ASBAB AN NUZUL AL-QURAN
(STUDI AL-QURAN DAN HADITS)
Tia Inayatun Nadzifah (16130024)
Airul Tandhe Hitanaya (16130028)
Finda Himmatur Rosyidah (16130125)
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Pendidikan IPS Kelas D 2016
e-mail: tianadzifah@gmail.com
Abstrack
God makes everything through causation and according to a measure. No
human being is born and sees the light of life without going through the
causation and the various stages of development. Nothing happens in this form
except after going through the introduction and planning. So also changes in
the horizon of human thought occur after through preparation and direction. The
process of descending the Koran is an important requirement in explaining the
asbab nuzul which according to ulama in the tradition of Ulumul Qur'an study
named with Asbabun Nuzul mikro. And the consequence of the word means there are
verses that even most verses of the Qur'an do not have asbab nuzul. Therefore many
verses of the Qur'an can not be correctly understood. For it must be supported
by asbab nuzul macro, the historical background of Arab society when the Qur'an
is revealed.
Abstrak
Allah menjadikan segala sesuatu melalui
sebab musabab dan menurut suatu ukuran. Tidak seorang pun manusia lahir dan
melihat cahaya kehidupan tanpa melalui sebab-musabab dan berbagai tahap
perkembangan. Tidak sesuatu pun terjadi didalam wujud ini kecuali setelah
melewati pendahuluan dan perencanaan. Begitu juga perubahan pada cakrawala
pemikiran manusia terjadi setelah melalui persiapan dan pengarahan. Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat penting dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam
tradisi kajian Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan
konsekuensinya dari kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian
besar ayat Al-Qur’an tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak
ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu
harus didukung oleh asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat
Arab ketika Al-qur’an diturunkan.
Keywords: ilmu al-quran, asbabun nuzul, mikro dan makro.
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
paling agung bila dibandingkan dengan mukjizat yang lain yang dimiliki oleh
beliau dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh
para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW.
wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian
al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orang pun di
dunia ini yang dapat memalsukan / merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu
menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an.
Mengkaji Al-Qur’an selalu menghadirkan kemenarikan, karena
berkaitan dengan cabang-cabang ilmunya yang rumit. Sejumlah cabang ilmu
al-Qur’an menjadi urgen untuk dikaji, mulai dari konsep dasar tentang tentang
al-Qur’an, sejarah penyebaran dan kondifikasi yang agak rumit, ayat-ayat dengan
karakteristik makkiyah dan madaniyyah yang menjadi salah satu dasar bagi
interpretasi dan tafsir al-Qur’an, serta asbab al-nuzul dengan segala
problematikanya, baik sebab-sebab yang bersifat mikro (al-asbab al-khashah)
maupun sebab-sebab yang makro (al-asbab al-‘ammah).
Makna
asbabun nuzul ialah: “Kejadian yang karenanya diturunkan al-Qur’an untuk
menerangkan hukumnya di hari timbul kejadian-kejadian itu dan suasana yang di
dalam suasana itu al-Qur’an diturunkan serta membicarakan sebab yang tersebut
itu, baik diturunkan langsung sesudah terjadi sebab itu, ataupun kemudian
lantaran sesuatu hikmat”.
Para
ulama ahli Ulum Al-Qur’an, misalnya Syekh Abdu al-adhim al-Zarqani, dalam
Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul atau sabab nuzul sebagai kasus
atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya dengan turunnya ayat, atau
ayat-ayat al-Qur’an sebagai penjelasan hukum pada saat terjadinya kasus.
Kasus yang
dimaksud dalam definisi diatas, tentu saja terjadi pada jaman Rasulullah.
Demikian juga pertanyaan-pertanyaan yang diajukan setelah terjadinya kasus
tertentu atau pertanyaan tertentu yang diajukan kepada Rasulullah, kemudian
turun satu atau beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan hukum kasus tersebut
atau menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah. Hakikatnya Rasulullah
hanyalah pembawa risalah, beliau tidak memegang otoritas untuk menetapkan suatu
hukum syariat. Hukum itu sendiri datang dari Allah. Melalui wahyu yang dibawa
oleh malaikat Jibril.
Pedoman dasar para ulama
dalam mengertahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari
Rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat
mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat
(ra’y), tetapi ia mempunyai hukum marfu’ (disandarkan pada Rasulullah).
Al-Wahidi mengatakan: “Tidak halal berpendapat mengenai asbabun kitab kecuali
berdasarkan riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan
turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta
bersungguh-sungguh dalam mencarinya”.
B. Pengertian
Asbabul Nuzul
Al
Qur’an
diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia ke arah tujuan yang terang dan
jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan
kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu,
kejadian-kejadian yang sekarang serta berita berita yang akan datang.
Pada mulanya Al-Qur’an
diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama
Rasulullah telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau
masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah untuk
mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur’an turun untuk peristiwa
khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal seperti itulah yang
dinamakan Asbabun Nuzul.[1]
Setelah diselidiki, sebab
turunnya sesuatu ayat itu berkisar pada dua hal:
1.
Bila terjadi suatu
peristiwa, maka turunlah ayat Qur’an mengenai peristiwa itu. Hal itu seperti
diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
Ketika turun: Dan berilah peringatan
kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat, Nabi pergi dan naik ke
bukit Safa, lalu berseru: ‘Wahai kaumku!’ Maka mereka berkumpul ke dekat Nabi.
Ia berkata lagi: ‘Bagaimana pendapatmu bila akuberitahukan kepadamu bahwa di
balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu; percayakah kamu
apa yang kukatakan?’ Mereka menjawab: ‘Kami belum pernah melihat engkau
berdusta’. Dan nabi melanjutkan: ‘Aku memperingatkan kamu tentang siksa yang
pedih’. Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: ‘Celakalah engkau; apakah engkau
mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?’ Lalu ia berdiri. Maka turunlah surat
ini Binasalah kedua tangan Abu Lahab.
2.
Bila Rasulullah ditanya
tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat Qur’an menerangkan hukumnya. Hal itu
seperti ketika Khaulah binti Sa’labah dikenakan zihar oleh suaminya, Aus
bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadakan hal itu. Aisyah berkata:
“Maha suci Allah yang pndengaran-Nya meliputi segalanya. Aku mendengar ucapan
Khaulah binti Sa’labah itu, sekalipun tidak seluruhnya. Ia mengadukan suaminya
kepada Rasulullah. Katanya: Rasulullah, suamikutelah menghabiskan masa mudaku
dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang, setelah aku menjadi
tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan zihar kepadaku! Ya Allah
sesungguhnya aku mengadu kapada-Mu”. Aisyah berkata: “Tiba-tiba jibril turun
membawa ayat-ayat ini: Sungguh, Allah telah mendengar ucapan perempuan yang
mengajukan gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya..., yakni Aus bin
Samit”.
Tetapi hal ini
tidak berarti bahwa setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat, karena
tidak semua ayat Qur’an diturunkan karena timbul suatu peristiwa dan kejadian,
atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat Qur’an yang diturunkan
sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syari’at
Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial. Al-Ja’bari menyebutkan: “Qur’an
diturunkan dalam dua kategori: yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena
suatu peristiwa atau pertanyaan.
Oleh sebab
itu, maka asbabun nuzul didefinisikan sebagai “Sesuatu hal yang karenanya
Qur’an diturunkan untuk menerangkan status (hukum) nya, pada masa hal itu
terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”.
Rasanya suatu
hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asbabun nuzul dengan
membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan
peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak
memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayat itu tidak turun di saat-saat
terjadinya sebab. Ia mengatakan demikian itu karena hendak mengkritik atau
membatalkan apa yang dikatakan oleh al-Wahidi dalam menafsirkan Surah al-Fiil,
bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datang-datangnya orang-orang
Habsyah. Kisah ini sebenarnya sedikit pun tidak termasuk ke dalam asbabun
nuzul. Melainkan termasuk kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya
kisah kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, pembangunan Ka’bah dan lain-lain
yang serupa itu. Demikian pula mengenai ayat...Dan Allah telah memilih Ibrahim
menjadi kesayangan(-Nya). Asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan
kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk
ke dalam asbabun nuzul.[2]
Fakta sejarah menunjukkan, bahwa turunnya
ayat-ayat Al-Quran itu ada dua bagian, yaitu:
1.
Ayat-ayat yang turunnya diawali oleh suatu sebab
Dalam hal ini ayat-ayat tasyri’iyyah (ayat-ayat hukum)
yang pada umumnya mempunyai sebab dalam turunnya ayat dan sebab turunnya ayat
ini dengan berupa peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Islam dan ada juga
berupa pertanyaan dari kalangan Islam dan dari kalangan lainnya yang ditunjukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Contohnya dalam Surah al-Baqarah ayat 221:
“ janganlah kamu kawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman,
sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik,
walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu mengawinkan orang-orang musyrik
dengan wanita-wanita mukmin sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang
mukmin lebih baik dari orang yang musyrik walaupun menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat –Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia agar mereka mengambil pelajaran”.[3]
2.
Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh sebab
Ayat-ayat semacam ini banyak terdapat di dalam Al-Qur’an
dan jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat hukum yang mempunyai asbab
al-Nuzul. Seperti ayat-ayat yang menceritakan tentang umat terdahulu beserta
para Nabinya, menceritakan hal-hal yang gaib yang akan terjadi dan
menggambarkan keadaan hari Kiamat beserta nikmat surga dan siksaan neraka.
Ayat-ayat yang demikian itu diturunkan oleh Allah bukan untuk memberikan
tanggapan terhadap suatu pertanyaan dari suatu peristiwa yang terjadi pada
waktu itu, melainkan semata-mata untuk memberi petunjuk kepada manusia agar
menempuh jalan yang lurus. Dan Allah menjadikan ayat-ayat ini mempunyai
hubungan yang erat dengan kontek Al-Qur’an dengan ayat-ayat sebelumnya dan
ayat-ayat sesudahnya.[4]
Para ulama ahli Ulum Alquran, misalnya Syekh
Abdu al-adhim al-Zarqani, dalam Manahil al-Irfannya mendefinisikan asbab nuzul
atau sabab nuzul sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi yang ada hubungannya
dengan turunnya ayat, atau ayat-ayat Alquran sebagai penjelas hukum pada saat
terjadinya kasus.[5]
C.
Kegunaan
Asbab An-Nuzul
Pertama, membantu
setiap penafsir untuk memahami kandungan dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an.
Berikut merupakan salah satu contoh kegunaan Asbab Al-Nuzul yang membantu
pemahaman terhadap maksud ayat Al-Qur’an tersebut.
a.
Q.S
Al-Baqarah/ 2 :189
يَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْأَهِلَّةِ ۖ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ وَلَيْسَ
الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَٰكِنَّ الْبِرَّ مَنِ
اتَّقَىٰ ۗ وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang
bulan sabit. Katakanlah, “Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah)
haji.” Dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah dari atasnya, tetapi
kebajikan adalah (kebajikan) orang yang bertaqwa. Masukilah rumah-rumah dari
pintu-pintunya, dan bertaqwalah kepada Allah agar kamu beruntung.”
Sebab nuzul berikut juga mejelaskan makna yang dimaksud ayat di
atas:
حَدَّثَنَا
أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ سَمِعْتُ
الْبَرَاءَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ فِينَا
كَانَتْ الْأَنْصَارُ إِذَا حَجُّوا فَجَاءُوا لَمْ يَدْخُلُوا مِنْ قِبَلِ
أَبْوَابِ بُيُوتِهِمْ وَلَكِنْ مِنْ ظُهُورِهَا فَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ
فَدَخَلَ مِنْ قِبَلِ بَابِهِ فَكَأَنَّهُ عُيِّرَ بِذَلِكَ فَنَزَلَتْ { وَلَيْسَ
الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ
اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا }
Telah menceritakan kepada kami [Abu Al Walid] telah menceritakan
kepada kami [Syu'bah] dari [Abu Ishaq] berkata; Aku mendengar [Al Bara'
radliallahu 'anhu] berkata: "Ayat ini turun kepada kami, yaitu Kaum Anshar
jika mereka menunaikan haji lalu kembali pulang, mereka tidak memasuki
rumah-rumah mereka dari pintu depannya namun mereka masuk dari belakang. Kemudian
datanglah seseorang dari Kaum Anshar yang ia masuk dari pintu depan seakan-akan
ia merubah kebiasaan tadi. Maka kemudian turunlah firman Allah QS Al Baqarah
ayat 189 yang artinya: ("Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari
belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan
masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya").
Sebab nuzul ayat ini menjelaskan
bahwa yang di maksud mendatangi (al-ityan) dalam ayat ini bukan sekedar
mendatangi, tapi yang dimaksud adalah masuk ke dalamnya (ad-dukhul).
Selain itu, sebab nuzul juga menjelaskan bahwa yang di maksud rumah dalam dalam
ayat tersebut adalah rumah mereka sendiri, bukan rumah orang lain. Ayat ini
turun terkait salah satu kebiasaan masyarakat Arab kala itu adalah tidak mau
memasuki rumah dari pintu depan seusai menunaikan ibadah haji atau melakukan
perjalanan jauh. Mereka menganggapnya sebagai hal yang tabu. Ayat ini turun
untuk membatalkan anggapan tersebut.
Kedua, menjelaskan maksud ayat-ayat yang mudah disalah pahami dan rawan
memunculkan perselisihan pendapat. Seorang penafsir dapat saja keliru memahami
maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, atau menangkap pesan yang berbeda dengan yang
dimaksudkannya, jika tidak memperhatikan asbabun-nuzul. Maka pentingnya pengetahuan tentang asbabun-nuzul untuk
menghindari kekeliruan pemahaman terhadap ayat ayat Al-Qur’an. Hal ini di
tegaskan oleh asy-Syatibiy dengan menyatakan bahwa ketidaktahuan pada
asbabun-nuzul dapat menjerumuskan seorang pada pemahaman yang tidak jelas dan
menimbulkan persoalan-persoalan. Selain itu juga dapat mengaburkan makna ayat
yang sesungguhnya telah jelas, sehingga pada akhirnya dapat menimbulkan
perselisihan pendapat di kalangan umat.
Contoh berikut dapat menguatkan
peran asbabun-nuzul dalam menghindari kesalahpahaman dan menyelesaikan
perselisihan:
a.
Q.S
Al-Baqarah/ 2 :158
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ ۖ فَمَنْ
حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّف
بِهِمَا ۚ وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ
شَاكِرٌعَلِيمٌ
“Sesungguhnya
Safa dan Marwah merupakan sebagian syi’ar (agama) Allah. Maka barangsiapa
beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan
sa’i antara keduanya. Dan barangsiapa dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka Allah Maha Mensyukuri, Maha Mengetahui.”
Ayat di atas turun di latar belakangi oleh peristiwa berikut ini :
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْهَاشِمِيُّ، أَخْبَرَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ،
عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُرْوَةَ، عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قُلْتُ: أَرَأَيْتِ
قَوْلَ الله تَعَالَى: {إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ
بِهِمَا} قُلْتُ: فَوَاللَّهِ مَا عَلَى أَحَدٍ جُنَاحٌ أَنْ لَا يطَّوف بِهِمَا؟
فَقَالَتْ عَائِشَةُ: بِئْسَمَا قُلْتَ يَا ابْنَ أُخْتِي إِنَّهَا لَوْ كَانَتْ
عَلَى مَا أوّلتَها عليه كانت: فلا جناح عليه أَلَّا
يَطَّوَفَ بِهِمَا، وَلَكِنَّهَا إِنَّمَا أُنْزِلَتْ أَنَّ الْأَنْصَارَ كَانُوا
قَبْلَ أَنْ يُسْلِمُوا كَانُوا يُهِلّون لِمَنَاةَ الطَّاغِيَةِ، التِي كَانُوا
يَعْبُدُونَهَا عِنْدَ المُشلَّل. وَكَانَ مَنْ أهلَّ لَهَا يَتَحَرَّجُ أَنْ
يطوَّف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَسَأَلُوا عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا كُنَّا
نَتَحَرَّجُ أَنْ نطَّوف بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ. فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {إِنَّ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ} إِلَى قَوْلِهِ: {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ
أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا} قَالَتْ عَائِشَةُ: ثُمَّ قَدْ سَنَّ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّوَافَ بِهِمَا، فَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ
يَدع الطَّوَافَ بِهِمَا.
Imam Ahmad
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud Al-Hasyimi, telah
menceritakan kepada kami Ibrahim Sa’d, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah.
Urwah menceritakan bahwa Siti Aisyah pernah berkata kepadanya, bagaimanakah
pendapatmu mengenai makna firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah
sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah
atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya.
(Al-Baqarah: 158) Aku menjawab, “Demi Allah, tidak ada dosa bagi seseorang bila
dia tidak melakukan tawaf di antara keduanya.” Siti Aisyah berkata, “Alangkah
buruknya apa yang kamu katakan itu, hai anak saudara perempuanku. Sesungguhnya
bila makna ayat ini seperti apa yang engkau takwilkan, maka maknanya menjadi
‘Tidak ada dosa bagi seseorang bila tidak tawaf di antara keduanya’. Akan tetapi,
ayat ini diturunkan hanyalah karena orang-orang Ansar di masa lalu sebelum
mereka masuk Islam, mereka selalu ber-ihlal untuk berhala Manat
sesembahan mereka yang ada di Musyallal (tempat yang terletak di
antara Safa dan Marwah), dan orang-orang yang pernah melakukan ihlal
untuk berhala Manat merasa berdosa bila melakukan tawaf di antara Safa dan
Marwah. Lalu mereka menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah Saw. dan
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami merasa berdosa bila melakukan
tawaf di antara Safa dan Marwah karena masa Jahiliah kami. Maka Allah Swt.
menurunkan firman-Nya: Sesungguhnya Safa dan Marwah adalah sebagian dari
syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah,
maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya ‘(Al-Baqarah:
158). Siti Aisyah r.a. berkata, “Kemudian Rasulullah Saw. menetapkan
(mewajibkan) sa’i antara keduanya, maka tiada alasan bagi seseorang untuk tidak
melakukan sa’i di antara keduanya.”
Dengan
demikian, sebab nuzul meluruskan pemahaman ‘urwah bahwa sai tidak wajib. Sai
anta Safa dan Marwah merupakan salah satu syiar yang Allah lestarikan hukumnya.
Ayat ini turun untuk menjawab keraguan sebagian kaum muslim untuk sai antara
keduanya bukit tersebut. Karena khawatir dianggap mengikuti perilaku kaum
jahiliah.[6]
Beberapa
pakar Ulum Al-Qur’an misalnya Al-Zarqaniy dan Al-Suyuthiy, mensinyalir adanya
kalangan yang beranggapan bahwa mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya.
Anggapan semacam ini oleh kebanyakan ulama dianggap keliru di antaranya Ibnu Taimiyah
yang mendalami ilmu-ilmu Al-Qur’an, karena banyak sekali hal yang dapat di
bantu oleh pemahaman Asbab Nuzul di dalam upaya memahami Al-Qur’an. Diantaranya
adalah berikut: Pertama, membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian
di dalam menangkap ayat-ayat Al-Qur’an.
a.
Q.S
Al-Baqarah/2 :115
وَلِلَّهِ
الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ
إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi Maha
Mengetahui”.
Menurut dhahir ayat ini, orang yang
shalat boleh menghadap ke arah mana saja sesuai kehendak hatinya. Ia
seakan-akan tidak berkewajiban menghadap Ka’bah saat shalat, dan dhahir ayat
itu membolehkan orang menghadap arah mana saja, baik bermukim maupun dalam
perjalanan. Akan tetapi, setelah memahami Asbab Nuzul ayat di atas, ternyata
tidak demikian. Orang yang ada di dalam shalatnya di benarkan menghadap arah mana
saja hanyalah orang yang tidak tahu arah kiblat dan kemudian berijtihad.
Kedua, mengatasi
keraguan terhadap ayat yang di duga mengandung pengertian umum.
b.
Q.S
An’am/ 6:145
وَلَئِنْ
أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ ۚ
وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ ۚ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ
بَعْضٍ ۚ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ
الْعِلْمِ ۙ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ
“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh
dalam wahyu yang di wahyukan kepada-Ku, sesuatu yang di haramkan bagi orang
yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi, karena Sesungguhnya semua itu kotor atau binatang
yang di sembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Menurut Imam Al-Syafi’I pengertian
yang di maksud ayat ini tidaklah umum (hashr). Untuk mengatasi kemungkinan
adanya keraguan dalam memahami ayat di ats, Imam Syafi’i menggunakan alat bantu
Nuzul ayat. Ayat ini, seperti di tulis Al-Zarqaniy, menurut Imam Syafi’i di
turunkan sehubungan dengan orang-orang kafir yang tidak mau memakan sesuatu
kecualiyang telah mereka halalkan. Telah menjadi kebiasaan orang-orang kafir,
terutama Yahudi, mengharamkan apa saja yang di halalkan Allah SWT. Dan
menghalalkan apa yang di haramkan Allah SWT. Selanjutnya turunlah ayat 145
surah Al-An’am di atas untuk menetapkan pengharaman dan bukan untuk menetapkan
penghalalan makanan yang tidak di sebutkan ayat tersebut.[7]
Dalam dunia pendidikan, para
pendidik mengalami banyak kesulitan dalam penggunan media pendidikan yang dapat
membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran
dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk
mendengarkan dan mengikuti pelajaran. Tahap pendahuluan dari suatu pelajaran
memerlukan kecerdasan brilian, yang dapat menolong guru dalam menarik minat
anak didik terhadap pembelajarannya dengan berbagai media dan sesuai, serta
memerlukan latihan dan pengalaman cukup lama yang dapat memberinya kebijakan
dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan sejalan dengan tingkat
pengetahuan anak didik tanpa kekerasan atau dipaksakan. Di samping tahap
pendahuluan itu tujuan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai tema pelajaran,
agar guru dapat dengan mudah membawa anak didiknya dari hal-hal yang sifatnya
umum kepada yang khusus, sehingga semua materi pelajaran yang di targetkan
dapat di kuasai dengan mendetail sesudah anak itu itu memahami nya secara umum
(garis besarnya). Dan pengetahuan asbabun nuzul merupakan media paling baik
untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan di atas dalam mempelajari Al-Qur’anul
Karim baik bacaan maupun tafsirnya. [8]
D.
Asbabul Nuzul Mikro dan Makro
Proses turunnya Al-Quran merupakan syarat penting dalam menjelaskan asbab nuzul yang menurut ulama dalam tradisi kajian
Ulumul Qur’an dinamakan dengan Asbabun Nuzul mikro. Dan konsekuensinya dari
kata tersebut berarti ada ayat-ayat yang bahkan sebagian besar ayat Al-Qur’an
tidak mempunyai asbab nuzul. Oleh karena itu banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang
tidak dapat difahami maksudnya dengan benar. Untuk itu harus didukung oleh
asbab nuzul makro, yaitu latar belakang historis masyarakat Arab ketika
Al-qur’an diturunkan.
1. Mikro
Pedoman dasar para ulama dalam
mengetahui Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) adalah melalui:”Riwayat
shahih yang berasal dari Rasulullah dan sahabat”. Itu disebabkan
pemberitahuan seorang sahabat mengenai sesuatu yang bila jelas maka ia
mempunyai hukum Marfu (yang disandarkan kepada Rasullulah). al-Wahidi
mengatakan:
”tidak halal berpendapat mengenai asbabun-nuzul kitab kecuali
dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang
menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya, dan membahas tentang
pengertiannya”.
Metode
inilah yang ditempuh oleh ulama Salaf, mereka sangat berhati-hati untuk
mengatakan sesuatu mengenai Asbabun-Nuzul tanpa pengetahuan dan pemahaman
yang jelas. Oleh karena itu, yang
dapat dijadikan pegangan dalam asbabun-nuzul adalah riwayat, ucapan-ucapan
sahabat yang bentuknya seperti musnad yang secara pasti menunjukkan Asbabun-Nuzul.
As-Sayuti berpendapat bahwa “Bila ucapan-ucapan seorang Tabi’in secara jelas menunjukkan
asbabun-nuzul, maka ucapan itu diterima”. Dengan kata lain apabila musaffir
tersebut memiliki otoritas dalam kedudukannya sebagai mufasir, maka Dia benar
meskipun riwayatnya berbeda dengan orang lain, (kaidah mikro tentang teori
kebenaran “otoritas”).[9]
جيع البيان ف التفسير القران, karya Ibn Jarir
al-Tabari, semasa hidup beliau pada akhir abad 9-10 M, kaum muslimin dihadapkan
pada pluralisme; etnis, relijius, ilmu pengetahuan, pemikiran keagamaan, dan
heterogenitas kebudayaan dan peradaban. Secara langsung maupun tidak langsung,
telah terjadi interaksi budaya dengan ragam muatannya, perubahan dan dinamika
masyarakat terus bergulir, tentu saja hal ini mewarnai pola pandang dan pola
pikir kaum muslimin, sebagai sebuah konsekwensi logis yang tak terhindarkan.
Dari segi linguistik ( اللغة), Ibn Jarir al-Tabari sangat memperhatikan
penggunaan Bahasa Arab sebagai pegangan dengan bertumpuh pada; syair-syair arab
kuno dalam menjelaskan makna kosakata, acuan terhadap aliran ilmu gramatika (nahwu),
dan lain-lain. Sementara itu beliau sangat kental dengan riwayat-riwayat
sebagai sumber penafsiran yang disandarkan kepada pendapat-pendapat para
sahabat, tabi’ dan tabi’in al-Tabi’in melalui hadits yang mereka riwayatkan,
meski di sisi lain ia juga kadangkala menggunakan Ra’yu.
Untuk menunjukkan kepakarannya di bidang sejarah Asbabun Nuzul,
maka ayat-ayat yang ia jelaskan berkenaan dengan aspek histories yang
dijelaskan secara panjang lebar dengan mengambil riwayat-riwayat dari
orang-orang yahudi dan nasrani yang sudah masuk Islam, seperti; Ka’ab Bin
Ahbar, Wahab Bin Munabbih, dan lain-lain. Ada tiga pernyataan mendasar tentang
konsep sejarah yang dilontarkan al-Tabari, antara lain: Pertama,
Menekankan esensi ketauhidan dari misi kenabian. Kedua, Pentingnya
pengalaman-pengalaman dari umat dan konsistensi pengalam sepanjang sejarah.
Berkenaan denga Qira’at (cara baca) surat al-Fatihah ; ملك يوم الد ين al-Tabari
memaparkan ada 3 jenis tanda baca: Ma’ dengan bacaan pendek, panjang dan dengan
membaca Fatha Ka’. Sehingga pada akhirnya beliau menjelaskan bahwa makna
Ta’wil dengan Ma’ dibaca panjang berdasarkan kepada sebuah riwayat dari Ibn
Kuraib dari Ibn Abbas. Oleh karena itu mereka memiliki konsepsi bahwa pengetahuan
Asbabun-Nuzul hanya dapat diketahui dari Nagly dan periwayatan
dalam hal ini tidak ada tempat untuk berijtihad.
Metode ulama kuno kadang-kadang melupakan sisi internal sama
sekali, hanya men-tarjihkan riwayat-riwayat saja, atau kadang-kadang melupakan
sama sekali sisi eksternal, hanya mengandalkan analisis formal terhadap bahasa
teks, yang menyebabkan terperangkap ke dalam kekeliruan sebagaimana yang
dialami oleh para “Mutakkallimin”, ketika menginterpretasikan sebuah
teks mereka megandalkan satu konsep analisis yaitu Majaz (metafora),
sebuah konsep yang kemudian berubah menjadi konsep ideologis.[10]
Para ulama membuat kriteria-kriteria untuk menyikapi Asbabun-Nuzul
melalui riwayat, antara lain: Pertama, apabila ada dua riwayat yang
berbeda, dan salah satunya lebih shahih dan lainnya tidak, maka yang dipegang
adalah riwayat yang lebih shahih. Kedua, apabila sanad dari riwayat
tersebut sama keshahihannya maka salah satunya diutamakan apabila peranya
menyaksikan peristiwa atau karena ada peristiwa semacamnya. Ketiga,
apabila dua riwayat tersebut sulit ditarjihkan, maka pemecahannya adalah di
asumsikan ayat yang turun berulang-ulang sebagai sebab yang disebutkan.
Pijakan utama untuk penanggalan bagian-bagian al-Qur’an adalah
riwayat-riwayat sejarah dan tafsir . Riwayat-riwayat yang dipermasalahkan di
sini biasanya mengungkapkan bahwa bagian tertentu al-qur’an diwahyukan
sehubungan dengan peristiwa tertentu. Misalnya surat 8 dihubungkan dengan
perang Badar, surat 33 dengan perang Khandaq, dan surat 48 dihubungkan dengan
perajanjian Hudaibiyah. Riwayat-riwayat semacam ini memang merupahkan data
histories yang amat membantu penanggalan Al-qur’an, akan tetapi jumlahnya
sangat sedikit dan umumnya bertalian dengan wahyu-wahyu dari priode Madinah.[11]
Sementara riwayat-riwayat lain yang bertalian dengan wahyu-wahyu
Mekkah, selain jumlahnya tidak begitu banyak, secara histories data tersebut
juga sangat meragukan dan umumnya dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa yang
tidak begitu penting serta tidak diketahui secara pasti kapan terjadinya.
Dalam kaitannya dengan riwayat-riwayat, di mana bahan-bahan
tradisisonal ini memiliki sejumlah cacat yang mendasar, yaitu: Pertama,
bahan-bahan tersebut tidak lengkap dan hanya menentukan sebab-sebab pewahyuan Asbabun
Nuzul untuk sejumlah bagian Al-qur’an yang relatif sedikit, sehingga rentan
dengan kritik sanad. Kedua, kebanyakan sebab pewahyuan yang dikemukakan
hanya merupakan peristiwa-peristiwa yang tidak penting dan tidak diketahui
kapan terjadinya. Ketiga, terdapat banyak inkonsistensi di dalam
bahan-bahan tersebut, seperti; biasanya dikatakan bahwa bagian al-Qur’an yang
pertama kali diwahyukan kepada Nabi adalah permulaan surat 96 (1-5), tetapi
riwayat lain mengatakan bahwa wahyu pertama adalah bagian permulaan surat 74
(1-5), atau surat al-Fatihah (I; 1-7).
Sekalipun dengan berbagai kelemahan, bahan-bahan tradisional yang
terhimpun dalam Asbabun-Nuzul baik bersifat histories, semi histories
ataupun legenda, mesti diterima sebagai pijakan penanggalan al-Qur’an. Sikap
semacan ini sering dipegang oleh sarjana tradisional muslim, demikian pula
upaya-upaya modern termasuk yang dilakukan oleh sarjana barat –untuk menemukan
pijakan bagi penanggalan al-Qur’an, pada umumnya harus bertolak dari bahan
tersebut, sekalipun dalam kasus-kasus tertentu mesti bertolak belakang satu dengan yang
lainnya.
2. Makro
Syah Waliyullah Ad-Dahlawi melontarkan ide
asbabun nuzul makro secara lebih tegas dan jelas. Ia menyinggung bahwa usaha
yang dilakukan oleh umat untuk mengumpulkan riwayat-riwayat asba an-nuzul yang
merupakan peristiwa perorangan hanya merupakan usaha yang mengada-ada. Lalu ia
mengatakan bahwa pembicaraan ayat-ayat al-Quran tidak bisa lepas dari lima
pengetahuan yaitu:
1.
Pengetahuan mengenai hukum-hukum muamalah dan lain-lain.
2.
Pengetahuan tentang bantahan terhadap Yahudi, Nasrani serta Musyrik
3.
Pengetahuan tentang nikmat Allah
4.
Pengetahuan mengenai peringatan tentang nikmat Allah
5.
Pengetahuan mengenai peringatan kematian dan masa sesudahnya.
Menurutnya, tujuan pokok diturunkannya Al
Quran adalah untuk mendidik jiwa manusia, serta memberantas kepercayaan yang
keliru dan perbuatan-perbuatan yang jahat. Kemudian ia menyatakan bahwa ada
kepercayaan-kepercayaan yang keliru di kalangan mukallaf yang melatarbelakangi
turunnya ayat-ayat muhkamat. Menyebar luasnya kejahatan-kejahatan dan kezaliman
yang merupakan sebab turunnya ayat-ayat hukum. Ketiadaan mereka mengingat
nikmat-nikmat Allah, hari pembalasan, dan kehidupan sesudah kematian merupakan
sebab diturunkannya ayat-ayat tadzkir.[12]
Fazlul Rahman mengomentari bahwa dibutuhkan beberapa
peralatan ilmiah untuk mengontrol kemajuan ilmu komentar al-Qur’an (ilmu
tafsir), antara lain: Pertama, diakui prinsip bahwa tidak hanya
pengetahuan tentang bahasa arab saja yang diperlukan untuk memahami al-Qur’an
secara tepat, tetapi juga tentang idiom-idiom bahasa arab pada zaman nabi juga.
Kedua, tradisi
histories yang berisi laporan-laporan tentang bagaimana orang-orang di
lingkungan Nabi memahami perintah-perintah al-Qur’an, juga dianggap sangat
penting. Setelah persyaratan-persyaratan ini dipenuhi, barulah penggunaan nalar
manusia diberikan tempat. Ketiga, latar-belakang turunnya ayat-ayat
al-Qur’an dimasukkan sebagai alat yang perlu untuk menerapkan makna yang tepat
dari firman Alah S.W.T.[13]
Akan tetapi, ulama-ulama fiqh dan dogmatis-dogmatis muslim
menyalah-pahamkan masalah dan perintah-perintah hukum yang ketetapan dari
al-Qur’an dengan menganggapnya berlaku bagi setiap masyarakat, betapapun juga
kondisinya, bagaimana struktur dan dinamika masyarakat di dalamnya. Salah satu
bukti yang dilihat oleh fazlul rahman yang menyatakan bahwa ulama-ulama fiqh
makin lama makin berfikir secara “harfiyah”, tercantum di dalam fakta
bahwa pada suatu waktu dalam abad ke-2 H/ 8 M doktrin hukum islam mulai membuat
perbedaan yang sangat tajam antara kata-kata yang tercantum dalam nash.
Bahwa pada priode yang sangat awal kaum muslimin menafsirkan
al-Qur’an secara sangat bebas, tetapi setelah masa perkembangan fiqh selama
akhir abad ke 1 H/ 7M -2 H /8 M, ditandai dengan timbulnya tradisi perkembangan
penalaran analogi dan teknis (ilmu mantiq), para ulama fiqih ketat dengan
mengikat diri mereka sendiri serta masyarakat umat muslim kepada “Teks”
kitab suci, hingga kedudukan hukum dan theology Islam terhimbun oleh beratnya harfiyah-isme.
Kegoyahan yang timbul akibat kekalahan-kekalahan dan penyerangan
politik menjadikan muslim secara psikologi kurang mampu untuk secara
konstruktif memikirkan kembali warisannya dan menjawab tantangan intelektual
dari pemikiran modern. Islam secara internal menjadi tak mampu untuk
merekonstruksi dirinya sendiri, dan apapun yang mungkin akan dilakukan dalam
usaha-usaha re-konstruksi harus diupayakan melalui kegiatan “ijtihad” dan
merekonstruksi sejarah (interpertasi asbabun Nuzul ayat-ayat), dengan
selalu melihat atau memperhatikan nilai-nilai realitas yang ada sebagai pola
penafsiran antara agama,akal, dan tradisi dapat saling berakomodasi antara satu
dengan yang lainnya.
تفسير المنار karya Muhamad Abduh, merupakan
salah satu contoh penafsiran yang tidak hanya menekankan bahasa tapi juga
menekankan realitas universal sebagai Munasabah atas Asbabun Nuzul ayat.
Seperti ketika beliau menafsirkan surat al-lail ayat 15 dan 17, di mana
inti dari Asbabun Nuzul ayat ditujukkan hanya kepada Umayyah dan Abu
Bakar Shidiq saja, akan tetapi Muhammad Abduh bahkan menafsirkan ayat tersebut
secara universalitas tanpa adanya pengkhususan terhadap tokoh sejarah yang
dituju oleh teks.
Kritik Fazlul Rahman terhadap model penafsiran ulama klasik adalah
kurang memberikan perhatian terhadap sejarah dan terlalu menekankan pada kajian
teks/ harfiah. Kritik tersebut adalah: Pertama, kurang memperhatikan
unsur sejara secara makro. Kedua, terlalu tekstual dalam menafsirkan
ayat-ayat al-Qur’an, dan Ketiga, adanya pemahaman yang terpotong-potong
terhadap pemahaman ayat al-Qur’an, padahal ayat al-Qur’an secara general
merupahkan satu kesatuan yang utuh (holistik)
Selain itu juga, Fazlul Rahman
menambahkan bahwa dalam membangun institusi dan hukum: Pertama, seorang
harus berangkat dari kasus konkrit yang ada dalam al-Qur’an dengan
memperhatikan atau mempertimbangkan kondosi sosial yang ada ketika itu,
kemudian berjalan menemukan prinsip umum yang akan menjadi inti atau kumpulan
dari semua ajaran. Kedua, berangkat dari prinsip umum ini harus ada
gerakan untuk kembali ke kasus khusus yang dihadapi sekarang dengan
pertimbangan kondisi sosial yang ada dan dihadapi sekarang. [14]
E. kesimpulan
Asbabun Nuzul ialah suatu pengetahuan yang
memuat dan membicarakan peristiwa yang berkaitan langsung dengan turunnya ayat
Al-Qur’an yang dapat digunakan sebagai suatu keterangan tentang ayat yang
diturunkan itu. Bentuk redaksi yang menerangkan asbabun nuzul itu terkadang
berupa pernyataan tegas mengenai sebab, terkadang pula berupa pernyataan yang
hanya mengandung kemungkinan mengenainya. Sudah jelas, bahwa “asbabun nuzul”
tidak mungkin diketahui berdasarkan pendapat, melainkan dari sumber riwayat
yang sahih dan mendengarkan dari orang-orang yang menyaksikan turunnya ayat
atau dengan cara membahasnya dari para sahabat, tabiin dan ulama-ulama
terpercaya. turunnya ayat-ayat Al-Quran ada dua bagian, yaitu: Ayat-ayat yang turunnya
diawali oleh suatu sebab dan Ayat-ayat yang turunnya tidak diawali oleh suatu
sebab.
Terdapat banyak manfaat yang bisa didapat
dalam mengetahui asbabun nuzul Pertama, membantu setiap penafsir untuk
memahami kandungan dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, menjelaskan
maksud ayat-ayat yang mudah disalah pahami dan rawan memunculkan perselisihan
pendapat. Beberapa pakar Ulum Al-Qur’an misalnya
Al-Zarqaniy dan Al-Suyuthiy, mensinyalir adanya kalangan yang beranggapan bahwa
mengetahui Asbab Nuzul tidak ada gunanya. Anggapan semacam ini oleh kebanyakan
ulama dianggap keliru di antaranya Ibnu Taimiyah yang mendalami ilmu-ilmu
Al-Qur’an, karena banyak sekali hal yang dapat di bantu oleh pemahaman Asbab
Nuzul di dalam upaya memahami Al-Qur’an. Diantaranya adalah berikut: Pertama,
membantu dalam memahami sekaligus mengatasi ketidakpastian di dalam menangkap
ayat-ayat Al-Qur’an. Kedua, mengatasi
keraguan terhadap ayat yang di duga mengandung pengertian umum.
Ada dua sebab turunnya al-qur’an yaitu asbabun
nuzul mikro dan makro. Asbabun nuzul mikro yaitu sebab turun al-quran karena
hal khusus (terjadinya suatu kejadian tertentu), sedangkan asbabul nuzul makro
yaitu sebab turun al-quran karena hal yang bersifat umum.
DAFTAR PUSTAKA
Umi Sumbulah dkk. 2014. Studi Al-Qur’an dan Hadis.Malang: UIN-Maliki Press
Al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi’i. 1994. Shohih
Asbabun Nuzul. Terjemah, Agung
Wahyu. Jawa Barat :Meccah
M. Quraish Shihab dkk. 1999. Sejarah Ulum Al-Qur’an.
Jakarta :Pustaka Firdaus
Syarafuddin, “Ilmu Asbab An Nuzul Dalam Studi Ilmu
Al-Quran” Jurnal Suhuf, Vol.28, No.1,
Mei 2016.
Masjfuk Zuhdi. 1997. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya :Karya Abditama
Manna Khalil al-Qattan. 2016. Studi
Ilmu-ilmu Qur’an. Terjemah, Mudzakir. Bogor: Litera
Antar Nusa.
AL-Qattan, Manna’
Khalil. 2015. Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Jakarta. Litera AntarNusa
Hanafi M Muchlis. 2015. Asbabun Nuzul.
Jakarta. Lajnah Pentashihan Al-Qur’an
Ash Shiddieqy M. Hasbi, 1953. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Al-Qur’an atau Tafsir,
Yogyakarta, Bulan Bintang,
Nunung
Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro”,
Jurnal
Tasamuh Volume 13, No. 1, Desember 2015.
Catatan:
1.
Similarity sebanyak 40%. ...... Sangat banyak.
2.
Pendahuluan tidak boleh berisi materi pembahasan.
3.
Perujukannya minim.
4.
Footnote tidak miring semua.
5.
Materinya lumayan bagus, tetapi apakah itu berkesuaian dengan presentasi? Saya
ingin melihat itu.
6.
Mengapa ada daftar pustaka yang tidak ada dalam footnote?
[1]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa,
Bogor, 2016, hlm. 103
[2]Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Litera AntarNusa,
Bogor, 2016, hlm. 105-108.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]
Muchlis M Hanafi, Asbabun Nuzul (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an,
2015) hlm, 15-20
[7] Umi Sumbullah, Akhmad Kholil, Nasrullah, Studi Al-Qur’an dan Hadis
(Malang: UIN MALIKI PRESS, 2014) hlm, 170-173
[8]
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Jakarta: Litera Nusantara,
2015) hlm, 134-135
[9] Nunung Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan
Makro”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 1,
Desember 2015
[13] Nunung
Susfita, “Asbabun Nuzul Al-Qur’an dalam Perspektif Mikro dan Makro”, Jurnal Tasamuh Volume 13, No. 1, Desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar