SUMBER
HUKUM ISLAM YANG TIDAK DISEPAKATI: ISTIHSAN, ISTISHAB, MASLHAHAH MURSALAH
Muhsinul
Faizin, Muhammad Ramdhani Aziz Dharmawan, Nur Kholifatul Hikmawati
Mahasiswa
PAI-B angkatan 2015
Universitas
Islam Negri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Email:paitonjudes@gmail.com
Abstrack:
This paper discusses
the position istihsan, istishab, and mashlahah mursalah as a proposition or
source of law that is not agreed upon by the scholars as hujjah in the
establishment of Islamic law. In achieving or realizing the three
sources are still based on the Qur'an and Sunnah as the main source of Islamic
law .Apart from that, there are also elements of the ratio of the Mujtahids and
judge whether or not there is harm or a bad thing that will be acceptable to
the establishment of a law. If we see that the main purpose of the use
istihsan, istishab, and maslahah mursalah that in order to eliminate
kemudharatan and achieve the benefit for mankind, there is still a clash
between scholars in determining to accept or reject the proposition or source
of the law.
Keywords
:Istihsan, Istishab ,Maslahah Mursalah
Abstrak:
Tulisan ini
membahas tentang kedudukan istihsan, istishab, dan mashlahah mursalah sebagai
dalil atau sumber hukum yang tidak disepakati oleh para ulama sebagai hujjah
dalam penetapan hukum Islam. Dalam mencapai atau mewujudkan tiga sumber
tersebut masih tetap berpatokan kepada Al-Qur’an dan sunnah selaku sumber pokok
hukum Islam. Selain daripada hal tersebut, juga terdapat unsur-unsur rasio para
mujtahid dan menilik ada atau tidaknya mudharat atau baik buruknya suatu hal
yang akan diterimamanusia terhadap penetapan suatu hukum tersebut. Jika melihat
bahwasanya tujuan utama dari penggunaan istihsan, istishab, dan maslahah
mursalah yakni supaya untuk menghilangkan kemudharatan dan mencapai
kemaslahatan bagi umat manusia, maka masih timbul perselihan diantara para
ulama dalam menentukan untuk menerima atau menolak dalil atau sumber hukum
tersebut.
Kata Kunci:
Istihsan, Istishab, Maslahah Mursalah.
A.
PENDAHULUAN
Seringkali kita jumpai dalam buku-buku ushul fiqh kontemporer
pernyataan yang mengatakan bahwa ada empat sumber hukum Islam yang disepakati
oleh seluruh ulama, yakni Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, dan terakhir adalah qiyas.
Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwasanya sumber hukum sama maknanya
dengan dalil hukum . Padahal kedua kata tersebut memiliki pengertian yang
berbeda, apalagi jika itu dimaksudkan dengan sumber hukum Islam dan dalil hukum
Islam.
Pada dasarnya, kata sumber memiliki pengertian yakni suatu hal yang
mendasarnya lahirnya sesuatu. Sedangkan kata dalil memiliki pengertian suatu
hal yang memberikan petunjuk agar orang lain dapat menemukan sesuatu. Maka
dalam hal ini, yang dinamakan dengan sumber hukum Islam sebenarnya hanya
berjumlah sua, yakni Al-Qur’an dan Hadis. Karena, dari adanya Al-Qur’an dan
Hadist tersebut melahirkan ketentuan-ketentuan hukum Islamdan juga sebagai
sebagai rujukan dalam penentuan hukum Islam. Lalu yang dinamakan dengan dalil
hukum islam yakni cara-cara yang dilakukan dengan melalui ijtihad yang
bertujuan untuk menemukan hukum Islam itu sendiri, melalui istihsan, maslahah
mursalah, istishab, syar’u man qablana dan lain sebagainya.
Dari dalil-dalil syara’ yang ada tersebut, para ulama hanya
menyepakati empat dalil sebagai hujjah dalam menetapkan hukum Islam, yakni
Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas. Sedangkan dalil dalil yang lain seperti
istihsan, istishab, maslahah mursalah, qaul shahabi, syar’u man qablana dan lain-lain, dianggap sebagai dalil-dalil
hukum yang tidak disepakati.
Maka sudah semestinya kita sebagai umat Islam hendaknya mengetahui
yang mana saja dalil-dalil hukum yang disepakati dan mana yang tidak. Maka
dalam tulisan ini akan dibahas tentang sumber hukum Islam yang tidak disepakati
meliputi istihsan, istishab, maslahah mursalah.
B.
Istihsan
1.
Pengertian
Istihsan
Didalam sebuah perkumpulan, dimana Abu Hanifah mengemukakan sebuah penetapan hukum.
Kemudian penetapan hukum tersebut terdengar dikalangan sahabat dan menjadi
populer. Tetapi terdapat sebuah konflik antara Abu hanifah dan al-Syafi’i,
yaitu pendiri Syafiiyah. Istihsan yang dikemukakan oleh Abu Hanifah bukanlah
serta merta secara pemikiran saja. Tetapi berdasarkan nash dan tidak melanggar
atau keluar dari jalur yang ditetapkan. Konflik tersebut merupakan fitnah
terhadap Abu Hanifah, tetapi tidak ada bukti tentang perselihasah dalam
pengambilan hukum istihsan ini.[1]
Secera bahasa Istihsan yang berarti membandingkan, Para mujtahid
menjalankan Istihsan berawal dari qiyas jalliterhadap qiyas khafi
atau biasa disebut juga dengan hukum kulliterhadap hukum istisna’i.[2]
Secara etimologi yang dimaksud dengan istihsan yakni menilai
sesuatu yang dianggap baik.[3]
Sedangkan secara terminologi, istihsan dapat diartikan untuk
menjalankan qiyas yang khafi (tidak nyata)harus meninggalkan qiyas yang jali
(nyata), namun terdapat dalil yang menurut pemikiran yang memperbolehkan
berpindah dari hukum kulli kepada hukum istisna atau hukum pengecualian.
Didalam suatu penetapan hukum istihsan telah memiliki hukum berdasarkan
nash. Lalu, ketetapan nash tersebut mewajibkan untuk melalaikan suatu hukum
yang sudah pada ketentuan dan baralih kepada suatu hukum yang lain, walaupun
hukum pertama memiliki dasar dalil yang jelas, dan yang kedua memiliki dasar
dalil yang samar-samar.[4]
Contoh, Didalam agama Islam telah ditetapkan sebagaimana
batasan-batasan aurat antara laki laki dan perempuan, dan siapa aja yang dapat
mengetahui aurat tersebut. Akan tetapi bila terjadi suatu hal darurat seperti
dalam pemeriksaan dokter membutuhkan untuk melihat salah satu bagian aurat maka
itu diperbolehkan.[5]
Contoh, Ketika kita akan memesan suatu perabotan rumah tangga
seperti meja dan kursi ruang tamu, dimana barang itu tidak selalu siap dan kita
harus memesan dulu. Yang mana hal tersebut merupakan sebuah kesepakatan atas
sesuatu barang yang belum ada dalam wujud barang, akan tetapi hal seperti ini
diperbolehkan. Berarti dalam masalah ini istihsan meninggalkan suatu qias
dikarenakan suatu ketentuan (dasar) tertentu, untuk berpindah terhadap suatu
dasar yang luas agar tidak menyulitkan suatu kebiasaan.[6]
Agar kita dapat memahami perbedaan mengenai qiyas dan istihsan maka
perlu adanya penjelasan singkat, sebagai berikut:
Didalam qiyas terdapat 2 kasus, yaitu kasus pertama belum memiliki
hukum yang bisa dijadikan dasar hukum disebabkan karena tidak ada nash yang
secara tegas menjelaskan mengenai hukum tersrbut.[7]
Pembagian Istihsan:
a)
Istihsan Qiyas
Istihsan
qiyas adalah, suatu cara yang digunakan oleh para mujtahid untuk memilih salah
satu hukum yang benar antara qiyas khafi dan qiyas jalli yang didasarkan atas
dalil yang ada.
Contohnya
yaitu, Tanah wakaf. Pada qiyas jalli,
tanah wakaf disamakan dengan proses jual beli sebab dari keduanya
terdapat persamaan illat, artinya terdapat pergantian hak milik. Pada proses
jual beli adanya pertukaran hak milik antara penjual dan pembeli, sedangkan
pada tanah wakaf terjadi pertukaran hak milik dari seorang pemilik tanah kepada
orang yang menerima tanah wakaf. Sedangkan pada qiyas khafi tanah wakaf
disamakan dengan kontrak (sewa menyewa) tanah, yang keduanya saling berkaitan
yaitu hak tanah yang sudah digolongkan dengan akad wakaf. Pada istihsan, status
tanah wakaf disini yaitu telah menjadi hak milik orang tersebut walaupun tidak
terucap akad yang jelas.[8]
b)
Istihsan
Darurat
Istihsan
darurat menurut ulama Hanafi adalah perpindahan dari hukum kulli ke hukum
juz’iyang disebabkan karena adanya dalil yang mengharuskannya. Bisa juga
dikatakan dibenarkannya suatu hukum yang tidak sejalan dari hukum yang telah
ditentukan oleh qiyas[9]. Oleh
karena itu penyimpangan yang terjadi tersebut dilakukan secara terpaksa dalam
artian untuk menghadapi keadaan yang mendesak atau untuk menghindari kesulitan.
Contohnya,
Didalam hukum Syara’ telah dijelaskan mengenai larangan, adanya jual beli yang
terlebih dahulu melakukan transaksi pembayaran namun barang belum ada pada saat
transaksi dilakukan.[10]
c)
Istihsan
Istisna’i
Qiyas dalam jenis pengkhususan dari ketetapan hukum yang
berlandaskan atas prinsip-prinsip yang luas, terhadap ketetapan hukum yang
bersifat spesifik. Pada istihsan istisna’i terdapat 2 pembagian,sebagai
berikut:
a.
Istihsan bi
an-Nashsh
Pergeseran hukum dari ketetapan yang luas terhadap ketetapan lain
dalam suatu formasi pengkhususan. Sebab ada kebenaran yang mengkhususkan, baik
dari Al-Qur’an ataupun sunnah.
Contoh, menurut nashsh
Al-Qur’an bahwasanya istihsan istisna’i bahwa orang yang telah wafat memiliki
ketetapan terhadap wasiat, akan tetapi pendapat ketetapan umum bahwa seseorang
yang telah wafat tidak lagi mendapatkan hak atas harta yang dimilikinya.
Contoh, menurut nashsh sunnah bahwa orang puasa tiba-tiba memakan
atau meminum tetapi tidak membatalkan dikarenakan lupa. Akan tetapi menurut
ketetapan umum bahwasanya makan dan minum itu membatalkan puasa.
b.
Istihsan bi al-ijma’
Pergeseran hukum dari ketetapan yang luas terhadap ketetapan yang
lain dalam formasi pengkhususan dikarenakan ada ketetapan ijma’ yang membatasi.
Contoh, bertransaksi terhadap barang yang belum ada dalam ketetapan
umum itu sangat tidak boleh.[11]
C.
Istishab
1.
Pengertian
Istishab
Istishab
adalah ketetapan pemberlakuan hukum lama terhadap suatu hal sebelum adanya
hukum pembuktian yang menggantikan.[12]
Istishab
bisa juga disebut dengan perkiraan pada
pembenaran hukum yang telah ada pada masa lalu sampai masa sekarang sampai pada
kebenaran itu terbukti.[13]
2.
Macam-macam
Istishab :
a.
Istishhab hukm
al-ibahah al-ashliyyah (tetap berlakunya hukum mubah yang dasar)
Sejak
islam datang, pada hakikatnya seseorang dibolehkan melakukan sesuatu yang
bermanfaat, sebelum adanya hukum syara’tertentu terhadapnya. Penggunaan bentuk
istishab pertama ini hanya digunakan pada bidang muamalah.
Berdasarkan
dalil istishab ini, berarti seluruh makanan dan minuman tidak ada larangan
hukum terhadapnya. Makanan dan minuman boleh dikonsumsi selama ia bermanfaat. Ini
juga berlaku bagi transaksi bisnis yang tidak ada dalil syara’ terhadapnya,
boleh dilakukan selama ia memberikan manfaat dan tidak mendatangkan mudharat
pada semua hal.
Ketentuan
bentuk ishtishab yang pertama ini berpegang pada dalil Al-Qur’an yaitu Q.S
Al-Baqarah: 29
هُوَ اْلَّذِى خَلَقَ لَكُمْ مَّا فِى
الأَرْضِ جَمِيْعًا
Dia (Allah) yang menciptakan
semua yang ada di bumi untuk kau.
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ
اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ
لِلَّذِيْنَ ءَامَنُوْا فِي الْحَيَوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ
الْقِيَامَةِ كَذَالِكَ نُفَصِّلُ
الأَيَتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ
Katakanlah:”siapaka
yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)rezeki yang baik-baik?”
Katakanlah:”Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja)si hari kiamat. “Demi-kianlah kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
b.
Istishab ma
dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala wujudih (istishab terhadap sesuatu yang menurut
akal atau syara’ diakui keberadaanya)
Pada macam istishab kedua ini memiliki posisi sebagai dalil syara’
yang telah disepakati oleh para ulama. Suatu hukum akan tetap aktif, sampai
pada saatnya akan datang datang suatu dalil yang akan mengganti keaktifan suatu
dalil tersebut suatu keaktifan dapat dilihat dari sudut pandang syara atau pun
dengan pemikiran.
Contoh, Didalam permasalahan utang piutang, diharuskan membayar
tanggungan yang dia miliki, seperti contoh kita memecahkan suatu benda maka
kita diharuskan untuk membayar tanggungan kita memecahkan barang tersebut.
Sampai sang pemilik melepaskan suatu hutang itu dan sampai ada kesaksian barang
tersebut telah kita ganti.
c.
Istishhab
al-umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum berlaku umum sampai ada
yang mengkhususkannya)
Pada macam istishab ketiga
ini adalah suatu permasalahan perbedaan pendapat ulama dalam memutuskan
suatu kriteria ketetatapan hukum yang harus terpenuhi. Karena pada istishab
ketiga ini sangat bersangkutan dengan waktu syariat yang telah ditetapkan
sampai berakhirnya wahyu karena Rasulullah wafat.
d.
Istishhab
al-khashs bi al-washf (tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan dengan
sifat)
Pada macam istishab ke empat ini terdapat beberapa perbedaan dari 4
Imam madhzab. Menurut Syafi’iiyah dan Hanibilah secara pasti menetapkan
bahwasanya macam istishab ini adalah dalil syara’. Sedangkan pendapat dari
Hanafiyyah dan Malikiyyah istishab macam ini semata-mata untuk mencegah adanya
hukum yang terkini, dan juga tidak bisa menjadi suatu pegangan sebagai dalil
untuk ketentuan suatu hukum yang baru.
Contoh ada seorang laki-laki terbilang dalam jangkauan batas waktu yang lama tidak ada status kepulangan
atau dinyatakan hilang, terkecuali jika memang benar adanya bukti bahwa dia
wafat. Maka status harta kepemilikannya tidak boleh digunakan untuk harta
warisan. Begitupun dengan istri yang ditinggalkan tidak dapat menikah laki
dengan pria lain disebabkan status istri masih dengan pria tersebut. Bisa
disebut juga dengan shalih il ad-daf’i. Pengertian pada masalah diatas dapat
terbilang bahwa terjadi penolakan pada ketetapan hukum baru maaka dari pada itu
harta yang dimiliki oleh pria tersebut tidak bisa di statuskan kepada harta
warisan.[14]
3.
Perbedaan
Istishab
a.
Istishab yang
tidak memiliki dasar yang tidak bisa terfikir kan oleh pemikiran dan juga tidak
mempunyai landasan dalil untuk suatu penetapan hukum.
Contoh, ada fatwa mengatakan wajib shalat fardlu enam kai dalam 1
hari. Disini tidak bisa diterima oleh pemikiran akal dan tidak ada dalil yang
mendasari.
b.
Istishab yang
diterima oleh semua khalayak umum dan ketetapan dalil sampai ada ketentuan yang
berubah.
Contoh, Didalam pernikahan telah melakukan perkawinan sesuai rukun
dan syarat yang ditentukan disini sifat pernikhan tetap sah selama tidak ada
yang merubah hukum perkawinan tersebut, dan perkawinan dapat batal apabila
adanya talak.
c.
Istishab yang
memiliki dasar dalil atas ketentuan dan menetapkan karena memiliki sebuah
alasan
Contoh, seseorang membeli mobil, nama mobil atas dasar
kepemilikannya. Selammanya nama itu akan menjadi sang pemilik mobil terkecuali
jika ada pemindahan nama dalam surat mobil tersebut.
d.
Istishab
berdasarkan suatu ijma’ terhadap penetapan hukum berbeda pada suatu tempat.
Contoh, ketika kita akan melaksanakan sholat kita tidak menemukan
sepercik air, lau kita ber tayamum. Teapi setelah sholat selesai kita
mendapatkan suatu air. Disini kita tidak dianjurkan untuk mengulang sholat.
Shalat kita tetap sah.[15]
D.
Maslahah
Mursalah
1.
Pengertian
Maslahah Mursalah
Pengertian
Maslahah Mursalah yaitu mendapatkan sebuah hukum yang berhubungan dengan akal
dapat dilihat dari sisi baik tetapi tidak mendapatkan sebuah alasan.Seperti seseorang
ingin memutuskan suatu hukum tetapi di dalam agama belum adanya ketetapan pada
hukum tersebut, maka ketetapan hukum tersebut dapat terlihat dari sisi baik.
Jika perbuatan lebih banyak manfaatnya dari pada kejelekan maka perbuatan itu
diperbolehkan, sebaliknya jika perbuatan itu lebih menimbulkan terhadap suatu
kemudharatan maka perbuatan itu dilarang oleh agama.
Oleh sebab itu
Ibnu Taimiyah menyatakan :
“Hukum sesuatu
adakah dia haram atau mubah, maka dilihat dari segi kebiasaan dan kebaikannya”[16]
Contoh Maslahah
Mursalah, Pengumpulan Al-Quran dan menuliskan Al-Qur’an adalah suatu perbuatan
yang membawa manfaat bagi umat. Agar
umat Muslimin lebih menjaga kemaslahatan. Dari pada itu pengumpulan dan
penulisan Al-Qur’an juga tidak terdapat dalil pencegahan. Perbuatan seperti
inilah dapat dilihat sebagaimana lebih memunculkan kemanfaatan dari pada ke
mudharatan[17].
2.
Syarat-Syarat
Maslahah Mursalah
a.
Mashlahah
Mursalah harus berisi sesuatu kemaslahatan yang utama, bukan hanya sekedar
perkiraan saja. Dimana arti kemaslahatan yang ulama ialah kemaslahatan yang
membawa dampak manfaat lebih besar dan menyingkirkan kemudharatan.
b.
Mashlahah
Mursalah harus memberikan kebermanfaatan kepada seluruh masyarakat secara rata,
dan mencegah kemudharatan.
c.
Mahlahah
Mursalah berisi tentang kemaslahatan, dimana kemaslahatan tidak boleh
bersebrangan dengan aturan yang telah ditetapkan.[18]
3.
Pembagian
Maslahah Mursalah
a.
Al-Mashlahah
yang terdapat kesaksian syara’ dalam mengakui keberadaanya (ma syahid asy-
syar’ lii tibariha)
Macam
maslahah yang pertama ini berubah bentuk menjadi suatu dasar dalam qiyas, sama
seperti dengan al-munasib.
Contoh,
perahan kurma tidak dapat disamakan sebagai keharaman perasan anggur yang
membuat mabuk, karena pada perasan kurma terdapat nash-nya berbeda dengan
perasan anggur yang terdapat nash didalam Al-Qur’an maupun sunnah.
b.
Al-Mashlahah
yang terdapat kesaksian syara’ yang membatalkannya/menolaknya (ma syahid
asy-syar’ li buthlaniha)
Macam
mashlahah yang ke dua ini lebih terhadap suatu ke mudharatan, dikarenakan pada
mashlahah ini sangat tidak sejalan dengan nashnya.
Contoh,
Pada zaman dulu ada seorang pemuda yang
mengatakan kepada seorang baginda raja
yang sangat kaya raya, bahwasanya berhubungan badan pada siang hari pada bulan
Ramadhan terkena sebuah kafarat. Tujuan diberlakukannya kafarat adalah agar si
pelanggar merasa jera dengan apa yang dilanggarnya. Maka dari pada itu ada
sebuah hukuman yang akan di terima oleh sang raja. Sang pemuda mengatakan
bahwasanya hukuman kafarat yang diterimanya adalah dengan memerdekakan budak.
Alasan pemuda berkata seperti itu adalah demi keinginan hawa nafsunya.
Sesungguhnya seperti itu sangat tidak diperbolehkan. Bahwasanya kafarat pada masalah
tersebut telah memiliki hukum tersendiri.
c.
Al Mashlahah
yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuiya maupun yang
menolaknya dalam bentuk nashsh tertentu (ma lam yasyhad asy-syar’ la
libuthlaniha wa la lii tibariha nashsh mu’ayyan)[19]
E.
PENUTUP
Istihsan memiliki arti, yaitu berpindah qiyas,terhadap qiyas yang
lain yang memiliki ketetapan yang lebih kuat dapat terlihat dari sudut pandang
ketentuan syariat yang diperintahkan. Istihsan lebih mengedepankan dalam urusan
juz’iyah dari pada masalah kulliyah. Istihsan terbagi menjadi dua, yaitu
istihsan qiyas dan istihsan darurat.
Istishab memiliki arti
dimana meneruskan keaktifan hukum yang memang sudah ada dan yang sudah ada
ketentuan dan terdapat dalilnya, sampai pada akhirnya kita menemukan suatu
dalil untuk menetapkan suatu huku tersebut. Istishab terbagi menjadi tiga
bagian, diantaranya adalah Istishhab hukm al-ibahah al-ashliyyah (tetap
berlakunya hukum mubah yang dasar), Istishab ma dalla asy-syar’ aw al-‘aql ‘ala
wujudih (istishab terhadap sesuatu yang menurut akal atau syara’ diakui
keberadaanya), Istishhab al-umum ila an yarid at-takhshish (menetapkan hukum
berlaku umum sampai ada yang mengkhususkannya), Istishhab al-khashs bi al-washf
(tetapnya suatu hukum yang secara khusus berkaitan dengan sifat).
Maslahah Mursalah memiliki arti menetapkan suatu hukum yang
bersangkut pautan dengan akal fikiran, yang dapat kita tetapkan apabila
terlihat banyak kemanfaatan ketimbang sebuah kemudharatan. Dalam penetapan
hukum maslahah muursalah memiliki syarat diantaranya adalah , ke maslahatan
harus memiliki bnayk manfaat ketimbang kemudharatan. Pembagian maslhaha
mursalah terbagi menjadi 3, Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’ dalam
mengakui keberadaanya (ma syahid asy- syar’ lii tibariha), Al-Mashlahah yang terdapat kesaksian syara’
yang membatalkannya/menolaknya (ma syahid asy-syar’ li buthlaniha), Al
Mashlahah yang tidak terdapat kesaksian syara’, baik yang mengakuiya maupun
yang menolaknya dalam bentuk nashsh tertentu (ma lam yasyhad asy-syar’ la
libuthlaniha wa la lii tibariha nashsh mu’ayyan)
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, Abd Rahman. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta:Amzah
Bakry, Nazar.
Fiqh dan Ushul Fiqh . Jakarta : Raja Grafindo Persada
Sjalaby, Ahmad.
Pembinaan Hukum Islam . Jakarta: Djajamurni Djakarta
Tharaba, Fahim
.2016. Hikmatut Tasyri’ a Hikmatus Syar’i (Filsafat Hukum Islam). Malang:CV.
Dream Litera Buana
Koto, Alaiddin.
2004. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta:Raja Grafindo Persada
I.Doi Rahman,
Abdur. 2002. Penjelasan Legkap Hukum-Hukum Allah. Jakarta:Raja Grafindo Persada
I.Doi Rahman,
Abdur.1993.Shariah Kodifikasi Hukum Islam. Jakarta:Rineka Cipta
Rahman, Abdur.
1991. Inilah Syariah Islam. Jakarta:Pustaka Panji Mas
Hanafi, Ahmad.
Pengantar Sejarah Hkum Islam
Nata, Abuddin.
2003. Masail Al-Fiqhiyah. Jakarta:Prenada Media
Catatan:
1.
Similarity
sebanyak 7%. Oke...
2.
Dalam tulisan
ilmiah, kata “kita” hendaknya dihindari.
3.
Pendahuluannya
muter-muter.
4.
Pengulangan
referensi dalam footnote ada caranya sendiri,
5.
Dalam daftar
pustaka, judul buku tetap ditulis miring.
6.
Pembahasan tentang
maslahah mursalah masih kurang greget.
7.
Di kelas,
tolong dijelaskan pelan-pelan agar teman-teman bisa memahami.
[1] Abudduin
Nata, Masail Al-Fiqhiyah, (Jakarta Timur:Prenada Media, 2003), hlm 167
[2] Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’, (Malang:CV.Dream Litera Buana,2016), hlm 145
[3]Abd
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm.197
[4]Alaiddin
Koto, Ilmu fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 104
[5] Abdur
Rahman, Inilah syariah islam,(Jakarta:Pustaka Panji Mas,1991) hlm 118
[6] Ahmad
Sjalaby, Pembinaan hukum islam, (Jakarta: Djajamurni Djakarta)hlm 93
[7]Alaiddin
Koto, Ilmu fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 105
[8]Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’, (Malang:CV.Dream Litera Buana,2016), hlm 146
[9] Ahmad
Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam , hlm 69
[10]Alaiddin
Koto, Ilmu fiqh dan ushul fiqh, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 107
[11] Abd
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm.200-201
[12]A.
Rahman I.Doi, Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada2002)hlm 113.
[13] Abdur Rahman I.Doi, Shariah kodifikasi
hukum islam, (Jakarta: Rineka Cipta,1993) hlm 128
[14] Abd
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm. 219-223
[15] Nazar
Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh( Jakarta: Raja Grafindo Persada) hlm 60-61
[16]ibid)
hlm 61
[17] Ahmad
Sjalaby, Pembinaan hukum islam, (Jakarta: Djajamurni Djakarta)hlm 94
[18]Fahim
Tharaba, Hikmatut Tasyri’, (Malang:CV.Dream Litera Buana,2016), hlm 144
[19] Abd
Rahman Dahlan,Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah, 2016) hlm.208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar