Mahasiswa
PAI B angkatan 2016 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail: szulaicha10@gmail.com
Abstract
This
article describes the second source of the religion of Islam, the Hadith.
Hadith is everything that comes from the Prophet Muhammad saw from the word
(kauliyah), deed (fi'liyah), the decree of the prophet (tarqririyah), and
(ahwali) and can also come from the friends and tabi'in. So in this discussion
there is also an explanation of the difference between atsar, khabar, sunnah
and hadith own. In the book of hadith not necessarily directly into a hadith,
but the hadith experienced several stages before becoming sepintal book, as
well as bookkeeping Al Quran into manuscripts that have previous stages. Hadith
at the beginning of the Prophet's time is forbidden to be recorded because it
is feared will be mixed with the verses of Al Quran. However, the Companions of
the Prophet are the ones who wrote the hadith but as personal records and even
those written which are according to the Companions are important to his life.
Then at the time of the Abbasids, when the sons of Amawiyah occupied the
Caliphate held by Umar bin Abdul Aziz, he paid full attention to the collection
of hadith. Because at that time Al Quran has been recorded before the
government of Umar bin Abdul Aziz since the Caliph Uthman ibn Affan. The
bookkeeping started by ordering the government of Medina at that time to write
down the hadith that existed in the scholars of the hadith madinah scholars.
But in the collection of hadith in the time of Umar bin Abdul aziz the hadith
of the Prophet is still mixed with the words of friends and tabi'in. Then after
the time of Umar bin Abdul Aziz, the bookkeeping of the hadith has continued to
improve to this day. Related to the separation between the words of the prophet
Muhammad with the words of the Companions or the tabi'in, the validity of the
hadith, and so forth.
Abstrak
Artikel
ini menjelaskan tentang sumber agama Islam yang kedua yaitu Hadits. Hadits
adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw mulai dari perkataan
(kauliyah), perbuatan (fi’liyah), ketetapan nabi (tarqririyah), dan (ahwali)
dan juga dapat berasal dari para sahabat dan tabi’in. Maka dalam pembahasan ini
pula terdapat penjelasan tentang perbedaan antara atsar, khabar, sunnah dan
hadits sendiri. Dalam pembukuan hadits tidak serta merta langsung menjadi
sebuah hadits, tetapi haditsmengalami beberapa tahapan sebelum menjadi sepintal
kitab, sama halnya dengan pembukuan Al quran menjadi mushaf yang memiliki
tahapan-tahapan sebelumnya. Hadits pada awal masa Rasulullah dilarang untuk
dicatat karena dikhawatirkan akan tercampur dengan Ayat-ayat Al Quran. Tetapi,
para sahabat Nabi ada yang menulis hadits tetapi sebagai catatan pribadi dan
yang ditulis pun adalah hal-hal yang menurut sahabat itu penting bagi
kehidupannya. Kemudian pada masa Abbasiyah, saat bani Amawiyah menduduki
kekhalifahan yang dipegang oleh umar bin Abdul Aziz, beliau memberikan
perhatian penuh terhadap pengumpulan hadits. Karena pada masa tersebut Al Quran
telah dibukukan sebelum pemerintahan umar bin abdul aziz yaitu sejak masa
khalifah Utsman bin Affan. Pembukuan tersebut dimulai dengan memerintahkan
kepada pemerintah Madinah saat itu untuk menuliskan hadits yang ada pada para
ulama ahli hadits madinah.Tetapi dalam pengumpulan hadits dimasa umar bin abdul
aziz hadits Nabi masih tercampur dengan sabda-sabda dari sahabat dan tabi’in. Kemudian
setelah masa Umar bin Abdul Aziz ini, pembukuan hadits terus mengalami
perbaikan sampai saat ini. Berhubungan dengan pemisahan antara sabda nabi
Muhammad dengan sabda para sahabat ataupun para tabi’in, kesahihan hadits, dan
lain sebagainya.
Keywords:Hadits,
Sunnah, Atsar, Khabar, Historitas
A.
Pendahuluan
Hadis merupakan
dasar sumber dalam agama Islam, yang dijadikan sebagai acuan untuk menetapkan
suatu hukum yang belum dijelaskan dalam Al Quran ataupun tidak ada di dalam Al
Quran. Karena, tidak semua penjelasan tentang berbagai permasalahan ada di
dalam Al Quran.Ayat-ayat yang terdapat dalam Al Quran kebanyakan hanya
menjelaskan secara global (mujmal) dan tidak terperinci. Maka dengan adanya
Hadits, apa yang masih mujmal diperinci dalam Hadits, jika ayat Al Quran telah
berupa perincian maka dipertegas dengan adanya Hadis dan hukum yang belum ada
di dalam Al Quran bisa diketahui di dalam Hadis. Rasulullah pun telah memberikan
sebuah wasiat kepada umat muslim yang disampaikana kepada Aisyah dalam sabdanya
“ Telah aku tinggalkandua perkara kepadamu. Dan kamu tidak akan tersesat
setelah itu, yaitu Kitabullah dan Sunnahku”
(HR. Hakim dari Abu Hurairah).Dari sabda Nabi Muhammad saw tersebut maka dapat
diketahui bahwa Hadits memiliki tempat yang tinggi dalam penetapan hukum-hukum
Islamyaitu sebagai sumber hukum Islam yang kedua.
Hadis sendiri
merupakan segala tindak tanduk dari Nabi Muhammad saw berupa perkataan (qauli),
perbuatan (fi’li), ketetapan (taqriri), keinginan atau hasrat (hamimi), dan keadaan
beliau (ahwali). Ada pula yang berpendapat bahwa bukan hanya yang berasal dari
Nabi Muhammad saw yang disebut sebagai Hadis, tetapi segala sesuatu yang
disandarkan terhadap sahabat dan Tabi’in pun juga disebut sebagai Hadis. Maka
ada yang disebut dengan hadis, sunnah, atsar, dan khabar. Semua Istilah
tersebut disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw, Sahabat, dan Tabi’in. Hal tersebut muncul ketika proses
pengumpulan hadis pada masa awal, karena pada saat itu pengumpulan hadis hanya
sekedar mengumpulkan tidak dengan memilah-milah antara sabda Nabi Muhammad,
perkataan sahabat ataupun perkataan Tabi’in.
Maka
dari itu, kita sebagai seorang muslim kita haruslah dapat memahami tentang
hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua dan perbedaannya dengan sunnah,
atsar dan khabar. Agar kita tidak salah pemahaman dalam mengartikan makna
tersebut. Maka dari itu kami akan memaparkan tentang penjelasan tentang
bentuk-bentuk Hadis, dan perbedaannya dengan sunnah, atsar, dan Khabarserta
sejarah hadis dalam masa ke masa hingga menjadi sebuah kitab hadis, yang
dijadikan sebagai rujukan untuk memahami dan mengetahui Hadis.
B.
Pengertian
hadits/sunnah dan macam-macamnya (qauli, fi’li, taqriri, ahwali)
Hadits menurut bahasa memiliki beberapa arti
yaitu Jadid, lawan dari qodim yang artinya baru, Qorib yang artinya dekat, yang lama belum terjadi,
seperti dalam perkataan “Haditsul ahdi bil islam” orang yang baru memeluk agama
islam, Khabar yang artinya warta, yakni “Ma yutahaddatsu bihi wayunqolu”
: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang.
Dari makna inilah diambil perkataan “Hadits Rosululloh”.[1]
Sedangkan secara terminologis, para ulama baik
dari ulama hadis, ulama ushul, ulama fiqih mereka mendefinisikan sunnah
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang mereka masing-masing dalam melihat
Nabi Muhammad SAW. Ulama hadist memandang nabi sebagai orang yang sempurna
serta sebagai imam, atau pemberi petunjuk dan juga sebagai suri tauladan yang
baik. Para ulama hadis menukilkan segala sesuatu yang berhubungan dengan nabi baik
berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan lain sebagainya. Ulama ushul
memandang nabi sebagai orang yang menetapkan hukum islam dan juga orang yang
menetapkan ketentuan untuk para mujtahid dalam menetapkan hukum islam. Ulama
fiqh memandang nabi dari segi perbuatannya yang dimana bermuatan dengan
hukum-hukum syara’ baik berupa perbuatan wajib, sunnah, mubah, haram, ataupun
yang lainnya.
Bermula dari sudut pandang di atas para ulama
hadist mensinonimkan antara definisi dari pengertian sunnah dan hadist sebagai
berikut:
السنة في الصطلاح المحدثين : هي كل
ما اثرعن الرسول صلّى الله عليه و سلّم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خلقيه أو
خلقيه أو سيرة سواء كان ذلك قبل البعثة كتحنثه في غار حراء أم بعدها
“Sunnah dalam pengertian para ulama hadis
adalah segala riwayat yang berasal dari Rosululloh baik berupa perkataan,
perbuatan, ketetapan(taqrir), sifat fisik dan tingkah laku, baik sebelum
diangkat menjadi Rosul ataupun sesudahnya diangkat menjadi Rosul”.[2]
Jadi arti dari pengertian sunnah dan hadist
menurut para ulama hadis adalah semua hal yang dimana mencakup segala aspek
dari kehidupan nabi yang dimulai sejak beliau lahir hingga beliau wafat, serta
setelah beliau diangkat menjadi nabi ataupun sebelumnya yang dimana menunjukkan
hukum syari ataupun tidak. Dalam definisi yang dikemukakan oleh ulama hadis
diatas bahwasannya cakupan sunnah/hadis sangatlah luas yang dimana mencakup
segala aspek dari nabi Muhammad SAW. Dengan begitu nabi Muhammad SAW dapat dianulir
sebagai seseorang yang dapat dijadikan suri tauladan, panutan yang patut
dicontoh, dan pemimmpin yang harus diikuti dan ditaati. Beberapa pokok yang
dianulir sebagai karakter nabi tersebut sesuai dengan dalil-dalil dari
al-quran, misalnya saja seperti ayat yang menyatakan keteladanan nabi Muhammad
SAW. Dalam surat al-ahzab:21, Allah berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله اسوة حسنة
“Sesungguhnya telah ada pada diri
Rosululloh suri tauladan yang baik”[3]
Adapun
analisis yang menyangkut rumusan keterikatan umat dengan hadis adalah rumusan
para ulama ahli ushul. Bagi ulama ushul, maksud hadis yang dikemukakan oleh
ulama hadis adalah memang hadis. Tetapi yang terpenting bagi ulama ushul adalah
hadis apapun yang mengikat umat islam sebagai konsekuensi dari syahadat. Karena
itu, rumusan makna hadis dalam pemaknaan ulama ushul pengertian definisinya
lebih panjang, namun maknanya lebih sempit dan terbatas. Dalam rumusan para
ulama ushul, ada beberapa penambahan kata yang sebagaimana terlihat dalam salah
satu pengertiannya sebagai berikut:
كل ما صدر عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم من قول أو فعل
أو تقرير ممّا يصلح أن يكون دليلا لحكم شرعيّ
“Semua yang bersumber dari nabi baik berupa
perkataan, perbuatan, atau ketetapan(taqrir) yang dapat dijadikan sebagai dalil
hukum agama(syari)”.[4]
Dalam pengertian definisi pengertian
sunnah/hadis diatas ulama ushul mengkategorikan maknanya dalam dua kategori,
yaitu yangpertamaadalah bahwa yang
dimaksud hadis itu segala sesuatu yang dinukilkan kepada nabi setelah diangkat
menjadi nabi/rosul. Sementara hadis yang dinukilkan kepada nabi sebelum
diangkat menjadi nabi/rosul tidak dapat dikategorikan sebagai hadis. Kedua
adalah bahwa batasan yang dikategorikan sebagai hadis itu adalah yang dapat
dijadikan dasar hukum agama.
Sementara itu, ulama fiqh mendefinisikan
sunnah/hadist sebai berikut:
كل ما ثبت عن النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم و لم يكن من
باب االفرض ولا الواجب
“Segala yang ditetapkan dari nabi Muhammad SAW
tetapi tidak termasuk fardhu dan tidak pula wajib”.[5]
Ulama fiqh memaknai sunnah/hadist terfokus pada
aspek praktis yang dimana nabi Muhammad SAW di pandang sebagai sosok yang
perilakunya bermuatan hukum syara’. Dalam hal tersebut para ulama fiqh
menfokuskan atau memusatkan sunnah/hadis sebagai hukum syara’ dimana dikaitkan
dengan perbuatan para orang mukalaf yang
berupa fardhu ataupun wajib. Selain nabi Muhammad dipandang sebagai penyampai
risalah beliau juga sebagai pelaksana dari risalah tersebut. Sehingga segala
sesuatu yang dikatakan dan dilaksanakan nabi tidak berupa fardhu atau wajib,
tetapi disebut sebagai sunnah. Oleh sebab itu, para ulama fiqh mendefinisikan
sunnah/hadis dengan segala sesuatu yang berasal dari nabi tetapi tidak termasuk
fardhu atau wajib.
Dilihat dari segi bentuknya, hadis nabi dapat
diklarifikasikan menjadi lima, yaitu: hadis yang berupa ucapan (hadis qowli),
hadis yang berupa perbuatan (hadis fi’li), hadis yang berupa persetujuan (hadis
taqriri), hadis yang berupa hal ihwal (hadis ahwali), dan hadis yang berupa
cita-cita (hadis hammi).
1.
Hadis yang Berupa Ucapan (Qowli)
Segala
perkataan nabi baik berkenaan dengan ibadah maupun kehidupan sehari-hari
disebut dengan hadis qowli, yaitu segala bentuk perkataan atau ucapan yang
disandarkan kepada nabi. Perkataan atau ucapan tersebut berisi tentang sebuah
tuntunan, petunjuk syara, peristiwa-peristiwa, dan kisah-kisah, baik yang
berkaitan dengan aspek akidah, syariah, maupun akhlak. Contoh hadis qowli
adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdulloh ibn Umar bahwa Rosululloh
bersabda:
بني
اللإسلام على خمس شهادة ان لا اله الاّ الله و انّ محمّدا رسول الله واقام الصلاة
وايتاء الزّكاة والحخّ والصوم رمضان
“Islam ditegakkan atas lima perkara, yaitu
bersaksi bahwa tiada tuhan selain allah dan bahwa nabi Muhammad rosul Allah,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan haji, dan berpuasa bulan
romadhon”.[6]
Periwayatan
hadis nabi secara qowli dilakukan dengan beberapa cara. Pertama adalah sabda
nabi yang disampaikan dihadapan orang banyak, baik melalui majlis ta’lim,
khutbah, ceramah, dan sebagainya. Keduaadalah sabda nabi yang dikemukakan
didepan seorang atau beberapa orang saja. Hadis qowli seperti ini pernah
disampaikan oleh nabi didepan salah seorang sahabat yang berisi jawaban atas
pertanyaan yang diajukan oleh sahabat itu.Ketiga adalah hadis qowli yang
dikemukakan oleh nabi karena sebab tertentu yang mendorongnya untuk
menyampaikan hadis yang berkenaan dengan suatu peristiwa. Keempat adalah hadis
yang disampaikan dalam bentuk sabda tetapi tidak disertai dengan sebab
tertentu. Nabi dalam hal ini bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorongnya
untuk menyampaikan sebuah hadis. Karena hadis ini disampaikan oleh nabi dalam
rangka mrnyampaikan ajaran islam sebagai tugas risalahnya meskipun tidak ada
yang melatarbelakangi kemunculan hadis yang dimaksud. Kelima adalah pada umumnya,
nabi tidak menyertakan perintah untuk menulis sabda itu kepada sahabat
tertentu. Akan tetapi adakalanya nabi menyertakan perintah kepada sahabat
tertentu untuk menulis sabda yang diucapkannya itu.[7]
2.
Hadis yang Berupa Perbuatan (fi’li)
Yang
dimaksud dengan hadis fi’li adalah segala perbuatan yang disandarkan kepada
nabi, seperti halnya ketika nabi melaksanakan sholat, wudhu, dan lain
sebagainya yang disampaikan kepada sahabat untuk umat islam. Contoh hadis fi’li
adalah sebagai berikut:
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : كان
رسول الله صلّى الله عليه و سلّم اذا قام للصّلاة رفع يديه حتّي تكونا حذو منكبيه
ثم كبّر
“Dari Ibn Umar r.a ia berkata:’Rosululloh jika
melaksanakan sholat mengangkat kedua tangannya hingga sejajar bahunya kemudian
takbir” (HR. al-Bukhari).[8]
Hadits yang berupa perbuatan(fi’li) ini
dilakukan oleh nabi untuk ditunjukan kepada para sahabat dan para sahabat
menginformasikannya kepada umat islam. Hadits fi’li ini juga memiliki beberapa
kategori tentang kemunculannya:
Pertama, hadits yang berupa perbuatan yang
dilakukan oleh nabi dan kemunculannya disebabkan oleh sebab tertentu serta
disaksikan oleh seorang atau lebih sahabat. Kedua,hadits fi’li yang muncul
karena tidak disebabkan oleh sebab tertentu. Hadits-hadits yang tergolong
seperti ini lebih banyak dibanding hadits-hadits yang kemunculannya disebabkan
oleh sebab tertentu. Jumlah hadits kategori ini sangat banyak mencakup segala
aktivitas yang nabi lakukan baik berkenaan dengan ibadah maupun muamalah,
bahkan berita tentang doa-doa nabi juga merupakan sebagian dari hadits fi’li.
Misalnya:
كان اكثر دعاء النّبيّ صلّى الله
عليه و سلّم اللهمّ آتنا في الدنيا حسنة وفي الأخرة حسنة وقنا عذا ب النّار
“Doa yang paling banyak dilakukan nabi
Muhammad SAW adalah Allahumma atina fi ad dunya hasanah wa fi al khiroti
hasanah waqina adzab an nar”(HR.Muttafaq alaih).”[9]
Hadits diatas menjelaskan bahwa aktivitas
doa yang paling banyak dilakukan oleh
Rosululloh adalah doa tentang permohonan kehidupan yang sejahtera di dunia dan
di akhirat, serta terhindar daridari siksa api neraka. Karena doa ini dilakukan
oleh nabi, apalagi dilakukan berulang-ulang maka dapat dinilai sebagai
perbuatan nabi.
Ketiga,hadits yang berupa perbuatan (fi’li)
yang dimana kemunculannya untuk disampaikan kepada orang banyak atau dilakukan
dihadapan orang banyak. Sebagaimana diinformasikan oleh Aisyah, pada suatu
malam Rosululloh sholat di masjid. Lalu orang-orang ikut sholat barsama nabi
hingga malam ketiga. Kemudian pada malam keempat orang-orang berkumpul untuk
melakukan sholat berjamaah bersama Rosululloh lagi, akan tetapi Rosululloh
tidak keluar dari rumahnya dan bersabda:
قد رايت الذى صننتم ولم يمنعني من
الخروج اليكم الاّ انّى قد خشيت ان تفرض عليكم
“Sesungguhnya saya telah melihat apa yang
telah kalian lakukan. Dan tidak ada sesutupun yang menghalangi saya untuk
keluar menjumpai kalian, terkecuali saya sesungguhnya khawatir kalian akan
menyangka bahwa sholat malam tersebut diwajibkan atas kalian.”[10]
Keempat, hadits yang berupa perbuatan
(fi’’li) yang dilakukan dihadapan satu atau beberapa orang saja. Diantara
kategori hadits fi’li ini adalah sebuah hadits tentang cara sholat nabi diatas
kendaraan, yang bebunyi:
كان النّبيّ صلّى الله عليه و سلّم
يصلّى على رحلته حيث توجهت به
“Nabi sholat diatas tungganganya, kemana saja
tunggangannya itu menghadap.”[11]
Aktivitas sebagaimana dalam hadits diatas
dilakukan oleh Rosululloh didepan beberapa sahabat yang kebetulan mengikuti
nabi dalam perjalanan, hal ini tidak dilakukan nabi didepan khalayak banyak
seperti khitabah.
Adapun para ahli ushul juga berpendapat
tentang sebuah perbuatan nabi ini, yang dimana para ahli ushul membaginya
menjadi tiga bagian yaitu: pertama, perbuatan yang dilakukan oleh nabi Muhammad
SAW berdasarkan tabiat, seperti duduk, berdiri dan berjalan. Kedua, perbuatan
yang dilakukan oleh nabi Muhammad atas dasar tradisi (adat), seperti cara
makan, minum, dan tidur. Ketiga, perbuatan yang dilakukan oleh nabi Muhammad
SAW, namun dengan maksud tidak jelas, apakah perbuatan tersebut dimaksudkan
untuk mendekatkan diri (qurobbat) dan bernilai ibadah, atau perbuatan
itu semata-mata lahir karena faktor tradisi dan adat kebiasaan.[12]
Untuk perbuatan yang pertama dan kedua,
yakni perbuatan yang dilakukan Rosululloh berdasarkan tabiat beliau sebagai
manusia atau perbuatan yang dilakukan atas dasar adat kebiasaan (tradisi), maka
dari itu tidak ada keharusan bagi umat islam untuk mengikutinya. Namun
demikian, seandainya perbuatan tersebut tetap dilakuakan, maka tidak ada pula
larangan. Sementara itu untuk perbuatan yang ketiga, yakni perbuatan yang tidak
jelas maksudnya, maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat tentang keharusan
bagi umat islam untuk mengikutinya. Perdebatan ini dapat di kategorikan menjadi
tiga kelompok.
Pertama, yang diwakili oleh Imam Malik dan
Hasan al Bashri, berpandangan bahwa ada sebuah keharusan bagi semua umat islam
untuk mengikuti sebagian perbuatan tersebut, sepanjang tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut berlaku khususbagi nabi. Kedua,kelompok
yang diwakili oleh Imam Abu Hanifah dan Ushuliyun, berpendapat bahwa sunnah
hukumnya bagi umat islam mengikuti segala perbuatan Rosululloh. Ketiga,
kelompok yang dimotori oleh pengikut al Ash ari, berpandangan bahwa perbuatan
Rosululloh yang tidak jelas maksudnya tersebut tertangguh untuk diikuti, hingga
terdapat dalil lain yang menuntut pelaksanaanya.[13]
3.
Hadits yang Berupa ketetapan (Taqrir)
Menurut
Abd Wahab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh berpendapat bahwa hadits taqrir
adalah penetapan Rosululloh atas sesuatu yang dilakukan sahabat baik berupa
ucapan maupun perbuatan dengan cara Rosululloh diam (tidak menyangkal), setuju
dan menganggapnya bagus.[14] Dalam
pengertian taqrir ini al Qodir juga berpendapat bahwa taqrir disebut juga
dengan iqrar yang berarti diamnya Rosululloh dari membantah suatu perkataan
atau perbuatan yang disampaikan atau dilakukan dihadapan beliau. Dari pendapat
diatas dapat diketahui bahwa hadits taqrir adalah suatu ketetapan nabi yang
dimana pada waktu itu membiarkan atau memdiamkan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh sahabat, tanpa memberi penegasan bahwa yang dilakukan sahabat itu benar
atau salah.
Contoh
dari hadits taqrir sendiri yaitu terdapat dalam sebuah hadits yang menjelaskan
bahwa Rosululloh membiarkan para sahabat memakan daging biawak, akan tetapi
Nabi sendiri tidak memakan daging tersebut dan tidak pula mengharamkannya.[15] Dari
contoh tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa daging biawak itu tidak haram dan
juga tidak dilarang untuk memakan dagingnya yang dimana sesuai dengan ketetapan
nabi diatas.
4.
Hadits yang berupa hal ihwal (ahwali)
Yang
dimaksud dengan hadits ahwali adalah hadits yang berupa hal ihwal nabi yang
berkenaan dengan sifat-sifat dan kepribadian serta keadaan fisiknya. Dengan
kata lain hadits ihwali adalah sesuatu yang berasal dari nabi yang berkenaan
dengan kondisi fisik, akhlak, dan kepribadiannya.
Terdapat
dua hal yang bisa disebut dalam kategori sebagai hadits ihwali, yaitu pertama
adalah hal-hal yang bersifat intrinsik berupa sifat-sifat psikis dan
personalitas yan tercermin dalam sikap dan tingkah laku keseharian, misalnya
cara-cara bertutur kata, makan minum, berjalan, menerima tamu dan lain-lain.
Aspek intrinsik ini termasuk dalam kajian ilmu akhlak atau etika. Jadi hal-hal
yang berkenaan dengan etika nabi termasuk hadits ihwali. Contoh tentang sifat
nabi misalnya dalam hadits Anas bin Malik yang disebutkan sebagai berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم
احسن النّاس خلقا
“Rosulullah SAW adalah orang yang paling mulia
akhlaknya”
Yang
kedua adalah hal-hal yang bersifat ekstrinsik yaitu aspek yang terkait dengan
fisik nabi misalnya tentang wajah, warna kulit, dan tinggi badan. Tentang
keadaan fisik nabi dalam beberapa hadits disebutkan antaranya:
كان رسول الله صلى الله عليه و سلم
اخسن النّاس وجها واحسنه خلقا ليس بالطويل ولا بالقصير
“Rosululloh SAW adalah manusia yang
sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan fisiknya tidak tinggi juga tidak
pendek”.[16]
Kedua aspek diatas tidak ada kaitannya dengan
ajaran islam secara langsung tetapi hanya sekedar informatif tentang ciri atau
identitas nabi secara fisik bahwa nabi adalah orang yang sempurna secara psikis
maupun fisik, tidak cacat sehingga kemampuannya untuk menyampaikan risalah
tidak diragukan.
5.
Hadits yang berupa cita-cita (Hammi)
Yaitu
sebuah hadits yang dimana berupa suatu keinginan atau hasrat nabi yang belum
terealisasikan. Hadits kategori ini tidak disebutkan dalam beberapa definisi
hadits baik dari ulama hadits, ulama ushul, maupun ulama fiqh. Dalam sebuah
hadits dari Ibn Abbas dinyatakan bahwa ketika nabi berpuasa pada hari asyura
tanggal 10 beliau memerintahkan para sahabat untuk berpuas, mereka berkata:
“Wahai nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang-orang yahudi dan
nasrani”. Kemudian nabi bersabda:
فاذ كان عام المقبل ان شاّء الله
صمنا اليوم التّاسع
“Tahun yang akan datang insyaallah aku akan
berpuasa pada hari yang kesembilan”.[17]
C.
Perbedaan
antara hadits, sunnah, atsar, dan khabar
1.
Hadits
Hadits menurut bahasa memiliki beberapa arti
yaitu Jadid, lawan dari qodim yang artinya baru, Qorib yang artinya dekat, yang lama belum terjadi,
seperti dalam perkataan “Haditsul ahdi bil islam” orang yang baru memeluk agama
islam, Khabar yang artinya warta, yakni “Ma yutahaddatsu bihi wayunqolu”
: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada seseorang.
Dari makna inilah diambil perkataan “Hadits Rosululloh”.
Secara istilah yaitu segala sesuatu yang
diidhofahkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan dan
lain sebagainya.Makna kata hadits secara istilah memilki perbedaan pendapat
dikalangan para ulama, diantaranya ulama muhaditsin atau ahli hadits yang
menjelaskan bahwa kata hadits itu secara istilah adalah sebagai berikut:
أقواله صلى الله عليه وسلم وأفعاله واحواله
“Segala ucapan Nabi SAW,
segala perbuatan, dan segala keadaannya”.
Maksud dari kata keadaannya adalah segala yang
diriwayatkan dalam kitab sejarah, seperti hal kelahirannya, tempat dan sangkut
paut dengan itu, baik sebelum diangkat menjadi Rosul maupun sebelumnya.
Sebagian ulama seperti Ath Thiby berpendapat,
bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda nabi, perbuatan beliau dan taqrir beliau :
melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi
pula perkataan, perbuatan dan taqrir tabi’in”. Maka dari itu suatu hadits yang
sampai kepada nabi, dinamai Marfu’. Yang disampaikan oleh sahabat dinamai
Mauquf. Sedangkan yang disampaikan para tabi’in dinamai Maqthu’. Murodhifnya
dari Sunnah, Khobar, Atsar.Adapun juga pengertian hadits secara istilah menurut
para ahli ushul yaitu:
اقواله
صلّى الله عليه وسلّم وافعاله وتقاريره ممّا يتعلق به حكم.
“Segala perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi
yang bersangkut paut dengan hukum”.[18]
2. Sunnah
Sunnah secara bahasa berarti a way, course,
rule, mode, or manner of acting or conduct of life (jalan, arah jalan,
aturan cara berbuat, atau tingkah laku kehidupan). Sedangkan Al-jurjani dalam
kitab al- ta’rifat mengartikan sunnah dengan: السنةُ هي الطريقةُ مرضيةً كانت
اوغيرمرضية والعادةُ (sunnah adalah jalan yang diridhoi atau
tidak diridhoi dan berarti pula kebiasaan). Pengertian sunnah secara bahasa
ini sejalan dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Jarir ibn Abdulloh bahwa
Rosululoh bersabda:
من سن في الإسلام سنة حسنة فعمل بها
بعده كتب له مثل اجرمن عمل بها ولاينقص من اجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيعة
فعمل بها بعده كتب له مثل وزرمن عمل بها ولاينقص من اوزارهم شيء
“Barang siapa menjalani (memberi contoh) dalam
islam dengan jalan (contoh) yang baik kemudian orang-orang sesudahnya
mengamalkannya, maka ditentukan baginya pahala sebagaimana orang-orang yang
mengamalkanya dan tidak dikurangi sedikitpun dari pahala mereka itu. Barang
siapa menjalani (memberi contoh) dalam islam dengan jalan (contoh) yang buruk
kemudian orang-orang sesudahnya mengamalkannya, maka di tentukan baginya dosa
sebagaimana dosa orang-orang tang mengamalkannya dan tidak dikurangi sedikitpun
dari dosa itu.”[19]
Maka dari pengertian sunnah secara bahasa yang
artinya jalan yaitu jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw, yang
tercermin dalam perilaku beliau. Dapat difahami jika sunnah memilki arti yang
lebih sempit dari pada hadits, yang mana hadits mencakup perbuatan, perkataan
dan ketetapan beliau, sedangkan sunnah termasuk bagian dari hadits, yakni
khusus yang terkait dengan perbuatan beliau.[20]
3. Khabar
Khabar menurut bahasa adalah diriwayatkan atau
diberitakan, maka menurut ahli bahasa, khabar mencakup semua berita atau
riwayat yaitu segala warta atau berita yang disampaikan seseorang kepada orang
lain. Orang yang banyak khobarnya dinamai khabir.[21]
Sedangkan khabar secara istilah menurut para ahli hadits adalah warta atau
berita dari Nabi SAW ,maupun dari sahabat, ataupun dari tabi’in. Karena menurut
mereka bahwasannya perawi tidaklah cukup hanya menukil dari hadits yang
disandarkan kepada Rasulullah (marfu’), melainkan juga diperlukan sumber
yang lain yang bersala dari para sahabat (mauquf) ataupun pada tabi’in (maqtu’).
Sebagian ulama muhaditsin mengkhususkan hadits untuk periwayatan yang
dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW. Dan untuk khabar adalah sebuah riwayat yang dinukilkan
dari selain Nabi. [22]
Maka dapat disimpulkan bahwa antara khabar dan
hadits ada pengertian umum dan khusus, yang mana khabar lebih umum dari pada
hadis, karena khabar mencakup semua yang diriwayatkan oleh Nabi Muhammad maupun
dari selainnya, sedangkan hadits lebih khusus terhadap yang diriwayatkan oleh
Nabi Muhammad saw saja.[23] Maka
setiap hadits adalah khabar, tetapi tidak sebaliknya.
4. Atsar
Atsar secara bahasa berarti : والبقية من الشئ (yang
tersisa dari sesuatu). Sedangkan menurut Istilah menurut sebagaian ulama
mendifiniskan atsar sebagai مااثرعن الصحابة وتابعين (sesuatu yang bersal dari sahabat dan
tabi’in). Dengan demikian dikalangan ahli hadits terdapat dua pandangan tentang
atsar, pertama, menyatakan bahwasannya atsar itu sinonim dari hadits; kedua,
membedakan atsar dengan hadist, yakni mencakup riwayat-riwayat yang disandarkan
kepada sahabat dan tabi’in, baik perbuatan atau perkataan. [24]
Adapun juga sebuah pendapat yang mengatakan bahwa
atsar itu searti dengan khabar, sunnah dengan hadits. Bila orang mengatakan
:”Atsartu al hadits” itu berarti aku meriwayatkan hadits. Tetapi dari jumhur
ulama, atsar khusus untuk hadits yang berasal dari sahabat (mauquf) dan tabi’in (maqthu’). Sebab
yang mauquf maupun maqthu’ itupun juga riwayat, seperti halnya yang disandarkan
kepada Nabi Muhammmad SAW (marfu’). Jadi pada asalnya semua itu sama, hanya
saja yang membedakan itu adalah yang menjadi sandarannya.[25]
Dengan memperhatikan definisi dan pendapat
tersebut, sekalipun tersirat adanya perbedaan, namun secara substansial
nampaknya dapat dikemukakan bahwa hadits, sunnah, khabar, dan atsar pada
prinsipnya kembali pada suatu pengertian yang sama yakni makna hadits itu
sendiri. Yang dimana Rosululloh SAW tetap menjadi sandaranya dan sumber utama
sebagai pembawa risalah.
D.
Sejarah
singkat hadits Nabi dari masa ke masa
Dalam perkembangan Hadits
Nabi dari masa kesama telah mengalami enam priode dan sekarng telah menempuh
periode ketujuh. Masa-masa tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut sesuai
dengan masa perkembangan hadits Nabi.
1.
Periode Pertama (Masa
Rasulullah sampai wafatnya (13 SH-11H))
Periode ini adalah era turunnya wahyu Allah
kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril mulai pada masa kenabian
hingga wafatnya. Masa ini disebut sebagai asru al-wahyi wa al- takwin
yang artinya masa wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Dimasa ini Rasulullah
sebagai penerima wahyu yang ditugaskan untuk menyebarkannya kepada seluruh
umat. Rasulullah mengajarkan kepada para sahabat dan masyarakat Arab, karena
mereka yang lebih dekat dengan beliau. Baik dengan penjelasan-penjelasan
Rasulullah ataupun mengambil langsung dari nas-nas al-Qur'an. Dalam hal
petauladanan yang sholeh kepada mereka, yang berupa sabda-sabda,
prilaku-prilaku spiritual yang praktis (mudah difahami dan diterima oleh
masyarakat arab), cara bergaul dalam kehidupan sosial dan berperadaban. Masa
ini terhitung mulai 571 Hijriyah sampai 594 Hijriyah.
Sabda-sabda Nabi SAW. tersebut berisikan
jawaban atas persoalan yang disampaikan para
sahabatnya dan ada juga yang berisi fatwa-fatwa atau legislasi yang
tidak ditanyakan oleh sebagian sahabat. Para sahabat
dekat Nabi SAW. banyak yang menuliskan sabda-sabda Nabi dalam bentuk
naskah-naskah,sebagai catatan pribadi dan dalam catatannya masih bercampur
dengan teks-teks ayat-ayat al-Qur'an.
Maka karena hal
tersebut, nabi saw memperhatikan pemeliharaan kedua dasar syariat (al-qur’an
dan hadist) dengan begitu besar. Untuk al-qur’an, nabi saw menyuruh para
sahabat menghafal dan menulisnya, serta secara resmi mengangkat penulis wahyu
yang bertugas untuk mencatat setiap ayat al-qur’an yang turun, sehingga
sepeninggal nabi saw seluruh ayat al-qur’an sudah tercatat walau belum
terkumpul dalam satu mushaf. Sedang sikap nabi terhadap hadist, beliau
memerintahkan untuk dihafal dan ditabligkan tanpa menyuruh untuk mengadakan
penulisan resmi sebagaimana halnya al-qur’an. Hal ini disebabkan adanya
kekhawatiran akan bercampurnya catatan sebagian
sabda Nabi dengan Al Quran dengan tidak disengaja.[26]
Keadaan inilah yang memunculkan sabda Nabi SAW.
dalam riwayat imam Muslim yang diberitakan dari Abu Sa’id Al Khudry untuk
jangan menulis apa yang beliau sampaikan selain al-Qur'an dan bagi yang telah
terlanjur menulisnya hendaknya dihapus saja. Dan Rasulullah bersabda lagi
“sampaikan apa yang kalian terima dari Aku dan tidak ada halangan. Namun siapa
yang sengaja membuat kebohongan, maka kepadanya dipersilakan menempati neraka.”
Larangan Nabi SAW. sebagaimana dituangkan dalam sabdanya tersebut bukan sebagai
larangan untuk membuat catatan hadis-hadis yang Beliau sampaikan, melainkan
larangan agar para sahabat memisahkan antara teks-teks ayat al-Qur'an dengan
sabda-sabda Nabi SAW.[27]
Para sahabat banyak yang sengaja tidak
memusnahkan catatan-catatan dan naskah hadits walau sudah ada instruksi dari
Nabi SAW untuk menghapusnya. Karena hal tersebut sebagai manifestasi dari upaya
mereka untuk menyelamatkan hadis-hadis Nabi SAW. yang berisi ajaran-ajaran
agama dalam bentuk catatan, disamping masih tersimpan dalam hafalan-hafalan
mereka. Upaya itu mereka bentuk dalam institusi-institusi formal disamping
non-formal, artinya bahwa pemeliharaan dan penyebaran periwayatan hadis ada
yang dilakukan secara resmi seperti dalam majelis-majelis, dan ada pula yang
diriwayatkan oleh perorangan dengan metode saling mengingat dalam hafalannya.[28]
Beberapa naskah peninggalan para sahabat itu
antara lain : Sahifah Hammam, Sahifah Abdullah Ibn Amr Ibn 'As yang populer
dengan nama Sahifah as-sadigah, dan beberapa Sahifah atau Nashah yang lain.
Sementara beberapa sahabat yang menurunkan catatan-catatan hadis seperti ; Abu
bakar as-Siddiq, Abu Bakar as-Saqafi, Abdul Aziz Ibn Marwan, Abu Salih
al-Samman, Hammam Ibn Munabbih, Muhammad Ibn Sirin, Marwan Ibn Hakam,
Ubaidillah Ibn abdullah, Abi Bakar Ibn Abdirrahman, Abdullah Ibn Mas'ud, Abdullah
Ibn Zubeir, Ali Ibn Abi Thalib, Anas Ibn Malik, Jabir Ibn Abdullah, dan masih
banyak sahabat yang lain.
2.
Periode Kedua (Masa
Khulafaur Rasyidin (11 H- 40H))
Periode ini terjadi pada masa khulafaur Rasyidin atau yang
dikenal dengan masa sahabat besar yaitu dimulai sejak wafatnya rasul sampai
berakhirnya pemerintahan ali bin abi thalib pada tahun 11 H sampai 40 H. Masa
ini disebut sebagai Al-Ashru al- Tsabbut wa al-Iqlal min al-Riwayah yang
artinya masa pembatasan dan memperketat periwayatan, disebut demikian karena
pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus kepada pemeliharaan dan
penyebaran al-qur’an yang mendapat prioritas utama untuk terus disebarkan
keberbagai pelosok wilayah islam dan keseluruh lapisan masyarakat. Dalam
perkembangan hadist, setelah wafatnya Rasullah, para sahabat banyak yang
berhijrah kekota madinah dan kota-kota lainnya untuk menyebarkan ajaran-ajaran
islam termasuk diperkuat dengan memberikan hadis-hadis nabi untuk menjawab
suatu masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang tidak ada dalam Al Quran, maka
dibutuhkanlah penjelasan dari Hadits Nabi.[29]
Dalam menerima suatu hadits para sahabat Nabi sangat
teliti. Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam suatu atsar dinyatakan bahwa
“mereka berdua tidak akan menerima suatu hadits jika tidak disaksikan
kebenarannya oleh orang lain” diriwayatkan oleh Adz- Dzahabi dalam Tadzkuratul
Huffadh. Sejarah mencatat bahwa dimasa Abu Bakar dan Umar bin Khattab
periwayatan hadits sangat sedikit dan lambat. Hal ini disebabkan kecenderungan
mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat,disamping sikap ketelitian para
sahabat dalam menerima hadits, hal ini bertujuan supaya terpelihara dari
kekeliruan.[30]
Ketika Umar bin Khattab memegang kekhalifahan,meminta dengan tegas supaya para
sahabat menyelidiki riwayat hadits. Ketika mengutus perutusan ke Iraq, beliau
mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al Quran dan mengembangkan
kebagusan tajwid, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat hadits.[31]
Tak jauh berbeda dengan pendahulunya, khalifah usman dan ali
juga memperketat periwayatan. Pada zaman Usman bin Affan, kegiatan umat islam
dalam periwayatan hadis telah lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan
periwayatan pada zaman umar. Karena secara pribadi usman tidak sekeras umar ,
ditambah juga wilayah islam telah meluas sehingga para sahabat banyak yang
trpencar keberbagai daerah diluar jazirah arab, yang mengakibatkan bertambahnya
kesulitan untuk mengadakan pengendalian kegiatan periwayatan hadis secara
ketat. Dan ada pula atsar yang menyatakan Ali bin Abi Thalib tidak menerima
hadits sebelum yang meriwayatkan disumpah. Pada akhir priode ini, yang dihadapi
oleh umat islam adalah persoalan orang-orang murtad dan pertikaian politik. Dan
inilah yang menyebabkan munculnya hadis-hadis palsu bermunculan. Karenanya,
tidak mengherankan kalau para sahabat utamanya khulafa al-rasyidin sangat ketat
dan teliti dalam mengadakan periwayatan hadis,karena dikhawatirkan akan terjadi
kebohongan atas nama rasul dan pembelokan perhatian kaum muslimin dari
al-qur’an kepada hadis. Oleh sebab itu periode ini dikenal dengan masa
pengetatan periwayatan hadis. [32]
3.
Periode Ketiga (Masa
Sahabat kecil dan Tabi’in Besar(41H-akhir abad I H))
Periode ini berawal sejak akhir kekuasaan Khulafaur
Rasyidin hingga akhir abad pertama hijriah, yang disebut Asru al- Intisyar
al-Riwayah ila al-Amshar yang artinya masa pembatasan riwayat. Pembatasan
riwayat pada priode ini merupakan tindakan berhati-hati dalam mengadakan suatu
periwayatan hadis. Walaupun pada periode ini al-qur’an telah dikumpulkan dalam
satu mushaf dan keadaan pun tidak sesulit yang dialami oleh masa-masa Khulafaur
Rasyidin. Dimana Al Quran belum dibukukan, sehingga dalam penggumpulan hadis
pun belum diadakan. Maka pada masa ini tidak ada lagi kekhawatiran akan
bercampurnya Al Quran dengan hadis-hadis nabi. Selain itu, pada masa ini para
sahabat sudah banyak yang menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam.
Sejalan dengan pesatnya perluasan kekuasaan islam itu,
pengembaraan para sahabat keberbagai daerah terus meningkat. Kegiatan pengembaraan
ini sangat mempengaruhi perkembangan periwayatan hadist pada masa tersebut.
Para ulama tidak hanya mengamati hadais-hadis yang mereka dapatkan, tetapi juga
meneliti periwayatnya termasuk perjalanan hidupnya. Mereka mengadakan
penyelidikan terhadap periwayat yang bersangkutan dengan menanyakannya kepada
penduduk setempat (disekitar tempat tinggal periwayat). Hal ini dilakuakan
tidak lain karena ingin memastikan kebenaran suatu hadis. Sebab terkadang
seorang periwayat mendengar hadis dari ulama yang satu berbeda dengan ulama
lain, pada hal hadis tersebut menyangkut hal yang sama.[33]
Pada periode ini terdapat beragam bid'ah dan penciptaan
hadis-hadis maudu' bermunculan. Disebabkan dengan adanya golongan yang
berkeinginan untuk menarik perhatian umat Islam agar mempercayai kebenaran
argumentasinya dan dapat menjadi penguasa di daerah kekuasaan Islam.Sehingga
tak dapat dipungkiri, hal ini dapat mengancam kelangsungan pemeliharan Hadits
yang otentis berakar kepada Rasulullah. Masyarakat pun juga tidak lagi
selektif, karena pembiusan doktriner sekte tersebut, demi tersebarnya sekte
dengan klaim kebenaran ajarannya kepada khalayak umum. Karena hal tersebut
semakin memuncak maka para sisa-sisa tokoh sahabat maupun tokoh-tokoh tabi’in
melakukan suatu usaha dalam menaggapi kejadian tersebut dengan cara mereka
melakukan suatu konstribusi dalam bidang pelembagaan as-Sunnah dengan
mendirikan madrasah. Pendirian Madrasah-madrasah semakin diperluas di kota-kota
besar maupun pelosok sebagai usaha menyebar luaskan ajaran agama yang
disampaikan oleh Nabi SAW. dan Sunah-sunnahnya. Melalui lembaga-lembaga
Madrasah ini periwayatan dan pencatatan as-Sunnah mulai dikembangkan secara
standarisasi, yang telah ditetapkan dalam beberapa kebijakan para Khulafaur
Rasyidin dalam periwayatan hadits.[34]
4.
Periode Keempat (Masa
Pembukuan Hadis (abad ke-2 Hijriyah))
Periode ini dimulai pada akhir abad pertama hijriyah hingga
pertengahan abad ke-2 Hijriyah. Dalam periode ini terdapat perubahan dalam
pelembagaan hadits yaitu dengan melakukan penataan hadits Nabi Muhammad saw.
dengan mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada para ahli hadits saat itu. Maka
periode ini disebut dengan ‘Asr al Kitabah wa Al tadwin, yang artinya
masa penulisan dan pendewanan/pembukuan hadits. Masa ini tepat pada masa
kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99 H. Ia adalah
seorang khalifah dari dinasti Amawiyah yang terkenal adil dan wara’, sehingga
beliau dipandang sebagai Khalifah Ar Rasyidin yang ke-lima. Pada tahun 100 H
khalifah Umar bin Abdul Aziz tergerak hatinya untuk membukukan Hadits maka
dimintalah gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm supaya
membukukan Hadits Rasulullah saw. Yang ada pada penghafal wanita yang terkenal
yaitu Amrah binti Abdir Rahman bin Sa’ad bin Zuhrah bin Aus, seorang ahli fiqih
murid Sayyidati Aisya ra. Dan hadits-hadits yang ada pada Al Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakar As Siddiq salah seorang fuqaha Madinah yang ketujuh. Beliau sadar
bahwa orang yang membendaharakan hadits dalam dadanya, kian lama kian banyak
yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan
dalam buku-buku hadits para perawinya, mungkin hadits-hadits itu akan lenyap
dari permukaan bumi dibawah bersama para penghafalnya ke alam barzah (kubur).[35]
Disebabkan juga pada abad pertengahan ke dua Hijriyah,
terjadi sebuah permasalahan yang disebabkan oleh adanya propaganda-propaganda
politik yaitu keinginan untuk menumbangkan rezim Amawiyah. Untuk memudahkan
mempengaruhi massa, maka dibuatlah hadits-hadits palsu, dengan hal itu mereka
mudah menarik perhatian rakyat kepada pemerintah Abbasiyah. Dan sebalikanya pihak Amawiyah juga
memalsukan hadits untuk membendung arus propaganda penganut faham Abbasiyah.
Disamping itu pula juga muncul golongan zindik, tukang cerita yang berdaya
upaya menarik minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya
dengan membuat kisah-kisah palsu yang disandarkan kepada hadits-hadits Mandlu’.
Menanggapi masalah tersebut Umar bin Abdul Aziz menetapkan pembukuan hadits
nabi yang berasal dari para periwayat hadits di kawasan kekuasaannya, agar
tidak ada lagi pemalsuan hadits-hadits nabi. Maka beliau mengirimkan
surat-suratnya kepada para gubernur diseluruh wilayah yang dibawa kekuasaannya,
supaya membukukan hadits yang ada pada para ulama yang berdiam diwilayah
masing-masing. [36]Pengumpulan
pertama di Kota Mekkah ialah Ibnu Juraij; Pengumpalan pertama di kota Madinah
ialah Ibnu Ishak, atau Muhammad bin Abdur Rahman bin Abi Dzi’bin atau Malik bin
Anas; Pengumpulan pertama di kota Kuffah ialah Sufyan Ats Tsauri; Pengumpulan
pertama di kota Syam ialah Al Auzai; Pengumplan pertama di kota Wasith ialah
Husyaim Al Wasithi; Pengumpulan pertama di Kota Yaman ialah Ma’mar Al Azdi; Pengumpulan
pertama di kota Rei ialah Jarir Abdul Dlabbi; Pengumpulan pertama di kota
Khurasan ialah Ibnu Mubarak; Pengumpulan pertama di kota Mesir Ialah Al Laits
bin Sa’ad.[37]
Para ulama ini membukukan hadits tanpa adanya penyaringan,
yakni mereka bukan hanya memasukkan hadits nabi tetapi juga memasukkan
fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, semua itu dibukukan bersama-sama, maka
terdapatlah di dalamnya hadits-hadits Marfu’, Maukuf, dan Maqthu’. Hanya
catatan Ibn Hazm yang secara khusus menghimpun hadis Nabi karena khalifah Umar
bin Abd al-Azîz menginstruksikan kepadanya untuk hanya menulis hadis Nabi saja.
Hanya saja, sangat disayangkan bahwa manuskrip Ibn Hazm tersebut tidak sampai
kepada generasi sekarang. [38]
5.
Periode Kelima (Masa
Pentashihan Hadits dan menyaringnya(abad ke-3H))
Periode ini terjadi pada masa awal sampai akhir abad III
hijriyah. Periode ini disebut dengan ‘ashr al tajrid wa al tashih wa al
tanqih yang artinya masa penerimaan, mentashihkan, dan penyempurnaan.[39]
Para ahli hadits pada abad ke 3 Hijriyah berupaya untuk memperbaiki kekurangan
pembukuan hadits abad ke 2 H, yaitu pada abad ke 2 H pembukuan hadits tidak
dipisah dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in. Dalam periode kedua pun juga
masih mencampur adukkan hadits shahih, hadits hasan dan hadits doi’fnya. Segala
hadits yang diterima langsung dibukukan tanpa menerangkan hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dho’ifnya.[40]
Maka pada abad ini, para ulama melaksanakan penkodifikasian hadis dengan
memisahkan antara sabda nabi saw dengan fatwa sahabat dan tabi’in . Sistem
penyusunan yang dipakai adalah tashnid, yakni menyusun hadis dalam kitab-kitab
berdasarkan nama sahabat perawi. Namun sistem ini kelemahannya adalah sulit
untuk mengetahui hukum-hukum syara’ sebab hadis –hadis tersebut dikumpul dalam
kitab tidak berdasarkan satu topik bahasan.
Kemudian ulama- ulama hadis pada abad ketiga ini, juga
dihadapkan dengan dua golongan yang sedang bentrok, yaitu golongan dari
mazhabilmu kalam. Yang mana tidak segan-segan membuat hadis-hadis palsu untuk
memperkuat argumen mazhabnya dan juga untuk menuduh lawan mazhabnya. Dan untuk
menghadapi keduanya dan sekaligus melestarikan hadis-hadis nabi, secara garis
besar ada beberapa kegiatan penting yang dilakukan oleh ulama hadis, antara
lain yaitu:
a.
Mengadakan perlawatan
kedaerah-daerah yang jauh, kegiatan ini ditempuh karena hadis-hadis nabi yang
telah dibukukan pada periode keempat hanya terbatas pada hadis hadis nabi
dikota – kota tertentu. Usaha ini dipelopori oleh Imam bukhori.
b.
Mengadakan klasifikasi
antara hadis yang Marfu’ (yang disandarkan kepada nabi ), yang Mauquf (yang
disandarkan kepada sahabat) dan Maqtu’ (yang disandarkan kepada tabi’in).
c.
Pertengahan abad III, ulama
hadis mulai mengadakan seleksi kualitas hadis, yaitu kepada shohih dan dha’if.
Usaha ini dipelopori oleh Ishaq ibnu ibnu rahawaih, kemudian diikuti oleh imam
bukhori, muslim dan dilanjutkan oleh Abu Daud , Tirmidzi , dan lain-lain.
Dari penyeleksian diperiode ini , telah menghasilkan 2
jenis dewan hadis ,yaitu : Kitab shahih, yakni kitab yang disusun hanya
berisikan hadis shahih saja dan kitab sunan, yakni kitab yang tidak memasukkan
hadis-hadis mungkar dan sederajatnya, sedang hadis dha’if yang tidak mungkar
dan tidak sangat lemah tetap dimasukkan kedalam sunan disertai keterangan ke
dhai’fannya. [41]
6.
Periode Keenam (dari awal
abad VI hingga tahun 656 H)
Periode ini berawal dari abad keempat hingga pertengahan
abad ke enam hijriah, dan disebut sebagai 'Asru al-Tahzib wa al-Tartib wa
al-Istidrak wa al- Jami' artinya masa pembersihan, penyusunan, penambahan
dan pengumpulan. Pada periode keenam ini, hanya berpegang pada kitab-kitab
hadis yang telah ada disusun oleh ulama pada abad II dan III. Gelar yang
diberikan kepada ulama abad II dan III mutaqaddimun, yaitu ulama yang
mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar disetiap
pelosok dan penjuru negara Arab, Parsi, dan lain-lainnya. Sedangkan para ulama
hadis pada abad keempat ini tidak lagi banyak yang mengadakan perlawatan
keberbagai daerah seperti ulama sebelumnya, kebanyakan hadits yang mereka
kumpulkan pun adalah hasil dari usaha ulama abad II dan III. [42]Maka
Al-dzahaby memberi batasan bahwa penghujung tahun 300 H. sebagai batas pemisah
antara masa Ulama Mutaqaddim dengan Ulama Muta‟akhirin .[43]
Aktivitas para ulama sudah tidak lagi diprioritaskan ke
dalam penyusunan prinsip-prinsip periwayatan as-Sunnah, melainkan memodifikasi
karya-karya yang telah disusun oleh para ulama pendahulu mereka. Lebih jauh
peran ulama pada periode ini adalah mengadakan kajian kritis terhadap
kitab-kitab yang telah ditulis, dengan menerapkan metode kritik Hadis sesuai
dengan prinsip standarisasi yang telah dirumuskan oleh para pengambil kebijakan
atau rumusan para ulama terdahulu. Sehingga kesempatan yang diupayakan oleh
ulama dari generasi dalam periode ini adalah mengkaji dan mengkoleksi secara
besar-besaran sebagai khazanah pengetahuan dalam perkembangan sejarah kajian
Hadis untuk masa-masa yang akan datang.[44]
7. Periode Ketujuh (656 H- Sekarang)
Periode ini berawal dengan ditandai oleh jatuhnya Dinasti
Abbasiah di bagdad ke tangan Kerajaan Tar Tar masa Hulaku Khan pada tahun 656
H. dan diambil alihnya Daulah Ayyubiah di Mesir oleh Dinasti Mamalik di
penghujung abad ketujuh hijriah; maka berpindahlah kegiatan perkembangan hadis
di Mesir dan India. hingga lahirnya abad modern yang disebut Asru al-Syarh
wa al-Jam'i wa al-Takhrij wa al-Bahsi arinya masa pensyarahan,
penghimpunan, pentakhrijan, dan pembahasan. Kegiatan ulama hadits pada masa ini
berkenaan dengan upaya mensyarah kitab-kitab hadits yang telah ada dan
mengumpulkan hadits kedalam kitab yang telah ada, mentakhrij hadits dalam kitab
tertentu dan membahas kandungan hadits.Jalan-jalan yang ditempuh sebagai upaya
pencapaian kegiatan para ulama masa ini ialah dengan menertibkan isi
kitab-kitab hadis ,menyaringnya dan menyusun kitab takhrij, serta membuat
kitab-kitab takhrij, serta mebuat kitab-kitab jami’yang umum, kitab-kitab yang
mengumpulkan hadis hukum, mentakhrijkan hadis-hadis yang terdapat dalam
beberapa kitab, , mentakhrijkan hadis-hadis yang terkenal dalam masyarakat dan
menyusun kitab athraf. [45]
Dalam pembukuan hadits dalam periode ini sudah merambah
luas keberbagai penjuru dunia, tidak sebagaimana pada awal-awal periode
pembukuan hadits, baik realisasi maupun aspek-aspek kajiannya. Karena
penyebaran penduduk muslim semakin merata di penjuru dunia, disamping
kompleksitas persoalan yang mereka hadapi, baik dalam persoalan pengajaran
hadits sebagai disiplin pengetahuan, juga sebagai dasar atau sumber ajaran
agama.[46]
E.
Penutup
Dapat
diambil kesimpulan dari penjelasan diatas bahwasannya, Hadits merupakan sumber
hukum Islam yang kedua yang berasal dari Rasulullah mulai dari perkataan,
perbuatan, ketetapan, cita-cita dan kondisi beliau. Dan juga dapat diartikan
sebagai tindak tanduk para Sahabat Nabi dan para Tabi’in. Beliau yang selalu
terjaga atas kredibilitasnya selama hidupnya, yang ditetapkan sebagai dasar
penentuan hukum atau sumber hukum yang disebut dengan khabar atau atsar. Dalam
pembukuan hadits Rasulullah mengalami 7 periodesasi mulai dari zaman Rasulullah
hingga saat ini. Pelopor pertama untuk membukukan hadits adalah Umar bin Abdul Aziz,
yang memerintahkan pemerintah madinah Abu Bakar. Kemudian dalam perkembangannya
pembukuan hadits sering mengalami berbagai penyempurnaan pembukuan hadits dari
masa kemasa. Untuk menghindari bercampurnya hadits Rasulullah dengan
sabda-sabda selain dari Rasulullah, dan terhindar dari hadist palsu.
F.
Daftar Pustaka
Abu BakarAbak,
SejarahPelembagaandanPembukuan As Sunnah,JurnalAsy-Syir’ah,
Volume 42 Nomer 2, 2008.
Alawi Al Maliki, Muhammad. 2009. Al Manhalu
Al Lathifu fi Ushuuli Al Hadisi Al Syarifi.Pen.Qohar, Adnan.Ilmu Ushul
Hadis.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan
Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013.
Juned,Daniel
.2010. Ilmu Hadits.Jakarta:Erlangga.
Idri.2010.Studi
Hadits. Jakarta:Kencana.
Hasbi Ash Shiddieqy, Muhammad.1999.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits.Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.
Nasrah.2005.Perkembangan Hadis Pada Masa
Nabi Muhammad saw dan Kedudukan Sahabat Serta Adalahnya. Universitas
Sumatra Barat : e-USU repository.
As Shalih,Subhi .2000. Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits.Jakarta:Pustaka Firdaus.
Sumbulah,
Umi. 2010.Kajian Kritis Ilmu Hadits. Malang:UIN MALIKI PRESS.
Darmalaksana,Wahyudin. 2004.Hadits di
Mata Orientalis. Bandung:Benang Merah Pres.
Zainuddin, Inkar Al SunnahPadaAspekKodifikasiHadis,Mutawatir : JurnalKeilmuanTafsirHadis,Volume 3, Nomer.2, Desember 2013.
Catatan:
1.
Similarity sudah sangat baik, hanya 8%
2.
Tata letak footnote perlu diatur
3.
Berikan ringkasan perbedaan hadis, sunnah, khabar, dan atsar.
[1]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 1.
[2]
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadit.,(Malang:UIN MALIKI
PRESS,2010),6.
[3]
Idri, Studi Hadits, (Jakarta:Kencana,2010), 4.
[4]
Daniel Juned, Ilmu Hadits, (Jakarta:Erlangga,2010), 78.
[5]
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadits, (Malang:UIN MALIKI PRESS,2010),
8; Idri.Studi Hadits.(Jakarta:Kencana,2010),5.
[6]
Idri, Studi Hadits, 8.
[7]
Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010), 8-12.
[8]
Idri, Studi Hadits, 12.
[9]Ibid.,
13.
[10]
Idri, Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010),14.
[11]Ibid.,15.
[12]
Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits,(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010),
14.
[13]
Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits,(Malang:UIN MALIKI PRESS,2010),
15.
[14]
Idri, Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010), 16.
[15]Ibid.,
17.
[16]
Idri, Studi Hadits,18-19.
[17]
Idri, Studi Hadit,(Jakarta:Kencana,2010), 19.
[18]
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit,(Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 1-5 .
[19]
Idri,Studi Hadits, 2.
[20]
Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits(Malang:UIN MALIKI
PRESS,2010).10;Subhi As Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadits,(Jakarta:Pustaka
Firdaus, 2000),17.
[21]
Umi Sumbulah,Kajian Kritis Ilmu Hadits.10; Wahyudin Darmalaksana,Hadits
di Mata Orientalis,(Bandung:Benang Merah Pres,2004), 23.
[22]
Wahyudin Darmalaksana,Hadits di Mata Orientalis, 23.; Subhi As Shalih, Membahas
Ilmu-Ilmu Hadits, 21; Idri,Studi Hadits, 7.
[23]Muhammad Alawi Al Maliki, Al Manhalu Al Lathifu fi Ushuuli
Al Hadisi Al Syarifi.terj.Adnan Qohar,Ilmu Ushul Hadis.(Yogyakarta : Pustaka
Pelajar,2009), 46 .
[24]
Idri,Studi Hadits, 7.
[25]
Subhi As Shalih,Membahas Ilmu-Ilmu Hadits, 21.
[26]Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis
(Suatu Kajian dengan PendekatanSejarah),Jurnal
Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 134.
[27] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra,1999), 34-35.
[28]Abu BakarAbak, SejarahPelembagaandanPembukuan
As Sunnah, JurnalAsy-Syir’ah, Volume 42 Nomer 2,2008, 295.
[29]Baso Ahmad Gazali,
PerkembangandanPemeliharaanHadis (SuatuKajiandenganPendekatanSejarah), Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1,2013,135;
Idri,Studi Hadits, (Jakarta: Kencana, 2010), 39.
[30] Nasrah.Perkembangan Hadis Pada Masa Nabi Muhammad
saw dan Kedudukan Sahabat Serta Adalahnya. Universitas Sumatra Barat :
e-USU repository.2005, 5.
[31] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadits, (Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra.1999), 42.
[35]
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits,(Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra.1999), 59; Idri,Studi Hadits,(Jakarta:Kencana,2010),
47.
[36] Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan
Hadis (Suatu Kajian dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1, 2013, 138; Zainuddin, Inkar Al Sunnah Pada Aspek Kodifikasi Hadis,Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis,Volume
3, Nomer.2, Desember 2013, 318.
[37]
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, 61.
[38]Zainuddin, Inkar Al
SunnahPadaAspekKodifikasiHadis,Mutawatir
: JurnalKeilmuanTafsirHadis,Volume 3, Nomer.2, Desember 2013,
319.
[39]
Idri,Studi Hadits, (Jakarta:Kencana,2010), 49.
[40] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy,Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadit,.(Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1999), 68.
[42] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadit, 93.
[43]Baso Ahmad Gazali, Perkembangan dan Pemeliharaan Hadis (Suatu Kajian
dengan Pendekatan Sejarah),Jurnal Al Hikmah,
Volume 14 Nomer 1, 2013,140.
[45]Baso Ahmad Gazali,
,Jurnal Al Hikmah, Volume 14 Nomer 1,
2013, 140;
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy.Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits,105.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar