PAI
D Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Abstract
This article is about
Hadith and its history. In it contains the existence of the hadith concerning
the opinion of the scholars' on the definition of Hadith in language and terms,
the various hadiths in the form of (deeds, sayings, approval of things, and the
ideals of the prophet), the distinction between hadith, sunna, atsar, and
khabar, and the periodization of a brief history of hadith from time to time,
which includes the hadith at the time of the Prophet, the period of companions,
the period of tabi'in, the period of codification of hadith from the beginning
to the end. Hadith is the second source of Islamic teachings after the Qur'an,
which every Muslim must follow and practice the teachings contained therein.
Therefore, it is necessary to understand and examine the hadiths (the history
of the prophet's traditions, the kinds and forms of the hadith of the prophet)
is also necessary, to know the things taught in them. This article emphasizes
the scope of the hadith, not about the science of hadith.
Keywords : Hadith, Sunna, Khabar,
Atsar, History.
Abstrak
Artikel ini
berisi tentang Hadis dan historinya. Didalamnya memuat tenatng eksistensi hadis
yang berkenaan dengan pendapat para ulama’ mengenai definisi Hadis secara
bahasa dan istilah,macam-macam hadis baik berupa (perbuatan, perkataan,
persetujuan hal ihwal, maupun cita-cita nabi), perebedaan antara hadis, sunnah,
atsar, dan khabar, dan periodisasi sejarah singkat histori hadis dari masa ke
masa, yang meliputi hadis pada masa Nabi, masa sahabat, masa tabi’in, masa
kodifikasi hadis mulai masa awal hingga akhir. Hadis merupakan sumber ajaran
Islam kedua setelah al-Qur’an, yang setiap muslim wajib mengikuti dan
mengamalkan ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya. Oleh karena itu, maka memahami
dan mengkaji hadis meliputi (sejarah hadis nabi, macam-macam dan bentuk hadis
nabi) juga diperlukan, untuk mengetahui hal-hal yang diajarkan di dalamnya. Artikel
ini menekankan pada lingkup hadisnya, bukan mengenai ilmu hadis.
Kata kunci : Hadis, Sunnah, Khabar, Atsar, Histori.
A. Pendahuluan
Sumber ajaran
Islam yang pokok adalah alQur’an dan Hadis kedua sumber ajaran tersebut
sangatlah penting perannya dalam kehidupan umat Islam karena dari keduannyalah
para ulama sepakat menjadikan alQur’an dan Hadis sebagai pedoman utama dalam
pengambilan suatu rujukan akan ilmu Islam.[1] Dan yang akan kami singgung pada kesempatan
kali ini ialah mengenai Hadis dan Historinya. Seperti yang kita tahu mempelajari
hadis merupakan bagian dari keImanan umat Islam akan keNabian baginda Muhammad
SAW. Nabi Muhammad SAW merupakan sang pembawa risalah tersebut dari Allah SWT.
Hal itu tidak akan bisa kita mengerti dan teladani jika tanpa kita mengetahui
akan hadis sendiri serta bagaimana perkembangannya hingga sampai sekarang ini.[2] Dan
dalam keilmuan hadis sendiri, terdapat
sejumlah istilah yang dari sisi bahasa
atau terminologis memiliki pengertian serupa, yakni: hadits, sunnah,
khabar, dan atsar. Menurut mayoritas ulama hadis, keempat istilah tersebut
dianggap sama atau bersinonim satu sama lain, sehingga dalam pemakaiannyapun
dapat dipertukarkan satu sama lain. Sementara sebagian lainnya, beranggapan
bahwa tiap-tiap istilah tersebut memiliki kandungan serta makna yang berbeda.
Dalam kesempatan ini juga, akan sedikit kita bahas mengenai beberapa istilah
tersebut disamping apa itu Hadis dan bagaimana perkembangannya.[3]
B. Pengertian
Hadis
Menurut
bahasa, hadis mempunyai beberapa arti, yaitu : (1) “Al-Jadid”, yaitu
sesuatu yang baru, (2) “Al-Khobar”, yaitu berita atau sesuatu yang
diberitakan, (3) “Qorib”, yaitu sesuatu yang dekat. [4]
Menurut
istilah, terdapat perbedaan pendapat menurut muhaddisin dan ulama’ ahli ushul
mengenai pengertian tentang hadis. Di kalangan muhaddisin sendiri terdapat
pendapat yang berbeda, diantaranya :[5]
a) Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, daln hal ikhwalnya
Nabi Muhammad Saw. Yang dimaksud “hal ihwal” disini adalah semua perbuatan
mengenai Rasulullah, yang berhubungan dengan sejarah kelahiran, karasteristik,
himmah, dan kebiasaannya.
b) Hadis merupakan segala seuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifat-sifatnya.
c) Hadis yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, dan sifatnya.
Dari
beberapa pengertian diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis adalah segala
hal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw baik perkataan maupun perbuatan,
hanya yang berbeda adalah tambahan yang disebutkan diakhir. [6]
Menurut
ulama’ fiqih (fuqoha), definisi hadis yaitu:
a)
Semua perbuatan, perkataan, dan taqrir Nabi Muhammad Saw yang berkaitan dengan
hukum syara’. [7]
b)
Segala perkataan Nabi Muhammad Saw, yang dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
hukum syara’. [8]
Dapat
disimpulkan, bahwa pengertian hadis menurut ulama’ fiqih adalah segala
perbuatan, perkataan, dan takrir yang berkaitan dengan hukum atau suatu yang
dapat dijadikan landasan untuk mentapkan hukum.
C. Macam-macam
Hadis
Hadis nabi
dapat dikalsifikasikan mejadi empat, yaitu :
1. Hadis Qauli
Hadis Qauli disebut juga sebagai Hadis yang
berupa ucapan. Yang dimaksud dengan hadis qauli adalah segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik berupa perkataan yang berisi
berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan mengenai
akidah,akhlak, dan syari’ah.[9]Salah
satu contoh hadis qauli adalah hadis yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘umar
bahwa Rasulullah Saw bersabda:
بُنِيَ الاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ
شَهَادَةُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللّه وَاَنّ مُحمّدَارَسُوْلُ اللّهِ وَاِقَامُ
الصّلاَةِ وَاِيْتَاءُالزّكَاةِ وَاْلحَجُّ وصوْمُ رَمَضَانَ.
“Islam
ditegakkan atas lima perkara, yaitu bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad rasul Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, melaksanakan
haji, dan berpuasa bulan Ramadhan”.
Nabi
Muhammad Saw melakukan beberapa cara untuk meriwayatkan hadis secara qauli,
yaitu:[10]
a)
Sabda Rasul
disampaikan secara lisan di hadapan banyak orang, melalui ceramah, khatbah,
majlis-majlis, dan lain sebagainya. Hadis disampaikan di depan banyak orang
baik laki-laki maupun perempuan.
b)
Sabda Rasul
hanya disampaikan di depan satu orang atau beberapa orang. Nabi menyampaikan
hadis qauli di depan salah seorang sahabat, yang berisi jawaban atasan
pertanyaan yang diajukan oleh sahabat ataupun tidak.
c)
Hadis qauli
disampaikan oleh Nabi karena suatu sebab yang mendorong untuk menyampaikan
hadis yang berkaitan dengan peristiwa tertentu.
d)
Secara umum,
hadis dalam bentuk sabda tidak disertai dengan sebab atau peristiwa tertentu.
Nabi bersabda tanpa adanya motivasi yang mendorong untuk menyampaikan hadis.
Hadis ini disampaikan dalam rangka menyampaikan ajaran islam sebagai tugas
risalah Nabi, meskipun tidak ada hal yang melatarbelakangi adanya hadis yang
dimaksud.
e)
Umumnya, Nabi
hanya bersabda dan hanya ada seseorang atau beberapa sahabat yang
mendengarkannya, tidak menyertakan perintah kepada sahabatnya untuk menulis
sabdanya. Tetapi, ada kalanya nabi memerintahkan sahabat untuk menulis sabda
yang diucapkan.
2. Hadis Fi’li
Hadis
Fi’li bisa disebut dengan hadis yang berupa perbuatan. Hadis Fi’li adalah hadis
yang menyebutkanperbuatan Nabi Muhammad Saw yang sampai kepada kita.[11]
Hadis Fi’li juga bisa didefinisikan semua perbuatan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad Saw, misalnya sholat dan wudhunya nabi. Hadis tersebut berupa
perbuatan Nabi yang menjadi uswah sahabat pada waktu itu, dan umat islam wajib
mengikutinya. [12]
Contoh
hadis fi’li adalah : [13]
صَلّوا كَمَا رَاَيْتُمُونِي اُصَلّي
“Lihalatlah kalian sebagaimana kalihan melihat
aku shalat”
Ada beberapa
kategori mengenai Hadis Fi’li:[14]
1.
Hadis berupa
perbuatan yang disebabkan oleh sebab tertentu. Nabi melakukan perbuatan yang
disaksikan oleh seorang sahabat atau beberapa yang disebabkan oleh faktor
tertentu.
2.
Hadis yang
berupa perbuatan yang tidak disebabkan oleh suatu hal. Hadis Fi’li yang tidak
disebabkan oleh suatu hal lebih banyak dibandingkan hadis yang disebabkan oleh
suatu sebab.
3.
Hadis yang
berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan banyak orang.
4.
Hadis yang
berupa perbuatan yang dilakukan di hadapan beberapa orang saja.
3. Hadis
Taqriri
Hadis
Taqriri bisa disebut sebagai hadis yang berupa persetujuan. Hadis Taqriri
adalah yang berupa ketetapan Nabi Muhammad Saw terhadap apa yang datang atau
yang dilakukan oleh sahabat Nabi, baik berupa ucapan, perbuatan dengan cara
Rsulullah menyetujui dan menganggapnya sebagai suatu hal yang bagus. [15]
Diantara contoh hadis taqriri, adalah sikap
Rasulullah membiarkan para sahabat melakukan perintahnya, sesuai dengan
penafsiran mereka terhadap sabdanya, seperti: [16]
لاَ يُصَلِّيَنَّ اَحَدٌ اَلْعَصْرَ
لاَفِى بَنِى قُرَيْضَةَ
Artinya: “Janganlah seseorang pun sholat Asar, kecuali bila tiba
di Bani Quraizah”.
Materi
yang terkandung dalam hadis taqriri ini bukan dari Nabi, tetapi dari sahabat
yang perbuatan yang disetujui oleh Nabi Muhammad Saw. Sikap persetujuan Nabi
yang seperti itu, dijadikan dasar oleh para sahabat sebagai dalil taqriri, yang
bisa dijadikan hujjah dan mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan hukum. [17]
4. Hadis Ahwali
Hadis
ahwali bisa disebut juga dengan hadis yang berupa hal ihawal. Yang dimaksud
dengan hadis ahwali yaitu hadis yang menyebutkan hal ihwal Rasulullah Saw,
mengenai keadaan fisik, kepribadian, dan sifat-sifat beliau. [18]
Terdapat
2 hal yang bisa disebut dalam kategori hadis ahwali, yaitu:[19]
1.
Hal-hal yang
bersifat intrisik, berupa sifat-sifat psikis yang tercermin dalam sikap dan
tingah laku keseharian , seperti Minum, makan, tidur, adab dalam menerima tamu,
dan lain-lain. Jadi, hal-hal yang berkaitan dengan akhlak dan etika Nabi
termasuk hadis ahwali.
Misalnya dalam hadis Anas bin Malik berikut ini:
كَانَ رَسُوْلُ اللّه صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَحْسَنَ
النَّاسِ خَلْقًا
Artinya:
“Rasulullah Saw
adalah orang yang paling mulia akhlaknya”.
2.
Hal-hal yang
bersifat ekstrinsik yaitu aspek yang terkait dengan fisik Nabi Muhammad Saw,
seperti tentang wajah, postur tubuh, dan lain-lain. Seperti yang terdapat dalam
hadis berikut ini:
كَانَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَمَ اَحْسَنَ النَّاسِ
وَجْهَا وَاَحْسَنَ النَّاسِ خَلْقًا لَيْسَ بِا لطَوِيْلِ وَلاَ بِا لقَصِيْر
Artinya:
“ Rasulullah Saw adalah manusia yang sebaik-baiknya rupa dan tubuh, keadaan
fisiknya tidak tinggi dan tidak pendek”.
Aspek
keduanya tersebut tidak ada kaitannya secara langsung dengan ajaran islam,
hanya sebagai informasi mengenai idektitas baik fisik maupun psikis Nabi
Muhammad Saw.
5. Hadis Hammi
Hadis
hammi bisa juga disebut dengan hadis yang berupa citi-cita. Yang dimaksud hadis
hammi adalah hadis yang berupa keinginan
nabi dan belum tersealisasikan. Pada kenyataannya, hadis hammi belum tercapai
atau terwujud, masih dalam ide yang
pelaksanaaannya pada masa sesudah nabi.[20] Contohnya hadis hammi yaitu
keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘asyura, sebagaiman disebutkan dalam
hadis riwayat Ibnu Abbas : [21]
لَمّضأ صَامَ رَسُلُ اللّهِ صَلّ اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَا شُوْرَاءَ وَاَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوْا يَا رَسُوْلُ اللّه, انَّهُ يَوْمٌ
يُعَظِّمُهُ الْيَهُوْدُوالنّصاَرَى, فَقَالَ: فَاَذَا كَانَ عَامُ الْقْبِلِ
انْشِاءَ اللّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ لتّاسِعَ
Artinya
: “ Ketika Nabi Muhammad Saw berpuasa pada hari ‘Asyura dan memrintahkan
para sahabat untuk berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan para sahabat
untuk berpuasa, mereka berkata, “Ya Nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan
oleh orang-orang yahudi dan nasrani:. Nabi bersabda, “Tahun yang akan datang
insyaAllah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilannya.”
Dilhat dari esensinya, hadis hammi ini
belum terwujud, tetapimasih apada taraf keinginanyang belum dilaksanakan dan
dicapai. Macam hadis seperti ini lebih sedikit daripada hadis yang lain.
D. Perbedaan
antara Hadis, Sunnah, Atsar, dan Khabar
Sumber ajaran Islam yang utama ialah alQur’an, tetapi bagaimana
dengan sumber ajaran kedua Islam yaitu al-hadis dan dalam penjabarannya sendiri
juga terdapat beberapa istilah yang saling berkaitan yakni sama erat dengan
perkataan, perbuatan, dan taqrir Rasulullah SAW, yaitu hadis, sunnah, atsar,dan
khabar. Namun tidak sedikit ulama yang membedakan istilah-istilah
tersebut.[22]
Seperti apa yang akan dibahas dalam pembahasan kali ini.
Hadis
Dari
segi bahasa, hadis memililki beberapa arti, yaitu : (1) “Al-Jadid”, yang
berarti sesuatu yang baru, (2) “Al-Khobar”, yang berarti berita atau
sesuatu yang diberitakan, (3) “Qorib”, yang berarti sesuatu yang dekat. [23]
Sedangkan menurut istilah hadis dapat
diartikan sebagai sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir nabi, sifat maupun hal ihwal Nabi SAW.[24]
Sementara dikalangan beberapa ulama ada
yang berpendapat bahwa hadis tidak hanya sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW saja, melainkan juga yang berasal dari sahabat, dan tabi’in.
kemudian disinilah terdapat istilah yang namannya hadis marfu’, hadis mauquf,
dan hadis maqtu’. Hadis marfu’ yaitu hadis yang dinisbahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, hadis mauquf , yaitu hadis yang dinisbahkan
kepada sahabat Nabi, dan hadis maqtu’, yaitu hadis yang dinisbahkan
kepada tabi’in.[25]
Contoh hadis marfu’ :
كَا ن رسول الله صلى الله عليه وسلم يُصلِّى
على را حِلَتِهِ حَيثُ تَوَ جَّهَتْ بِهِ، فَاِذا اَرادَالفَرِيضَةَ نَزَلَ فَا
سْتَقْبَلَ القِبْلَةَ
(رواه
البخاري)
“Rasulullah SAW,
pernah melakukan shalat di atas
kendaraan (dengan menghadap kiblat) menurut arah kendaraan itu menghadap.
Apabila hendak shalat fardhu, beliau turun sebentar, kemudian menghadap
kiblat.” (HR. al-Bukhori).
Dari contoh diatas jelas bahwa hadis
tersebut dinisbahkan pada perbuatan Rasulullah SAW.[26]
Contoh Hadis mauquf :
قال : عليُ بن طالب رضي الله عنه : حدِّ ثوا
النَّ سَ بما يعرفونَ أتُريدون انْ يُكذِّبَ اللهُ ورسوله.
( رواه البخاري)
“Ali bin Abi Tholib
berkata : berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka ketahui,
apakah engkau menghendaki Allah dan RasulNya di dustakan ?” (HR. Bukhori).
Hadis diatas
disandarkan atau dihubungan dengan sahabat, Ali berkata...
begini..begitu..dst.[27]
Contoh Hadis maqthu’ :
Imam Malik berkata kepada murid-muridnya :
اتقوا اللهَ و نْشُزُوا هذا العلمَ و
علِّموهُ ولا تكتُمُوهُ
"Takutlah kamu sekalian kepada Allah SWT, sebarkanlah
ilmu ini dan ajarkanlah serta janganlah kamu sekalian menyimpannya”
Adapun juga biasannya ada perkataan yang diucapkan tabi’in
dengan kata, “termasuk sunnah.. begini..begitu…dst.”[28]
Sunnah
لقد تَرِكْتُ فيكُمْ أمْرَينِ لَنْ تَضِلّوْا ما إن
تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَا بَ اللهِ و سُنَّةَ رسو لِهِ (رواه مالك)
“sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua
perkara, tidak sekali-kali kamu sesat, selama kamu berpegang kepadannya, yakni
kitabullah dan sunnah Rasul-Nya” (HR. Malik)[29]
Dari segi bahasa sunnah memiliki beberapa
arti yaitu jalan yang dilalui, tata cara atau perilaku.[30]adapun
mengenai jalan yang dijalani, itu termasuk dalam sesuatu yang terpuji maupun
tercela.[31]
Dari segi terminologis atau istilah, sunnah juga dapat diartikan,
yaitu menurut ulama hadis misalnya, berpendapat bahwa sunnah adalah sinonim
dari hadis. Yang mana dapat diartikan segala yang disandarkan kepada Nabi SAW,
baik perkataan, perbuatan, persetujuan, penampilan fisik dan budi pekerti Nabi
SAW.[32]
Sedangkan menurut ulama fiqh, sunnah adalah segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan sesuatu hal yang wajib
atau fardhu yang didalamnya terkandung unsure mewajibkan atau memfardhukan, hal
ini didefinisikan berdasar pokok pembahasan para ulama fiqh yang berkaitan
dengan hukumm-hukum syara’.[33]
Adannya perbedaan tersebut karena memang dilihat dari sudut pandang
yang berbeda, jika ulama hadis melihat pada perilaku atau pribadi Nabi Muhammad
SAW, ulama fiqh lebih sebagai respon dari perilaku Nabi Muhammad SAW sebegai
penetapan untuk melandasi suatu hukum.[34]
Dengan demikian sunnah dan hadis sama-sama bersumber dan bersandar
kepada Nabi Muhammad SAW, dan sunnah lebih kepada soal-soal praktis atau
penerapannya yang dicontohkan Nabi SAW, kemudian berlaku sebagai tradisi
dikalangan umat Islam.[35]
Khabar
Kata khabar berarti an-naba (warta), menurut istilah
ulama mendefenisikan ada dua poin yaitu;
·
Pertama, khabar disamakan pengertiannya dengan hadits maupun sunnah.
·
Kedua, ulama berpendapat, khabar merupakan khabar yang dating
dari selain nabi Muhammad, sedangkan hadits dan sunnah adalah khabar dari Nabi
Muhammad.[36]
Secara bahasa khabar yaitu semua berita yang disampaikan
seseorang kepada seseorang yang lain. Ulama ahli hadits juga berpendapat
bahwa khabar ini sama artinya dengan hadits yakni, dapat dipakai untuk
sesuatu yang marfu’, mauquf, dan maqtu’ dan berkaitan dengan
sesuatu yang asalnya dari Nabi Muhammad SAW, sahabat, dan para tabi’iin.
Sebagian ulama juga berpendapat dan mengatakan bahwa khabar adalah
sesuatu yang datanganya selain dari Nabi Muhammad SAW. Dan yang datang dari
Nabi Muhammad SAW disebut hadits. Mereka juga berpendapat bahwa hadits sifatnya
hadits lebih umum daripada khabar. Oleh karena itu, dapat dikatan bahwa
hadits itu merupakan khabar tetapi khabar belum tentu dikatakan
hadits.[37]
Dalam buku Ilmu Ushul Hadis yang di tulis oleh Drs. H. Adnan Qohar yang
merupakan terjemah dari kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syariifi karya Prof. Dr. Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki yang merupakan
ulama besar Masjidil Haram. Berpendapat bahwa;
Khabar menurut etimologi berarti “berita”, dan menurut
terminologi, mengenai arti khabar mendapat tiga pendapat, yaitu:
1.
Pengertian
khabar identik dengan hadits.
2.
Khabar ialah apa-apa atau sesuatu yang datang selain dari Nabi, seadng
hadits adalah sebaliknya. Sehingga, terkenal dengan sebutan “muhaddits” bagi orang-orang
yang menggeluti bidang ilmu hadits, dan disebut “ikhbari” bagi
orang-orang yang menggeluti bidang ilmu sejarah dan sejenisnya.
3.
Pengertian
hadits lebih khusus daripada khabar, sehingga setiap hadits pasti khabar,
namun tidak setiap khabar pasti
hadist.
Atsar
Lafazh “atsar” yang artinya
bekas sesuatu[38]
atau sisa dari gambaran sesuatu dan hasil dari peninggalan. Secara
bahasa, atsar juga diartikan sama dengan
hadis, sunnah, dan khabar. Mayoritas ulama hadis mengartikan atsar sebagai
‘sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, atau pun tabi’in’.
Sementara al-Nawawi (w. 676 H.) menyebutkan bahwa atsar dalam terminologi ulama
salaf dan mayoritas ulama khalaf, adalah ‘sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi
SAW (marfu’) maupun dari sahabat (maquf).[39]
Jadi mengenai atsar sendiri
ada dua poin yang bisa dijadikan sebagai patokan pengertian atsar sendiri
yaitu :
1.
Pengertiannya
identik atau sinonim dengan hadis, sunnah, maupun khabar.[40]
2.
Berbeda
dengan dengan hadis, sunnah maupun khabar. Atsar yaitu sesuatu yang
berasal dari para sahabat. Dalam hal ini atsar berarti juga hadis mauquf. Dan
oleh karena sesuatu yang berasal dari Nabi SAW ialah khabar.[41]
Demikian uraian mengenai beberapa istilah Hadis, Sunnah, Khabar,
dan Atsar. Dan dari beberapa uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
:
Secara prinsip atau hal mendasar istilah Hadis, Sunnah, Khabar, dan
Atsar sendiri mempunyai hal yang sama yakni sesuatu yang didasarkan atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sahabat Nabi, atau Tabi’in, baik
yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir maupun sifat Nabi.[42]
Dan adapun yang membedakan akan keempat istilah tersebut mengenai perbedaan
para ulama yaitu akan keterangan dan periwayatannya.[43]
Serta para ulama juga berpandangan bahwa perbedaan akan keempat istilah
tersebut sebenarnya hanya bersifat teoritis karena dalam perpektifnya sama saja
yaitu sesuatu yang bersumber dan dinisbatkan kepada Nabi Muhammad SAW. [44]
E. Sejarah Hadis
dari Masa ke Masa
Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan hadis dapat diklafisikasikan menjadi beberapa
periode : hadis pada masa nabi, hadis pada masa sahabat, dan hadis pada masa
tabi’in.
1. Hadis pada
Nabi Muhammad Saw
Masa
Rasulullah adalah periode pertama pertumbuhan dan perkembangan hadis. Masa ini
berlangsung selama 23 tahun dan merupakan kurun waktu turunnya wahyu sekaligus
sebagai masa pertumbuhan hadis. [45]Masa
ini juga dikenal dengan ‘Ashr al-Wahy al-Takwin, yaitu masa wahyu dan
pembutukan karena pada masa Nabi ini wahyu masih turun dan hadis-hadis yang
datang dari Nabi.
Ada
beberapa hal yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan hadis pada masa
nabi: [46]
a. Cara menyampaikan Hadis
Rasulullah
menyampaikan hadis kepada sahabat dengan beberapa teknik atau cara, yaitu: [47]
Pertama,
melalui majlis majlis ta’lim. Yaitu tempat pengajian para jamaah yang
diselenggarakan oleh Rasulullah. Melalui majlis ta’lim ini, para sahabat
memiliki banyak waktu dan peluang untuk menerima hadis dari Nabi Muhammad Saw.
Sehingga para sahabat selalu meluangkan dan mengusahakan untuk mengikutinya.
Periwayatan hadis melalui majlis ini dilaksanakan secara reguler, dimana
kegiatan ini diikuti secara antusias oleh para sahabat.
Kedua,
Rasulullah menyampaikan hadisnya pada kesempatan-kesempatan lain, tidak harus
melalui suatu majlis. Di banyak kesempatan, Rasulullah menyampaikannya kepada
para sahabat tertentu atau beberapa sahabat saja, yang kemudian para sahabat
menyalurkannya kepada prang lain.
Ketiga,
Rasulullah menyampaikan hadis dengan metode ceramah di tempat umum atau tempat
yang terbuka. Contohnya pada waktu haji wada’ dan futuh makkah.
Keempat,
Rasulullah menyampaikan hadis melalui perbuatan langsung yang dilihat oleh para
sahabat. Misalnya hal-hal yang berkaitan dengan praktik ibadah dan muamalah.
Kelima,
Rasulullah menyampaikan hadis melalui istri-istri sahabat ketika berkenaan
dengan hal-hal yang sensitif, seperti keluaraga dan kebutuhan biologis.
Tempat-tempat
yang digunakan Rasul dalam menyampaikan hadis yaitu di masjid, rumah beliau,
pasar, ketika perjalanan, dan ketika mukim.
b. Keadaan
Sahabat dalam Menerima dan Menguasai Hadis
Dalam
memperoleh dan menerima hadis ada seorang sahabat dengan sahabat yang lain
tidak sama. Sebagian sahabat memperoleh lebih banyak dari sahabat yang lain,
dan sebagian lagi memperoleh hadis lebih sedikit. Hal tersebut terjadi karena
beberapa hal, yaitu: [48](1)
Perbedaan terhadap kesempatan bertemu dan bersama Rasulullah, (2) Perbedaan
menganai hafalan dan keaktifan sahabat dalam mencari informasi mengenai hadis
terhadap sahabat yang lain, (3) Perbedaan sahabat dalam hal kesanggupan untuk
selalu bersama Rasulullah, (4) Berbedanya waktu islam, jarak tempat tinggal,
dan majlis Rasulullah, (5) Ketrampilan dalam menulis hadis yang berbeda.
Beberapa
sahabat yang tergolong banyak menerima hadis dari Rasul adalah: [49]
1.
Khulafaur
Rasyidin, karena lebih dulu dan awal dalam masul islam.
2.
Istri-istri
Rasulullah Saw, karena mereka lebih dekat dengan Rasul, jadi banyak mengerti
yang berkaitan dengan kepribadian Rasul, keluarga, dan tata cara pergaulan
suami istri.
3.
Sahabat yang
selalu ada dan dekat disamping Rasulullah, seperti Abdulla Amr bin ‘Ash.
4.
Sahabat yang
memanfaatkan peluang untuk aktif bertanya kepada sahabat yang laiinya dengan
giat dan sungguh-sungguh. Seperti Abu Hurairah
5.
Sahabat yang
sungguh dalam mengikuti majlis yang diselenggarakan oleh Rasul dan aktif dalam
kegiatan tersebut.
c. Pemeliharaan
Hadis dalam Hafalan dan Tulisan
1.
Aktifitas Menghafal
Hadis-hadis
yang diterima oleh sahabat dari Rasulullah dihafalkan secara sungguh-sungguh
agar tidak lupa dan hilang dari ingatan, tidak terjadi kekeliruan, dan tidak
tercampur dengan ayat-ayat Al Qur’an. Rasulullah Saw tidak memperkenankanuntuk
menulis hadis, akan tetapi memerintahkan hanya utnuk dihafal. Rasulullah tidak
memerintahkan sahabat untuk menulisnya, karena dihawatirkan terjadi kekeliuran,
atau tercampur dengan ayat-ayat Al Qur’an.
Para sahabat memiliki alasan yang kuat dalam kegiatan menghafal hadis, yaitu
menghafal merupakan budaya arab yang sudah mentradisi, orang-orang arab atau
sahabat terkenal memiliki kemampuan yang sangat kuat dalam menghafal,
Rasulullah memberikan semangat melalui doa-doa kepada mereka, dan Rasul sering
menjanjikan kebaikan yang berada di akhirat bagi orang yang menghafal dan
menyampaikan hadis. [50]
2.
Aktifitas Menulis Hadis
Banyak
diantara sahabat yang mempunyai tulisan hadis, baik untuk disimpan sebagai
catatan pribadi ataupun disampaikan kepada orang lain. Daintara para sahabat
yang melakukan penulisan terhadap hadis yang menurutnya telah dibenarkan oleh
Rasul, yang disebut dengan nama ash-shahifa as-shadiqah.
Diantara
sahabat yang melakukan penulisan hadis, yaitu: (a) Jabir bin Abdillah bin Amr
al-Anshari. Beliau memiliki tulisan hadis yang berisi tentang manasik haji.
Yang kemudia diriwayatkan oleh Muslim. Catatannya dikenal dengan Shahifah
Jabir, (b) Anasbin Malik. Beliau memiliki catatan hadis untuk disimpan
sendiri dan disampaikan kepada orang lain, (c) Ali bin Thalib, sebagai salah
seorang penulis pribadi Rasulullah. Beliau juga memiliki tulisan yang didsimpan
secara pribadi yang isinya yaitu hadis-hadis yang diterima dari Nabi. [51]
2. Hadis Pada
Masa Sahabat
Pada
masa sahabat, khususnya masa Khulafaur Rasyidin periwayatan hadis berlangsung
mulai tahun 11 H sampai tahun 40 H, kurang lebih selama 29 tahun. Masa ini
lebih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran Al Qur’an, sehingga membatasi
periwayatan hadis. Mereka sangat membatasi diri dan berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis, karena khawatir terjadi kekeliruan, serta meriwayatkan
hadis nabi merupakan hal penting sebagai wujud ketatan kepada Rasul dan
memelihara amanah Rasulullah Saw. Maka
dari itu Khulafaur Rasyidin sangat berjati-hati dalam hal tersebut. [52]
Para
sahabat melakukan penelitian yang sungguh-sungguh terhadap periwayatan hadis
mengenai rawinya ataupun matannya, maka dari itu sahabat Abu Bakar Ash Shiddiq
mengharuskan adanya saksi dalam periwayatan hadis. Para sahabat yang dipelopori
oleh khalifah Ali bin Abi Thalib juga meminta sumpah dari rawi yang
meriwayatkan hadis, untuk memastikan dan mempertanggungjawabkan hadis yang
diriwayatkannya tersebut, para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang
terpercaya.[53]
Pada masa sahabat juga terjadi kekeliruan
dalam periwayatn hadis. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad, kekeliruan terjadi
pada hadis itu disebabkan oleh salah satu atau lebih dari faktor –faktor
berikut: [54]
1.
Sahabat
meriwayatkan hadis yang didengar langsung dari Rasul, tetapi tidak tau kalau
hadis itu telah di nasakh.
2.
Seorang rawi
menyertakan komentar dan redaksi hadis, sehingga diduga oleh orang-orang yang
menerima atau mendengar hadis sebagai bagian dari hadis tersebut.
3.
Kekeliruan
dalam meletakan suatu kata dalam hadis oleh seorang rawi.
4.
Seorang rawi
meriwayatkan hadis dengan redaksinya sendiri
yang mempunyai cakupan lebih luas daripada hadis yang sebenarnya
bersumber dari Nabi.
5.
Meriwayatkan
hadis bukan pada jalur yang sebenarnya atau semestinya karena lupa latar
belakang timbulnya hadis tersebut.
6.
Periwayat
keliru meriwayatkan hadis, yang sesungguhnya tidak berasal bersumber dari Nabi,
dikatakan berasal dari dirinya.
Pada
masa khalifah sempat terjadi upaya pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan
hadis, tetapi juga terjadi pemalsuan hadis pada masa Ali bin Abi Thalib yang
dibuat oleh orang-orang syi’ah. Munculnya hadis palsu ini disebabkan oleh
beberapa faktor politik, yang bertujuan untuk menjustifikasi kekuatan sekte
tertentu agar mendapat legitimasi di kalangan umat muslim. Bukti hadis yang
dibuat oleh orang-orang syiah tersebut adalah hadis yang berisi tentang ‘Ali
bin Abi Thalib yang disanjung beserta pengikutnya, dan mencela para sahabat Abu
Bakar, ‘Umar bin Khattab, dan lainnya.[55]
3. Hadis Pada Masa Tabi’in
Pada masa ini sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan masa sahabat, karena pada dasarnya dalam hal periwayatanpun
tidak jauh beda yang dilakukan tabi’in dan sahabat. Para sahabat yang
pada masa ini terfokus pada penyebaran hadis karena alQur’an sendiri sudah dalam
bentuk mushaf dan ini memudahkan mereka untuk mempelajari hadis dari para
sahabat. Wilayah Islam yang semakin luas meliputi Irak, Persia, Mesir, Afrika,
Spanyol dan Damaskus pada masa kepemerintahan Bani Umayah juga menjadi faktor
pendorong meningkatnya penyebaran hadis dan pada masa ini pun dikenal dengan
masa penyebaran periwayatan hadis.
Dalam
pembinaan ini beberapa kota tercatat menjadi pusatnya yaitu di Madinah, Makkah,
Kufah, Syam, Mesir, dll. Pusat yang pertama yaitu Mdinah dimana disinilah Nabi
Muhammad SAW menetap setelah hijrah dan para sahabat yang menetap disini pula
yaitu, Khulafaur Rasyidin, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, dan sahabat-sahabat
lainnya. Di Makkah ada nama seperti Mu’adz bin Jabal, Usman bin Thalha, dan sahabat lainnya. Begitupun
di wilayah-wilayah Islam lainnya seperti itulah mereka menyebar luaskan hadis
dengan menetap disuatu wilayah kekusaan Islam.[56]
4. Hadis Pada Masa Kodifikasi
Pada
masa ini ketika pemerintahan Islam berada pada masa khalifah Umar bin Abdul
Aziz, ia mengintruksikan kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan
mengumpulkan hadis dari pengahafalnya. Kebijakan ini dilandasi oleh beberapa
pokok alasan yaitu khawatir akan habisnya para ulama hadis karena meninggal
dimedan perang dan khawatir akan tercampurnya hadis shahih dengan hadis yang
palsu.
Dan
pada masa ini pula ada gerakan menulis hadis dikalangan tabi;in dan tabi’it
tabi’in. Seorang ulama hadis dengan kitabnya yang berjudul Al-Muwatha’ditulis
oleh Malik bin Anas dan kemudian banyak dari kalangan tabi’in dan tabi’it
tabi’in yang turut serta dalam gerakan ini.
Penutup
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan
mengenai definisi hadis, macam-macam hadis, perbedaan antara hadis, sunnah, dan
atsar, serta sejarah hadis dari masa ke masa. Dalam agama islam, hadis digunakan sebagai dasar hukum yang kedua
setelah Al Qur’an. Hadis merupakan sebuah ucapan, perbuatan, dan taqrir Nabi
Muhammad Saw yang bersumber dari beliau.
Hadis digolongkan menjadi beberapa
macam, yaitu hadis fi’li, hadis qauli, hadis taqriri, hadis ahwali, dan hadis
hammi. Hadis Fi’li merupakan hadis yang menyebutkan perbuatan nabi. Hadis Qauli
adalah hadis yang memuat semua perkataan nabi, baik ucapannya memuat berbagai
hukum syara’, ataupun peristiwa dan keadaan tertentu. Hadis Taqriri merupakan
hadis yang menyebutkan ketetapan nabi terhadap apa yang datang dari sahabatnya.
Hadis ahwali yaitu hadis yang menyebutkan hal ihwal Nabi Muhammad Saw. Hadis
hammi merupakan hadis yang berisi mengenai cita-cita atau keinginan nabi yang
belum terlaksana.
Dan Secara prinsip atau hal mendasar istilah
Hadis, Sunnah, Khabar, dan Atsar sendiri mempunyai hal yang sama
yakni sesuatu yang didasarkan atau disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, atau
sahabat Nabi, atau Tabi’in, baik yang berupa perkataan, perbuatan, taqrir
maupun sifat Nabi
Kemudian sejarah hadis atau
periodesasi hadis dibagi menjadi 4 tahap, yakni masa Rasulullah yaitu dengan
menghafal dan menulis hadis. Pada masa sahabat, terutama masa khulafaur
rasyidin hadis diriwayatkan dan diterima
namun dengan sangat hati-hati. Pada
masa tabi’in, dan masa pengodifikasian hadis. Pada masa tabi’in, terdapat
pusat-pusat pembinaan hadis, pergolakan politik, dan pemalsuan hadis. Pada masa
kodifikasi, adanya gerakan menulis dikalangan tabi’in dan tabi’it tabi’in.
Daftar
Pustaka
Ahmad,
Muhammad. Mudzakir. 2004. Ulumul Hadis. Bandung : CV Pustaka Setia.
Dzikri
Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika,
2012, Vol.3 No.1
Idris.
2010. Studi Hadis. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Jumantoro, Totok. 1997. Kamus Ilmu Hadis.
Jakarta : Bumi Aksara
.
Khaeruman, Badri. 2010. Ulum Al-Hadis.
Bandung : Pustaka Setia.
Mudasir.
1999. Ilmu Hadis. Bandung : CV Pustaka Setia.
Sahrani,
Sohari. 2010. Ulumul Hadis. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.
Suryadilaga, al-Fatih. 2014. Pengantar
Studo Qur’an dan Hadis. Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA.
Qohar, Adnan. 2006. Ilmu
Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi Ushuuli Al-Hadisi
Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Zuhdi,
Masjfuk. 1985. Pengantar Ilmu Hadis. Surabaya : PT Bina Ilmu.
Catatan:
1.
Similarity
baik, hanya 12%.
2.
Penulisan
footnote tolong lebih teliti lagi
3.
Berikan
ringkasan perbedaan antara hadis, sunnah, atsar, dan khabar
4.
Buat pembahasan
makalah ini lebih sistematis lagi.
[1] M. Alfatih Suryadilaga, Pengantar
Studi Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 111.
[2] Badri Khaeruman, Ulum Al-Hadis,
(Bandung : Pustaka Setia, 2010), hlm. 7.
[3] Dzikri
Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika,
2012, Vol.3 No.1 hlm. 44.
[6] Ibid, hlm. 3.
[11]
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung :
CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
[12] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 12
[13]
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung :
CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 34
[14] Idri,
Studi Hadis, (Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 13-15
[15] Ibid,hlm.16
[16]
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung :
CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 35
[17] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm.16
[18]
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung :
CV Pustaka Setia, 1999), hlm.37
[19] Idri, Studi
Hadis, (Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 18-19
[20] Ibid,
hlm. 19
[21] Mudasir,
Ilmu Hadis, (Bandung : CV
Pustaka Setia, 1999), hlm.36
[22]
M.Alfatih Suryadinaga, Pengantar Studi Qur’an Hadits ,( Yogyakarta : KAUKABA DIPANTARA,
2014), hlm. 112.
[23]
Muhammad Ahmad dan M.Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung:Pustaka
Setia,2004), hlm. 11
[25] Ibid,
hlm. 62.
[26] Ibid,
hlm. 72-73.
[27] Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi
Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 72.
[28] Ibid.
hlm.72-73.
[30]
M.Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadist,( Yogyakarta
: KAUKABA
DIPANTARA, 2014), hlm.
113.
[32] Dzikri
Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika,
2012, Vol.3 No.1 hlm. 47.
[33] Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi
Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 4.
[34]
M.Alfatih Suryadilaga, Pengantar Studi Qur’an Hadist, (Yogyakarta :
KAUKABA DIPANTARA, 2014), hlm. 114.
[36] Ibid,
hlm. 115.
[39] Dzikri
Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika,
2012, Vol.3 No.1 hlm. 51.
[40] Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi
Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 46.
[41] Ibid,
hlm. 47.
[42]
Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung : Pustaka Setia, 2007), hlm. 32.
[43] Adnan
Qohar, Ilmu Ushul Hadis( Terjemah Kitab Al-Manhalu Al-Lathiifu fi
Ushuuli Al-Hadisi Al-Syarifi-Prof. Dr. Muhammad Alawi Al-Maliki), Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 47.
[44] Dzikri
Nirwana, Rekonsepsi Hadis dalam Wacana Studi Islam (Telaah Terminologi
Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar), IAIN Jember : Jurnal Edu-Islamika,
2012, Vol.3 No.1 hlm. 53-54.
[45] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor :
Penerbit Ghalia Indonesia,2010), hlm. 49
[46] Ibid, hlm.50-57
[47] Ibid, hlm. 50-52
[48] Ibid, hlm. 52
[49] Ibid, hlm. 52-53
[50] Ibid, hlm. 53-54
[51] Ibid. hlm. 56
[52] Idri, Studi Hadis,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 39
[53] Ibid, hlm. 55-57
[54] Ibid, hlm. 42
[55] Ibid. hlm. 43
[56] Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung
: Pustaka Setia, 2007), hlm. 101.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar