HUKUM FIKIH YANG IKHTILAF
(ISTIHSAN, ISTIHSAB, MASALATUL MURSALAH)
Muhammad Amin Mushfi Salam, M. Afiqul Adib, Rafi Muta’ali
Mahasiswa PAI-A
angkatan 2015 Semester VI
Universitas Maulana Malik Ibrahim Malang
Email: afiquladib@gmail.com
Abstract
This article discusses Islamic law
that mukhtalaf or law that is still debate by the scholars with their
respective reasons, either from among imam syafi'I, maliki, hanbali or other
imams that can be made handle in bermadzab. either from among imam syafi'I,
maliki, hanbali or other imams that can be made handle in madzab. Some of the
laws of ikhtilafi are: Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah, Al Urf,
Saddudzara'I, Madzhab Shahabat, Sar'u Man Qablana, and others. But in this
article only discuss about Istihsan, Istishab, and Maslahatul Mursalah. Which
some of these ikhtilaf laws also have a condition in the settlement of some
things that are not in the Qur'an and sunna, so that the scholars frugal in
determining the existing law according to the development of the era. Some
scholars consider Istihsan, Istishab, and Maslahatul Mursalah allowed, but some
others think it should not, there are also some that may have some
requirements. But differences of opinion from the scholars is not a disgrace
for the Muslims, precisely these differences denote the clergy of the scholars
of course to determine a law.
Key word : Sources of Islamic Law,
Ikhtilaf, Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah.
Abstak
Artikel ini membahas tentang hukum Islam yang ikhtilaf atau
hukum yang masih diperdabatkan oleh kalangan ulama dengan alasan mereka
masing-masing, baik dari kalangan imam syafi’I, maliki, hanbali atau imam lain
yang bisa dibuat pegangan dalam bermadzab. Beberapa hukum ikhtilafi yaitu:
Istihsan, Istishab, Maslahatul Mursalah, Al Urf, Saddudzara’I, Madzhab
Shahabat, Sar’u Man Qablana, dan lain-lain. Namun dalam artikel ini hanya
membahas tentang Istihsan, Istishab, dan Maslahatul Mursalah. Yang mana
beberapa hukum ikhtilaf tersebut juga terkadang diperlukan dalam memecahkan
beberapa persoalan yang tidak ada di dalam Alquran dan sunah, sehingga
mengharuskan para Ulama memaksimalkan akalnya dalam menentukan hukum yang ada
sesuai perkembangan jaman. Beberapa Ulama menganggap Istihsan, Istishab, dan Maslahatul
Mursalah adalah boleh, namun sebagian lagi menganggapnya tidak boleh, ada juga
yang boleh namun ada beberapa persyaratan. Namun perbedaan pendapat diantara
para Ulama bukan merupakan aib bagi kaum Islam, malah perbedaan tersebut
menandakan para Ulama memaksimalkan akal mereka untuk menentukan suatu hukum.
Kata Kunci: Sumber Hukum Islam, Ikhtilaf, Istihsan, Istishab,
Maslahatul Mursalah.
A.
Pendahuluan
Islam
dalam bahasa arab yaitu salam, yang dimaknai damai. Islam itu damai, atau bisa
dikatakan damai ituislam. Kita semua tahu sumber hukum Islam adalah alquran dan
sunah yang merupakan induk dalam segala sumber hukum islam. Namun kenyataannya
Rosulullah tidak pernah membahas tentang penggantinya setelah beliau wafat,
tidak pernah membahas dari golongan mana atau sebagainya. Karena itu setelah
wafatnya Rosulullah, yang dipermasalahkan pertama adalah soal suksesi atau
pengganti beliau.[1]
Dari sana berkembanglah aliran-aliran dalam Islam dan dari sana dimulailah
kebebasan berpikir dan pemaksimalan akal untuk memahami alquran dan sunah.
Karena kita tau teks itu statis, namun realita itu dinamis. Dari jaman dulu
sampai hari ahir, alquran akan tetap 30 juz, namun persoalan manusia semakin
kompleks. Islam di haruskan bisa memberi solusi untuk keadaan yg sudah barang
tentu tidak dijelaskan dalam alquran dan sunah. Dari sinilah mulainya perbedaan
dalam memahami hukum Islam.
Segala
ilmu yang berkembang dalam Islam tetap berpedoman dengan Alquran dan sunah,
tidak bisa berdiri sendiri dengan mengabaikan induk segala hukum Islam yaitu
Alquran dan sunah. Begitu juga dengan Ushul Fiqh, ilmu ini berkembang dengan
tetap berpedoman pada induk hukum Islam, ilmu ini juga tidak lahir secara
instan, melainkan bibitnya sudah ada pada jaman Sahabat dan mulai berkembang
seiring perkembangan pada jamannya.[2]
Dalam
perkembangannya ada sumber hukum Islam yang dapat diterima, ada sumber hukum Islam
yang ikhtilaf (perbedaan pendapat di antara ahli hukum Islam). Kebanyakan ahli
hukum Islam bersepakat bahwa sumber hukum Islam adalah Alquran dan sunah.[3]
Sedangkan yang diperdebatkan (ikhtilaf) salah satunya adalah Istihsan,
Istihsab, dan maslahatul mursalah. Namun perbedaan tersebut bukanlah suatu
masalah, Islam sangat menghargai adanya perbedaan, bahkan Allah pun mau kita
berbeda, karena dengan berbeda kita bisa bersama. Karena berbeda maka ada yang
mencintai da nada yang dicintai, ahirnya kita pun bisa saling mencintai. Dalam
makalah ini akan dibahas tentang mengenai salah satu Hukum Islam yang Ikhtilaf,
yaitu Istihsan, Istihsab, dan Maslahatul Mursalah.
B.
Istihsan
1.
Pengertian
Secara
etimologi istihsan
berasal dari kata al-hasan yang berarti sesuatu yang baik. Dengan adanya huruf tambahan alif, sin dan ta’,
maknanya menjadi menganggap baik sesuatu.[4]Pengertian Istihsan terdapat arti ataupun redaksi yang berbeda di
antara para ulama, misalnya al-Sarakhsiy menta’rifkan:
“Istihsan ialah meninggalkan qiyas dan menggunkaan yang lebih kuat
daripadanya karena adanya dalil yang menghendaki dan lebih sesuai untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia.” [5]
Sedangakan
argument lain yang diberikan oleh
al-Bazdawiy sebagaimana dikutip oleh Abdul Karim Zaidan bahwa istihsan adalah:
“Istihsan ialah berpindah dari seharusnya menggunakan suatu qiyas
kepada ketentuan qiyas lain yang lebih kuat atau pengkhususan ketentuan qiyas
dengan dalil yang lebih kuat.”[6]
Pendapat
lain dari imam al – Ghozali mengatakan dalam salah satu kitabnya Al-Mustashfa
juz 1 : 137, “Istihsan ialah semua hal uang dianggapnya baik oleh mujtahid
menurut akalnya” [7]
Selanjutnya
al-Syatiby dalam al-I’tisam menerangkan bahwa istihsan adalah mengabaikan maksud dalil dengan cara pengecualian
atau pemberian rukhsah karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Dalam sumber
yang lain ia mengatakan bahwa menurut golongan Malikiyah dan Hanafiyah, istihsan yaitu beramal dengan salah satu
dari dua dalil yang terkuat; berpegang kepada dalil umum apabila dalil tersebut
dapat berlaku secara kontinyu dan berpegang kepada qiyas jika qiyas itu bisa
berlaku umum. Menurutnya, kedua golongan ini berpandangan pada kebolehan
mentakhsis dalil umum dengan dalil yang zahir maupun dengan makna. Bedanya, Abu
hanifah mentakhsis dalil umum dengan pendapat salah seorang sahabat yang
bertentangan dengan qiyas, sedang Malik mentakhsisnya dengan maslahat.[8]
Menyimak
pendapat dari para ulama’ diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa istihsanadalah Kecenderungan atau
kebiasaan pada sesuatu pada sesuatu hal karena menganggapnya lebih baik atau
dapat di artikan penangguhan hukum seorang mujtahid yang pada dasarnya
mengabaikan ketentuan qiyas karena adanya suatu dalil yang menghendaki dan
lebih kuat sesuai dengan kemaslahatan
manusia atau gampangnya meninggalkan suatu hukum atau dalil pada hukum atau
dalil lain karena ada faktor yang menghendaki perpindahan tersebut.
2.
Kehujjahan
Istihsan dalam pandangan madzhab
a.
Madzhab
Hanafiyah
Madzhab
hanafiyah ini banyak sekali istihsan ini di buktikan saat Abu Zahrah
berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali yang menggunakan istihsan. Dan juga
banyak kitab Ushul Fiqh yang menyebutkan banwa hanafiyah mengakui adnya
istihsan. Bahkan dalam kitab fiqihnya pun banyak terdapat permasalahan yang
bersangkutan dengan istihsan.[9]
b.
Madzhab
Malikiyah
Madzhab ini nyatanya satu suara dengan Madzhab Hanafiyah, ini
dikatan oleh Asy – Syatibi bahwa sesungguhnya istihsan adalah dalil paling kuat
dalam hukum menurut imam maliki dan imam abu Hanafiyah. Dan juga di kuatkan
oleh pendapat Abu Zahrah, bahwa imam malik sering berfatwa menggunakan
istihsan.[10]
c.
Madzhab
Hanabilah
Madzhab ini
juga tidak jauh beda dengan dua madhab yang telah dijelaskan sebelumnya. Bahwa
golongan ini mengakui adanya istihsan
sebagaimana yang dikatan oleh Imam Al Amudi dan ibnu hazib. Namun, al
jalal al mahali dalam kitab syahr Al-jam’ al-jawami’ mengatakan bahwa istihsan
itu diakui oleh abu hanifah, namun ulama ulama’ lain mengingkarinya trmasuk
golongan hanabiyah[11]
d.
Madzhab
Syafi’iyah
Madzhab
ini merupakan salah satu dari 3 madzhab yang telah di jelaskan di atas yang
kurang sependapat dengan adanya istihsan. Golongn ini secara mashyur tidak
mengakui adanya istihsan, dan mereka betul betul menjahui untuk menggunakannya
dalam istinbat hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan imam syafii
berkata “barangsiapa yang menggunakan berarti sudah memebuat syariat” dan juga
beliau menambahkan “Segala urusan itu telah di atur oleh allah swt, setidaknya
ada yang menyerupainya sehingga di bolehkan menggunakan qiyas, namun tidak di
bolehkan menggunakan istihsan.”[12]
C.
Istishab
1.
Pengertian
Secara Bahasa kata “Istishab”
mempunyai arti kata yaitu “menjadikan teman” atau “mengikut sertakan”.[13]Sedangkan
menurut istilah ushul fiqih
sendiri mempunyai makna:
جعل الحكم الثابت في الماضي باقيا الي الحال
لعدم العلم با المغير
“Hukum yang telah ditetapkan pada masa yang
lalu, akan selalu berlaku sampai kapan pun karena tidak ada dalil syara’ yang
merubahnya”
Maksud dari kata diatas adalah upaya untuk
menjadikan hukum yang sejak awal ada, dan tetap digunakan atau diteruskan
bahkan bisa saja digunakan sampai sekarang, sampai ada hukum lain (Dalil) yang
mengubah hukum itu. Jadi sewa-menyewa, bursa saham dan level marketing
diperbolehkan karena dasar hukumnya “boleh”, sampai ada yang mengharamkannya.
Banyak yang bertanya, apa latar belakang orang-orang menjadikan istishab
sebagai sumber hukum? Surat Al-Baqoroh 29 menjelaskan latar belakang tersebut:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang
ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu
dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.[14]
Ayat diatas menjelaskan bahwa Allah memberikan
petunjuk kepada manusia agar beristishab dan menjadikannya dalil yang absah,
karena asal muasal segala benda dibumi adalah mubah, sehingga satu persatu
Allah menurunkan status hukum yang baru.
Contoh:Ruqoiyah menikah dengan aldi setelah
beberapa tahun berjalan aldi meninggalkan ruqoiyah tanpa alasan entah dia
bekerja atau memang meninggalkan ruqoiyah, di desanya ruqoiyah disukai oleh
temannya yang menganggap ruqoiyah tidak bersuami, meskipun realita ruqoiyah
tidak berpasangan, maka teman ruqoiyah tidak diperbolehkan menikahi ruqoiyah
kecuali telah ada surat penceraian.
Maka dari itu jika ada mujtahid yang sedang
ditanya oleh orang lain tentang hukum pengelolaan atau kontrak dan jelas
didalam al-quran atau sunah tidak ada, maka hukumnya mubah, sesuai dengan
kaidah:
الصل فى الشياءالباحة
“Boleh adalah pangkal “ meskipun belum ada
yang menunjukkan dalilnya. Jadi memang istihab sendiri itu adalah dalil syara’
yang paling akhir sebagai rujukan seorang mujtahid untuk menghukumi sebuah
peristiwa.
Semua yang dijelaskan diatas adalah
teori pengembalian yang sudah dilakukan oleh tradisi manusia mulai zaman dahulu
untuk menentukan kehidupan masyarakat mereka.[15]
2.
Macam-macam
istishab
Dilihat dari bentuk istihab yang ada, istihab
itu sendiri terbagi tiga macam:
a.
Istihab yang tidak mempunyai asal.
Maksudnya adalah akal yang telah menetapkan
bahwa hukum tersebut tidak berasal, jadi memang akal manusia tidak menemukan
titik temu sehingga tidak dapat menentukan atau menghukuminya, karena syara’
juga tidak menghukuminya, jadi mujtahid hanya bertaklif saja hingga datang
dalil yang merubahnya.
Contoh: “akal menetapkan bahwa sholat wajib
hanya ada lima”. lain kasus, syara’ telah membuat hukum bahwa wudlu tidak akan
batal kecuali telah dianggap ada yang telah menyebabkan batalnya wudlu entah
hadats atau najis, apabila seseorang ragu-ragu bagaimana dengan hukumnya, jadi
menurut istishab keyakinan akan lebih kuat dari pada keraguan, seperti sabda
Rasullullah: “Jika seseorang merasakan sesuatu dalam perutnya, lalu ia ragu
apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali- kali janganlah ia
keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau
mencium bau kentut”. (HR. Muslim dan Abu Hurairah).
Golongan malikiyah menolak istishab dengan
contoh kasus diatas karena memang tidak membatalkan wudlu seseorang akan tetapi
akan berimbas ke shalatnya yang masih ragu sehingga sama saja orang tersebut
masih harus berwudlu.Sedangkan golongan ulama hanafiyah dan hambali berpendapat
bahwa istishab diatas bisa di jadikan hujjah dengan dalil yang kuat dan jelas.
b.
Istihab yang berbentuk ketentuan-ketentuan umum ataupun nash umum, hinnga
ada dalil yang menashahkannya atau menghapusnya.
Maksudnya adalah dari dulu istihab telah
dipakai menjadi hukum dari segala sesuatu yang mubah. Kebanyakan Istishab
seperti ini berperan di muamalah.landasan dasarnya adalah segala bentuk
kegiatan yang bermanfaat mubah dilakukan di kehidupan kita kecuali telah turun
dalil yang jelas.
Contoh: makan, minum dll.
c.
Istishab yang telah disebutkan syara’. Yang tetap dan kekalnya telah
disebutkan sebabnya.Seperti tetapnya sebuah barang dikarenakan adanya
kepemilikan yaitu sebuah akad jual beli.[16]
3.
Kehujjahan
Istishab
Para ulama ahli usul fiqih berbeda pendapat
dengan istishab yang tidak ada dalil syara’ yang bisa menjelaskan tentang
sebuah peristiwa antara lain.[17]
a.
Ulama mutakallimin berpendapat bahwa istishab tidak bisa dijadikan hujjah,
karena hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya dalil. itu pun
untuk menetapkan sebuah hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan
datang, harus pula berdasarkan dalil. Mereka beralasan, mendasarkan hukum pada
istishab merupakan penetapan hukum tanpa dalil, karena sekalipun suatu hukum
telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil. Namun, untuk
memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlakukan dalil lain.
Istishab, menurut mereka bukan dalil. Karenanya menetapkan hukum yang ada di
masa lampau berlangsung terus untuk masa yang akan datang, berarti menetapkan
suatu hukum tanpa dalil. Hal ini tidak dibolehkan syara’.
b.
Ulama’ Syafi’iyah, Malikiyyah, Zahiriyyah, Hanabilah dan Syi’ah berpendapat
bahwa Istishab bisa dijadikan pegangan secara mutlaq karena sudah ada dari dulu
dan tidak berpengaruh jelek terhadap keyakinan maupun tingkah laku seorang
muslim kecuali telah datang dalil yang jelas sehingga mengganti apa yg diikuti
di peradaban lama dengan peradaban baru yang lebih sesuai.
c.
Menurut mayoritas Ulama’ Hanafiyah, khususnya Muta’akhirin berpendapat
bahwa Istishab bisa dijadikan Hujjah untuk menetapkan hukum syara’ yang sudah
ditetapkan dahulu, dan menganggap bahwa hukum itu tetap berlaku sampai
kapanpun, tetapi tidak bisa menetapkan hukum yang akan ada.[18]
D. Maslahatul
Mursalah
1. Pengertian
Maslahatul Mursalah terdiri dari dua
kata, yaitu Al-Maslahah dan Al-Mursalah. Al-Maslahah adalah kemaslahatan dalam
melakukan perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya.[19]
Sedangkan Al-Maslahah adalah tidak adanya dalil untuk melakukan atau
melarangnya.[20]
Jadi bisa disimpulkan Maslahatul Mursalah adalah kemaslahatan dalam melakukan
perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya sertatidak adanya dalil untuk
melakukan atau melarangnya. Tujuan dari Maslahah Al Mursalah sendiri adalah
kemaslahatan umat, yaitu mencegah kemungkaran dan menarik kemanfaatan.
Beberapa Ulama memiliki perbedaan
pendapat dalam memahami Maslahatul Mursalah ini, namun dapat disimpulkan bahwa
tidak ada dalil khusus yang menunjukan penolakan ataupun penerimaan dalam
kemaslahatan perkara.
Maslahatul Mursalah menurut Abu Nur
Zuhair adalah kemaslahatan yang tidak bertentangan dengan hukum, akan tetapi
belum bisa di terima oleh syara’. Kemudian Menurut Al Ghazali, Maslahatul
Mursalah yaitu pemeliharaan dari tujuan syara’ dari Alquran, Sunah, dan ijma’
secara umum, bukan secara khusus, tetapi dalam menentukan syara’ yang khusus
tersebut tetap berpegangan pada petunjuk umum dari Alquran dan sunah.[21]
Berbeda lagi menurut Asy-Syatibi
(Ulama Bermadzhab Maliki), beliau mengatakan bahwa Maslahatul Mursalah adalah
kemaslahatan yang sesuai dengan perkara syara’, walaupun tidak ada secara
khusus dalam Alquran dan sunah. Untuk menentukan kemaslahatan dengan syara’
harus dengan dalil-dalil secara keseluruhan sehingga menciptakan hukum yang
dinamakan qath’i, meskipun komponen-komponennya tidak menyerupai qath’i.[22]
Dalam beberapa penjelasan tersebut
menunjukkan bahwa Maslahatul Mursalah itu tidak sekedar kemaslahatan saja, akan
tetapi harus tetap memperhatikan maqosid syariah. Bahkan jika kemaslahatan saling bertentangan
dengan dalil-dalil yang khusus ataupun umum maka tidak disebut Maslahatul
Mursalah.
Contohnya adalah ketika zaman
Sahabat, yakni dikumpulkannya Alquran menjadi satu Mushaf pada masa
pemerintahan Abu Bakar.[23] Contoh lainnya adalah berpindahnya kiblat ke Baitullah (makkah)
yang sebelumnya berkiblat ke Baitul Maqdis. Karena di khawatirkan menyerupai
kiblat umat Yahudi.[24]
Kemaslahatan tersebut memang tidak ada dalil yang mengharuskan melakukan
perkara tersebut, namun juga tidak ada larangan melakukannya, akan tetapi hal
tersebut merupakan tujuan yaitu kemaslahatan untuk menjaga agama.
2. Objek Maslahatul Mursalah
Dalam Penjelasan di atas Maslahatul
Mursalah dapat disimpulkan adalah kemaslahatan umat, kemaslahatan sesama
manusia dengan memperhatikan kondisi adat di daerah tersebut, kemaslahatan yang
berhubungan dengan perkara antara manusia dengan manusia. Jadi perlu
diperhatikan bahwa wilayah kajian Maslahatul Mursalah adalah bukan masalah
ibadah, namun Maslahatul Mursalah hanya mengkaji seputar Muamalah saja,
alasannya karena pertimbangan hal baik dan buruk itu menurut akal, dan akal
sama sekali tidak dapat mempertimbangkan kebaikan dan keburukan dalam hal
ibadah. Contohnya kenapa kita harus Shalat ashar empat rokaat ?kenapa tidak dua
saja agar lebih mudah ?. yang bisa dipertimbangkan dalam kapasitas akal seperti
perlukah dokumen sebagai bukti sudah menikahnya seseorang atau tidak.
Maka dari itu objek kajian
Maslahatul Mursalah yaitu tentang hukum yang tidak ada secara khusus di dalam
Alquran maupun sunah ataupun dalam dalil tertentu, dan hanya sebatas masalah
Muamalah saja, karena jika masalah Ibadah dikaji juga maka dikhawatirkan tidak
memberikan masalah namun malah membuat masalah karena kapasitas akal kita belum
mampu mencapai masalah ibadah ta’abudi dan tawqifi.
3. Kedudukan Maslahatul Mursalah Menurut Para Ulama
Hukum selain Alquran dan sunah
memang selalu menjadi perdebatan antara para Ulama, tidak terkecuali tentang
Maslahatul Mursalah. Kita tahu bahwa dalam Maslahatul Mursalah tidak terdapat dalil pendukung, yang
mana ini menjadi perdebatan beberapa ahli Ushul Fikih. Diantaranya adalah:
a. Al Qadhi serta golongannya menolak karena di anggap sesuatu yang
tidak ada dasarnya
b. Imam Malik,
berbeda dengan sebagian Ulama lainnya, Imam Malik menganggap bahwa Maslahatul
Mursalah adalah sah dan boleh di pakai ketika menemui permasalahan.
c. Imam Syafi’i
dan golongan Hanafiah, dua Madzab ini menilai Maslahatul Mursalah bisa
digunakan jika dasar hukum yang di jumpai tidak sahih, tapi tetap harus
menganjurkan memakai dasar hukum yang mendekati kesahihan.
d. Imam Al
Ghazali, Menurut beliau jika ada perkara yang mengharuskan memakainya, maka
boleh, namun tetap harus ada syarat-syaratnya. Dan jika belum ada dalil yang
lebih jelas, maka tidak boleh dipakai.[25]
E. Penutup
Dalam metote Ijtihad, perbedaan
harus di angap wajar, karena memang kebenaran bukan tujuan utama dari
berijtihad, siapa yang bisa menjamin akan benar atau salah, kebenaran hanya
milik Allah. Fungsi Ijtihad hanya untuk memudahkan dalam penentuan hukum,
memudahkan dalam memilih hukum mana yang pantas diambil jika bertemu dengan
suatu perkara jika tidak dijelaskan secara khusus dalam Alquran dan hadis.
Hukum yang masih diperdebatkan disebut hukum
ikhtilaf. Dalam artikel ini hanya membahas tiga hukum ikhtilaf. Yaitu: Istihsan,
Istihsab, dan Maslahatul Mursalah. istihsanadalah
Kecenderungan atau kebiasaan pada sesuatu pada sesuatu hal karena menganggapnya
lebih baik atau dapat di artikan penangguhan hukum seorang mujtahid yang pada
dasarnya mengabaikan ketentuan qiyas karena adanya suatu dalil yang menghendaki
dan lebih kuat sesuai dengan
kemaslahatan manusia atau gampangnya meninggalkan suatu hukum atau dalil pada
hukum atau dalil lain karena ada faktor yang menghendaki perpindahan tersebut.Istihsab
adalah upaya untuk menjadikan hukum yang sejak awal
ada, dan tetap digunakan atau diteruskan bahkan bisa saja digunakan sampai
sekarang, sampai ada hukum lain (Dalil) yang mengubah hukum itu. Sedangkan Maslahatul Mursalah adalah kemaslahatan dalam
melakukan perkara, baik ketika prosesnya ataupun asalnya sertatidak adanya
dalil untuk melakukan atau melarangnya. Tujuan dari Maslahah Al Mursalah
sendiri adalah kemaslahatan umat, yaitu mencegah kemungkaran dan menarik
kemanfaatan.
Daftar
Pustaka
Djalil,A.Basic.2010.
ilmu ushul fiqih. Jakarta: Prenada Media Grup.
Jumantoro Totok. 2009. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Solo: Amzah.
Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya
dalam istimabat hukum “, al-Daulah,
Vol. 1/ No.2
/ 2013.
M. Fahim Tharaba. 2016. Hikmatut
Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I. Malang: CV. Dream Litera
Buana.
Marzuki. 2013.Pengantar Studi Hukum
Islam (Prinsip dasar Memahami Berbagai Konsep dan
Permasalahan
Hukum Islam di Indonesia). Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Nasirudin, Moh. “Istihsan Dan
Formulasinya : Pro kontra dalam pandangan madzhab syafii dan
hambali.”
As-syariah Vol. 47/No.1/2009.
Nurdin,M. Amin, dan Dkk.2011.
Sejarah Pemikiran Islam (Teologi-Ilmu Kalam). Jakarta: Bumi
Aksara.
Satria, Efendi.2008.
Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Sudarsono.
2001. Pokok Pokok Hukum Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Syafe’I, Rachmad.2010. Ilmu Ushul Fiqh
(Untuk UIN, STAIN, PTAIS). Bandung: CV Pustaka
Setia.
Catatan:
1.
Similarity hanya 8%. Oke...
2.
Footnotenya dirapikan.
3.
Jelaskan secara pelan-pelan, supaya teman-temanmu paham.
[1] M. Amin Nurdin, Dkk. Sejarah Pemikiran Islam (Teologi-Ilmu Kalam), (Jakarta:
Bumi Aksara), 2011. 2
[2] Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia), 2010. 26
[3] Sudarsono, Pokok Pokok Hukum Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2001), 550
[5]
Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya dalam istimabat hukum “,
al-Daulah, Vol. 1/ No.2 / 2013 Hal. 8
[6] Ibid
[7]
Rahmat Syafei, “ Ilmu Fiqih : Untuk UIN, STAI, PTAIS”, Bandung, Putaka Setia,
2010, hal. 110
[8]
Kasjim salenda, “Kehujjahan istihsan dan implikasinya dalam istimabat hukum “,
al-Daulah, Vol. 1/ No.2 / 2013 Hal. 10
[9]
Rahmat Syafei, “ Ilmu Fiqih : Untuk UIN, STAI, PTAIS”, Bandung, Putaka Setia,
2010, hal. 112
[14] Al-quran Al-baqoroh ayat 29
[17]Jumantoro Totok, Kamus Ilmu Ushul Fikih(Solo: Amzah,2009),
146.
[19]
Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV
Pustaka Setia), 2010. 117
[20]
Ibid
[21] Ibid. 119.
[22] Ibid. 120.
[23]
Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam (Prinsip dasar Memahami Berbagai Konsep
dan Permasalahan Hukum Islam di Indonesia), (Yogyakarta: Penerbit Ombak,
2013, 120.
[24] M.
Fahim Tharaba, Hikmatut Tasyri’ Wa Hikmatus Syar’I, (Malang: CV. Dream
Litera Buana, 2016) 48.
[25]
Rachmad Syafe’I, Ilmu Ushul Fiqh (Untuk UIN, STAIN, PTAIS), (Bandung: CV Pustaka Setia), 2010. 123
Tidak ada komentar:
Posting Komentar