NASIKH DAN MANSUKH
Adellya Rintan Wihenda, Nur Afni Fitria
Cahyaningsih, dan Goza Septian Lianawati
Mahasiswa
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pendidikan IPS D
2016
e-mail :
gozaseptia67@gmail.com
Abstract
In this paper
discusses the nature of research answering Nasikh-Mansukh in the Qur'an which
is like the definition, form of form, and the Wisdom of Nasikh-Mansukh in the
Qur'an. Some hadith scholars when they have difficulty in combining two hadiths
that collide and can not be harmonized, and can not be harmonized, and between
them can be seen the meaning that comes later. Nasikh Mansukh to know the
dynamics of a law. The discussion of Nasikh Mansukh in the Qur'an is very
important because to be understood and studied properly because it would be
fatal if in understanding it in the present context. Nasikh-Mansukh identifies
the hadiths which can be done through a search on the light of the Prophet's
statement.
Abstrak
Makalah
ini membahas tentang hakikat penelitian menjawab Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an
yang seperti definisi, Bentuk bentuk, dan Hikmah Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an.
Sebagian ahli hadits apabila mereka kesulitan dalam menggabungkan dua hadits
yang bertabrakan dan tidak dapat diharmoniskan, dan tidak dapat diharmoniskan,
serta diantara keduanya dapat diketahui makna yang muncul belakangan. Nasikh
Mansukh untuk mengetahui dinamika suatu hukum. Pembahasan Nasikh Mansukh dalam
Al-Qur’an sangat penting karena untuk difahami dan dipelajari dengan benar
karena akan berakibat fatal apabila dalam memahaminya dalam konteks kekinian. Nasikh-Mansukh
mengidentifikasi hadits-hadits yang dapat dilakukan melalui penelusuran pada
pernyataan terang dari Nabi.
Keyword : Nasikh, Mansukh
A.
PENDAHULUAN
Sebagai
kitab suci al-qur’an merupakan sumber pokok ajaran keagamaan. Karena itu,
interpretasi terhadap al-qur’an menjadi sangat penting untuk memahami sebagai
islam yang haqiqi. Dan dengan sendirinya, ilmu-ilmu yang menjadi instrument
pemahaman terhadap teks-teks al-qur’an juga menjadi penting seperti sejarah dan
sebab-sebab turunnya al-qur’an yang meliputi
asbabun nuzul, makki madani dan nasikh
mansukh.[1]
Ilmu
nasikh dan mansukh adalah ilmu yang sangat prinsip bagi siapa saja yang ingin
mengkaji hukum-hukum syari’ah, karena tidak mungkin menyimpulkan suatu hukum
tanpa mengetahui teks-teks suci yang tergolong nasikh dan mansukh. Sebab dengan
memahaminya menghilangkan semua kerancuan tentang teks sebuah hadist dan dapat
mengetahui sejauh mana masa berlaku subuah hadist dan pengamalannya di dunia
islam. Nasakh dapat dilakukan jika jalan taufiq tidak apat dilakukan. Itu pun
data sejarah kedua hadist yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa
diketahui taqaddum dan ta’akhur dari kedua hadist itu metode nasakh mustahil dapat dilakukan.
Persoalan nasakh ini tidak luput dari perhatian ahli hadist, baik yang
berhubungan dengan kaidah-kaidah tentang nasakh maupun pengumpulan
hadist-hadist yang berkaitan dengan nasakh itu sendiri.
Penggunaan
istilah naskh dalam pengertian umumnya meningkatkan jumlah ayat-ayat yang
dihapus hingga, menurut Dehlawi, mecapai lima ratus ayat. Sudah menjadi tren
dikalangan para sarjana utuk mengapus ayat-ayat yang dihapus. Pengapusan
ayat-ayat tertentu dalam al-qur’an umumnya tidak disukai dengan berbagai metodologi
dipakai untuk mengurangi jumlah mereka atau menolak pengahusannya meskipun
tetap menerima kemungkinan penghapusan semacam itu.[2]
Mayoritas ulama’ menyepakati kemungkinan terjadinya nasakh dalam syariat.
Pengakuan ada tidaknya nasikh mansukh dalam al-qur’an memiliki implikasi yang
sangat serius bagi umat manusia sehari-hari.
Dalam
kerangka teori keilmuan, naskh difahami sebagai sebuah kenyataan adanya sebuah
hadist mukhtalif bermuatan taklif. Hadist yang lebih awal datang (wurud)
dipandang tidak berlaku lagi karena ada hadist lain yang datang kemudian dalam
kasus yang sama dengan makna yang berlawanan dan tidak dapat ditaufiqkan.
Artinya nasakh tidak ada kenyataan ikhtilaf antara hadist-hadist yang setema.
Ikhtilaf ini sendiri harus terjadi pada hadist-hadit yang bermuatan hukum
taklifi. Selanjutnya, nasakh itu sendiri sangat terikat dengan waktu awal
(taqdum) dan akhir datang (ta’akhkhur). Yang datang lebih awal (taqaddum)
disebut mansukh dan yang datang kemudian (mutaakhir) disebut nasikh atau
mahmud.
B.
Definisi
Nasikh Dan Mansukh
Secara
bahasa Nasikh-Mansukh ada 2 arti yakni al izzazah berarti menghilangkan atau
menghapus dan al-naqal berarti memindahkan. Jadi naskh mansukh menghilangkan
atau menghapus hadis mansukh dan memindahkan pada hukum lain. Secara istilah
penghapusan hukum yang terdahulu oleh syari’ (allah atau nabi) dengan hukum
yang datang kemudian.[3]
Secara literal
naskh bermakna mengganti sesuatu dengan sesuatu yang lain (dan) penghapusan
akan tetapi dalam studi al-quran dan hukum islam, naskh bermakna verivikasi berbagai
model penghapusan yang berbeda.[4]
Para ulama telah panjang dan lebar bertukar pikiran tentang ta’rif nasakh
menurut istilah karena lafadz nasakh mengandung beberapa makna dari segi
bahasa.
a.
Nasakh dapat bermakna izalah (menghilangkan),
seperti firman dalam surat Al Hajj ayat 52 :
Yang artinya maka Allah menghilangkan
apa yang setan menampakkan kemudian Allah menjelaskan ayat ayat nya
b.
Nasakh dapat bermakna tapdil
(mengganti/menukar) seperti An Nahl ayat 101 :
Yang artinya dan apabila kami
mengganti/menukar sesuatu ayat di tempat suatu ayat yang lain.
c.
Nasakh dapat bermakna tahwil
(memalingkan), seperti memalingkan pusaka dari seseorang kepada orang lain.
Sebagian ulama
menolak makna keempat ini. Mereka berhujjah bahwa sinasih tidak dapat
mendatangkan lafadz lafadz yang lain. Akan tetapi As sya’dih berhujah untuk
orang yang memakai makna ini dengan firman Allah : inna kunna nastansikhu
kuntum takmalun = bahwasanya kami menukilkan apa yang kamu kerjakan QS (45, al
jatsiyah : 29). Yang dipautkan dengan firman Allah “wa innahu fi ummil kitabi
ladaina la aliyyun hakim = sesungguhnya dia,yang berada diummul kitab di sisi
kami sungguh tinggi lagi kokoh. (QS.43,az-zuhruf:4)
Sumber perbedaan pendapat dalam
mendefinisikan lafadz naskh kembali kepada membatasi makna kata secara lughah
dan membatasi makna kata secara istilah, supaya penggunaan lafadz naskh yang
dilakukan oleh al-quran dalam firman allah ayat 106 surah al-baqarah,
menerangkan suatu peristiwa yang mempunyai kedudukan yang besar.[5]
Pakar hadits
memiliki sikap dan pandangan yang beragam tentang Nasakh. Mayoritas mereka
sangat berhati hati menyatakan suatu hadits Mansukh. Sementara yang lain tidak
demikian, dengan ungkapan yang bernada tegas mereka mengungkapkan, “menurut pendapat
yang paling shahih hadits ini Mansukh”. Keragaman pandangan ini agaknya sangat
ditentukan oleh tingkat penguasaan data dan informasi serta tingkat
kefaqihannya. Mereka menyikapi persoalan agama ini tampak khilaf. Faktor
menunjukkan bahwa nyaris tidak ditemukan kesefahaman diantara para ahli hadits
pada sejumlah kasus Hadits Ikhtilaf yang dinyatakan oleh sebagian mereka sebagi
Mansukh. Ketika sesuatu hadits dinyatakan Mansukh oleh sebagian ulama pada saja
ulama lain yang tidak menyatakan demikian.
Bahwa ini
memberi makna pernyataan mansukh suatu hadits lebih banyak didasari oleh
pemahaman lepas tanpa didukung landasan filosofis dan data historis yang
memadai. Misalnya, tentang hadits yang menjelaskan bahwa rasulullah SAW buang
air kecil. Bagi ulama yang berpandangan luas berpahaman mendalam, sudah cukup
jelas jalan penyelesainnya, sebagaimana ditegaskan abu hattim. Namun,tetap ada
ulama yang menegaskan bahwa pendapat yang benar adalah yang menyatakan bahwa
hadits riwayat huzaifah Mansukh.[6]
C.
Bentuk-Bentuk
Nasikh Dan Mansukh
Bentuk-bentuk
Naskh adalah sebagai berikut :
a.
Penghapusan terhadap hukum dan
bacaan secara bersamaan.
Misalnya ayat
tentang perang (qital) pada ayat 65 surah al-Anfal yang mengharuskan satu orang
muslim melawan sepuluh kafir, berikut ayatnya :
Yang artinya : “hai
nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka
akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang
kafir itu kaum yang tidak mengerti”.
Ayat ini menurut
para ulama di naskh oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmin melawan dua
orang kafir pada yat 66 dalam surat yang sama : Artinya: “sekarang Allah telah
meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan, maka jika
diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus orang kafir, dan jika diantara kamu terdapat seribu orang (yang sabar),
mereka dapat dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.
b.
Naskh hukum sedangkan tilawahnya
masih tetap.
Misalnya Naskh
hukum ayat-ayat ‘iddah selama satu tahun, sedang tilawahnya tetap. Naskh
seperti ini banyak disusun di kitab-kitab yang didalamnya disebutkan bermacam
ayat. Setelah diteliti, ayat-ayat ini hanya sedikit jumlahnya. Ayat yang
dijadikan contoh antara lain ayat yang mendahulukan sedekah dengan firmannya :
“Hai orang-orang
beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
megeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh
(yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampu lagi Maha
Penyayang. “ (Q.S. al-Mujadilah: 12)
Ayat ini di
naskh kan oleh ayat al-Mujadilah: 13
“Apakah kamu
takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan
pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah
memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah
kepada Allah dan Rasul-nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Naskh seperti in
sedikit ditemukan dalam al-Qur’an, namun ada juga orang yang berlebihan dalam
menetapkan naskh seperti ini. Naskh ini setidaknya mempunyai dua hikmah : karna
al-Qur’an firman Allah, dan membacanya mendapat pahala, maka ditetapkan
tilawahnya. Dan agar mengingat tentang ringan atau beratnya hukum yang dihapus.
c.
Naskh tilawah sedangkan hukumnya
tetap berlaku.
Misalnya,
semacam kewajiban istri tetap dirumah suami dengan memperoleh nafkah selama
setahun penuh (Q.S. al-Baqarah:240) di nasakhkan oleh ayat yang menentukan
iddah mati empat bulan sepuluh hari (Q.S. al-Baqarah: 234).
Misalnya lagi :
dihapuskannya kiblat ke bait al-Maqdis (Q.S. al-Baqarah; 142) di naskh-kan oleh
(Q.S. al-Baqarah: 144) dengan menuyuruh menhadap ke masjid al-haram.
Faedah
ditetapkannya bacaan dan di nasakhkan hukumnya ada dua: pertama mengingat
al-Qur’an adalah kalam Allah agar mendapat pahala bagi yang membacanya. Kedua
meringankan beban hukum bagi para mukallaf.
Sebagianulama’
ada yang tidakmengakuinaakhsemacamini, karenakhabarnyabersifatahad. Yang
diriwayatkanolehperiwayattsiqqahtidakdapatditerimadalamhalanaskh,
sehinngamerasacukupdenganpendapatataumujtahid. Adapun yang
benaradalahkbalikandari 2 pendapatitu.
Dalamnasikhmansukhjugaterdapatpembagiandanmacamnaskmansukh.
Diantaranyaadalah:
a. Naskh al-qur’andengan al-qur’an. Para ulama’ yang
mengakuiadanyanaskh, telahsepakatdenganadanyanaskh al-qur’andengan al-qur’an,
danitupuntelahterjadimenurutmereka. Salah satucontohnyaayat ‘iidahsatutahundinyatakandenganayat
‘iddahempatbulan 10 hari.
b. Nasakh al-qur’andengansunnah, nasakh yang
semacaminiterbagimenjadi 2, pertamanaskh al-qur’andenganhadistahad.
Jumhurulama’ tidakbisa me-nasakh-kan al-qur’an, karena al-qur’anadlahnask yang
mutawatir, menunjukkankeyakinantanpaadanyapradugaataudugaanterhadapnya.
Sedangkanhadistahadadalahnaskh yang bersifatdzanni. Dan tidaksah pula
menghapussesuatu yang sudahdiketahuidengan yang sifatdugaanataudiduga.
Adapunmenasakhkan al-qur’andengansunnahmutawatir para ulama’ berbedapendapat,
Malik, Abu Hanifahdan Ahmad. Dasarargumentasimerekaadalahfirmanallahpadaqur’an
surah An Najm 4-5, yang artinya:
“Dan tiadalah
yang diaucapkanitumeurutkemauannyadanhawanafsunya. Uacapannyaitu yang tidak
lain hanyalahwahyu yang diwahyukankepadanya”
Syafi’Idanulama’ lain menolak argument sepertiini.
c. Naskhsunnahterhadap al-qur’an,
jumhurulama’amemperbolehkannaskhsepertiinisalahsatucontohnyaadlahmenghadapkeBaitulMaqdis
yang ditetapkanolehsunnahkemudianketetapaninidinaskhkanoleh la-qur’an.
Al-Qaththanmenyebutkanbahwa al-syafi’Imenolakpendapat yang
menyatakanpuasapadahari ‘asyura yang
ditetapkanolehsunnahkemudiandinasakhkanoleh al-qur’anpada surah al-baqarahayat
185, karenamenurutnyaantara al-qur’andanas sunnahitusangatmendukung.[7]
d. Naskhsunnahdengansunnah, sunnahmacaminiterbagimenjadi
4 macamyaitu: naskhsunnahmutawatir, sunnahmutawatir, naskhsunnahahaddansunnahahad,
naskhsunnahahaddengansunnahmutawatir, naskhsunnahmutawatirdengansunnahahad.
Al-Qaththkanmenjelaskanbahwanaskhijma’ denganijma’
danqiyasdenganqiyasataumenasakhdengankeduanya,
menurutpenadapatshahihtidakndoperbolehkannya.[8]
Sebagianulama’
Model-model
naskhmansukhdapatdiklasifikasikansebagaiberikut:
a. Al-qur’anmenghapuskitab-kitabsucisebelumnya.
b. Pencabutanbeberapateks al-qur’an yang dianggapmusnah
c. Penghapusanbeberapaperintahterdahuludalam
al-qur’andenganwahyusesudahnya, akantetapiteks yang
mengandungperintahitutetapadadalam al-qur’an.
d.
Penghapusansebuahsunnah (praktikkenabian) olehperintah al-qur’an.
e.
Penghapusanperintah al-qur’anolehsunnah.
Signifikasidalamnaskhdapatdiukurdarifaktabahwasejumlahbesarkaryanyaditulisbekaitandengansubjektersebut.
disamping literature tentangteorinaskhditemukanjugasebuahriwayatyangdisandarkanpadasahabat-sahabat
yang menekankanperlunyamemilikipengetahuantentangayat-ayat yang
menghapusdanayat-ayat yang dihapusdalam al-qur’an. Ali bin
AbiThalibdiriwayatkanmenemuiseoranglaki-lakidimasjidkuffah yang
sedangmenjawabpertanyaantentang agama yang diajukanpadanyaoleh orang-orang
disekitarnya. Ali berkatakepadalaki-lakiituapakahdiabisamembedakanayat-ayat
yang dihapus. Ketikaiamenjawabttidak, ali menudo laki-lakiitutelahmenipu orang
lain danmelarangnyaberdakwahdimasjiditulagi.
D.
Hikmah
dari Nasikh dan Mansukh
Setelah
membahas sedikit seluk beluk tentang Naskh, Naskh tidak terlepas dari hikmah,
karena jika tidak ada hikmahnya bisa
saja dikatakan Allah bermain-main terhadap hukum yang diturunkannya. Inilah
hikmah diturunkannya Naskh, Manna’ al Qaththaan menyebutkan beberapa hikmah
diantaranya :
1.
Untuk menjaga kemaslahatan
2.
Perkembangan pensyariatan menuju
tingkat yang sempurna sesuai dinamika dakwah dan kondisi masyarakat islam
3.
Untuk menjadi ujian seorang
mkhallaf agar ta’at terhadap syariat
4.
Kehendak Allah untuk kebaikan dan
kemudahan umat, karena apabila naskh itu diganti dengan lebih berat maka akan
terdapat tambahan pahala, dan apanila naskh diganti dengan lebih ringan maka
itu merupakan kemudahan
5.
Lebih mudah kita memahami hukum
islam
6.
Islam lebih mudah diberikan
kepada kaum awam
Hikmahnasikhmansukhsecaraumumadaalahsebagaiberikut
1.
Untuk menunjukkan bahwa syariat
agama Islam adalah syariat yang paling sempurna. Syariat Islam mencakup semua
kebutuhan seluruh umat manusia, dari segala periodenya, mulai dari Nabi Adam AS
hingga Nabi Muhammad SAW.
2.
Selalu menjaga kemaslahatan hamba
agar kebutuhan mereka senantiasa terpelihara dalam semua keadaan dan di
sepanjang zaman.
3.
Untuk menjaga perkembangan hukum
Islam selalu relevan dengan semua situasi dan kondisi umat, dari yang sederhana
sampai yang tingkat sempurna.
4.
Untuk menguji muallaf, apakah
mereka setia atau tidak dengan adanya perubahan dan penggantian-penggantian
dari nasakh itu.
5.
Untuk menambah kebaikan dan
pahala bagi hamba yang selalu setia mengamalkan hukum-hukum perubahan, walaupun
dari yang mudah ke yang sukar.
6.
Untuk memberi dispensasi dan
keringanan bagi umat Islam.
Adapun jenis-jenis hikmah nasikh
mansukh ada empat, sebagai berikut:[9]
1.
Nasakh tanpa pengganti
Terkadang
ada nasakh terhadap hukum, tetapi tidak ditentukan hukum lain sebagai
penggantinya. Contohnya nasakh pada ayat 12 surat al-Mujadilah yang
diganti dengan ayat 13 surat al-Mujadilah, hukum tersebut telah dihapuskan
namun sudah tidak disebutkan lagi hukum penggantinya. Hikmahnya adalah menjaga
kemashlahatan manusia, mereka tidak harus mempersiapkan sedekah terlebih dahulu
untuk berbicara kepada Nabi SAW.[10]
2.
Nasakh dengan
pengganti yang sebanding
Sebagian besar naskh itu
melahirkan hukum baru sebagai penggantinya dan sering penggantinya itu seimbang
dan sebanding dengan hukum terdahulu. Contohnya me-nasakh hukum
menghadap kiblat kearah Baitul Muqaddas di Palestina:[11]
قَدۡ
نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ
تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ ١٤٤[12]
Sungguh
Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram.
3.
Nasakh dengan
pengganti yang lebih berat
Nasakh sesuatu ketentuan yang diganti
degan ketentuan lain yang lebih berat dari yang diganti. Misalnya ayat An-Nisa
ayat 15 berikut:
وَٱلَّٰتِي
يَأۡتِينَ ٱلۡفَٰحِشَةَ مِن نِّسَآئِكُمۡ فَٱسۡتَشۡهِدُواْ عَلَيۡهِنَّ
أَرۡبَعَةٗ مِّنكُمۡۖ فَإِن شَهِدُواْ فَأَمۡسِكُوهُنَّ فِي ٱلۡبُيُوتِ حَتَّىٰ
يَتَوَفَّىٰهُنَّ ٱلۡمَوۡتُ أَوۡ يَجۡعَلَ ٱللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلٗا ١٥[13]
Dan
(terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya
Kemudian di nasakh dengan
ketentuan yang lebih berat dengan turun ayat berikut:
ٱلزَّانِيَةُ
وَٱلزَّانِي فَٱجۡلِدُواْ كُلَّ وَٰحِدٖ مِّنۡهُمَا مِاْئَةَ جَلۡدَةٖۖ وَلَا
تَأۡخُذۡكُم بِهِمَا رَأۡفَةٞ فِي دِينِ ٱللَّهِ ٢[14]
Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari
keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya
mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah.
4.
Nasakh dengan
pengganti yang lebih ringan
Yaitu mengganti atau menghapus ketentuan
hukum lain yang lebih ringan. Contohnya dalam surat al-Baqarah ayat 240 yang di
nasakh oleh surat al-Baqarah ayat 234 seperti tertera sebelumnya.
Contoh
lainnya dalam ayat berikut:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ
مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ ١٨٣[15]
Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa
Kemudian
di nasakh dengan ayat berikut:
أُحِلَّ
لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ [16]١٨٧
Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu.
DaftarPustaka
Al- Qaththan, Mabahist fi Ulimil Al-qur’an,
Al-Zarqani, Manahili
Fi Ulumil Al-qur’an,
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu Ilmu Al Qur’an, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra,
2002
Esack,Farid, Samudera al-qur’an,Yogjakarta,
Diva press, 2002
Juned, Daniel. ParadigmaBarudanRekontruksiIlmuHadist,
PT GeloraAksaraPreatama, 2011
Nurdinah
Muhammad 2011,
Studi Komperatif Nsikh dan Mansukh dalam
Al-qur’an dan Hadist, vol. 8, No.2
Syafrin,
Nirwan. KontruksiEpistimologi Islam:
TelaahBidangFiqihdanUshulFiqih, International Islamic University Malaysia
(IIUM), 1430 H
Thahhan, Mahmud. IntisariIlmuHadist,
Malang: UIN-Malang Press, 2007
Tunjang, Bisri. Al-NasikhWa
Al-Mansukh (DeskripsiMetodeInterpretasiHadistKontradiksi ), Vol. 2 No. 2,
2015
Zuhdi, Masjfuk,
PengantarIlmuhadist, Surabaya: PT BinaIlmu, 1978
Catatan:
1.
Similarity 16%.
2.
Kita sedang berbicara mengenai nasikh-mansukh dalam Alquran dan bukan
hadis.
3.
Penulisan pendahuluan perlu banyak perbaikan.
4.
Penulisan footnote dalam daftar pustaka terlihat agak kacau.
5.
Pereferensian sangat minim.
6.
Jumlah halaman sangat sedikit, padahal ada tiga orang.
2 juli 2011
[2] Farid Esack, Samudra Al-qur’an, Diva Press,
Yogyakarta, 2002 hlm. 231
[3]Mahmud thahhan, intisari ilmu hadis, uin-malang press, malang 2007 hlm.86-87
[4]Farid Esack, Samudera Al Quran, DIVA press, Jogjakarta 2002 hlm. 229
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,
Ilmu Ilmu Al Qur’an, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang 2002, hlm. 150-151
[6]Daniel Juned, Paradigma Baru dan
Rekonstruksi Ilmu Hadis, Erlangga, hlm. 130-131
[7]Al-Zarqani, Manahili Fi Ulumil Al-qur’an, 225
[8]Al- Qaththan, Mabahist fi Ulimil Al-qur’an,
229
[12]Al-Baqarah (2) : 144
[13]An-Nisa (4) : 15
[14]An-Nur (24) : 24
[15]Al-Baqarah (2) : 183
[16]Al-Baqarah (2) : 187
Tidak ada komentar:
Posting Komentar