Salmawati.
Rumadan, dan Haqiki Fanmaddamkhul Fard
PAI E Angkatan 2016 UIN Maliki Malang
e-mail: amarumadan5@gmail.com
Abstrak
This article talks about the legal sources of jurisprudence that are agreed
upon among others are the Qur'an, As-Sunnah, Ijma and Qiyas. Al-Quran itself is
merupaka first and main object on research activities in solving a law.
Al-quran by language means "reading" and according to the term
UshulFiqih Al-Quran means "kalam (words) Allah revealed by the angel
Gabriel to Prophet Muhammad SAW. With Arabic language as well as considered to
worship read. SunnahSunnah means the way that is customized or praised way.
Meanwhile, according to the term religion that is the prophetic word, his deeds
and taqririnya (ie words and deeds of friends that he named with the meaning
justify it). Ijma The main source of Sharia, the Islamic Law Order, is the
Qur'an and As-Sunnah. The second source is Ijma, Qiyas, and Ijtihad. All of
which are derived from the legal commands in the Qur'an and As-SunnahRasullulah
SAW. Therefore, the ultimate power for all reasoning activities associated with
the Qur'an and Qiyas The third legal basis is qiyas used to put the law of a
problem, if there is no provision in the Qur'an and Al-Hadith can dopergunakan
by using qiyas , just as obliged to menghatyaskan mandatory zakat rice to wheat
because wheat and rice is the staple food of human (equally loving).
Abstrak
Artikel ini
berbicara mengenai sumber hukum fiqih yang disepakati diantaranya adalah
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas. Al-Quran sendiri merupakan merupaka objek
pertama dan utama pada kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum.
Al-quran menurut bahasa berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqih
Al-Quran berarti “kalam (perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan
perantaraan malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab serta
dianggap beribadah membacanya.As-Sunnah memilki arti Sunnah artinya cara yang
dibiasakan atau cara yang dipuji. Sedangkan menurut istilah agama yaitu
perakataan nabi, perbuatannya dan taqririnya (yakni ucapan Dan perbuatan sahabat yang beliau
yangdinamakan dengan arti membenarkannya). Ijma Sumber utama Syariah, Tatanan
Hukum Islam, adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan sumber yang kedua adalah
Ijma, Qiyas, DAN Ijtihad. Yang semuanya berasal dari perintah-perintah hukum
dalam Alquran dan As-sunnah Rasullulah SAW. Oleh karena itu, kekuatan akhir
bagi semua aktivitas nalar yang berhubungan dengan Alquran dan Qiyas Dasar
hukum yang ketig’a ialah qiyas dipergunakan untuk menempatkan hukum suatu
masalah, jika tidak terdapat ketetapannya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadis dapat
dopergunakan dengan menggunakan qiyas, sperti wajib mengqiyaskan wajib zakat
padi kepada gandum karena gandum dan padi adalah makanan pokok manusia
(sama-sama menyayangi).
Keywords : Al-Quran,
As-Sunnah, Ijtihan, Qiyas
A.
Pendahuluan
Artikel
ini berbicara mengenai sumber hukum fiqih yang disepakati Sumber dalil yang
disepakati, seperti yang dikemukakan ‘Abd. Al-majid Muhammad al-khafawi, ahli
hukum islam berkebangsaan mesir, ada 4 (empat) yaitu Al-Quran, Assunah rasul, ijma
dan Hadis. Mengenai keharusan
berpegang terhadap empat sumber tersebut dapat dipahami dari ayat 59
surat An-Nisa
: يا ايها الذين
ءامنوا اطيعوا الله واطيعوا الرسول واولي الامر منكم فان تنا زعتم في شيء فردوه
الى الله والرسول ان كنتم تومنون باللهوليومالاحرذلك خيرواحسن تا ويلا
yang artinya ; Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taaolah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Dan jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalilah ia keada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa 4;59).
Perintah
menaati Allah dan Rasul-Nya artinya perintah untuk mengikuti Al-Quran dan
Asunnah Rasulullah, sedangkan perintah untuk ulil amri, menurut Abdul-Wahhab
Khallaf, ia perintahkan mengikuti ijma, yaitu hukum-hukum yang telah disepakati
para mujtahiddin, karena mereka itulah ulil-amri (pemimpin) kaum muslim yang
dalam hal pembentukan hukum-hukum islam. Dan perintah untuk mengembangkan kejadian-kejadian
yang diperselisihkan antara umat Islam kepada Allah dan Rasul-Nya ialah
perintah untuk melakukan qiyas, karena dengan qiyas itulah terlaksana perintah
mengembalikan suatu permasalahan kepda Al-Quran dan Sunnah Rasullah. Berikut
ini secara ringkas akan dijadikan masing-masing dari empat dalil tersebut.
B. Al-Quran
Pengertian
Al-Quran dalam kajian Ushul Fiqih merupaka objek pertama dan utama pada
kegiatan penelitian dalam memecahkan suatu hukum. Al-quran menurut bahasa
berarti “bacaan” dan menurut istilah Ushul Fiqih Al-Quran berarti “kalam
(perkataan) Allah yang diturunkan-Nya dengan perantaraan malaikat Jibril kepada
Nabi Muhammad SAW. Dengan bahasa arab serta dianggap beribadah
membacanya.”Al-Quran mulai diturunkan dimekah, tepatnya di gua hirah pada tahun
611 M, dan berakhir dimadinah pada tahun 633 M, dalam jarak waktu kurang 22
tahun beberapa bulan. Ayat pertama diturunkan dalam ayat 1 sampai dengan ayat 5
surat Al-Alaq. SedAngkan tentang ayat yang terakhir diturunkan para ulama
berpendapat , dan dari sekian pendapat ulama, pendapat yang dipilih oleh
Jalaluddin As-syuti (w.911 H) seorang
ahli ilmu Al-Quran, dalam kitabnya al-itqan
Fi Ulum Al-Qur’an, yang dinuklikan dari Ibnu Abbas adalah ayat 281 surat
al-Baqarah
Menurut jalaluddin As-suyuti, setelah ayat ini diturunkan,
Rasullulah masih hidup sembilan malam kemudian beliau wafat ada hari senin 3
bulan Rabi’ al-awwal. Dengan turunnya ayat tersebut , berarti berakhirlah
turunnya wahyu. Kitab Al-Qur’an
kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dibacakan secara
muttawatir, artinya kumpulan wahyu, firman-firman Allah yag diurunkan kepada
nabi Muhammad untuk menjadi petunjuk bagi seluruh umat manusia. Adapun yag
dipindahkan tidak secara mutawatir, tidak dinamakan Al-Quran, karena Al-Quran
sesempurn-sesempurna seruannya dan keadaannya perkataan Allah SWT, yang
mengandung hukum-hukum syara, da menjadi
mukjizat bagi nabi, maka mustahil apabila al-quran dipindahkan tidak secara
muttawatir.
Al-Quran
yang terdiri dari 30 Juz, 540 Ruku, dan 7 manzilah dan 114 surat sedangkan
ayatnya 6666 ayat menurut resmi dibuatkan dalam buku-buku lain menurut metri
dalam negeri mesir bilangan ayat aAl-Quran yang terdapat dalam
Mushaf Usmaniy adalah 6236. Sedangkan dalam kalimatnya 77.934 kalimat, dan menurut
pendapat ulama lain 77.437 kaimat. Dengan banyak hurufnya menurut Ibnu Abbas
berjumblah 323.671 huruf. Jumlah surat Al-Quran yang terdiri dari 114 surat
itu, 86 diantaranya turun dimekkah disebut ayat makkiyah dan 28 surat turun
setelah hijrah kemadinah disebut madaniyyah. Ciri-ciri ayat makkiyah
pendek-pendek tetapi penih dengan retorika dan dinamitaraf revolusi kaum
muslimin dalam perjuangan sebaliknya ayat-ayat madaniyah panjang-panjang dan
lebih banyak ditujukan kepada masyarakat dan undang-undang masyarakat.
Kitabullah :
Al-Quranulkarim merupakan Kitabullah (QS. 2:1-2) yang diwahyukan kepada Nabi dan Rasul terakhir,
Muhammad SAW. Ia berisi pengetahuan (ilmu) Q.S. 7:52) yang disampaikan oleh
Allah serta petunjuk (Al-Huda) Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman dan buatkan
benar iman dan berbuat beriman dan berbuat benar untuk seluruh masa yang akan
datang. Ia merupakan penjelasan (Banyan) (Q.S. 2:97) bagi orang yang beriman
dan berbuat benar untuk seluruh masa yang akan datang. Ia merupakan penjelasan
(Bayan) (Q.S. 3:138) atas kebenaran (yang telah diwahyukan Allah) dan cahaya
(Nur) (Q.S. 10-57) dan pesan yang tuntas (Al-Balagh) (Q.S. 14:52). Ia merupakan
jalur penghubung kepada Allah (Habllulah) (Q.S. 3:103) yang dnegan berpegang
teguh padanya maka semua orang dan masyarakat akan mencapai keselamatan hidup. Ia merupakan obat (Al-Syifa) (Q.S. 17:82)
bagi semua penyakit rohani manusia. Ia merupaka penginggat yang mantap hingga
akhir zaman (Al-Dzikir) (Q.S.21:50) Bagi Kita Semua Sehingga Para Nabi Tak akan
lagi diutus untuk membimbing kita. Dan ia, al-qurannulkarim, bersifat sebagai
pembeda (Al-furqan) (Q.S.25:1) untuk membedakan dan memilih antara yang benar
dan salah, antara hak dan batil.
Sebagai wahyu yang terakhir diturunkan oleh Allah merupakan
penjelasan dari Wahyu ilahi yang paling indah (Ahsala Hadits) (Q.S. 39:23) dan
firman Tuhan yang mengandung kebijaksanaan (Hikmah) (Q.S. 43:4) .Alquran berisi
tata perilaku bagi setiap orang yang beriman perintah (Amr) dan peringatan
(Tadzkirah) (Q.S. 69:48) baginya, ajaran-ajarannya jelas (Mubin) (Q.S. 43:2) luhur (Ali) (Q.S. 43:4) dan penuh kberkahan
(mubarak) ada yang sangat pendek. (seperti kitabna orang Budha) atau sangat
panjang (seperti Bible), sedangkan Alquran tidak sangat panjang dan tidak pula
terlalu singkat.
Ia diturunkan
di daerah padang pasir saudi arabiah, merupakan sebuah maha karya, karena
sesungguhnya hanya sedikit tulisan yang pernah didapat sebelum diwahyukannya
Alquran ini Didalam Al-Qurannulkarim ini terdapat empat belas (sebagian ada
yang berpendap.at lima belas) ayat. Yang isinya sangat menggugah nurani. Sehingga
orang yang membacanya (dan memahami kandungannya) akan tertunduk merenungi
keagungan Allah; pada ayat ini orang yang membacanya diperintahkan untuk
bersujud.
Al-quran
diturunkan secara berangsur-angsur dalam tempo 22 tahun 2 bulan 22 hari,
berdasarkan kebutuhan dan untuk memecahkan masalah yang dihadapi Nabi Muhammad
SAW. Wahyu pertama yang diturunkan dimulai pada malam 17 Ramadhan tahun ke 41
dari kelahiran Nabi SAW. Ayat Al-Quranulkarim yang terakhir diturunkan adalah:
surat Al-maidah ayat 3 yang dimaksudkannya sebagai berikut; “pada hari ini
(pada masa Haji Wada) telah aku sempurnakan untuk kamu sekalian agama kalian
dan telah aku cukupkan bagimu sekalian ni’mat-Ku dan aku telah redha islam
menjadi Din (agama) kalian.” (Q.S.5:3), ayat ini diwahyukan pada tanggal 9
Dzulhijjah tahun ke-10 Hijrah ketika
Nabi SAW berusia 63 tahun.
Alquran adalah
simpanan yang sangat berharga, pegangan dan asas agama islam. Allah menitipkan
ilmu segala sesuatu didalamnya dan menjelaskan jalan yang benar dari pada jalan
yang sesat. Ia merupakan sumber hikmah, bukti kerasulullah, cahaya penghliatan
dan kecerdasan . Orang yang mengetahui dengan sebenarnya berarti ia mengetahui
selueurh syariat. Allah berfirman :
و نز
لنا عليك ا لكتب تبينا لكل شئ ء
Artinya : dan
kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.
(An-Nahl: 89)
Allah ta’ala
berfirman :
Tiadalah kami
alpakan sesuatu di dalam Al-Kitab (Al-Quran). (Al-An’am: 38)
Ibn Mas’ud berkata : “Apabila kamu sekalian mengkhendaki ilmu
pengetahuan, maka memuliakan Al-Quran, karena di dalam terdapat ilmu
orang-orang kemudian. Akan tetapi, pengetahuan Al-Quran terhadap hukum
mayoritasnya bersifat universala, tidak persial, melainkan global (tidak
rinci). Maka untuk mengetahui hakikat-hakikatnya membutuhkan sunnah yang dapat
menjelaskan apa-apa kurang jelas (samar). Karena hal tersebut, maka Allah
memuliakan umat ini, yaitu dimana mereka menggunakan akal pikiran mereka, dan
Al-Quran tidak mengerjakan hukum persial secara rinci sebagaimana halnya pada
umat-umat terdahulu. Hal ini juga karena penghapusan (nasakh) setelah
menetapkannya dan tidak pula terkena perubahan.
Para Ushul
telah memperlihatkan defenisi Al-Quran dan pembiasaannya, agar jelas apa yang
diperbolehkan dalam shalat dan apa yang tidak diperbolehkannya, apa yang
menjadi hujjah dan penginstimbatan hukum dan apa yang tidak dapat menutupinya :
“Al-Quran adalah al-Kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Shallahu Alaihi
wasalam dengan perkataan bahasa arab,
yang disampaikan (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, yang dimulai dengan
surat al-Fatihah dan di Akhiri (ditutup) dengan surat An-Nas. “berdasarkan hal
ini, maka terjemahan Al-Quran tidak di sebut Al-Quran, melaikan hanya disebut
tafsir., sama saja: baik terjemahana secara harfiah maupun lainya. Demikian
juga qiraah syadzdzah (bacaan yang menyalahi aturan pent). Yaitu qiraah yang
tidak disampaikan (diriwayatkan) dengan jalan mutawatir, seperti qiraah
(bacaan) Ibnu Mas’ul Radhiyallahu Anha.
“kemudian jika
mereka kembalai (kepada istri-istrinya), maka sesungguhnya Allah maha pengampun
lagi maha penyayang.”
“Dan pewaris
(yang mempunyai tali persaudaraan, lagi merdeka) berkewajiban demikian.”
“barang siapa tidak sanggup melakukan yang dmikian, maka kafaratnya
uasa hari (berturut-turut).” Alquran ialah kalam Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. Dengan perantara Jibril, berbahasa Arab, dan dinukilkan
kepada kita secara mutawatir [1]
Di samping
memberi petunjuk kepada umat manusia tentang mana yang baik dan mana yang
buruk, Alquran juga diturunkan untuk membebaskan umat manusia dari semua
perbuatan dan fikiran-fikiran deskruktif lainnya, sehingga dengan demikian
manusia dapat melibatkan diri dalam problem-problem sosial yang rill dan di
dalam perkembangan humanisme. Ia tidak meninggalkan suatu masalah pokok tanpa
membicarakannya, suatu tindakan baik tanpa menganjurkannya, dan suatu hukum
masyarakat tanpa menjelaskan.
Salah satu
keistimewaan Alquran adalah bahwa lafaz dan maknanya langsung dari Allah Swt.
Alquran memaparkan kebenaran-kebenaran universal yang berkaitan dengan masalah
hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan khaliknya
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang-orang Arab dengan latar belakang
intelektual yang mereka miliki. Orang-orang Asingpun dapat dengan mudah
menafsirkannya. Sebagai wahyu Allah yang disamping kepada manusia secara pasti
(qath’i) yang tidak ada keraguan sedikitpun didalamnya, ketentuan-ketentua
Alquran merupakan hukum yang wajib ditaati dan tidak boleh diganti dengan
ketentuan-ketentuan lainnya. Ia dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia itu
sendiri (Q.S.Baqarah :2).
2.
As-Sunnah
Kata sunnah secara bahasa berarti
“perilaku seseorang tertentu, baik perilaku yang baik ataupun perilaku yang
buruk”. Menurut istilah Ushul-Fiqih, Sunnah Rasullulah, seperti yang
dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khitab (Guru Besar Hadis Universitas
Damaskus), berarti “segala perilaku Rasullulah yang berhubungan dengan hukum,
baik berupa ucapan (Sunnah). Sunnah artinya cara yang dibiasakan atau cara yang
dipuji. Sedangkan menurut istilah agama yaitu perakataan nabi, perbuatannya dan
taqririnya (yakni ucapan) Dan perbuatan sahabat yang beliau yangdinamakan
dengan arti membenarkannya). Dengan demikian sunnah nabi dapat berupa;
Sunnah Qauliyah (perkatan), Sunnah
Fi’iliyah (perbuatan) Sunnah Taqririyah (ketetapan).
1.
Sunnah qauliyah
Sunnah qauliyah atau sering juga dinamakan
kabar ataau berita yang diucapkan oleh nabi berupa sabda-sabdanya di hadaapan
para sahabatnya (yakni orang muslim yang hidup dimasa Nabi dan pernah mendengar
ucapannya).
Sunnah qauliyah
dapat dibagi atas 3 bagian :
A.
Yakni benarnya seperti kabar yang
datang dari Allah dan rasulnya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat
dipercayai dan kabar-kabar mutawatir.
B.
Diyakini dustanya seperti kabar yag
berhimpun antara dua yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dai
ketentuan-ketentuan syara seperti
bid’ah-bid’ah sayyiah,
C.
Yang tidak diyakini kebenaranya dan
dustanya yang terdiri dari 3 macam :
1)
Tidak kuat benarnya dan tidak kuat
dustanyal seperti berita yang disampaikan oleh orang bodoh.
2)
Kabar yang kuat dustanya dari
kebenaranya seperti berita yang disampaikan dari benarnya seperti beriya yang
disampaikan oleh orang fasik (yakni orang ang mengakui peratiran-peraturan
islam tapi kurang mengindahkannya).
3)
Kabar yang kuat benarnya dari
dustanya \, seperti kabar yang disampaikan oleh orang yang adil (dipercaiai) .
2.
Sunnah fi’iliyah
Sunnah fiiliayh
ialah tiap-tiap perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, sunnah fi’iliyah
terbagi kepada lima bentuk.
A.
Nafsu yang dikendalikan oleh
keingginan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan anggota badan dan gerakan
badan, sunnah fi’iliyah yang seperti ini menunujukan kepada mubah atau (boleh).
B.
Sesuatu yang tidak berhubungan
dengan ibadat seperti berdirih, duduk dan lain-lainnya.
C.
Perangai yang membawa kepada syara
menurut kebiasaan yang baik dan tertentu, seperti makan, minum, berpakaian dan
tidur.
D.
Sesuatu yang tertentu kepada nabi
saja, seperti beristri lebih dari empat orang,
E.
Untuk menjelaskan hukum-hukum yang
mujnal (samar-samar) seperti penjelasan perbuatan haji dan umroh perbuatan
sembahyang yang lima waktu (fardhu) dan sembahyang khusuf (gerakan).
3.
Sunnah taqririyah
A.
Sunnah taqririyah ialah tentang nabi
mencegah apa yang dikatakan seseorang atau apa yag diperbuat oleh seseorang
atau dimasanya, dengan arti perkataan-perkataan atau perbuaan-perbuatan yang
dilakukan dihadapan beliau tidak dicegahnya dan tidak dilarangnya. Jadi ketetapan
nabi atas perkataan sama dengan perkataannya dan atas perbuatanya, begitu juga
perkataan dan perbuatan yang tidk dapat beliau sedangkan dia mengetahui hal-hal
tersebut, seperti tidak dibantahnya, maka hukumnya sama dengan hukum perkataan
atau perbuatan dihadapannya.
Al-Qur’an nulkarim diwahyukan kepada
nabi Muhammad SAW yang ummi (tak dapat membaca dan menulis), bukan karangan
yang hasil pemikirannya melainkan diwahyukan kepada beliau SAW langsung oleh
Allah Ta’ala.
A. Belai
SAW dianggap sesat baik karena rusaknya daya pikirannya atau pun karena
penyakit kelalaian.
B.
Baliau SAW dituduh di kuasi atau
dperdaya oleh makhluk jahat (Jin) sehingga menjadi kerasukan (majnun); dan
C.
Belaiu SAW dianggap berguru atau
berbicara menurut dorongan hatinya sediri.
Telah terbukti
bahwa Nabi Muhammad SAW menerima wahyu dari Allah langsung yang membimbing
semua pemikiran dan tindakannya sehingga belaiu SAW disebut Ma’shum. Ayat
tersebut di atas menunjukan betapa pentingnya Hadits dan Sunnah dalam
menfsirkan seluruh isi pesan Alquran dan dalam membentuk tatanan kehidupan yang
islami. Inilah sebabnya Hadits merupakan sumber syariah kedua yang merupakan
wahyu Allah yang tersembunyi (wahyu khafi) setelah firman Allah yang merupakan
sumber syariah pertama. Sebagimana
kewenangan Alquran sebagi sumber pertama dan utama dalam syariah, maka
Al-Hadits dan As-sunah pun memiliki kewenangan serupa kedua yang tak kalah
pentingnya dalam menafsirkan Alquran Hal ini dinyatakan oleh Alquran sendiri.
Beliau SAW juga telah bersabda :
ا لاؤانى قداؤتئتالقر ان ؤمثلهمعه
artinya : “sungguh
aku telah diberi alqura dan yang serupa itu (yaitu asunnah) bersamanya
(H.R.bukhari)
Sunnah merupakan etimologi adalah ajalan baik, buruk diantaranya :
Sabda Nabi SAW
من
سن سنه حسنت فله اجرها و اجر من عمل بها الى يوم القامت و من سن سنت فعله وزرمن
عمل بها الى يوم القيامت
Artinya : barang
siapa mengadakan Sunnah/jalan yang baik maka pahala atas jalan yang ditempuh
itu, ditambah lagi pahala orang-orang yang mengerjaannya sampai hari kiamat.
Dan barang siapa yang mengadakan sunnah/jalan buruk maka atasnya dosa karena
jalan buruk yang ditempuhnya, ditamba dosa orang-orang yang mengerjakannya
sampai hari kiamat”.
Terkadang kata
sunnnah disebut sebagai lawan kata bid’ah maka maksud dengan menggunakan kata
sunnah adalah sesuatu yang diyariatkan secara mutlak; baik yang dimaksud dengan
sunnah disini Adalah sesuatu yang bersumber dari Nabi Shallallahu Alaihi wa
Saallam berupa: perkataan, perbuatan dan ketetapan. pada prinsipnya, yang
dimaksud dengan hadis adalah segala sesuatu yang dirujuk/ didasarkan kepada
nabi, baik berupa perkatan, perbuatan, maupun ketetapannya. Ulama ushul fiqih
menambahkan pengertian tersebut dengan hal “yang berkaitan dengan hukum”.
Artinya, yang dimaksud dengan hadis dalam pandangan mereka (ulama ushuliyah)
adalah segala sesuatu yang dirujuk kepada nabi yang berkaitan dengan Hukum. [2]
Hadis menempati urutan kedua dalam
sistem sumber-sumber hukum Islam. Ia
berfungsih sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar,
mmebatsi keumuman nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata
disebut Alquran. Sebenarnya, dari satu
segi, hadis dapat juga dikatan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri.
Karena kadang-kadang ia membawa hukum yang tidak disebut didalam Alquran , seperi
masalh memberi warisan kepada nenek
perempuan. Namun dilihat dari sisi lain, ia telah terlihat sebagai
sumber hukum tersendiri, karena fungsihnya sebagai tabyin, tidak akan
membebaskannya dari aturan-aturan Alquran itu sendiri disamping apa yang diucapkan
dan diperbuatan oleh nabi tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya.
Namun demikian ulama, tetap melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua,
mengikuti status Nabi yang berfungsih sebagian pembuatan Syariat (syara), di
samping Allah.
Seperti
yang telah dijelaskan bahwa ayat-ayat Al-Quran Al-Karim pada umumnya bersifat
kulli. Penjelasan-penjelasan lebih jauh dari ayat-ayat tersebut dapat ditemukan
dalam Al-Sunnah. Sunnah yang terakhir bisa jadi apabila sahabat berbuat atau
berkata dan Nabi tahu akan hal tersebut, tetapi beliau diam dan tak beri
komentar apa-apa.
kepada nabi yang berkaitan
dengan Hukum.
Hadis/sunnah menempati urutan kedua dalam sistem
sumber-sumber hukum Islam. Ia berfungsih
sebagai penjelasan nash yang masih dalam bentuk garis besar, mmebatsi keumuman
nash tersebut, atau menempatkan hukum yang belum nyata-nyata disebut Alquran.
Sebenarnya, dari satu segi, hadis/sunnah
dapat juga dikatan sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri. Karena kadang-kadang
ia membawa hukum yang tidak disebut didalam Alquran , seperi masalh memberi
warisan kepada nenek perempuan. Namun
dilihat dari sisi lain, ia telah terlihat sebagai sumber hukum tersendiri,
karena fungsihnya sebagai tabyin, tidak akan membebaskannya dari aturan-aturan
Alquran itu sendiri disamping apa yang diucapkan dan diperbuatan oleh nabi
tidak lepas dari wahyu yang diwahyukan kepadanya. Namun demikian ulama, tetap
melihat hadis ini sebagai sumber hukum kedua, mengikuti status Nabi yang
berfungsih sebagian pembuatan Syariat (syara), di samping Allah.
C. Ijma
Kata
ijma secara bahasa berarti “kebulatan tekad terhadap suatu persoalan” atau
“kesepakatan tentang suatu masalah”. Menurut istilah usul fiqih, seperti yang
dikemukakan ‘Abdul-karim zaidah, adalah kesepakatan para mujtahid dari kalangan
umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, para ulama sepekat bahwa ijma, adalah sah
dijadikan sebagai dalil hukum. Sungguhpun demikian, mereka berbeda pendapat
mengeni jumlah pelaku kesepakatan sehingga dapat dianggap sebagai ijma, yang
mengikat umat islam. Menurut mazhab maliki Maliki, kesepakatan sudah dianggap
ijma, meskipun hanya merupakan kesepakatan penduduk madinah yang dikenal dengan
ijma, ahl al-madinah.
Menurut
kalangan syiah, ijma adalah kesepakatan para imam dikalagan mereka. Sedangkan
menurut jumhur ulama, kata muhammad Abu
Zahrah, ijma, sudah dianggap sah dengan adanya kesepakatan dari mayoritas ulama
mujtahid, dan menurut abdul karim zaidan, ijma baru dianggap terjadi bilangan
merupakan kesepakatan seluruh ulama mujtahid. Disamping dasar-dasar hukum syara
yang menjadi sumber hukum dalam menetapkan hukum suatu masalah, sering juga
dipergunakan dasar hukum suatu masalah, sering juga dipergunakan dasar hukumnya
yang keempat yaitu ijma (kesepakatan para ulama). Ijma artinya cita-cita ,
rencana dan kesepakatan. Ijma menudut
syara adalah sesuatu kesepakatan dari orang yang sudah payah dalam menggali
hukum-hukum agama (mujtahid) di anatar umat Muhammad SAW, sesudah beliau meninggal
dalam suatu masa yang tidak ditentukan atau sesuatu (masalah) diantara
masalah-masalah yang diragukan (yang belum ada ketetapannya dalam kitab dan
sunnah). seperti bagian unyuk cucu dalam pembagian harta pusaka (faridh),
Sumber
utama Syariah, Tatanan Hukum Islam, adalah Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan
sumber yang kedua adalah Ijma, Qiyas, DAN Ijtihad. Yang semuanya berasal dari
perintah-perintah hukum dalam Alquran dan As-sunnah Rasullulah SAW. Oleh karena
itu, kekuatan akhir bagi semua aktivitas nalar yang berhubungan dengan Alquran.
Bahkan setiap Hadits yang bertentangan dengan Alquran harus dianggap palsu.
Selain
dari Alquran dan As-Sunnah, dua sumber utama shariah, “Ijma” masih ada pula dua
sumber kedua. Satu diantaranya adalah “Ijma”, kesepakatan pendpaat para Alim
ulama dan Fuqaha di bidang hukum setelah wafatnya Rasullulah SAW. Ijma dapat
didefenisikan sebagai kesepakatan pandanga para sahabat Nabi SAW dan
persetujuan yang dicapai dalam berbagai keputusan dan dilakukan oleh para
“Mufti” yang ahli, atau para ulama dan Fuqaha dalam berbagai persoalan islam.
Nabi Muhammad SAW pun telah mendukung proses ijma ini ketika belau
bersabda sebuah haditsnya
لا تجتمع امتى
عل الضلا لة
Artinya : ummatku
tak akan pernah bersepakat dalam hal yang menuju kesesatan.
Panglima
ijma dapat ditelusuri kembali kemasa para sahabat Nabi SAW sebagimana dapat
dilihat dari contoh berikut ini. Allah tidak menentukan jenis hukum pada orang
yang meminum minuman keras. Namun telah dicapai persetujuan dengan kesepakatan
pendapat para sahabat ketika Ali Bin Abitalib berkata: “hai orang yabg meminum
minum keras niscay akan mabuk (teler) ; orang yang teler niscaya akan ngaco
(mengacau); orang yang mengeracau niscaya akan menuduh orang sembanrangan
(dengan tuduhan palsu) dan orang yang memfitnah harus dicambuk delapan puluh
kali dengan cemeti
Ijma
adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggalan Nabi Saw.
Tentang suatu hukum yang syar’ih mengenai suatu peristiwa tertentu. Seperti
disebut sebelumnya,, pertumbuhan nash syariat telah terhenti sejak meninggalnya
Nabi Saw. Namun peristiwa atau masalah-masalh hukumyang dihadapi umat islam
tidak terhenti dengan meninggalnya Nabi tersebut. Masalah itu, baik jenis
maupun kualitasnya, selalu saja berkembangsesuai perkembangan masa. Karena itu,
alternatif lain ditempuh untuk menentukan suatu hukum dari suatu peristiwa,
yaitu melalui ijtihad para mujtahid dan mengambil keputusan secara bersama.
Keputusan bersama ini disebut ijm, dan sebagian dalil ketiga yang disepakati
ulama untuk menjadi sumber hukum islam. Dengan disepakati ijma sebagai sumber
hukum ketiga oleh jmhur ulama, berarti ia merupakan salah satu sumber hukum
yang kuat dalam sistem hukum. Kekuatan ijma itu memang telah di isyaratkan oleh
nai dalam sebuah hadis : “La lajtami’u ummati ‘ala al-dhalalat”. Salah satu
contoh penetapan hukum berdasarkan metode ijma ini adalah tersisihnya saudara
baik laki-laki maupun petempuan dalam menerima warisan karena adanya ayah.
Ijma
sebagai salah satu dalil hukum masih diperdebatkan, meskipun secara prinsip
diterima sejak awal-awal islam. Perdebatan disebut berkenan dengan pengertian
dan ruang lingkup yang dimiliki ijma, yaitu apakah ijma itu merupakan
konsekuensinya para sahabat dan umatnya di madina atau para ahli hukum secara
umum atau keseluruhan umat islam? Apakah ijma tersebut tidak mengisyaratkan
kesepakatan penuh atau cukup sebagai kesepakatan mayoritas? Kemudian kepada
siapa ijma itu mengikat? Apakah ijma generasi
pertama atau ijma generasi terdahulu mengikat seluruh generasi
seluruhnya ?
Ijma secara etimologis ijma
mengandung dua arti 2 berarti العز م عل الستيء (ketetapan hati untuk melakukan sesuatu atau
keputusan untuk berbuat sesuatu) sebagaimana bercermin dalam surat yunus (10)
ayat 71
... فا جمعواا مر كم و شر كاء كم ...
Artinya :
karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu-sekututmu (untuk
membunasaknmu)... (Q.S. Yunus (10):71)
Ijma juga dapat
berarti sepakat, seperi terlhat pada
surat Yunus ayat 15
فلما
ذهبو ابه و اجمعلو ه في غيا بت الجب
Artinya : maka
ketika mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur (Q.S. Yunus
(12): 15)’
Diungkapkan
pengertian ijma secara teknis hukum (syari) seperti yang diungkapkan oleh
Al-Gazali, yaitu kesepakaatan umat Muhammad SAW. Secara khusus atau urusan
agama. Dari defenisi ini terlihat bahwa penggunaan istilah dikhususkan kepada
umat Nabi Muhammad SAW. Mempunyai maksud mencakup jumblah yang luas, yaitu
seluruh umat Nabi Muhmammad SAW. Tampaknya hal didasarkan pada keyakinan bahwa
yang terlihat dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan dan bukan
persoalan. Pengertian lain tentang ijma di ungkap oleh Al-Amidi yaitu
“kesepakatan para mukhallaf dari ummat Muhammad pada suatu masa atas hukum
suatau kasus.?” Sementara Abdul Wahab
Khallaf mendefinisikan ijma dengan “kesepakatan semua mujtahid muslim
pada suatu masa setelah Rasullulah wafat atas suatu hukum syara’ mengenai suatu
kasus.”
Dari defenisi
diatas, terlihat unsur pokok yang terjadi substansi ijma sekaligus rukun, yaitu (a) adanya kesepakatan segenap
mujtahid dari kalnagn umat islam; (b) kesepakatn tersebut terjadi dalam suatu
masa sepeninggalan Nabi Muhammad SAW. ; (c) kesepakatan itu menyangkut segenap
permasalahan yang muncul dalam masyarakat.
Sebagai salah
satu dali hukum setelah Al-Quran dan hadis, ada perbedaan dalam terjadinya
ijma. Pertama pendapat bahwa ijma dengan mengacu pada persyaratan defenisi ijma
adalah sesuatu yang sulit terjadi menurut lazimnya, setidaknya didasarkan pada;
(1) sulitnya penentuan standarisasi mujtahid; (2) luasnya wlayah di samping
perbedaannya keadaan suatu wilayah dengan wilayah lain merupakan suatu
kesulitan tersendiri dalam mencapai suatu pendirian dalam mencapai kesepakatan;
(3) tidak ada jaminan berubahnya suatu pendirian mujtahid dalam suatu
persoalan; dan (4) kesulitan mencapai kesepakatan bulat sebagaimana disyaratkan
dalam ijma.
Kedua, pendapat bahwa ijma mungkin dapat
terlaksana dan memang telah terjadi dalam suatu kenyataan, seperti pengangkatan
abu bakar menjadi khalifah, keharaman lemak babi, dan lain-lain. Ijma dapat
terjadi dengan fasilitas negara yang menetapkan standar tertentu seorang
mujtahid kemudian berkumpul untuk membahas suatu peristiwa. Menerima itu bisa
diartikan tidak diketahui adanya pendapat yang meyalahinya.
Kedudukan ijma
yang menempatkan salah satu dalil hukum sesudah Al-Quran dan Hadis mempunyai
arti bahwa ijma dapat menempatkan hukum yang mengingkari apabila tidak ada
kesepakatan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah. Secara etimologi, ijma
mengandung dua arti. Pertama ijma yang bermakna ijma yang bermakna ketetapan
hati untuk melaksanakan sesuatu. Kedua
ijma bermakna kesepakatan. Dari dua pengertian harfiah di atas, prinsip adapat
terdapat perbedaan. Bila menggunakan makna pertama, maka subjek ijma hanya seorang,
tetapi dengan menggunakan makna, ijma harus melibatkan lebih dari seorang.
Sedangkan dalam
termonologi ushul fiqih, terdapat beberapa pendefenisian menrut Al-Gazali, ijma
adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas hal-hal berkaitan dengan
keagamaan. Defenisi Al-Gazali ini memberikan suatu pengertian bahwa ijma tidak
harus berupa kesepakatan kalangan mujtahid saja, namun orang awam dapat pula berperan dalam proses pemebentukan
ijma, dalam persoalan-persolan yang ma’lum dlaluri’ yakni
perosalan-persoalan yang diketahui oleh kalangan awam dan kalangan tertentu
(ulama), seperti kewajiban menjalankan sholat lima waktu, puasa, zakat dan
haji. Sementara dalam persoalan-persoalan yang bukan temasuk ma’lum draruri,
menurutnya orang awam tidak dapat dilibatkan dalam pembentukan ijma , karena
mereka bukanlah orang yang berkopeten dalam upaya pencapaian kebenaran hukum
dalam berbagai permasalahan keagamaan.
Ijma adalah
kesepakatan seluruh mujtahid dari kaum muslimin pada suatu masa setelah
wafatnya Rasulullah SAW. Atas suatu hukum syara dalam suatu kasus tertentu.
Dari defenisi tersebut bisa ditarik beberapa penegrtian tentang Ijma’ yaitu:
A. Terdapat
beberapa orang mujtahid, karena kesepakatan baru bisa terjadi apabila ada
beberapa mujtahid
B.
Harus ada kesepakatan diatara mereka
C.
Kebulatan pendapat tampak nyata,
baik degan perbuatannya, misalnya Qodli dengan keputusan yang atau dengan
perkataannya, misalnya dengan fatwanya.
D. Kebulatan
pendapat orang-orang bukan mujtahid tidaklah disebut ijma.
Ijma
adalah kesepakatan pendapat para mujtahid pada suatu masa tentang suatu hukum
Syara’ yang baru setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Ijma dapat dijadikan hujah /
peganggan pada maalah yang tidak didapati dalil Nash Alq’an atau hadis. Ijma
harus telah menjadi kesepakatan para ulama dan tidak menyalahi Alquran dan
Hadis. Sebagaimana para ulama berpendapat bahwa nilai kehujaan Ijma’ adalah
Dzoni (sangkaan) bukan Qoth’i (pasti). Oleh karena itu Nilai Ijma’ adalah
dzonni, maka Ijma, dapat dijadikan hujah/pegangan dalam urusan amal bukan dalam
urusan I’tiqod, sebab urusan I’tiqod harus dengan dalil yang qot’hi.
Terjadinya Ijma
Serta Ijma Menurut Pendapat Para Ulama
A.
Ijma qathiy. Yaitu suatu kesepakatan
para ulama dalam menentapkan hukum suatu masalah tanpa ada bantahan di antara
mereka. Ijma qath’iy ini dapat dijadikn dalil (alasan) dalam menentapkan hukum
suatu masalah.
B.
Ijma sukuti, yaitu suatu kesepakatan
para ulama dalam menentapkan hukum suatau masalah, kesepakatan mana mendapat
tantangan (hambatan) diantara mereka atau tenang (diam) salah seorang diantara
mereka dalam mengambil suatu keputusan masalah itu.
Sekarang timbul
pertanyaan; apakah mungkn ijma’ dalam suatu masalah, sedang masalah-masalah
agama sudah disemurnakan Allah dengan perantaraam Rasullulah SAW sebagimana
firman-Nya
surat Al-Maidah
ayat 3 :
حر
مت عليكم الميتـت والخنزيرومااهل لغيرالله به والنحنقت
ولموقوذتوالنطحت ومااكل السبع الا ماذ كيتم , وماذبح عل النصب و ان تستقسموا
بالام, اليوم يسالذين كفروامن دينكم فلاتخشوهمواخشون, اليوم اكمتلكم ا تمت عليكم
نعمتي ورضييت لكم الاسلامدينا, فمناضطرفي محمصت غير متجانف لاثمو, فان الله
غفوررحيم
Artinya: hari ini aku sempurnakan agammu dan aku
sempurnakan pula nikmatmu atasmu dan akau suka (rela) islam itu menjadi
agamamu.
1.
Qiyas
Dalil yang
keempat yang disepakati adalah qiyas atau analogi Qiyas menurut bahasa berarti
“mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain diketahui adanya persaman antara
keduanya. Qiyas adalah salah satu kegiatan jihad yang tidak ditegaskan dalam
Al-Quran dan Asunna. Adapun Qiyas dilakukan seorang mujtahid dengan meneliti
logis (‘illat) dan rumusan hukum itu dan setelah itu diteliti pula keberadaan
‘illat yang sama pada masalah lain yang tidak termaktub dalam Al-Quran atau
Sunnah Rasullulah. Bila benar kesamaan ‘illatnya, maka keras dugaan bahwa
hukumannya juga sama. begitulah dilakukan pada setiap praktis Qias
Dalam bahasa
ketauhidan yang islami, Al-Qiyas dapat didefensikan sebagai analogi atau
deduksi analogis. Dengan kata lain, Al-Qiyash merupakan prinsip hukum yang
diperkenalkan untuk memperoleh kesimpulan logis dari suatuhuikum tertentu Atas
suatu masalah tertentu yang harus dilakukan untuk keselamatan kaum muslimin.
Walaupun begitu, dalam pelaksanannya, ia harus didasarkan pada Alquran, Asunnah
dan Ijma.
Prinsip hukum
inidiperkenalkan oleh Imam Abu hanifah, pendiri Mazhab Hanafi, di Iraq. Alasan
kenapa ia memeprkenalkannya tidak berhubungan dengan tujuan menegndalikan
kebebasan berfikir dan mendiskriminasi masyarakat dari pokok-pokok hukum Islam.
Selama masa Abbasiyah masyarakat tengah berusaha membaca berbgai buku teks
tentang filosofi logika, entimologi, kebahasaan yaj=kni, karya sastra dari
berbagai daerah, dan buku-buku teks dari luar yang sedikit banyak cendrung
merusak pemikiran mereka dengan mengakibatkan kesesatan.
Selama
Rasullulah hidup mereka telah banyak membuat keputusan berdasarkan deduksi
analogis. Sebagai contohnya adalah seorag pemabuk. Ali bin Abitalib, telah
memutuskan dengan katanya: “barang siapa yang meminum minuman keras , niscaya
dia akan mabuk (teler), tentu meceracau (kacau); barangsiapa yang mengeracau,
niscaya dia akan menuduh orang dengan dakwaan yang palsu dan orang yang menuduh
dnegan dakwaan palsu, harus dihukum delapan puluh kali cambukan oleh karena
itu, orangyang minum (minuman keras) harus dicambuk delapan puluh kali.
Dari semua yang
telah dikatakan itu, sampai sejauh ini, kita dapat menyimpulkan bahwa tak ada
salahnya mempelajari Al-Qiyash untuk memperoleh kesimpulan logis dalam hukum
islam, selama kesimpulan itu tidak bertentangan dengan perintah-perintah
Alquran atau Asunnah Nabi SAW. Serupa dengan itu, telah timbul masalah tentang
perkataan seorag Khalifah setelah wafatnya Rasullullah SAW. Sebelum mencapai
kesepakatan “ijma” untuk memilih abu bakar Nabi mmilih Abu bakar sebagai
pemimpin romawi untuk tidak sebagai Imam Shat berjamaah merupakan landasan bandingan
bagi pemilih Abu Bakar sebagai pemimpin sementara.
Sebenarnya
Qiyas merupakan merupakan bentuk utama yang dipkai oleh para mujtahid menemukan
hukum dari peristiwa-peristiwa yang hukumnya disebabkan oleh nash secara tegas.
Dalam peristilahan usul Fiqih, qiyas diartikan sebagai uapaya
penghubungkan (menyamakan) hukum dari suatu peristiwa yang belum ditentukan
hukumnya dalam nash dengan hukum dari suatu peristiwa lain yang hukumnya
disebut oleh nash. Penghubung (penyamaan) hukum tersebut didasarkan atas
keadaan ilat antara dua peristiwa yang bersangkutan. Salah satu contohnya dari
penetapan hukum dengan jalan qiyas adalah melakukan transaksi bisnis diatas
azan Jum’at dikumandangkan. Dalam surat Al-Jumu’ah (62): 9 disebutkan bahwa
umat islam dilarang (makruh) melakukan jual beli tegas dan disebut secara nyata
dalam nash dengan ilat bahwa perbuatan tersebut melalaikan sembahyang. Adapula
transaksi-transaksi bisnis lainnya, seperti perikatan-perikatan gadai
sewa-menyewa, dan lain-lainnya yang dilakukan pada waktu tersebut, tidak ada
nash yang menetapkan hukumnya. Namun, ilat dari peristiwa-peristiwa tersebut
sama dengan illat jual beli sebagaimana disebut diatas, yaitu melalaikan
shalat. Oleh karenanya, hukum transaksi gadai dan sewa menyewa diatas adalah sama
dengan jual beli itu sendiri.
An-Nabna
menguraikan bahwa qiyash secara bahasa artinya adalah pikiran. Adapun menurut
istilah para (ulama)’ ushul,, Qiyas didefenisikan dengan berbagai defensii
berikut ini
1.
Penetapan untuk menyamakan hukum
yang telah dketahui karena kesamaan illat hukum menurut yang menetapkan.
2.
Menganggkat yang diketahui terhadap
yang diketahui dalam penetapa dan penafsiran dari keduanya.
3. Proses pengeluaran hukum yang serupa dengan yang disebutkan
untuk yang tidak disebutkan dengan mengumpulkan keduanya. Qiyash juga
didefenisikan dengan ibarat terhadap kesamaan antara cabang dengan pokok dalam
ilah dengan yang di-istimbath-kan dari hukum pokok maka qiyas itu adalah
menghasilkan hukum yang diambil dari pokok untuk menempatkan (hukum) yang
serupa pada cabang, karena menurut mujathid, ada kesaman antara keduanya dalam
ilat hukum.
Banyak taqrif qiyas yang dikemukaka para ulama sesuai dnegan
pengamatan dan tinjawannya masing-masing kalau kita perhatikan unsur-unsur
qiyash yaitu: ashal, cabang, hukum ashal, dan illat hukum. Salah satu defenisi
qiyash adalah : “mempersamakan hukum suatu kasus yang tidak dinashkan dengan
hukum kasus lain yang dinashkan karena adanya peramaan illat.
Qiyas terbagi menjadi dua
yaitu;
A.
Menurut bahasa Adalah
تقدير
شيء باخر ليعلم المسا وات بينحما
Artinya : mengukur
sesuatu kepada sesutau yang lain agar di ketahui persamaannya.
B.
Menurut istilah adalah
ردالفر ع الى الاصل بعلت تجمعهما فى الحكم
Syarat-syarat
qiyas adalah menyamakan cabang pada asalnya karena ada ilat/ asalan yang
menggumpulkannya dalam hukum.
C.
CONTOH-CONTOH HUKUM
1.
AL-QUR’AN
Sesungguhnya
kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu
mengadili anatar manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penentang (orang tidak bersalah), karena (membela)
orang-orang khianat.” (An-Nisa ; 105). Sesungguhnya ayat ini diturunkan
berkenan dengan seorang laki-laki Bani Dzufar yang bernama Thu’mah bin ubariq.
Ia telah mencuri baju besi memiliki tetangganya, yaitu Qatalah bin Nu’man dalam
kantum gandum, kemudian itu berceceran dari kantong yang koyak itu. Baju Besi
itu disembunykan di rumah zaid bin samin seorang Yahudi. ada kabar bahwa baju
besi itu ada pada Thu’mah maka dicari padanya, naun tidak ditemukan. Ia
bersumpah bahwa ia tidak mengambilnya, namun tidak ditemukan. Ia bersumpah
bahwa ia tidak mengambilnya dan tidak mengetahui baju besi itu, lalu ia
biarkan. Kemudian orang-orang mengikuti sisa-sisa tepung yang berceceran itu
sampai krumah Yahudi serta menemukan baju besi tersebut. Orang Yahudi itu berkata : Thu’mah yang meneyrahkan
baju besi itu padaku dan orang-orang Yahudi menjadi saksinya.
Tetapi Bnai
Dzufar menyangkal tuduhan itu dan berkata : wahai orang-orang Yahudi, marila
kita menghadap Rasullullah dan mengadukan permasalahannya. Mereka mendesar Nabi Salallahu alaihi wa
sallam seraya berkata : jika engakau tidak bertindak, maka kita akan hancur dan
orang yahudi itu bebas dan Aman. “ maka turunlah ayat ditas.
Contoh ayat
yang diturunkan sesuai dengan penyataan dan permintaan fatwa :
ويسلو
نك عن اليتمئ
Artinya : dan
mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim (Al-Baqarah).
“mereka
bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkakan” (Al-baqarah :215)
“mereka betanya
kepadamu tentang Haid. (Al-Baqarah :222)
“Dan mereka
bertanya kepadamu tentang wanita” (An-Nisa : 127)
“Mereka
bertanya kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang” (Al-Anfal :1)
2.
AS-sunnah
Didalam teks Al-Qur’an dan Sunah (keduanya
merupakan sumber dan dalil pokok hukum islam) adalah bahasa Arab, karena nabi
yang menerima dan menjelaskan Al-Qur’an itu menggunakan bahasa Arab, oleh
karena itu setiap usaha memahami dan memanggali hukum dari teks kedua sumber
tersebut sangat tergantung pada ahli ushul menetapkan bahwa pemahaman
teks dan panggilan hukum harus berdasarkan kaidah tersebut. Dalam hal ini mereka
berpgang pada dua hal :
1.
Pada
Petunjuk kebahasaa dan pemahaman kaidah bahasa Arab dari teks tersebut
hubungannya dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
2.
Pada
petunjuk Nabi Nabi dalam memahami hukum-hukum Al-Qur’an dan penjelasan Sunnah
atas hukum-hukum Qur’ani itu.
3.
Ijma
Panglima ijma
dapat ditelusuri kembali kemasa para sahabat Nabi SAW sebagimana dapat dilihat
dari contoh berikut ini. Allah tidak menentukan jenis hukum pada orang yang
meminum minuman keras. Namun telah dicapai persetujuan dengan kesepakatan
pendapat para sahabat ketika Ali Bin Abitalib berkata: “hai orang yabg meminum
minum keras niscay akan mabuk (teler) ; orang yang teler niscaya akan ngaco
(mengacau); orang yang mengeracau niscaya akan menuduh orang sembanrangan
(dengan tuduhan palsu) dan orang yang memfitnah harus dicambuk delapan puluh
kali dengan cemeti berdasarkan perintah Allah di dalam Alquran sebaimana
Firman-Nya :
(Q.S.24.4) :
والذين
يرمنالمحصنت ثم لم يا تواباربعت شحداء فاجلدوهمثمنيت جلد ت ولاتقبلو الهم شهد ابد
واو لىك هم الفسق
Artinya : dan
orang-orang menuduh wanita-wanita (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan
empat saksi, maka darahlah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali deraan,
dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya”. (Q.S.24.4)
Ijma dalam bentuk asalnya berdasarkan ayat Alquran di dalam surat
An-Nisa adalah :
(Q.S.4:115) :
ومن
يشا قق الر سو ل من بعدما تبين له ى ويتب غير سبيل المو منين نو له ما تو لى ونصله
جحنم , وسا ء ت مصير
ARTINYA : dan
barang siapa yang menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya , dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia berkuasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan kami masukan ia kedalam
neraka jahannam, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali (Q.S.4:115).
contoh berikut
ini didasarkan pada proses ijma semacam itu, keabsahan kontrak pembelian barang
yang belum diolah (‘aqdul Istisna) didasarkan pada ijma. Biasanya penjualan
barang yang belum ada hukumnya tidak sah karena ia belum pasti. Kesepakatan
para ulama membolehkannya ditunjukan untuk memperoleh jalan keluar yang mudah.
Contoh lain
dalam hal warisan, telah disepakati bahwa bila seseorang didahuli (ditinggal
mati) oleh ayahnya, maka kakek turut serta memperoleh warisan bersama anak
laki-laki yang ambil dari bagian ayahnya. Telah disepakati pula bahwa seorang
nenek berhak memperoleh seperenam dari warisan yang ada. Dalam hal ini ijma
didasarkan pada keputusan yang berasal dai Mughirah bin Syubah (wafat tahun 50
H) dibandingkan dengan Nabi Muhammad SAW.
Dalam masalah
hukum kekeluargaan telah disepakati bahwa karena Al-quran menjelaskan
(larangan) menikah dengan ibu dan anak perempuan maka larangan itupun berlaku
bagi nenek dan cucu perempuan (walaupun jaraknya lebih jauh), dengan dalil yang
sama. Masa hamil paling sedikit selama 6 bulan beradsarkan semua pendapat
mazhab fiqih, namun contoh dari tiadaya ijma adalah adanya perselisian pendapat
tentang maa hamil yang paling lama. Kesepakatan para ulama harus berdasarkan
pada kitabullah, perintah Rasullullah SAW (Qaul Al-Rasul), perbuatan dan
contoh-contoh Rasul (Fi’il Al-Rasul) namun beberapa dari buatan Rasullullah SAW
itu hanya berlaku sangat khusus dan tak dapat diterapkan oleh orang biasa.
Teralhir, kesepakatan itu harus disandarkan pada khutbah dan ceramah
Rasullullah SAW (Taqriyah Al-Rasul).
Ijma secara
garis besarnya dipat dibagi pada tiga kategori, “ijma Qaul” (Kesepakatan
pendapat berbentuk tulisan). Ijma Fi’ilah (kesepakatan pendapat berbentuk
tindakan), dan “ijmatul sukut” (kesepakatan dinyatakan). Ijma juga dapat dibagi
pada dua sub kategori “IJMATUL Azimah” (kesepakatan pendapat berifat biasa) dan
“ijmaur Rukhshah” (kesepakatan bersifat darurat). Dalam hal kesepakatan lisan
bila timbul suatu masalah lalu semua Ulamadan Fuqayaha menyetujuinya dengan
mengemukakan alasan dan persetujuanya, maka kesepakatan itu disebut Ijmaul Azima. Namun bila timbul masalah tetapi.
Seorangpun tak menyatakan pendapatnya, maka ia disebut Ijmaur Rukhshah. Namun
dmeikian kedua bentuk itu diakui dan diterima dalam Tatanan Hukum Islam.
Dalam penerapannya lebih lanjut, bila seorang Ulama melakukan suatu
hal (dalam masalah baruyangtimbul) dan tidak ulama lain mendapatkannya, ia
merupakan ijmaul azimah; namun bila ada satu orang atau lebih Ulama lainyang
mempertanyakannya ia disebut Ijmaul Fi’li yang azimah. Dan kedua hal tersebut
diakui sah sepanjang ia memenuhi ketentuan Hukum Islam.
Ringkasnya, Ijma merupakan Hujjah (dalil) bagi keempat mazhab Hukum
Islam.
Imam Al-Syafi’i
telah membahas ijma sebagi salah satu sumber syariah dalam kitabnya yang
terkenal “Risalah”. Berikut ini disajikan penjelasan Al-Syafi’i tentang ijma
yang doterangkannya cukup gamblang. Imam syafi’i berkata :
“seseorang
mennyakan : “apakah engakau mengatakan seperti yang lainnya, bahwa kesepakan
Ulama harus selalu didasarkan pada Sunnah yang telah ada sekalian ia
dihubungkan (dengan wewengang nabi SAW)?”
Dia menjawab
begitulah yang disepakati para Ulama sebagimana yang mereka perahankan,
didasarkan pada Rasullulah SAW, karena terhadap ulama yang tidak berhubungan
dengan Nabi SAW, mungkin berhubungan atau mungkin dapat menggapnya berdasarkan
pada sumber Nabi SAW karena orang hanya akan menjelaskan apa yang telah dia
dengar, sebab seseorang tidak diperkenankan menjelaskan keterangan (yang
bersumber dari Nabi SAW) yang mungkin benar atau mungkin pula tidak. Maka kami
menerima keputusan para Ulama, karena kami menaati sumbernya , dan kami tau
bahwa dimanapun terdapat sunnah Nabi, maka Ulama tidak dapat mengabaikannya,
sekalipun mungkin sebagian dari sunnah nabi itu tampak berkemungkinan, dan kami
tahu bahwa Ulama tak mungkin menerima suatu yang bertentangan dnegan sunnah
Nabi ataupu menerima kesalaha.
Lantas seorang
mungkin bertanya: adakah bukti yang mendukung pendapatmu itu?”
Imam syafi’ih
menjawab : Sufyan bin Uyaynah menyampaikan kepada kami dari Abd Al-Malik bin
Umar dari Abd. Al-Rahman bin Abdullah bin Mas’ud dari ayahnya yang berkata :
telah bersabda Rasullulah SAW: ‘Allah akan memberikan ganjarang kepada
hamba-Nya yang mendengar perkataan-Ku, menginggtnya, menjaganya dan
meyiarkannya”. Banyak penyampaina hukum yang bukan ahli hukum dan banyak pula
yang mungkin meyampaikan hukum kepada yang lainnya yang justru lebih
berpengalaman dalam hukum dari pada si penyampai tersebut.
Sufyan juga telah menyampaikan kepada kami abdullah bin Ali
Sulayman bin Yasir dari ayahnya yang berkata : Umar bin khattab telah
memberikan sebuah pidato di Al-jabiyah, katanya, Rasullulah SAW berdiri
dihadapan kami menyampaikan sebua perintah dar Allah sebagaimana aku berdiri di
hadapan kalian, dan Beliau SAW bersabda:
Percayalah
kepada para sahabtku, lalu kepada orang-orang pelanjutnya dan orang yang
melanjutkan para penerus itu: namun setelah
mereka, akan bersebar kebohongan, lalu orang akan bersumpah (guna membenarkan
ucapannya), tanpa diminta untuk bersaksi. Hanya mereka yang mencari kebahagiaan
akhiratlah yang akan mengikutih Ummah, karena syaitan dapat memburu satu orang
namun menghindari jauh dari dua orang jamaah. Maka jangan biarkan seorang
laki-laki sendiri bersama orang wanita karena yang ketinganya adalah syeitan.
Orang yang merasa bahagia dengan perilakunya dan bersedih dengan perbuatan
salahnya, dia itu orang yang (benar-benar beriman).
4.
Al-Qiyas
Contoh Nabi SAW ditanya oleh seorang wanita apakah
dia dapat menunaikan Haji batas nama ayahnya
yang telah lanjut usia? Nabi SAW menjawab dengan memperkuatkannya sama
seperti dia boleh melunaskan hutang atas nama ayahnya itu. Kepada imam syafi’i
telah dianjurkan sebuah pertanyaan tentang Qiyash atau deduksi analogis sebagai
salah satu sumber syariah, lalu dia memberikan jawaban atas pertanyaan ini
didalam Kitabnya “Risalah”.
“apakah
landasan yang akan kau pegang dalam hal yang tak ada teksnya didalam
kitabullah, tidak pula dalam sunnah Rasullullah dan kesepakatan para Ulama
sehingga sumbernya harus merujuk pada Qiyash? Adakah teks yang memerintahkan
penggunaan Qiyash ini?.
Imam Syafi’ih
menjawab: “Bila Qiyash dijelaskan dalam kitabullah atau Sunnah Rasullulah, maka
teks yang sedmikian itu harus disebut sebagai perintah Allah Rasullulah, maka
teks yang sedemikian itu harus disebut sebagai perintah Allah Rasullulah-Nya,
bukan Qiyash. Dia pun ditanya tentang Qiyash, apakah ia merupakan Ijtihad atau
keduana merupakan hal yang berbeda?.
Menurut Imam
syafi’i. Keduanya berbeda istillah tetapi mengandung penegrtian yang sama.
ketika ditanya tentang landasan kelaziman penggunaannya ia menjawab. : “ dalam
semua hal yang menyentuh kehidupan seorang muslim selalu ada petunjuk ataupun
siayarat sebagai jawaban yang benar bila ada petunjuk yang menetapkan maka ia
harus mengikuti; namun bila tak ada isyarat sebagai jawaban yang benar, ia
harus dicari dengan Ijtihad, dan ijtihad itu merupakan Qiyash (analogis).
Setelah
Memperhatikan Pendukung Dan Penolak Qiyash, maka imam syafiih yang pada mulanya
menolak, menyetujui bahwa Qiyash dapat juga diterima sebagai salah satu prinsip
Hukum Islam yang dimaksudkannya dengan
Qiyash ketat adalahbahwa ia harus didaarkan pada Alqurana, Sunnah dan Ijam.
Contohnya :
seperti Nabiid (air perasan dati buah kurma) diiyaskan dengan Khomr
‘ilatnya sama-sama memabukan dan illat memabukan di nilai sesuai, lainnya kalau
Nabiid di qiyaskan dengan Khomr karena sama-sama benda cair, maka illat
sama-sama benda cair di nilai tidak sesuai/jauh
D.
PENUTUP
Setelah
Penjelasan Diatas Mengenai Sumber-Sumber Hukum Fiqih Yang Disepakati Dapat Kita
Mengambil Kesimpulan Bahwa Ada Empat Sumber Fiqih Yang Disepakati Diantaranya
Al-Qur’an, As-Sunah, Ijma Dan Juga Qiyas, Dari Keempat Sumber Diatas Dapat Kita
Mengambil Kesimpulan Bahwa Sumber Fiqih Dari As-Sunnah Merupakan Sumber Fiqih
Kelanjutan Dari Al-Qur’an, Begitupula Sebalinya Ijma Merupakan Sumber Fiqih
Setelah As-Sunnah Dan Qiyas Merupakan Sumber Fiqih Dari Qias.
Maka Ada Proses Kelanjutan Dari Sumber-Sumber
Hukum Dan Tak Berhenti Disitu Saja. Bila Al-Quran Merupakan Sumber Fiqih
Yang Memiliki Arti “Bacaan” Dan Menurut Istilah Ushul Fiqih
Al-Quran Berarti “Kalam (Perkataan) Allah Yang Diturunkan-Nya Dengan
Perantaraan Malaikat Jibril Kepada Nabi Muhammad Saw, Maka Berbeda Dengan
As-Sunnah Berarti “Segala Perilaku Rasullulah Yang Berhubungan Dengan Hukum,
Baik Berupa Ucapan (Sunnah). Begitu pula dengan Ijma dan Qiyas, bila Ijma
menjelaskan mengenai “kebulatan tekad
terhadap suatu persoalan” atau “kesepakatan tentang suatu masalah” , maka Qiyas
membahas tentang mengukur sesuatu dengan sesuatu yang lain diketahui adanya
persaman antara keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
Bakri Nazar. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta. PT RajaGrafindo
persada. 1996
Rahman Abdur. Inilah syariat Islam, pustaka panji mas
jakarta, 1991
Kota Alaidin. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih (sebuah pengantar),
PT RajaGrafindo persada, 2006
Muhammad As-syaid Ali, Sejarah Fiqih islam,Penerjemah :
Nurhadi AGA, Editor Kasdi, Lc,-Cer 1- Jakarta :Pustaka Al-Katsuri, 2003.xx + 196
hlm, judul Asli : Tarik Al-Fiqhi
Al-Islami, Dar
Al-Kutub Al-Ilmiayah, Bairut-lebanon tanpa
tahun
Abdullah Sulaiman, Dinamika Qiyas dalam pembaharuan hukum Islam
(kajian qiyas imam syafi’i) Cet. 1
jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996 .
Pokja Forum karya ilmiah (FKI) 2004, Kilas dibalik teoritis
Fiqih Islam, Purna Siwa Aliyah 2004 Madrasah Hidayatul Mubtadi-ein, PP. Lirboyo
kota kediri Jawa Timur
S Prajna Juhaya, Ushul Fiqih Perbandingan, Bandung, CV
pustaka Setia 2014
M. Zein Satria Efendi, Ushul Fiqh, jakarta, Prenada Media
2005
Hadi Saiful, Ushul Fiqih, yogjakarta, Sabda Media, 2009
Djazuli A, Ilmu Fiqih, kencana, 2015
Catatan:
1.
Makalah ini penulisannya agak kacau,
tolong diperbaiki lagi.
2. Penulisan
footnote tidak boleh merujuk pada footnote yang ada dalam buku, tetapi harus
merujuk pada buku yang digunakan.
3. Bahasa
Inggris dalam abstrak jangan hanya dipindah dari google translate, tetapi harus
diperbaiki.
4. Belajar
membuat penutup yang bagus.
5. Referensinya
(footnote) sangat minim, sehingga terkesan banyak plagiasi.
6. Footnote
dan daftar pustaka tidak sama.
7.
Contoh istinbath hukum dari keempat
sumber tersebut tidak dicantumkan secara jelas. Misalnya, jika contoh al-Qur’an:
ayat dicantumkan kemudian dijelaskan bagaimana masing-masing madzhab memahami
ayat tersebut. Nanti akan ketemu dengan dilalah nash (al-Qur’an dan hadis) yang
qath’i dan dzonni.
Menulis bukan hanya memindah data, tapi juga membuat pembaca paham
apa yang kita tulis. Makalah ini harus diperbaiki secara total.
[1]Lihat,
Khallaf,op.cit. hal 23
[2]. Lihat
M. Al-Shabghah, Al-Hadist an-Nabawy, (Riyadh: Al-Maktabat al-Islami,
1972) hal. 14, lihat juga Al-Ajaj Al-Khatib, Ushul al-Hadis, Ulumuhu wa
Mushalahuhu, (Beirut Dar al-Fikr).
2Badr al-Din
Muhammad Bahadir bin ‘Abd Allah al-Zarkaysyi Al-Bahr al-Muhith fi Ushul
al-Fiqih, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,2000. Juz 11 hlm 486 : wahbah
Zuhaili, ibid, hal 489
Teh kasih masukan dong buat buku panduan nya minimal 5
BalasHapus