BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Di dalam kehidupan
sehari-hari saat ingin menjalankan perintah Allah, manusia sering mendapat
kesulitan dikarenakan suatu keadaan.Dimana keadaan tersebut mampu menuntun
manusia menjadi lalai atau bahkan meninggalkan perintah tersebut.Contohnya
adalah sholat.Tidak jarang manusia mengalami keadaan dimana manusia tersebut
sulit untuk menunaikan sholat.Untuk itu Allah memberikan keringanan bagi
hambanya untuk memudahkan hambanya yang ingin bertakwa.Missal, Allah memberikan
keringanan bagi hambanya untuk meringkas dan menggabungkan sholat, demi
mengeluarkan hambanya dari kesulitan.
Dalam makalah ini
kami akan membahas mengenai sholat jama’ dan sholat qasar. Banyak orang yang
mengetahui dua sholat ini namum bagi sebagian orang masih rancu akan ketentuan
dan bagaimana cara melakukannya. Mengingat sangat pentingnya dua kemudahan yang
diberikan Allah bagi hambanya yang mengalami kesukaran saatakan melakukan
ibadah atau perintah lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian shalat jama’?
2.
Bagaimana ketentuan shalat jama’?
3.
Apa pengertian qashar?
4.
Bagaimana ketentuan shalat qashar?
5.
Bagaimana tata cara shalat dalam keadaan sakit dandi kendaraan?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian shalat jama’.
2.
Untuk mengetahui ketentuan shalat jama’.
3.
Untuk mengetahui pengertian shalat qashar.
4.
Untuk mengetahui ketentuan shalat qashar.
5.
Untuk mengetahui tata cara shalat dalam keadaan sakit dan di
kendaraan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Shalat Jama’
Jama’ secara
singkat dapat diartikan menggabungkan dua shalat di dalam satu waktu.[1]
1.
Macam-macam Jama’
a.
Jama’ Taqdim. Yaitu menjamak antara shalat Zhuhur dan Ashar pada
waktu Zuhur serta menjamak shalat Maghrib dan Isya’ pada waktu Maghrib. Ada
tiga syarat agar jamak sah:
i)
Hendaknya ia memulai dengan shalat yang dikerjakan pada waktu itu.
ii)
Adanya niat untuk menjama’.
iii)
Berurutan atau langsung antara dua shalat.
b.
Jama’ Ta’khir. Yaitu menjamak antara Zuhur dan Ashar pada waktu
Ashar serta menjamak shalat Maghrib dan Isya’ pada waktu Isya’. Tidak
disyaratkan dalam hal itu, kecuali syarat-syarat seperti dalam jamak taqdim. [2]
2.
Niat Menjama’ Shalat
a.
Niat Menjamak Shalat Jama’ Taqdim Dhuhur dengan Ashar
أُصَلِّي فَرْضَ الظُّهْرِأربع رَكعَاتٍ
مَجْمُوْعًا مَعَ العَصْرِ اَدَاءً للهِ تَعَالَى
b.
Niat Menjamak Shalat Jama’ Ta’khir Dhuhur dengan Ashar
أُصَلِّي فَرْضَ العِشَاءِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ
مَجْمُوْعًا مَعَ اْلمَغْرِبِ جَمْعِ تَقْدِيمِ اَدَاءً للهِ تَعَالى
c.
Niat Menjamak Shalat Jama’ Ta’dim Maghrib dengan Isya’
أُصَلِّي فَرْضَ العشاء أَرْبَعَ رَكعَاتٍ
مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمِعِ تَقْدِيْمِ اَدَاءً للهِ تَعَالَى
d.
Niat Menjamak Shalat Ta’khir Maghrib dan Isya’
أُصَلِّي فَرْضَ
العَشَاءِ أَرْبَعَ رَكْعَاتٍ مَجْمُوْعًا مَعَ الْمَغْرِبِ جَمِعَ تَقْدِيْمِ
اَدَاءً للهِ تَعَالى
B.
Ketentuan
Shalat Jama’
1. Hukum Shalat
Jama’
Mengenai hukum menjama’ sholat baik taqdim
maupun ta’khir ulama’ fiqih memiliki pendapat yang berbeda-beda.
Menurut Madzhab Hanafi, tidak
diperbolehkan menjama’ sholat kecuali pada hari Arafah, hal ini bagi orang yang
menunaikan haji.Yakni jama’ taqdim sholat dzuhur dan ashar, dilakukan dengan
satu adzan dan dua iqomah.Dikumandangkannya dua iqomah sebagai simbol
didirikannya dua sholat yang berbeda dalam satu waktu, yakni sholat dzuhur dan
ashar.Sedangkan mayoritas ulama’ memperbolehkan menjama’ sholat yang dzuhur dan
ashar boleh dijama’, baik jama’ taqdim maupun ta’khir.Begitupun dengan sholat
maghrib dan isya boleh dijama’ baik jama’ ta’khir ataupun taqdim[3].
Imam Syafi’i berpendapat membolehkan
menjama’ sholat baik ketika bepergian, hujan, turun salju, dan haji di Arafah
dan Muzdalifah.Terkhusus saat turun hujan, salju, dan cuaca dingin, dianjurkan
untuk menjama’ taqdim.Hal ini dikarenakan lamanya waktu hujan tidak dapat
diperkirakan.
Menurut Madzhab Syafi’iah dalam
pendapatnya yang mashur tidak diperbolehkan mmenjama’ sholat karena sebab
lumpur, angin, suasana gelap, dan sakit berdasarkan hadits.Dikarenakan dahulu
Rasulullah SAW juga sering sakit namun tidak disebutkan bahwa rasul menjama’
sholatnya karena sebab sakitnya secara jelas.Menurut Madzhab Syafi’i dan Maliki
disunahkan menjama’ taqdim bagi orang yang berhaji saat berada di Arafah dan
menjama’ ta’khir saat di Muzdalifah.Sedang dalam perjalanan panjang
diperbolehkan menjama’ taqdim maupun Ta’khir[4].
2.
Syarat-Syarat Menjama’ Shalat
Menurut
Imam Syafi’I berikut ini adalah syarat-syarat menjama’ shalat:
a.
Niat Menjama’
Niat adalah hal yang
paling utama, jama’ taqdim disaat memulai shalat pertama dan diperbolehkan saat
sudah melakukannya, menurut pendapat yang paling jelas walaupun sudah
mengucapkan salam.
b.
Tertib
Sholat harus dimulai ketika sudah
masuk waktu sholat. Mendahulukan sholat yag pertama baru kemudian sholat yang
kedua. Apabila seseorang memulai sholat jama’ dengan sholat pertama, namun
kemudian diketahui bahwa batal karena tidak melakukan salah satu syarat atau
rukun maka sholat keduanya ikut batal.
c.
Bersambung.
Yang dimaksud dengan bersambung
adalah berurutan atau tidak dipisah anatara dua sholat yang dijama’ dengan
jarak yang panjang. Waktu melakukan sholat pertama dan kedua tidak boleh
dipisah dengan pekerjaan lain.
Bagi orang yang bertayamum boleh
melakukan sholat jama’, menurut sebagian pendapat yang benar seperti halnya
orang yang telah berwudhu, tidak mengapa biladipisah dengan mencari air dalam
waktu sebentar.
Dalam syarat satu sampai tiga ini
yakni niat, tertib dan tidak terputus atau bersambung tidaklah masuk dalam
jama’ ta’khir.
d.
Terus berada di perjalanan hingga melakukan takbiratul ihram pada
sholat kedua.
Apabila perjalanan itu berhenti
sebelum dimulainya sholat yang kedua maka tidak boleh untuk menjama’, karena
hilangnya sebab.
e.
Tetapnya waktu sholat pertama dengan meyakini bahwa dapat melakukan
shalat kedua.
f.
Menganggap bahwa sholat pertama sah.
Tidak boleh ragu akan
sahnya sholat yang pertama. Apabila ragu akan ke-sah an sholat yang pertama,
maka tidak boleh melakukan sholat yang kedua dengan jama’ taqdim.
Syarat
melakukan jama’ ta’khir menurut Madzhab Imam Syafi’i[5]:
a.
Niat mengakhirkan sholat.
Apabila seseorang ingin
melakukan jama’ ta’khir hendaknya dia berniat ketika masuk waktu sholat yang
akan dijama’kan ta’khir. Contohnya ingin menjama’ ta’khir sholat dzuhur dan
ashar, maka selama waktu dzuhur hendaknya orang tersebut harus berniat mengakhirkan
sholat sebelum waktu dzuhur tersebut habis.Apabila tidak, maka jama’ ta’khir
tersebut tidak sah.
b.
Kondisi masih dalam perjalanan hingga memasuki waktu sholat yang
kedua.
Seseorang yang ingin
melakukan jama’ ta’khir maka harus dipastikan hingga memasuki waktu sholat yang
kedua orang tersebut masih dalam perjalanan.
Salah
satu cara Rasulullah menjamak shalat dalam perjalanan adalah apabila melakukan
perjalanan sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zuhur
sampai dengan waktu Ashar, kemudian berhenti dan menjamak keduannya. Apabila
matahari sudah tergelincir sebelum berjalan, beliau shalat Zuhur.Kemudian
beliau naik kendaraan.
Apabila
tergesa-gesa, Nabi mengakhir shalat Maghrib dan menjamak shalat Maghrib dan
shalat Isya’ pada waktu Isya’.Pada saat perang Tabuk, apabila matahari sudah
tergelincir sebelum berangkat, maka beliau mengakhirkan shalat Zuhur sampai
Ashar.Jika pergi sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan shalat Zuhur
sampai Ashar, lalu beliau menjamak keduannya.Begitu juga shalat Maghrib dan
Isya’.[6]
3.
Uzur yang Memperbolehkan Menjama’ Shalat
a.
Wanita yang menyusui, kesulitannya adalah banyaknya najis. Yakni
kesulitan untuk menyucikan setiap kali hendak mau shalat.
b.
Orang yang tidak mau bersuci dengan air atau bertayamun untuk
setiap shalat.
c.
Orang yang tidak mampu menengetahui waktu shalat, seperti orang
buta, orang yang dipenjara di bawah tanah, dan sebagainya.
d.
Wanita yang istihadhah dan yang semisal dengannya, seperti orang
yang menderita beser, tak bisa menahan kentut, mudah keluar madzi, dan
terus-menerus mimisan.
e.
Orang yang sibuk atau beruzur dengan uzur yang karenanya dia boleh
meninggalkan shalat Jum’at dan shalat berjama’ah seperti mengkhawatirkan diri,
harta, atau orang yang penghidupannya terancam jika dia tidak menjamak shalat.
f.
Menjamak shalat Maghrib dan
Isya’ karena dingin yang menggigit, banjir lumpur, atau angin ribut.[7]
C.
Pengertian Shalat Qashar
Menurut Bahasa, qashar berarti kebalikan dari panjang.
Adapun menurut istilah, qashar adalah:
رَدُّ ررُبَاعِيَةً مَكْتُوْبَةٍ ِإِلى رَكْعَتَيْنِ فِيْ
سَفَرٍمَخْصُوْصٍ
Artinya : Mengembalikan shalat
berakaat empat yang diwajibkan kepada berakaat dua dalam safar tertentu.[8]
Qashar
secara singkat dapat diartikan meringkas sholat, yang semula empat raka’at
diringkas (di-qasar) menjadi dua raka’at
dan sholat ini adalah sholat ada’(bukan Qadla’)[9].Di
dalam kitab fiqih At-Tadzhib dituliskan bahwa diperbolehkan bagi orang
yang bepergian (musafir) meringkas sholat yang memiliki empat raka’at, yakni
sholat dzuhur, ashar dan isya’.[10]
D.
Ketentuan Shalat Qashar
1.
Hukum Mengqasar (Memperpendek Shalat)
Sebenarnya
mengqasar sholat diperbolehkan baik dalam keadaan takut maupun dalam keadaan
aman.Namun dikaitkannya sholat qasar dengan keadaan ketakutan bermaksud
menegaskan kondisi sesungguhnya, dimana kebanyakan perjalanan Rasulullah SAW
dahulu dalam keadaan takut atau tidak aman.Diriwayatkan juga dalam beberapa
hadits bahwa Rasulullah SAW dan para sahabat juga mengqasar sholat dalam
keadaan aman, baik saat haji, maupun umroh[11].
Salah satunya hadits:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
قال صلى رسولﷺ: الظُّهْرَ وَاْلعَصْرَ جَمِيْعًا بِا لْمِدِيْنَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ
وَلَآ سَفَرٍ......
Artinya: Dari Ibnu ‘Abas r.a.
Rasulullah SAW bekata: ‘sholat dzuhur dan ashar dikumpulkan di Madinah, tidak
dalam keadaan takut, dan tidak pula ketika bepergian....’.[12]
Mengenai hukum
dari mengqasar sholat saat bepergian para ahli fiqih terpecah menjadi tiga
pendapat, yaitu:
a.
Madzhab Imam Hanafi
Menurut pendapat Imam
Hanafi megqasar sholat adalah suatu kewajiban disertai nikmat.Bahkan bagi
setiap musafir diwajibkan mengqasar sholat yang memiliki empat rokaat menjadi
dua rokaat, apabila lupa maka diwajibkan untuk sujud sahwi[13].
Hukum ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas yang berbunyi:
فَرَضَ اللُهُ الصَّلَآةَ عَلَى ِلسَانِ نَبِيَّكُمْ فِيﷺ الحَضَرِ أَرْبعًا
وَفِي السّفَر رَكْعَتَيْنِوَ فِي الخَوْفِ رَكْعَةً.....
Artinya:
Allah telah mewajibkan sholat melalui lisan nabi kalian, saat bermukim empat
rokaat, dan saat bepergian dua rokaat, serta satu rokaat saat berperang
(ketakutan).[14]
b.
Madzhab Imam Maliki
Imam Maliki mengatakan pendapat yang kuat
dan masyhur, bahwa hukum mengqasar sholat adalah sunah muakkad, karena
Rasululullah SAW melakukannya.Tidak pernah diriwayatkan dalam sebuah haditts
Rasulullah menyempurnakan jumlah rokaat sholat yang berjumlah empat dalam
keadaan perjalanan.Seperti hadits yang disebutkan di atas.[15]
c.
Madzhab Imam Syaf’i dan Imam Hambali
Menurut kedua imam madzhab ini mengqasar
sholat hukumnya mubah.Artinya qasar adalah suatu kemudahan, dimana musafir
boleh mengerjakannya atau meninggalkannya.Namun Imam Hambali juga mengemukakan
bahwa mengqasar shalat lebih baik, dikarenakan Rasulullah SAW dan para sahabat
selalu melakukannya, demikian pula dengan Imam Syafi’i[16].
Syaikh as-Sayyid Sabiq, dalam bukunya Ensiklopedia
Fiqih Islam Fiqih Sunnah menenrangkan bahwa,menurut sebagian besar ulama
madzhab Syafi’i, mengqasar shalat oleh orang yang sedang dalam perjalanan jauh
ataupun menyempurnakannya seperti biasa, kedua-duanya jaiz (yakni
sama-sama membolehkan, atau boleh memilih di antara kedua-duanya). Tetapi apabila
perjalanan tersebut berjarak lebih dari dua marhalah atau ditempuh dalam
sedikitnyatiga hari perjalanan, (kira-kira 120 Km) maka mengqhasar lebih afdol
daripada menyempurnakan. Hal ini sesuai dengan Surat An-Nisa’ ayat 101 yang
berbunyi:
#sÎ)ur÷Läêö/uÑÎûÇÚöF{$#}§øn=sùö/ä3øn=tæîy$uZã_br&(#rçÝÇø)s?z`ÏBÍo4qn=¢Á9$# ........
101. dan apabila kamu bepergian di muka bumi,
Maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu)....
2.
Syarat Mengqashar Shalat
Hikmah diperbolehkannya sholat qasar ialah
memudahkan para musafir, sehingga menghilangkan kesulitan bagi mereka ketika
akan menunaikan perintah Allah SWT, selain itu sebagai penyemangat bagi umat
islam dalam beribadah karena tidak ada lagi alasan untuk meninggalkan atau
lalai terhadap sholat fardhu.
Adapun syarat-syarat diperbolehkannya sholat qasar sebagai berikut:
a.
Jarak.
Menurut sebagian besar ulama’ dari
madzab Syafi’I, Malik, dan Ahmad, mengqasahar hanya boleh dilakukan dalam
perjalanan jauh, yaitu bisa diukur dengandua marhalah atau disebut juga
“perjalanan dua hari” (yakni dengan
berjalan kaki secara wajar).Menurut Abdurrahman Al-Jaziry dalam bukunya Al-Fiqh
‘Ala’l-madzahih Al-Arba’ah, jarak tersebut sama dengan 80 km.
Adapun yang dijadikan ukuran dalam soal
qashar adalah jarak perjalanan, bukan lamanya perjalanan. Dengan demikian,
penggunaan sarana perjalanan apa pun (mobil, kereta api, kapal laut maupun
pesawat terbang) tidak dipersoalkan, sepanjang perjalanan tersebut ,mencapai 80,640
Km. Walaupun hanya ditempuh dalam satu jam saja.[17]
Menurut Zainal Arifin Djamaris, dalam
bukunya yang berjudul Menyempurnakan Shalat, dijelaskan bahwa ada
pendapat madzhab yang menggariskan dan memberi patokan bahwa jarak perjalanan
untuk memperbolehkan mengqashar itu 90 Km.
Dalam hadist nabi juga dijelaskan bahwa
jarak yang diperbolehkan mengqashar adalah jarak satu farsakh, yaitu :
وَعَنْ أَبِى سَعِدٍ الْخُدْرَى قَالَ كَانَرَسُوْلُاللّهِ ﷺ إِذَا
سَافَرَ فَرْسَخًا يَقْصُرُالصَّلَاةَ (رواه سعيد بن منصور)
Artinya:
Dari Abi Sa’id Khurdy, ia berkata : “Rasulullah SAW bila berjalan satu farsakh,
beliau mengqashar shalat” (HR. Sa’id bin Mashur).[18]
Menurut Syaikh as-Sayyid Sabiq, dalam
buku Ensiklopedia Islam menyatakan bahwa, berdasarkan QS an-Nisa’ ayat 101, dapat
disimpulkan bahwa setiap bepergian, baik jauh atau dekat, maka dibolehkan
shalat qashar, demikian juga shalat jamak. Tidak ada hadist yang menerangkan
tetang jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh dalam perjalanan tersebut.[19]
Ibnu Mudzir dan ulama’nya lainnya
meyebutkan lebih dari duapuluh pendapat menegenai masalah ketentuan
diperbolehkannya jarak untuk mengqashar shalat. Diantaranya Ahmad, Muslim, Abu
Dawud, dan Baihaqi meriwayatkan dari Yahya bi Yazid, ia berkata, “Aku pernah
bertanya kepada Anas bin Malik tentang shalat qashar. Ia menjawab :
كَانَرَسُوْلُللّهِ ﷺ إِذَاَ خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ اَمْيَالٍ
اَوْ فَرَاسِخَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
Artinya:
“Rasulullah SAW shalat dua raka’at jika sudah berjalan sejauh tiga mil atau
tiga farskh.”
Dalam kitab al-Fatih Ibnu Hajar
mengatakan bahwa hadist ini adalah hadist paling shahih dan paling tegas yang
menjelaskan jarak perjalanan yang boleh mengqhasar.
Sebagaimana diketahui, satu farsakh itu
sama dengan tiga mil. Maka hadist Abu Sa’id ini dapat menghilangkan keraguan
yang terdapat dalam hadist Anas.Hadist ini juga menyatakan bahwa Rasulullah SAW
melakukan qashar bila beliau bepergian dengan jarak sedikitnya 3 mil.Satu
farsakh adalah 5.541 meter, sedangkan satu mil adalah 1.748 meter.
Minimal, jarak mengqashar shalat adalah
satu mil.Dalilnya adalah hadist Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu ‘Umar.Pendapat
inilah yang dianut oleh Ibnu Hamz.Alasan tidak boleh mengqashar bial kurang
dari satu mil adalah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW pergi ke
Baqi’ untuk menguburkan orang-orang yang meninggal dan keluar menuju suatu
tempat untuk membuat hajat.Pada saat itu beliau tidak mengqashar shalat.[20]
Ada yang mengatakan
jarak tempuh seorang musafir boleh melakukan sholat qasar adalah dua marhalah
atau setara dengan dua hari, menurut Imam Hanafi 3 marhalah.Sedang
menurut mayoritas ulama’ mengatakan jarak tempuhnya adalah 16 farshakh
(kira-kira 81 km).[21]
b.
Tujuan perjalanan tidak untuk menuju maksiat.
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali,
apabila seseorang meng-qasar sholatnya dalam perjalanan menuju maksiat maka
tidak sah sholat tersebut.[22]
c.
Melewati pemukiman dari tempat tinggalnya.
Musafir haruslah keluar dari pemukiman
di daerahnya, juga melewati tanah lapang, perkebunan, persawahan, pemakaman dan
lain sebagainya.Apabila musafir tinggal diperkemahan maka musafir harus
melewati kemah-kemah yang ada di daerahnya.[23]
d.
Memiliki tujuan yang jelas.
Berniat memulai perjalanan dari tempat
tertentu dan berniat untuk menempuh jarak qasar tanpa ragu-ragu. Karena tidak
boleh mengqasar dan berbuka puasa bagi
orang yang bingung, atau tidak mengetahui kemana dia akan pergi.[24]
e.
Tidak bermakmum pada yang bermukim.
Pendapat dari Imam Syafi’i dan Imam
Hambali mengatakan tidak sah mengqasar sholat bagi musafir yang bermakmum
kepada pemukim, atau bermakmum kepada sesama musafir yang menyempurnakan
rokaatnya. Apabila musafir malakukannya, maka ia wajib menyempurnakan meskipun
hanya menjadi makmum ketika tasyahud akhir saja. Atau ragu-ragu dalam
perjalanannya[25].
Ali
Abul Al-Bashal di dalam bukunya
yang berjudul Rukhsah dalam Shalat mengatakan bahwa, jika seorang musafir
bermakmum kepada orang yang mukim, dia wajib mengikuti imam dalam
menyempurnakan shalat. Dia tidak boleh mengqashar.Tetapi, jika seorang musafr
megimami orang-orang mukim maka dia boleh mengqashar. Setelah salam pada rakaat
kedua, disunahkan baginya untuk segera memberitahu makmum supaya mereka
menyempurnakan shalat masing-masing dan bahwa dia adalah seorang musafir.[26]
f.
Berniat ketika takbiratul ihram.
Jika ingin melakukan sholat
qasar maka wajib berniat ketika takbiratul ihram, menurut pendapat Imam Syafi’i
dan Imam Hambali.Dikarenakan asal hukum ini adalah sempurna, atau mutlaq.
g.
Tidak memiliki niat untuk bermukim.
Bagi musafir yang ingin meng-qasar
sholat hendaknya memposisikan dirinya sebagai musafir dari awal perjalanan
sampai akhir.Juga tidak bertempat di suatu tempat melebihi 3 hari[27].
3.
Tata Cara Melakukan Sholat Qasar
a.
Berniat ketika takbiratul ihram
Contoh niat sholat qashar:
أُصَلِّى فَرْضَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ قَصْرًا لله تَعَالَى
Artinya: ‘saya niat sholat ashar dua
rokaat dengan qasar karena Allah ta’ala.’
b.
Mengerjakan sholat yang di-qasar dengan dua rokaat.
Sesuai dengan niat maka apabila telah berniat mengqasar, maka harus
mengerjakan sholat yang semula empat rokaat menjadi dua rokaat.
E.
Shalat dalam Keadaan Sakit dan dalam Perjalanan
1. Shalat dalam
Keadaan Sakit
Allah memberikan keringan bagi orang yang sakit. Apabila orang
tersebut tidak mampu menunaikan sholat dalam keadaan berdiri, maka hendaknya ia
melakukan sholat dengan duduk. Apabila tidak mampu dalam keadaan duduk,
hendaknya dia melakukan dalam keadaan terlentang atau rebahan. Apabila masih
tidak mampu maka cukup dengan isyarat, misal: berkedip. Apabila masih tidak
mampu, maka cukup di dalam hati.
Allah juga memberikan keringan bagi orang yang sakit berupa
diperbolehkann menjama’ sholat.Dengan beberapa syarat.Misalkan, seseorang
memiliki penyakit musiman yang kebetulan memiliki kebiasaan kambuh di waktu
sholat tertentu atau seseorang memiliki penyakit gila, atau epilespi, yang
menjadikannya sukar untuk melakukan kewajiban sholat tersebut. Maka
diperbolehkan menjama’ sholat karena dikhawatirkan akan menyulitkan
penderitanya, atau apabila sholat itu tidak dijama’ maka akan menjadikan
penyakit sang penderitanya tersebut semakin parah, atau dikhawatirkan lagi sang
penderita tidak melakukan sholat dikarenakan penyakitnya kambuh[28].
2. Shalat di
Kendaraan
Islam telah menetapkan aturan-aturan khusus
yang mudah untuk pelaksanaan shalat fardhu di atas kendaraan. Aturan-aturan
tersebut adalah:
a.
Shalat di atas kendaraan sama dengan shalat ditempat lain, di mana
pun. Seorang muslim tetap. Seorang muslim tetap harus memenuhi semua rukun dan
syarat shalat.[29]
Di dalam buku yang berjudul Fiqh Shalat,
menerangkan bahwa Nabi pernah melakukan shalat Sunnah di atas penggung
kendaraannya dan beliau memberi isyarat dengan mengangguakn kepala ketika ruku’
dan sujudnya.Anggukan kepala saat sujud lebih rendah daripada ruku’.Imam Ahmad
dan Abu Dawud meriwayatkan dari hadist yang diriwayatkan oleh Anas bahwa beliau
bersama dengan untanya menghadap kiblat saat takbiratul ihram kemudian shalat
menghadao ke manapun sesuai dengan menghadapnya unta yang beliau kendarai.[30]
b.
Jika orang yang shalat di atas kendaraan tidak mampu memenuhi
syarat dan rukunnya, kecuali jika dia harus turun dari kendaraan tersebut maka
dia wajib turun dari kendaraan. Namun demikian, Islam memberikan rukhsah
bolehnya shalat di atas binatang tunggangan dan kendaraan dengan adanya uzur
berat yang menuntut pemeberian rukhsah tersebut.
Berikut
ini penjelasan uzur-uzur tersebut berikut sikap para ulama’ menegenainya
i)
Ketakutan yang besar ketika perang berkecamuk
Para ulama sepakat bahwa orang yang shalat
dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mendirikan shalat dengan tata
cara yang dia mampu. Misalnya dengan berjalan atau berkendara, bergerak atau
berhenti, dan menghadap kiblat atau berpaling darinya.Dia boleh rukuk dan sujud
dengan berisyarat, yaitu menggerakan kepalanya.Dan jika demikian, hendaklah dia
menjadikan isyarat untuk sujud lebih rendah daripada isyaratnya untuk rukuk.
ii)
Hujan lebat dan tanah berlumpur
Jika tanah berlumpur atau hujan lebat
sehingga seseorang tidak mungkin turun dan bersujud di atas tanah kecuali badan
dan pakaiannya akan belepotan lumpur dan basah kuyup, maka dia boleh shalat di
atas binatang tunggangannya atau yang semisalnya. Hendaklah dia berisyarat
untuk rukuk dan sujudnya.Dia tidak wajib turun dan bersujud di atas
tanah.Inilah pendapat jumhur ulama, yaitu para ulama madzhab Hanafi, Maliki,
dan Hambali.
iii)
Sakit dan uzur lain
Jumhur ulama, yakni para ulama madzab Hnafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali menyatakan bahwa orang sakit yang tidk bisa turun dari kendaraannya kecuali dengan kesulitan
yang berlebih, atau jika dia turun maka dia tidak bisa menaiki lagi, dan
uzur-uzur lain yang semisal dengan itu maka diperbolehkan mendirikan shalat di
atas kendaraan.
Di
dalam kitab Nihayah Al-Muhtaj disebutkan bahwa jiak dengan turun dari
kendaraan, seseorang mengkhawatirkan dirinya atau hartanya meskipun sedikit,
atau khawatir tertinggal rombongan dan takut sendirian meskipun hal itu tidak
mendatangakan bahaya, atau khwatir terjadinya kecelakaan lantaran posisinya di
tempat yan terjal , atau binatang tungganganya sakit, ata dia membutuhkan orang
lain untuk menaikinya lagi ke atas binatang tunggangan tersebut jika dia harus
turun, padahal dalam perjalanan itu dia sendiriran dan da tidak mendapati orang
lain yang dapat dimintai tolong maka dalam semua keadaan tersebut dia boleh
mendirikan shalat fardhu di atas binatang tunggangan yang yang tengah berjalan
kea rah tujuannya. Dia boleh berisyarat.Tetapi, dia harus mengulang shalatnya
itu sesampainya di tempat tujuan.
An-Nawawi
menulis, para sahabat kita menyatakan, jika waktu shalat fardhu telah tiba,
sementara mereka sedang berjalan dan khawatir akan tertinggal rombongan jika
harus turun untuk shalat di atas tanah dengan menghadap kiblat, atau
mengkhawatirkan dirirnya atau hartanya, sedangkan dia tidak boleh meninggalkan
shalat dan mendirikan di luar waktunya maka dia wajib mendirikannya di atas
kendaraan demi kehormatan waktu shalat. Tetapi, dia wajib mengulangnya
(sesampainya di tempat tujuan).
Para
ulama mazhab Syafi’I menyatakan bahwa tidak ada ruskhsah bagi orang yang
berkendaraan untuk mendirikan shalat fardhu di atas kendaraan, kecuali jika dia
khawatir kehabisan waktu.Sebab, meninggalakan shalat dan mendirikannya di luar
waktunya tidak diperbolehkan.Tetapi, hendaklah mendirikan di atas kendaraan
demi kehormatan waktu shalat dan wajib diulang, ini karena uzur yang
menyebabkan hal itu jarang terjadi.[31]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sholat jama’ yakni menggabungkan dua
sholat dalam satu waktu.Ada dua jenis jama’ yakni jama’ taqdim dan
ta’khir.Jama’ taqdim yakni menggabung dua sholat di waktu yang awal.sedang
jama’ ta’khir adalah menggabungkan sholat di waktu sholat yang akhir.
Sholat qasar yakni meringkas jumlah
rokaat pada sholat.Sholat yang boleh diqasar adalah sholat yang jumlah
rokaatnya empat rokaat menjadi dua rokaat.Dengan syarat-syarat tertentu.
Menjama’ sholat juga diperbolehkan
menurut madzhab syafi’i bagi orang yang sakit parah. Juga apabila terjadi hujan
lebat, turu salju, dan musim dingin. Allah memberikan kemudahan pula bagi orang
yang berada di kendaraan untuk mennaikan sholat di atas kendaraan.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Al
Bashal,Ali. 2009.Ruksah Dalam Shalat.
Solo: PT Aqwam Media Profetika
Abu Bakar Jabir
Al-Jazairi, Syaikh. 2010. Panduan Lengkap Ibadah Seorang Musli., Jakarta
: Pustaka Ibnu ‘Umar.
Abul Husain Muslim bin Hajjaj
Al-Qusyairi An-Naisaburi, Imam. 1998. Shahih Muslim. Arab:International
Ideas Home For Publishing and Distribution.
Ahmad At-Thahir, Hamid. 2008.Buku Pintar Shalat.
Solo: Aqwam.
Arifin Djamaris, Zainal. 1997. Menyempurnakan
Shalat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
as-Sayyid Sabiq, Syaikh. 2006. Ensiklopedia
Fiqih Islam Fiqih Sunnah I. Yogyakarta: Mardhiyah Press,
Az-Zuhaili,
Wahbah. 2010. Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 2. Kuala Lumpur: Darul
Fikir.
Dibul
Bagha, Mustafa. 2016. At-Tadzhib. Malang : UIN Press.
Qoyyim Al-Jauziyah, Ibnu. 2010.Fikih Shalat.Yogyakarta:
Media Grafika Utama.
Zainuddin Abdul Aziz, Syekh. 2006. Shohih
Muslim, Haromain: Al-Haromain Jaya Indonesia.
Similarity hanya 4%.
[1] Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu jilid 2, Darul
Fikir, Kuala Lumpur, 2010, hlm. 450.
[2] Hamid Ahmad At-Thahir,Buku Pintar Shalat, (Solo: Aqwam.
2008), hlm. 167.
[3] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 450.
[6]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Fikih Shalat (Yogyakarta: Media
Grafika Utama. 2010), hal.266.
[7] Ali Abu Al Bashal, Ruksah Dalam Shalat (Solo: PT Aqwam Media
Profetika. 2009), hlm. 206.
[9] Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Panduan Lengkap Ibadah
Seorang Muslim, Pustaka Ibnu ‘Umar, Jakarta, 2010, halaman 136.
[10] Mustafa Dibul Bagha, At-Tadzhib, UIN Press, Malang,
2016, halaman 68.
[11] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 423.
[12]Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi, Shahih
Muslim,International Ideas Home For Publishing and Distribution, Arab,
1998, halaman 279.
[13] Wahab Az-Zuhaili, halaman 424.
[14]Imam Abul Husain Muslim bin Hajjaj Al-Qusyairi An-Naisaburi,halaman
272.
[15] Wahab Az-Zuhaili, halaman 424.
[17]Ibid., hlm.208.
[18] Zainal Arifin Djamaris. Menyempurnakan Shalat. ( Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada. 1997), hlm. 235.
[19]Syaikh as-Sayyid Sabiq.Ensiklopedia Fiqih Islam Fiqih Sunnah I.
(Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2006), hlm. 671.
[20]Syaikh as-Sayyid Sabiq, hlm. 672-673.
[21] Mustafa Dibul Bagha, halaman 69.
[23] Wahbah Az-Zuhaili, halaman 433.
[26] Ali Abu Al Bashal, hlm. 166.
[27]Wahbah Az-Zuhaili ,halaman 436.
[28] Syekh Zainuddin Abdul Aziz,Shohih Muslim, (Haromain:
Al-Haromain Jaya Indonesia) 2006, halaman 44
[29] Ali Abu Al Bashal, hlm. 109-110.
[30] Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah.,hlm.266.
[31] Ali Abu Al Bashal, hlm. 109-110.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar