SUMBER HUKUM
ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI (ISTIHSAN, ISTISHAB, MASLAHAH MURSALAH)
Muhammad Kurnadi
Bonesaputra, Ilman Aji Nur Hamzah, Amelia Silvi Hayati
Mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI-C 2018
Abstract
In Islamic law
there are two sources of law namely the source of the agreed law and the source
of the law that is not agreed. In this article will discuss the source of
unlawful law that istihsan, istishab and MaslahahMursalah. Istishan itself is
the switch of thought of a mujtahid from qiyasjali (real) demands to qiyaskhofi
(vague). Istishhab is the legal determination of existence and absence of
something in the present and in the future based on its existence and its
absence in the past because there is no proposition indicating to be changed.
Maslahahmursalah is the good or the benefit that is not discussed by the
Islamic shari'ah regarding the law, in general maslahat can bring the advantage
(benefit) and keep away the disadvantage (loss). To equip ourselves in taking
our law as the ummah of Islam is obliged to know and understand what dilil law
is agreed upon as well as the unapproved law. Are we referring to the argument
already. As moslem, Don't let us misunderstand about our law.
Keywords: source of law, Istihsan, Istishhab, MaslahahMursalah.
Abstrak
Dalam hukum
islam terdapat dua sumber hukum yaitu sumber hukum yang disepakati dan sumber
hukum yang tidak disepakati. Dalam artikel ini akan membahas sumber hukum yang tidak disepakati
yaitu istihsan, istishab dan Maslahah Mursalah. Istishan sendiri adalah
beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada
qiyas khofi (samar). Istishhab adalah penetapan hukum tentang ada dan ketidak
adaan sesuatu di masa sekarang maupun di masa depan yang didasarkan pada ada
dan ketidak adaannya pada masa yang lalu dikarenakan tidak ada dalil yang
berindikasi untuk bisa berubah. maslahah mursalah adalah kebaikan atau
kemaslahatan yang tidak dibahas oleh syari’at Islam mengenai hukumnya, pada
umumnya maslahat bisa mendatangkan kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan
keburukan (kerugian). Untuk membekali diri kita dalam mengambil sebuah hukum
kita sebagai ummat islam wajib mengetahui dan memahami apa saja dilil hukum
yang disepakati begitu juga hukum yang tidak disepakati. Apakah kita sudah
mengacu pada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan ada kebinggungan dalam
memahami suatu hukum yang berlaku.
Kata kunci :
sumber hukum, Istihsan, Istishhab, Maslahah Mursalah,
A.
Pendahuluan
Ushul Fiqh adalah salah satu instrumen
penting yang harus dilakukan siapapun untuk melakuka ijtihad dan istinbath
hukum didalam Islam, itulah mengapa didalam pembahasan karakter seorang
mujtahid penguasaan akan ilmu ini dimasukan sebagai salah satu syarat mutlak
untuk menjaga proses ijtidad dan istinbath. Meskipun demikian ada suatu fakta
yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan ilmu ushul fiqh tidak hanya
menjamin kesatuan hasil ijtihad dn istinbath para mujtahid. Disamping faktor
eksternal ushul fiqh terdapat juga faktor internal dalam hal menangani
perdebatan dikalangan para ushuliyyin. Dari sinilah muncul dengan istilah yang
dikenal yakni Al-Ushul Mukhtalaf Fiha (dalil-dalil yang diperdebatkan
penggunaanya) dalam ranah pengambilan dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum)
diklasifikasikan menjadi dua bagian yakni ada yang disepakati dan ada pula yang
tidak disepakati. Sumber hukum yang disepakati meliputi Al-Qur’an, As-sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Ada pula yang di bedakan oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad itu
sendiri yakni Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah
Dalam penulisan karya tulis ilmiah ini
kami akan membahas dan menjelaskan hukum
dalam berbagai kasus yang tidak ada nash (ayat atau hadistnya) yaitu Istihsan,
Istishab, Maslahah Mursalah.
B.
Istihsan
1.
Definisi
istihsan
Menurut bahasa
istihsan adalah menganggap baik sesuatu. Secara istilah menurut ulama ushul
istihsan adalah beralihnya pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali
(nyata) kepada qiyas khofi (samar). Jika ada sesuatu kejadian atau peristiwa
yang hukumnya tidak terdapat dalam nash maka ada dua pendapat yang berbeda
dalam pembahasannya : yang menghendaki suatu hukum disebut sudut pandang
lahiriyah dan yang menuntut hukum yang lain disebut sudut pandang secara tersembunyi.
Yang disebut dengan istihsan menurut syara’ seorang mujtahid menemukan dalil
yang memenangkan pandangan secara tersembunyi kemudian pindah dari sudut
pandang lahiriyah hal ini juga berlaku jika hukum itu bersifat umum
Sedangkan pada
mujtahid ada dalil yang menuntut pengecualian pada sebagian hukum umum ini
kemudian ia menghukumi perkecualian itu dengan hukum yang lain maka ini juga
disebut dengan istihsan.[1]
Menurut abu
al-hasan al-karkhi istihsan adalah perubahan atau penyimpangan penetapan hukum yang
sudah diterapkan kepada ketentuan yang lain atas suatu masalah dikarenakan
adanya alasan kuat dan dalil yang menghendaki perubahannya.
Menurut kalangan
ulama maliki istihsan adalah mengamalkan dan memilih dalil yang paling kuat
dari dua dalil.
Menurut kalangan
mazhab imam ahmad ibn hambal istihsan adalah penyimpangan dari ketentuan hukum
yang semestinya berlaku karena adanya dalil syara yang khusus.
Menurut imam
maliki istihsan adalah mengutamakan pada realisasi tujuan syariat, jadi dasar
istihsan tersebut yaitu mengutamakan tujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil
umum menghendaki dicegahnya bahaya tersebut.[2]
Dari pemaparan
diatas dapat diketahui bahwa pada dasarnya istihsan sudah tercermin dari
beberapa definisi yang telah dipaparkan diatas, dengan adanya suatu ketentuan
hukum yang semestinya diterapkan namun karena ada sesuatu dengan alasan kuat
menuntut penetapan khusus sehingga ketentuan yang sudah jelas tersebut hukumnya
tidak dapat diterapkan. Hal semacam ini bisa terjadi karena tidak dapat
menerapkan qiyas atas suatu masalah atau sebagai pengecualian atas ketentuan
hukum yang juziy dan ketentuan hukum
yang kulliy atau mungkin pengkhususan sebagian dari makna yang umum atas
ketentuan hukum yang khusus.
Menurut
al-syarakhsi, abdul wahab khalaf dan al-bazdawi istihsan adalah meninggalkan
ketentuan qiyas yang jelas atas ketentuan qiyas yang samar karena adanya dalil
dan alasan kuat yang menghendakinya.
2.
Asal-usul
perumusan istihsan sebagai dalil
Persoalan qiyas adalah salah satu
penyebab istihsan dijadikan sebagai dalil hukum. Dalam persoalan-persoalan
tertentu qiyas sebagai dalil hukum tidak dapat diterapkan, dikarenakan salah
satu dari unsur rukun qiyas yang dinamakan illat tidak memenuhi syarat. Atau
dengan maksud lain tidak bisa diterapkannya illat qiyas yang akan dijadikan
sebagai pautan atau penyamaan hukum bagi persoalan tertentu dikarenakan tidak
sebanding oleh karenanya hal ini harus diselesaikan dengan cara lain yang lebih
mendekati tujuan syara’.
Istihsan
diangkat sebagai salah saru dalil hukum karena adanya pemikiran dan perumusan
istihsan seperti yang diatas. Pada awalnya muncul dari imam abu hanifah dan
kalangan pengikutnya.
Zaky al-din
sya’ban menjelaskan bahwa sesungguhnya pada kalangan madzhab hanafi banyak
menjelaskan persoalan hukum fiqh yang ditetapkan dengan istihsan.
Salah satu
contoh istihsan adalah mengenai sisa air minum burung buas. Burung buas
disamakan dengan binatang buas yakni dagingnya tidak diperbolehkan dimakan
karena najis. Karena binatang buas dagingnya najis maka air liurnya juga najis.
Jika ia meminum maka sisa air minumannya pun menjadi najis. Menurut ketentuan
qiyas maka sisa air minum burung buas juga najis karena disamakan dengan
binatang buas. Tapi menurut ulama kalangan mazhab hanafi sisa minuman burung
buas tidak najis karena burung buas minum menggunakan dengan paruhnya sehingga
air minum tidak tercampur dengan air liurnya[3]
3.
Macam – macam
istihsan
Dikalangan
madzhab istihsan sebagai dalil hukum dibagi menjadi beberapa macam
a.
Menurut madzhab hanafi
Seperti yang ada pada penjelasan
Muhammad al-said ali abd. Rabuh, istihsan dalam madzhab hanafi ini dibagi
menjadi lima macam diantaranya yaitu :
1.
Istihsan
dengan nash
Maksudnya yaitu
suatu penyimpangan ketentuan hukum berdasarkan ketentuan qiyas kepada ketentuan
hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan
sunnah.
Dalam beberapa
masalah, sering ditemui istihsan pada jenis ini yang bersumber dari nash yang
sudah pasti berlawanan dengan ketentuan hukum yang umum atau kaidah yang sudah
berlaku. Salah satu contohnya yaitu tentang jual beli salam. Dalam kegiatan ini
yaitu belum adanya barang yang dijual belikan akan tetapi harga sudah ditetapkan dan dibayar terlebih dahulu sesuai
kesepakatan antara penjual dan pembeli. Dalam jual beli seperti ini sebenarnya
tidak memenuhi persyaratan, karena pada syarat sahnya jual beli harus ada
barang atau benda tersebut. Dalam hadis terdapat larangan jual beli barang yang
wujudnya belum ada. Akan tetapi, larangan itu dikecualikan berdasarkan istihsan
karena ada nash khusus yang membolehkannya. “diriwayatkan bahwa ketika nabi
datang kemadinah, beliau melihat penduduk madinah biasa melakukan jual beli
buah-buahan yang belum jelas wujudnya, satu tahun sampai dua tahun.” Melihat
jual beli seperti ini nabi mengatakan “barang siapa yang melakukan jual beli
seperti ini lakukanlah dengan ketentuan yang sudah diketahui dan masa yang
sudah diketahui pula.”
2.
Istihsan
dengan ijma’
Maksudnya yaitu
meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada permasalahn karena adanya ijma’.
Dalam hal ini dikarenakan adanya fatwa mujtahid atas peristiwa yang berlawanan
dengan kaidah umum yang sudah ditetapkan atau ia hanya diam dan tidak menolak
dengan apa yang dilakukan oleh manusia yang mana sebnarnya berlawanan dengan
ketentuan yang sudah ditetapkan. Contohnya yaitu seseorang memesan suatu barang
kepada orang lain. Jadi maksudnya yaitu seseorang meminta bantuan kepada
ahlinya (tukang) untuk dibuatkannya suatu barang tertentu, dengan syarat-syarat
tertentu yang sebearnya tidak dibolehkan, karena ketika transaksi berlangsung
barang tersebut belum ada wujudnya (ma’dum), sementara dengan adanya transaksi
barang yang belum ada wujudnya tidak dibolehkan. Akan tetapi, berdasarkan
istihsan transaksi ini dibolehkan karena dalam prakteknya (muamalah) masyarakat
sudah melakukan tanpa adanya penolakan dari para mujtahid meskipun berlawanan
dengan ketentuan qiyas.
3.
Istihsan
darurat dan hajat
Maksudnya yaitu
meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas terhadap suatu masalah seorang
mujtahid karena berhadapan dengan kondisi darurat, dan mujtahid berpegang
kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau meolak terjadinya
kemadharatan. Dengan maksud lain karena adnya permasalahan yang darurat dan
menjadi hajat orang lain maka penetapan qiyas yang ada boleh ditinggalkan.
Contohnya yaitu air sumur atau kolam yang terkenan najis. Berdaskan kaidah yang
ada kolam atau sumur yang terkenan najis tidak boleh digunakan. Tetapi, dengan
kondisi yang darurat yang menghendakinya dan karena dibutuhkannya air maka
dalam kondisi ini dibolehkan, walaupun berlawanan dengan kaidah umum atau dalil
yang adanya dalil yang melarangnya. Menurut madzhab hanafi ini cara menghilangkan
najis yaitu dengan memasukkan beberapa air gallon kedalam kolam atau sumur
tersebut dikarenakan kondisi yang darurat sehingga orang-orang tidak menemukan
kesulitan dalam memenuhi kebutuhan terhadap air.
4.
Istihsan
dengan urf dan adat
Maksudnya yaitu
penyimpangan penetapan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena
telah ada urf yang terkenal dan di praktekan dalam kehidupan masyarakat.
Contohnya yaitu penyewaan wanita untuk menyusukan bayi dengan terjaminnya
kebutuhan pokok yaitu makanan dan pakaian. Menurut abu hanifah ini
dibolehkannya menyewa atau memberi upah wanita untuk menyusukan bayi, dengan
berdasarkan kesepakatan dan membolehkan pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian
tersebut.
5.
Istihsan
dengan qiyas khafi
Maksudnya yaitu
memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepad yang
samar-samar dan tidak jelas, akan tetapi keberadaanya tersebut lebih tepat dan
lebih kuat untuk diamalkan. Contohnya yaitu berkaitan dengan aurat wanita.
Aurat wanita sesungguhnya dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki,
dibolehkan terlihat bagian tubuh wanita dengan adanya kebutuhan yang baik bagi
wanita tersebut. Dalam hal ini terdapat dua qiyas yang berlawanan : yang
pertama yaitu berdasarkan kaidah yang jelas bahwa dengan melihatnya keadaan wanita dapat
menimbulkan fitnah, yang kedua yaitu dibolehkan melihat aurat wanita dalam
keadaan tertentu seperti halnya pada saat pengobatan ketika itu tidak ada
wanita yang khusus dalam pengobatan tersebut, maka di gunakannya illat (alasan)
yang membawa kesulitan pada bagian ini.
b.
Menurut madzhab maliki
Berdasarkan
penjelasan dari abdul wahab khalaf bahwa ulama dari kalangan madzhab maliki ini
membagi istihsan menjadi tiga macam diantaranya yaitu :
1.
Istihsan dengan Al-urf
Contoh yang
diberikan oleh madzhab maliki ini yaitu seseorang yang bersumpah tidak akan
makan daging dan apabila ia makan daging ikan maka tidaklah dianggap melanggar
sumpah, meskipun didalam alqur’an sudah dijelaskan bahwa ikan sama dengan
daging.
2.
Istihsan dengan maslahat
Maksudnya yaitu
menyampingkan pemberlakuan hukum qiyas dengan adanya pertimbangan maslahat yang
lebih penting. Cotohnya yaitu pada penyewaan barang yang mana apabila dalam
menyewa barang itu rusak maka itu bukan kesalahan dari penyewa barang tersebut,
maka menurut ketentuan qiyas penyewa tidak menanggung resiko pada kerusakan
barang. akan tetapi, ketentuan ini tidak berlaku karena demi kemaslahatan
keduanya(penyewa dan yang menyewakan) maka penyewa dituntut untuk mennganti
kerusakan pada barang tersebut.
3.
Istihsan dengan keadaan untuk
menghilangkan kesulitan[4]
Maksudnya yaitu dengan istihsan ini
didasarkan pada meninggalkan kesulitan yang dihadapi. Istihsan ini hampir tidak
ada bedanya dengan istihsan yang bersandar pada maslahat. Yang pada umumnya
istihsan ini membahas tentang masalah muamalah dan ibadah, sebagai upaya
menghilangkan kesulitan.
C.
Istishab
1.
Pengertian Istishab
Istishab dalam
arti secara harfiah adalah al-mushahabah yang berarti tuntutan untuk
kebersamaan, atau istimrar al-mushahabah yang berarti bersama terus
menerus.Pengertian istishab dari para Ulama' ushul fiqh secara istilah yakni
penetapan hukum tentang ada dan ketidak adaan sesuatu di masa sekarang maupun
di masa depan yang didasarkan pada ada dan ketidak adaannya pada masa yang lalu
dikarenakan tidak ada dalil yang berindikasi untuk bisa berubah. Prinsip dari
istishhab adalah berdasarkan ghalabah al-zhann atau dugaan yang kuat terhadap
keberlanjutan dari kondisi yang sebelumnya sehingga ditetapkan status
keberlanjutannya terhadap hukum yang berlaku. Oleh sebab itu istishhab tidak
memiliki kekuatan dalil yang baik di dalam proses istinbath, sehingga apabila terdapat pertentangan yang
sangat berlawanan dengan dalil lain yang lebih kuat, maka istishhab harus
dinomer duakan.[5]
Terdapat
beberapa pengertian tentang Istishhab yang dikemukakan oleh beberapa tokoh ahli
ushul fiqh yang meskipun secara penyusunan kalimat berbeda-beda, namun secara
inti tidak jauh berbeda maknanya. Menurut Ibn Al-Subki Istishhab merupakan
penetapan hukum atas permasalahan hukum yang kedua yang didasarkan pada hukum
pertama karena tidak adanya dalil yang mengubahnya. Definisi Istishhab dari
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah adalah mengkekalkan hukum dengan alur penetapan hukum
berdasarkan hukum yang sudah terlebih dahulu ada, ataupun dengan cara menghapus
hukum atas dasar karena tidak adanya hukum sebelumnya.[6]
Kesimpulan yang
bisa diambil dari beberapa definisi tersebut adalah Istishhab sebuah pengakuan
terhadap apa yang sebelumnya sudah ada. Terdapat dua macam keadaan yang pernah
terjadi di masa yang telah lau, yakni: Nafi (ketika tidak ada hukum
sebelumnya), dan Tsubut (saat pernah terdapat hukum sebelumnya).[7]
Berikut contoh
gambaran dari kedua istishhab tersebut, baik dalam bentuk Tsubut (yang pernah
ada) maupun yang berbentuk Nafi (tidak pernah ada).
a.
Contoh Istishhab yang berbentuk
Tsubut (yang pernah ada)
Contoh yang
kedua tentang hukum dalam permasalahan talak. Apabila terdapat sebuah keraguan
dari seorang suami tentang apakah ia sudah mentalak istrinya atau belum, maka
yang diambil adalah hukum asalnya yaitu tetap dalam hubungan pernikahan tanpa
ada sebuah talak yang dijatuhkan. Namun, apabila seorang suami merasa yakin
bahwasannya ia telah menjatuhkan talak pada istrinya tapi masih ragu apakah
telah dijatuhkannya talak satu, dua, ataupun tiga, maka seorang suami dihukumi
bahwa ia telah metalak tiga istrinya. Hal tersebut terjadi karena talak
didasarkan pada keyakinan.[8]
b.
Contoh Istishhab yang berbentuk
Nafi (tidak pernah ada)
Pada masa yang
lalu tidak pernah ada hukum yang mengatur atau menjelaskan tentang kewajiban
puasa di bulan Syawal, karena memang tidak ada dasar atau dalil apapun yang
mewajibkan hal tersebut. Dengan ketiadaannya dasar atau dalil yang mengatur hal
tersebut sejak dahulu maka hukum tersebut tetap berlaku hingga masa kini dan
masa yang akan datang, dikarenakan telah wafatnya Rasulullah, sehingga hukum
tersebut tidak akan berubah.
2. Bentuk-Bentuk Istishhab
a. Istishhab al-bar’at al-ashliyah
Ibn al-Qayyim
berpendapat Istishhab al-bar’at al-ashliyah adalah terlepasnya tanggung jawab
atau kewajiban dari semua taklif sampai terdapat bukti yang menentukan
taklifnya. Contohnyaseoranganakkecil yang belumbaliq,
berartianakkeciltersebutbelummempunyaikewajiban. Dan juga
sepertiseoranglaki-lakidanperempuan bias di
katakansuamiistriapabilasudahmelakukanakadnikah.[9]
b. Istishhab yang dtunjukanpadapikiranatausyara’
Contonyaapabilaseorangmempunyaihutangmakadiamempunyakewajibanuntukmembayarhutangtersebutsamaiadabuktibahwahutangtelahlunas.
c. Istishhabhukum
Sesuatu yang
sudahditetapkanolehhukummudahatau
haram.Makanyahukum-hukuminiberlakusecaraterus-menerussampaiadadalil yang
menyatakanmengharamkanapa yang awalnyamubahdanmemperbolehkan yang awalya
haram.Kebolehaninididasarkanpadafirman Allah SWT:
هُوَ
الَّذِي الأَرْضِ جَمِيعاً خَلَقَ لَكُم مَّا فِي
“ Dialah Allah yang menjadikansegala yang ada di bumiuntukkamu”.
(al-baqarahayat 29)
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا
فِي الأرْضِ جَمِيعًا
“Dan
Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu
semuanya” . (al-jatsiyah: 13)
d. Istishhab al-wafs
Istishhab al-wafs yang
dilandaskanataspendapat yang masihtetapsifatsebelumyasampaiadabukti yang
mengubahnya.Contohnyaseseorang yang hilangakandianggapmasihadasampaiadabukti
yang menyatakanbahwadiatelahwafat. Begitu juga dengan air yang bersih, akan di
katakana bersihselamatidakadabukti yang mengubah status air tersebut.[10]
3. Argumentasiistishhab
Istishhabmerupakansebuahdalil
yang digunakanuntukmembuatkeputusanmerupakancirikhususbuatkalanganSyafi’iyyahdalammenyampaikanpendapatnya,
ada juga kalanganHanabilah. Al-AmudimenegaskanbahqagolonganSyafi’iyyahseperti
Al-Muzani, Al-Shaiafi, Al-Ghazalidanulama’ lainnya pun
berpendapattentangsahnyaberhujjahdenganmemakaimetodeistishhab.[11]
Ada empatfaktor yang disampaikanoleh Al-Amuditentangdugaan yangberkelanjutantersebut:
Pertama, ijma’ yang
sudahterbentukdalamperkaramunculnyakebimbangandalampelaksanakanshalat.Seseorang
yang bimbangdalammelakukanshalatnyadalamperihalbersuci (wudhu)
sebelummelaksanakansholat, makadiatidakbolehmelanjutkansholatnya.Bila yang
muculadalah status thaharahnyamasihberlanjut, makaiabolehmelanjutkanshalatnya.
Apabilapadamasing-masingcontohtersebutkasusfundamentalnyabukanberlanjutmakabolehjadidalamcontoh
yang pertamaseseorangbolehmelanjutkanshalat, danpadacontoh yang
keduatidakdiperbolehkanmelanjutkanshalat.
Namunkeduakemungkinaninimenyalahiijma’. Hal ini juga
sesuaidengansabdaRasulullahSAW :
إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي
بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لاَ فَلاَ
يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
Artinya: Apabila salah seorang
dari kalian merasakan sesuatu dalam perutnya Sehingga dia bimbang. Apakah telah
keluar angin atau tidak. Maka janganlah ia keluar dari masjid(membatalkan
shalatnya) hingga ia mendengar suara tau mencum bau. (HR. Muslim dari Abd
Hurairah).
Kedua, apabila sesuatu
keberadaan dan ketiadaan sudah dapat dipastikan dan juga memiliki karakter
terentu, rasio memiliki tradisi
membenarkan pemutusan status hukumnya pada masa yang akan datang sejak
masa keberadaan dan ketiadaannya. Dengan ini seseorang mengirimkan sepucuk
surat ke orang lain yang jauh, sebelumnya orang lain tersebut sudah di ketahui
keberadaanya (alamatnya). Atau melaksanakan persaksian atas seseorang yang pernah membuat pengakuan memiliki hutang
pada orang lain.
Ketiga, bahwa dugaan
yang berkelanjutan sebuah kondisi mempunyai keunggulan tersendiri dibandingkan
adanya perubahan kondisi. Karena suatu yang berkelanjutan memerlukan lebih dari
satu faktor saja, yaitu terjadinya masa yang akan datang dan wujud kondisi yang
berlanjut pada masa yang akan datang. Ada tiga faktor yang menyebakan
terjadinya perubahan pada suatu kondisi , yaitu terjadinya masa mendatang,
peralihan perubahan dari ada pada tiada, ataupun sebaliknya, dan menetapnya
kondisi ada atau tiada pada masa yang akan datang.adalah suatu yang dapat
dipahami, bahwa sesuatu yang yang berganung pada dua faktor memiliki nilai
keunggulan tersendiri dibandingkan sesuau yang bergantung pada tiga faktor.[12]
Keempat, materi yang
mempunyai karakter tersendiri mempunyai peluang yang lebih besar (ghalabah
al-zhann) untuk berkelanjutan dengan karakter tersebut daripada peluang adanya
perubahan. Keberlanjutan tidak memerlukan mu’atssir (faktor perubah), karena
jika memerlukan mu’atssir, maka mu’atssir dapat memberikan pengaruh ataupun
tidak. Apabila memberikan pengaruh
itupun merupakan kondisi awal. Sedangkan jika tidak memberikan pengaruh maka
proses perubahan kondisi harus dengan adanya mu’atssir. Bila tidak demikian,
maka proses perubahan sesuatu akan berjalan degan sendirinya, dan ini adalah
hal yang tidak logis.[13]
D. Maslahah mursalah
1.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Kata
“Masalih” merupakan jama’ dari “Maslahah”yang berarti kepentingan, jika
digabungkan dengan kata “mursalah”
berarti kepentingan yang tidak terikat,
tidak ada batasnya, dan kepentingan yang diputuskan secara bebas.
Secara
istilah maslahah mursalah adalah kebaikan atau kemaslahatan yang tidak dibahas
oleh syari’at Islam mengenai hukumnya, pada umumnya maslahat bisa mendatangkan
kegunaan (manfaat) dan bisa menjauhkan keburukan (kerugian).Istilahlain dari
maslahah adalah istidlal, dan istislah. Berdasarkan kedua istilah tersebut
beberapa ulama ushul memberikan definisi yang berbeda-beda.
a.
Abdul Wahhab Khalaf mendefinisikan
“Maslahah yaitu Maslahah yang ketentuan
hukumnya tidak digariskan oleh Tuhan dan tidak ada dalil syara’ yang menunjukan
tentang kebolehan dan tidaknya maslahah tersebut.”[14]
b.
Sedangkan Yusuf Musa memberikan
pengertian “Maslahah yaitu segala kemaslahatan
yang tidak diatur oleh ketentuan syara’ dengan mengakui atu tidaknya akan
tetapi mengakuinya dapat menarik manfaat dan menolak kemadaratan.”[15]
c.
Selanjutnya dalam kitabnya
Asbabul Ikhtilafi Al-Fuqaha, Abdullah bin Abdul Husein merusmuskan “Maslahah Mursalah yaitu kemaslahatan yang
tidak jelas diakui atau ditolak oleh syara’ dengan suatu dalil tertentu dan ia
termasuk persoalan yang dapat diterima oleh akal tentang fungsinya.”[16]
d.
Sedangkan dalam kitab Ushul
Fiqih, Abu Zahrah menyebutkan “masalah
atau istislah yaitu segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan
syariat Islam dalam menentukan hukum dan tidak ada dalil khusus tentang diakui
dan tidaknya.”[17]
Berdasarkan
beberapa Istilah diatas maka batasan tentang pengungkapan maslahah tersebut berbeda-beda
anatara satu dengan yang lain, akan tetapi jika diperhatikan lebih mendalam dan
diteliti kembali kesemuanya mempunyai arti dan maksud yang sama, kecuali
batasan yang di kemukakan oleh Muhammad Abu Zahra tampak lebih mendudukan
persoalan pada tempatnya : bahwa maslahah bukanlah maslahah yang
dilatarbelakangi oleh kebebasan berpendapat yang hanya dilandasi oleh emosi
diri belaka, akan tetapi ia merupakan maslahah yang sejalan dengan tujuan atau
maksud-maksud syara’.
Hubungan
batasan-batasan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :
1.
Maslahah adalah maslahah yang
tidak ditunjuk oleh dalil tertentu tentang diakui atau tidaknya
2.
Maslahah harus sejalan dan
senafas dengan maksud-maksud syara’(Allah) dalam mensyari’atkan hukum
3.
Maslahah dalam realisasinya harus
dapat menarik maslahah dan menolak madarat.
4.
Maslahah harus dicapai dan
diterima secara logis oleh akal sehat.[18]
2. Dasar hukum maslahah mursalah
Beberapa
dasar hukum atau dalil mengenai berlakunya teori maslahah mursalah, yakni :
a.
Al-Qur’an
Salah satu ayat
Al-Qur’an yang dijadikan landasan berlakunya maslahah mursalah adalah firman Allah
dalam surat Yunus : 57
Artinya : “hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu
dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan
rahmat bagi orang-orang yang beriman”
Maksud dari ayat tersebut adalah Allah
SWT memberikan karunia kepada makhluknya yaitu berupa Al-Qur’an, yang Allah
turunkan melalui nabi Muhammad SAW. dengan adanya Al-Qur’an bertujuan untuk
mendapatkan hidayah dan rahmat Allah, serta menghilangkan kekejian dan
kekotoran.
b. Hadist
Salah satu
hadist yang dikemukakan sebagai landasan kehujjahan maslahah mursalah adalah
sabda nabi Muhammad SAW: “tidak diperbolehkan berbuat madhotot serta memadhorotkan
c.
Perbuatan para
sahabat dan ulama salaf
Para sahabat dan
para imam madzhab telah mensyariatkan beragam hukum berdasarkan prinsip
maslahah. Contoh dari sahabat Abu Bakar “para sahabat memilih beliau sebagai
seorang khalifah pengganti nabi Muhammad
SAW setelah nabi Muhammad wafat. Pada
saat itu posisi khalifah telah kosong dan sangat dibutuhkan seorang khalifah
pengganti. Hal ini merupakan maslahat yang sangat penting, namun tidak tidak
ditemukan teks atau dalil khusus dari syari’at yang membenarkan atau tidak
diperbolehkan.
Sedangkan contoh
dari Utsman bin Affan yaitu mengumpulkan Al-Qur’an dari beberapa mushaf, hal
ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah, namun alasan beliau
mengumpulkan mushaf Al-Qur’an tidak lain kecuali semata-mata maslahat, yaitu
menjaga AL-Qur’an dari kepunahan atau kemutawatiranya karena meninggalnya
sebagian besar hafidz dari generasi sahabat. Kehujjahan maslahah juga didukung
dalil-dalil aqliyah (alasan rasional) sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahab
Khallaf dalam kitabnya Ilmu Ushul Fiqih beliau menulis : “Al-Maslahah
Al-Mursalah yakni mathlaqat adalah kemaslahatan yang tidak disyari’atkan oleh
Allah secara tegas untuk realisasinya dan tidak ada dalil syar’i baik yang
memerintahkan maupun yang melarangnya. Disebut juga mutlaq karena kemaslahatan
itu tidak terikat pada dalil yang memerintahkan atau yang melarangnya.[19]
3.
Macam-macam
maslahah
Jika dilihat
dari segi pandangan syara’ maka maslahah diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1.
Masalahah murtabah, atau
kepentingan-kepentingan yang diakui dalam syariat Islam dan dijadikan dasar
dalam penetapan hukum. Misalnya, melindungi kehidupan, agama, keluarga, akal,
kekayaan, dan kehormatan . contoh gamblangnya adalah diwajibkanya berpuasa pada
bulan ramadhan, tujuan dari berpuasa pada bulan ramadhan adalah tidak lain
untuk mendidik manusia agar sehat secara jasmani maupun rohani. Demikian juga
kemaslahatan yang melekat pada kewajiban zakat, yaitu untuk mendidik jiwa
muzakki agar terbebas dan jauh dari sifat kikir dan kecintaan yang berlebihan
pada harta serta untuk menjamin kehidupan orang miskin. Kedua contoh
kemaslahatan ini tidak bisa dibatalkan, sebab jika dibatalkan akan berakibat
kepada hilangnya kepentingan dan keterkaitan dari pensyari’atan puasa dan zakat
pada bulan ramadhan.[20]
2.
Masalahah mulghah, atau
kepentingan yang dibuang oleh syariah. Misalnya seorang penguasa yang tidak
menjalankan puasa pada bulan ramadhan lalu ia menebus dosanya dengan cara
memerdekakan budak, tetapi hakim pengadilan memberikan keputusan bahwa sang
penguasa harus berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Karena penebusan dosa
tidak ditentukan oleh banyaknya kekayaan seseorang.[21]
Contoh lainya adalah kemaslahatan seorang perempuan yang menjadi imam bagi
laki-laki sudah jelas bahwa hal ini bertentangan dengan kemaslahatan yang
ditetapkan oleh syariat Islam yaitu dilarangya seorang perempuan menjadi imam
sholat bagi laki-laki.
3.
Maslahah mursalah,
kepentingan-kepentingan yang tidak terbatas dan tidak ada ketentuanya.[22]
Misalnya, penjatuhan talak dipengadilan,
kewajiban memilik SIM bagi pengendara motor, dan lain-lain.
Sedangkan
ulama ushul mengklasifikasikan maslahah menjadi tiga, yaitu :
1.
Maslahah
dharuriyah
Segala hal yang
menjadi sendi eksistensi (ada) kehidupan
manusia, harus ada demi kemaslahatan mereka, apabila sendi itu tidak
terpelihara dengan baik maka kehidupan manusia akan kacau balau, baik kehidupan
didunia maupun kehidupan di akhirat. Hal seperti ini bisa dikembalikan pada
lima perkara yang merupakan pokok perkara yang harus dilindungi yaitu agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta.
2.
Maslahah
hajjiyah
Segala sesuatu
yang dibutuhkan manusia (masyarakat) untuk menghilangkan kesulitan dan menolak
segala halangan dalam hal beribadah kepada Allah, Islam memberikan keringanan
bila sorang mukallaf mengalami kesulitan dalam menjalankan suatu kewajiban .
misalnya, diperbolehkan seseorang dalam bulan ramadhan ketika sedang sakit atau
sedang dalam perjalanan jauh
3.
Maslahah
tahnisiyah
Menggunakan yang
layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik. Tahnisiyah sendiri
dibagi menjadi tiga yakni bidang ibadah, adat, dan muamalah. Contoh bidang
ibadah misalnya bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik
ketika akan melaksanakan sholat, mendekatkan diri kepada Allah melalui
amalan-amalan. Sedangkan contoh dalam bidang adat misalnya, bersikap sopan ketika makan dan minum, dalam
bidang muamalah contohnya seperti larangan menjual barang yang haram seperti
khamar.
4.
Syarat-syarat
maslahah mursalah
Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya Masadirul Ahkami Islamiyah memberikan
syarat-syarat lain sebagai kelengkapan syarat diatas, antara lain :
1.
Hendaknya kemashlahatan itu
bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif atau maslahah yang diduga dan
diasumsikan dalam arti apabila seseorang berkesempatan dan memusatkan perhatian
pada itu yakin bahwa membina hukum berdasarkan kemaslahatan itu, misal tentang
kemaslahatan dari larangan talak oleh suami dan hal itu secara mutlak
diserahkan kepada hakim, yang demikian bukanlah kemaslahatan yang hakiki
melainkan kemaslahatan yang imajinatif yang hanya akan menghancurkan kehidupan.[23]
2.
Kemaslahatan hendaknya bersivat
universal dan tidak parsial. Sebagaimana apa yang diungkapkan imam
Al-Ghazali “kalau dalam suatu
pertempuran melawan orang kafir merekan membentengi diri dan membuat pertahanan
melalui beberapa orang muslim yang tertawan, sedang orang kafir tersebut dikhawatirkan
akan melancarkan agresi dan dapat menghancurkan mayoritas kaum muslimin maka
penyerangan harus dilakukan, meskipun akan mengakibatkan kematian beberapa
orang muslim yang sebenarnya harus dilindungi keselamatan jiwanya. Hal ini
berdasarkan pertimbangan suatu kemenanga dan ketahanan.[24]
3.
Hendaknya kemaslahatan itu
bukanlah kemaslahatan yang mulgha (yang jelas ditolak oleh nas), oleh karena
itu fatwa Imam Yahya bin Yahya seorang fiqh Andalusia dan murid imam Malik bin
Anas adalah salah beliau memberi fatwa
kepada seorang raja apabila ia berbuka puasa di siang hari dengan sengaja pada
bulan ramadhan maka tidak ada kafarat baginya kecuali berpuasa dua bulan
berturut-urut. Dia berfatwa tanpa memberikan pilihan, antara memerdekakan budak
atau dengan cara berpuasa sebagaimana mestinya. Menurut beliau kafarat tidak
hanya memberikan pelajaran kepada orang yang melakukan pelanggaran agar ia
tidak mengulangi perbuatanya. Dan khusus bagi seorang raja maksud ini dapat
dicapai hanya dengan mengharuskan dia memenuhi kafarat berupa puasa yang
memberatkan, sedang memerdekakan budak tidak berpengaruh apa-apa karena tidak
memberatkan. Namun pendapat ini oleh sebagian ulama dianggap fatwa yang berlandaskan
kepada pertimbangan kemaslahatan yang milgha karena nas Al-Qur’an merujuk
kepada kafarat itu tidak melakukan diskriminasi antara raja dan lainya.[25]
E.
Kesimpulan
1.
istihsan adalah beralihnya
pemikiran seorang mujtahid dari tuntutan qiyas jali (nyata) kepada qiyas khofi
(samar).
istihsan sebagai
dalil hukum dibagi menjadi beberapa macam
a.
Menurut madzhab hanafi
1.
Istihsan dengan nash
2.
Istihsan dengan ijma’
3.
Istihsan darurat dan hajat
4.
Istihsan dengan urf dan adat
5.
Istihsan dengan qiyas khafi
b.
Menurut madzhab maliki
1.
Istihsan dengan Al-urf
2.
Istihsan dengan maslahat
3.
Istihsan dengan keadaan untuk
menghilangkan kesulitan
2.
Istishab secara istilah yakni
penetapan hukum tentang ada dan ketidak adaan sesuatu di masa sekarang maupun
di masa depan yang didasarkan pada ada dan ketidak adaannya pada masa yang lalu
dikarenakan tidak ada dalil yang berindikasi untuk bisa berubah.
Bentuk-Bentuk Istishhab
a.
Istishhab al-bar’at al-ashliyah
b.
Istishhab yang dtunjukanpadapikiranatausyara’
c.
Istishhab hukum
d.
Istishhab al-wafs
3.
Maslahah mursalah adalah kebaikan
atau kemaslahatan yang tidak dibahas oleh syari’at Islam mengenai hukumnya
Beberapa dasar hukum atau dalil mengenai
berlakunya teori maslahah mursalah adalah Al-Qur’an, Hadist, dan perbuatan para
sahabat dan ulama salaf.
Ada banyak sekali macam-macam maslahah
seperti maslahah murtabah, maslahah mulghah, maslahah dharuriyah, maslahah
hajjiyah, maslahah tahnisiyah. namun yang dibahas disini hanya pokok bahasan
saja yakni maslahah saja sehingga disini hanya menyinggung sedikit saja tetang
beberapa macam-macam maslahah tersebut.
F.
Daftar
Pustaka
Kallaf,
Abdul Wahab, 1997, Ilmu Ushul Fikih , Jakarta: Darul Qalam, Quwait
Usman,
Iskandar, 1997, Istihsan Dan Pembaharuan
Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Pers
H.
Romli, 2014, Studi Perbandingan Ushul
Fiqih , Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Forum
Karya Ilmiah, 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam , Kediri: Purna Siswa
Aliyyah Madrasah Hidayatul Mubtadi-ien.
Haq,
Husnul, Penggunaan Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama, IAIN
Tulungagung: Alhurriyah Vol. 02 No. 01
Saidurrahmad,
Istishhab Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis, Medan:
Jurnal Asy-Syir’ah
H.
A. Djazuli, 2006, Ilmu fiqh :
Pengalihan, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta : Prenada Media
Group
Efendi,
Satria, 2005, Ushul Fiqh, Jakarta, Prenada media
Umar
Abdullah, dkk, 2004, Kilas Balik
Teoritis Fiqh Islam, Kediri : Purna Siswa Aliyah.
Zuhri,
Syaifudin, 2009, Ushul Fiqih, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ridwan,
2007, Fiqih Politik, Yogyakarta: FH UII Pres
Muslehuddin,
Muhammad, 1991, Filsafat Hukum Islam Dan
Pemikiran Orientalis, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya
Catatan:
1.
Similarity sebanyak 17%.
2.
Judul buku dimiringkan.
3.
Dalam beberapa tempat, perujukan agak
minim.
[1] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul
Fikih (Jakarta: Darul Qalam, kuwait, 1997), hlm. 104.
[2] Iskandar usman, Istihsan Dan
Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: rajawali pers, 1991), hlm. 20
[3] H. Romli, Studi Perbandingan
Ushul Fiqih (Yogyakarta, pustaka pelajar, 2014), hal. 194-198
[4] H. Romli, Studi Perbandingan
Ushul Fiqih (Yogyakarta, pustaka pelajar, 2014), hal. 198-205
[5] Forum Karya Ilmiah 2004, “Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah
Hidayatul Mubtadi-ien, 2008, hlm. 195
[6]Husnul Haq, “Penggunaan
Istishab dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Ulama”, IAIN Tulungagung:
Alhurriyah Vol.02 No.01 Hlm 18-19
[8]Saidurrahmad, “Istishhab
Sebagai Dasar Penetapan Hukum Islam: Sebuah Tinjauan Historis”. Medan:
Jurnal Asy-Syir’ah hlm. 1043-1044
[9] H. A. Djazuli, Ilmu fiqh :
pengalihan, perkembangan dan penerapan hukum islam, prenada medai
group,jakarta,2006, hlm. 92
[10]Satria
Efendi, UshulFiqh, Prenada media,Jakarta,2005, hlm. 161
[11]Abdullah
umar-FathulQodir-ZainurArifin, kilasBalikTeoritisFiqh Islam, Puma
siwaaliyyah, Kediri, 2004, hlm. 196
[14] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2009), hlm. 81
[15] Ibid, hlm. 82
[16] Ibid, hlm 83
[17] Ibid, hlm 82
[18] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2009), hlm. 84
[19] Ridwan. Fiqih Politik
(yogyakarta: FH UII Press. 2007), hlm 94
[20] Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam Dan Pemikiran
Orientalis, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm 129
[21] Ibid, hlm 130
[22] Ibid , hlm 130
[23] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar
2009), hlm, 102
[24] Ibid, hlm, 103
[25] Ibid, hil 103
Tidak ada komentar:
Posting Komentar