Integrasi Ilmu Sosial dan
Al-Qur’an
(Ilmu Sosial Profetik
Kuntowijoyo)
Ita Hijriyah, Alfiatus Sholihah,
Muhamad Fajar Riyandanu
Mahasiswa
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas D Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail
: Muhamadfajarriyandanu@gmail.com
Abstract
The
article discuss about the position of social knowladge and its integration with
Qur’an refering to Kuntowijoyo’s view (1943-2005) on prophetic social
knowledge. It intentionally creates contene of value from aspiration of change
that has been craved by society. So a change that is based on humanitarian,
emansipation, liberation, and transdens. Values in prophetic social knowlegde
adapts a theory in Islam (Qur’an), based on scientific and Allah’s oneness.
Beside discussing about Kuntowijoyo’s biography, he is also a conseptor of
prophetic sosial knowledge inspired by Qs. Al- Imran : 110 that later explain
the source of knowledge are not only rationale and empiric, but we also from
divine relation.
Abstrak
Makalah
ini membahas tentang posisi ilmu sosial dan integrasinya dengan Al-Qur’an yang
mengacu pada pemikiran Kuntowijoyo (1943-2005) mengenai Ilmu Sosial Profetik.
Ilmu Sosial Profetik secara sengaja membuat kandungan nilai dari cita-cita
perubahan yang diidamkan masyarakat, berarti perubahan yang didasarkan pada
cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transdensi. Nilai-nilai dalam
Ilmu Sosial Profetik mengadopsi suatu ajaran yang berasal dari agama Islam
(Al-Qur’an), yang didasarkan pada keilmuan dan tauhid kepada Allah SWT. Selain
membahas posisi Ilmu sosial dan Integrasinya dengan Al-Qur’an, makalah ini juga
membahas tentang biografi dari Kuntowijoyo. Beliau adalah pencetus dari Ilmu
Sosial Profetik yang terinspirasi dari Qs. Al-Imran ayat 110 yang nantinya menjelaskan bahwa sumber ilmu
pengetahuan itu tidak hanya dari rasio dan empiris, tetapi juga bersumber dari
wahyu.
Keywords : Sosial
Knowledge, Prophetic, Integration
A. Pendahuluan
Relasi Ilmu pengetahuan dan Agama
memang menjadi hal menarik untuk kajian-kajian diskusi. Ilmu sosial selama ini
telah terlanjur dikembangkan dengan suatu asumsi bahwa ilmu dan agama adalah
dua hal yang terpisah yang sangat kuat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial.
Ilmu bukan
sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum
sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang
disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang
dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh
mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk
dari epistemologi.
Membahas relasi
antara Al Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari
banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi
yang lebih utama adalah melihat : adakah Al qur’an atau jiwa ayat-ayatnya
menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu
pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang di berikan kepada
masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada
sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga
mempunyai pengaruh (positif atau negative) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu sosial seyogyanya menjadi
kekuatan intelektual dan moral. Karenanya, ilmu sosial seharusnya tidak
berhenti hanya menjelaskan realitas atau fenomena sosial apa adanya, namun
lebih dari itu, melakukan tugas transformasi.
Ilmu sosial profetik ditampilkan
sebagai ilmu sosial yang tidak hanya memberikan penjelasan tentang realitas
sosial dan mentransformasikannya, tapi sekaligus memberi petunjuk kearah mana
transformasi itu dilakukan dan untuk tujuan apa. Ilmu sosial profetik tidak
sekedar merubah demi perubahan sendiri tapi merubah berdasarkan cita-cita etik
dan profetik tertentu. Kuntowijoyo kemudian merumuskan tiga pilar ilmu sosial
profetik yaitu: humanisasi, liberasi, dan transendensi dari misi
historis Islam bagaimana terkandung dalam al-Quran.
B. Posisi Ilmu Sosial dan Al-Qur’an
Al-Qur’an
memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan di berbagai segi kehidupan, baik
yang berkaitan dengan masalah kejiwaan, jasmani, sosial, ekonomi maupun
politik. Untuk menjawab setiap problem yang ada, Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar
umum yang dapat dijadikan landasan oleh manusia, yang relavan di segala zaman.
Dengan demikian, Al-Qur’an akan selalu aktual di setiap waktu dan tempat.[1]
Masa
modern menghendaki adanya penyatuan berbagai macam keilmuan yang mempunyai
dimensi yang berbeda. Ilmu agama yang merupakan ilmu-ilmu berdimensi ketuhanan
diharapkan dapat berintegrasi dengan ilmu eksakta maupun sosial-humaniora yang
berdimensi kemanusiaan.[2]
Ilmu
Sosial menjadi hal yang krusial dalam masyarakat, karena ilmu sosial lah yang
paling dekat dengan kehidupan manusia. komunikasi, sosialisasi, interaksi,
semua tidak terlepas dari peran ilmu sosial. Dalam perkembangannya ilmu sosial
dan ilmu agama berada di ruang lingkup yang berbeda, ilmu sosial membahas
tentang sesuatu yang nyata, terlihat, empiris, sedangkan ilmu agama lebih
mengarah ke hal-hal yang berbau abstrak.
Ilmu
sosial terdiri atas dua suku kata, yaitu ilmu dan sosial. Ilmu dalam bahasa
inggris diredaksikan dengan science yang
berasal dari bahasa Latin scientia yangmempunyai
arti pengetahuan. Sementara itu sosial yang
dalam bahasa Inggris diartikan dengan social memiliki banyak arti. Soekanto
menunturkan bahwa istilah sosial dalam ilmu sosial sendiri merujuk pada
objeknya, yaitu masyarakat. Dengan demikian dari pemaknaan secara tersebut,
bisa disederhanakan bahwa ilmu sosial merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang
mengkaji tentang masyarakat. Karena ilmu sosial memiliki banyak arti, bisa
diartikan ilmu sosial adalah ilmu yang tidak mengenal kebenaran pasti. Ilmu-ilmu
sosial tidak pernah mengenal kebenaran tunggal.
Menurut
Jalaluddin dalam bukunya yang berjudul Teologi
Pendidikan, Upaya manusia untuk mengembangkan diri dan membentuk peradaban
adalah dengan cara mengembangkan diri dan membentuk peradabannya, yang kemudian
digunakan untuk mengembangkan nalar untuk berkreasi. Pengembangan nalar dapat
berupa ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun demikian dalam pandangan
pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi betapapun canggihnya, secara
hakiki harus terikat pada nilai-nilai tertentu. Tanpa ikatan nilai, Ilmu
Pengetahuan dan teknologi akan berdampak negatif bagi kehidupan manusia dan
lingkungannya. Agama menyediakan tolak ukur kebenaran dalam ilmu (benar,
salah), bagaimana ilmu itu diproduksi (baik, buruk) dan tujuan-tujuan ilmu
(baik,buruk).
Ayat-ayat Al-Qur'an merupakan petunjuk manusia, tidak saja untuk kehidupan
akhirat namun juga untuk kebaikan kehidupan di dunia. Ilmu pengetahuan adalah salah satu sarana manusia
untuk menuju kehidupan di dunia lebih baik. Oleh sebab itu, dalam Al-qur'an pun
tak luput memberikan petunjuk tentang ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Guna
mengansitipasi permasalahan yang akan timbul dari kalangan agamawan dan
peneliti, Kuntowijoyo mengusulkan Ilmu Intergraslistik, adalah ilmu yang
menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu tuhan dan pemikiran manusia
(ilmu-ilmu integralistik) tidak akan mengucilkan tuhan (sekularisme) atau
mengucilkan manusia. Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan
konflik antara sekularisme ekstrem dan agama-agama radikal dalam banyak sektor.[3]
C. Integrasi Ilmu Sosial dan Al-Qur’an
Secara konseptual, pemahaman
mengenai pola integrasi keilmuan mengacu kepada sebuah pandangan bahwa Ilmu
pengetahuan yang diperoleh dari sumber manapun, pada hakikatnya memiliki
kesamaan dalam kerangka menemukan sebuah kebenaran dalam kapasitas dan porsi
yang berbeda. Dalam perkembangannya, pandangan demikian semakin memperoleh
respon yang positif sebagai sebuah pendekatan yang mampu menjadi jalan tengah
dalam pusaran konflik antara al-quran sebagai sumber ajaran agama yang bersifat
dogmatik dengan sains yang bersifat logik dan empirik. Sebagai konsekuensinya
dalam pandangan ini bahwa antara alquran, sains dan ilmu sosial tidak harus
saling mendeskriditkan satu sama lainnya.
Agamawan dengan kitab sucinya
meyakini sebagai produk yang diturunkan oleh Allah adalah sebuah kebenaran yang
tidak bisa diganggu gugat, sementara di sisi lain, dalam sains juga berlaku
hukum-hukum alam yang dapat dibuktikan kebenarannya. Pada persoalan ini sains
telah menolak klaim kebenaran agama yang menyatakan bahwa Adam sebagai manusia
pertama. Di sisi lain agama juga kerap melakukan penolakan terhadap kebenaran
ilmu pengetahuan.
Meskipun di awal antara ilmu
pengetahuan dan agama sempat mengalami persinggungan, namun dalam
perkembangannya, antara ilmu pengetahuan dan agama terus berdialog bahkan
berdampingan satu sama lain dalam membongkar rahasia Tuhan di balik teks agama.
Sains tidak lagi dipandang sebagai musuh yang berpotensi mengganggu eksistensi
agama, begitupun sebaliknya, agama tidak lagi dipandang sebagai penghambat
kerja nalar sains.[4]
sejalan dengan Kuntowijoyo yang
menyatakan bahwa agama tidak pernah menjadikan wahyu Tuhan sebagai satu-satunya
sumber pengetahuan dan melupakan kecerdasan manusia, atau sebaliknya,
menganggap pikiran manusia sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan
melupakan Tuhan. Jadi, sumber pengetahuan itu dua macam, yaitu yang berasal
dari Tuhan dan yang berasal dari manusia.[5]
penemuan sains, memungkinkan manusia
mempunyai instrument penelitian sains yang memiliki tingkat akurasi tinggi.
Pada saat itulah akhirnya kita mampu memahami maksud dari firman Tuhan. Hal ini
seperti diberitakan dalam sebuah ayat, “untuk
tiap-tiap berita (yang dibawa oleh rasul-rasul) ada (waktu) terjadinya dan
kelak kamu akan mengetahui”. (QS. Al-An’am : 67)[6]
Sebagai contoh integrasi ilmu
sosial dan Al-Qur’an dapat dilihat dari kehidupan masyarakat indonesia yang
sangat toleransi dengan banyaknya perbedaan Suku, Agama, maupun Ras. Bersikap
adil dan berbuat baik antar sesama akan menciptakan kedamaian dan keharmonisan
tanpa adanya permusuhan dan sikap saling mencurigai. Sesungguhnya Allah SWT
mencintai perbuatan yang demikian. Seperti yang tertulis di Qs. Al-Mumtahanah :
8
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengursir kamu
dari kampung halamanmu. Sessungguhnya Allah mencintai ornag-orang yang berlaku
adil”.
D.
Biografi Kuntowijoyo
Sebagaisalahseorangcendekiawanmuslim
yang khas, Kuntowijoyoatau yang akrabdisapadenganKunto,
beliaudikenalsebagaisejarawan, sastrawandanbudayawan di Indonesia.
Kuntowijoyoadalahputrapasangandari H. Abdul Wahid SastroatmojodanHj.
Warastibeliaudilahirkan di Sorobayan, Sanden, Bantul, Yogyakarta padatanggal 18
September 1943, Meskilahir di Yogyasemasahidupnyalebihbanyakdilewati di
Klatendan Solo[7].Anakkeduadarisembilanbersaudarainidibesarkan
di lingkunganMuhammadiyah, ayahnya yang Muhammadiyahjugasukamendalangbeliautergolongsebagaianakpriyayi.KehidupanKuntowioyodengankeluarganyaberpolahidupsederhana.Kuntowijoyodiasuhdalamkedalamanrelijiusdansenibeliautidakhanyamenuliskaryasejarah,
akantetapijugamenulisbagaimanaseharusnyasejarahditulis.
Minat belajar sejarah Kuntowijoyo sudah
terlihat sejak ia masih kecil, ketika ia masih belajar di madrasah ibtidaiyah,
Kunto kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Mustajab, yang pandai
menerangkan peristiwa sejarah Islam secara dramatik. Dia merasa seolah-olah
ikut mengalami peristiwa yang dituturkan sang Ustad tersebut. Sejak saat itu,
Kunto pun tertarik dengan sejarah. Di bangku kuliah, Kunto akrab dengan dunia
seni dan teater. Dia pernah menjabat sebagai sekretaris Lembaga Kebudayaan
Islam (Leksi) dan ketua dari Studi Grup Mantika hingga tahun 1971, sehingga ia
berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan muda, seperti
Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam dan Salim Said. [8]Kuntowijoyo
mengenalkan baik metode maupun metodologi sejarah sesuai dengan perkembangan
ilmu sejarah.
Bagi Kuntowijoyo, corak
perkembangan intelektualnya banyak dipengaruhi oleh Prof.Dr.Sartono Kartodirjo.
Seorang dosen sekaligus sejarawan kenamaan yang juga menekuni bidang sejarah
sosial, yang menurut pengakuan Kunto selalu menganjurkan untuk tidak percaya
pada reduksionisme, menganjurkan plurikausalitas dan pendekatan
multidimensional dalam sejarah. Beliau menyelesaikan sarjananya pada tahun 1969
di UGM Fakultas Sastra Jurusan Sejarah.
Gelar Master-nya diperoleh dari University of Connecticut, USA.
Gelar Ph.D. dalam study sejarah dari University of Columbia pada
tahun 1980 dengan disertasi berjudul “Social Change in an Agrarian Society
Madura 1850-1940”.
Kendati menjalani hidup dalam
keadaan sakit, semenjak mengalami serangan virus meningo enchepalitis pada 6
Januari 1992, dia terus berkarya sampai detik-detik akhir hayatnya. Prof Dr
Kuntowijoyo meninggal dunia di Rumah Sakit Dr. Sardjito Yogyakarta, Selasa 22
Februari 2005 pukul 16.00 akibat komplikasi penyakit sesak napas, diare dan
ginjal. Kuntowijoyo merupakan sosok yang produktif dan begitu konsisten dalam
melahirkan karya-karya berbobot. Salah satu karya monomentalnya yaitu Paradigma
Islam; Interpretasi untuk Aksi (1991)
yang menjadi magnum opusnya. Buku-buku Dinamika Sejarah Umat
IslamIndonesia (1985);
Budaya dan Masyarakat (1987); Identitas Politik Umat Islam (1987); Muslim
Tanpa Masjid (2001);
dan Selamat Tinggal Mitos, SelamatDatang Realitas (2002).[9]
E. Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo
Kuntowijoyo
pernah mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial
Profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial
tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi (perubahan) itu
dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak
sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
proferik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara
sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita perubahan yang diidamkan
masyarakat. Bagi kita itu berarti perubahan yang didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendesi, suatu cita-cita profetik yang
divariasikan dengan misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam QS Al-Imran [3], ayat 110.
“Engkau adalah umat terbaik yang
diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran
(kejahatan) dan beriman kepada Allah”.
Tiga
muatan nilai inilah yang mengkarakterisasikan ilmu sosial Profetik. Dengan
kandungan nilai-nilai humanisasi, liberasi, dan transendensi (hal-hal rohani),
ilmu sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita
sosio-etiknya di masa depan.[10]
Sehingga
dapat dipahami bahwa ilmu sosial profetik dalam pemikiran Kuntowijoyo ialah
suatu disiplin ilmu sosial yang menjadikan humanisme, liberasi, dan
transedental sebagai landasannya, yang merupakan alternative di tengah-tengah
perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang cenderung bersifat positivis.
Selain itu, nilai-nilai yang bersifat rohani dalam ilmu sosial profetik ini
mengadopsi ajaran yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadist. Sehingga menjadi
suatu pengetahuan yang memiliki nilai-nilai keilahian (Iman dan Tauhid).
Gagasan
ini sebenarnya diilhami oleh Muhammad Iqbal,
khususnya ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi Muhammad Saw. Seandainya Nabi itu seorang mistikus atau
sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke bumi karena telah merasa
tenteram bertemu dengan Tuhan dan berada di sisi-Nya. Nabi kembali ke bumi
untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah. Beliau
memulai suatu transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik.[11]
F.
Unsur-unsur Ilmu
Sosial Profetik
Menurut
Kuntowijoyo dalam bukunya yang berjudul Islam
Sebagai Ilmu, Pilar dari Ilmu Sosial Profetik ada tiga, yaitu amar Ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi).
·
Humanisasi (Ma’ruf). Diartikan sebagai menyuruh kebajikan. Dapat dilakukan
penelitian tentang berbagai gejala sosial dan pemecahannya, yaitu dehumanisasi (objektivitas tekonologi,
ekonomis, budaya, dan negara), agresivitas
(agresivitas kolektif, kriminalitas), dan loneliness
(privatisasi, individualisasi).
Dehumanisasi terjadi di antaranya
karena dipakainya tekonologi (fisik dan metode) dalam masyarakat.[12]
Jacquel Ellul menulis buku The
Tecnological Society, menjelaskan betapa jauh pengaruh teknologi itu di
dalam kehidupan. Penelitian di suatu pabrik yang menggunakan mesin seperti
pabrik tekstil, konveksi, rokok akan menjawab masalah objektivitas (manusia
hanya jadi objek) dan otomatisme (manusia jadi otomaton, bergerak secara
otomatis tanpa kedasaran). Masalah yang akan terjadi selanjutnya adalah terjadinya
Alienasi di masyarakat. Pekerja/buruh akan teralienasi terhadap sesama pekerja,
teralienasi terhadap identitasnya, pekerjaannya, bahkan keluarganya.
Masyarakat teknologi juga
masyarakat ekonomis, karena itu ekonomi menentukan stratafikasi, sistem pengetahuan,
dan lingkungan. Kedudukan ekonomi seorang menjadi patokan ketika orang mencoba
untuk menggolongkan masyarakat. Dalam budaya, masyarakat teknologis juga
menyebabkan transformasi, yang dimana transformsi bisa menyebabkan kerusuhan
Kerusuhan yang mengandung Suku, Agama, dan Ras (SARA) bisa jadi karena adanya
manusia massa itu. [13]
Dampak tekonologi juga berimbas
ke negara, baik positif maupun negatif. Dampak positif ialah apabila negara
mengalami kemajuan teknologi berarti demokrasi, HAM, dan birokrasi yang lancar.
Negatif, bila teknologi menyebabkan otoritarianisme,
neofeodalisme, dan militerisme. Kemiskinan/kekumuhan
menjadi salah satu faktor besar mengapa kriminalitas terjadi, maka dari itu
perhatian kepada masalah kriminalitas dan kontrolnya sekarang harus ditujukan
untuk meningkatkan kesadaran (emansipasi) supaya perilaku kriminal itu tidak
terjadi, dengan cara pendidikan, melakukan kontrol, dan pencegahan.
Loneliness, seperti yang disebut oleh David
Riesman dalam The Lonely Crowd untuk
menggambarkan masyarakat kota karena individualisasi atau privatisasi. Nasib
semacam ini tentu dialami oleh kelas menengah ke atas, orang kota sungguhan.
Penduduk kota mesikipun bergerombol, sebenernya mereka hidup sendiri-sendiri.
Manusia di zaman industri mudah sekali terjatuh. [14]
Tujuan
humanisme
adalah memanusiakan manusia, merupakan terjemahan kreatif dari Amar Ma’ruf (Menyuruh Kebajikan). Dalam
Islam, humanisme dipraktikan oleh
Nabi Muhammad saw ketika menghilangkan perbudakan secara berangsur-angur hingga
saat ini serta mengakui dan mendukung manusia yang merdeka. Hal ini juga pernah
dilakukan oleh Karl Max, seorang filosof asal jerman yang berusaha untuk
menghapuskan eksploitasi berlebihan pada kaum pekerja. Marx melihat bahwa
fenomena industrialisasi yang mengiringi terjadinya Revolusi Industri telah
melahirkan masyarakat kelas ( Proletar, buruh). Meskipun jumlah kelas buruh
proletar ini demikian massif, secara ekonomi maupun politis mereka berada di bawah
kekuasaan golongan burjois yang kini telah menguasai modal atau kapital. Hal
ini menyebabkan struktur masyarakat kapitalistik terjadi pemiskinan massal
dengan tenaga buruh hanya diperas dan diperas tanpa memerhatikan kesejahteraan
sosial.
Berjalannya
waktu, Marx berupaya untuk melakukan suatu gerakan revolusi sosialis. Ketika
daya beli masyarakat hancur, saat itu juga masyarakat kapitalis pun runtuh. Nah
ketika itulah kelas proletar akan bangkit dan merebut alat-alat produksi yang
akan digunakan untuk melakukan perombakan ekonomi secara besar-besaran, suatu
proses yang akan menyebabkan terjadinya revolusi sosialis. Namun , alih-alih
melakukan revolusi sosialis, mereka ternyata hanya menuntut perbaikan upah,
perbaikan jaminan sosial, asuransi hari tua, dan pemotongan jam kerja.
Manusia
dalam zaman industri mudah sekali terjatuh, kehilangan kemanusiaan. Dalam Qs
At-tin (95): 5-6 dikatakan bahwa orang dapat jatuh ke tempat paling rendah.
Kemudian ayat itu mengecualikan orang-orang yang beriman dan beramal saleh.
Kiranya ayat ini merujuk pada humanisasi, yaitu iman dan amal saleh.[15]
Surat
An-Nahl ayat 90, menjelaskan bahwa kehidupan manusia haruslah adil. Seperti
yang diupayakan dan diperjuangkan oleh Nabi Muhammad saw dan Karl Marx.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebijakan, memberi kepada kamu
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pelajaran”.
Individu
yang telahterinternalisasi oleh nilai ini akan menghilangkan ketergantungan,
kekerasan, dan kebencian dari manusia, serta memiliki karakter: (1) menjaga
persaudaraan antar sesama meski berbeda agama, status sosial-ekonomi, dan
tradisi, (2) memandang seseorang secara total meliputi aspek fisik dan
psikisnya atau raga dan jiwanya, (3) menghindarkan berbagai bentuk kekerasan
terhadap siapa pun dan dimana pun termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),
dan (4) membuang jauh sifat kebencian. Setiap orang memiliki keterbatasan
sehingga dimungkinkan melakukan kesalahan atau ketidaksempurnaan. Menerima
kekurangan orang lain akan menghilangkan kebencian yang terkadang mendera jiwa
sesorang. [16]
·
Liberasi.Terjemahan dari Nahiy Munkar (Mencegah Kemungkaran), Sasaran
liberasi ada empat, yaitu sistem pengetahuan & sosial, sistem ekonomi, dan
sistem politik. Liberasi sistem pengetahuan ialah usaha-usaha untuk membebaskan
orang dari sistem pengetahuan materialistis, dari domonasi struktur, misalnya seks.Pembebasan dari dominasi seks ini
bertentangan dengan gerakan feminisme Barat yang serba anti-pria. Islam dalam
hal ini mendukung sebuah moderasi, yaitu sejajaran antara pria dan wanita,
dengan perspektif gender. Pembebasan
dari belenggu sistem sosial amat penting, karena pada umunya umat sedang keluar
dari sistem sosial agraris ke sistem sosial industrial. Itulah the great transformastion bagi umat.[17]
Pembebasan dari belenggu sistem
ekonomi perlu mendapat perhatian, meskipun masalah ini kadang-kadang sangat
sensitif karena disangkutkan dengan pembangunan nasional, stabilitas, dan
keamanan. Adalah kepentingan nasional kita untuk melihat beberapa kesenjangan
dan ketidakadilan dengan kepala dingin. Kerusuhan-kerusuhan akhir ini (Sampit,
Maluku, Poso), kebanyakan pasti disebabkan karena kesenjangan ekonomi.[18]
Islam merupakan agama yang secara
serius dan kongkret berupaya untuk menghilangkan ketidak adilan itu, misalnya
dengan mekanisme zakat. Zakat bukanlah merupakan kebaiklan hati orang kaya
kepada orang miskin. Zakat lebih merupakan kewajiban kelas kaya yang diberi
karunia kepada lebih oleh Tuhan untuk menegakkan keadilan sosial.[19]
Dalam konsep zakat ini, tampak sekali ada pemihakan kelas kepada
golongan-golongan yang lemah dan miskin. Rupanya memang pemilihan kelas diakui
secara teologis dalam pengertian bahwa itu didasarkan pada prinsip keadilan.
Secara vokal Al-Qur’an menyerukan agar kekayaan, kekuasaan dan kehormatan tidak
boleh hanya beredar di kalangan kelas kaya.
Dalam kesenjangan ekonomi
setidaknya ada dua ayat Al-Qur’an yang dengan jelas menyebutkannya, yaitu Qs:
Al- Hasyr (59): 7
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka
adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di
antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”
Hal yang sama juga diserukan
dalam Qs: Al-Baqarah (2): 188
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang
lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui”.
Ini berarti bahwa Islam mengencam
konsentrasi dan monopoli. Islam menghendaki adanya distribusi yang adil
menyangkut kekayaan, kekuasaan, dan kehormatan.
Sebuah gerakan liberasi yang didasarkan akal
sehat justru penting untuk sistem ekonomi nasional kita.[20]Liberasi
Politik berari membebaskan sistem dari otoritarianisme, diktaror, dan
neofeodalisme. Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani adalah juga tujuan Islam.[21]
Tujuan Liberasi adalah pembebasan dari kekejaman
kemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, dan pemerasan kelimpahan. Mereka
yang terperangkap dalam kesadaran teknokrasi, dan mereka yang tergusur oleh
ekonomi raksaksa.
Individu yang terinternalisasi
nilai ini akan memiliki karakter di antaranya: (1) memihak kepada kepentingan
rakyat, tidak membebani rakyat dengan prosedur yang rumit atau biaya tinggi,
(2) menegakkan keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan, dengan membuat program
dan sistem yang mampu menjaga diri dari lingkungan sosialnya untuk mendukung
dan berpartisipasi, dan (3) memberantas kebodohan dan keterbelakangan
sosial-ekonomi melalui pendidikan yang membebaskan dan pengembangan ekonomi
kerakyatan. [22]
·
Transedensi. Bagi umat islam sendiri tentu
transendensi berarti beriman kepada Allah. Kedua unsur Ilmu Sosial profetik
(humanisasi, liberasi) harus mempunyai rujukan yang Islam yang jelas. Menurut
Fromm siapa yang tidak menerima otoritas Tuhan akan mengikuti: (1) relativisme
penuh, di mana nilai dan norma sepenuhnya adalah urusan pribadi, (2) nilai
tergantung pada masyarakat, sehingga nilai dari golongan yang dominan akan
menguasai, dan (3) nilai terkandung pada kondisi biologis, sehingga Darwinisme
sosial, egoisme, kompetisi, dan agresitivitas adalah nilai-nilai kebajikan.
Karana itu, sudah selayaknya kalau umat Islam meletakkan Allah sebagai pemegang
otoritas, Tuhan yang Maha Objektif. [23]
Sebuah etika harus tahu batas,Ilmu tanpa bimbingan wahyu hanya akan menyebabkan
kerusakan. Oleh karena itu, ilmu dalam Islam tidak bisa terlepas dari wahyu.
Islam bukanlah Komunisme yang mempunyai satu ideologi resmi dan melarang yang
tidak resmi. Misalnya, mereka melarang kritik sastra Formalisme Rusia hanya
karena kritik sastra itu tidak sama dengan ideologi Realisme Sosialis. Demikian
yang terjadi di Indonesia dengan PKI dan Lekranya. Ilmu Sosial Profetik tidak
boleh dipaksakan, ilmu harus eklektik, bersifat terbuka, menimba dari banyak
sumber, sehingga ada cross fertilization.
Meskipun nanti sudah banyak penelitian, sudah ada corpus Ilmu Sosial Profetik, sifat keterbukaan itu perlu
dipertahankan. Hal yang lebih penting ialah bagaimana Ilmu Sosial Profetik
dapat menjadi pelayan umat, menjadi bagian dari inteligensi kolektif, yang
mampu mengarahkan umat ke arah evolusi sosial secara rasional.
Tujuan transendensi terjemahan dari tu’ minuna billah (Beriman Kepada Allah)
adalah menambahkan dimensi transendental (hal-hal yang bersifat rohani) dalam
kebudayaan.[24]
G.
Penutup
Al- Qur’an merupakan sumber ilmu
utama yang dapat dijadikan pedoman dan acuan untuk kajian ilmu-ilmu lainnya.
Penemuan-penemuan yang ditemukan oleh para ilmuan, terutama ilmuan barat sering
menyalahi kodrat/alam itu sendiri. Penemuan seperti kloning, kawin silang jika
diteruskan akan mengakibatkan ketidakseimbangan alam yang nantinya akan
berpengaruh ke kehidupan manusia serta aktifitas sosialnya.
Kuntowijoyo
ingin mengemukakan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah ilmu-ilmu sosial
Profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial
tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi (perubahan) itu
dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik tidak
sekedar mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan
proferik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial profetik secara
sengaja memuat kandungan nilai dari
cita-cita perubahan yang diidamkan masyarakat. Bagi kita itu berarti perubahan
yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi, dan transendesi,
suatu cita-cita profetik yang divariasikan dengan misi historis Islam
sebagaimana terkandung dalam QS Al-Imran [3],
ayat 110.
Istilah profetik mempunyai makna
kenabian. Nilai- nilai profetik perspektif Kuntowijoyo terdiri dari nilai
humanisasi, liberasi dan transendensi. Humanisasi berarti memanusiakan manusia,
menghilangkan kebendaan,ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia,
dengan melawan tiga hal yaitu dehumanisasi (objektivasi teknologis,
ekonomis, budaya, ataunegara), agresivitas (agresivitas kolektif, dan
kriminalitas), loneliness(privatisasi, individuasi).
Liberasi mempunyai makna
membebaskan, yang bersignifikansi sosial dengan tujuan membebaskan manusia dari
kekejaman pemiskinan struktural, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan,
dominasi struktur yang menindas, dan hegemoni kesadaran palsu.
Transendensi mempunyai makna
teologis, yakni ketuhanan, maksudnya bermakna beriman kepada Allah SWT.
Transendensi bertujuan menambahkan dimensi transendental dengan cara
membersihkan diri dari arus hedonisme, materialisme, dan budaya yang dekaden.
Singkatnya, menghendaki manusiauntuk mengakui otoritas mutlak Allah SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Afwadzi,Benny.Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan
Hadis Nabi. Jurnal Living Hadis Volume 1. no.1. Mei 2016.
Al
–Qaththan ,Syaikh Manna. Pengantar Studi
Ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2010.
Irwanto. Pendektan Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami
Makna Ayat-ayat Al-Qur’an. Jurnal Literasi. Volume. V, no. 1 Juni 2014.
Kuntowijoyo. Islam Sebagai Ilmu. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006.
Kuntowijoyo. Muslim Tanpa Masjid. Bandung: Mizan,
2001.
Kuntowijoyo. Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi.
Bandung: Mizan, 2008.
Miftahuddin- ajat
sudrajat-djumarwan. Kuntowijoyo dan Pemikirannya: Dari Sejarawan Sampai
Cendekiawan.Laporan Hasil
Penelitian Dosen UNY. Oktober 2013.
Rosadisastra, Andi.
Integrasi Ilmu Sosial Dengan Teks Agama
dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an. Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis. Volume 4.
no.1 . Juni 2014.
Roqib,Moh.Pendidikan Karakter Dalam Perspektif
Profetik. Jurnal Pendidikan Karakter. Tahun III. no. 3. Oktober 2013.
Sanusi.Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial
Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah. Jurnal
IJTIMAIYA. Volume 1. no. 1. Juli-Desember 2017.
Catatan:
1. Similarity sebanyak
28%. Cukup tinggi
2.
Mengapa masih mengutip dari blog?
3. Bagian awal kurang
referensial.
[1]Syaikh Manna’ Al –Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hal. 15
[2]Benny Afwadzi, Membangun Integrasi Ilmu-ilmu Sosial dan
Hadis Nabi, Jurnal Living Hadis, Volume 1, no.1, Mei 2016, hal. 102
[3]Kuntowijoyo. ISLAM
SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 55
[4]Sanusi, Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial
Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah, Jurnal IJTIMAIYA,
Volume 1, no. 1, Juli-Desember 2017, hal. 139
[5]Andi Rosadisastra, Integrasi
Ilmu Sosial Dengan Teks Agama dalam Perspektif Tafsir Al-Qur’an, Jurnal
Keilmuan Tafsir Hadis, Volume 4, no.1 , Juni 2014hal. 98
[6]Sanusi, Integrasi Al-Qur’an, Sains, dan Ilmu Sosial
Sebagai Basis Model Pengembangan Materi Ajar IPS di Madrasah, Jurnal IJTIMAIYA,
Volume 1, no. 1, Juli-Desember 2017, hal. 141
[7]Irwanto, ”Pendektan
Ilmu Sosial Profetik Dalam Memahami Makna Ayat-ayat Al-Qur’an”, Literasi,
Volume. V, no. 1 Juni 2014, hlm. 2
[8]Miftahuddin-
ajatsudrajat-djumarwan,”kuntowijoyodanpemikirannya:darisejarawansampaicendekiawan”
[9]Ibid, 3
[10]Kuntowijoyo. ISLAM
SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 87
[11]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.483
[12]Kuntowijoyo. ISLAM
SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 100
[13]Ibid, hal. 101
[14]Ibid, hal. 102
[15]Kuntowijoyo. ISLAM
SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 102
[16]Moh Roqib, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif
Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013, hal. 245
[17]Kuntowijoyo. MUSLIM TANPA MASJID, (Bandung: Mizan,
2001), hal. 370
[18]Kuntowijoyo. ISLAM
SEBAGAI ILMU, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hal. 104
[19]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.502
[20]Kuntowijoyo. MUSLIM TANPA MASJID, (Bandung: Mizan,
2001), hal. 371
[21]Ibid, hal.373
[22]Moh Roqib, Pendidikan Karakter Dalam Perspektif
Profetik, Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun III, no. 3, Oktober 2013, hal. 245
[23]Ibid, hal. 374
[24]Kuntowikoyo. PARADIGMA ISLAM Interpretasi Untuk Aksi,
(Bandung: Mizan Pustaka,2008), hal.483-484
Tidak ada komentar:
Posting Komentar