IJMA’ DAN QIYAS
Alya Nashar Zulfa dan Ahmad Ghozali
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam
Kelas C Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang
e-mail : alyanashar@gmail.com
Abstract:
The urgency of the problems that
occurred after the death of the Prophet became the emergence of ijma '. Ijma
'which is a collective ijtihad among friends, in addition to choosing the law,
also to minimize or live it ijtihad by individual individual friend. The reason
can be received directly, because when the Messenger of Allah was alive, the
ruler of the law held directly by him, so there is no potential mistakes, After
Rasulullah died, Abu Bakr, Umar bin al-Khathab, and other friends took the
initiative to seek agreement when they did not find the back Al-Qur'an or
al-sunnah on the problems of Shari'ah that happened. So here the need for ijma
'does not stop only in friendhood. Because with the development of the times,
new events demanded a high legal decision as well when the Qur'an and al-Sunnah
specifically did not address the issue
Keywods: Ijma’ dan Qiyas
Abstrak:
Kebutuhan mendesak terhadap
pemecahan dari permasalahan-permsalahan yang terjadi setelah Rasulullah wafat
menjadi sebab kemunculan ijma’. Ijma’
yang merupakan ijtihad secara kolektif di anatara sahabat, selain bertujuan
untuk menentukan hukum, juga untuk meminimalisir atau mengantisipasi terjadinya
kesalahan ijtihad oleh per individu
sahabat. Alasan di atas secara rasional dapat di terima, karena ketika
Rasulullah masih hidup, otoritas hukum dipegang lansung oleh beliau, sehingga
tidak ada potensi kesalahan, Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar, Umar bin
al-Khathab, dan sahabat lainya berinisiatif mengupayakan kesepakatan saat
mereka tidak menemukan sandaran Al-Qur’an ataupun al-sunnah atas
masalah-masalah syari’at yang terjadi.
Jadi di sini kebutuhan ijma’ tidak hanya berhenti pada masa sahabat saja.
Karena dengan perkembangan zaman, kejadian-kejadian baru menuntut keputusan
hukum baru pula tatkala Al-Qur’an dan al-sunnah secara spesifik tidak membahas
masalah tersebut.
Kata Kunci: Ijma’ dan Qiyas
A.
PENDAHULUAN
Seiring
dengan berjalanya peradaban umat
manusia, persoalan-persoalan yang muncul terkait hukum agama juga semakin
kompleks. Begitu banyak kasus yang pada masa rasul belum ada, kini ada. Maka
yang terjadi kita tidak dapat hanya menggunakan Al-Qur’an dan As-Sunnah
sebagai sumber hukum. Bukan karena sudah tidak relevan lagi, melainkan
ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an banyak yang multi tafsir dan Sunah
Rasul pun jumlahnya terbatas mengingat tidak ada seorang sahabat pun yang
pernah mengikuti rasul secara penuh selama 24 jam.
Pada
awal peradaban munculnya Islam, segala persoalan yang terjadi dapat langsung
terselesaikan baik dengan turunnya wahyu maupun dari apa yang dicontohkan
oleh rasul sendiri. Namun, di masa sekarang ini, mustahil rasanya kalau segala
persoalan langsung bisa dirujuk Al-Qur’an saja atau Al-Qur’an dengan As-Sunnah.
Sebab, kondisinya sudah sangat berbeda. Pada masa rasul tidak ada yang namanya
“Bir” namun kini ada. Lantas bagaimana kemudian hukumnya sekarang?
Dalam
menjawab persoalan zaman, sahabat melakukan sebagaimana salah satu tuntunan
rasul dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Rasululluah bertanya
pada Mu’az, Apa yang akan engkau perbuat kalau datang persoalan di hadapanmu?.
Mu’az menjawab, saya akan putuskan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam kitab Allah. Kemudian rasul bertanya lagi, Bagaimana kalau engkau tidak
menemukan jawabannya dalam kitab tersebut. Mu’az menjawab, saya akan putuskan
dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Sunah Rasul Allah. Dan bagaimana
kalau sunah pun belum menyatakan apa-apa tentang itu. Dia menjawab, saya akan
berijtihad dengan nalar saya dan tidak akan mengabaikannya. Lalu Rasul
memukul-mukul dada Mu’az sambil berkata, segala puji bagi Allah yang telah memberi
petunjuk kepada utusan Rasulullah terhadap apa-apa yang diridhainya.
Dari
salah satu hadits di atas, diketahui bahwa ada metode penggalian hukum yaitu
dengan cara ijtihad. Ijtihad dalam hadits ini, sebagaiana dikatakan Wahbah,
adalah qias karena ijtihad itu menggunakan nalar, sedang qias merupakan
pendekatan dalam ijtihad yang paling tradisional dan mendekati kebenaran.
Apabila terjadi kesepakatan oleh para mujtahid, kemudian dinamakan ijma’. Apa
dan bagaimana kedua metode tersebut akan dijelaskan dalam artikel ini.
B.
IJMA’
1.
Pengertian
Secara etimologi, ijma’ mengandung
dua arti yang berbeda. Pertama, ijma’ yang berarti ketetapan hati untuk
melaksanan sesuatu. Ijma’ dalam
pengertian ini diambil dari firman Allah[1]:
فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُم
Artinya:
Maka tetapkanlah hatimu dalam urusanmu (QS: Yunus 71)
Kedua, ijma’ yang bermakna kesepakatan. Pengertian
seperti ini dapat dilihat dalam firman allah :
فَلَمَّا ذَهَبُوا
بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ
Artinya: Pada
saat mereka membawa yusuf dan sepakat untuk memasukanya ke liang sumur (QS.
Yusuf 15).
Dari dua pengertian di atas,
secara kasat mata terdapat sebuah perbedaan bilamana menggunakan makna pertama,
maka subyek ijma’ hanya seorang, tetapi dengan menggunakan makna kedua, ijma’
harus melibatkan lebih dari seorang.
Sedangkan dalam terminologi ushul fiqih, ijma’ adalah
berspakatnya seluruh mujtahid dari umat Rasulullah Saw setelah wafatnya, pada
suatu masa dari beberapa masa terhadap suatu perkara dari beberapa perkara.
Melihat dari konteks pengertian di atas apabila di dalam sebuah masalah-masalah
yang akan di ijma’ kan yang disitu kebetulan hanya ada banyak ulama yang
setuju. Maka menurut sebagian ulama berpendapat bahwa boleh di jadikan hujjah
dan juga dianggap sebagai ijma’[2].
Sebagai konsekwensi logis dari definisi di atas dapat di tarik
beberapa kesimpulan mengenai unsur-unsur ijma’ yang harus di penuhi[3].
Adalah sebagai berikut[4]:
a.
Adanya
sebuah kesepakatan, sepakat di sini di artikan kesaman pendapat seseorang
dengan pendapat orang lain dalam segi keyakinan, ucapan, dan perbuatan. Setelah
adanya kesepakatan antara seluruh mujtahid dengan metode tersebut, maka akan
dihasilkan sebuah ijma’ yang wajib diikuti.
b.
Mujtahid
pelaku Ijma', di dalam konteks ini orang-orang yang terlibat di dalam ijma’
haruslah orang-orang yang berkompenten di bidangnya, dalam hal ini yang di
maksud adalah mujtahid. Mujtahid adalah seseorang yang mampu melakukan penggalian hukum dari dasar
pengambilanya yakni Al-qur’an dan Al-Sunnah.
c.
Ijma’
sebagai keistemewaan khas ummat Muhammad Saw, di sini semua ulama bersepakat
bahwa mujtahid haruslah termasuk umat nabi Muhammad Saw. Yang di maksud adalah
sebutan orang-orang yang menerima dakwah Rasulullah Saw dan beriman terhadap
semua ajaran beliau. Dengan demikian orang-orang kafir atau orang-orang yang
tidak mempercayai Rasulullah Saw tidak termasuk ke dalam golongan orang yang
berhak melakukan ijma’. Karena pendapat mereka dalam sebuah permasalahan agama
tidak bisa di setujui.
d.
Ijma’
terbentuk pasca rasulullah wafat, sudah jelas di sini bahwasanya ijma’ bisa di
jadikan hujjah bilamana terbentuk pada masa Rasulullah wafat. Apabila ijma’ di
sini terjadi pada masa hidup beliau maka tidak dianggap sah dan tidak bisa di
jadikan sebagai hujjah. Karena beliau lah yang langsung menjadi refrensi dan
sumber rujukan hukum di kala beliau masih hidup.
2.
Hukum
dan Syarat Ijma’
Mengenai boleh adanya ijma’dijadikan sebagai hujjah, para ulama terbagi kedalam
dua golongan yakni:
a.
Golongan
yang menerima ijma’ sebagai hujjah. Antara lain dikarenakan bahwa adanya ijma adalah hal yang
telah mutawatir sejak dari zaman sahabat
dan untuk hasil daripada ijma itu tidak akan mungkin terjadi adanya
kesalahan, karena disini umat nabi Muhammad tidak akan berijma’dalam hal yang
salah. Di samping itu dalam menerima ijma’ sebagai hujjah, mereka memberi
beberapa syarat mengenai hal tersebut yakni:
· Bila yang di sepakati adalah satu hukum agama, maka
oleh keseluruhan semua mujtahid , persepakatan kebanyakan ulama tidak di anggap
ijma’ dan tidak bisa dipakai sebagai sebuah hujjah.
· Harus ada dalil syarak yang menjadi pemerkuat hukum
yang di ijma’-an itu. Sebagai mereka mensyaratkan dalil syarak tersebut
haruslah nas yang qat’y dan zahir, tidak boleh dalil yang lain seperti qiyas
contohnya.
· Sebagian mensyaratkan bahwasanya ijma’ itu harus di
dapat dengan jalan mutawattir, jika kalau di dapat melalui habar ahad maka
tidak akan dapat berhujah denganya. Sebagian lagi tidak mensyaratkan. Yang
demikian itu di karenakan menurut mereka berita ahad juga boleh di jadikan
sebuah hujjah.
b.
Golongan
yang menolak terjadinya ijma’ (selain ijma’ sahabat) beralasan dengan beberapa
alasan sebagai berikut:
· Kemungkinan untuk mengetahui hal-hal mana saja yang
telah di ijma’ kan adalah tidak munngkin
· Tidak mungkin mengetahui seluruh ulama yang bertaraf
mujtahid di negeri barat atau timur. Kemungkinan untuk menemuinya semua orang
tersebut saja rasanya tidak mungkin karena adanya batasan umr, lagipula disini
tidak ada mengenai ketentuan seseorang untuk di beri gelar sebagai seorang
mujtahid.
Seseorang bisa saja mungkin dianggap sebagai mujtahid di negeri belahan
barat, akan tetapi mungkin tidak lagi dianggap mujtahid negeri belahan timur.
Oleh karena itu, kemungkinan mengenai adanya ijma’ yang diakui golongan ini
hanyalah sebuah ijma’ sahabat , karena jumlah mujtahid pada masa sahabat
hanyalah sedikit, artinya tidak sebanyak
masa Tabi’in dan Tabi’I Tabi’in.
Di antara ulama yang paling keras dalam tanggapanya mengenai golongan
yang berpendirian akan adanya ijma’. Adalah Imam Ahmad bin Hambal, hingga
beliau berkata: ‘’Barangsiapa yang mendakwakan bahwa telah terjadi ijma’(selain
ijma’ sahabat), maka dustalah dia, dan sepanjang sepengatahuan saya belum ada
berita yang sampai pada saya akan adanya sebuah pendapat yang menyalahi
sedemikian[5].
Jadi jelas yang dimasudkan Imam Ahmad adalah, tidak akan ada ijma’
selain ijma’ dari sahabat dan tidak ada ulama yang mengatakan bahwasanya ada
ijma’ selain ijma’ sahabat.
Dari uraian di atas, maka disini sebagian para ulama’ membuat satu
kesimpulan bahwa ijma’ tidaklah termasuk kedalam dalil syarak yang berdiri
sendiri, kecuali diperkuat dengan adanya al-Qur’an dan Sunnah.
3.
Macam-macam
Ijma’
Setelah kita tadi sudah membahas banyak mengenai definisi Ijma’
dan semua hal yang terkait denganya, maka di tinjau dari segi caranya atau
bentuknya ijma’ itu ada tiga macam yakni ijma’ Fi’liyah, ijma’ sharih dan ijma’
sukuti [6].
Pertama, ijma’ fi’liyah adalah suatu perbuatan dari
seluruh mujtahid yang menunjukkan sebuah persutujuan atas hukum suatu masalah,
dengan bentuk perbuatan. Seperti ada seorang mujtahid yang memakan daging kuda
misalnya,ini menunjukkan bahwasanya ia menghukumkan halal daging kuda dengan
jalan perbuatanya[7].
Kedua, ijma’
sharih adalah sebuah kesepakatan mujtahid terhadap hukum yang berkaitan dengan
suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat
dalam fatwa, dan di dalam memutuskan suatu perkara. Tiap-tiap bagian mujtahid
itu merupakan sumber hukum. Jelas terlihat dari semua pendapat mereka[8].
Ketiga, ijma’
sukuti, adalah sebuah ijma’ yang tegas dengan adanya sebuah persetujuan
dinyatakan oleh sebagian mujtahid, sedangkan sebagian lainya diam, tidak jelas
apakah disimi mereka menyetujui atau melarangnya[9]
.
Selanjutnya di tinjau dari segi waktu dan tempatnya atau ruang
lingkup para mutahid yang berijma’ maka ada beberapa macam yakni adalah sebagai
berikut:
a.
Ijma’
Ahli Madinah (Kesepakatan ulama’-ulama’ Madinah dalam suatu
masalah), Imam Malik berkata bahwa
ijma ahli madinah adalah hujjah secara mutlak maksud dari pernyataan tersebut
adalah karena kebiasaan yang mengatakan bahwa orang-orang seperti mereka tidak
akan bersepakat kecuali berdasarkan dalil yang rajih. Ibn al-Qayyim berkata
bahwa secara umum, ijma’ ahli madinah terbagi menjadi dua katagori yaitu, ijma
dalam permasalahan-permasalahan yang berdimensi periwayatan serta ijma’ dalam
permasalahan-permasalahn yang berdimensi ijtihad[10]
. Untuk ijma’ dalam permasalahan-permasalahan yang berdimensi periwayatan di
sini adalah hujjah, tetapi bukan dipandang dari segi ia adalah sebuah
kesepakatan, akan tetapi dari sisi periwayatan yang mutawattir atas kondisi dan
situasi pensyaratan masa rasul yang menunjukkan atas tujuan syari’at. Sedangkan
ijma’ ahli madinah atas permasalahan-permasalahan berdimensi ijtihad, skala
prioritas penggunaanya masih berada kedalam hadist.
b.
Ijma’ Khulafa’
al-Rasyidin (Kesapakatan empat khalifah dalam suatu masalah), di sini untuk
kesepakatan Khulafa’ al-Rasyidin berperan sebagai salah satu hujah di karenakan
rasulullah sendiri pernah bersabda agar berpegang juga dengan sunnah para
khalifah khulafa’ al-rasyidin selain sunnah-nya, maka permasalahan-permasalahan
yang telah menjadi kesepakatan mereka merupakan hujjah bagi selainya.
c.
Ijma’
ahli bait (Kesepakatan pendapat dari ahi bait atau keluarga rasul), untuk ahli
bait ini identik dengan golongan syi’ah dalam kaitanya dengan ijma’, kalangan
syi’ah atau ahlul bait bisa di katakan perkatan dan perbuatanya merupakan salah
satu hujjah itu terbukti dengan adanya golongan tersebut termasuk orang-orang
yang terjaga dari dosa, mereka juga menerima pengajaran dan tuntunan dari
Rasulullah Saw.
d.
Ijma’
mayoritas ulama’ (Kesepakatan semua ulama’ sahabat dalam suatu masalah),
kesepakatan mayoritas ulama’ merupakan salah satu hujjah dalam agama Islam
karena sudah di tegaskan di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah agar kita selalu konsisten mengikuti sebuah komunitas besar. Dalam hal
ini adalah mengjhmati pendapat mayoritas ulama’ kita.
C. Qiyas
Qiyas merupakan salah satu dari beberapa cara dalam penggalian
hukum syara', metode penggalian hukum syara' dengan qiyas dilakukan dalam
hal-hal yang sudah di nash kan dalam Al-Qur'an maupun As-sunah, namun
penjelasan hukumnya masih belum jelas.[11]
Dari segi bahasa, qiyas (الْقِيَاسْ) memiliki arti “persamaan” atau
“ukuran”, diibaratkan dengan seseorang yang sedang menyamakan atau mengukur
suatu benda dengan benda lainnya. Secara istilah ilmu ushul fiqh qiyas adalah
اِسْتِخْرَاجُ مِثْلِ حُكْمِ
الْمَذْكُوْرِلِمَالَمْ يَذْكُرْ بِجَامِعٍ بَيْنَ هُمَا
"mengeluarkan (suatu hukum yang sama) dengan yang telah
disebut karena persamaan antara keduanya."[12]
1. Rukun Qiyas
Rukun yang dimaksud di sini adalah komponen yang harus terpenuhi
atau terdapat pada qiyas karena bila ada satu saja yang tidak ada, maka tidak
dapat dikatakan bahwa itu adalah qiyas
Qiyas memiliki empat rukun, yakni:
1.
Al-Far'u, yaitu
suatu hal yang diqiyaskan untuk menemukan hukum yang terdapat baginya.
2.
Al-Ashlu, yaitu
sesuatu yang dipakai untuk menqiyaskan dan sudah terdapat padanya sebuah hukum.
3.
Hukum Ashal,
yaitu hukum yang sudah dinashkan pada asal.
4.
Illat, yaitu
sifat yang telah ada ketetapannya dari syara' dan menjadikan adanya hukum pada asalnya.[13]
Contoh penggunaan qiyas dalam
menentukan hukum suatu masalah:
1.
Transaksi jual
beli yang dilakukan menjelang waktu sholat Jum’at diharamkan oleh nash. Kasus
tersebut dapat diqiyaskan dengan segala macam transaksi ataupun transfer di
dalam waktu yang sama.[14]
2.
Pencurian yang
terjadi antara suami istri ataupun ayah dan anak tidak boleh diberikan sanksi
hukuman kecuali dari pihak yang dicuri menuntut berdasarkan undang-undang
pidana. Kasus tersebut bisa diqiyaskan kepada merampas dengan cara kekerasan,
penipuan cek palsu ataupun sebagainya.[15]
2. Qiyas
sebagai Hujah
Kebanyakan Ulama’ berpendapat bahwa berhujah menggunakan qiyas
adalah diperbolehkan dan wajib mengamalkan hukum wajib yang dihasilkan dari
Qiyas, salah satu golongan yang tidak setuju dengan adanya qiyas adalah
kelompok Imamiah.[16]
Terdapat beberapa alasan para jumhur ulama dalam memperbolehkan
berhujah dengan qiyas, yakni:
1.
Berdasarkan
firman Allah yang terdapat Al-Qur’an
فَاعْتَبِرُوْايَا
أُولِي الْاَبْصَارِ (الحشر:20)
Artinya: “Maka ambilah (kejadian
itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan.” (Q.S.
Al-Hasyr: 2)
2.
Terdapat dalam
sunnah Rasulullah, dituturkan terdapat beberapa hadits yang terindikasi bahwa
pengambilan hukum juga diambil melalui jalan qiyas. Di antara hadits-hadits
tersebut terdapat hadits yang diriwayatkan oleh beberapa imam hadits, yakni Abu
Dawud, Imam Ahmad, Turmudzi dan juga imam-imam hadits yang lainnya. Yakni saat
pembai’atan Mu’adz bin Jabal oleh Rasulullah untuk pengutusannya ke Yaman,
kemudian terdapat dialog singkat dengan Rasul. Rasul bertanya: ”Dengan cara
apa engkau memutuskan suatu perkara yang diadukan kepadamu?”
”Saya akan
menghukumnya dengan kitab Allah.” Jawab Mu’dz
“Apabila
engkau tidak menemukannya dalam kitab Allah?”
“Maka
dengan sunnah Rasulullah.”
“Apabila
dalam sunnah Rasulullah tidak kau temukan?”
“Saya
akan berijtihad dengan kemampuan berfikir saya”
Sambil menepuk dada Rasulullah
berucap “segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk dan merestuimu.”
Kehujjahan
qiyas dalam induksi hadits di atas adalah pengakuan dari Rasulullah terhadap
cara pengambilan keputusan melalui ijtihad oleh Mu’adz nanti, ketika memang
tidak dapat ditemukan jawaban sebuah permasalahan dari Al-Qur’an maupun
As-Sunnah
3.
Tutur dan laku
para sahabat Rasulullah. Ketika tidak ada nash yang menegaskan dengan jelas,
seringkali diterapkan pemecahan masalah menggunakan metode qiyas. Seperti
contoh pada saat Rasulullah wafat, lalu umat mengalami kebingungan dalam
memilih tokoh pengganti bagi mereka. Para sahabat pada saat itu menyamakan alih
kepemimpinan umat dengan keputusan Nabi yang menjadikan Abu Bakar sebagai
pengganti imam sholat pada saat Rasulullah sakit. Ditambah lagi dengan ucapan
yang mencermikan adanya qiyas, yaitu, “Rasulullah telah rela pada Abu Bakar
atas masalah agama, apakah kalian tidak rela pada Abu Bakar atas masalah
duniawi?
4.
Argumentasi
yang bersifat rasional. Setidaknya, ditemukan tiga dalil yang pokok dan
rasional dapat digunakan untuk pengukuhan sisi kehujjahan dari Qiyas.[17]
3. Syarat-syarat
Asal, Far’u, dan Illat
a.
Syarat-Syarat
Asal
1.
Yang terbit
haruslah hukum asal, jadi belum dimansukh sebuah hukumnya. Karena apabila
setelah dimansukh tidak memungkinkan untuk menqiyaskan hukum dari Far’u
2.
Yang terdapat
pada asal merupakan hukum yang ditetapkan atas Syara’.
3.
Hukum Asal
bukanlah merupakan hukum pengecualian. Seperti contoh dalam Islam, dikecualikan
bagi seseorang yang tidak sengaja atau terlupa makan ataupun minum dalam posisi
puasa ramadhan, maka puasanya tidak batal dan tetap sah. Hal tersebut tidak
dapat diqiyaskan dengan kasus yang lainnya [18]
b.
Syarat-syarat
Furu’
1.
Lebih dahulu
datang hukum asal dari pada hukum far’u
2.
Illat dari pada
far’u harus sesuai atau sama dengan illat yang terdapat pada asal
3.
Penetapan hukum
pada far’u harus memiliki kesamaan dengan penetapan hukum pada asal yang telah
ada.[19]
c.
Syarat-syarat
illat
1.
Sifat illat
adalah mengikuti ketetapan hukum. Jadi selama illat itu ada maka selama itu
pula terdapat hukum di dalamnya
2.
Sifat illat
adalah mengikuti ketiadaan hukum, jadi bila illat tersebut hilang maka hukum
yang ditetapkan hilang juga.
3.
Illat tidak
pernah diperbolekan bertentangan dengan nash, bila hal ini terjadi maka qiyas
tidaklah dianggap sah.[20]
4. Pembagian
Qiyas
Pembagian qiyas
ada 4, yaitu:
a.
Qiyas Aula,
yakni qiyas yang diwajibkan kepada illatnya terdapat hukum dan yang disamakan
(mulhaq) memiliki hukum yang keutamaannya lebih dari pada mulhaq bihnya (tempat
menyamakan). seperti contoh dalam menqiyaskan menendang orang tua dengan
mengucapkan “ufff” kepada kedua orang tua, yang seperti telah dijelaskan dalam
firman Allah di surah Al Isra’ ayat 23 yakni “Janganlah kamu mengatakan
“uff” kepada orang tuamu”.
Mengucapkan
kata “uff” kepada kedua orang tua merupakan larangan yang keras dari agama karena
memiliki illat menyakitkan hati. Oleh karena itu tentu saja menendang orang tua
justru lebih dilarang lagi karena yang disakiti bukan hanya hati tapi juga dari
fisiknya. Illat pada kasus ini mulhaqnya
lebih berat dari muhaq bih
b.
Qiyas Musawy,
yakni qiyas yang diwajibkan kepada illatnya terdapat hukum dan illat hukum di
dalam mulhaqnya adalah sama dengan hukum pada mulhaq bih. Seperti dalam contoh
memakan harta anak-anak yatim diqiyaskan dengan membakar harta benda anak
yatim. Kedua hal ini memiliki illat hukum yang sama seperti memakan harta anak
yatim karena sama-sama menghabiskan atau merusak hartanya. Dan tentang hal ini
Allah telah melarangnya dalam Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 10 yakni “Bahwa
orang-orang yang pada memakan harta anak yatim secara aniaya, sebenarnya mereka
itu menelan api di dalam perutnya.”
Jadi
membakar harta benda anak yatim termasuk dalam penghukuman haram karena
diqiyaskan pada memakan harta anak yatim seperti dalam nash di atas.
c.
Qiyas dalalah,
yaitu qiyas yang mana illat yang berada pada mulhaq terdapat hukum, namun tidak
mewajibkan hukum padanya seperti halnya dalam menqiyaskan harta anak yang masih
kecil kepada harta orang yang dewasa dalam menjalankan kewajibannya
mengeluarkan zakat, karena memiliki illat bahwa harta benda yang dimiliki anak
kecil tersebut dan orang dewasa sama-sama bersifat dapat bertambah banyak.
d.
Qiyas Syibhi,
yaitu qiyas yang far’unya dapat kembali kepada dua asal, namun salah satunya
lebih banyak terdapat persamaan. Seperti contoh perusakan hamba sahaya oleh
seseorang, maka hamba sahaya tersebut dapat diqiyaskan dengan orang yang
memiliki kemerdekaan karena sama-sama merupakan anak cucu Adam, tapi juga dapat
diqiyaskan dengan harta benda, karena memang kedua duanya sama-sama bisa untuk
dimiliki. Karena hamba sahaya bisa diperjual belikan, dihadiahkan, diwariskan
ataupun yang lainnya, maka hamba sahaya lebih pas diqiyaskan dengan harta benda
karena memiliki lebih banyak kesamaan. Oleh karena itu hamba sahaya bisa
diganti dengan nilainya apabila terjadi kerusakan oleh seseorang.[21]
D. Kesimpulan
Ijma’ dan qiyas merupakan jalan atau metode pengambilan
hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama setelah tidak didapatkannya
sebuah hukum yang dari sumber hukum islam yang utama yakni Al-Qur’an dan
Al-Hadits
Daftar Pustaka
Sahal,Mahfudz. Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota Kediri: FKI
Purna Siswa Aliyyah Madrasatul Hidayatul Mubtadi-ien, 2004)
Basiq, Djalil. Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media
Group, 2010)
al-Zuhaili, Wahbah Ibid, (Biqa: Dar Ibn ‘abud, 1950)
Wahab,Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,2005)
Dzajuli, Ilmu
Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
Muhammad bin
Abu Bakar, I’lam al-muqiin ‘an rabb al-amin,(Beirut: Dar al-jail, 1973,
Syarifuddin,
Amir. ”Ushul fiqh”, Jakarta:
Kencana 2009
Abdullah, Sulaiman. “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya”,
Jakarta: Sinar Grafika, 1995
Catatan:
1.
Similarity hanya 5%. Bagus.
2.
Mengapa referensinya hanya 8?
3.
Kesimpulannya terlalu simpisistis.
4.
Penulisan footnote perlu diperbaiki.
[1] Mahfudz Sahal, Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota Kediri: FKI Purna Siswa Aliyyah Madrasatul
Hidayatul Mubtadi-ien, 2004), h. 77
[2] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada
Media Group, 2010) h. 183
[3] Wahbah al-Zuhaili, Ibid,
(Biqa: Dar Ibn ‘abud, 1950), h. 491
[4] Mahfudz Sahal, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kota
Kediri: FKI Purna Siswa Aliyyah Madrasatul Hidayatul Mubtadi-ien, 2004), h. 80
[5] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada Media
Group, 2010) h. 186
[6] Wahbah al-Zuhaili, Ibid, h.36
[7] Djalil Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta: Kencana prenada
Media Group, 2010) h. 183
[8] Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Asdi Mahasatya,2005)
h. 56
[9] Dzajuli, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
h. 77
[10] Muhammad bin Abu Bakar, I’lam al-muqiin ‘an rabb al-amin,(Beirut:
Dar al-jail, 1973, h. 278
[11] Amir Syarifuddin, ”Ushul fiqh”, Jakarta: Kencana 2009, jilid
1, hlm 170
[12] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta:
Kencana 2010, hlm 188
[13] Ibid hlm 189
[14] Sulaiman Abdullah, “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 88
[15] Abdul Wahab Khallaf, “Ilmu Ushul Fiqh”, Jakarta: Rineka
Cipta, 2005, hlm 60
[16] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta:
Kencana 2010, hlm 190
[17] Forum Karya Ilmiah 2004, “Kilas
Balik Teoritis Fiqh Islam”, Kediri: Purna Siswa Aliyyah 2004 Madrasah Hidayatul
Mubtadi-ien, 2008, hlm. 186
[18] Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua”, Jakarta:
Kencana 2010, hlm 191-192
[19] Ibid hlm 192
[20] Ibid hlm 192
[21] Sulaiman Abdullah, “Sumber Hukum Islam Permasalahan dan
Fleksibilitasnya”, Jakarta: Sinar Grafika, 1995, hlm 123-124
Tidak ada komentar:
Posting Komentar