.60-61.
[7]Dr.
Rasyad Hasan Khalil: Tarikh Tasyri’, 2009.Hlm. 83.
[8]
Dr. Jaih Mubarok: Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, 2000. Hlm. 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar