Maulidiyah Khasanah (16110139)
dan Aminatunniswah (16110204)
PAI D Angkatan 2016
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Email : maulidyah998@gmail.com
Abstract
In the view of Islamic law, everything created by Allah SWT with
his nature. Thus human beings, between women and men as individuals and sex
have their own nature. The Qur'an acknowledges that there is an anatomical
difference between women and men, al-qur'an also acknowledges that the foreign
members of each gender function by reflecting on the well-defined differences.
The nature of women is often also used as an excuse to reduce the
various roles of women in the family and society, men are also often considered
dominant in playing various roles. Culture that develops in society also sees
that women as weak creatures, subtle, emotional and shy, while for men as a
strong, rough, rational and courageous creature.
Keywords: understanding of gender, men's and women's relations
across history, and gender equality in the Qur'an and Hadith
Abstrak
Dalam pandangan hukum islam, segala sesuatu yang diciptakan oleh
Allah SWT dengan kodratnya. Demikian halnya manusia, antara perempuan dan
laki-laki sebagai individual dan jenis kelamin memiliki kodratnya
masing-masing. Al-qur’an mengakui bahwasanya adanya perbedaan anatomi antara
perempuan dan laki-laki, al-qur’an juga mengakui bahwa anggota asing-masing
gender berfungsi dengan cara merefleksikan perbedaan yang telah dirumuskan
dengan baik.
Kodrat perempuan sering juga dijadikan alasan untuk mereduksi
berbagai peran perempuan di dalam keluarga maupun masyarakat, kaum laki-laki
juga sering dianggap dominan dalam memainkan berbagai peran. Kebudayaan yang
berkembang dalam masyarakat pun memandang bahwa perempuan sebagai makhluk yang
lemah, halus, emosional dan pemalu, sementara bagi kaum laki-laki sebagai
makhluk yang kuat, kasar, rasional serta pemberani.
Kata Kunci : pengertian gender, relasi laki-laki dan perempuan
lintas sejarah, dan kesetaraan gender dalam alquran dan hadis
A. Pendahuluan
Kami akan
membahas tentang hal-hal Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an dan Haditsyang
didalamnya hampir semua uraian tentang pembangunan di kalangan organisasi non
pemerintah maupun program pengembangan masyarakat diperbincangkan masalah
Gender. Kata gender sejak sepuluh tahun terakhir telah memasuki kosakata
di setiap diskusi. Dari pengamatan, masih terjadi kesalahpahaman,
ketidakjelasan tentang apa yang di maksud dengan konsep gender juga kaitannya
dengan emansipasi kaum wanita.
Kesetaraan
gender sangat penting di era seperti sekarang. Karna banyak pelecehan yang
menyebar terhadap seorang wanita. padahal hakekatnya hak dan kewajiban wanita
sama halnya seperti hak dan kewajiban seorang laki-laki.
Maka dari
itu, banyak ayat Al-Qur’an dan hadist yang menjelaskan tentang kesetaraan
gender dan banyak perspektif orang tentang kesetaraan gender, agar hak dan
kewajiban wanita dan laki-laki terpenuhi dengan sempurna tanpa adanya
perselisihan diantara mereka.
B. Pengertian Kesetaraan Gender
1. Gender dalam istilah berarti seks atau jenis kelamin, pada kedua jenis
kelamin yang dikonstruksikan secara sosial dan cultural bisa diartikan sebagai
sifat juga karakter yang melekat. Pengertian gender menurut Margaret L.
Andersen adalah: (Gender merujuk pada perilaku yang dipelajari secara sosial
dan harapan-harapan yang berhubungan dengan dua jenis kelamin. Jadi, kalau
female dan male merupakan fakta-fakta biologis, sementara maskulin dan feminine
adalah atribut-atribut yang dikonstruk
secara kultural. Sebagaimana kategori social yang dibangun berdasarkan ras,
kelas sosial, pola-pola gender adalah apa yang diharapkan orang lain terhadap
kita dan apa yang kita harapkan pada diri kita sendiri. Gender, dalam skala
besar, dipahami sebagai kesempatan hidup dan
mengarahkan hubungan social kita dengan yang lain).
Dalam arti tersebut gender mengidentifikasi
laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis yang dikenal dengan istilah identitas
jenis kelamin. Penafsiran jenis kelamin atau seks yang merupakan dari aspek
biologis dengan tanda-tanda lahir yang mudah dikenali, misalkan laki-laki
memiliki penis, jakun, memproduksi sperma, sedangkan perempuan memiliki vagina,
rahim, air susu ibu (ASI), juga mengalami siklus menstruasi, hamil, melahirkan,
dan menyusui.[1]
Jadi, gender adalah perbedaan peran, fungsi
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dihasilkan dari
kontruksi social budaya dan juga dapat berubah sesuai dengan perkembangan
zaman.[2]
2. Kata gender (dibaca jender) berasal dari bahasa Inggris, berarti jenis
kelamin (John M. Echols dan Hasan
Shadily, 1983: 265). Gender adalah
perbedaan laki-laki dan perempuan yang tampak apabila dilihat dari nilai
tingkah laku. Dalam Women’s Studies Encyclpedia menjelaskan bahwa gender
yaitu konsep kultural, yang berupaya membuat perbedaan (distinction)
dalam perilaku, mentalitas, dan peran serta karakteristik emosional antara
laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bukunya Hilary
M. Lips yang terkenalSex dan Gender : an Introduction diartikan
gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (Cultural
Expectations for Women and men). Misalkan, wanita dikenal dengan lemah
lembutnya, kecantikannya, emosional, dan keibuannya sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, perkasa, dan kejantanannya. Ciri-ciri sifat dari yang sudah disebutkan
diatas merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, semisal ada laki-laki yang
lemah lembuh; ada wanita yang kuat, rasional juga perkasa. Dari ciri perubahan
sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat yang
lain (Mansour Fakih, 1999: 8-9).[3]
Pengertian gender secara umum adalah kosakata yang berasal dari
Bahasa Inggris yang bermakna “jenis kelamin”, dalam glosarium dapat juga
disebut dengan seks dan gender. Gender sendirir diartikan sebagai “suatu sifat
yang melekat pada diri laki-laki maupun dalam diri perenpuan yang berkonstruksi
secara sosial. Kosakata gender bagi masyarakat Barat, khususnya masyarakat
Amerika sudah telah digunakan sekitar di zaman era tahun 1960 –an sebagai
bentuk perjuangan secara radikal, konservatif, sekuler maupun agama. Pada era
tersebut telah ditandai dan diwarnai dengan tuntutan kebebasan dan persamaan
hak agar para perempuan dapat menyamai laki-laki dalam ranah ekonomi, sosial,
politik dan bidang publik lainnya.[4]
Di Indonesia, kata gender
bagi masyarakat masih banyak yang mengasumsikan sebagai segala persoalan yang
identik dengan perempuan. Gender secara umum yang lazim dapat dikenal oleh
masyarakat yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dalam bidang anatomi biologi, hormon dalam tubuh, kimia, anatomi
fisik dan lain-lain. Oleh dasar itulah maka studi gender lebih menekankan
kepada perkembangan aspek yang maskulinitas atau feminitas seseorang. Sedangkan
konsep lainnya terkait dengan gender adalah suatu sifat yang melekat pada
laki-laki atau perempuan yang berkonstruksi secara sosial maupun kultural.
Menurut pandangan kaum feminis mengatakan bahwa gender adalah gerakan yang
memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan.
Tujuan mereka adalah agar untuk membebaskan para kaum perempuan dari kungkungan
agama, struktur dan budaya.[5]
C. Relasi antara laki-laki dan perempuan dalam lintasan sejarah
1.
Dalam
Islam konsep kesetaraan dan keadilan gender sesungguhnya telah menjadi bagian substantive
nilai-nilai universal Islam melalui pewahyuan (al-Qur’an dan al-Hadits) dari
Allah Yang Maha Adil dan Maha Pengasih. Posisi laki-laki dan perempuan
ditempatkan setara untuk kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia juga di
akhirat. Oleh karena itu, laki-laki dan
perempuan yang sama sebagai hamba Allah mempunyai hak-hak dan kewajiban, yang
membedakan hanyalah ketaqwaan di hadapanNya.[6]
Berbicara mengenai kedudukan perempuan, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan al-Qur’an. Dalam hal ini, salah satu ayat
yang dapat diangkat adalah firman Allah SWT yang berbunyi: ‘’ Wahai seluruh
manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu(terdiri) dari laki-laki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling
bertaqwa’’.[7]
Pada Ayat tersebut menjelaskan tentang asal mula kejadian manusia
dari seorang laki-laki dan perempuan juga sekaligus berbicara mengenai
kemuliaan manusia, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan. Yang dasar
kemuliaannya bukan keturunan, suku atau jenis kelamin, akan tetapi ketaqwaannya
kepada Allah swt. Hal ini senada dengan pernyataan bukunya ‘’min Tawjihad
Al-Islam’’ mantan Syekh al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut didalamnya bahwa ‘’
tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan
perempuan hampir dapat dikatakan sama, Allah swt telah menganugerahkan kepada
perempuan sebagaimana menganugerahkannya kepada laki-laki potensi dan kemampuan
yang cukup untuk memikul tanggung jawab dan menjadikan keduanya dapat melakukan
kegiatan maupun aktivitas yang bersifat umum maupun khusus’’.[8]
Jadi dalam Islam juga dalam al-Qur’an tidak ada perbedaan antara laki-laki dan
perempuan di hadapan Allah SWT, karena laki-laki dan perempuan itu mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama.
2.
Sejarah perbedaan gender (gender
diffences) antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender ini dikarenakan oleh
banyak hal, di antaranya dibentuk, sisosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksi secara sosial dan kultural yang melalui ajaran keagamaan maupun
negara.[9]
Dalam konsep Islam tentang Kesetaraan jender ini dibagi beberapa perspektif tetapi disini akan disebutkan 2 contoh diantaranya:[10]
a.
Perspektif Asal kejadian perempuan yakni,
Alquran menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan Allah dengan
derajat dan yang sama. Karena tidak adanya isyarat perbedaan dalam Alquran
bahwa perempuan pertama (Hawa) yang diciptakan oleh Allah adalah suatu ciptaan
yang mempunyai martabat yang lebih rendah dari laki-laki pertama (Adam). Jadi,
baik bahan yang digunakan untuk menciptakan laki-laki maupun perempuan,
keduanya berasal dari jenis yang sama.
b.
Perspektif
kemanusiaan yakni, sebelum datangnya Islam ada salah satu tradisi bangsa Arab
ialah mengubur hidup-hidup bayi perempuan karena alas an takut miskin atau
tercemar namanya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt:
وَإِذَا بُشْرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلْ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ
كَظِيْمٌ [58] يَتَوَارَ مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشْرَبِهِ أَيُمْسِكُهُ
عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرِابِ أَلاَ سَاء مَا يَحْكُمُونَ[59]
Dan
apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan,
hitam(merah padamlah) wajahnya, dia sangat bersedih (marah). Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya, (dia berpikir) akankah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan,
atau menguburkannya dalam tanah (hidup-hidup). Ketauhilah, alangkah buruk apa
yang mereka tetapkan itu (QS An-Nahl: 58-59).
Akan
tetapi Islam hadir dengan mereformasi dan melakukan revolusi terhadap tradisi
yang telah menginjak-injak kemanusiaan, terutama terhadap kaum perempuan. Islam juga melarang tradisi penguburan
hidup-hidup bayi perempuan dan mengecamnya sebagai perbuatan yang sangat
biadab.
3.
Hermanutika gender
Ada sebagian orang yang mengatakan juga
membaca Islam sebagai agama misoginis dan sangat paternalistik. Pendapat ini,
dan jika mereka ditanya, merujuk pada pernyataan yang diduga berasal dari
al-Qur’an khususnya tentang ketidaksetaraan gender juga pada sejarah panjang
diskriminasi terhadap perempuan dalam
masyarakat muslim. Mungkin kita tidak bisa menyangkal kenyataan tersebut,
karena memang al-Qur’an dapat dibaca
dengan model patriarkis (mengistimewakan laki-laki), dan juga bahwa
praktik-praktik represif terhadap perempuan dibanyak masyarakat muslim sering
kali akibat dari ketertundukan yang tidak kritis terhadap hal-hal yang dianggap
sebagai nilai-nilai dan aturan Islam, dan juga gambaran tentang perempuan di ruang
bawah sadar orang Islam benar-benar bersifat misoginis.[11]
Misoginis yaitu tidak suka terhadap wanita
atau kebencian terhadap anak perempuan. Yang dapat diwujudkan dalam berbagai
cara seperti diskriminasi seksual, fitnah perempuan, dan sebagainya.
Dalam islam masih konsep gender (relasi
laki-laki dan perempuan) masih menjadi perdebatan di kalangan umat Muslim. Dari
sebagian kalangan berpendapat bahwa gender dalam Islam tidak ada masalah, dan
sebagian pula yang menganggapnya ada masalah pada pandangan status quotentang
gender sudah saatnya digugat. Bila kita cermati, pangkal perbedaan pendapat
mereka sebenarnya terletak pada masalah interpretasi ayat. Oleh karena itu,
yang perlu dikaji dari persoalan krusial adalah menimbang perspektif
‘’keIslam-an’’ terhadap kedua pendapat tersebut.[12]
Al-Qur’an tidak memberikan beban gender
secara mutlak dan kaku kepada seseorang namun bagaimana agar adanya kewenangan
manusia untuk menggunakan kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran
laki-laki dan perempuan yang saling ,menguntungkan, baik dari sektor domestik
maupun sektor publik. Dalam konteks ini, terdapat beberapa alasan munculnya
dorongan al-Qur’an kea rah kesetaraan perempuan dan laki-laki. Yang pertama,al-Qur’an
memberikan tempat yang terhormat kepada seluruh umat manusia, yang meliputi
perempuan juga laki-laki. Yang kedua,secara norma etis al-Qur’an membela
prinsip-prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki. Islam menegaskan
prinsip-prinsip yang mendukung eksistensi keadilan gender dalam kaitan ini,
yaitu: pertama, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki peluang
dan potensi untuk menjadi hamba Allah yang ideal, mencapai derajat puncak
spirituallitas yang paling tinggi ialah muttaqin. Kedua, bahwa laki-laki
dan perempuan adalah sebagai khallifah Allah di bumi yang sama-sama memiliki
tugas untuk memakmurkan bumi. Ketiga, laki-laki dan perempuan juga sama-sama
menerima dan mengemban amanah primodial. Dan yang keempat, laki-laki dan
perempuan sama-sama terlibat dalam drama kosmis. Yang terakhir kelima,
laki-laki dan perempuan juga sama-sama berpotensi untuk meraih prestasi.[13]
D. Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an dan Hadits
1. Kesetaraan Gender dalam Al-qur’an, Gender tidak tertulis
secara jelas di Al-qur’an, namun hal-hal yang berkaitan dengan gender dapat
diketahui dalam penggunaan kata pria dan wanita dalam
Al-qur’an. Kedua kata tersebut dapat di sebutkan dalam tempat, diantaranya
yaitu “Mudzakar dan Muannas”, dapat menunjukkan kedewasaan dan menunjukkan kapasitas
dan tanggung jawab, juga menunjukkan kebesaran seorang tokoh.[14]
Terlepas dari itu kehadiran pria dan wanita di dunia merupakan
sebuah kesetaraan. Dan keduanya dapat menjalani perbuatan baik, mendapatkan
imbalan pahala setara tanpa pandang status pria ataupun wanita , dan keduanya
pun telah mendapatkan larangan untuk melakukan keji lagi Munkar. Dapat di
buktikan dalam Al-qur’an surah an-nahl
(16):90.[15]
إِنَّ اللهََيَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي الْقُرْبَى
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
“sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) perlaku adil dan berbuat kebajikan, memberikepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan,
dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (Q.S.
an-Nahl (16): 90)
Keberagaman dan
perbedaan yang ada pada laki-laki dan wanita merupakan sebuah fitrah
kemanusiaan. Karena bagaimana pun mereka yang bertakwa sajalah yang mendapatkan
tempat terbaik di sisi Allah. Perempuan bukanlah makhluk yang dipinggirkan dan
direndahkan martabatnya dan derajatnya. Komarudin Hidayat menyebutkan bahwa
Citra wanita yang diidealkan dalam al-qur’an ialah wanita yang memiliki
kemandirian politik (al-istiqlal al-siyasi), sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. al-Mumtahanah/60:12.[16]
يَأَيُّهَا النَّبِى إِذَا جَآ ءَكَ الْمُؤْمِنَتُ يُبَايِعْنَكَ
عَلَى أَنْ لَايُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا وَلَايُسْرِقْنَ وَلَايَزْنِيْنَ
وَلَايَقْتِلْنَ أَوْلَدَهُنَّ وَلَايَأْتِيْنَ بِبُهْتَنٍ يَفْتَرِيْنَهُ, بَيْنَ
أَيْدِيْهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ
وَلَايَعْصِيْنَكَ فِى مَعْرُوْفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ
اللهَ إِنَ اللهَ غَفُوْرٌرَّحِيْمٌ
“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan
Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat Dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan
kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah
janji setia mereka dan memohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam al-qur’an
membenarkan perempuan untuk menyuarakan kebenaran dan melakukan gerakan menentang
atau mengkritik yang disebut dengan ‘oposisi’ terhadap berbagai kemungkaran
sebagaimana disebutkan dalam Q.S. al-Taubah/9:71.[17]
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَتِ بَعْضُهُمْ أَوْلِيآءُ بَعْضِ
يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ
الصَّلَوةُ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَوتُ وَيُطِيْعُوْنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ, أُولَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
“ Dan Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka meyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang Munkar, mendirikan salat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Pada
perkembangan selanjutnya, semangat islam untuk mengangkat derajat perempuan,
terkadang juga terhalang oleh budaya dan sebagai teks-teks keagamaan yang
dipahami secara tekstual dan partikular. Hak-hak perempuan untuk berkiprah atau
melakukan kegiatan dengan semangat di luar rumah sering dikebiri, ketidakadilan
terhadap perempuan masih hidup dan tumbuh subur di tengah-tengah masyarakat
Indonesia. Berbagai teks al-qur’an maupun hadis yang secara tekstual
menampakkan ketidak berpihakkan kepada kaum perempuan, selalu menjadi
justifikasi dan pembenaran sikap diskriminatif terhadap perempuan. Teks
keagamaan tersebut di pahami oleh sebagian pemikir islam konservatif dan
ditranmisikan apa adanya, tanpa mempertimbangkan asbab al-nuzul dan asbab
al-wurudnya. Itulah salah satu sebab adanya diskriminasi perempuan.[18]
2.
Sedangkan
kesetaraan gender dalam Hadits menjelaskan bahwa banyak hadits yang secara tekstual
mengisyaratkan adanya posisi yang berbeda di antara laki-laki dan perempuan,
oleh sebab itu hal ini kaum perempuan diposisikan sebagai kelompok yang selalu
berada dibawah laki-laki, baik dalam ranah keluarga, ekonomi, social, maupun
politik. Akan tetapi, dalam kontekstual
hadis dengan mencermati dan memahami secara holistic akan ditemukan makna yang
sebaliknya, yaitu hadis-hadis yang sudah menunjukkan adanya kesamaan kedudukan
antara laki-laki dan perempuan dalam sisi martabat dan derajat disisi Allah
SWT. Dalam Islam justru mengangkat hak-hak perempuan yang sebelumnya telah
terpasung oleh budaya-budaya jahiliyyah, sebagaimana yang telah disebutkan juga
dijelaskan ayat-ayat diatas.[19]
Hadis tentang penciptaan perempuan menjadi contoh dari sekian hadis
yang menunjukkan adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, bahkan Nabi
saw pun secara jelas memerintahkan
ummatnya untuk berlaku baik kepada semua perempuan. Sebagaimana hadis berikut;[20]
عن أبى هريرة –
رضى الله عنه – قَالَ قَالَ رسول الله - صلى الله عليه وسلم – [[ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ،
فَإِنَّ الْمَرْأَةً خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعِ، وَإِنْ أعْوَجَ شَىْءٍ فِى الضِّلَعِ أَعْلاَهُ
، فَإِنَّ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
، فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ]]
Hadis tersebut mempunyai kualitas sanad yang sahih, akan
tetapi para ulama’ masih belum satu kata dalam menerima kejujjahan hadis
tersebut, dikarenakan hadis tersebut masih masuk dalam kategori hadis ahad.
Dan para
ulama serta para sarjana masih memperselisihkan keotentikan hadis tersebut
sebagai sabda Nabi saw. Secara umum pula ulama terbagi menjadi dua kelompok
untuk memahami hadis yakni, kelompok pertama ; menerima hadis tersebut baik sanad
maupun matannya sebagai sabda Nabi saw. Kelompok pertama yang menerima
validitas hadis ini juga terbagi menjadi
dua pendapat, pendapat yang pertama; memahami hadis tersebut secara tekstual,
sehingga menurut pendapat mereka, perempuan (Hawa) benar-benar diciptakan dari
tulang rusuk laki-laki (Adam). Untuk kelompok kedua; berpendapat bahwa matan
hadis tersebut tidak valid, sehingga harus ditolak. Hadis tersebut dijadikan
justifikasi kebenaran tafsir mereka dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
tentang awal penciptaan manusia, khususnya surat al-Nisa’ ayat pertama;[21]
يَا أَيُّهَاالنَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَنِسَاءً
Kata nafs wahidah dalam ayat
tersebut, ditafsirkan dengan Adam, sedangkan kata zawjaha dimaknai
dengan Hawa. Hadis tersebut dipahami apa adanya atau tekstual yang sesuai
informasi hadis bahwa mereka berpendapat penciptaan Hawa berasal dari tulang
rusuk Adam. Pendapat ini melahirkan pandangan yang menganggap perempuan
diciptakan sebagai pendamping dan pelengkap laki-laki. Pendapat ini menurut tim
penerjemah al-Qur’an Depaq RI, merupakan pendapat mayoritas ulama tafsir.
Diantara ulama’ yang memiliki pandangan ini adalah Jalal al-din al-Suyuti (W
911 H), Ibnu Kathir (W 774 H), Al-Qurtubi (W 671 H), al-Biqa’I (W 885 H), DAN
Abu Sa’ud (W 982 H).[22]
Sedangkan pendapat kedua dari kelompok
pertama, memahami hadis tersebut secara metaforis, yang merupakan hasil dari
tarik menarik antara redaksi hadis tersebut dengan ayat al-Qur’an. Pada umumnya
mereka memahami kata nafs wahidah dalam surat al-Nisa’ ayat 1 dengan
arti ‘’jenis yang satu’’, sehingga zawjaha berarti ‘’bahan atau jenis
yang satu’’, sebagaimana penciptaan Adam.[23]
Kelompok kedua adalah kelompok yang menolak
validitas hadis tersebut. Mereka juga berpendapat bahwa kata nafs wahidah dalam
satu surat al-Nisa’ ayat 1, mempunyai arti ‘’jenis yang satu’’, sehingga kata
zawjaha berarti ‘’bahan atau jenis yang satu’’, sebagaimana penciptaan Adam.
Dengan demikian, menurut mereka ayat tersebut sama sekali tidak mendukung paham
yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Oleh karena itu,
hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki
harus harus ditolak karena tidak sesuai dengan ayat al-Qur’an. [24]
Dari beberapa uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa, secara umum terdapat tiga pendapat mengenai interpretasi
hadis tentang penciptaan perempuan. Pertama; interpretasi tekstual. Ini
berarti, perempuan (Hawa) harus diciptakan dari tulang rusuk laki-laki (Adam).
Kedua; interpretasi metaforis. Hadis ini mengandung pesan bahwa perempuan harus
diperlakukan dengan baik,bijaksana dan tanpa kekerasan. Ketiga; menolak hadis
tersebut, karena bertentangan dengan ayat al-Qur’an surat al-Nisa’ ayat 1 yang
menegaskan bahwa laki-laki (Adam) dan perempuan (Hawa) diciptakan dari bahan atau
jenis yang sama.[25]
3. Konsepsi gender dalam pandangan Islam (Al-Qur’an dan Hadis)
Informasi dan perintah dari syariat yang
disampaikan melalui media khusus kepada Muhammad saw merupakan Al-Qur’an.
Sebagai manusia pertama yang penerima wahyu (Al-Qur’an) kemudian disampaikan
kepada umat untuk kemaslahatan manusia agar dapat membentuk realitas budaya
dibawah pancaran Qurani. Kebenaran Al-Qur’an, dimanapun umat Islam berada pasti
menjadikannya pedoman hidup mereka yang berfungsi sebagai frame yang membingkai
mereka dalam beribadah dan bermuamalah. Mereka juga percaya bahwa ajaran
Al-Qur’an mengandung ajaran yang bersifat universal berlaku dimana saja
melewati batas-batas suku, wilayah, bahasa dan budaya sehingga dikatakan shahih
likulli zaman wa makan.[26]
Mengingat peran dan fungsi strategis yang
dimiliki oleh Al-Qur’an, maka ia juga harus bisa dan mampu menjawab tantangan
serta persoalan-persoalan kekinian (modern) dan yang akan datang agar dapat
member problem solving kepada umat terutama kaum awam. Dengan begitu,
interpretasi-interpretasi kontekstual sangat dibutuhkan untuk menjawab
tantangan dan persoalan keutamaan yang semakin komples yang kadang kala masih
terpaku pada interpretasi normatif-tekstual.[27]
Di antara persoalan yang dihadapi oleh Al-Qur’an dan harus diberi way out adalah
masalah gender serta ketidakadilan perlakuan antara laki-laki dan perempuan.
Terutama adanya anggapan bahwa agama sebagai biang keladi ketidakadilan gender
itu, agama juga dijadikan sebagai justifikasi dalam membedakan antara laki-laki
dan perempuan. Akan tetapi, apabila diteliti secara cermat justru Al-Qur’an
dapat memberikan penjelasan lebih detail, tajam, dan mendalam.[28]
Dalam beberapa ayat disebutkan beberapa
kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki, seperti sebagai pelindung,
penerima waris, saksi yang efektif, diizinkan berpoligami, dengan beberapa
syarat tertentu. Akan tetapi, kelebihan tersebut yang tercantum dalam Al-Qur’an
dalam kapasitasnya sebagai bagian dari masyarakat social dan tidak
menjadikannya sebagai hamba utama. Kapasitas manusia sebagai hamba yang baik
laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan penghargaan yang didasarkan suku,
agama, dan budayanya, melainkan ketakwaan terhadap Tuhannya. Allah berfirman
dalam Q.S. an-Nahl (16) : 97. Terjemahannya adalah: [29]
Barang siapa yang mengerjakan amal shalih,
baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan
kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan.
E. Penutup
Berdasarkan uraian pada pembahasan diatas, maka dapat disimpulkan
beberapa pernyataan sekaligus menjadi kesimpulan sebagai berikut:
Kesetaraan gender adalah persamaan hak dan tanggung jawab laki-laki
maupun perempuan. Keduanya dapat menjalankan perbuatan baik, mendapatkan
imbalan pahala setara tanpa pandang status, dan keduanya pun mendapatkan
larangan untuk melakukan perbuatan keji lagi mungkar. Keberagaman dan perbedaan
yang ada pada laki-laki dan perempuan merupakan sebuah fitrah kemanusiaan. Hal
tersebut tidak menjadikan keduanya untuk saling mengenal dan memahami satu sama
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Manoppo,
Rukmina. Meretas Kesetaraan Gender. Malang: UM Press, 2012.
Sumbulah, Umi,
Akhmad Kholil, Nasrullah. Studi Al-Qur’an dan Hadis. Malang: UIN Maliki Press,
2014.
Mulyadi, Ahmad. Relasi laki-laki dan perempuan. Al-Hikam Vol. IV
No.1 Juni 2009.
Mufidah. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing. 2003.
Faishol, M. Hermanutika Gender. Malang: UIN Maliki Press, 2011.
Fakih, Mansour. Analisis Gender dan Transformasi sosial.
Yogyakarta: Pustaka Belajar, 1996.
Yahido, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Bandung:
Ghalia Indonesia
Mufidah. Isu-isu Gender Kontemporer. Malang: UIN Maliki PRESS, 2010.
Mufidah. pengarusutamaan GENDER pada basis keagamaan. Malang: UIN Maliki PRESS, 2009
Catatan:
1.
Abstrak
hanya satu paragraf.
2.
Pendahuluan
belum menemukan format logika penulisan yang bagus.
3.
Footnote
dan daftar pustaka perlu diperbaiki.
4.
Tulis
makalah dengan cara penulisan yang baik. Baris pertama dalam paragraf perlu
agak dijorokkan.
5.
Sistematika
makalah ini kurang jelas. Anda sebagai penulis pasti bisa merasakannya.
6.
Hermeneutika
bukan menjadi pembahasan sendiri, tetapi ia bisa dimasukkan dalam pembahasan
Kesetaraan gender menurut Alquran dan hadis.
[1]Mufidah, pengarusutamaan GENDER pada
basis keagamaan, (Malang: UIN Maliki PRESS, 2009), hlm.1-2.
[2]Ibid, hlm.5.
[3]Mufidah, Paradigma GENDER, (Malang:
Bayumedia publishing, 2003), hlm. 3.
[4]Mufidah, Isu-isu Gender Kontemporer,
(Malang: UIN Maliki PRESS, 2010), HLM.3.
[5]Ibid, hlm 3-5.
[6]Ibid, hlm. 11.
[7]Ibid, hlm. 11.
[8]Ibid, hlm. 11-12.
[9]Mansour fakih, Analisis GENDER &
Transformasi sosial, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 1996), hlm. 9.
[10]Huzaemah Tahido Yahido, Fikih
perempuan kontemporer, (Bandung: GHALIA INDONESIA, ), hlm.91-94.
[12]AhmadMulyadi, ‘’RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN’’. al-ihkamVol.
IV NO. 1, Juni 2009,55.
[13]Ibid, 57.
[14]Umi Sumbulah, Akhmad Kholil, dan Nasrullah, Studi
Al-Qur’an dan Hadis,( Malang: Uin Maliki PRESS, 2014), HLM. 265.
[15]Ibid, hlm.265.
[16]Ibid, 265-266.
[17]Ibid, hlm. 267.
[18]Ibid, hlm. 270.
[19]Ibid, hlm. 271.
[20]Ibid, hlm. 271-272.
[21]Ibid, hlm.273.
[22]Ibid, hlm.273
[23]Ibid, hlm.274.
[24]Ibid, hlm.274.
[25]Ibid, hlm.275.
[26]Rukmina G. Manoppo, Meretas
Kesetaraan Gender, (Malang: UM PRESS, 2012), hlm. 81.
[27]Ibid, hlm. 82.
[28]Ibid, hlm. 82-83.
[29]Ibid, hlm. 86.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar