MANTUQ
MAFHUM DAN MUJMAL MUBAYYAN
Oleh: Ali Hasan Assidiqi dan
Afifatud Diana Sari
(Mahasiswa-mahasiswi PAI semester 6
UIN Malang)
Aliuinmalang@gmail.com
Abstract
This
article discusses the mantuq knowingly and mujmal mubayyan. The goal in this
discussion is other than as a reference to know in depth as a process in
knowing the procedure of taking the way Islamic law from nash. Mantuq is sauatu
it is explained by the law or a resonate which resonate the sound resonate it
suits itself. While Knowingly is its legal content does not resonate the same
(opposite) with the sound of lafdznya. And Mujmal is a resonate or unclear
wording, which cannot show the actual intent if there is no description of the
other more explanation explains. Guests mubayyan is a word in the bright, that
is to say without the need for an explanation of the other. There are two kinds
of Mantuq IE: mantuq sharih ghairu sharih and Knowingly, and there are two,
namely: muwafaqah and muhallafah knowingly. While there are seven Mujmal namely:
Musytarak, Murakkabat Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Pronunciation containing
likely nature and majaz, Pronunciation spellings for what it was made, the
person who is listening and Prophet of unknown reason. And Mubayyan there are
five: bayan, bayan words with deeds, bayan, bayan, cue with by leaving
something and bayan with silence.
Abstrak
Artikel ini membahas tentang mantuq mafhum dan mujmal
mubayyan. Tujuan dalam pembahasan ini adalah selain sebagai acuan mengetahui
secara mendalam juga sebagai suatu proses dalam mengetahui prosedur cara
pengambilan hukum Islam dari nash. Mantuq sendiri adalah sauatu hukum yang diterangkan oleh lafadz yang
mana lafadz itu sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri. Sedangkan Mafhum adalah
lafadz yang kandungan hukumnya tidak sama (kebalikannya) dengan bunyi lafdznya
tersebut. Dan Mujmal adalah suatu lafadz atau kata yang belum jelas, yang tidak
bisa menunjukkan maksud yang sebenarnya jika tidak terdapat keterangan
penjelasan lain yang lebih menjelaskan. Sedankan mubayyan adalah suatu
perkataan yang terang, maksudnya tanpa memerlukan penjelasan dari lainnya.
Mantuq ada dua macam yaitu: mantuq sharih dan ghairu sharih, dan Mafhum ada dua
yaitu: mafhum muwafaqah dan muhallafah. Sedangkan Mujmal ada tujuh yaitu: Musytarak, Murakkabat Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Lafal yang mengandung
kemungkinan hakikat dan majaz, Lafal untuk apa lafal itu dibuat, orang yang
mendengarkan dan perbuatan nabi yang tidak diketahui alasannya. Dan Mubayyan
ada lima yaitu: bayan dengan perkataan, bayan dengan isyarat bayan dengan
perbuatan, bayan dengan meninggalkan sesuatu dan bayan dengan diam.
Kata Kunci : Mantuq, Mafhum, Mujmal dan Mubayyan
A. Pendahuluan
Seseorang ahli hukum menjadi keharusan
baginya untuk mengetahui secara dalam prosedur cara pengambilan hukum dari
nash. Untuk hal itu maka dalam Ushul Fiqih sudah menentukan metodologinya yang
berkaitan dengan hukum dari nash. Cara pengambilan hukum dari nash ada dua
macam pendekatan yang sering dan sangat digunakan yaitu pendekatan makna dan lafadz.
Pendekatan makna sendiri adalah penarikan kesimpulan (bukan langsung), seperti
pengunaan qiyas, ihtihsan, maslahat dll. Sedangkan pendekatan lafadz nash butuh
beberapa faktor penguasaan yaitu menguasai terhadap makna dan lafadzn serta
mengetahui dalalahnya.[1]
Dan ketika
kita bicara secara mendalam tentang hukum yang terdapat dalam ayat-ayat dalam
Al-Qur’an tersebut tidak semuanya memberikan arti dan pemahaman yang jelas.
Jika kita telurusi ternyata masih banyak ayat yang sangat butuh penjelasan yang
lebih mendalam tentang hukum dari ayat tersebut. Dan sebagai sumber hukum Islam
yang benar, maka tidak boleh menafsirkan ayat sesuai teks belakang sehingga
perlu dibutuhkan penjelasan atau tafsir mengenai hal tersebut. Oleh karena itu
dalam hal ini penulis akan membahas mantuq mafhum, dan mujmal mubayyan yang
mana semua itu dapat bertujuan untuk sebagai akar dasar dalam menentukan atau
menemukan suatu hukum.
B. Mantuq
1.
Pengertian
Pengertian Mantuq secara lughawi
adalah diucapkan.[2] Secara
epistimologi Mantuq adalah sauatu hukum yang menerangkan suatau lafadz dan sesuai
dengan lafadz itu sendiri.[3]
Dan dalam pengertian lainnya Mantuq adalah isi hukumnya suatu lafadz sesuai
dengan bunyi lafadznya.[4]
Maksudnya dari hal diatas bahwa jika suatu hukum diambil berdasarkan bunyi atau
dalil (Al-Quran atau Hadits), maka dalam hal ini mantuqnya adalah yang apa
adanya atau sesuai atau jelas. Contoh misalkan pada ayat al-Qur’an seperti:
Ayat tentang anjuran hukum wajib menepati janji. Dalam al-Qur’an surah
al-Maidah ayat 1 Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا
بِالْعُقُودِ ۚ
Artinya: Wahai orang-orang (Islam)
yang beriman, tepatilah perjanjian-perjanjian itu.
Dalam hal
ini bunyi atau makna yang tersirat berisi suatu anjuran tentang wajibnya
menepati janji, baik kepada Allah ataupun sesama manusia. Maka dari itu hukum
wajib menepati janji itu sesuai dari bunyi ayat tersebut yang mana ayat
tersebut adalah menurut manthuqnya.
2.
Pembagian
Mantuq
Dari definisi diatas, mantuq terbagi menjadi dua macam yaitu:
a.
Mantuq Sharih.
Mantuq Sharih dalam kalangan Hanafiyah dikenal dengan “ibarat al-Nash”.
Mantuq sharih sendiri secara lughawi memiliki makna “lafadz diterangkan secara
tegas”. Sedangkan menurut istilah diungkapkan oleh Mushafa Sa’id al-Khin merupakan
makna yang tegas, yang ditunjukan oleh suatu lafadz yang sesuai dengan
penciptaannya.[5]
Sedangkan menurut lainnya mantuq sharih adalah mantuq yang mana dalilnya tidak
usah di takwil. Dalam hal ini disebabkan karena dalil atau lafadz tersebut
jelas dan tidak ada kesulitan sedikitpun dalam memberikan arti. Contoh dalam
hal ini dalam QS al-Baqarah: 43 yaitu :
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ...
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat...
Dalam ayat ini merupakan dalil nash
tentang hukum wajibnya mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat. Dalil ini
tidak bisa dita’wil sebab sudah jelas dan tidak ada kesulitan dalam
mengartikannya sehingga dalil tersebut bisa dimengerti dengan mudah bagi
orang-orang.[6]
b.
Mantuq Ghairu Sharih
Mantuq Ghairu Sharih adalah makna hukum yang mana lafadznya bukan makna
asli dari suatu lafadz itu, akan tetapi makna itu sebagai suatu konsekuensi
dari suatau ucapan atau lafadz. Dalam hal ini terdapat 3 dalam pembagian Mantuq
Ghairu Sharih yang meliputi: Dalalah al-Ima’, al-Isyarat, dan al-Iqtida’.
1)
Dalalat al-Ima’ adalah sesuatu
pengertian yang bukan ditunjukkan langsung kepada suatu lafadznya, akan tetapi
melalui pengertian setelah menyebutkan suatu sifat atau peristiwa. Misalnya Rasulullah
saw. bersabda:
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah berkata dari Nabi Muhammad Saw yang bersabda:
Bahwa barangsiapa yang mulai mengelola tanah yang sudah mati, maka tanah itu
menjadi miliknya. ( HR. At-Tirmidzi)
Dalam hadits tersebut selain menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti
yang sudah tertulis itu, juga melalui dalalat al-ima’nya yaitu aktivitas
menghidupkan tanah yang mati maka itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan
tanah untuknya tersebut. Dalalah al-Ima’ ini adalah al-nash dalam kalangan
Hanaiyah.
2) Dalalat
al-Isyarah adalah suatu pengertian yang bukan pengertian aslinya, akan tetapi
dari hukum yang ditunjukkan oleh redaksi itu sendiri. Maka hukum nya yang
ditarik melalui dalalat al-Isyarat ini dianggap hukum yang ditunjuk mantuq
secara tidak tegas. Contohnya dalam surah al-Ahqaaf ayat 15 yang berbunyi:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ
إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۖ وَحَمْلُهُ
وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْرًا ۚ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ
سَنَةً
Artinya: Kami perintahkan kepada
manusia supaya berbuat baik kepada kedua orangtua ibu bapaknya, ibu mengandung
dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya tiga puluh tahun sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun
Dan dalam surat Al-Luqman ayat 14 dijelaskan pula:
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah,
dan menyapihnya dalam dua tahun”.
Mantuq pada ayat pertama tersebut menjelaskan bahwa jumlah masa kandungan adalah
selama 30 bulan. Sedangkan pada ayat kedua menjelaskan masa menyusu selama 24
bulan (2 tahun). Dengan hal tersebut menunjukkan (dalalat isyarat) bahwa
sisanya 6 bulan adalah masa minimal dalam kandungan seorang ibu. Kesimpulannya
bahwa masa minimal kandungan adalah 6 bulan bukan maksud dari asal turunnya
ayat tersebut, tetapi kemestian ketegasan dari dua ayat tersebut.
3) Dalalat
al-Iqtida’ adalah penyisipan kata secara tersirat dalam memahami karena itulah
cara memahaminya. Contohnya dalalat ini terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah
yaitu:
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ
وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
Artinya: Dari Abu Dzar al-Ghiffari berkata bahwa Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah itu mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan
keterpaksaan atasnya. (HR. Ibnu Majah)
Hadits
tersebut secara maknanya sudah kurang jelas karena bertentangan dengan
kenyataan. Untuk meluruskan maknanya perlu disisipkan secara tersirat kata
al-ism artinya dosa atau al-hukm artinya hukum, sehingga menjadi : diangkatkan
dari umatku dosa atau hukum perbuatan tersalah, karena lupa atau keterpaksaan.[7]
C. Mafhum
1.
Pengertian
Pengertian Mafhum secara lughawi
adalah memhami suatu teks. Sedangkan menurut istilah mafhum adalah memahami secara
teks dari suatu lafadz (mafhum muwafaqah) atau kebalikan dari pengertian lafadz
yang diucapkan (mafhum mukhalafah).[8]
Sedangkan menurut pengertian lainnya mafhum adalah lafadz yang makna hukumnya
tidak sama dengan bunyi lafdznya.[9]
Contoh dalam hal ini misalnya tentang nafkah istri yang telah ditalak suaminya
yang terdapat dalam Firman Allah QS. At-Talaq ayat 6 sebagai berikut ini:
Artinya: ..... Dan jika mereka “istri-istri yang
sudah di talaq tersebut” dalam keadaan hamil (baik dalam umur berapapun), maka
berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka selesai bersalin atau
melahirkannya.....
Dalam hal ayat diatas mengandung pengertian hukum yang
tidak tertulis yaitu perempuan tidak hamil yang ditalak suaminya. Maka jika
dalam hal demikian istri tidak wajib diberi nafkah oleh mantan suaminya
disebabkan menurut apa yang terdapat dalam lafdz ini menyatakan bahwa yang
diberi nafkah itu adalah wanita yang dalam keadaan hamil. Mafhumnya jika ia
tidak hamil maka ia wajib tidak diberi nafkah. Dengan demikian hukum yang
diambil dari dalil tersebut dinamai mahum.[10]
Contoh lain pun juga ada misalnya dalam QS al-Isra’ ayat 23 yang berbunyi:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا
تَنْهَرْهُمَا
Artinya: Janganlah kamu mengucapkan
kepada orangtuamu ucapan “uffin” dan janganlah kamu memarahi keduanya.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah adanya larangan mengucapkan kata-kata yang keras “uf dan lainnya” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga terdapat ketentuan hukum yang tersirat, yaitu haramnya memukul orang tua atau perbuatan yang menyakiti orang tua. Jadi mafhum yang terdapat dalam
ayat ini adalah tidak boleh memukul orangtua atau menyakiti orangtua.
2.
Pembagian
Mafhum
Pembagian
Mafhum menurut ualam’ ushul terbagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Mafhum Muwafaqah
Mafhum
Muwafaqah adalah makna hukumnya sesuai atau cocok dengan lafadz itu
serta tidak berlawanan.[11]
Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum
yang tertulis tersebut. Sedangkan menurut pengertian lain bahwa mafhum
Muwafaqah adalah mafhum yang dimana pengertian yang dipahami sesuai dengan
ucapan lafadz yang diucapkan.[12]
Mafhum
muwafaah dibagi menjadi 2 bagian:
1. Fahwal
Khitab.
Fahwal
Khitab adalah mafhum yang apabila hukum
yang apabila yang dipahamkan atau peristiwa tersebut lebih kuat atau berat
daripada berlakunya hukum yang disebutkan dalam lafdz tersebut. Dan hal ini
disebut juga mafhum al-aulawi.[13]
Contoh dalam hal ini terdapat dalam firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat
23:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ
“Janganlah kamu mengatakan kata-kata
keji “ah” kepada kedua orangtuamu.”
Dalam hal ini berkata keji “ah/hus”
tidak boleh, apalagi memukul kepada orangtua. Maka dalam Fahwal Khitab memukul
orangtua ini lebih berat atau kuat (tidak boleh) daripada berkata “ah/hus”.
2. Lahnal
Khitab.
Lahnal
Khitab adalah apabila hukum yang dipahamkan itu sama atau seimbang dengan bunyi
lafadz-nya. Contohnya Seperti dalam firman
Allah swt QS. An-Nisa’ ayat 10 yang berbunyi.:
إِنَّ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ
أَمْوَالَ اٌلْيَتَمَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُوْنَ فِى بُطُوْنِهِمْ نَارًاصلى
وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيْرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang
memakan harta atau benda anak yatim dengan aniaya maka sesungguhnya mereka
memakan api kedalam perut mereka dan mereka akan masuk neraka sa’ir.[14]
Dalam hal diatas kita dilarang untuk
memakan harta anak yatim. Dan secara lahnul khithab kita juga dilarang merusak
atau membakar harta anak yatim juga karena dapat mengurangi harta tersebuut
sebagaimana pula memakannya yang dapat menguranginya pula.[15]
b.
Mafhum mukhalafah
Mafhum
mukhalafah merupakan mafhum yang mana
pemahamannya dalam hukum tersebut berbeda atau berlawanan atau kebalikan dengan
apa yang terdapat dalam lafadz tersebut. Oleh karena itu, dapat dsisimpulkan
bahwa hal yang dipahami selalu kebalikannya daripada bunyi lafadz yang
diucapkan. Contohnya misal pada QS. Al-Baqarah
ayat 197 yang berbunyi:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ
“Ibadah haji itu adalah pada bulan-bulan yang
dimaklumi atau tertentu (syawal, Dzulqa’dah , dan sampai 10 Dzulhijjah)”
Dengan demikian secara Mukhalafah
(kebalikannya) berarti haram atau tidak sah jika berhaji di bulan-bulan selain
bulan yang telah ditentukan.[16]
Contoh lain misalnya dalam realita mahasiswa dimana pendaftaran peserta baru
dilakukan tanggal 1-5 maret 2019, maka jika melakukan pendaftaran tanggal 5
april 2019 maka tidak dibolehkan atau sudah ditutup. Oleh karena itu menurut
mayoritas ulama dalam Ushul Fiqih hal ini boleh atau sah digunakan. Sedangkan
menurut kalangan Hanafiyah yang mana mereka menolak landasan dalam pembentukan
hukum secara mukhalafah ini. Dalam hal ini dapat kita lihat dan pahami sebagaimana
dalam QS. Ali imran yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ...
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman (muslim) janganlah kamu memakan harta riba dengan cara yang berlipat
ganda....
Dalam ayat ini mafhum Mukhallafah
adalah halalnya riba yang tidak berlipat ganda. Namun dalam hal ini terhadap
pemahaman seperti ini keliru, karena riba yang tak berlipat gandapun juga
haram.[17]
Mafhum
mukhalafah sendiri secara rinci terbagi menjadi 10 bagian yang meliputi :
1. Mafhum Sifat
Mafhum Sifat
adalah menghukumi kepada salah satu
sifatnya yang terdapat pada lafdz tersebut. Contoh dalam hal ini seperti dalam QS
an-nisa’ ayat 25 yang berbunyi:
وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ
يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ
فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ۚ.
Artinya: Dan barangsiapa diantara kamu yaitu orang
merdeka yang tidak cukup perbelanjaannya untuk menikahi wanita-wanita merdeka
lagi beriman, ia boleh mengawini wanita-wanita
yang beriman dari budak yang kamu
miliki.
Dalam hal diatas, karena bolehnya menikahi budak yang
beriman, maka mafhum mukhallafhnya (sebaliknya) tidak boleh menikahi budaknya
yang tidak beriman.
2. Mafhum
‘Illat.
Mafhum
‘Illat adalah menghukumi sesuatu dari Illatnya:
Artinya: Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda bahwa Setiap sesuatu (minuman) yang memabukkan itu
khamr, dan setiap sesuatu (minuman) yang memabukkan itu haram. [HR. Muslim
juz 3, hal. 1587]
Dalam hal diatas maka mafhum
mukhallafahnya adalah bahwa minuman yang tidak haram untuk dikonsumsi adalah
minuman memabukkan.
3. Mafhum
Syarat.
Mafhum
Syarat adalah menghubungkan sesuatu hukum kepada syaratnya sebagaimana contoh
dalam QS. An-nisa’ ayat 101yang berbunyi:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ ...
Artinya: Apabila kamu bepergian
maka tidaklah menghalangi kamu untuk menqashar shalatmu.
Dalam hal ini mantuqnya adalah
kebolehan menqashar shalat itu syaratnya harus bepergian dengan jarak tempuh
yang telah ditentukan, maka mafhum mukhalafahnya kita tidak boleh menqashar
shalat diluar bepergian.
4. Mafhum Adad.
Mafhum Ahad
adalah menghubungkan hukum dari sesuatu kepada bilangan tertentu. Contoh
sebagaimana QS. An-nur ayat 4 yang berbunyi:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ
يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا
تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ
Artinya: Dan orang-orang yang
menuduh perempuan baik-baik “berbuat zina” dan mereka tidak mendatangkan empat
orang saksi atasnya, maka deralah mereka “yang menuduh itu”delapan puluh kali
dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka selama-lamanya terhadap apapun.
Dalam hal ini mantuqnya adalah
diperintah mendera atau meukul 80 kali, maka mafhum mukhalafahnya adalah kita
dilarang menderanya lebih dari pada 80 kali dari jumlah yang telah ditentukan
itu.
5. Mafhum
Ghayah
Mafhum
Ghayah adalah lafadz yang menunjukkan hukum sampai kepada batasan (sampai/
hingga batas akhir). Lafadz ini bentuknya hanya ada dua yaitu ila dan hatta.
Contoh dalam QS. Al-Baqarah ayat 187 yang berbunyi:
...ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ...
Artinya:....Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.....
Mantuqnya adalah puasa itu harus
sampai memenuhi waktu malam, maka mafhum mukhallafahnya adalah kita tidak boleh
menyempurnakan melebihi batas waktu malam (tidak boleh lagi puasa pada waktu
malam tiba).
6. Mafhum Laqab.
Mafhum laqab
adalah mafhum yang dipahami dari makna nama orang (isim) atau barang. Misalnya:
Aku melihat Taqi, karena yang dilihat Taqi maka secara mafhum mukhalafah
selain Taqi tidak akan aku lihat.
7. Mafhum Hashr
Mafhum Hashr
adalah mafhum yang mana lafadznya mengandung hashr atau pembatasan secara
khusus. Contohnya dalam QS. Al-Maidah ayat 75 yang berbunyi:
مَا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ
قَبْلِهِ الرُّسُلُ
Artinya:
Al Masih putera Maryam itu aalah seorang Rasul yang telah lama sebelumnya
rasul lainnya...
Dalam
hal diatas, hubungan dengan masalah ketuhanan adalah Isa al-masih itu hanyalah
seorang rasul, mafhum mukhallafnya berarti ia bukan malaikat, anak tuhan dan
lainnya.
8.
Mafhum
Haal
Mafhum Haal adalah mafhum yang menunjukkan kepada keadaan
sesuatu. Contohnya hal ini firman Allah dalam QS. Al-Isra’ ayat 37 yang berbunyi:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ ...
Artinya: janganlah sekali-kali
kamu berjalan diatas permukaan bumi dengan keadaan sombong.
Dalam
hal ini mantuqnya adalah dilarang berjalan sombong, dan mafhum mukhalafahnya
adalah kta diperintahkan untuk berjalan dimuka bumi ini dengan sopan santun.
9.
Mafhum
Zaman
Mafhum zaman adalah makna hukum yang melihat zaman/ waktu.
Contohnya misalnya dalam firman Allah QS al-Baqarah ayat 197 yang berbunyi:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ
Artinya: Ibadah haji itu adalah pada
bulan-bulan yang dimaklumi atau tertentu.
Dalam hal ini mantuqnya adalah kita
diperintahkan melaksanakan ibadah haji pada bulan tertentu yang telah
ditentukan (syawal, Dzulqa’dah dan 10 awal Dzulhijjah), maka mafhum
mukhalafahnya adalah kita dilarang menunaikan ibadah haji dilaur bulan yang
ditentukan.
10.
Mafhum
Makan.
Mafhum makan adalah makna hukum yang melihat kepada tempat
tertentu. Contohnya sebagaimana hadits rasulullah yang berbunyi:
إِنَّ النَّبِيَّ قَالَ الْأَرْضُ كُلُّهَا
مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
Artinya: Nabi Muhammad Saw telah
bersabda: "Semua tempat di bumi ini adalah Masjid (dapat digunakan
untuk shalat atau bersujud) selain atau kecuali kamar mandi dan kuburan". (HR. Abu Dawud No. 145).
Dalam
hadits ini mantuqnya adalah selain kamar mandi dan kuburan adalah boleh
melakukan shalat, dan mafhum mukhallafhnya adalah tidak boleh menjadikan kamar
mandi dan kuburan untuk tempat sujud atau tempat shalat.[18]
Dalam hal kehujjahan tentang mafhum,
jumhur ulama’ sepakat bahwa mengunakan mafhum muwafaqah sebagai hujjah
diperbolehkan, sedangkan tentang mafhum mukhallafah masih terdapat perbedaan.
Jumhur ulama’ meperbolehkan sebagai hujjah kecuali mafhum laqab. Dan imam abu hanifah,ibnu
Hazm, dan ulama’ dhahiriyah tidak setuju terhadap pengunaan mafhum mukhallafah.
Adapun tentang syarat diperbolehkannya berhujjah mafkhum mukhallafh sebagaimana
yang menyetujuinya terdapat 5 syarat yang perlu dipahami yaitu.
1.
Tidak
bertentangan dengan dalil-dalil atau lafadz yang lebih kuat dari mafhum
tersebut.
Dalil
yang lebih kuat dari mafhum Misalnya Nabi SAW bersabda: Sesungguhnya
wajib mandi apabila keluar air (mani). (H.R. Ahmad dan Abu Dawud).
Berdasarkan hadits ini bisa difahami secara mukhalafah bahwa apabila
bersenggama tidak sampai mengeluarkan air ma-ka tidak wajib mandi. Mafhum yang
demikian ini bertentangan dengan hadis Nabi SAW yang terdapat dalam hadits Ibnu
Malik nomor 92 yang berbunyi:
Artinya: Nabi Muhammad Saw berkata ;
"Apabila terdapat dua khitan yang saling bersentuhan maka wajib atas
mereka mandi."
Dalam hal diatas, organ yang biasa
dikhitan dalam tradisi Arab adalah kelain lelaki dan kelamin perempuan, jadi
memang dengan keluarnya air mani mewajibkan mandi (secara mantuq), namun tidak
bisa difahami apabila bersenggama kemudian tidak keluar air mani itu tidak
berkewajiban mandi, sebab dalil secara mantuq yang lebih kuat menyatakan
sekalipun tidak keluar air (mani) tetap haruss mandi.
2.
Dalil
yang dipahami tidak menujukkan intimidasi.
Dalil yang menunjukkan kepada
kenikmatan sesuatu sehingga tidak dapat dipakai sebagai hujjah. Misalnya firman
Ailah dalam QS. surat an-Nahl ayat 14 berbunyi :
Artinya: Dan Dialah Allah yang
menundukkan (memberikan) lautan (untukmu) agar kamu dapat memakan daripadanya
daging yang segar (ikan), ...
Dalam hal diatas, secara
mafhum mukhalafah maka ikan yang tidak segar bukan untuk dimakan. Kata
thariyan/segar adalah menunjukkan kenikmatan, maka pemahaman secara mukhalafah
yang demikian ini tidak bisa dipergunakan/diterima.
3.
Dalil
itu tidak bermaksud menjelaskan sesuatu zaman tertentu.
Apabila makna tersebut
mengandung kepada satu zaman tertentu maka mafhum mukhalafah tidak bisa
digunakan. Misalnya sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran 130 yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ ...
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda...
Berlipat ganda itu menerangkan kebiasaan
orang jahiliyah saat ayat ini diturunkan. Maka mafhum mukhalafah yang berarti
boleh melakukan riba asal tidak berlipat ganda sebagaimana ayat diatas.
4.
Dalil
itu tidak ada lafadz yang mengikuti yang lain.
Bila ada lafadz yang
diikutkan kepada dalil itu maka mafhum mukhalafah tidak boleh digunakan.
Misalnya dalam QS. al-Isra' 31 yang yaitu:
وَلَا تَقْتُلُوا أَوْلَادَكُمْ خَشْيَةَ
إِمْلَاقٍ ۖ ...
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu
karena takut kemiskinan. ...
Takut miskin itu hanya kata tambahan
(tidak berdiri sendiri) maka tidak boleh dimafhumi mukhalafah bahwa boleh
membunuh 'anak-anak asai tidak karena takut miskim.
5.
Dalil
itu tidak dimaksudkan atas ghalibnya (umumnya).
Apabila dalil itu
dilafadzkan dengan sesuatu yang sudah Menjadi ghalib/umumnya, maka mafhum
mukhalafah tidak dapat dipergunakan. Contohnya dalam firman Allah Swt QS. surat
an-nisa’ ayat 23 yang berbunyi:
حُرِّمَتْ ....وَرَبَائِبُكُمُ
اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ ....
Artinya: Diharamkan ...Anak-anak isterimu
yang ada dalam genggaman (pemeliharaan) mu. ...
Dalam hal diatas, sudah menjadi
ghalib/umumnya bahwa anak-anak isteri itu menjadi beban pemeliharaan suami si
isteri (ayah tiri). Maka dengan dalil tersebut tidak boleh dimafhumi secara
mukhalafah bahwa anak tiri boleh dinikahi oleh ayah tiri itu apabila tidak
dalam pemeliharaan ayah tirinya.[19]
D.
Mujmal
Mujmal menurut bahasa adalah mubham (samar, tidak jelas) dan majmu’ (yang
dikumpulkan). Sedangkan menurut istilah yang berarti:
مَا يُتَوَقَّفُ
فَهْمُ المُرَادِ مِنْهُ عَلَى غَيْرِهِ إِمَّا فِي تَعْيِيْنِهِ اَوْبَيَانِ
صِفَتِهِ اَوْمِقْدَارِهِ
“Sesuatu yang pemahaman maksudnya didasarkan kepada sesuatu yang
lain baik dalam hal penentuannya, penjelasan beserta tata caranya, atau ukurannya”[20]
Kata mujmal merupakan
kalam atau kata yang mengandung dua makna (arti) atau lebih tanpa terdapatnya
makna yang lebih kuat dari salah satu diantara keduanya bagi orang yang
mendengarkannya dan ketika mujmal ditafsirkan maka bisa menjadi mubayyan.[21]
Kemudian, mujmal
juga adalah suatu lafadz atau kata yang tidak jelas, dan masih membutuhkan
penjelasan sehingga tidak bisa memberikan maksud yang sebenarnya dan ketidak
jelasan tersebut dimaksud dengan Ijmal.[22]
Sedangkan dalam pengertian yang lebih
sederhananya yaitu:
اللَّفْظُ
الَّذِى يَنْطَوِى مَعْنَاهُ عَلَى عِدّةِ اَحْوَالِ وَاَحْكَامٍ قَدْ جُمِعَتْ
فِيْهِ
Dalam buku Hikmatut
Tasyri’ mujmal merupakan suatu kata yang di dalam artinya mempunyai banyak
ketentuan dan keadaan yang tidak memungkin untuk diketahui secara pasti kecuali
yaitu dengan penjelasan yang lain (mubayyan).[24]
1. Pembagian Mujmal
Mujmal
terdiri dari beberapa macam atau jenis dilihat dari sebab kemujmalannya,
diantaranya:
a. Musytarak
Musytarak adalah lafal yang
digunakan dua makna (arti) atau lebih, jika salah satu dari dua makna itu tidak
cepat tertangkap dalam pikiran melebihi makna yang lain, maka lafal ini masih
dikatakan mujmal. Contohnya, sebagaimana firman Allah dalam penentuannya
membutuhkan sesuatu yang lain:
وَالْمُطَلَّقَاتُ
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ...(228)
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri atau
menunggu tiga kali quru'”
Ayat di atas terdapat lafal atau kata القرء orang Arab menggunakan kata ini
dengan arti suci terkadang juga haid. Seperti juga kata العين yang bermakna penglihatan, juga terkadang
bermakna mata air yang mengalir, emas dan lain sebagainya. [25]
b.
Dipalingkan ke makna bahasa syara’, contohnya yaitu kata sholat menurut
bahasa artinya yaitu berdo’a dan kemudian dipalingkan kepada arti syara’ yang
menjadi suatu perbuatan yang diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri
salam. Contoh lagi adalah tentang puasa, puasa menurut bahsa yaitu menahan, kemudian
dipalingkan artinya kepada syara’ yang bermakna menjadi mnahan diri dari
sesuatu yang dapat membatalkan puasa bulan Ramadahan pada siang hari.
c.
Lafal yang jarang digunakan atau maknanya asing ketika digunakan.
Seperti lafal “الْقَارِعَةُ” dalam firman Allah SWT:
الْقَارِعَةُ (1) مَا
الْقَارِعَةُ (2) وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ (3) يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ
كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ (4)
“hari kiamat. Apakah hari kiamat itu?. Tahukah kamu apkah hari
kiamat itu?. Pada hari itu manusia seperti laron-laron yang berterbangan.” (QS.
Al-Qari’ah: 1-4).
Dalam ayat di atas bahwa terdapat kata “الْقَارِعَةُ” yang berarti hari kiamat. Menurut bahasa
yang berarti “pengetu”, akan tetapi oleh syara’ diartikan menjadi “kiamat”.
Kata
“الْقَارِعَةُ” menjadi asing karena jarang dipakai
sehingga artinya tidak dikenali.[26]
E.
Mubayyan
1. Pengertian
Mubayyan
menurut bahasa berarti muzhhar (yang ditampakkan) dan mudhah (yang
dijelaskan). Sedangkan menurut istilah yaitu
ما يفهم الكرد منه اما بأصل الوضع أو بعد التبيين
"Sesuatu yang bisa
difahami maksudnya berdasarkan penggunaan sejak awal mula setelah adanya
penjelasan".[27]
Atau ما له دلة واحد صحة apa yang telah
memiliki arti yang jelas dan terang.[28]
Dan dijelaskan lagi
dalam buku ushul fiqih karangan Moh. Rifa'i yaitu
البيان
إخراج الشيء من حيز الإشكال إلى حيز التجلى
Al bayan yaitu
mengeluarkan sesuatu dari lingkup kerumitan menuju kepda lingkup kejelasan.[30]
Dalam hikmatut Tisyri mubayyan
merupakan suatu ucapan atau
perkataan
yang jelas, atau sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Dalam penjelasan ini dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk atau penjelas terhadap lafal yang mujmal yang belum
dapat dipahamka dan yang berhak memberikan penjelasan ini adalah Syari'.[31]
2.
Sifat-Sifat Mubayyan
a.
Mubayyan najis (kuran),
adalah penjelasan terhadap lafal mujmal yang tidak dapat menghilangkan
ke mujmalannya secara sempurna. Seperti firman Allah SWT:
يَمْحَقُ
اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ
أَثِيمٍ (276)
“Allah membinasakan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai orang yang masih dalam
kafir, dan selalu melakukan dosa.” (QS. Al-Baqarah: 276)
Dalam ayat di atas ada lafal (الربو ) riba yang menunjukkan
lafal mujmal, dan kemudian Rasulullah memberikan penjelasan dari haditsnya yang artinya "Emas
dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi dengan padi, garam
dengan garam, kurma dengan kurma, dalam keadaan desimal sama banyak dan lagi
kontan. Oleh sebab itu, berbeda jenis-jenis ini, jual lah sekehendakmu, bila
dengan kontan." (HR. Muslim, Ahmad).
Dari penjelasan
Rasulullah SAw itu masih belum sempurna dalam mencangkup seluruh yang mengenai
riba. Lafal mujmal yang menerima penjelasan belum sempurna dan termasuk
lafal musyrik. Kemudian untuk menghilangkan kemusykilannya yaitu dengan
melakukan ijtihad. Ijtihad dalam riba yaitu dengan melakukan meng qiyas kan
barang-barang yang bisa dimasukkan ke dalam hadits tersebut.
b. Mubayyan Tamm (sempurna)
Mubayyan tamm adalah penjelasan
terhadap lafal mujmal yang dapat menghilangkan seluruh ke mujmal annya.
Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah SWT
وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ruku'lah beserta orang-orang yang ruku”(QS.
Al-Baqarah: 43)
Ayat di atas dijadikan bahwa terdapat lafal افدقيموا الصلواة (dirikanlah
sholat) yang masih termasuk lafal mujmal. Kemudian Rasulullah memberikan
penjelasan dengan haditsnya yaitu: "Sholatlah kalian seperti kalian
sebagaimana kamu melihat aku sholat". (HR. Bukhori).
Dengan demikian dari
penjelasan hadits Rasulullah itu perintah untuk melakukan sholat menjadi
sempurna dan jelas dan mubayyan inilah yang disebut mubayyan tamm
yang telah menyempurnakan isi al-Qur'an.[32]
3.
Macam-macam Bayyan
Ada macam lima macam bayan diantaranya:
1) Bayan dengan
Perkataan
Dijelaskan dalam firman Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 196:
فَصِيَامُ
ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ
كَامِلَةٌ... (196)
"Barang siapa yang
tidak bisa membeli binatang kurban, hendaklah ia berpuasa tiga hari dalam masa
haji dan tujuan hari ketika kamu kembali, yang demikian itu sempurna sepuluh
hari.”
Dalam bahasa Arab lafal
tujuh hari sering dimaknai lebih dari tujuh hari. Maka dari itu Allah menjelaskan makna tujuh hari
yang sebernarnya dijelaskan di dalam firman Allah menjelaskan yang sempurna sepuluh. Dalam penjelasan tujuh yang sebernanya dalam ayat di
atas yaitu dengan ucapan.
2)
Bayan dengan Perbuatan
Dalam penjelasan Rasullah SAW mengenai tata cara sholat:
صَاُّوا كَمَا
َرَأيْتُمُونِى ُاصَلِّي
"Sholatlah kalian sebagaimana kamu melihatku sholat" (HR. Bukhori)
Dalam penjelasan Nabi SAW
diatas bahwa dengan perbuatan yang dilakukan Nabi SAW yaitu ketika beliau
mengerjakan sholat sambil menyuruh orang menirunya. Oleh sebab itu, dari penjelasan tersebut dinamakan dengan Bayan fi’liyah atau perbuatan.
3)
Bayan
dengan
Isyarat
Sepeti contoh yaitu ketika
Rasulullah SAW menjelaskan mengenai dengan jumlah hari di dalam satu bulan. Kemudian
beliau menjelaskan kepada sahabat yakni dengan isyarat mengangkat kedua
tangannya yang menunukkan jarinya ada sepuluh dengan tiga kali angkatan dan
jika dijumlahkan menjadi 30 hari. Kemudian mengulanginya dengan mengurangi ibu
jari di ketiga terakhir. Jadi, yang dimaksud oleh Nabi SAW yaitu dalam bulan di
Arab terkadang 30 atau hanya 29 hari saja.
Dari
penjelasan tersebut dinamakan penjelasan
atau Bayan isyarat.
4)
Bayan
dengan
Meninggalkan Sesuatu
Di jelaskan dalam
hadits Ibnu Hibban diterangkan;
كَانَ
اَخِرُالاَمْرَيْنِ مِنْهُ ص م عَدَمَ الوُضُوءُ مِمَّا مَسَّتِ اَلنَّارَ
"Salah
satu dari dua perkara yang disampaikan Nabi SAW, Nabi tidak berwudhu dari
sesuatu atau makanan yang dipanaskan dengan api.”
Dalam hadits di atas yaitu menjelaskan bahwa Rasulullah
SAW itu tidak melakukan wudhu yang kedua kalinya setiap setelah memakan dagiang
yang dimasak dengan api.
5)
Bayan
dengan
Diam
Seperti contoh di dalam penjelasan Nabi SAW ketika
menjelaskan tentang kewajiban melakukan ibadah haji, kemudian terdapat seorang sahabt
yang bertanya kepada Nabi SAW "Ya Rasulullah SAW, apakah (ibadah haji) dilakukan
setiap tahun?.” Kemudian Nabi SAW tidak menjawab dan hanya diam. Dalam diamnya Nabi SAW itu dengan maksud menetapkan bahwa
kewajiban melakukan
ibadah
haji tidak dikerjakan
setiap tahun.[33]
F.
Penutup
Secara
pengertian Mantuq adalah suatu hukum yang diterangkan oleh yang mana lafadz itu
sesuai dengan bunyi lafadz itu sendiri, dan Mafhum adalah lafadz yang hukumnya
tidak mempunyai kesamaan (kebalikannya) dengan bunyi kata tersebut. Sedangkan
Mujmal adalah suatu lafadz atau kata yang tidak jelas, atau suatu
kata yang di dalam artinya tersimpan banyak ketentuan dan keadaan yang tidak
mungkin diketahui secara pasti kecuali dengan melalui penjelasan yang lain (mubayyan)
dan mubayyan merupakan suatu perkataan yang
jelas, atau sudah tidak memerlukan penjelasan lagi. Begitupula dalam
pembagiannya dimana Mantuq ada dua macam yaitu: mantuq sharih dan mantuq ghairu
sharih, sedangkan Mafhum terdapat dua macam diantaranya yaitu: mafhum muwafaqah
dan mafhum muhallafah. Sedangkan Mujmal ada
tujuh yaitu: Musytarak, Murakkabat
Muhtamillah, Marja'udh Dhampir, Lafal yang mengandung
kemungkinan hakikat dan majaz, Lafal untuk apa lafal itu dibuat, orang yang
mendengarkan dan perbuatan nabi yang tidak diketahui alasannya. Dan Mubayyan
ada lima yaitu: bayan dengan
perkataan, perbuatan, isyarat, meninggalkan sesuatu dan diam.
DAFTAR
PUSTAKA
Amiruddin,
Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Teras.
Efendi,
Satria. 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.
Amiruddin,
Zen. 2009. Ushul Fiqih. Yogyakarta: Sukses Offset
Hamsidar. 2014.
Urgensi Lafadz Al-Dalalah, jurnal Ekspose vol XXIII, No. 2.
Kartini. 2007. Mantuq
dan Mafhum, Jurnal al-‘adl Vol. 10 No.20.
Khisni, A. 2012. Epistimologi Hukum
Islam. Semarang: Unissula Press.
Marzuqi, Ahmad
S. 208. Ushul Fiqih. Jogjakarta: Media Hidayah.
Muhammad
Sulaiman Abdullah Al-Asyqar. al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in
ma’a as’ilatin lil munaqasyah wa tamrinat. Tej. Umar Mujtahid, Ushul
Fiqih Tinggat Dasar. 2018. Jakarta: Ummur Qura.
Rifa’i, Mohammad.
1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Syaifuddin,
Amin. 2008. Ushul Fiqih Jilid 2. Jakarta: Kencana.
Tharaba,
M. Fahim. 2016. Hikmatut Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i. Malang: Dream
Litera Buana.
Zein,
M Ma’shum. 2013. Menguasai Ilmu Ushul Fiqih. Yogyakarta: Pustaka
Pesantren.
Catatan:
Makalah sudah
bagus, similarity 5%.
[2] Satria Efendi, Ushul
Fiqih, (Jakarta: Kencana, 2005), 210
[3] M Ma’shum Zein, Menguasai
Ilmu Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2013), 353
[4] Zen Amiruddin,
Ushul Fiqih, (Yogyakarta: Teras, 2009), 145
[5] A Khisni, Epistimologi
Hukum Islam, (Semarang: Unissula Press, 2012), 102.
[6] M Ma’shum Zein, Menguasai
Ilmu Ushul Fiqih, 353-354.
[7] Satria Efendi, Ushul
Fiqih, 211-213.
[8] Ibid, 214
[9] Zen Amiruddin,
Ushul Fiqih, 146
[10] M Ma’shum Zein, Menguasai
Ilmu Ushul Fiqih, 355
[11] Ibid, 356
[12] Kartini, Mantuq
dan Mafhum, Jurnal al-‘adl Vol. 10 no. 20 juli 2007, 22.
[13] Hamsidar, Urgensi
Lafadz Al-Dalalah, jurnal Ekspose vol XXIII, No. 2, Desember 2014, 64
[14] M Ma’shum Zein, Menguasai
Ilmu Ushul Fiqih, 357
[15] Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, 147.
[16] Ibid, 147
[17] Satria Efendi, Ushul
Fiqih, 215.
[18] Zen Amiruddin,
Ushul Fiqih, 148-151.
[19] Zen Amiruddin,
Ushul Fiqih,151-154
[20] Ahmad S Marzuqi, Ushul
Fiqih, (Jogjakarta: Media Hidayah, 2008),
74
[21] Muhammad Sulaiman Abdullah
Al-Asyqar, al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in ma’a as’ilatin lil
munaqasyah wa tamrinat, tej. Umar Mujtahid, Ushul Fiqih Tinggat Dasar,
(Jakarta: Ummur Qura, 2018), 221-222
[22] Moh. Rifa’i, Ushul
Fiqih, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1973), 93
[23] Amin Syaifuddin, Ushul
Fiqih Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), 23
[24] M. Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i, (Malang: Dream Litera Buana, 2016), 204
[25] Muhammad Sulaiman
Abdullah Al-Asyqar, al-Wadhih fi ushul Al-Fiqh li al-mubtadi’in ma’a
as’ilatin lil munaqasyah wa tamrinat, tej. Umar Mujtahid, Ushul Fiqih
Tinggat Dasar, (Jakarta: Ummur Qura, 2018),
222
[27] Ahmad S Marzuqi, Ushul Fiqih, 75
[29] Moh. Rifa’i, Ushul
Fiqih, hal. 94
[30] M. Sulaiman Abdullah
Al-Asyqar, Ushul Fiqih Tingkat Dasar,
225
[31] M. Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i, 206
[32] M. Fahim Tharaba, Hikmatut
Tasyri’ wa Hikmatuts Syar’i, 206-207
[33] Moh. Rifa’i, Ushul
Fiqih, 95-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar