Oleh: Zaiful
Jabbar (15110192), Umi Kultsum, Diah Kusuma Wardani
Mahasiswa PAI- A Angkatan 2015 UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract:Ushul Fiqh and Fiqh is a science that
can be said solid, where ushul fiqh itself is a way of processing and fiqh is
the finished product. Ushul Fiqh first born of fiqh, because ushul fiqh as a
tool to give birth to Fiqh. However, historical fact shows ushul fiqh at the
same time it was born with fiqh. While in terms of preparation, fiqh was born
earlier than on ushul fiqh. Many opinions say that science of ushul fiqh was
first developed by Muhammad bin Idris Syafii. Ushul Fiqh is a discipline and
can also mean a bunch of postulates, rules, and general formulations. In
studying ushul fiqh, we not only learn about the meaning of ushul fiqh itself,
but we must also know about the history of the emergence of usikh fiqh from
time to time up to us today, many of which are collections of books that we can
make guidance and grip life. Ushul Fiqh itself is a plural form of the word
Ashl, which etymologically means something that is the foundation of the other.
While the meaning of terminology is the arguments to establish the law of Fiqh
in the form of the Qur'an, sunna, ijma ', qiyas, and others. In the first
discussion in this paper is about the development of science ushul fiqh from
time to time, starting from the time of Sahabat, tabi'in, and up to the time of the imam mazhab, while in the next subject is about the
bookkeep ushul Fiqh which begins with factors for the needs of the mujtahid
priests of the time. In the books of ushul fiqh a lot of about the history of
the emergence and development of science ushul fiqh, we also can know the
reasons of ijtihad in developing ushul fiqh.
Keywords: history, development, books,
guidelines
Abstrak: Ushul fikih dan fikih merupakan suatu
ilmu yang bisa dikatakan padu, dimana ushul fikih sendiri adalah sebuah cara
pengolahan dan fikih adalah produk jadi. Ushul fikih lebih dahulu lahir dari
fikih, karena ushul fikih sebagai alat untuk melahirkan fikih. Akan tetapi fakta
sejarah menunjukkan ushul fikih bersamaan lahirnya dengan fikih. Sedangkan dari segi penyusunannya, fikih lebih dahulu lahir dari pada ushul fikih.Banyak pendapat mengatakan bahwa ilmu ushul fikih kali
pertama dikembangkan oleh Muhammad bin Idris Syafii. Ushul fikih merupakan
suatu disiplin ilmu dan juga bisa bermakna sekumpulan dalil-dalil,kaidah, dan
rumusan-rumusan yang bersifat umum. Dalam mempelajari ushul fikih, kita tidak
hanya belajar tentang makna ushul fikih itu sendiri, namun kita harus juga
mengetahui tentang sejarah munculnya ushul fikih dari zaman kezaman sampai
kepada kita saat ini, yang banyak berupa kumpulan-kumpulan kitab yang bisa kita
jadikan pedoman dan pegangan hidup. Ushul fikih sendiri merupakan bentuk jamak
dari kata Ashl, yang secara etimologi berarti sesuatu yang menjadi
landasan bagi yang lain. Sedangkan makna terminologinya yakni dalil-dalil untuk
menetapkan hukum fikih yang berupa Alquran, sunah, ijma’, qiyas, dan lain-lain.
Pada pembahasan yang pertama di karya tulis ini yakni tentang perkembangan ilmu
ushul fikih dari masa kemasa, dimulai dari masa sahabat,tabi’in, dan sampai
kepada masa imam mazhab,sedangkan pada pokok pembahasan yang selanjutnya ialah
tentang pembukuan ushul fikih yang di awali dengan faktor-faktor kebutuhan imam-imam
mujtahid pada zaman itu. Di dalam kitab-kitab ushul fikih banyak sekali yang
memuat tentang sejarah munculnya dan berkembangnya ilmu ushul fikih, kita juga
bisa mengetahui alasan-alasan para ijtihad dalam mengembangkan ushul fikih.
Kata-kata kunci:
sejarah,perkembangan, kitab-kitab,pedoman
A. PENDAHULUAN
Ketika mempelajari suatu disiplin ilmu, tidakkah kita
berpikir kapankah ilmu tersebut ada? lalu siapakah pencetusnya? Bagaimana proses
ilmu itu kapan sampai pada kita?Demikian adalah pertanyaan-pendahuluan yang
mendasar, tetapi perlu dikaji secara lebih dalam dan berasal dari sumber yang
terpercaya.
Pada pembahasan kali ini yang akan kita bahas adalah
mengenai bagaimana sejarah Ilmu Ushul Fikih itu bisa terbentuk menjadi suatu
disiplin ilmu hingga sangat penting sekali sebagai pedoman ijtihad para
mujtahid dalam istinbat hukum Islam. Penulisan karya tulis ini bertujuan
untuk memaparkan tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fikih,
adapun yang menjadi latar belakang penulisan karya ini karena begitu pentingnya
untuk mengetahui sejarah munculnya ilmu Ushul Fikih dan perkembangannya dari
zaman ke zaman, dimana banyak orang yang tidak mengetahui sejarah munculnya
ilmu Ushul Fikih, yang mereka tahu hanya kitab-kitab yang memuat ilmu tersebut
dan menjadikannya sebuah pedoman dalam memutuskan suatu hukum. Sangatlah di
sayangkanapabila kita tidak mengetahui siapa yang merumuskan, mengembangkan dan
mengarang kitab-kitab ilmu Ushul Fikih tersebut. Karena pada setiap
periode dari masa sahabat, tabiin,sampai pada masa imam-imam mazhab, ilmu Ushul Fikih selalu berkembang. Di dalam
kitab-kitab Ushul Fikih banyak sekali yang memuat tentang sejarah munculnya dan
berkembangnya ilmu Ushul Fikih, kita juga bisa mengetahui alasan-alasan para
Mujtahid dalam mengembangkan Ushul Fikih. Dan pada karya tulis kami ini telah
terpaparkan kapan munculnya ilmu Ushul Fikih, siapa yang merumuskannya,
bagaimana tahapan perkembangannya dan lain-lain.
Dari apa yang kami tulis menunjukkan betapa berjasanya
para pencetus ilmu Ushul Fikih dari masa sahabat sampai sekarang ini yang bisa
melahirkan ilmu Fikih dan telah banyak kitab-kitab yang dikarang yang memuat
tentang hukum-hukum yang bisa kita jadikan pedoman hingga saat ini. Karena pada
hakikatnya, ilmu Ushul Fikih tumbuh bersama-sama dengan ilmu Fikih, meskipun
ilmu Fikih dibukukan terlebih dahulu. Dan tumbuhnya ilmu Fikih disertai dengan metode sebagai alat untuk
menggali hukum. Metode tersebut tidak lain adalah ilmu Ushul Fikih.[1]
B. SEJARAH PERTUMBUHAN USHUL FIKIH
Secara teoritis, Ushul Fikih lebih dahulu lahir dari Fikih, karena Ushul
Fikih sebagai alat untuk melahirkan Fikih. Akan tetapi
fakta sejarah menunjukkan Ushul Fikih bersamaan lahirnya dengan Fikih.
Sedangkan dari segi penyusunannya, Fikih lebih dahulu lahir dari pada Ushul
Fikih[2].Banyak
pendapat mengatakan bahwa ilmu Ushul Fikih kali pertama dikembangkan oleh
Muhammad bin Idris Syafii. Hal itu dibuktikan dalam muqoddimah Ibnu
Khaldun pada bab yang membahas tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan,
“orang pertama dalam studi Ushul Fikih yang mengarang sebuah kitab adalah Imam Syafii”.[3]
Ilmu Ushul Fikih mulai tumbuh pada abad kedua hijriyah,
sebab pada abad sebelumnya ilmu Ushul Fikih belum diperlukan, karena Rasululloh
SAW telah menetapkan hukum berdasarkan Alquran, sunah, serta ijtihad.
Sedangkan para sahabat memutuskan hukum berdasarkan nash yang didapatkan
dengan pemahaman bahasa arab yang murni tanpa kaidah-kaidah bahasa arab. Para
sahabat juga menetapkan hukum syara berdasarkan kemampuan mereka yang tersimpan
saat menemani Rasululloh SAW, untuk mengetahui sebab turunnya ayat, hadis dan
pengetahuan tentang tujuan pembuat hukum syara dan dasar penetapannya.
Akan tetapi, ketika penaklukan islam semakin luas,
terjadi asimilasi bangsa arab dengan yang lain, dalam bidang penulisan,
pembicaraan, dan gaya bahasa baru sehingga dan kesamaran makna dalam memahami
suatu nash tertentu. Maka diperlukan suatu kaidah bahasa agar dapat memahami suatu nash
secara murni dan tata bahasa yang diucapkan menjadi benar.
Orang
yang kali pertama menghimpun kaidah Ushul Fikih yang tersebar ke dalam satu
kitab tersendiri adalah Imam Abu Yusuf, penganut faham Abu Hanifah, tetapi
kitab tersebut tidak sampai kepada kita. Sedangkan orang yang kali pertama
membukukan kaidah-kaidah ilmu Ushul Fikih disertai dengan pembahasan secara
sistematis serta didukung keterangan dan metode penelitian adalah Imam Muhammad
bin Idris Al Syafii. Beliau menulis risalah tentang Ushul Fikih yang kemudian
diriwayatkan oleh muridnya Rabi Al Muradi. Kitab inilah yang kemudian sampai
kepada kita, sehingga dikenal oleh ulama bahwa peletak dasar ilmu Ushul Fikih
adalah Imam Syafii.
Kemudian
para ulama secara berturut-turut menyusun ilmu Ushul Fikih dengan menambahkan
pembahasan atau meringkasnya. Para ahli ilmu teologi juga menyusun ilmu Ushul
Fikih dengan menggunakan metodenya tersendiri. Namun ulama Mazhab Hanafi dalam penyusunannya menggunakan metode yang
berbeda.
Kelebihan
ulama teologi dalam menyusun ilmu Ushul Fikih adalah pembuktian terhadap
kaidah-kaidah dan pembahasan tersebut secara logis dan rasional serta didukung
bukti yang kongkrit. Mayoritas ulama yang ahli dalam bidang teologi adalah
kelompok Syafii dan Maliki. Mereka menetapkan sesuatu yang rasional dengan
didukung bukti sebagai sumber hukum syara, baik hal tersebut sesuai dengan
masalah khilafiyah antar mazhab atau tidak.
Kitab-kitab
Ushul Fikih yang terkenal menggunakan metode ulama teologi antara lain: kitab Al
Mustashfa karangan Abu Hamid Al Ghazali Al Syafii, kitab Al Ahkam karangan
Abu Hasan Al Amidi Al Syafii, kitab Al Minhaj karangan al Baidhawi Al
Syafii.
Adapun
kelebihan metode ulama Mazhab Hanafi adalah menetapkan kaidah-kaidah dan
pembahasan ilmu Ushul Fikih dengan meyakini bahwa para imam mereka telah
menggunakan kaidah dan pembahasan tersebut dalam ijtihadnya. Mereka menjadikan
hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh imam mereka sebagai pembuktian kaidah
yang berpedoman pada kaidah itu sendiri bukan hanya sekedar dalil yang
rasional. Oleh karena itu dalam kitabnya, banyak menyebutkan masalah
khilafiyah.
Adapun
kitab Ushul Fikih yang terkenal menggunakan metode ini adalah: kitab Ushul karangan
Abu Zaid Al Dabusi, kitab Ushul karangan Fakhrul Islam Al Bazdawi, kitab
Al Manar karangan Al Hafidz Al Nasafi.
Sebagian
ulama juga menyusun ilmu Ushul Fikih dengan menggabungkan dua metode diatas.
Mereka membuktikan kaidah Ushul Fikih sekaligus menjabarkan dalilnya, juga
menerapkan kaidah terhadap masalah fikih khilafiyah.
Kitab
Ushul Fikih yang terkenal dengan metode gabungan adalah: kitab Badi’un
Nizham (gabungan antara kitab karangan Bazdawi dan kitab Al Ahkam) karangan
Muzhaffaruddin Al Baghdadi Al Hanafi, kitab Al Taudhih Li Shadris Syariah dan
kitab Al Tahrir karangan Kamal bin Hamam, dan kitab Jam’ul Jawami’ karangan
Ibnu Subuki.[4]
C.
SEJARAH
PERKEMBANGAN USHUL FIKIH
1.
Ushul
Fikih Sebelum Dibukukan
a.
Periode
Sahabat
Pada
zaman Nabi Muhammad SAW sumber hukum hanya ada dua, yaitu Alquran dan hadis.
Jika suatu ketika terjadi permasalahan baru, maka yang dilakukan adalah
menunggu wahyu dari Allah SWT yang merupakan penyelesaian (solusi) dari masalah
tersebut, yang kemudian Nabi Muhammad SAW menetapkan sabdaNya dan kemudian di
kenal dengan istilah hadis atau sunah. Kemudian pada pada abad ke 2 H Ushul
Fikih tersusun sebagai suatu bidang ilmu, yang pertumbuhannya sejak pada
perkembangan hukum Islam zaman Nabi Muhammad SAW.
Fikih
mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah Rasululloh SAW wafat.
Karena pada masa Rasululloh semua persoalan hukum yang timbul diserahkan kepada
beliau.[5]Nabi Muhammad
SAW pernah melakukan qiyas ketika dalam menjawab berbagai pertanyaan
yang diajukan oleh para sahabat pada masa itu. Dari cara inilah kemudian para
ahli Ushul Fikih (ushuliyyin) berpendapat bahwasannya dari situlah menjadi
bibit utama munculnya ilmu Ushul Fikih.[6]
Muhammad
Abu Zahrah berpendapat bahwasannya praktik Ushul Fikih datang bersamaan dengan
munculnya fikih, hal ini dikarenakan fikih tidak akan ada tanpa adanya metode istinbat
yang menjadi inti dari Ushul Fikih itu sendiri yang kemudian fikih berupa hasil
(produk) dari hasil ijtihad mulai muncul pada masa sahabat. Pada saat itu para
mujtahid melakukan ijtihad secara praktis telah menggunakan kaidah-kaidah Ushul
Fikih sebagai bahan kajiannya, meskipun kaidah-kaidah tersebut belum dirumuskan
menjadi suatu disiplin ilmu.[7]
Hal
itu di buktikan dengan semakin banyak muncul permasalahan setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan Alquran dan hadis pun sudah selesai turun. Maka para
sahabat di tuntut melakukan ijtihad untuk menyelesaikan permasalahan pada masa
itu, yang dimana ilmu-ilmu dalam berijtihad itu di cakup dalam suatu disiplin
ilmu yang bernama “Ushul Fikih”. [8]
Apabila
penggalian hukum fikih dilakukan setelah wafatnya Rasulullah SAW adalah masa
sahabat, maka para fuqoha seperti Ibnu Masud, Ali bin Abi Thalib dan Umar bin
Khattab maka tidak mungkin menetapkan hukum tanpa ada batasan dan dasar.[9]Mereka para
sahabat yang melakukan ijtihad pada masa itu bukanlah sembarangan orang,
melainkan orang yang dekat dengan Nabi Muhammad SAW. Dan merupakan bimbingan
langsung dari Nabi, kemampuan berbahasa arabnya yang tinggi sebagai bahasa
Alquran dan masih jernih, mereka adalah orang-orang yang sangat dekat dengan
Rasulullah dan sering menyaksikan secara langsung praktik tasyri’ (pembentukan
hukum) ketika Rasulullah memecahkan suatu permasalahan dan menetapkannya
sehingga mereka paham bagaimana cara memahami ayat dan mengetahui tujuan
pembentukan hukumnya.
Pada
masa sahabat dalam pemecahan masalah di mulai dengan mempelajari teks Alquran
lalu di teruskan ke sunah dan jika tidak mendapatkan solusi dari keduanya, maka
yang dilakukan adalah berijtihad, yang dilakukan seorang atau sekelompok orang
yang berkompeten pada masa itu. Kemudian hasil dari permusyawarahan sekelompok
sahabat itu di kenal dengan istilah ijma’ sahabat.[10]
Sahabat
Ali bin Abi Thalib menetapkan hukuman bagi seorang yang minum khamr dan seorang
yang menuduh orang lain berzina tanpa ada bukti, tentu penetapan hukum tersebut
melalui prosedur yang legal (preventif). Begitu juga Ibnu Mas’ud memberikan
fatwa, bahwa ‘iddahnya perempuan yang ditinggal suaminya mati, sementara
ia sedang hamil adalah sampai melahirkan. Hal tersebut berdasarkan Firman
Allah:
واولات الاحمال أجلهن ان يضعن حملهن
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah
mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya”. (QS. At Thalaq: 4)
Hal ini mengisyaratkan pada satu kaidah Ushul Fikih bahwa
ayat yang turun akhir itu menasakh (menghapus) hukum ayat yang turun
lebih dahulu. Ibnu Mas’ud memberikan fatwa demikian karena menurut pendapatnya
bahwa surat At Thalaq tersebut turun setelah surat Al Baqarah. Dengan demikian
jelas bahwacara penetapan hukum tersebut menunjukkan adanya metode Ushul Fikih.[11]
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk
melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat menggunakan Ushul Fikih sebagai
alat berijtihad. Hanya saja, Ushul Fikih yang mereka gunakan baru dalam bentuknya
yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana
yang kita kenal sekarang.[12]Dalam
berijtihad mereka (para sahabat) menerapkan metode qiyas, metode istihlah
yang di dasarkan pada metode maslahah mursalah. Qiyas adalah
menyamakan hukum sesuatu yang belum ada hukumnya dengan hal yang sudah di
tetapkan hukumnya dalam nash. Sedangkan maslahah mursalah adalah
kemaslahatan bersama tetapi belum ada hukum yang mendukung tetapi tidak ada
dalil yang melarang pula, sedangkan baik jika di jadikan sebagai pendukung
berjalannya syariat. Dapat di contohkan dengan peristiwa pembukuan Alquran
dalam satu mushaf di sebut dengan naskah Alquran.
Zaman
dahulu dalam pemecahan masalah yaitu dengan menerapkan kerangka teks, seeperti
halnya takhsis al amm, taqyid al mutlaq, al-haqiqah wa al-majaz, mafhum
muwafaqah, dan mafhum mukholafah. Tetapi metode-metode tersebut belum
tersusun secara konseptual, melainkan hanya sekedar pikiran bebas para
mujtahid, dengan di dasarkan pada kemampuan mereka dalam ketajaman daya paham
mereka saat itu dalam menguasai filosofi dan latar belakang mikro legislasi
Alquran.[13]
b.
Periode
Tabi’in
Tabiin
adalah orang yang hidup pada masa sahabat. Dari pengertian tersebut sudah dapat
kita ketahui bahwasannya mereka, para tabiin adalah generasi penerus setelah
masa sahabat. Di masa ini para tabiin kurang lebih melakukan apa yang telah
diajarkan oleh sahabat dalam berijtihad. Para tabiin mempelajari keilmuan
secara murni dari para sahabat, maka dari itu pengetahuan mengenai hukum islam
masih kental dan dapat di pertanggungjawabkan kebenarannya.
Para
tabiin tidak mengembangkan keilmuan yang ada pada masa sahabat, tetapi mereka
tetap mempertahankan apa yang ada pada masa sahabat dan tetap memperhatikan
kerangka dan metode analisis dalam berijtihad. Pada saat itu mereka terbagi
menjadi dua golongan yaitu golongan ahli ra’yu dan ahl al-hadis.[14]
Jika
pada masa sahabat dalam berfatwa merujuk pada Alquran, hadis, ijma’ qiyas, dan
maslahah mursalah tidak jauh berbeda dengan pada masa ini, yaitu merujuk
pada Alquran, hadis, fatwa sahabat, ijma’, qiyas, dan maslahah
mursalah. Pada masa ini metode istinbat semakin berkembang dan
jelas, dikarenakan semakin banyaknya permasalahan-permasalahan baru yang muncul pada saat itu.
Diantara
para tabiin yang menetapkan dirinya untuk fokus berfatwa dan berijtihad yaitu;
Sa’id ibn al-Musayyab (15 H- 94 H) di Madinah, dan ‘Alqamah ibn Qays (w. 62 H)
serta Ibrahim al-Naka’i (w. 96 H) di Irak. Tetapi dalam berijtihad mereka
mengalami beberapa perbedaan pendapat. Abd al-Wahhab Abu Sulaiman menuturkan
bahwasannya pada masa ini terjadi perdebatan anata dua hal yaitu; tentang fatwa
sahabat yang mana yang dapat di jadikan Hujjah dalam menentukan hukum, dan
apakah ijma’ ahl Madinah dapat di jadikan ijma’. [15]
Pada periode ini, dapat dijumpai metode penetapan hukum
syara’ yang lebih banyak dibandingkan periode sebelumnya, karena mazhab fikih
memiliki penetapan hukum yang berbeda dengan mazhab fikih yang lain.[16]
c.
Periode
Imam Mazhab
Setelah periode tabiin, tepatnya pada masa imam-imam mujtahid, metode
penetapan hukum syara’ bertambah dan semkin beragam. Perkembangan Ushul Fikih
disusun oleh periode imam mazhab,[17]mengingat ada perbedaan sejarah yang
signifikan, maka sejarah perkembangan Ushul Fikih periode imam mazhab ini lebih
jauh dapat diperinci menjadi tiga bagian, yaitu: masa sebelum dan ketika tampilnya
Imam Syafii serta sesudah Imam Syafii.
1)
Masa
sebelum Imam Syafii
Masa
sebelum imam Syafii di tandai dengan munculnya Imam Abu Hanifah bin Nu’man (W.150
H), pendiri Mazhab Hanafi. Langkah-langkah ijtihadnya ialah, secara beruntutan,
merujuk pada Alquran, sunah, fatwa para sahabat yang berbeda-beda dalam
menetapkan suatu hukum. Imam Abu Hanifah sendiri tidak akan melakukan Istinbath
hukum sendiri, selama ia menemukan jawaban hukum dari sumber-sumber rujukan
tersebut. Dan Imam Hanafi sendiri tidak menjadikan pendapat ulama Tabiin
sebagai rujukan. Dalam hal ini ada satu perkataanya yang sangat terkenal.
هم رجال ونحن رجال
“mereka
laki-laki ( yang mampu berijtihad ), kita juga laki-laki ( yang mampu
berijtihad ).”
Dalam berijtihad, Imam Abu Hanifah menyamakan antara
qiyas dengan istihsan. Seorang muridnya, Muhammad ibn Hasan Syaibani
mengatakan, “ para pengikut Abu Hanifah berbantah-bantahan dengan beliau dalam
masalah qiyas. Jika beliau mengatakan beristihsanlah, maka tidak ada seorangpun
yang melanjutkan perdebatan tersebut.”[18]
Imam
selanjutnya yakni Imam Malik bin Anas ( W.179 H ). Pendiri mazhab Maliki. Yang
terkenal. Sangat ketat berpegang pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat
Madinah ( Aml ahl Madinah) hal ini tergambar dari sikapnya yang menolak
periwayatan hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Rasululloh yang dinilainya
tidak valid, karena bertentangan dengan masyarakat Madinah. Begitu juga penolakannya terhadap sebagian atsar
yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW lantaran bertentangan dengan nash
Alquran, atau ketetapan yang telah masyhur dalam dalam kaidah agama, seperti
penolakan terhadap hadis yang berbunyi:
اذا ولغ الكلب في اناء احدكم غسله سبعا
Artinya: “Apabila ada anjing menjilat pada bejana kamu sekalian, maka
basuhlah (sucikanlah) tujuh kali.”
Atau penolakannya terhadap hadis tentang khiyar majlis dan hadis tentang
pemberian shadaqoh dari orang yang wafat. [19]
Namun
meskipun demikian,
Imam Malik sangat banyak menggunakan hadis dibandingkan dengan Imam Hanafi. Hal
ini karena Madinah menjadi domisili Imam Malik adalah juga domisili Rasululloh,
sehingga tidak mengherankan jika didalam Masyarakat Madinah banyak beredar
hadis.
Apabila Imam Abu Hanifah banyak menggunakan Qiyas dan
Istihshan dalam berijtihad, maka sebaliknya Imam Malik banyak
menggunakan Maslahah Mursalah. [20]
2)
Masa
Imam Syafi’i
Masa
selanjutnya adalah pada masa Imam Muhammad Idris Asy Syafi’I (150-204 H). Pada
masa ini ada sedikit perbedaan dengan masa sebelumnya, dimana metode Ushul
Fikih belum tersusun dalam suatu disiplin yang berdiri sendiri dan belum
dibukukan, maka nash ini di tandai dengan lahirnya karya imam Syafi’I
yang bernama Ar risalah.
Sebagaimana
layaknya proses lahir dan berkembangnya suatu disiplin ilmu, Imam Syafi’I
mewarisi pengetahuannya yang begitu mendalam sebagai hasil proses yang panjang
perkembangan ilmu dari pendahulunya.
Kitab Ar risalahnya sendiri yang semula bernama Al kitab,
banyak berisi uraian tentang metode Istinbath hukum, yaitu Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’, dan fatwa ash shahabi dan al qiyas.
Upaya
pembukuan dan pensistematisan Ushul Fikih sejalan dengan masa keemasan ilmu
keislaman yang terjadi pada masanya. Dan imam syafi’I banyak memetik manfaat
dan mengemukakan sintesis atas tesis dan antithesis dari berbagai keunggulan
dan kelemahan yang terpapar dalam perdebatan ilmiah yang terjadi antara
kelompok ulama Madinah dan kelompok ulama Iraq.[21]
3)
Masa
sesudah Imam Syafi’i
Setelah
periode Imam Syafi’I, perkembangan ilmu Ushul Fikih semakin menunjukkan tingkat
kesempurnaannya. Pada masa ini ( abad ke 3 ) lahir beberapa karya dalam bidang Ushul
Fikih, diantaranya : An Nasikh Wal Mansukh, karya Ahmad bin Hanbal ( 164
– 241 H ), pendiri mazhab Hanbali, dan kitab Ibtihal Al Qiyas karya
Dawud Azh Zahiri ( 200-270 H ), pendiri mazhab Azh Zhahiri. Kitab terakhir ini
merupakan antithesis terhadap pemikiran Asy Syafi’I yang begitu mengunggulkan
Qiyas dalam berijtihad.
Pada
abad ketiga Hijriyah Fikih berada pada puncak dan masa keemasannya, karena pada
masa itu suasana perdebatan terbuka dalam ilmu Fikih sangat mengairahkan, sehingga
Ulama-ulama bermunculan dalam bidang ilmu ini.[22]Ilmu Ushul Fikih semakin berkembang lagi
seiring berjalannya waktu, banyak para pengikut mazhab Syafii yang
menulis tentang penjelasan lebih mendetail dan jelas perihal Ilmu Ushul Fikikh
secara lebih lanjut. Sehingga Ilmu Ushul fikih kala itu sudah dapat di
pertanggungjawabkan keabsahannya. [23]
Secara
langsung atau melalui tangan para muridnya, para Imam mazhab telah berhasil
menyusun hasil ijtihadnya dalam bentuk kitab Fikih yangmenjadi pedoman beramal
bagi pengikutnya. Disatu sisi kitab-kitab Fikih tersebut bermanafaat
sebagai pedoman yang memudahkan pengikutnya dalam menerapkan hukum, Karena
setiap persoalan yang timbul dapat ditemukan jawabannya dengan membuka kitab Fikih
tersebut.[24]
Pada masa telah di tutupnya pintu ijtihad baik ijtihad
muthlaq maupun ijtihad melalui para mazhab, meskipun demikian Ilmu
Ushul Fikih tidak mengalami penurunan fungsi dari ilmu itu sendiri. Pada masa
itu dilakukan kajian kaijan yang mempelajari tentang bab-bab Ushul Fikih, hal
ini bertujuan untuk meneliti mengenai permasalah permasalahn yeng belum
tercakup dalam istinbat dan berlawanan dengan mazhab yang mereka
ikuti. [25]
Pada masa ini bermunculan aliran-aliran, dan yang menjadi
sebab tumbuhnya macam-macam aliranpada masa pasca imam syafii adalah karena
pada saat itu Imam Syafii dalam proses penyusunan kitab- kitabnya mengutamakan
bahwasannya ilmu Ushul fikih adalah suatu disiplin ilmu yang menjadi pedoman
dalam penggalian hukum syara dari masa ke masa, selain itu ilmu Ushul fikih ini
juga di gunakan sebagai alat ukur benar atau tidaknya pendapat ulama’ dalam
penggalian hukum. Kitab-kitab beliau diantaranya yaitu Al-Risalah, kitab Jima’ul
Ilmi, dan Ibthalul Istihsan.
Akan tetapi adanya aliran kajian para ahli Ushul Fikih
yaitu setelah bakunya mazhab-mazhab fikih, aliran itu terbagi menjadi
dua aliran yaitu;
a.
Aliran
teoritis adalah aliran yang hanya menetapkan suatu kaidah saja tanpa adanya
tujuan menguatkan atau adanya tujuan membatalkan praktek para mazhab.
b.
Aliran
praktis, tujuan dari aliran ini adalah membenarkan hasil ijtihad terhadap
masalah-masalah furu’. [26]
2.
Pembukuan
Ushul Fikih
Pembukuan
Ushul Fikih diawali dengan faktor kebutuhan para imam mujtahid di zaman itu,
dan juga mulai adanya pemetakan-pemetakan antar satu cabang ilmu dengan cabang
ilmu lainnya. Pada masa ini pula peradaban ilmu keislaman semakin
berkembang pesat, Ushul Fikih muncul menjadi satu disiplin ilmu tersendiri.
Imam Syafi’i adalah ulama yang memahami secara
mendalam tentang metode istinbat para imam mujtahid
sebelumnya, metode istinbat para sahabat, dan memahami
kelemahan dan keunggulan. Dengan didasari pemahaman beliau secara mendalam ini
lalu menulis kitab yang berisi tentang kajian tentang Ushul Fikih. Ushul Fikih
sebagai disiplin ilmu yang berisi tentang metode istinbat hukum Islam.
Imam
syafi’i memberi nama kitab karangannya dengan sebutan Al-Risalah yang
artinya sepucuk surat. Mengapa dinamai dengan istilah Al-Risalah? Hal
itu dikarenakan awal mula kitab ini adalah berupa lembaran-lembaran yang
dikirimkan kepada ‘Abdurrahman al-Mahdi (w. 198 H) yang merupakan ahli hadis
pada masa itu. Kitab Al-Risalah ini adalah kitab yang menjadi awal
perkembangan Ushul Fikih. Secara garis besar kitab ini berisi tentang hal-hal
yang menjadi landasan-landasan hukum fikih yang berkiblat pada Alquran, hadis, ijma’
fatwa sahabat dan qiyas.[27]
Perkembangan
keilmuan Ushul Fikih tidak berhenti hanya pada saat itu saja, pada masa pasca
Imam Syafi’i banyak bermunculan ulama-ulama ahli ushul yang juga mengarang
kitab tentang metode istinbat penggalian hukum Islam. [28]
Ilmu
Ushul Fikih semakin berkembang dilihat dari fungsinya pada saat itu ketika para
ulama melakukan ijtihad, dan Ushul Fikih banyak digunakan dalam pengukuran
kebenaran dan sebagai alat untuk berdebat dalam diskusi-diskusi ilmiah.
Beberapa karya kitab Ushul Fikih di masa ini iantaranya yaitu; Itsbat
Al-Qiyas karya Abu Al-Hasan Al-Asy’ary (w. 324 H), Al jadal fi Ushul al-Fikihkarya
Abu Mansur Al Maturidi (w. 334 H). [29]
Kemampuan
Imam Syafii yang luar biasa dalam ilmu Bahasa arab menjadi bekal dalam memahami
nash-nash Alquran untuk menelusuri kaidah kaidah hukum fikih dalam
penetapannya. Kemampun beliau dalam ilmu Bahasa arab yang luar biasa ini
berasal dari hasil belajar beliau di Makkah, melalui gurunya yang bernama
Abdullah Ibn Abbas yang di kenal sebagai orang yang hebat pula dalam penafsiran
Alquran atau bisa di sebut ahli penterjemah Alquran. Bukan hanya itu beliau
juga mengetahui ilmu nasakh wal Mansukh. Bahkan dengan keahliannya itu
beliau juga dapat mengetahui perbandingan antara hadis dengan Alquran jika
suatu ketika terjadi perdebatan antara zhahir hadis dan zhahir Alquran. Menurut
sejarah diketahui beliu memang seorang ahli hadis dan belajar langsung dari
para ulama’. Ulama’ ahli Fikih (fuqoha’) telah menetapkan bahwasannya
Imam Syafii adalah orang yang pertama kali mengarang kitab Ilmu Ushul Fikih dan
tidak ada yang menentang pendapat tersebut.[30]
Sebagai
bukti bahwasannya Imam Syafii adalah orang pertama yang membukukan Ilmu Ushul
Fikih ini dilihat dari cara beliau dalam menerangkan hakikat Ilmu Ushul Fikih
mulai dari setiap fasal dan setiap bab nya. Karena sampai saat ini tidak di
temukan adanya ulama lain yang mengguanakan cara tersebut sebelumnya. Hal ini
dikarenakan pada masa sebelum Imam Syafii Ilmu Ushul Fikih belum sempurna. Dan
para mujtahid yang datang setelah Imam Syafii ini sifatnya melengkapi dan
memperjelas dari yang sudah ada.[31]
D.
PENUTUP
Dari
pembahasan di atas dapat kita ambil kesimpulan bahwasannya perkembangan dan
pertumbuhan Ilmu Ushul Fikih mengalami beberapa fase perkembangan di mulai dari
pada masa Rasulullah masih hidup, yang pada kala itu sebenarnya Ilmu Ushul
Fikih sudah di pelajari oleh para sahabat, hanya saja belum menjadi suatu
disiplin ilmu yang sistematis. Kemudian pada masa sahabat, yang pada masa ini
mereka sudah memahami tata cara penggalian hukum (istinbat Al-ahkam)
dengan mengacu pada yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Lalu pada masa Imam
Mazhab sebelum Imam Syafii, yang pada masa ini hampir sama dengan masa sahabat,
dalam menggali hukum mengacu pada Alquran, hadis, fatwa sahabat, ijma dan
qiyas. Imam Syafii hadir dengan mencetuskan kitab Ilmu Ushul Fikih yang di
kenal dengan namaAl-Risalah dimana di dalamnya di jelaskan tata cara
secara sistematis dan jelas mengenai penggalian hukum Islam. Ilmu Ushul Fikih
terus berkembang seiring bermunculan para mujtahid-mujtahid kala itu. Mereka
semakin menguatkan dan memperjelas teori-teori tentang Ilmu Ushul Fikih ini.
Pada saat itu pula muncul dua aliran, yaitu aliran kajian para Ahli Ushul Fikih
yaitu aliran teoritis dan aliran praktis.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Abd.
Rahman,Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2014
Khallaf Abdul
Wahhab, Ilmu Ushul Fikih,Jakarta: Pustaka Amani, 2013
Syarifuddin
Amir,Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenadamediagroup, 2014
Effendi Satria,Ushul Fiqh, Jakarta:PT Fajar Interpratama Mandiri, 2005
Asmawi,Perbandingan
Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2011
MuthahhariMurtadha,
Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003
Zahrah Muhammad
Abu, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2011
Catatan:
1.
Similarity 17%.
2.
Daftar pustaka hanya tujuh buku saja?
3.
Dalam tulisan ilmiah, penulisan gelar (Prof. Dr. MA, Ustadz) hendaknya
dihilangkan.
4.
Perujukan dalam makalah ini sangat minim.
5.
Berikan contoh yang secara implisit Nabi menggunakan ushul fikih.
6.
Referensi yang diulang dalam footnote tidak ditulis semua keterangannya.
[1]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 8
[2]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 20.
[3]
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Jakarta, Pustaka Zahra,
2003, 4
[4]Abdul
Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta, Pustaka Amani, 2013, 8-11
[5]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih hal 20
[6]
Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 6
[7]
Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005,
16
[8]
Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 6
[9]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 8
[10]
Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005,
17
[11]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 11
[12]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 21
[13]
Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 7
[14]
Ibid 7
[15]
Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005,
17-18
[16]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 9
[17]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 24
[18]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 10
[19]
Ibid 10
[20]
Dr.H.Abd.Rahman Dahlan, M.A. Ushul Fikih, hal 26-27
[21]
Ibid 27
[22]
Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, hal 286
[23]Muhammad
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 14-15
[24]
Prof.Dr.H.Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, hal 286
[25]
Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 16
[26]
Ibid 16-17
[27]
Ibid 19-20
[28]
Asmawi, perbandingan Ushul Fikih, Jakarta, Imprint Bumi Aksara, 2011, 8
[29]
Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta, PT Fajar Interpratama Mandiri,2005,
21
[30]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 2011, 12
[31]
Ibid 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar