Mochammad Ilyas dan Haristi
Fadhillah
Mahasiswa
Universitas Islam Maulana Malik Ibrahim Malang
PAI B 2016
Abstract
Gender equality
is one of the most interesting discussions to date. Gender equality itself in
the common world is one of the problems that is still debated, even in Islamic
genderedness is still much debated in modern problems today. the problem is one
of them is in terms of responsibility as the Caliph on this earth, the equality
of social responsibility as an independent human being who is not only able to
take decisions, but even able to lead and achieve, and as women begin to be
free from dependence on men and trying to reveal his true identity from a man,
and at the same time as his. Therefore in this article the author discusses how
the views of Islam through the source of Al-Qur'an and Hadith about gender
equality. In this discussion there is a frame of mind according to some figures,
the origin of man in the Qur'an, the position of women in Islam and equality in
Al-Quran letter Al-Baqarah verse 282, letter tahrim verses 10-12 and some
hadith. The purpose of this discussion as a form of the view of bagaminana is
that men and women behave in all things in the world today.
Abstrak
Kesetaraan
gender merupakan salah satu pembahasan yang menarik untuk kita bahas saat ini. Kesetaraan
gender sendiri dalam dunia umum merupakan saah satu problem yang masih
diperdebatkan, bahkan dalam Islam kesadaraan gender masih banyak di
perbdebatkan di masalah modern saat ini. permasalahan tersebut salah satunya
adalah dalam hal tanggung jawab sebagai khalifah di bumi ini, kesetaraan tanggung jawab sosialnya sebagai
manusia yang merdeka yang tidak hanya mampu mengambil keputusan, tetapi bahkan
mampu untuk memimpin dan berprestasi, dan disaat perempuan mulai terbebas dari
ketergantungannya kepada laki-laki dan berusaha mengungkapkan jati dirinya dari
laki-laki, dan sekaligus setara dengannya. Oleh karena itu dalam artikel ini
penulis membahas bagaimana pandangan islam melalui sumber Al-Qur’an dan Hadits
tentang kesetaraan gender tersebut. Dalam pembahasan ini terdapat kerangka
pikir menurut beberapa tokoh, asal manusia dalam Al-quran, kedudukan perempuan
dalam Islam dan kesetaraan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 282, surat ah
tahrim ayat 10-12 dan beberapa hadits. Tujuan dari pembahasan ini sebagai
bentuk pandangan bagaminana laki-laki dan perempuan bersikap dalam segala hal
dalam dunia saat ini.
Kata Kunci :Kesetaraan
Gender, Al-Qur’an dan Hadits.
A. Pengertian Gender
Gender berasal dari bahasa Inggris yang
memiliki arti “jenis kelamin”. Dalam Webster
New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara
laki laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan
bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan
(distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik
emosional antara laki laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat[1].
Kata gender jika ditinjau menurut istilah merupakan kata serapan yang diambil
dari bahasa Inggris. Kata gender ini jika dilihat posisinya dari segi struktur
bahasa (gramatikal) adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti jenis
kelamin, sex atau dalam bahsa araab
disebut dengan al jins. Sehingga jika
seseorang bertanya atau menyeebut tentang suatu hal yang mengenai gender yang
dimaksutkan adalah jenis kelamin yang menggunakan pendekatan bahasa.
Pengertian gender menurut istilah telah
banyak dikemukakan oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Dalam bukunya, Half the World, Half a Chance Julia
Cleves Musse mengartikan gender sebagai sebuah peringkat peran yang bisa
diibaratkan dengan topeng dan kostum pada sebuah acara pertunjukan agar orang
lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminism atau maskulin. [2]
Zaitunah Subhan mengemukakan bahwa yang dimaksut gender adalah konsep analisa
yang digunakan untuk menjelaskan sesuatu yang didasarkan pada pembedaan laki
laki dan perempuan karena konstruksi sosial budaya. Nasarudin Umar dalam Pengertian yang lebih akurat dan lebih
operasional bahwa gender adalah konsep kultural yang digunakan untuk memberikan
identifikasi perbedaan dalam hal peran, perilaku dan lain lain antara laki laki
dan perempuan yang berkembang di masyarakat yang didasarkan terhadap rekayasa
sosial. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa gender adalah sebuah
konsep yang dijadikan ukuran dalam pengidentifikasian peran laki laki serta
perempuan yang didasarkan atas pengaruh sosial budaya masyarakat (sosial
contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan tidak
menjadikannya sebagai alat pengasingan salah satu pihak karena pertimbangan
yang bersifat biologis. [3]
Gender mengacu pada perbedaan-perbedaan
dan hubungan sosial antara perempuan dan laki-laki yang dipelajari,
bermacam-macam secara luas antara masyarakat dan budaya dan berubah sejalan
dengan perkembangan waktu/zaman.[4]
Dari kesimpulan tersebut gender mengidentifikasi
laki laki dan perempuan dari sudut non biologis yang dikenal dengan istilah identitas jenis kelamin.Jenis kelamin
atau seks adalah penafsiran jenis kelamin dari aspek biologis dengan tanda
tanda lahir yang mudah dikenali, misalnya laki laki memiliki penis, jakun,
memproduk sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina, rahim, air susu ibu,
mengalami siklus menstruasi, hamil,melahirkan, menyusui.[5]
Perbedaan jenis kelamin digunakan sebagai dasar pemberian peran sosial yang
tidak sekedar dijadikan dasar pembagian kerja, namun lebih dari itu menjadi
instrument dalam pengakuan dan pengingkaran sosial, ekonomi, politik, serta
menilai peran dan hak hak dasar keduanya.[6]
Jenis kelamin sendiri memiliki pengertian yakni penafsiran atau pembagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukaan secara biologis dengan (alat) tanda
tanda tertentu pula, bersifat universal dan permanen, tidak dapat ditukar, dan
dapat dikenal manusia sejak lahir. Semua itu adalah kodrat atau ketentuan
Tuhan. Gender adalah pembedaan peran, tanggung jawab, dan fungsi antara
perempuan dan laki laki yang berasal dari konstruksi sosial budayaa dan dapat
berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Gender juga dapat diartikan sebagai
jenis kelamin sosial.[7]
Kesetaraan merupakan bentuk kata yang
memiliki imbuhan dari setara yang memilik arti sejajar, sebanding, sepadan, dan
sama tingkatannya. Sedangkan gender adalah kata serapan bahasa inggris yang memiliki
arti keadaan hakikat sebagai laki laki atau perempuan. Kata gender mengacu pada
peran tanggung jawab, baik yang digenggam perempuan maupun laki laki. Yang
mana, pemahaman tersebut sering disalah artikan kepada jenis kelamin yang
kemudian terkontruksi ke dalam budaya, yang bisa memberi efek dalam beberapa
bagian kehidupan, khususnya laki laki dan perempuan, yang mana keduanya
memiliki hak dan kewajiban yang penting dalam kehidupan bermasyarakat. [8]
B. Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam
Lintasan Sejarah
Di dunia sekaran ini yang disibukkan
dengan problem-problem yang bukan hanya persoalan pendidikan dan keluarnya
perempuan untuk bekerja, kesetaraannya dengan laki-laki, dan kesetaraan
tanggung jawab sosialnya sebagai manusia yang merdeka yang tidak hanya mampu
mengambil keputusan, tetapi bahkan mampu untuk memimpin dan berprestasi, dan
disaat perempuan mulai terbebas dari ketergantungannya kepada laki-laki dan
berusaha mengungkapkan jati dirinya dari laki-laki, dan sekaligus setara
dengannya. [9]
Laki-laki dan perempuan diberi kelebihan
oleh Allah untuk saling melengkapi. Dalam pandangan Islam laki-laki diberi
kelebihan ketegaran fisik sedangkan perempuan diberi organ-organ reproduksi
yang keduanya diarahkan untuk menjalankan fungsi regenerasi. Karena secara
biologis perempuan harus menjalani fungsi reproduksi, maka kebutuhan-kebutuhan
finansial dibebankan kepada laki-laki.
Pada masa kehidupan Nabi dimana telah
melepaskan kaum perempuan dari perkawinan yang membelenggu dan merubahnya
menjadi tempat yang penuh kasih sayang (mawaddah
wa rahmah). Sebagaimana tercermin dari rumah tangga kehidupan Nabi yang
demokratis dan terbuka dimana istri beliau dapat berdiskusi dengan leluasa.
Istri dan putri Nabi menggambarkan sosok perempuan yang dinamis, mandiri, dan
terhormat. Akan tetapi gambaran ‘qawwam’ yang ditawarkan oleh kitab-kitab fiqh
yang ditulis para ulama lebih menguatkan kembali. Ironis memang kitab-kitab
fiqh yang dikodifikasikan di saat Islam mencapai puncak peradaban justru telah
memasung kaum perempuan dalam empat dinding ‘harem’ yang membatasi akses mereka
terhadap pendidikan yang setara dengan laki-laki. Pendidikan yang tidak memadai
telah merubah perempuan Islam yang dinamis, mandiri, mulia, dan terhormat
menjadi perempuan yang rapuh, dan penuh iri dengki.[10]
a. Kerangka pikir menurut Amina Wadud
Tiga prinsip dasar yang dikemukakan oleh
wadud dalam persoalan gender yakni, prinsip tauhid, takwa dan khalifah yang
akan diuraikan berikut ini.
·
Tauhid
(prinsip egaliter) dan Takwa (kesadaran moral)
Dalam buku karangannya, quran and woman dan inside the jihad gender, Wadud menyatakan bahwa kerangka teori yang
ia gunakan ialah universalitas al-Qur’an, yang terdapat prinsip dasar yang
menjamin kesetaraan manusia dalam kehidupan dunianya. Melalui pendekatan ini,
Wadud menemukan bahwa perbedaan status
biologis bukan faktor yang menentukan derajatatau status manusia dalam Islam.
Jika prinsip ini bisa dipahami dengan baik, seorang laki laki tidak akan
memandang wanita dari sisi kemampuan reproduksi
atau fungsi biologisnya saja melainkan ia akan melihat dari peran atau
fungsi sosial mereka pada sector public, yang mana ini akan mendukung
terwujudnya egalitarianisme.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa
segala sesuatu berpasang pasangan. Pasangan adalah bagian dari sistem dualisme.
Semua pasangan, baik perempuan maupun laki lakiakan tunduk kepada sang
pencipta. Maka dari itu, makhluk apapun, termasuk manusia, laki laki tidak
berhak merasa lebih tinggi dari perempuan. Namun hal tersebut berbanding
terbalik dengan keadaan relitas islam yang sesungguhnya. Pada zaman sekarang,
seperti laki laki derajatnya “diatas
perempuan”
Berdasarkan hal tersebut, prinsip
tauhid ini sangat tepat menjadi inspirasi untuk menghilangkan stratifikasi
gender dalam setiap interaksi sosial, baik dalam lingkup individu maupun
sosial. Dalam prinsip ini menjelaskan bahwa, eksistensi saya (laki laki) dan
kamu (perempuan), tidak hanya memiliki arti sama, melainkan dianggap sebang
menjadi satu, dalam kesatuan Allah.
Asumsi dasar inilah yang menjadi kerangka piker wadud bahwa al quran merupakan
sumber nilai tertinggi yang adil mendudukkan laki laki dan perempuan setara.
·
Khalifah
(agen moral)
Khalifah juga dimaknai wadud dalam perspektif keadilan gender. Laki laki
dan perempuan merupakan ciptaan Allah, semuanya diberi amnah untuk menjadi
khalifah di bumi. Tanggung jawab tidak didasarkan terhadap perbedaan ras,
perbedaan seks dan gender, melainkan berdasarkan kemempuan yang dimiliki
seorang hamba.
b. Asal-usul kejadian manusia
Salah satu ayat yang membahas tentang asal
usul kejadian manusia adalah, surah an-Nisa’ ayat 1 sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ
نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا
وَنِسَاءً
Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Dari ayat tersebut, Wadud mengambil 3 kata
kunci yakni min, nafs, dan zawj. Yang
mana beliau akan menganalisis tema tema yang hamper memiliki makna serupa.
·
Min
Dalam bahsasa arab memiliki fungsi
dasar yang mana bisa digunakan sebagai kata depan, yang menunjukkan penarikan
suatu hal dari hal lain, sehingga pemahaman terhadap ayat ini bahwa manusia
yang dicitapkan pertama kali adalah (seorang laki laki) adalah lengkap, yang diciptakan sempurna dan mulia. Sedangkan
manusia yang diciptaka kedua adalah (seorang perempuan tidaklah sama dengan
yang pertama, sebab dia diambil dari yang sempurna yang mana tidak sesempurna
yang pertama.
·
Nafs
Kata ini tidak digunakan kepada
selain manusia. Yang memiliki arti kata asal manusia secara umum. Kata ini
tidaklah maskulin maupun feminism, kata ini esensial bagi setiap orang, laki
laki ataupun perempuan. Jadi kata nafs dalam alquran tidak bisa diartikan
sebagai laki laki yakni adam, sebagaimana penafsiran yang selama ini berlaku,
namun harus diartikan sebagai sumber kejadian itu sendiri, baik laki laki
maupun perempuan.
·
Zawj
Yang memiliki arti “teman”,
“pasangan”. Secara konsep, kata ini tidak termasuk maskulin maupun
feminim.arrti berpasangan biasanya dimaknai dengan kata lain, yakni laki laki
memerlukan perempuan, begitu pula sebaliknya. Yang mana ini semua menujukkan
kesetaraan dalam penciptaan tersebut. [11]
Konsep relasi laki-laki dan perempuan yang
berkeadilan bermula dari pandangan status perempuan dan laki-laki akan hak dan
tanggung jawabnya dilihat dari persamaan dan perbedaannya dalam menjalankan dan
melaksanakan kehendaknya.
Dilihat dari persamaan laki-laki dan
perempuan yaitu sama-sama diciptakan oleh Allah dari tanah. Namun bila dilihat
dari perbedaannya yaitu berbeda dalam melaksanakan tanggung jawab dan haknya,
terlebih dalam segi fisik dan mentalnya perempuan dan laki-laki memilki
perbedaan yang menononjol.
Dalam bentuk fisik perempuan dan
laki-laki, yaitu perempuan memilki postur tubuh yang berbeda dengan laki-laki,
dan perempuan sifatnya lebih lemah gemulai, halus, cantik dan lain sebagainya.
Berbeda halnya dengan laki-laki yang lebih sedikit kasar, tegap, kekar dan
memilki postur tubuh yang gagah. Begitu juga dalam jenis kelaminnya yaitu
memilki perbedaan yang sangat mencolok, dan didalam organ tersebut memilki
peran dan fungsi yang berbeda-beda. Perbedaan semacam ini sudah dijelaskan
delam QS. Ali Imran ayat 36 yang berbunyi:
وَلَيْسَ
الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ
Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Tetapi
untuk organ yang lainnya seperti tangan, kaki, mata, hidung dan lain sebagainya
tidak ada perbedaannya dan memilki fungsi yang sama antara laki-laki.dan
perempuan.
Perbedaan lain antara laki-laki dengan
perempuan adalah mental dan tab8iatnya. Tabiat dari seorang perempuan memilki
perangai yang lemah lembut, budi bahasanya halus, dan biasanya memilki suara
yang lembut. Sedangkan tabiat dari laki-laki yaiti kasar, pemberani, keras, dan
memiliki suara yang besar. Semua itu merupakan ketentuan dan sunnah Allah yang
tidak dapat dibantah. Karena Allah telah menegaskan dalam QS. Al-Ahzab ayat 62
yang berbunyi:
سُنَّةَ اللَّهِ فِي الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۖ وَلَنْ تَجِدَ
لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan
pada Sunnah Allah
Adapun akibat dari perbe\daan itulah, maka
laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang berbeda serta
tugas-tugas yang berbeda, seperti halnya dengan perempuan yang memiliki tugas
diantara lain, hamil, melahirkan, meyusui, dan lain sebagainya yang mana
tanggung jawab seperti itu tidak dapat dikerjakan oleh laki-laki.
Dan tugas dari seorang laki-laki yaitu
menyediakan nafkah dan keperluan hidup sang Istri. Adapun hak dan kewajiban
antara laki-laki dan perempuan telah dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah : 228 yang
berbunyi
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“.....
dan para wanita mempunyai hak yang
seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf....”[12]
c. Kedudukan perempuan pada zaman sebelum
Islam
Pada zamaan pra islam yang mana terdapat
beberapa kebudayaan zaman jahiliyah, yang salah satunya yakni kebiasaan
membunuh anak perempuan. Qurais Shihab menyebutkan tiga alasan terjadinya
pembunuhan itu adalah, pertama,para
rang tua pada zaman tersebut takut melarat jika harus menanggung biaya
kebutuhan anak tersebut. Kedua,
mereka mengkhawatirkan masa depan anak anak mereka menalami kemiskinan. Para
anak dikubur,karna para orang tua takt jika ia dewasa nanti ia akan diperkosa
atau berzina. Ketiga,karna pada masa
itu masih sering terjadi peperangan antar kabilah atau suku, para orang tua
khawatir jika anaknya ditawan musuh dalam peperangan itu.
Alasan mengapa anak perempuan merupakan
biang petaka adalah karena mereka menganggap dari segi fisik perempuan lebih
lemah dari laki laki. Secara otomatis sang ayah akan berpikirhal itu akan
menjadi sandungan batu untuk tidak bisa
diajak berperang. Penghambat pembangunan, tidak bisa mandiri, dan terlalu
menggantungkan apa apa terhadap kaum laki laki, yang mereka menganggap bahwa
itu semua harus ditutupi dan dibuang.
Dari uraian tersebut, dapat dilhat jelas
bahwa kaum perempuan pada masa pra islam pada praktik praktik kehidupan yang
mereka jalani menunjukkan kesetaraan gender. Yang mana hal ini disebabkan oleh
kaum laki laki arab jahiliyah belum memahami hak hak asasi manusia khususnya
hak perempuan. Mereka menganggap perempuan itu hina dengan berbagai macam
alasan kelemahan kelemahannya. Padahal kelemahan perempuan itu bukan karna
memang tidak mampu tetaapi karna keterbatasan perempuan yang tidak diberi ruang
gerak untuk mengektualisasikan diri.
Kesetaraan gender dalam periode klasik
atau pada zaman nabi pun, utamanya perempuan, termasuk istri istri nabi
memiliki peran penting pada masa itu, yakni dalam bidang periwayatan hadis,
peraang, bisnis, dan lain lain bahkan perempuan mampu menjadi pemimpin dalam
perang seperti halnya yang dilakukan oleh istri nabi yakni Aisyah.
Sedangkan pada periode pertengahan, atau
zaman dinasti dinasti islam, prempuan juga memiliki peran penting dalam
kehidupan politik, mereka mampu bersaing dalam perlombaan syair yang pada zaman
itu menjadi tren yang bergengsi yang pada akhirnya mengalami kemunduran.
Dan pada periode modern, masa kemerdekaan,
di Indonesia peran perempuan sudah terlihat dalam berbagai bidang kehidupan.
Sebagai contoh, yakni organisasi NU yang memperbolehkan para kaum perempuan
menjadi kepala desa atau kepala Negara.[13]
C. Kesetaraan
Gender Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Dengan merunut pada teks-teks keagamaan
dalam al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan persoalan-persoalan perempuan,
kita dapat mengatakan bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan merupakan
salah satu tujuan mendasar dari wacana al-Qur’an. Penting memberikan ruang untuk menguraikan bahwa
al-Qur’an berlawanan dengan Taurat, misalnya tidak menjadikan Hawa sebagai prototype gender perempuan sebagai
perantara setan untuk menggoda Adam dengan memakan buah pohon yang terlarang
agar durhaka pada perintah yang Ilahi. Al-Qur’an jelas dalam menyetarakan Adam
dan Hawa dalam tanggung jawab dan hukuman. Namun para mufassir Muslim malah
mencampurkan kisah Taurat dalam tafsir mereka, dan menimpakan beban kesalahan
kepada Hawa.
Dalam setiap masa kemunduran, perempuan
menjadi sasaran kekotoran, kesalahan dan pintu masuk bagi setan. Pemasungan dan
pelanggaran perempuan untuk berkumpul bersama laki-laki dan melaksanakan fungsi
sosialnya telah menjadi solusi yang tidak hanya ditujukan untuk melindungi
dirinya sendiri saja dari godaan setan melainkan juga untuk melindungi
laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa pemikiran Islam secara garis besarnya
disibukkan dengan persoalan manusia dan hubungannya dengan Allah dan alam dari
sudut pandang eksistensial dan epistimologis, dan hal itu tanpa
mempertimbangkan aspek gender.[14]
Namun karena al-Qur’an diturunkan kepada
kaum yang membedakan antara laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari kultur
dan sistem sosial mereka, maka wajar jika perbedaan ini tercermin di dalam
al-Qur’an. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sebagai salah satu tujuan
utama al-Qur’an terlihat jelas dari dua aspek: Pertama, kesetaraan dalam asal
penciptaan dari satu diri (nafs wahidah),
dan aspek kedua, kesetaraan dalam taklif-taklif keagamaan serta pahala atau
hukuman yang disebabkan karenanya.[15]
a.
Kesetaraan
gender menurut al-Qur’an
Di dalam al-qur’an ada beberapa ayat yang
menjelaskan tentang gender, ayat-ayat gender ialah ayat-ayat yang berbicara
tentang status dan peran antara laki-laki dan perempuan. Kata kunci yang dapat
dipegang untuk mengetahui ayat-ayat gender ini ialah semua istilah yang sering
digunakan untuk menyebut laki=laki dan perempuan, seperti kata al-rijal dan an-nisa’, al-zakar dan al-untsa,
al-mar’ /al-imru’ dan al-mar’ah /al-imra’ah, al-zauj dan al-zaujah, al-‘ab dan
al-umm, al-ibn dan al-bint. Namun yang akan kami uraikan dalam makalah ini
hanya istilah al-rijal dan an-nisa’.[16]
1. Al-rijal bentuk
jamak dari kata al-rajul, berasal
dari akar kata لجر yang bisa diartikan rajala
(mengikat), rajila (berjalan
kaki), al-rijl (telapak kaki), al-rijlah (tumbuh-tumbuhan), dan al-rajul berarti laki-laki.
a. QS.
al-Baqarah / 2: 282:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ
شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ
لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ
فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ
Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu),
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang
lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi
yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.
Kata
مَنْ
رِّجَا لِكُمْ di atas
lebih menekankan pada aspek gender laki-laki, bukan kepada aspek biologisnya
sebagai manusia yang berjenis kelamin laki-laki. Buktinya tidak semua yang
berjenis kelamin laki-laki mempunyai kualitas persaksian yang sama. Anak
laki-laki di bawah umur, laki-laki hamba Allah, dan laki-laki yang tidak normal
akalnya tidak termasuk di dalam kualifikasi saksi yang dimaksud dalam ayat
tersebut di atas, katena tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam Islam.
Ayat
ini bisa dimengerti mengingat dalam masyarakat Arab ketika ayat ini turun,
perempuan tidak pernah diberikan kesempatan untuk menjadi saksi. Menurut
Muhammad Abduh, adalah dapat dimaklumi, karena tugas dan fungsi perempuan saat
itu hanya disibukkan dengan urusan-urusan kerumahtanggaan, sementara laki-laki
bertugas untuk urusan sosial ekonomi.
b. QS.
al-Baqarah / 2: 228:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ
يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ
أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang
ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan
tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Kata
اَلرِّجَال dalam ayat di atas ialah tentang laki-laki tertentu yang
mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan
lebih tinggi daripada perempuan.
c. QS.
an-Nisa’ / 4: 34:
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Dalam
ayat ini dijelaskan bahwa, laki-laki yang menjadi pelindung atau pemimpin ialah
laki-laki yang mempunyai keutamaan. Sesuai dengan sebab nuzul ayat ini, keutamaan laki-laki dihubungkan dengan
tanggung jawabnya sebagai kepala rumah tangga.
Ayat
di atas tidak tepat bila dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi
pemimpin di dalam masyarakat.[17]
2. Kata
an-nisa’ adalah bentuk jamak dari
kata al-mar’ah berarti perempuan yang
sudah matang atau dewasa, berbeda dengan kata الْأُنْثى berarti jenis kelamin perempuan secara umum, dari yang masih
bayi sampai yang sudah berusia lanjut.
Kata
an-nisa’ dalam berbagai bentuk
terulang sebanyak 59 kali dalam al-Qur’an dengan kecenderungan pengertian dan
maksud berbeda.
a. QS.
an-Nisa’ /4: 7:
لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ
مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا
تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَالْأَقْرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ ۚ
نَصِيبًا مَفْرُوضًا
Bagi orang laki-laki
ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik
sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.
b. QS.
an-Nisa’ /4: 32:
وَلَا تَتَمَنَّوْا
مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ
مِنْ فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
Dan janganlah kamu
iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih
banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian
dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian
dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Kata
النِّسَاء menunjukkan gender perempuan. Porsi pembagian hak dalam ayat
ini tidak semata-mata ditentukan oleh realitas biologis sebagai perempuan atau
laki-laki saja, melainkan berkaitan erat dengan realitas gender yang ditentukan
oleh factor budaya yang bersangkutan.[18]
Dalam al-Qur’an juga mengisahkan
sejumlah perempuan yang berhubungan dengan seorang nabi. Al-Qur’an
menggambarkan kisah-kisah perempuan dengan beragam detail dan kompleksitas yang
berbeda-beda. Beberapa figur perempuan hanya digambarkan sketsa kecil saja,
sementara sebagian yang lain digambarkan dengan porsi yang lebih besar.secara
keseluruhan, kisah-kisah perempuan menyajikan suatu koleksi sejarah suci yang
kaya untuk dijadikan petunjuk kaum muslim.[19]
Dalam al-qur’an menegaskan beberapa
figure perempuan masa lalu seperti yang dicontohkan di dalam QS. at-Tahrim ayat
10-12.
ضَرَبَ اللَّهُ
مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ ۖ كَانَتَا تَحْتَ
عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا
عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ(10)وَضَرَبَ اللَّهُ
مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي
عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ
وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ(11)وَمَرْيَمَ ابْنَتَ
عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا
وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ(12)
Allah
membuat isteri Nuh dan isteri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir.
Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada suaminya
(masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari
(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "Masuklah ke dalam jahannam
bersama orang-orang yang masuk (jahannam)".(10) Dan Allah
membuat isteri Fir'aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia
berkata: "Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam
firdaus, dan selamatkanlah aku dari Fir'aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah
aku dari kaum yang zhalim.(11) Dan (ingatlah) Maryam binti Imran yang
memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh
(ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-Kitab-Nya, dan dia
adalah termasuk orang-orang yang taat.(12)
Ada 4 tokoh perempuan dalam ayat
tersebut, dua orang perempuan merupakan contoh buruk (tentang perempuan yang
tidak beriman: istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth) dan dua orang lagi merupakan
contoh yang baik (untuk orang-orang yang beriman: istri Fir’aun dan Maryam, ibu
Isa a.s.). figur-figur yang lain di dalam al-qur’an juga merupakan contoh bagi
dosa dan keadilan, kelemahan dan kekuatan, perbuatan jahat dan kebajikan. Pada
kisah-kisah tentang perempuan itu, perbuatan dosa dianggap sebagai perbuatan
dosa kepada Allah SWT, kekafiran dan ketidaksetiaan kepada suami jika dia
berlaku salih. Kebajikan diidentikkan dengan keyakinan pada kesyahidan,
ketaatan kepada Allah, ikhlas dan taat kepada suami jika dia berlaku salih,
sopan, mempunyai rasa malu, dan bersifat keibuan.[20]
Banyak kisah tentang perempuan dalam
al-qur’an yang mengajarkan bahwa keimanan seorang perempuan dan kesalehannya
bergantung pada keinginan dan keputusannya sendiri. Dan tidak bergantung pada
laki-laki yang salih atau pada seorang pendosa yang memutuskan komitmen seorang
perempuan pada Allah.[21]
b. Kesetaraan gender menurut Hadis
Dalam penciptaan manusia, Tuhan tidak
membedakan antara laki-laki dan perempuan, karena antara laki-laki dan
perempuan dari proses penciptaannya tidak ada diferensiasi sebagaimana
dipertegas oleh hadis Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa:
عنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ
لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى
قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ
Dari
Abi Hurairah bahwasannya Rasulullah saw telah bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidak melihat penampilanmu juga tidak kepada hartamu, tapi Allah melihat
(meniai) hatimu dan amalmu”.
Hadis ini sejalan dengan ayat yang
terdahulu tentang tidak dibedakannya makhluk bernama manusia itu dalam segala
aspek, mulai dari penciptaan, potensi diri, keadilan, kesederajatan, dan
kesetaraan.[22]
Adapun beberapa hadis yang mengisyaratkan
bahwa adanya posisi yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, dalam hal ini
perempuan selalu diposisikan berada di bawah laki-laki, baik dalam renah
keluarga, sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, dengan mencermati dan
memahami hadis secara kontekstual akan ditemukan makna yang sebaliknya, yaitu
hadis-hadis yang meunjukkan adanya kesamaan kedudukan antara laki-laki dengan
perempuan.[23]
Dalam konteks ini, kami akan menjelaskan hadis tentang penciptaan perempuan,
bahkan secara jelas Nabi saw memerintahkan ummatnya untuk berlaku baik kepada
perempuan. Sebagaimana hadis berikut ini:
عنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ
ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa
Nabi saw bersabda; “Saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada wanita,
karena wanita diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian tulang rusuk yang paling
bengkok adalah bagian paling atas. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu
akan mematahkannya, dan bila kamu membiarkannya apa adanya, maka ia akan tetap
dalam keadaan bengkok, maka, saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik pada
perempuan.”
Meski hadis tersebut di atas mempunyai
kualitas sanad yang shahih, ulama’ masih belum satu kata dalam
kehujjahan hadis tersebut, karena hadis tersebut masuk dalam kategori hadis
ahad. Tetapi secara umum dari hadis di atas terdapat tiga pendapat mengenai
interpretasi hadis tentang penciptaan perempuan. Pertama; interpretasi
tekstual. Ini berarti, perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki
(Adam). Kedua; interpretasi metaforis. Hadis ini mengandung pesan bahwa
perempuan harus diperlakukan dengan baik, bijaksana, dan tanpa kekerasan.
Ketiga; menolak hadis tersebut, karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat
an-Nisa’ ayat 1 yang menegaskan bahwa laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa)
diciptakan dari bahan yang sama.[24]
Daftar Pustaka
G.
Manopo, Rukmina, 2012.Meretas Kesetaraan
Gender dalam Pendidikan Islam.
Malang: UM Press
Sumbulah, Umi, dkk, 2014.Studi Alquran dan Hadis,Malang:
UIN Press
Zayd,
Nasr Hamid Abu, 2003.Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana Perempuan dalam Islam,Yogyakarta: Samha
Mufidah,
2009.Pengarusutamaan Gender pada Basis
Keagamaan, Malang: UIN Press
Dzuhayatin,Siti
Ruhaini, dkk, 2002. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset
Rusydi,
M, 2014. Relasi laki laki dan perempuan
dalam alquran menurut Amina Wujud. Jurnal MIQOT vol. XXXVIII, no. 2
Purwaningsih,
Sri, 2009.Kiai dan Keadilan Gender,Semarang: Walisongo press
Mazaya,
2014.Kesetaraan Gender dalam perspektif
Sejarah Islam, Jurnal SAWWA ,
vol. 9, no.2
Stiwasser,
Barbara Freyer, 2001. “Reinterpretasi Gender”. Translated by Moechtar Zoerni, Bandung: Pustaka Hidayah
Jahidi,
Idi, 2004.Gender Mainstreaming di bidang Pendidikan: Antara Peluang dan Tantangan, Jurnal Mimbar, Vol XX,
no.3
Catatan:
Makalah ini sudah cukup baik. Hanya saja perlu diperbaiki penulisan
footnotenya agar selaras.
[1]Rukmina G. Manopo, Meretas Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Islam, UM Press, Malang, 2012, h.
19.
[4] Idi Jahidi, (2004) Gender Mainstreaming di bidang Pendidikan:
Antara Peluang dan Tantangan, Jurnal Mimbar, Vol XX, no.3, hlm. 327.
[5]Mufidah, Pengarusutamaan Gender pada Basis Keagamaan,
UIN PRESS, Malang, 2009, h. 2.
[8]Umi Sumbulah dkk, Studi Alquran dan Hadis, UIN Press, Malang, 2014, h. 264.
[9] Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana
Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Samha, 2003), hlm 159.
[10] Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002),
hlm 16.
[11] M Rusydi (2014) Relasi
laki laki dan perempuan dalam alquran menurut
Amina Wujud. Jurnal
MIQOT vol. XXXVIII, no. 2, hlm.277-285.
[13]Viky Mazaya (2014) Kesetaraan Gender dalam perspektif Sejarah
Islam, Jurnal SAWWA , vol. 9, no.2, hlm. 329-331
[14] Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender: Kritik Wacana
Perempuan dalam Islam (Yogyakarta: Samha, 2003), hlm 185.
[16] Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002),
hlm 118.
[17] Siti Ruhaini Dzuhayatin, dkk, Rekonstruksi Metodologis Wacana
Kesetaraan Gender dalam Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2002),
hlm 124.
[19] Barbara Freyer Stowasser, “Reinterpretasi Gender”. Translated
by Moechtar Zoerni, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm 54.
[22] Rukmina G. Manoppo, Meretas Kesetaraan Gender dalam Pendidikan
Islam (Malang: UM Press, 2012), hlm 85.
[23] Umi Sumbulah-Akhmad Kholil-Nasrulah, Studi Al-Qur’an dan Hadis (Malang:
Uin Press, 2014), hlm 271.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar