SEJARAH PERTUMBUHAN dan PERKEMBANGAN USHUL FIQH
Triana Handayani, Rachmadika Fitrianingsih Widodo, dan Ahmad
Mushawwir Ramadhan
Mahasiswa PAI UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI-C 2018
Abstrack:
An
(ijtihad) italic (an individual interpretation and judgement) method called
(ushul fiqh) italic, as the basic and development of islamic law that regulates
all the behavior of the muslim community. By using the method of ushul science
fiqh, people can perform the islamic law easily, because ushul fiqh is a guide
fiqh which is able to solve problems that exist in life. Over time, ushul fiqh
experienced the development of each period, thus some scholars’ have different
characteristics respectively in ushul fiqh. This paper explains about ushul
fiqh interpretation and the history of its growth and development.
Keyword:
ushul fiqh, fiqh, history of the ushul fiqh
Abstrak:
Sebuah
metode ijtihad yang disebut ushul fiqh, sebagai dasar dan pengembangan hukum
islam yang mengatur seluruh tatanan perilaku kehidupan masyarakat muslim.
Dengan menggunakan metode ilmu ushul fiqh manusia dapat melakukan syariat
dengan mudah, karena ushul fiqh merupakan penuntun fiqh untuk dapat memecahkan
masalah yang ada dalam kehidupan di dunia. Seiring berjalannya waktu ushul fiqh
mengalami perkembangan dari masing-masing masa, sehingga dalam ushul fiqh beberapa
ulama’ memiliki perbedaan karakteristik masing-masing. Tulisan in menjelaskan
tentang pengertian ushul fiqh serta sejarah pertumbuhan dan perkembangannya.
Kata
Kunci: ushul fiqh, fiqh, sejarah ushul fiqh
A. Pendahuluan
Dalam islam dikenal
suatu ilmu keagamaan yang memiliki nama Ushul Fiqh, ilmu ini telah ada
sejak zaman Nabi & sahabat meskipun belum disusun sebagai suatu disiplin
ilmu tersendiri. Ushul Fiqh adalah pengetahuan mengenai banyak kaidah dan bahasa
yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia dengan menggunakan dalil-dalilnya yang terperinci. Kaitan antara ilmu
ushul dengan ilmu fiqh tidak dapat dipisahkan, keduanya saling memberikan
manfaat satu sama lain. Apalagi jika ilmu ilmu fiqh datang tanpa adanya ilmu
ushul, keberadaanya tidak akan sempurna. Karena ilmu ushul adalah alat untuk
menghasilkan suatu hukum dalam ilmu fiqh. Ibaratnya, ilmu ushul sebagai penanak
nasi untuk menghasilkan nasi yang siap saji dan berkualitas maka beras yang
masih mentah harus dimasak dalam penanak nasi terlebih dahulu barulah ia
menjadi nasi yang diinginkan, lantas apa yang terjadi jika tidak adanya penanak
nasi maka beras tersebut tidak akan matang dan tidak bisa dikonsumsi, begitu
juga dengan keberadaan ilmu ushul, apabila tidak adanya ilmu ushul yang melatar
belakangi ilmu fiqh maka tidak akan ada produk atau ketetapan hukum yang dapat
ditarik manfaatnya oleh orang lain.
Perkembangan ushul fiqh
yang semakin meluas tidak meninggalkan pedomannya yang tetap bersandar pada
Alquran dan hadis,[1]ilmu
ushul semakin mencuat di permukaan negara bahkan sampai dunia, karena banyak
manfaat dan kegunaan daripada ilmu itu sendiri, menjadikannya semakin terlihat
ke-exsistensiannya di mata manusia.
Dalam mempelajari atau
mengumpulkan sejumlah informasi hendaknya bagi para pelajar mengetahui asal
ushul dari ilmu tersebut dan orang-orang yang berkecimpung di dalamanya,[2]begitu
juga ketika pelajar ingin memperdalam ilmu ushul fiqh mereka hendaknya
mengetahui sejarah keberadaan ilmu ushul, pertumbuhan dan perkembangan sebelum
dan sesudah dibukukannya, latar belakang yang menjadikan ilmu itu muncul, serta
para tokoh yang berkontribusi di dalamnya, begitulah tujuan mengapa kita
sebagai pelajar perlu mengetahui tentang cikal bakal ilmu ushul fiqh lahir di
dunia.
Secara teoritis, ilmu
ushul muncul secara bersamaan dengan ilmu fiqh, namun penyusunannya ilmu fiqh dibukukan
terlebih dahulu dari ilmu ushul.[3]
Meski demikian, secara praktis manusia telah menggunakan ilmu ushul untuk
membuat hukum dalam fiqh meskipun belum menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri.
Ilmu ushul sudah ada sejak zaman diangkatnya Nabi menjadi Rasul, namun pada
masa itu kegiatan ijtihad masih tabu digunakan karena semua perkara dipecahkan
oleh Nabi seketika itu, akan tetapi hakikatnya benih-benih kaidah ushul sudah
hadir bersamaan diangkatnya Nabi dan munculnya ilmu fiqh.
Setelah masa Nabi
kegiatan ijtihad dilanjutkan oleh para sahabat yang menggali suatu perkara yang
tidak ditemukan hukumnya dalam Alquran dan sunnah. kemudian masa tabi’in,
keberadaan ilmu ushul semakin diperlukan oleh semua kalangan, karena banyaknya
persoalan yang semakin banyak akibat perluasan wilayah hingga akhirnya pada
masa imam mujtahid ilmu ushul berhasil dibukukan sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri oleh Imam Syafi’i, berawal dari situ ilmu ushul dikenal dan
dipelajari di berbagai manca negara.
B.
Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ushul Fiqh
Sebelum
membahas tentang sejarah ushul fiqh, penting perlunya bagi kita untuk mengetahui terlebih dahulu dari definisi ilmu
tersebut. “Ushul” adalah bentuk jamak dari kata “ashl” yang
memiliki arti “dalil yang menjadi dasar sesuatu” dinamakan sebagai ilmu ushul
fiqh karena ia menjadi pedoman atau dasarnya ilmu fiqh.
menurut Abdul al-Wahab Khalaf dalam buku karangan Ahmad Djazuli ia
mengatakan: “Ushul Fiqh ialah ilmu tentang kaidah-kaidah dan
pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara
yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci, atau kumpulan-kumpulan kaidah
dan pembahasan yang merupakan cara untuk menemukan (mengambil) hukum syara’
yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci.[4]
Pada hakikatnya
munculnya ilmu ushl fiqh dan ilmu fiqh terjadi secara bersamaan, namun
ilmu ushul fiqh belum mempunyai ruang
dalam penyusunannya, hal itu menjadikan ilmu fiqh lebih dahulu disusun daripada
ilmu ushul fiqh. Padahal seharusnya ilmu ushul fiqh mendapat posisi awal dalam
penyusunannya, karena kendatinya ilmu ushul fiqh adalah alatbagi seorang mujtahid
dalam menghasilkan ilmu fiqh. [5]Abu
Zahrah berpendapat “secara tidak langsung manusia telah menggunakan
kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun ilmu tersebut belum dirumuskan dalam suatu
disiplin ilmu”.[6]
Hadis Rasulullah;
اَمَّا عِلْمُ اُصُوْلِ الفِقْهِ
فَلَمْ يَنْشَاءْ إلَّا فِي اْلقَرْنِ
الثَّانِي الهِجْرِي. لِأَنَّهُ فِي القَرْنِ الهِجْرِي الْأَوَّلِ لَمْ تَدَعْ
حَاجَةً اِلَيْهِ فَالرَّسُوْلُ كَانَ يَفْتِي وَيَقْضِي بِمَا يُوْحَى بِهِ
اِلَيْهِ . رَبُّهُ مِنَ القَرْنِ بِمَا يَلْهِمُ بِهِ مِنَ السُّنَنِ.
“Mengenai ilmu ushul fiqh, ilmu tersebut
lahir sejak abad ke-2 H. Ilmu tersebut, pada abad pertama hijriyah memang tidak
diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan
memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran Alquran dan sunnah yang diilhamkan
kepada beliau".[7]
Pernyataan dan Hadis diatas sudah jelas bahwa Ushul Fiqh telah ada
sejak zaman Rasulullah, namun di sisi lain ada sebuah ungkapan dari kalangan
orientalis mengatakan bahwa; ijtihad
dimulai dari kalangan Sunni kemudian dua ratus tahun setelahnya ijtihad
diperkenalkan dan diawali oleh kaum Syiah, karena mereka berkeyakinan bahwa
pada masanya para imam ijtihad tidak diperlukan dan tidak menjadi kebutuhan
bagi kaum Syi’ah, anggapan tersebut sangat fatal dan dianggap salah.[8]
1.
Pra
Pembukuan Ushul Fiqh
Nabi pernah berijtihad atau tidak? pertanyaan itu sempat
diperselisihkan oleh para ulama. Dalam kehidupan nyata Nabi pernah melakukan
ijtihad, namun ijtihad nabi tidaklah sama dengan ijtihad sahabat, tabiin, dan
yang lain. Karena ketika nabi melakukan kesalahan dalam berijtihad seketika itu
pula wahyu datang untuk membetulkannya agar syariat tetap terjaga kebenarannya.[9]Seperti
pada suatu kisah, Umar bertanya kepada Nabi: “wahai Rasulullah apakah batal
puasaku karena aku telah mencium istriku?” Nabi membalikkan pertanyaan Umar:
“bagaimana pendapatmu seandainya kamu berkumur-kumur dengan air pada saat kamu
berpuasa?” Umar: “tidak apa-apa (tidak membatalkan puasa)” Nabi bersabda: “maka
tetaplah kamu berpuasa”. Permasalahan yang dialami Umar tersebut dipecahkan
oleh Nabi menggunakan kaidah qiyasyakni menyamakan hukum berkumur saat
berpuasa dengan mencium istri ketika sedang melaksanakan puasa hukumnya tidak
batal. [10]
Hadis Nabi juga mengatakan hal yang demikian:
لولا ان اشق على امتى لا مرتهم بالسواك عند كل صللاة (رواه
ابو داود)
“Seandainya tidak akan memberatkan bagi
umatku niscaya akan aku perintahkan mereka menyikat gigi setiap kali akan
melakukan sholat.”
Dari hadis diatas bahwasannya Rasulullah SAW selalu memikirkan
kemaslahatan umatnya dalam menetapkan suatu hukum. Hukum di atas tidak akan ada
apabila ijtihad itu dilarang oleh Nabi.
Kisah lain meriwayatkan, abu bakar berkata: Tawanan perang bisa
dibebaskan dengan syarat ia mampu membayar denda atau tebusan, disisi lain
pendapat umar berbeda dengan Abu Bakar. menurutnya, tawanan harus dibinasakan
karena ia telah berdustakepada Nabi dan lancang menyuruh Nabi keluar dari
mekah. Dari kedua pendapat tersebut Nabi lebih memilih pendapat dari Abu Bakar
yakni melepaskan tawanan dan menyuruhnya untuk membayar denda. Seketika itu turunlah
surat al-anfal ayat (67).
$tBc%x.@cÓÉ<oYÏ9br&tbqä3tÿ¼ã&s!3uó r&4Ó®LymÆÏ÷WãÎûÇÚöF{$#4crßÌè?uÚttã$u÷R9$#ª!$#urßÌãnotÅzFy$#3ª!$#urîÍtãÒOÅ3ymÇÏÐÈ
“Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia
dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi, kamu menghendaki harta duniawi
sementara Allah menghendaki akhirat.”
Apabila dalam peristiwa itu tidak turun suatu ayat yang membenarkan
ijtihad Nabi, maka dapat dikatakan ijtihad tersebut benar dan bisa
dikategorikan dalam sunnah-nya Nabi.
Ketika para sahabat berada jauh dari Nabi, Nabi memberi izin kepada
mereka untuk melakukan ijtihad bilamana suatu perkara yang hukumnya tidak
didapatkan dalam Alquran dan sunnah. Intinya aktivitas ijtihad tersebut tidak
hanya dilakukan oleh Nabi saja namun para sahabat juga melakukannya. [11]
a.
Masa
Sahabat
Sahabat adalah mereka yang memiliki kedekatan dengan Rasulllah SAW
dan selalu menyertainya serta menyaksikan kejadian atau peristiwa-peristiwa
hukum yang secara langsung di pecahkan oleh Rasulullah, sehingga mereka
memahami bagaimana menangkap suatu ayat dan tujuan dibentuknya. mereka adalah generasi yang paling banyak
melakukan ijtihad di bidang hukum islam, selain dekat dengan Rasulullah mereka
juga pandai berbahasa arab, sehingga dari kemampuan bahasa arabnya yang tinggi
itu mereka mampu memahami ayat Alquran dan melakukan qiyas terhadap
suatu permasalahan yang membutuhkannya. Dengan demikian, setelah Rasullullah
wafat mereka telah siap menghadapi permasalahan sosial yang muncul pada
zamannya dan memecahkannya dengan metode ijtihad meskipun ilmu ushul sendiri
belum secara resmi dirumuskan, hal ini adalah pendapat dari Khudari Beik
seorang ahli ushul berkebangsaan mesir. Bagaimana para sahabat melakukan
ijtihad? Menurut Abdal Wahab Abu Sulaiman mereka melakukan ijtihad dengan cara;
awalnya mereka mempelajari dan memahami ayat Alquran kemudian Sunnah Nabi.
Apabila suatu hal yang tidak ditemukan hukumnya di dalam keduanya barulah
mereka melakukan ijtihad, hal ini dilakukan secara individu atau berkelompok
dengan para sahabat yang lain dan keputusan yang diambil sahabat atau hasil
akhir dari ijtihad sahabat dinamakan ijma’ sahabat. Para sahabat selain
menggunakan metode qiyas dalam berijtihad, mereka juga menggunakan
metode istishlah yang berdasar pada maslahah mursalah dalam
ijtihadnya. maslahah mursalahadalah suatu kemaslahatan yang tiadanya
dalil menolak atau mendukungnya namun memicu tujuan syariat terpelihara seperti
halnya pengkodifikasian Alquran.
Jadi, apabila suatu permasalahan tidak didapati hukumnya dalam
Alquran dan Sunnah para sahabat secara tidak langsung telah mempraktekkan ilmu
ushul fiqh diantarannya ijma’, qiyas, dan istishlah (maslahah
mursalah) dan hal yang demikian telah memenuhi kebutuhan masyarakat yang
berkembang pada saat itu. [12]
Apabila Nabi pernah berijtihad meskipun ijtihadnya berbeda dari
yang lain, tentu sahabat juga melakukan hal itu. Nabi memberikan izin kelonggaran
para sahabat untuk melakukan ijtihad. Pada suatu kisah, “Nabi berkata”:
كيف تقض اذا عرض لك قضاء؟ قال اقض بكتاب الله.
قال فإن لم تجد قال فكتاب الله؟ فإن لم تجد؟ قال فبسنة الرسول الله. قال فإن لم
تجد فبسنة رسول الله و إن لم تجد في كتاب الله؟ قال اجتهد براءي فضرب رسول الله
صدره وقال: الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضى رسول لله.(رواه ابو داود)
“Bagaimana cara kamu memutuskan suatu perkara yang dihadapkan
kepada kamu? Mu’az: “Saya putuskan dengan (hukum) yang terdapat dalam kitab
Allah.” Nabi mengajukan pertanyaan kembali: “Jika kamu tidak mendapati (hukum)
itu di dalam kitab Allah?” Mu’az: “Saya putuskan dengan Sunnah Rasulullah”,
Nabi terus bertanya: “Kalau kamu tidak menjumpai dalam sunnah dan tidak juga
dalam kitab?” Mu’az mengatakan: “Saya akan berijtihad dengan pikiran saya dan
saya tidak akan lengah,” Kemudian Nabi menepuk bahu Mu’az seraya berkata,
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasul Allah...”
(HR. Abu Daud). [13]
Peristiwa diatas sebagai bukti bahwasannya para sahabat telah
melakukan ijtihad pada zamannya meskipun Nabi masih ada.[14]
Ketika terdapat suatu perkara yang harus diputuskan, Nabi meminta
Amr bin ‘Ash untuk memutuskannya, sedang beliau berada di tempat tersebut.
Lantas sahabat mengajukan pertanyaan kepada Nabi atas sesuatu yang
diperintahkan kepadanya:
ااجتهد و ان حاضر؟ قال نعم، إن اصبت فلك اجران و ان اخطأت فلك اجرا
“Apakah saya berijtihad sedang engkau berada disini?” Nabi
bersabda: “Ya, jika kamu benar maka mendapat dua pahala, dan jika kamu salah
kamu akan mendapat satu pahala.”[15]
Contoh lain; pada saat Ali menetapkan hukuman bagi peminum khamr
yaitu sebanyak 80 kali cambuk, beliau berkata: “bila ia minum ia akan mabuk dan
bila ia mabuk, ia akan menuduh orang berbuat zina secara tidak benar;maka
kepadanya diberikan sanksi tuduhan berbuat zina.” Pernyataan Ali tersebut
diyakini bahwa ia menggunakan kaidah ushul “sad al-dzari’ah” dalam
mengantisipasi permasalahan yang akan timbul dari peristiwa di atas.
Kemudian ketika Abdullah ibn Mas’ud mengutarakan argumentasinya
yang berdasar pada surat at-Thalaq (85) ayat 4, bahwa wanita hamil
apabila ditinggal mati suaminya iddahnya sampai ia melahirkan. Sedangkan dalam
surat al-Baqarah (2), bahwa wanita hamil yang ditinggal mati suaminya iddahnya
selama empat bulan sepuluh hari. Beliau menetapkan surat at-Thalaq ayat 4 dalam
menghukumi permasalahan tersebut alasannya; surat at-Thalaq keberadaanya muncul
setelah surat al-Baqarah ayat (2).
Dalam pengambilan keputusan, Ibnu Mas’ud berpedoman dalam kaidah
Ushul, yaitu nasakh wa mansukh, artinya ayat yang datang lebih awal akan
ditiadakanoleh dalil atau ayat yang muncul setelahnya.[16]
b.
Masa
Tabi’in
Dengan berlalunya masa sahabat,
maka masuklah kepada masa tabi’in. Dalam masa tabiin wilayah penyebaran islam
telah meluas keluar dari daerah bangsa arab dan para penduduk daerah tersebut
bukan orang-orang yang berbangsa arab dan tidak menggunakan bahasa arab. Oleh
karena itu, terdapat perbedaan budaya adat istiadat, peradaban hingga situasi
yang tidak sama dari bangsa arab. Dengan perluasan wilayah kekuasaan islam
tersebut banyak dari ulama-ulama tabiin yang menyebar kewilayah-wilayah atau
daerah diluar bangsa arab hingga banyak penduduk dari wilayah tersebut yang
memeluk islam.
Dengan semakin luasnya wilayah
islam maka semakin banyak lah permasalahan ummat yang belum dikenal sama sekali
hingga menyebabkan ketetapan suatu hukum tidak ditemukan pada Al-qur’an dan
hadis. Para ulama-ulama tabiin yang menetap didaerah-daerah tersebut pun
mencari ketetapan atau berijtihad dengan pemikiran serta penalaran tentang ayat
Al-qur’an dan hadits Nabi agar dapat mengatasi permasalahan yang ada. Ditambah
juga adanya pengaruh majunya ilmu pengetahuan pada tiap bidang saat itu,
sehingga menjadikan ijtihad berkembang maju dengan pesat.[17]
Dalam berijtihad mereka (tabi’in) menggunakan pedoman pada masa sebelumnya
yaitu masa Nabi & sahabat. Dengan demikian ilmu Fiqh pada periode tabi’in
bersumber atas Alquran, sunnah, fatwa sahabat dan fatwa imam mujtahid.[18]
Pada periode ini juga membuat
cara istinbath terlihat semakin jelas dikarenakan wilayah-wilayah yang semakin
meluas tersebut dan banyaknya persoalan baru yang terjadi sehingga mendorong
para tabiin dengan pengetahuan yang mereka dapat dari para sahabat Nabi untuk
menetapkan suatu hukum dengan cara berijtihad. Di antara ulama tabiin ini yaitu
Said ibn al-Musayyab (15H-94H) di Madinah, Ibrahim al-Nakho’I (96H), dan
Al-Qamah ibn Qays (62H) di Iraq. Pada saat melakukan ijtihad para tabiin
tersebut merujuk pada Al-quran, Hadits, Ijma’, Qiyas, dan maslahah mursalah. Di
masa ini Abu sulaiman mengatakan bahwa adanya perbedaan pendapat yang nampak
apakah ijtihad atau penetapan hukum yang dilakukan para tabiin dapat dijadikan
landasan hukum (hujjah).[19]
Dengan berbagai sumber rujukan
yang diambil, para ulama tabiin bebas menggunakan metode yang dianggap sesuai
dalam menetapkan suatu hukum. Oleh sebab itu, ada sebagian ulama tabiin yang
melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas,
untuk mendapatkan illah hukum suatu nash lalu menggunakan qiyas tersebut kepada permasalahan yang
tidak ada nash nya namun illah yang dimiliki sama. Tetapi
sebagian ulama yang lain lebih condong memakai metode maslahah, dengan memfokuskan dari kecocokan tujuan suatu hukum pada
kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip syara’.[20]
Disatu sisi dengan pesatnya
perkembangan ijtihad pada masa tabiin ini tidak begitu berjalan baik, hal ini
dikarenakan banyaknya terjadi perbedaan pendapat dan polemik-polemik ilmiah
antara ulama satu dan ulama yang lain dalam hal hasil ijtihad, dalil-dalil yang
dipakai, atau cara yang digunakan mereka dalam berijtihad. Permasalahan ini
bukan saja terjadi pada ulama yang berada pada satu wilayah yang sama tetapi
terjadi pada wilayah yang berbeda. Dengan adanya masalah seperti ini,
terciptalah suatu pemikiran baru atau ide ulama-ulama tersebut agar membuat
rumusan kaidah-kaidah syariat sebagai acuan terkait dengan tujuan-tujuan dan
dasar-dasar syara’ menetapkan suatu hukum.
Setelah merumuskan kaidah-kaidah
syariat sebagai panduan, masih saja menyebabkan beberapa masalah. Hal ini
dikarenakan pengaruh bahasa lain kepada tata bahasa arab, sebab begitu
banyaknya wilayah diluar bangsa arab yang memeluk agama islam dan adanya ulama
tabiin yang tersebar dan melakukan ijtihad. Kemudian dengan banyaknya bangsa
non arab tersebut mebuat banyaknya penyusupan bahasa-bahasa selain arab masuk
kedalam bahasa arab, hal ini yang menyebabkan beberapa masalah dengan
menimbulkan keragu-raguan dan berbagai macam kemungkinan dalam memahami nash syara. Namun permasalahan ini
kembali menimbulkan sebuah ide yang lain bagi para ulama tabiin untuk kembali
menyusun atau merumuskan kaidah-kaidah umum yang menyangkut kebahasaan dan
kaidah lughawiyah.
Seperti itulah, dengan
dirumuskannya suatu kaidah syariah dan kaidah lughawiyah maka terciptalah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu
Ushul Fiqh, ilmu yang dijadikan dasar menetapkan suatu hukum (fiqh). Ibn Nadim
berkata, bahwa seorang ulama yang pertama kali merumuskan ilmu ushul fiqh ialah
Imam Abu Yusuf, yang merupakan salah satu murid dari imam Abu Hanifah. Tetapi
kitab yang ditulis oleh beliau tidak sampai pada generasi saat ini.[21]
2.
Pembukuan
Ushul Fiqh
Ketika periode
tabi’in telah berlalu, pada saat itu juga perkembangan ilmu ushul fiqh
dilanjutkan dengan periode Imam Mazhab. Karena ada perbedaaan sejarah yang menonjol,
maka pada saat itu juga perkembangan ilmu ushul fiqh periode Imam Mazhab bisa
lebih dirincikan menjadi tiga masa yakni masa sebelum imam asy-syafi’i, masa
ketika asy-syafi’i dan yang terakhir masa sesudah imam asy-syafi’i.
a.
Masa sebelum Imam Asy-syafi’i
Munculnya Imam
Abu Hanifah bin Nu’man (w. 150 H) adalah sebagai salah satu tanda masa sebelum
Imam Asy-syafi’i. Beliau tumbuh dan tinggal di Irak. Pola ijtihad Imam Abu Hanifah lebih jelas jika dibandingkan dengan masa
tabi’in. Yang membuat beliau terkenal adalah banyak menggunakan qiyas dan
istihsan dalam berijtihad.
Urutan dalam
ijtihadnya adalah secara runtut yang didasari pada al-qur’an, sunnah, fatwa
sahabat yang sudah disepakati ( ijma’ ash-shahabi), dan dalam satu kasus hukum
beliau mengambil satu dari fatwa sahabat yang beragam. Beliau tidak pernah
melaksanakan istinbath sendiri, selagi beliau mendapatkan jawaban hukum dari
sumber yang menjadi rujukan. Hal yang unik adalah, pendapat ulama tabi’in tidak
pernah dijadikan rujukan oleh Imam Hanafi. Sebab
yang menjadi alasan atau hujjahnya adalah jarak waktu yang terlalu jauh antara
Rasulullah saw dan ulama’ dari kalangan tabi’in. Beliau memiliki pendapat bahwa
dalam berijtihad kedudukan para tabi’in dan kedudukan Imam
Hanafi mempunyai kedudukan yang sama. Dan hal inilah
yang membuat ucapannya terkenal yaitu:
هُمْ رِجَالٌ وَنَحْنُ رِجَالٌ
(mereka
laki-laki (yang mampu berijtihad), kita juga laki-laki (yang mampu berijtihad)
). “
Mujtahid
selanjutnya adalah pendiri mazhab maliki yang tinggal dan tumbuh di Madinah yang bernama Imam
Malik bin Anas (w.179 H).
Salah satu faktor yang mempengaruhi dirinya menjadi sangat ketat berpegangan
pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat madinah(‘amal ahl al-madinah)
adalah faktor sosio kultural. Sikapnya yang selalu menolak terhadap periwayatan
hadis-hadis yang dinisbahkan pada Rasulullah yang menurutnya tidak valid adalah
salah satu gambaran dari sikapnya yang sangat ketat berpegang pada tradisi yang
berkembang dalam masyarakat madinah, Sebab menurutnya yang seperti itu sangat
bertentangan dengan tradisi masyarakat madinah. Jika ada periwayatan berbagai
hadis yang kontradisi dengan al-qur’an maka beliau dengan cepat dan cekatan
mengkritiknya.
Contoh: saat
beliau mendengar ada hadis-hadis yang menerangkan mengenai mambasuh tujuh kali
bekas jilatan anjing ia menolaknya, dan tentang hadis yang menerangkan mengenai pemberian sedekah yang mengatas namakan
orang yang telah wafat. Dibandingkan Imam Hanafi, Imam Malik lebih banyak menggunakan hadis dalam
berijtihad. Beliau beralasan karena mempunyai domisili yang sama dengan
Rasulullah yaitu sama-sama berdomisili di Madinah, hal itulah yang membuat
tidak menjadi heran apabila banyak beredar hadis di masyarakat madinah. Karena Imam Malik sendiri pun
memiliki kitab Al-muwaththa’
yaitu kitab hadis yang sangat terkenal.
Jika keunggulan
Imam Abu Hanifah dalam berijtihad adalah banyak dengan menggunakan qiyas dan
ishtisan, justru bertolak belakang dengan Imam Abu Hanifah, menggunakan
mashlahah mursalah adalah keunggulannya dari Imam Malik. Karena dianggap
terlalu berkembang sangat jauh metode mashlahah dari Imam Malik membuat
Najmuddin ath-Thufi salah seorang ulama’ yang dituduh sesat oleh sebagian
ulama’ yang lain, dengan alasan beliau mengembangkan metodenya dengan berbagai
cara yang sangat liberal.[22]
b.
Masa Imam
Asy-syafi’i
Lahirnya Imam Muhammad Idris Asy-Syafi’i (150-204 H) yang dikenal dengan Imam Asy-Syafi’i adalah tanda dimulainya masa kedua dari
periode Imam Mazhab. Masa ini
adalah masa yang sangat berbeda dengan masa yang sebelumnya, jika pada masa
yang sebelumnya metode ushul fiqh belum tersusun rapi dalam suatu displin ilmu
maka terciptanya ar-risalah karya Imam Asy-Syafi’i menjadi tanda bahwa metode
ushul fiqh telah tersusun dalam suatu disiplin ilmu yang sudah dibukukan.
“Karya Imam Asy-Syafi’i
adalah kitab yang berubah nama menjadi kitab ar-risalah mengandung banyak
uraian tentang metode istinbath hukum yakni
Alquran, sunah, ijma’, fatwa ash-shahabi dan al-qiyas.” Al-qiyas adalah
metode ijtihad yang sangat ditekankan oleh imam Asy Syafi’i. Hal ini terdapat dalam beberapa bagian dari
beberapa kitab ar-risalah. Beliau berkata, al- ijtihad huwa al-qiyas (ijtihad
itu tiada lain adalah qiyas).
Salah satu bukti
masa keemasan ilmu keislaman yang terjadi pada masanya adalah upaya
pensistematisan dan pembukuan ushul fiqh. Perdebatann ilmiah yang terjadi
antara kelompok ulama’ madinah dan kelompok ulama’ irak memaparkan berbagai
keunggulan dan kelemahan yang dipetik manfaatnya oleh Imam Asy syafi’i yang
berstatus sebagai murid langsungnya Imam Malik, ulama’ madinah dan dari
Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani menjadikan dirinya sebagai kepakaran dalam
ilmu ini. Ditambah lagi beliau mempelajari ilmu fiqh dari para ulama’ ditempat
beliau lahir dan dibesarkan yaitu Mekah.”[23] Beliau mewarisi ilmu Alquran dari Abdullah
Ibn Abbas pada saat berada dimekah sehingga dapat mengerti nasikh mansukh di
dalam Alquran. Disisi lain juga beliau memiliki kesempatan dalam mendalami
berbagai hadis dari ulama hadis sehingga dalam menghadapi adanya pertentangan
antara Alquran dengan hadis Nabi dapat diselesaikan dengan kedudukan sunah bagi
Alquran yang telah dipahaminya. Penguasaan ilmu antara fiqh aliran tradisional
(hijaz) dan juga fiqh aliran rasionalis (irak) menjadi modal baginya untuk
dapat menyusun kaidah-kaidah dengan mengangkat qiyas. Oleh karena itu imam syafi’i dapat merumuskan hukum syara’ dengan
menggunakan metodologi yang sangat sistematis. [24]
c.
Masa sesudah
Imam Asy Syafi’i
Ketika masa Imam
Asy-Syafi’i telah berlalu tingkat kesempurnaan ilmu ushul fiqh semakin
menunjukkan perkembangannya. Beberapa karya dalam bidang ushul fiqh lahir pada
abad ketiga. Diantaranya adalah karyanya Ahmad bin Hanbal(164-241) yaitu an
nasikh wa al – mansukh, dan karya Dawud azh-zhahiri(200-270 H) yaitu ibthal
al-qiyas.
Masa puncak dan
masa keemasan fiqh islam terletak pada abad ketiga hijriyah. Sebab pada abad
ketiga kondisi perdebatan terbuka dalam ilmu fiqh sangat menarik, karena
kondisi itu menyebabkan bermunculan para ulama’ dalam bidang ilmu fiqh. Namun
yang ditunjukan dalam fakta sejarah adalah tidak berlangsung lamanya kondisi
yang menggembirakan ini, yang disebabkan oleh orang-orang yang melahirkan
berbagai fatwa hukum yang kontroversial dan membingungkan masyarakat yang
sebenarnya orang-orang itu tidak mempunyai keahlian dalam bidang fiqh. Fatwa
yang mereka buat tidak hanya bertolak belakang dengan fatwa para ulama’ yang
terkenal namun fatwa mereka dibuat tidak berdasarkan landasan dalil dan metodologi
yang standarnya telah ditetapkan. Akibatnya,
maka terdengarlah isu penutupan pintu ijtihad pada pertengahan abad ke
empat.Hilangnya rasa percaya diri para ulama yang memiliki kemampuan berijtihad
membuat kondisi pertengahan abad ke empat semakin parah.Karena insiden-insiden
sebelumnya membuat mereka tidak berani berijtihad sendiri dengan bebas. Mereka
meyakini tidak ada lagi ulama’ yang memiliki kapasitas keilmuan sebagai
mujtahid mutlak kecuali empat Imam Madzhab ( Abu Hanifah, Asy-syafi’i, Malik
bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal ). Kemudian mereka juga meyakini tidak
diperlukan lagi ijtihad baru karena semua persoalan fiqh sudah dibahas oleh
ulama’ sebelumnya.
Munculnya
karya-karya yang tidak lagi melahirkan mazhab-mazhab fiqh yang baru menjadi
bukti kemunduran ilmu fiqh yang disebabkan awalnya bermula dari isu penutupan
pintu ijtihad. Namun justru disisi lain ushul fiqh sangat berbeda dengan fiqh.
Kesempurnan ushul fiqh semakin ditunjukkan ketika fiqh mengalami kemunduran.
Karena para ulama’ selanjutnya mengembangkan pembukuan dan pensistematisan
ushul fiqh yang dilakukan asy-syafi’i. Ilmu ushul fiqh berungsi sebagai
pengukuran validitas fiqh sebagai metode ijtihad. Maka pada masa ini ilmu ushul
fiqh memiliki peran yang sangat tinggi dalam perdebatan-perdebatan ilmiah dalam
bidang fiqh sebagai dasar dan senjata. Terkait dengan pengembangan ushul fiqh
Asy-Syafi’i para ulama’ yang lahir setelah Imam Syafi’i baik dari mazhab lain
maupun dari kelompok syafi’iyah ikut berperan dan ambil bagian dalam pengembangan
ilmu tersebut.
Walaupun ushul
fiqh yang ditulis Asy-Syafi’i dikembangkan oleh ulama’ dari berbagai mazhab,
hal itu tetap membuat dan menjadikan arah perkembangan ushul fiqh tetap
berbeda. Bahasan ushul fiqh Asy-Syafi’i sepenuhnya diperluas oleh para ulama’
syafi’iyah, namun disisi lain bahasan ushul fiqh Asy-Syafi’i dikembangan
sedikit berbeda dengan ulama’ dari mazhab lain.”[25]
Dalam sisi pengembangan mereka mengaitkan dengan prinsip madzhabnya
masing-masing, namun mereka tetap mengambil prinsip –prinsip ushul fiqh
asy-syafi’i. Contohnya: ulama’ hanafiyah menjadikan al-istihsan dan al urf
sebagai pembahasan yang dikembangkan, dan ulama’ Malikiyah menjadikan ijma’
ahli madinah, serta penetapan hukum dari sad adz-dzara’i menambahkan al-
maslahah al-mursalah.”[26]
Hal yang perlu digaris bawahi walaupun perkembangan ushul fiqh pada
masing-masing madzhab berbeda namun pada dasarnya mereka semua sepakat untuk
mengembangkan empat dalil yang telah ditegaskan oleh imam asy-syafi’i yaitu
al-qur’an, sunnah, al-ijma’, dan al-qiyas.[27]
“Setelah itu, arah pengembangan fiqh yang terlihat
jelas terbagi menjadi dua bagian yakni:
Pertama, kaidah ushul fiqh yang tidak terpengaruh dari furu’
madzhab yang disebut arah pemikiran murni. Fiqh syafi’iyah atau ushul aliran
mutakallimin adalah arah perkembangan fiqh yang tidak terikat oleh amal yang
ada dan berkembang pada kalangan imam madzhab.
Kedua , kaidah ushul fiqh terpengaruh oleh furu’ serta
mengembangkan ijtihad dari hasil ijtihad yang sebelumnya. Para pengikut madzhab
ini mereka memelihara hukum fiqh dari para ulama madzhabnya, dan menguatkan
madzhab mereka dengan mengemukakan kaidah – kaidah yang kuat. “
Seiring berjalannya waktu metode tersebut berkembang
dan menghasilkan kitab-kitab ushul fiqh dari aliran masing-masing. Kitab Jam’ul Jawami yang ditulis oleh Ibnu
Subki dari ulama mazhab Syafi’i, sedangkan Kitab al Tahrir yang disusun oleh
Kamaluddin Ibn Al-hummam yang ditulis dari mazhab Hanafi.[28]
C.
Penutup
Sejarah munculnya ilmu ushul sudah ada sejak masa Rasulullah, ilmu tersebut
muncul secara bersamaan dengan munculnya ilmu fiqh, meskipun dalam kenyataanya,
ilmu fiqh disusun terlebih dahulu dari ilmu ushul. Namun dalam parktiknya
manusia telah menggunakan ilmu ushul meskipun belum menjadi suatu disiplin ilmu
tersendiri. Karena ilmu ushul adalah alat untuk ber-istinbath dalam
menghasilkan ilmu fiqh. Pada masa Rasulullah, ilmu ushul belum terlihat di mata
masyarakat & kegunaanya masih
terbilang sedikit, karena apabila ada suatu perakara yang hukumnya tidak
terdapat dalam Alquran dan hadis maka akan langsung diputuskan oleh Nabi
sendiri. Dalam memutuskan suatu permasalahan yang tidak didapati dalam Alquran dan sunah Nabi memutuskannya
dengan jalan ijtihad, namun ijtihad Nabi dengan lainnya berbeda karena apabila
ditemukan kesalahan dalam ijtihadnya seketika itu turun ayat atau wahyu yang
memebenarkannya. Setelah beberapa kali kegiatan itu dilakukan oleh Nabi, beliau
pun memberi izin pula kepada beberapa sahabat untuk melakukan hal yang sama
sepertinya. Setelah itu, para sahabat satu per satu bermunculan melakukan
kegiatan yang didapatinya dari Nabi yaitu ijtihad. Jadi, ketika Rasulullah
sedang berada jauh dari mereka (sahabat) dan seketika itu muncul suatu perkara
yang hukumnya tidak didapati dalam Alquran dan sunnah, para sahabat sudah siap
untuk melakukan ijtihad. Ditambah lagi sahabat adalah orang yang sering bersama
dengan Nabi. Jadi, apapun yang terjadi pada diri Nabi dan suatu hal yang
diputuskan Nabi sahabat orang pertama yang mengetahuinnya. Dengan begitu,
mereka dapat langsung mengerti sekaligus memahami cara Nabi berijthad atau
memutuskan suatu hukum. Dalam hal ini sahabat melakukan ijtihad dengan
berpedoman Alquran dan sunnah sedang ketetapan yang dihasilkannya dinamakan ijma’
sahabat. Kemudian setelah masa Nabi beralih ke masa tabi’in, pada masa ini
metode istinbath semakin exis keberadaanya disebabkan perluasan wilayah
sehingga memunculkan banyak persoalan yang harus dipecahkan dengan jalan
ijtihad. Tahap terakhir yaitu tahap pembukuan
(Imam Mazhab). Pada tahap ini terdapat tiga masa yakni: masa sebelum Imam
Syafi’i yaitu dipelopori oleh Imam Hanafi dan Imam Maliki, masa Imam Hanafi
semakin terkenal kaidah ilmu ushul karena beliau banyak menggunakan qiyas dan
istihsan dalam berijtihad. Sedangkan Imam Malik cenderung ketat dalam
memutuskan suatu hukum karena adat/tradisi yang mempengaruhinya. Kemudian pada
masa Imam Syafi’i ilmu ushul fiqh berhasil dibukukan dan menjadi suatu disiplin
ilmu tersendiri, dengan bukti tersusunnya kitab ar-risalah yang
dicetuskan oleh Imam Syafi’i dan yang terakhir masa sesudah Imam Syafi’i, masa
ini ilmu ushul semakin menunjukkan perkembangannya, beberapa karya lahir pada
masa ini yakni pada abad ketiga, dan pada abad ini juga ilmu ushul mencapai
masa keemasannya. Namun ketika pertengahan abad keempat keberadaan ilmu ushul terjadi kemerosotan disebabkan
karena hilangnya rasa percaya diri dari kalangan mujtahidin. Dengan itu mereka
tidak lagi berani melakukan ijtihad dengan bebas karena mereka meyakini tidak
ada lagi ulama’ yang memiliki kapasitas keilmuan kecuali ke empat madzhab
mutlak ( Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Malik bin Anas da Ahmad bin Hanbal) dan
mereka juga meyakini bahwa ijtihad sudah tidak lagi diperlukan karena semua
persoalan fiqh sudah dibahas oleh imam sebelumnya. Meskipun ilmu ushul fiqh terjadi kemerosotan
menjadikannya semakin dipublikasikan dalam masyarakat. karena ilmu ushul adalah
senjata atau dasar dari adanya ilmu fiqh.
D.
Daftar Pustaka
Bakry, Nazar. 2003. Fiqh dan Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
Basiq Djalil, A. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana
Djazuli, Ahmad. 2005. Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan dan
Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana
Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Firdaus. 2004. Ushul Fiqh. Jakarta: Zikrul Media Intelektual
Koto, Alaidin. 2006. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta.
PT. Raja Grafindo Persada
Muthahhari, Murtadha & Ash-shadr, Baqir. 1993. Pengantar
Ushul Fiqhdan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Rahman Dahlan, Abd. 2016. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah
Shidiq, Sapiudin. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Catatan:
1.
Similarity
sebanyak 6%. Selamat!!!!
2.
Saya di kelas
sudah mengatakan tidak boleh mengambil referensi dari website dan blog. Mengapa
masih dilanggar?
3.
Abstrak tolong
diperbaiki, kok ada italic? Ingat, fokus makalah ini adalah pada aspek
sejarah ushul fikih.
4.
Memang ada
hadis Rasulullah yang menjelaskan tentang ushul fikih?
5.
Penutupnya
tolong dipisah menjadi beberapa paragraf, jangan hanya satu, sebab terlalu
panjang.
[1]
Zulhusainihero, http://zulhusainihero.wordpress.com/2012/17/makalah-ushul-fiqh-sejarah-perkembangan-fiqh/,
diakses pada tanggal 17 Februari 2018 pukul 10.23 WIB
[2]
Murtadha Muthahhari & Baqir Ash-shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul
Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), hlm. 4
[3]
Amir Syariduddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 42
[4]
Ahmad Dzajuli, Ilmu Fiqh Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm.7
[5]Amir
Syarifuddin, ......Op.Cit., hlm. 42
[6]
Staria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 16
[7]
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Cet.4, hlm. 81
[8]
Murtadha Muthahhari dan Baqir Ash-shadr,....Op.Cit., hlm. 149
[9]
Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet.1,
hlm.18-19
[10]
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2006), hlm.27
[12]Satria
Effendi, Ushul..., Op.Cit. hlm. 16-17
[13]
Alaiddin Koto,...,Op.Cit., hlm. 29
[14]
Basiq Djalil,...,Op.Cit., hlm.19
[15]Alaiddin
Koto,...,Op.Cit., hlm. 29-30
[16]
Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 43
[17]Alaiddin
Koto,...,Op.Cit., hlm. 32
[18]
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 3, hlm. 12
[19]Firdaus,
Ushul Fiqh, (Jakarta: Zikrul Media Intelektual, 2004), hlm.
12
[20]
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amza, 2016), Cet.4, hlm.24
[21]Alaiddin
Koto,...,Op.Cit., hlm. 33
[22]
Abd. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 24-26
[23]
Adb. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 24-25
[24]
Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 45
[25]
Abd. Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 26-27
[26]
Amir Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm.46
[27]Abd.
Rahman Dahlan,...,Op.Cit., hlm. 28-29
[28]Amir
Syarifuddin,...,Op.Cit., hlm. 48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar