MAKALAH
SHOLAT II: KETENTUAN ADZAN DAN IQOMAH, KETENTUAN
SHOLAT BERJAMA’AH, KETENTUAN MAKMUM MASBUQ DAN MAKMUM MUWAFIQ, CARA
MAKMUM MENGINGATKAN IMAM YANG BATAL DALAM SHOLAT BERJAMAAH, BACAAN DZIKIR
SESUDAH SHOLAT
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh I
Dosen
Pengampu: Benny Afwadzi, M.Hum
Disusun
Oleh :
1. Rizki Sofrul Khoiri (16110134)
2. Nur Ainiyah (16110138)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
UIN
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha
Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas
kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Tata Cara Sholat II.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal
dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar
pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari
sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun
tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala
saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang
Tata Cara Sholat IIini dapat memberikan manfaat terhadap pembaca.
Malang, Februari
2018
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.
Tujuan............................................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
A.
Ketentuan Adzan dan Iqomah......................................................................... 3
1.
Lafadz Adzan dan Iqamah.......................................................................... 5
2.
Syarat-syarat Adzan..................................................................................... 6
3.
Syarat-syarat Muadzin.................................................................................. 6
4.
Sunnah-sunnah Adzan................................................................................. 6
B.
Ketentuan Sholat Berjama’ah........................................................................... 7
1. Keutamaan Sholat Berjama’ah................................................................... 7
2. Hukum Sholat Berjama’ah......................................................................... 8
3. Hal-Hal yang Diperbolehkan untuk Meninggalkan
SholatBerjama’ah...... 9
4. Tata Cara Sholat Berjama’ah...................................................................... 11
5. Syarat Sahnya Sholat Makmum................................................................. 11
6. Posisi Sholat Imam dan Makmum.............................................................. 11
C.
Ketentuan Makmum Masbuq
dan Makmum Muwafiq..................................... 12
D.
Cara Makmum Mengingatkan
Imam yang Batal dalam Sholat Berjamaah...... 14
E.
Bacaan Dzikir Sesudah
Sholat......................................................................... 16
BAB III : PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 19
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah
memerintahkan setiap makhluk ciptaan-Nya untuk selalu menyembah kepada-Nya. Hal
ini sebagaimana yang termaktub dalam Qur’an surat Adz-Dzariyat ayat 56, yakni:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan Jin
dan Manusia melainkan untuk beribadah Ku ”.
Ayat diatas sangat jelas sekali
untuk dipahami oleh seseorang yang mengaku beriman kepada Allah SWT, yakni
tujuan penciptaan makhluk oleh Allah SWT tidak lain adalah agar mereka
beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, setiap manusia harus mengerti tata cara
beribadah yang benar.
Salah satu bentuk aplikasi dari
ibadah kepada Allah SWT adalah dengan melaksanakan sholat. Seperti dalam hadits
Rasulullah SAW, bahwa sholat merupakan amalan yang pertama kali di pertanyakan
ketika di yaumul Hisab. Oleh sebab itu, apabila sholatnyabaik dan sempurna,
maka seluruh amalannya yang lain akan baik pula. Dan sebaliknya, jika sholatnya
rusak atau tidak sempurna, maka amalan yang lain juga ikut rusak.
Predikat sempurna pada sholat, akan
didapatkan oleh orang muslim yang melaksanakan sholat dengan berjamaah. Karena
pahala orang yang sholat berjamaah leboh besar 27 derajat daripada orang yang
sholat sendirian.Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sholat
berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada sholat sendirian.” (Muttafaq
‘Alaih). Hadits ini mengindikasikan bahwa sangat besar keutamaan yang didapat
dari sholat berjamaah. Oleh karena itu, sangat penting bagi setiap muslim untuk
memahami semua pembahasan yang terkait dalam sholat berjamaah, agar sholat yang
dilakukannya dapat diterima oleh Allah SWT.
Oleh karena itu, dalam makalah ini
akan dibahas mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan sholat berjamaah,
yakni meliputi ketentuan Adzan dan iqomah, ketentuan makmum dalam sholat
berjamaah (masbuq dan muwafiq), hal-hal yang membatalkan sholat
berjamaah, hingga pembahasan dzikir setelah sholat.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ketentuan-ketentuan Adzan dan Iqomah?
2. Bagaimana ketentuan sholat berjama’ah?
3. Bagaimana kriteria dari makmum masbuq dan makmum muwafiq?
4. Bagaimana cara makmum mengingatkan Imam yang batal ketika sholat
berjamaah?
5. Bagaimana ketentuan-ketentuan dzikir sesudah sholat?
C. TujuanObservasi
1.
Untuk mengetahui ketentuan
Adzan dan Iqomah.
2.
Untuk mengetahui ketentuan
sholat berjama’ah.
3.
Untuk mengetahui kriteria
dari makmum masbuq dan makmum muwafiq.
4.
Untuk mengetahui cara
makmum mengingatkan Imam yang batal ketika sholat berjamaah.
5.
Untuk mengetahui bacaan
dzikir sesudah sholat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ketentuan Adzan dan Iqomah
Salah satu syarat didirikannya sholat
fardhu adalah masuknya waktu sholat. Maka, penting bagi setiap muslim untuk
mengetahui masuknya waktu sholat. Akan tetapi, beberapa saudara kita masih
banyak yang tidak mengetahui tentang waktu-waktu sholat, dikarenakan terlalu
sibuk dengan aktivitasnya. Oleh sebab itu, Allah SWT mensyari’atkan Adzan
sebagai pemberitahuan masuknya waktu sholat.
Adzan adalah pengumuman tentang
masuknya waktu sholat yang dibacakan dengan lafadz khsusus.[1]Sedangkan Iqomah adalah
pengumuman bahwa sholat segera akan dimulai dengan lafadz khusus yang akan
ditentukan.[2]Adzan
disyari’atkan pertama kali pada tahun pertama Hijriyah.[3] Hal ini disebabkan ketika
itu para sahabat merasa kesulitan untuk mengetahui waktu-waktu sholat, maka
mereka bermusyawarah dengan Rasulullah SAW untuk membuat tanda-tanda masuknya
waktu sholat. Setelah bermusyawarah dengan Rasulullah SAW, salah seorang
sahabat yang bernama Abdullah bin Zaid pada malam hari bermimpi bertemu dengan
seorang laki-laki. Singkat cerita kemudian lelaki tersebut mengajarkan lafadz
Adzan dan iqomah kepada Abdullah bin Zaid. Maka, pada keesokan harinya
Abdullah bin Zaid pergi untuk menemui Rasulullah SAW untuk menceritakan mimpi
yang dialaminya tersebut, dan Rasulullah SAW membenarkan mimpi tersebut. Lalu
Rasulullah SAW menyuruh Abdullah bin Zaid mengajarkan lafadz Adzan tersebut
kepada Bilal bin Rabah. Maka, sejak saat itulah Adzan disepakati sebagai
pertanda waktu masuknya Sholat bagi orang Islam.
Perintah Adzan, oleh Allah SWT
difirmankan dalam Q.S.al-Maidah ayat 58 dan al-Jumu’ah ayat 9, yakni:
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى
الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا
يَعْقِلُونَ
“Dan apabila
kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah
ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum
yang tidak mau mempergunakan akal.” QS. Al-Maidah ayat 58.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ
ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Hai
orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” QS. Al-Jumu’ah ayat
9.
Rasulullah SAW pernah bersabda;
إذا حضرت الصلاة فليأذن لكم
أحدكم
“Apabila
telah tiba (waktu) sholat, hendaknya salah seorang diantara kalian
mengumandangkan Adzan.” (H.R. Bukhari Muslim).
Dari hadits tersebut, hukum mengenai
Adzan menurut Imam Hambali yaitu adalah fardhukifayah, sedangkan imam
yang lain berpendapat bahwa hukmnya adalah sunnah mu’akkadah. Kecuali
ulama Syafi’iyah, mereka berpendapat bahwa Adzan juga disunnahkan bagi individu
yang tidak dapat mendengar Adzan dari dari orang lain untuk kemudian sholat
bersamanya.[4]
Fungsi utama Adzan adalah untuk
memberitahukan masuknya waktu sholat dan mengumpulkan orang-orang untuk
melaksanakan sholat berjama’ah. Maka Adzan ini merupakan suatu kesunnahan yang
dilakukan sebelum sholat berjama’ah dimulai. Maka ketika beberapa orang telah
berkumpul di masjid atau tempat-tempat sholat, seorang muadzin mengumandangkan
iqamah, dimana iqamah berfungsi sebagai pertanda bahwa sholat
berjamaah akan dimulai.Menurut Imam Syafi’e, orang yang iqamah adalah orang
yang mengumandangkan adzan. Telah diriwayatkan tentang hal ini, “Bahwa siapa
yang adzan, maka hendaklah ia yang iqamah”.[5]
Berikut ini adalah beberapa
penjelasan yang berkaitan dengan Adzan dan Iqomah:
1.
Lafadz Adzan dan Iqamah
a.
Lafadz Adzan
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ
اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ
إِلاَّاللهُ ، أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ ، اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ ،
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ ،
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ
اَكْبَر
لاَ إِلَهَ إِلاَّالله
b.
Lafadz iqamah:
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
لاَ إِلَهَ إِلاَّالله
أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ
اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ
حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ
قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ ، قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
اَللهُ اَكْبَر، اَللهُ اَكْبَر
لاَ إِلَهَ إِلاَّالله
b.
Kalimat Adzan harus
berbahasa Arab dan berurutan, serta diucapkan secara terus-menerus tanpa
ada jeda yang lama atau disela-selai dengan berbicara.
3. Syarat-syarat Muadzin
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
Mu’awiyah r.a. Rasullullah SAW bersabda;
إنّ المؤذنين أطول النّاس أعناقا يوم القيمة
“Sesungguhnya Muadzin adalah orang yang
paling panjang lehernya (paling mulia) di hari kiamat”.
a. Muslim.
b. Berakal dan Baligh (menurut ulama Malikiyah).
c. Laki-laki.
d. Memiliki suara yang keras.
4. Sunnah-sunnah Adzan
a. Suci dari hadats kecil dan besar
b. Suara yang bagus dan indah, agar mampu menarik perhatian
orang-orang supaya mau melaksanakan sholat berjama’ah.
c. Dilakukan dengan berdiri jika tidak ada udzur, dan juga
menutup salah satu telinga dengan 2 jari.
d. Menghadap kiblat.
e. Menambahkan kalimat tatswiib (الصلاة خير من النوم) pada adzan sholat shubuh.
f. Menjawab adzan.
1. Keutamaan Sholat Berjama’ah
Dalil tentang keutamaan sholat berjama’ah
diantaranya, Allah berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 102:
وَإِذَا كُنْتَ
فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ
وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَىٰ لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا
حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ
أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً ۚ
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ
مَرْضَىٰ أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ ۖ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ
أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Dan apabila kamu berada di
tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah
dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang
kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu], dan
hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin
supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu,
jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang
sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang
menghinakan bagi orang-orang kafir itu..” (An-Nisa’:102).
Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ صَلاةُ الْجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاةَ
الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً (متّفق عليه)
“Sholat berjama’ah lebih utama dari
sholat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.” (Muttafaq ‘Alaih).
Berdasarkan dalil-dalil diatas, dapat
diketahui tentang betapa pentingnya sholat berjama’ah itu khususnya bagi kaum
laki-laki. Karena banyak sekali keutamaan yang terdapat dalam sholat
berjama’ah. Dan diantara hikmah yang bisa diambil dari sholat berjama’ah adalah
terciptanya ukhuwah Islamiyah atau dapat mempererat persaudaraan kaum muslimin.
Dengan sholat berjamaah juga bisa memakmurkan rumah Allah (masjid). Sehingga
fungsi masjid untuk sholat bisa dilaksanakan.
Kaum wanita boleh melakukan sholat
berjama’ah di masjid asalkan tidak dikhawatirkan akan terjadi fitnah yang
membahayakan. Jika dikhawatirkan akan terjadi fitnah maka kaum wanita harus
sholat dirumah. Sholatnya wanita dirumah itu lebih utama.[7]
2. Hukum Sholat Berjama’ah
Beberapa pendapat dari para ulama mengenai
hukum sholat berjama’ah khususnya bagi seorang laki-laki, diantaranya:[8]
a.
Fardhu ‘Ain
Para ulama yang berpendapat bahwa
hukum sholat berjama’ah adalah fardhu ‘ain diantaranya: ‘Atha, Hasan al-Bashri,
al-Auza’I, Abu Tsur,Ahmad, Ibnu Mundzir, Ibnu Qayyim, dan Imam Hambali. Hal ini
berdasarkan sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah
bersabda, “Sholat yang paling terasa berat bagi orang munafik adalah sholat
isya’ dan subuh. Seandainya mereka tahu apa yang ada pada keduanya tentu mereka
akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh,ingin rasanya aku
memerintahkan orang-orang untuk sholat lalu diiqomati, kemudian kuperintahkan
seseorang (untuk menjadi imam) dan ia sholat bersama orang banyak. Kemudian aku
berangkat bersama beberapa orang dengan membawa kayu bakar menuju kaum yang
tidak menghadiri sholat.Lalu akan aku bakar rumah-rumah mereka dengan api”.
(HR. Ahmad, Bukhari, dan Muslim)
b.
Fardhu Kifayah
Para ulama yang berpendapat bahwa
hukum sholat berjama’ah adalah fardhu kifayah diantaranya: Imam Abu Hanifah,
Imam Malik, dan Imam Syafi’i. Jika dalam suatu masyarakat ada yang sudah
mengerjakan sholat berjam’ah maka gugurlah perintah itu.
c.
Sunnah Mu’akkad
Para ulama yang berpendapat bahwa
hukum sholat berjama’ah adalah sunnah mu’akkad diantaranya: Imam Abu Hanifah
dan Imam Malik. Mereka berdua mengeluarkan pendapat kedua selain pendapat
diatas, yaitu hukum shalat berjama’ah adalah sunnah mu’akkad. Artinya sholat
berjama’ah sangat dianjurkan bagi seorang muslim karena memiliki banyak
keutamaan.
3.
Hal-Hal yang
Diperbolehkan untuk Meninggalkan Sholat Berjama’ah
Seseorang diperbolehkan meninggalkan
sholat berjama’ah, khususnya bagi seorang laki-laki ketika dalam beberapa
kondisi:[9]
a.
Cuaca buruk (hujan
lebat, angin kencang,dan lain sebagainya)
Jabir r.a.berkata,” Kami (pernah)
keluar bersama Rasulullah dalam satu perjalanan, lalu kami ditimpa hujan
kemudian Nabi bersabda, “Siapa diantara kalian yang mau, dikendaraannya.”
(HR. Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).[10] Dari hadits tersebut
menjelaskan tentang diperbolehkannya meninggalkan sholat berjama’ah jika cuaca sangat
buruk.
b.
Ketika ada hajat yang
mendesak (makan atau buang air).
Ibnu Umar berkata bahwa RasulullahSAW
bersabda,”Apabila salah seorang kalian sedang makan, maka jaganlah
terburu-buru sehingga ia sudah menyelesaikan hajatnya, sekalipun sholat dengan
sudah diiqomatkan.”
Hadits tersebut menjelaskan tentang mendahulukan
hajat kemudian menunaikan sholat, karena yang demikian itu agar memperoleh
ketenangan dan kekhusyukan dalam sholat akibat memikirkan hajatnya saat sholat.
c.
Karena sakit atau
khawatir dengan adanya suatu bahaya
Rasulullah bersabda: “Barang siapa
mendengar adzan lalu ia tidak mendatanginya,maka tidak ada sholat baginya,
kecuali karena dua udzur.” Lalu sahabat bertanya, “Ya Rasulullah,apa
udzurnya? Nabi menjawab: “Takut atau sakit”. (HR. Abu Dawud dengan
sanad dhaif [Fiqh Syafi’iyah 1:240]).
Hadits tersebut meskipun sanadnya
dhaif akan tetapi bisa digunakan sebagai dasar dipebolehkan tidak berjama’ah
bagi orang yang sakit dan takut. Karena dalam kondisi orang yang memiliki sakit
tertentu misalnya lumpuh, atau sakit parah maka akan melakukan sholat sendiri
karena menyesuaikan dengan kondisi kesehatannya atau kondisi tubuhnya.
d.
Setelah memakan
makanan yang memiliki aroma busuk atau menyengat
Jabir r.a meriwayatkan bahwa Nabi
pernah bersabda: “Siapa yang memakan bawang atau dasun, hendaklah ia menjauhi
masjid kami (tempat sholat kami).” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits tersebut menjelaskan bahwa
orang yang memakan makanan beraroma menyengat atau busuk maka diperbolehkan
tidak berjama’ah karena hal tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu kenyamanan
makmum yang lain.
4.
Tata Cara Sholat
Berjama’ah
a.
Syarat-syarat menjadi
imam:
Islam; Baligh; Berakal; Berlidah
fasih atau imam dapat membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar; Memiliki
pemahaman agama yang baik; dan Suci dari hadats dan najis.[11]
1)
Imam diperintahkan
untuk memperpendek bacaan.
2)
Imam lebih
memanjangkan rakaat pertama.
3)
Sebelum memulai
sholat imam harus mengontrol shaf jama’ah dan meyuruh jama’ah untuk meluruskan
dan merapatkan shaf.[13]
5.
Syarat Sahnya Sholat
Makmum:
a.
Niat mengikuti imam.
b.
Tidak boleh berdiri
didepan imam. Makmum boleh berdiri disamping atau dibelakang imam.
c.
Makmum diharuskan
untuk mengetahui segala perbuatan yang sedang dilakukan oleh imam dengan cara
melihat imam atau mendengarkan suaranya.
6.
Posisi Sholat Imam
dan Makmum
a.
Jika hanya sholat
berjama’ah dua orang atau hanya ada imam dan satu makmum maka posisi makmum
disebelah kanan dari imam. Akan tetapi, jika ada dua orang atau bahkan lebih
maka posisi makmum berada dibelakang imam. Berdasarkan hadits yang diterima
dari Jabir:“Rasulullah berdiri untuk melakukan sholat, lalu saya datang dan
berdiri disebelah kirinya, maka ditariklah tanganku dan dibawanya berputar
hingga saya berada disebelah kanannya, kemudian datang Jabbar bin Sakhr dan
berdiri disebelah kiri Rasulullah, maka tangan kami pun ditarik beliau hingga
kami berdiri tepat dibelakangnya.” (HR. Muslim dan Abu Dawud).[15]
b.
Jika ada seorang
perempuan yang ingin mengikuti sholat berjama’ah maka ia tidak boleh bergabung
dalam barisan shaf laki-laki dan harus berdiri dibelakang barisan laki-laki.
Berdasarkan hadits dari Anas:“Saya sholat dirumah bersama seorang anak yatim
dibelakang nabi, sedang ibuku Ummu Sulaim dibelakang kami.”(Muttafaq
‘Alaih).[16]
c.
Posisi dari anak-anak
dan kaum wanita adalah dibelakang kaum laki-laki. Berdasarkan sebuah hadits:“Rasulullah
menempatkan kaum laki-laki didepan anak-anak dan sebaliknya anak-anak
dibelakang mereka, sedang kaum wanita dibelakang anak-anak.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud).[17]
C. Ketentuan Makmum Masbuq dan Makmum Muwafiq
Makmum masbuq adalah makmum yang tertinggal jumlah rakaatnya dalam sholat.
Dikatakan makmum masbuq ketika makmum
tersebut tidak membaca Al-Fatihah saat rakaat pertama imam. Sedangkan makmum
muwafiq adalah makmum yang sholatnya mengikuti imam dan membaca al-fatihah pada
saat rakaat pertama imam. Makmum masbuq diharuskan
untuk mengganti jumlah rakaat sholat sebanyak yang tertinggal setelah imam
menyelesaikan sholat berjama’ah ditandai dengan salam. Seseorang masih bisa
dikatakan sebagai makmum masbuq dan
bisa dikatakan sholat berjama’ah jika orang tersebut masih bisa mengikuti satu
rukun yang dilakukan oleh imam sebelum imam tersebut salam, yaitu imam masih
dalam keadaan tasyahud akhir. Setelah imam menyelesaikan sholat
berjama’ah ditandai dengan salam, maka orang tersebut harus mengganti jumlah
rakaat yang tertingal.[18]
Rasulullah bersabda : “Apabila
salah seorang diantara kalian memasuki shalat saat imam dalam satu
keadaan,bertindaklah sesuai tindakan imam saat itu.” (HR Tirmidzi dalam Nail al-Authar 2: 1399). Hadits tersebut
menjelaskan bahwa jika seorang makmum itu terlambat dalam sholat berjama’ah
maka setelah melakukan takbiratul ihram dia harus mengikuti tindakan imam saat
itu. Jika imam dalam kondisi sujud maka setelah takbiratul ihram makmum masbuq harus mengikuti imam sujud. Jika
imam sedang duduk diantara dua sujud atau duduk tasyahud maka setelah takbiratul
ihram makmum masbuq harus mengikuti
duduk diantara dua sujud atau duduk tasyahud.
Menurut madzab Hanafi, rakaat yang
didapatkan oleh makmum masbuq ketika
shalat bersama imam adalah bagian akhir dari shalatnya, jadi setelah imam salam
maka makmum mengganti bagian rakaat awalnya. Akan tetapi, menurut ulama yang
lain rakaat yang didapatkan oleh makmum masbuq
ketika shalat bersama dengan imam adalah bagian awal sholatnya, sehingga ketika
imam telah salam, maka makmum tersebut menyempurnakan sholat atau mengati
bagian akhirnya.[19]
Misalnya, ketika mengerjakan sholat
dzuhur dan terlambat saat sudah memasuki rakaat yang ketiga atau bisa dikatakan
hanya memperoleh dua rakaat terakhir sholat bersama dengan imam, maka menurut
madzab Hanafi cara mengganti dan menyempurnakan sholatnya adalah ketika selesai
salam,makmum masbuq tersebut harus
mengganti rakaat pertama dengan membaca Al-Fatihah serta surat dalam Al-Qur’an
dan mengganti rakaat kedua dengan melakukan duduk tasyahud awal.
Sebaliknya, ulama madzab lainnya berpendapat bahwa cara mengganti dan
menyempurnakan sholatnya adalah ketika selesai salam, makmum masbuq tersebut harus mengganti rakaat
yang ketiga dan keempat, karena dua rakaat yang didapatkan bersama imam
dihitung awal sholat, maka yang diganti adalah rakaat akhir sholat.
Abu Qatadah berkata: “Ketika kami
sholat bersama Nabi, tiba-tiba beliau mendengar hiruk pikuk orang-orang yang
datang. Usai shalat beliau bertanya, ada apa kalian tadi?”, mereka
menjawab: “Kami tergesa-gesa untuk mengkuti sholat.” Maka Rasulullah
bersabda: “Jangan berbuat seperti itu. Apabila kalian mendatangi sholat
hendaklah tenang. Apa yang kalian jumpai (dari sholatnya imam), maka sholatlah
seperti itu, dan apa yang kalian tinggalkan, sempurnakanlah.” (HR. Ahmad,
Bukhari, dan Muslim).[20]
Hadits tersebut menjelaskan bahwa
seseorang yang hendak berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat berjama’ah
maka tidak boleh tergesa-gesa. Hal ini dikarenakan jika seseorang tergesa-gesa
maka akan sulit untuk memperoleh ketenangan dalam sholat, jika seseorang tidak
memperoleh ketenangan dalam sholat maka akan sulit pula untuk memperoleh
kekhusyukan didalam sholat.
D. Cara Makmum Mengingatkan Imam yang Batal dalam Sholat
Berjamaah
Dalam sebuah ungkapan mengatakan,
الإنسان محل الخطأ و النسيان
“Manusia adalah tempatnya salah dan lupa”.
Artinya, bahwa setiap manusia tidak akan pernah terlepas dari sifat salah dan
lupa. Hal ini juga berlaku ketika manusia mendirikan sholat, baik dia menjadi
imam maupun makmum. Jika hal tersebut terjadi pada imam ketika sholat
berjamaah, maka kewajiban makmum adalah mengingatkan imam tersebut.Dalam
madzhab Hanabilah, jika seorang imam lupa tidak melakukan salah satu rukun fi’liyah,
maka seorang makmum harus mengingatkan imam tersebut. Berikut adalah beberapa cara
yang bisa dilakukan oleh makmum untuk mengingtkan imam yang salah dalam sholat:
1.
Ketika imam lupa akan salah
satu rukun sholat, maka makmum laki-laki dapat mengingatkannya dengan
mengucapkan kalimat tasbih.
2.
Bagi makmum wanita,
mengingatkan imam yang lupa/ salah dalam sholat dengan cara menepuk punggung
tangan kiri dengan tangan kanan, atau sebaliknya.
Adapun pembetulan makmum pada
imamnya atas kesalahan bacaan Al-Qur’an, maka hukumnya diperinci oleh para
ulama sebagai berikut:[21]
1.
Imam Hanafi
Jika
seorang imam lupa dalam membaca ayat selanjutnya, maka makmum boleh memberitahu
imam bacaan yang benar, akan tetapi dengan niat membetulkan, bukan dengan niat
membaca. Dan jika sang imam berpindah pada ayat lain, maka sholat makmum yang
memberitahukan itu batal, dan sholat imam juga batal jika mengikuti ucapan
makmum.[22]
Jadi, seorang makmum hendaknya tidak tergesa-gesa untuk mengingatkan kesalahan
imam, karena hukumnya bisa menjadi makruh. Oleh sebab itu, jika imam
benar-benar dalam keadaan lupa, maka sebaiknya imam berpindah pada ayat atau
surat lain atau langsung ruku’.
2.
Imam Maliki
Seorang
makmum boleh membetulkan bacaan imam, jika imam memang berhenti membaca dan
bimbang. Maka tidak membatalkan sholat makmum, bahkan hukumnya wajib untuk
mengingatkan.
3.
Imam Syafi’i
Bagi
makmum yang hendak mengingatkan kesalahan bacaan imam, maka ia harus memiliki
niat untuk membaca ayat tersebut. Jadi, jika seorang makmum tersebut memiliki
niat hanya untuk mengingatkan kesalahan imam, menurut madzhab Syafi’i makmum
tersebut sholatnya batal.
4.
Imam Hanabilah
Seorang
makmum, harus membetulkan kesalahan imam jika imam lupa atau tidak bisa
melanjutkan bacaan ayatnya, karena, sah tidaknya sholat berjama’ah bergantung
pada imam.
E. Bacaan Dzikir Sesudah Sholat
Wirid, dzikir dan doa merupakan tiga
kata yang memiliki keterkaitan yang sangat erat. Yang disebut dengan wirid
(bentuk jamaknya adalah awrad) secara istilah adalah ibadah lahiriyah
yang dilanggengkan seperti sholat, puasa, membaca al-Qur’an dan membaca dzikir.[23] Wirid tersebut dilakukan
dengan melafalkan dzikir-dzikir dengan lisan secara rutin. Selanjutnya,
keterkaitan dzikir dengan do’a adalah seringkali dzikir itu berisi do’a dan
juga do’a tersebut seringkali berupa dzikir. Maka, dalam berwirid seseorang
akan melafalakan kalimat dzikir yang berupa do’a-do’a dengan tujuan yakni
mengingat Allah SWT.
Sebagai penyempurna sholat fardhu,
maka dzikir sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk diamalkan setelah
sholat fardhu. Karena sejatinya salah satu waktu yang mustajab untuk
berdo'a adalah setelah sholat fardhu. Hal ini seperti hadits yang disampaikan
oleh Rasulullah SAW.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى الثَّقَفِيُّ
الْمَرْوَزِيُّ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ سَابِطٍ عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ :قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الدُّعَاءِ أَسْمَعُ قَالَ جَوْفَ اللَّيْلِ الْآخِرِ
وَدُبُرَ الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوبَاتِ.
“Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Yahya Ats Tsaqafi Al Marwazi telah menceritakan kepada kami Hafsh
bin Ghiyats dari Ibnu Juraij dari Abdurrahman bin Sabith dari Abu Umamah ia
berkata; Rasulullah shallallahu wa'alaihi wa sallam ditanya; wahai Rasulullah,
doa apakah yang paling di dengar (oleh Allah)? Beliau berkata: “Doa di
tengah malam terakhir, serta setelah shalat-shalat wajib.”[24]
Berikut adalah urutan wirid atau
dzikir setelah sholat fardhu:
1. لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ
وَلَهُ اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
Berdasarkan hadits no: 933 Imam Muslim
2. اَللَّهُمَّ
أَنْتَ السَّلاَمُ وَمِنْكَ السَّلاَمُ وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ،
فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِالسَّلاَمُ وَأَدْخِلْنَا اْلجَنَّةَ دَارَ السَّلاَمِ
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَاالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ
Berdasarkan HR. Muslim 1/414.[25]
3. الفاتحه & أية القرسي
4. إِلَهَنَا
رَبَّنَا أَنْتَ مَوْلاَنَا سُبْحَانَ اللهِ:سُبْحَانَ اللهِ 33x
5. سُبْحَانَ اللهِ
وَبِحَمْدِهِ دَائِمًا أَبَدًا اَلْحَمْدُ ِللهِ: اَلْحَمْدُ ِللهِ 33x
6. اْلحَمْدُ ِللهِ
عَلىَ كُلِّ حَالٍ وَفِي كُلِّ حَالٍ وَبِنِعْمَةِ يَا كَرِيْم:اللهُ أَكْبَرُ34x
Berdasarkan HR. Muslim 1/414.[26]
7. اللهُ أَكْبَرُ
كَبِيْرًا وَاْلحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً،
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَلَهُ
اْلحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. وَلاَ حَوْلَ
وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ
Berdasarkan
hadits no: 943 Imam Muslim.
8. أَسْتَغْفِرُ
اللهَ اْلعَظِيْمَ (ثلاث مرات)، إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ
9. أَفْضَلُ
الذِّكْرِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ:لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
10.
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَلِمَةُ حَقٍّ عَلَيْهَا نَحْيَا وَعَلَيْهَا نَمُوْتُ
وَبِهَا نُبْعَثُ إِنْ شَآءَ اللهُ مِنَ اْلآمِنِيْنَ.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ketentuan Adzan sebagai
pertanda masuknya waktu sholat meliputi syarat-syarat Adzan, syarat-syarat Muadzin
dan sunnah-sunnah dalam Adzan. Sementara iqomah dilaksanakan sebagai
pertanda bahwa sholat hendak dimulai.
2.
Sholat berjama’ah hukumnya
adalah fardhu ain, fardhu kifayah dan sunnah mu’akkad.
Sholat berjama’ah sangat dianjurkan oleh syar’iat, akan tetapi dalam kondisi
yang sangat dhorurot maka boleh sholat sendirian. Dalam ketentuan sholat
berjama’ah juga dibahas mengenai syarat-syarat menjadi imam, dan beberapa hal
yang dapat membatalkan sholat berjama’ah.
3.
Makmum masbuqialah
makmum yang tertinggal satu rukun sholat atau lebih dari Imam, akan tetapi ia
masih menjumpai satu rukun sholatnya Imam (sebelum salam). Sementara makmum muwafiq
adalah makmum yang mengikuti rukun sholatnya Imam secara sempurna.
4.
Dalam sholat, ketika imam
melakukan kesalahan/lupa baik dalam bacaan surat al-Fatihah maupun surat
pendek, atau kesalahan/lupa melakukan rukun fi’liyah, maka makmum harus
mengingatkan imam tersebut. Bagi makmum laki-laki dapat mengingatkannya dengan
mengucapkan kalimat tasbih. Sedangkan makmum wanita, mengingatkan dengan
cara menepuk punggung tangan kiri dengan tangan kanan, atau sebaliknya.
5.
Dzikir sangat dianjurkan
oleh Syari’at, karena bertujuan agar manusia selalu ingat kepada Allah SWT.
Dzikir tersebut berisikan do’a-do’a yang kebanyakan diambil dari ayat-ayat
al-Qur’an. Dzikir dianjurkan oleh Rasulullah SAW untuk dilaksanakan setelah sholat
fardhu, karena salah satu waktu yang sangat mustajab dalam berdo’a dan
berdzikir adalah selesai sholat fardhu.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khalafi, Abdul Azhim bin
Badawi. 2006. Al-Wajiz. Terjemahan oleh Ma’ruf Abdul Jalil. Jakarta:
Pustaka as-Sunnah.
Ar-Rahbawi,Abdul Qadir. 2007.Fikih
Shalat Empat Madzhab. (Cetakan ke-7).Terjemahan oleh Abu Firly Bassam Taqiy.
Yogyakarta: Hikam Pustaka.
Ar-Rahbawi,Syaikh Abdul Qadir.
2008.Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab.(Cetakan ke-7).Terjemahan
oleh H. Ahmad Yaman. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Ar-Rahbawi,Abdul Qadir. 2008.Salat Empat Madzab. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Ash-Shawwaf,Muhammad Mahmud.2007.Sempurnakan
Sholatmu. Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2013. Fiqh
Islam Wa Adillatuhu.Jilid 2, (Cetakan ke-1). Terjemahan Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk. Jakarta: Pustaka Azzam.
Bashori,Agus Hasan.2017. Wirid,
Dzikir & Do’a Praktis. Malang: Yayasan Bina al-Mujtama’.
Fauzan, Asy-Syaikh Dr. Shalih bin
Fauzan bin ‘AbdillahAalu. 2005.Ringkasan Fiqh Islami. (Cetakan Ke-1).Terjemahan
oleh Abu Nizar Arif Mufid.Depok: Daar Al-‘Ashimah.
Sobari,Abdul Manan bin H.
Muhammad. 2009.Jangan Asal Shalat. Bandung: Pustaka Hidayah.
Syafi’i,Imam. 2013. Ringkasan
Kitab Al Umm. (Cetakan Ke-10).Terjemahan Mohammad Yasir Abd Mutholib.
Jakarta: Pustaka Azzam.
[1]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Fikih Shalat Empat Madzhab, terj.Abu Firly
Bassam Taqiy, (Yogyakarta: Hikam Pustaka, 2007), hlm. 176.
[2]
Syaikh Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Panduan Lengkap Shalat Menurut Empat Madzhab,
terj.H. Ahmad Yaman, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), Cet. 5, hlm. 202.
[3]
Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Aalu Fauzan, Ringkasan Fiqh
Islami, terj.Abu Nizar Arif Mufid, (Depok: Daar Al-‘Ashimah, 2005), Cet. 1,
hlm. 127.
[4]
Abdul Qadir Ar-Rahbawi, Op. Cit., hlm, 177.
[6]Ibid.,
hlm. 182.
[7] Muhammad Mahmud Ash-Shawwaf, Sempurnakan Sholatmu, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2007), hlm. 150.
[8] Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Jangan Asal Shalat, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2009), hlm. 224-225.
[10] Abdul Qadir ar Rahbawi, Salat Empat Madzab, (Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2008), hlm. 336.
[12]Abdul Azhim bin Badawi al Khalafi, Al-Wajiz terj. Ma’ruf Abdul Jalil,
(Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2006), hlm. 274-275.
[14]Abdul Qadir ar Rahbawi,Salat Empat...,Op. Cit., hlm. 327-333.
[18]Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op.
Cit.,hlm. 253-254.
[19]Abdul Qadir ar Rahbawi, Salat Empat ..., Op. Cit., hlm. 340.
[20]Abdul Manan bin H. Muhammad Sobari, Op.
Cit.,hlm. 255.
[21]
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, terj. Abdul Hayyie
al-Kattani, dkk., Jilid 2, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2013), Cet. 1, hlm. 181.
[22]Ibid.,
hlm. 181.
[23]
Agus Hasan Bashori, Wirid, Dzikir & Do’a Praktis, (Malang: Yayasan
Bina al-Mujtama’, 2017), hlm. 26.
[24]Ibid.,
hlm. 82.
[25]Ibid.,
hlm. 82.
[26]Ibid.,
hlm. 85.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar