HUKUM ISLAM YANG DISEPAKATI : IJMA’ DAN QIYAS
Mahasiswa PAI – A angkatan 2015 Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
Email :fina.qathrin@gmail.com
Abstrack :This article discusses the position
of ijma' and qiyas in Islamic law. Where ijma 'and qiyas are the source of
Islamic law after the Qur'an and Sunnah. After the death of Rasulullah SAW,
Muslims are faced with a problem that does not exist in the texts. At this
time, the theme continues to experience dynamism in accordance with the times.
This phenomenon will lead to debate among scholars in determining a new law.
Hence the agreement and the rationale of reason are very moderate, where the
early scholars of the new legal problem.
Keywords :
Islamic Law, Ijma’, and Qiyas
Abstrak : Artikel ini membahas tentang posisi ijma’ dan qiyas
dalam hukum islam. Dimana ijma’ dan qiyas merupakan sumber hukum islam
setelah Alquran dan Sunnah. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, umat islam
dihadapkan dengan permasalahan yang tidak terdapat pada nash.Pada kenyataannya,
permasalahan terus mengalami kedinamisan sesuai dengan perkembangan zaman.
Fenomena seperti ini akan menimbulkan perdebatan para ulama dalam menentukan
suatu hukum baru. Oleh karena itu kesepakatan dan kerasionalan akal pikiran
sangat berpengaruh, dimana para ulama mengembalikan permasalahan baru kepada
hukum asal.
Kata Kunci : Hukum Islam, Ijma’, dan Qiyas.
A.
Pendahuluan
Ushul Fiqh merupakan ilmu yang dianggap penting dalam menghasilkan
sebuah hukum yang responsif dan adabtable dalam menjawab berbagai
permasalahan yang terjadi. Ilmu ini pada dasarnya telah ada sejak zaman para
sahabat sendiri. Terutama dalam menetapkan sebuah permasalahan yang baru dan
belum pernah dijumpai di zaman rasulullah SAW.
Oleh sebab itu dalam perkembangan zaman yang serba kompleks ini,
para mujtahid menetapkan berbagai sumber hukum islam yang dapat dijadikan
pedoman umat islam dalam menjawab berbagai problematika yang terus berkembang
di setiap masanya. Sumber hukum islam ini terbagi menjadi dua, diantara adalah
sumber hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama (Muttafaq) yakni Alquran, Hadis,
Ijma’, Qiyas. Selain itu ada pula sumber hukum islam yang masih diperselisihkan
oleh berbagai ulama (Mukhtalaf).
B.
Ijma’
1.
Pengertian
Ijma”
Dalam kitab Mausuah Fiqhiyyah
Al-Kuwatiyah dijelaskan mengenai pengertian Ijma menurut ulama ushul[1]:
وَالإْجْمَاعُ فِي اصْطِلاَحِ الأْصُولِيِّينَ:
اتِّفَاقُ جَمِيعِ الْمُجْتَهِدِينَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي عَصْرٍ مَا بَعْدَ عَصْرِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى أَمْرٍ شَرْعِيٍّ، وَالْمُرَادُ بِالأْمْرِ الشَّرْعِيِّ: مَا لاَ
يُدْرَكُ لَوْلاَ خِطَابُ الشَّارِعِ، سَوَاءٌ أَكَانَ قَوْلاً أَمْ فِعْلاً أَمِ
اعْتِقَادًا أَمْ تَقْرِيرًا.
“Ijma menurut ulama Ushul adalah kesepakatan
seluruh mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW setelah masa Rasulullah SAW atas
suatu perkara syariat. Yang dimaksud dengan perkara syariat adalah sesuatu yang
tidak diketahui tanpa perintah Allah (الشَّارِعِ), baik perkataan, perbuatan, keyakinan,
ataupun taqrir (penetapan).”
Dari
pengertian diatas dapat disimpulkan melalui beberapa hal yakni :
a.
Menghasilkan kesepakatan melalui beberapa
mujtahid (tidak melalui kesepakatan seorang diri).
b.
Harus ada unsur kesepakatan dari seluruh
mujtahid, tidak dibenarkan ijma’ apabila hanya disepakati mujtahid irak saja,
mujtahid, mujtahid mesir saja, atau mereka semua sepakat melaikan mujtahid
syiah menentang hasil ijma’ tersebut.
c.
Kesepakatan seluruh mujtahid harus nampak
nyata, baik dari perbuatan mujtahid yang
menyampaikan fatwa yang relevan. Sehingga tidak dibenarkan jika salah seorang
mujtahid hanya diam (sukuti). Sebab diamnya seorang mujtahid bisa diartikan
sebagai bentuk adanya perbedaan fatwa didalamnya.
d.
Kesepakatan ijma’ dari orang yang selain dari
mujtahid tidak bisa dinamakan ijma’, begitu pula kesepakatan tidak bisa
dinamakan ijma’ apabila hanya tergolong sebagian mujtahid[2].
Jika telah terbentuk kesepakatan dari para
mujtahid ini, maka hukumnya bersifat wajib untuk diikuti dan bukan lagi sebagai
lapangan untuk berijtihad kembali. Sebab bukti kesepakatan dari seluruh
mujtahid ini bernilai bahwa memang adanya kebenaran yang pasti (qath’iy)
didalamnya sebab sesuai dengan jiwa syar’iah sekaligus dasar-dasar yang umum.
Firman
allah SWT :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” (QS. An-Nisa
:59)
Makna ulil amri dalam ayat ersebut juga
diartikan sebagai para mujtahid, sehingga ijma’ bisa dijadikan sebagai dasar
hukum setelah tidak adanya penjelasan dalam Alquran dan Hadis.
Dalam
Firman Allah SWT yang lain juga dijelaskan :
وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ ۗ
“Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri)” (QS.An-Nisa :83).
Dan dalam firman Allah SWT telah mengancam
orang-orang yang tidak mengikuti dan menyalahi dari apa yang telah menjadi
ketetapan orang mukmin.
وَمَنْ
يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ
غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ
وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisa : 115).
Selain firman Allah SWT, banyak pula
hadis-hadis dan atsar para sahabat yang menunjukkan akan kesepakatan ijma’ :
لا تجتمع أمتى على الخطأ
“Tiada mungkin Umat-Ku
berijma’ (bersepakat) dalam kesalahan” (HR. Abu Dawud)
لم يكن الله ليجمع أمتى علي الضلالة
“Tidak
mungkin Allah menghimpun umatku seluruhnya untuk melakukan kesesatan”
Selain itu juga sabda:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin
baik pula di sisi Allah”.
Kemudian pertanyaannya adalah “apakah mungkin
dari berbagai definisi ijma’ diatas (kesepakatan seluruh mujtahid) mungkin
terjadi?”, sebagian ulama mengatakan bahwa hal tersebut mustahil terjadi sebab
:
a.
Sulit menentukan siapa yang bisa dinamakan
mujtahid itu sendiri.
b.
Dengan tersebarnya mujtahid di berbagai wilayah
islam yang semakin luas membuat adanya kemustahilan dalam mengumpulkan seluruh
ulama’ tersebut.
c.
Seorang mutahid juga pasti mengalami perubahan
pendirian dalam dirinya.
d.
Tidak mungkinnya dalil dhanniy yang
dijadikan sebagai dasar berijtihad.
Sehingga hanya memungkinkan untuk menetapkan
dasar hukum yang bersumber dari dalil yang Qath’iy seperti shalat,
zakat, puasa, naik haji akan tetapi hal semacam itu kita tidak menggunakan
ijma’ melainkan menggunakan dalil Qath’iy sendiri.
Namun sebagian ulama pula mengatakan bahwa
ijma’ sesuai dengan definisi tersebut masih bisa terjadi, hal ini didasarkan
pada masa Abu Bakar Ash-Shidieq dan Umar dalam menentukan suatu perkara dimana
para ulama’ terdahulu masih terhitung sedikit jumlahnya dan masih dapat
berkumpul dalam suatu tempat sehingga hal ini dapat dianggap sebagai ijma’
yakni (ijma’ para sahabat).[3] Oleh
sebab itu, menurut Muhammad Abu Zahrah mengatakan bahwa ijma’ yang disepakati
oleh seluruh ulama’ tidak mungkin terjadi, kecuali jika ijmanya para sahabat,
hal ini adalah pendapat Ahmad Ibn Hanbal.
Sedangkan menurut Syekh Abd al-Wahab Khalaf mengatakan
bahwa ijma’ dengan defenisi tersebut mungkin terjadi apabila diserahkan para
perseorangan. Namun ijma’ tersebut bisa terjadi apabila diserahkan pada
pemerintah, sehingga pemerintah akan menentukan kriteria atau syarat seorang
mujtahid, sehingga pemerintah dengan jelas mengetahui siapa-siapa mujahid
tersebut dan bagaimana fatwa-fatwanya. Apabila mujtahid setiap bangsa
disepakati oleh mujtahid seluruh dunia maka dapat terjadilah ijma.
Sedangkan hanafi menjelaskan bahwa ijma’ yang
memungkinkan untuk terjadi pada saat ini adalah :
“Keputusan yang diambil oleh wakil-wakil rakyat
yang mewakili segala lapisn rakyat untuk perkataan kepentingan-kepentingan
mereka. Mereka itulah yang dinamai Ulil Amri Ahlul Halli Wal ‘Aqdi. Mereka
diberi hak oleh Syariat Islam untuk membuat undang-undang/peraturan- peraturan
dengan memperhatikan kepentingan rakyat”.
2.
Pembagian
Ijma’
Ditinjau
dari segi cara terjadinya Ijma’, terbagi menjadi 2 bagian :
Pertama
:
Al-Ijma’ al-sharih (إجماع الصريح) yakni
ijma yang tegas persetujuannya baik melalui lisan maupun perbuatan.
Ijma’ dalam bentuk pertama ini dinamakan pula
Al- Ijma’ Al-haqiqi atau Al-Ijma’ al-qauliy yang dianggap sebagai hujjah bagi
para jumhur.
Kedua : Al-
Ijma’ As-sukuty ( إجماع السكوتى) ijma’ yang dengan jelas hanya disepakati oleh sebagia ulama’
sedangkan sebagian lain hanya diam dan tidak memberikan kejelasan sepakat atau
tidak.
Ijma’ bentuk kedua ini dinamakan pula Al-Ijma’
al-i’tibariy yang tidak dianggap hujjah bagi jumhur, melainkan hujjah bagi ulama’
hanafiyah. Sebab diamnya para ulama tetap dapat dianggap setuju apabila telah
dijelaskan masalahnya yang telah dibahas dan diamnya para ulama’ bukan karena
takut.
Sedangkan menurut imam Syafi’i menganggap
bahwa, ijma’ sukuty tidak bisa dijadikan hujjah sebab :
a.
Seseorang yang diam tidak bisa dinisbatkan
suatu pendapat (setuju atau tidak) dan bahkan pada umunya makna diam lebih
condong pada ketidaksetujuan.
b.
Diamnya seorang mujtahid juga bisa berarti
telah setuju tapi mungkin telah berijtihad namun belum sampai pada keputusan
tersebut, mungkin pula karena takut dan mungkin pula diamnya karena hal-hal
lain.
Sehingga dalam perbedaan pendapat antara ijma’
sukutiy bisa dijadikan hujjah apa tidak. Ulama mengklasifikasi ijma’ sukutiy
sebagai ijma’ yang dhanniy al-dalalah. Sedang ijma’ shorih termasuk
ijma’ yang qath’iy al-dalalah.[4]
Sedangkan dtinjau dari para mujtahid yang
mengadakan ijma’ maka ijma’ dibagi pula menjadi beberapa bagian:
a.
Ijma’ Umat (إجماع
الأمة) ijma’ inilah yang
sesuai dengan pengertian pada definisi awal tadi.
b.
Ijma’ al-shahabah (إجماع
الصحابة) yakni kesepakatan
para shabat pada suatu kasus atau urusan tertentu.
c.
Ijma’ ahl Madinah (إجماع أهل المدينة ) yakni kesepakatan paham ulama’ ulama’ ahl
madinah terhadap sesuatu perkara, ijma’ ini tetap dianggap hujjah bagi imam
Malik.
d.
Ijma’ Ahl Kuffah (إجماع
أهل الكوفة) yakni kesepakatan
paham ulama’ ulama’ kuffah, ijma’ ini tetap dianggap hujjah bagi Imam Abu
Hanifah.
e.
Ijma’ al-khulafa’ al-arba’ah (إجماع الخلفاء الأربعة) ijma’ ini oleh sebagian ulama’ dianggap
hujjah sebab adanya dasar :
“Kamu
wajib mengkuti sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin sesudahku” (HR. Ahmad,
Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
f.
Ijma’ Asy-syaikhayn (إجماع
الشيخين) yakni kesepakatan
yang dilakukan oleh Abu bakar dan Umar, hal ini bersadarkan pada :
“Ikutilah/teladanilah
kedua orang sesudahku, yaitu abu bakar dan umar”
g.
Ijma’ al-‘itrah (إجماع
العترة) yakni kesepakatan
antara ahl bait.
C.
Qiyas
(Analogi)
1.
Pengertian
Qiyas
Qiyas menurut etimologi adalah ukuran, maksudnya mengukur sesuatu
dengan menghubungkan pada yang lain. Sedangkan menurut terminologi yang
sebagian besar digunakan para ulama ushul, qiyas adalah menyamakan ketentuan
hukum baru dengan teksyang telah ada (Alquran dan Sunnah)karena keduanya
memiliki kesamaan illat (penyebab).[5]
Jadi dapat disimpulkan, qiyas merupakan cara dalam mencari
ketentuan hukum kejadian baru dengan memaksimalkan akal pikiran sesuai pada
kejadian yang telah dinyatakan hukumnya dikarenakan persamaan illat.Sebagai
contoh, dalam menyamakan makanan pokok beras dan gandum dikarenakan memiliki
kesamaan illat yakni rasa.[6]
2.
Dalil
Keabsahan Qiyas sebagai Landasan Hukum
a.
Surah
An-Nisa’ ayat 59 :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواأَطِيعُوااللَّهَوَأَطِيعُواالرَّسُولَوَأُولِيالْأَمْرِمِنْكُمْ
ۖ فَإِنْتَنَازَعْتُمْفِيشَيْءٍفَرُدُّوهُإِلَىاللَّهِوَالرَّسُولِإِنْكُنْتُمْتُؤْمِنُونَبِاللَّهِوَالْيَوْمِالْآخِرِ
ۚ ذَٰلِكَخَيْرٌوَأَحْسَنُتَأْوِيلًا
Artinya
:
Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya.
Berdasarkan ayat diatas dapat diketahui bahwa adanya
perdebatan pendapat antara ulama tentang hukum suatu kejadian, dan solusinya
adalah dengan mengembalikannya kepada Alquran dan Sunnah. Dalam hal ini
mengembalikan dapat diartikan sebagai metodologi qiyas.
b.
Hadits
Rasulullah
Mengkaji hukum melalui metode qiyas dapat dikatakan sebagai ijtihad
‘aqly uang sangat tradisional. Adapun hadits Nabi yang memberi peluang kajian
ijitihad, yakni ketika Rasul mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi qadhi
(hakim) di Yaman :
اَنَّ
رَسُوْلَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ لِمُعَاذٍ مَا تَصْنَعُ
اِنْ عُرِضُ لَكَ قَضَاءٌ؟ قَالَ اَقْضِى بِمَا فِى كِتَابِ اللّهِ, قَالَ فَاِنْ
لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابٍ قَالَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَاِنْ لَمْ يَكُنْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللّهِ, قَالَ
اَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَلاَ اَلُوْا : فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللّهِ ص م عَلَى
صَدْرِمُعَاذٍ, وَقَالَ الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِىْ وَفَقَ رَسُوْ لَ رَسُوْلِ
اللّهِ لِمَايَرْضَى رَسُوْلُ اللّهِ .)رواه ابو داود(
Artinya :
Bahwa Rasulullah bertanya pada Mu’adz, apa yang akan engkau perbuat
kalau datang persoalan di hadapanmu. Mu’adz menjawab, saya akan putuskan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kitab Allah. Kemudian Rasulullah
bertanya lagi, bagaimana kalau engkau tidak menemukan jawabannya dalam kitab
tersebut? Mu’adz menjawab, aya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada Sunnah Rasulullah. Dan bagaimana kalau sunnah pun belum
menyatakan apa-apa tentang itu? Dia menjawab, saya akan berijtihad dengan nalar
saya, dan tidak akan mengabaikannya. Lalu Rasulullah memukul-mukul dada Mu’adz
sambil berkata, segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada
utusan Rasulullah terhadap apa-apa yang diridhainya.
(Abu Dawud).[7]
Dalam hal ini yang dimaksud ijtihad adalah qiyas, yakni mujtahid
menetapkan hukum melalui nalar yang mendekati kebenaran. Para ulama fiqh banyak
yang menggunakan metodologi qiyas dalam kajian hukum islam, yakni semenjak
periode sahabat. Kemudian dalam periode imam madzhab, yakni Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal, serta Zaid bin ‘Ali Zainal Abidin dari
kalangan Syi’ah. Sedangkan mereka yang menolak hanya Imam Adh-Dhahiri, Auza’i
dari Sunni, dan Ja’far al-Shadiq dari Syi’ah.[8]
3.
Rukun
Qiyas[9]
Merujuk pada pengertian qiyas sendiri, yakni menyamakan hukum
kejadian baru yang tidak ada nashnya dengan hukum kejadian yang ada nashnya
karena persamaan illat, maka rukun qiyas terbagi menjadi empat macam,
yakni :
a.
Ashal(الْاَصْلُ),
yakni pokok (wilayah sumber hukum) untuk mengqiyaskan sesuatu.
Adapun pembatasan dari sumber hukum itu sendiri, adalah :
1)
Nash yang
dijadikan sumber hukum merupakan rujukan dari segala hukum.
2)
Nash hukum
memiliki kandungan isyarat adanya illat.
3)
Qiyas
berpedoman terhadapAlquran dan Sunnah.
b.
Hukum
Ashal ( الْحُكْمُ ), yakni hukum ketetapan nash (Alquran, Sunnah, ataupun Ijma’) yang
dijadikan sebagai patokan dalam kejadian-kejadian hukum baru karena adanya
unsur kesamaan.
Adapun
syarat yang harus dipenuhi dalam menetapkan hukum baru adalah :
1)
Berupa hukum syara’
yang amaliah.
2)
Berupa hukum
yang rasional. Pendapat Abu Hanifah terhadap nash-nash hukum agama adalah
seluruhnya rasional, kecuali dalam nash-nash tersebut memiliki rujukan ta’abbudi.
c.
Far’u
( الْفَرْعُ
),yakni kejadian yang hendak diketahui hukumnya melalui qiyas.
Adapun syarat agar far’u terpenuhi
adalah :
1)
Kejadian yang
belum ada penetapan hukum dalam nash Alquran dan Sunnah.
2)
Illat kejadian
baru harus benar-benar ada, sehingga dapat jelas disamakan dengan illat kejadian
asal.
d.
Illat
( الْعِلَّةُ ),yakni penetapan
hukum dikarenakan kesamaan penyebab kejadian baru dan kejadian asal.Dari
keempat rukun qiyas, illat merupakan rukun yang paling penting. Berikut
pembahasan mengenai illat qiyas :
1)
Definisi
Illat merupakan alasan atau penyebab dalam hukum asal yang dijadikan dasar
hukum. Sebagian ulama’ ushul menyatakan bahwa illatadalahsesuatu yang
sama kemudian menjadisatu hukum, dalam hal ini tidaksedikit juga ulama yang
sependirian.
Dasar hukum yang terjangkau oleh nalar kita disebut illat dan
sebab. Dan jika terdapat hal yang tidak terjangkau oleh nalar kita, maka
disebut hanya sebab. Dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap illat adalah sebab, sedangkan setiap sebab bukanlah illat.[10]
2)
Syarat Illat
Adapun syarat yang mensahkan illat,
sebagai berikut :
a)
Bersifat jelas
dan tampak, sehingga dapat menentukan sesuatu.
b)
Harus kuat,
tidak berubah meskipun dipengaruhi oleh individu, lingkungan, ataupun situasi.
c)
Adanya hubungan
yang sesuai antara hukum dengan sifat yang menjadi illat.
d)
Bersifat tidak
terbatas, memiliki jangkauan yang luas.
e)
Tidak
dinyatakan batal oleh suatu dalil, sehingga illat yang ditentukan sudah
berlaku secara universal pada setiap sasaran hukum.
3)
Pembagian illat
a)
Al-Munasib
al-Mu’atsir, yakni illat yang sesuai dan berpengaruh. Dimana illatnya
telah disusun dalam nash maupun ijma’.Misal : larangan meminum khamr.
b)
Al-Munasib al-Mulaa’im,
yakniillat yang sesuai dan sepadan. Dimana hukum illat nya tidak
langsung dari Allah, melainkan ada petunjuk dari nash dan ijma’ yang memiliki
anggapan bahwa hukum tersebut sebagai penentu hukum sejenis. Misal : sucinya
air liur kucing.
Al-Munasib
al-Mursal, yakni illat yang sesuai dan dibiarkan. Dimana illat yang
tidak memiliki pengukuhan dari Allah atau Rasul-Nya.
Contoh
illat yang batal dilihat dari segi makna :
Adanya kewajiban menzakati binatang ternak dengan illat untuk
menutupi kebutuhan orang fakir, maka illat tersebut dinyatakan tidak sah
(batal). Seperti halnya permata : yakni berlian, intan, dan mutiara, juga dapat
menutupi kebutuhan orang fakir tetapi tidak ada ketentuan zakat terhadap
benda-benda tersebut.[11]
4.
Macam-macam
Qiyas[12]
Wahbah az-Zuhaili mengemukakan, dilihat dari segi perbandingan
antara illat kejadian asal dengan illat kejadian baru, qiyas
terbagi menjadi 3 macam :
a.
Qiyas Awla, yakni
dinyatakan bahwa illat yang terdapat pada kejadian baru (far’u)
lebih utama daripada illat yang terdapat pada kejadian asal (ashal).
Misal : Menghubungkan hukum diharamkannya memukul orang tua kepada hukum
menagatakan “Ah” dalam surat al-Isra’ ayat 23 :
... فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ ...
Artinya :
... maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” ...
Berdasarkan
ayat diatas, dapat diketahui bahwa terdapat persamaan illat yakni
menyakiti orang tua. Namun dalam hal ini kejadian baru memiliki hukuman yang
lebih berat dikarenakan memukul orang tua lebih menyakiti daripada kejadian
asal yang haram mengatakan “ah”.
b.
Qiyas Musawi, yakni
qiyas persamaan bobot antara illat kejadian baru dan illat kejadian
asal. Misal : Diharamkannya membakar harta anak yatim merupakan kejadian baru (cabang)
sama bobotillat nya haram memakan harta anak yatim, seperti dalam surat
an-Nisa’ ayat 10 :
إِنَّ الّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِي بُطُوْنِهِمْ نَارًا
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
Artinya :
Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala
(neraka).
Berdasarkan
ayat diatas, dapat disimpulkan keduanya memiliki hukum haram karena sama-sama
melenyapkan harta anak yatim.
c.
Qiyas al-Adna,
yakni qiyas dimana illat yang terkandung dalam kejadian baru lebih
rendah bobotnya daripada illat yang terdapat dalam kejadian asal. Misal
: illat memabukkan terhadap minuman keraswineseumpama lebih rendah
dari minuman keras khamr yang berhukum haram dalam surat al-Maidah ayat
90 :
يَأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلاَمُ
رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya :
Hai
orangg-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
kesberuntungan.
Sedangkan landasan hukum dilihat dari segi jelas atau tidak
jelasnya illat. Wahbah Az-Zuhaili membagi qiyas menjadi 2 macam :
a.
Qiyas Jali,
yakni qiyas berdasarkan illat yang tegas menurut Alquran dan Sunnah.
Seperti halnya dalam qiyas awla dan qiyas musawi.
b.
Qiyas Khafi, yakni
qiyas berdasarkan illat yang ditarik dari hukum asalnya. Misal : dalam
kasus pembunuhan menggunakan benda tumpul dan benda tajam, keduanya memiliki
kesamaan illat yakni adanya kesengajaan dan perselisihan yang terjadi.
D.
Penutup
Hasil dari kajian Sumber Hukum Islam diatas telah menggambarkan
bahwa ijma dan Qiyas merupakan 2 sumber hukum islam yang dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan hukum islam setelah Alquran dan Hadis.
Banyaknya dalil dalam Alquran dan Hadis yang menguatkan kedua
sumber tersebut untuk mampu dijadikan hujjah dalam menentukan berbagai
problematika umat islam. Sekaligus
tampak pada cara para sahabat dan mujtahid dalam menentukan sebuah hujjah dimana
tujuan dalam pelaksanaan hal tersebut adalah dalam mencapai kemaslahatan umat.
Dimana
Ijma berperan dalam mengumpulkan kesepakatan para mujtahid baik secara keseluruhan
(ijma’ umat) atau tidak (ijma’ sahabat, ijma’ syakhaini dll) hal tersebut tidak
lain adalah demi penguatan terhadap penetapan suatu hukum sehingga
diperlukannya kesepakatan bersama dalam menentukan suatu hukum yang bersumber
pada Alquran dan Hadis.
Sedangkan
Qiyas berperan sebagai pengembalian suatu perkara yang baru (belum ada
hukumunya) terhadap suatu perkara yang telah ditetapkan hukumnya oleh Alquran
dan Hadis. Sehingga keduanya memiliki karakteristik dan prinsip tersendiri
namun pada dasarnya tetap bersumber pada Alquran dan Hadis.
DAFTAR
PUSTAKA
An-Nadwi,
Fadlil Said. 2004.Ushul Fiqih. Surabaya : Al-Hidayah
Daud, Mohammad.
1998. Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia). Jakarta
: Raja Grafindo Persada
Djazuli,
A. 2000.Ushul Fiqih. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Effendi, Satria.
2005. Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana
Khallaf, Abdul
Wahhab. 1996.Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh). Jakarta :
Raja Grafindo Persada
Koto, Alaiddin.
2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Rosyada, Dede.
1996. Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III. Jakarta : Raja
Grafindo Persada
Ulyan,
Syeikh Rusdi. Ijma fii Syariatil Islam. Maktabah Syamilah.
Zahrah,
Muhammad Abu. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus
Catatan:
1.
Similarity
hanya 2%. Selamat!!!!
2.
Pendahuluannya
terlalu “mini”
3.
Contoh ijma’?
[1]
Syeikh Rusdi Ulyan, Ijma fii Syariatil Islam, Maktabah Syamilah.
[2] A Djazuli, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2000), hlm. 109.
[3]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm. 79.
[4] A
Djazuli, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2000), hlm.
115.
[5]
Mohammad Daud, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 109
[6]
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 44
[9]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2005),
hlm. 352-370
[10]Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Ilmu Ushulul Fiqh), (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 101
[11]Fadlil
Said An-Nadwi, Ushul Fiqih, (Surabaya : Al-Hidayah, 2004 ), hlm. 131
[12]Satria
Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2005), hlm. 140-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar