TA’ARUDL TARJIH DAN AL-AMRU
AL-NAHYU
A.
Hanif
Zayyadi(15110238)
(Mahasiswa PAI UIN MALANG)
Okyaldrin3@gmail.com
Abstract
This article discusses Ta’arudl Tarjih and al-Amru al Nahyu. The
purpose of this discussion is other than as a reference to know in depth as
well as a process in knowing the procedures for knowing Islamic law, the
Science of Usul Fiqh is actually a science that cannot be ignored by a mujtahid
in an effort to explain Islamic texts, and in digging for laws that don't have
texts. It is also a science that is needed for a judge in an effort to
understand the material of the law perfectly, and in applying the law with a
practice that can state justice and in accordance with the material meaning
intended by the legislator (syari '). knowledge that is also needed by Fiqh
scholars in conducting discussions, studies, analyzes and comparisons between
schools and opinions. Besides that, Al-Amidi said: "There is no way to
know the law of Allah Almighty except with the knowledge of ushul fiqh, from
these problems".
Keywords: Ta’arudl Tarjih and al-Amru al Nahyu
Abstrak
Artikel ini
membahas tentang Ta’arudl Tarjih dan al-Amru al Nahyu. Tujuan dalam pembahasan
ini adalah selain sebagai acuan mengetahui secara mendalam juga sebagai suatu
proses dalam mengetahui prosedur cara mengetahui hukum islam, Ilmu Ushul Fiqh
sebenarnya merupakan suatu ilmu yang tidak bisa diabaikan oleh seorang mujtahid
dalam upaya memberi penjelasan mengenai nash-nash syariat islam, dan dalam
menggali hukum yag tidak memiliki nash. Juga merupakan suatu ilmu yang
diperlukan bagi seorang hakim dalam usaha memahami materi undang-undang secara
sempurna, dan dalam menerapkan undang-undang itu dengan praktik yang dapat
menyatakan keadilan serta sesuai dengan makna materi yang dimaksud oelh pembuat
hukum (syari’).Ia juga suatu ilmu yang juga diperlukan ulama Fiqh dalam
melakukan pembahasan, pengkajian, penganalisaan dan perbandingan antara mazhab
dan pendapat. Disamping itu, Al-Amidi mengatakan: “Tidak ada cara untuk
mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul fiqh ini, dari permasalahan-permasalahan
tersebut”.
Kata Kunci : Ta’arudl
Tarjih dan al-Amru al Nahyu
A.
Pendahuluan
Ilmu usul fiqh merupakan salah satu instrumen penting yang harus
dipenuhi oleh siapapun yang ingin menjalankan atau melakukan mekanisme ijtihad
dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah
sebabnya tidak mengherankan jika dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid,
penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarrat mutlaknya. Atau
dengan kata lain, untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada
dalam koridor yang semestinya.
Meskipun demikian, ada satu faktor yang tidak dapat dipungkiri
bahwa penguasaan usul fiqh tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad
dan istinbath para mujtahid. Di samping faktor eksternal usul fiqh itu sendiri
seperti penentuan keshahihan suatu hadis
misalnya. Sedangkan internal usul fiqh sendiri pada bagian masalahnya mengalami
perdebatan di kalangan para ushuluyyin. Dan kemudian muncullah ilmu-ilmu
seperti tentang ta’arudh dan tarjih yang
akan kami paparkan di makalah ini.
Makalah ini akan membahas persoalan-persoalan berupa pengertian
ta’arudh dan tarjih,al-Amru dan al-Nahyu serta bentuk-bentuk ta’arudh dan
tarjih,al-Amru dan al-Nahyu, syarat-syarat tarjih, serta contoh-contoh dan
kaidah-kaidahnya.
A. Pengertian Ta`arudh
Secara bahasa, kata ta`arudh berarti pertentangan antara satu
dengan yang lain.[1]
Wahbah al-Zuhaily tidak setuju terhadap pendapat sebagaian kalangan yang
menyamakan antara ta`arudh dengan tanaqudh. Menurut Wahbah antara kedua istilah
ini terdapat perbedaan. Tanaqudh membawa implikasi batalnya satu dari dua
dalil. Sedangnkan ta`arudh hanya menghalangi berlaku hukum yang dimaksud suatu
dalil tanpa menggugurkan keberadaan dalil tersebut.
Ada beberapa definisi ta`arudh al-adillah yang dikemukakan ahli
ushul fiqh, diantaranya dikemukakan Khudhari Beik sebagai berikut :[2]
التعارضأنيقتضىكلمندليليينعدميقتضىالآخر
Ta`arudh adalah dalil yang menunjukkan suatu hukum yang
bertentangan dengan dalil yang lain.
Definisi ta`arudh yang dikemukakan oleh Khudhari Beik ini sejalan
dengan definisi yang dirumuskan Ali Hasbalah, yaitu :[3]
التعارضأنيقتضىالدليلينالمتساويينفىمرتبةالثبوتنقيضمايقتضيهالاخر
Ta`arudh adalah dua dalil yang sama tingkatnya menunjukan suatu
hukum yang bertentangan dengan hukum yang dikandung dalil yang lain dalam kasus
yang sama.
Dari kedua definisi ini diketahui bahwa pertentangan antara kedua
dalil terjadi dalam bentuk lahirnya dari segi penilaian mujtahid yang
mengamatinya. Misalnya, satu dalil yang secara lahir menunjukkan hukum wajib,
dalil yang lain dalam kasus yang sama menunjukkan hukum haram.
Wahbah Zuhaili mendefiniskan ta`arudh al-adillah sebagai berikut :
التعارضهوأنيقتضىأحدالدليلحكمافىواقعهخلافمايقتضيهالدليلالاخرفيها
Ta`arudh adalah salah satu dari dua dalil yang menunjukkan pada
hukum suatu peristiwa tertentu, sedangkan dalil lain menunjukkan hukum yang
berbeda dengan itu.
Sedangkan Ibn Qudamah seperti yang dikutip Wahbah mengemukakan
definisi ta`arudh al-adillah sebaiagai beirkut:[4]
التعارضهوعبارةعنتنافيالدلاليناوالأدلةبحسبالدلالةعلىوجهالتناقضاوالتضادبينهمافيمتنعاجتماعهماكأنيقضىأحدالدليلينالايحابوالاخرالتحريم
Ta`arudh adalah sesuatu ungkapan dipakai untuk saling meniadakan
dua dalil atau beberapa dalil yang menunjukkan pertentangan yang sulit
mengkompromikan antara keduanya. Misalnya antara dua dalil yangs satu
menunjukkan hukum wajib sementara yang lain mmenunjukkan hukum haram.
[5]Menurut Abdul Karim Zaidan pada prinsipnya tidak mungkin terjadi
pertentangan antara dalil-dalil syara`. Ta`arudh atau pertentangan antara dalil
syara` hanya terjadi dalam pandangan mujtahid. Atas dasar ini dapat dipastikan
bahwa ta`arudh hanya terjadi secara zahir, bukan secara hakiki dan yang
demikian hanya dalam pandangan mujtahid. Kadangkala sebagian mujtahid menilai
dalil bertentangan dengan dalil lain karena terkait dengan kekuatan pemahaman
mujtahid bersangkutan tentang maksud yang dikandung suatu dalil.
Dengan demikian ta`arudh terjadi ketika mujtahid menetapkan hukum
yang dikandung sebuah dalil, tetapi pada saat yang sama ada dalil yang
menunjukkan pada hukum lain yang bertentangan dengan dalil pertama. Salah satu
contoh dalam QS al-Baqarah : 240 dijelaskan tentang ketentuan iddah wanita yang
ditinggal mati suami sebagai berikut :
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًاوَصِيَّةًلِأَزْوَاجِهِمْمَتَاعًاإِلَىالْحَوْلِغَيْرَإِخْرَاج
Dan orang-orang yang yang akan meninggal dunia diantara kamu dan
meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi
nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya).
Ayat ini menjelaskan secara umum tentang iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya yaitu satu tahun. Ayat ini bertentangan secara zahir
dengan QS al-Baqarah : 234
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah)
empat bulan sepuluh hari.
Dalam ayat terakhir ini Allah memegaskan bahwa iddah wanita yang
ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Jadi terjadi pertentangan hukum
yang dikandung antara kedua ayat tersebut.
Pertentangan juga terjadi antara QS al-Baqarah : 234 di atas dengan
QS at-Talaq : 4
وَأُولَاتُالْأَحْمَالِأَجَلُهُنَّأَنْيَضَعْنَحَمْلَهُنَّ
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya.
[6]Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa iddah wanita yang hamil
hingga melahirkan anaknya. Ayat ini tidak membedakan antara iddah wanita yang
dicerai suaminya dan cerai karena meninggal dunia. Ayat ini menetapkan iddah
wanita yang dicerai suami, baik cerai hidup maupun cerai mati sampai melahirkan
anaknya. Ini tentu berbeda dengan hukum yang dikandung QS al-Baqarah : 234 yang
menyatakan bahwa masa iddah wanita yang cerai karena meninggal dunia yaitu 4
bulan 10 hari.
Sehubungan dengan itu, ta`arudh al-adillah baru terjadi apabila
kedua dalil yang bertentangan sama derajat atau tingkatannya. Persamaan derajat
yang dimaksud adalah antara ayat dengan ayat atau hadis dengan hadis. Atas
dasar ini, tidak dipandang sah pertentangan antara dalil qath`i dengan dalil
zhanni. Begitu pula tidak dipandang sah pertentangan antara nash dengan ijma`,
antara nash dengan qiyas. Hal ini disebabkan tidak terpenuhi ketentuan karena
antara masing-masing dalil yang bertentangan berbeda tingkatannya. Untuk itu
dalil yang kuat mengalahkan dalil yang lemah dan dalil yang zhanni dikalahkan
oleh dalil yang qath`i.
Pertentangan antara dalil ini tidak hanya terjadi pada dalil-dalil
yang bersifat zhanni dalalahnya, tetapi meliputi pula pertentangan antara
dalil-dalil yang qath`i. Bahkan pertentangan dalil terjadi pula antara dalil
naqli dengan aqli. Namun sebagian besar ulama berpendapat tidak mungkin terjadi
pertentangan antara dua dalil qath`i karena keduanya memfaedahkan yakin
sehingga tidak logis melakukan tarjih antara sesuatu yang mengfaedahkan yakin
dengan yakin lainnya.
B. Cara Penyelesaian
Ta`arudh al-Adillah
Dalam mengahadapi ta`arudh al-adillah atau pertentang antara dua
dalil secara zhahir dpat dilakukan dengan beberapa metode penyelesaian, yaitu :
1. Naskh
Secara bahasa naskh mengandung dua pengertian, pertama naskh
berarti penghapusan atau peniadaan. Kedua naskh berarti pemindahan dari suatu
keadaan kepada keadaan lain. Hal ini sejalan dengan firman Allah Swt dalam QS
al-Jasiyat: 29 yaitu :
إِنَّاكُنَّانَسْتَنْسِخُمَاكُنْتُمْتَعْمَلُونَ
Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat atau memindahkan apa yang
telah kamu kerjakan.
[7]Secara istilah ada dua definisi naskh yang dikemukakan para ahli
ushul fiqh. Definisi pertama seperti yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaili,
Ushul al-Fiqh al-Islami:
النسخهوبيانانتهاءأمدحكمبطشرعيمتراخعنه
Naskh adalah penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum
melalui dalil syara` yang datang kemudian.
[8]Dari definisi ini dapat dipahami bahwa hukum yang dinaskh atau
dihapus itu atas kehendak Allah dan penghapusan ini sebagai pertanda berakhir
masa berlakunya hukum tersebut.
Definisi kedua seperti yang diungkapkan oleh Abd al-Karim Zaidan,
al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh yang menyatakan bahwa :
النسخهورفعحكمشرعيبدليلشرعيمتأخرمنه
Naskh adalah pembatalan hukum syara` yang telah ditetapkan
terdahulu dengan dalil syara` yang datang kemudian.
Dari kedua dafinisi tersebut diatas dapat dipahami beberapa hal
sebegai berikut :
a. Naskh atau pembatalan itu dilakukan dengan khitab atau tuntutan
Allah. Atas dasar ini naskh tidak dapat dilakukan oleh selain Allah. Adapun
perbuatan Nabi Saw yang kadangkala sebagai naskh sebenarnya hanya sebagai dalil
yang menginformasikan tentang adanya tuntutan dari Allah untuk membatalkan
suatu hukum. Khitab atau tuntutan naskh tidak dapat berasal dari Nabi karena
beliau tidak memiliki kekuasaan untuk membatalkan hukum syara`.
b. Yang dibatalkan tersebut adalah hukum syara` yang mengandung
perintah, larangan atau berita. Atas dasar ini pembatalan terhadap hukum yang
didasarkan pada akal atau hukum yang didasarkan pada prinsip ibahah al-asliyah
sebelum datang syara` dan hukum yang didasarkan pada adat istiadat tidak
disebut sebagai naskh.
c.Hukum yang membatalkan hukum terdahulu datangnya kemudian. Hukum
yang dibatalkan labih dahulu datangnya daripada hukum yang membatalkannya.
Dengan demikian hukum yang berkaitan dengan istisna dan syarat tidak dapat
disebut sebagai naskh.
2. Pengertian Tarjih
[9]Secara bahasa tarjih berarti menguatkan. Kajian tentang tarjih erat
kaitannya dengan adanya dua dalil yang bertentangan secara zhahir dan
sederajat. Untuk menyelesaikan pertentangan itu digunakan cara al-jam`u wa
al-taufiq. Apabila cara ini tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dalil
tersebut digunakan cara tarjih. Dalil yang dikuatkan disebut rajih dan dalil
yang dilemahkan disebut marjuh.
Secara terminologi ada sejumlah definisi tarjih yang dikemukakan
oleh para ulama diantaranya seperti yang dikemukakan al-Amidi sebagai berikut :
عبارةعناقترادالصالحينلدلالةعلىالمطلوبمعتعارضهمابمايوجبالعملبهواهملالاخر
Ungkapan mengenai diiringi salah satu dari dua dalil yang pantas
menunjukkan kepada apa yang dikehendaki di samping keduanya berbenturan yang
mewajibkan untuk mengamalkan satu diantaranya dan meninggalkan yang lain.
Kalangan Hanafiyyah mendefinisikan tarjih sebagai berikut :
اظهارزيادةالأحدالمتماثلينعلىالاخربمالايستقل
Menjelaskan ada tambahan pada salah satu dari dua dalil yang
sederajat, dimana dalil tambahan itu tidak berdiri sendiri.
[10]Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dalil yang bertentangan
itu mesti memiliki kualitas yang sama. Untuk itu al-Qur`an tidak dapat disebut
rajih atau lebih kuat dari hadits ahad dan hadits ahad tidak dapat disebut
rajih atau lebih kuat dari qiyas. Sebab al-Qur`an tidak sama kualitasnya dengan
hadits ahad dengan qiyas. Disamping itu dalil yang menjadi pendukung dalil yang
bertentangan itu tidak berdiri sendiri. Ia tidak terpisah dari dalil yang
saling bertentangan.
Sedangkan kalangan Syafi`iyyah mendefinisikan tarjih sebagai
berikut :
تقويةإحدالأمارتين
(أىالدليلينالظنيين) علىالأخرىليعملبها
Menguatkan salah satu indikator dalil zhanni atas yang lain untuk
diamalkan.
Definisi ini mengisyaratkan bahwa tarjih hanya dapat terjadi
terhadap dua dalil zhanni yang saling bertentangan karena tarjih tidak berlaku
dintara dalil yang qhat`i dengan zhanni.
Dari ketiga definisi tersebut dapat dirumuskan beberapa syarat
tarjih, yaitu :
a. Ada dua dalil yang bertentangan dan tidak mungkin untuk
mengamalkan keduanya melalui cara apapun.
b. Kedua dalil yang bertentangan itu memiliki kualitas yang sama
untuk memberi petunjuk kepada yang dimaksud.
c. Ada indikator yang mendukung untuk mengamalkan salah satu
diantara dua dalil yang bertentangan dan meninggalkan dalil yang satu lagi.
Para ulama Ushul Fiqh menyimpulkan ada dua cara dalam melakukan
tarjih, Pertama al-tarjih bain al-nushush yaitu dengan menguatkan salah satu
dari nash yang bertentangan dapat diamati dari beberapa segi yaitu segi sanad,
segi matan, segi hukum yang dikandung nash, dan menggunakan dalil lain diluar
nash. dan al-tarjih bain al-‘aqyisah yaitu dengan tarjih dari segi hukum asal,
hukum furu`, illat, dan dari segi faktor luar.
3. Al-Jam`u wa al-Taufiq
Al-Jam`u wa al-Taufiq adalah menghubungkan dua dalil yang nampak
bertentangan, sehingga keduanya bisa dipakai dan diamalkan dengan didapatkan
makna yang berserasian.
4. Tasaqut al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain adalah upaya menangguhkan penyelesaian atau
keputusan dari dua dalil yang tempak beralawanan karena sulit ditempuh dangan
al-jam`u wa al-taufiq, tarjih, maupun naskh. Cara ini sebenarnya bukanlah
penyelesaian tetapi penangguhan untuk sementara waktu, sementara belum
didapatkan keterangan atau alasan-alasan lain yang menunjang atau menguatkan
salah satunya.
C. Langkah Penyelesaian antara Hanafiyyah dan Syafi`iyyah
Dalam menghadapi pertentangan antara dua dalil secara zhahir perlu
diambil cara penyelesaiannya sehingga dapat menghilangkan pertentangan
tersebut. Dalam hal ini para ulama menggunakan dua metode, yaitu metode
Hanafiyyah dan metode Syafi`iyyah.
1.
Metode
Hanafiyyah
Ulama Hanafiyyah mengemukakan beberapa langkah yang ditempuh untuk
menyelesaikan pertentangan antara dua nash atau dalil.
a.
Naskh
Metode ini mengkaji terlebih dahulu waktu turunnya nash atau dalil
yang bertentangan tersebut. Apabila telah diketahui mana nash yang lebih dahulu
turun dan yang kemudian turun, maka diterapkanlah metode Naskh. Dalil yang
kemudian turun menaskh nash yang lebih dahulu turun. Dalam contoh pertentangan
antara ayat diatas, maka berdasarkan penelitia bahwa QS al-Baqarah : 234 yang
menyatakan iddah wanita yang dicerai karena meninggal dunia 4 bulan 10 hari
turun kemudian QS al-Baqarah : 240 yang menyatakan iddah wanita yang dicerai
suami karena meninggal dunia satu tahun. Jadi yang diambil dari pertentangan
kedua dalil ini adalah iddah wanita yang cerai ditinggal mati suami 4 bulan 10
hari.
b.
Tarjih
Metode ini adalah dengan menguatkan satu dari dua dalil yang
bertentangan dengan mempertimbangkan indikator yang mendukungnya. Metode ini
baru digunakan apabila tidak diketahui sejarah yang menjelaskan perihal
turunnya kedua dalil yang bertentangan. Tarjih dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa ketentuan seperti menguatkan muhkam dan mufassar,
ibarat al-nash dari `isyarat al-nash, menguatkan dalil yang mengandung hukum
mubah dan menguatkan hadits ahad yang perawinya lebih dhabit dan adil dari
perawi yang kurang dhabit dan adil.
c.
Al-Jam`u
wa al-Taufiq
Metode ini menghimpun kedua dalil yang bertentangan untuk kemudian
dikompromikan. Metode ini digunakan apabila metode tarjih tidak dapat
menyelesaikan pertentangan antara dalil. Hasil kompromi kedua dalil inilah yang
diambil hukumnya. Hal ini sejalan dengan prinsip yang ditetapkan dalam kaidah
fiqih :
العملبالدليلينالمتعارضيناولىمنإلغاءاحدهما
Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada
meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain.
Ada beberapa contoh yang dapat dikemukakan dalam menerapkan
al-Jam`u wa al-Taufiq. Dalam kehidupan sehari-hari sering orang mengeluarkan
pernyataan yang bertentangan padahal berasal dari orang yang sama. Misalkan,
seseorang mengatakan: berikanlah sedekahmu kepada para fakir miskin. Pada saat
lain, orang tersebut berkata: jangan berikan sedekahmu kapada fakir miskin.
Kedua ucapan tersebut bertentangan satu sama lain dalam pandangan orang yang
mendengarnya. Kedua ucapan tersebut sulit diketahui mana yang dahulu dan
kemudian. Namun, dengan menggunakan metode al-Jam`u wal al-Taufiq kedua ucapan
tersebut yang bertentang dapat diselesaikan dengan mengkompromikannya. Perintah
memberikan sedekah ditujukan kepada fakir miskin yang tidak meminta-minta.
Sedangkan larangan memberi sedekah ditujukan untuk fakir miskin yang biasa
meminta-minta.
Contoh lain, dapat diamati dari hadits Nabi Saw, berikut :
أَلَاأُخْبِرُكُمْبِخِيْرِالشُّهَدَاءِ؟هُوَالَّذِىيَأْتِىبِالشَّهَادَةِقَبْلَأنيَسْأَلهَا
Bukanlah saya telah beritahukan kepadamu tentang sebaik-baik saksi?
Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta kesaksian tersebut
kepadanya (HR. Muslim)
Hadits ini menjelaskan bahwa kesaksian yang paling baik, yaitu
kesaksian yang diberikan oleh seseorang sebelum diminta memberikannya di depan
peradilan. Hadits ini merupakan dorongan bagi seseorang untuk memberikan
kesaksian terhadap kasus yang diketahuinya, baik yang menyangkut hak Allah
maupun hak manusia.
Dalam hadits lain, Nabi Saw menyatakan :
إِنَّخَيْرَكُمْقَرْنِىثُمَّالَّذِيْنَيَلُوْنَهَاثُمَّالَّذِيْنَيَلُوْنَهَاثُمَّيَكُوْنُبَعْدَهُمْقَوْمٌيَشْهَدُوْنَوَلَايَسْتَشْهَدُوْنَوَيَخُوْنُوْنَوَلَايُؤْتَمَنُوْنَ
Sebaik-baik generasi adalah generasiku kemudian generasi
sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya pula, setelah itu orang-orang akan
memberikan kesaksian di depan hakim tanpa diminta sedangkan mereka tidak
mengetahui peristiwa itu, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya (HR.
Ahmad)
Hadits ini menginformasikan bahwa jauh sesudah generasi Nabi Saw
muncul orang-orang yang menjadi saksi dalam suatu perkara, dimana mereka
sebenarnya tidak menyaksikan perkara yang dihadapinya.
Untuk menyelesaikan pertentangan antara kedua hadits ini dapat
digunakan metode al-jam`u wa al-taufiq. Melalui metode ini ditetapkan bahwa
hadits pertama ditujukan untuk kesaksian dalam kasus-kasus yang berakaitan
dengan hak Allah dan kesaksian pada hadits yang kedua dimaksudkan untuk
kasus-kasus yang berkaitan dengan hak manusia.
Contoh lain dapat diambil dari firman Allah Swt QS al-Baqarah: 234
وَالَّذِينَيُتَوَفَّوْنَمِنْكُمْوَيَذَرُونَأَزْوَاجًايَتَرَبَّصْنَبِأَنْفُسِهِنَّأَرْبَعَةَأَشْهُرٍوَعَشْرًا
Orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah)
empat bulan sepuluh hari.
[11]Ayat ini menunjukkan pengertian umum, dimana berlaku ketentuan
iddah bagi semua wanita yang ditalak suaminya, baik setelah melakukan hubungan
suami istri atau sebelumnya. Ayat ini bertentangan secara lahir dengan firman
Allah QS al-Ahzab : 49 yaitu :
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآَمَنُواإِذَانَكَحْتُمُالْمُؤْمِنَاتِثُمَّطَلَّقْتُمُوهُنَّمِنْقَبْلِأَنْتَمَسُّوهُنَّفَمَالَكُمْعَلَيْهِنَّمِنْعِدَّةٍتَعْتَدُّونَهَافَمَتِّعُوهُنَّوَسَرِّحُوهُنَّسَرَاحًاجَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu menikahi
perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu
minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut`ah dan lepaskanlah mereka itu
dengan cara sebaik-baiknya.
Adapun cara penyelesaian kedua ayat yang bertentangan tersebut
adalah dengan mengkompromikan antara keduanya. QS al-Baqarah : 234 ditujukan
untuk wanita yang bercampur dengan suaminya. Sedangkan QS al-Ahzab : 49
diberlakukan untuk wanita yang ditalak sebelum bercampur dengan suaminya.
d.
Tasaqut
al-Dalalain
Metode ini adalah menggugurkan kedua dalil yang bertentangan.
Metode ini digunakan ketika metode sebelumnya tidak dapat menyelesaikan
pertentangan antara dalil tersebut. Dengan menggunakan metode ini berarti
menggugurkan kedua dalil yang bertentangan dan mencari dalil lain yang secara
kualitas berada di bawah dalil yang bertentangan itu.
Dengan metode ini apabila ada pertentang dalam al-Qur`an dengan
ayat al-Qur`an lalu antara keduanya tidak bisa dinaskh atau ditarjih atau
dikompromikan maka boleh beralih kepada dalil yang kualitasnya di bawah
al-Qur`an yaitu hadits. Apabila pertentangan antara hadits dengan hadits maka
dapat beralih mengambil pendapat sahabat atau menggunakan qiyas bagi yang tidak
memakai pendapat sebagai dalil.
Adapun contoh penggunaan metode yang keempat ini dapat diamati dari
kaifiyat shalat khusuf. Dalam hadits dijelaskan tata cara shalat khusuf sebagai
berikut :
أَنَّالنَّبِيَّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَصَلَّىصَلَاةَاْلكُسُوْفِكَماَتُصَلُّوْنَرَكْعَةًوَسَجْدَتَيْنِ
Bahwa Nabi Saw, melakukan shalat khusuf sebagaimana kamu melakukan
shalat sunat biasa, yaitu satu rakaat dengan dua kali sujud (HR. Abu Daud dan
Nasa`i)
Dalam hadits lain dicontohkan Nabi Saw melalui sunnah fi`liyah
tentang cara shalat khusuf sebagai berikut :
أَنَّالرَّسُوْلَصَلَّاهَارَكْعَتَيْنِبِأَرْبَعَةِرُكُوْعَاتٍوَأَرْبَعَسَجَدَاتٍ
Bahwa Rasulullah Saw melakukan shalat khusuf dua rakaat dengan
empat kali ruku` dan empat kali sujud (HR. Imam yang enam)
Hadits pertama tentang khusuf ini menjelaskan tata cara shalat
tersebut dengan satu kali ruku` dan satu kali berdiri untuk setiap rakaat
seperti shalat biasa. Sementara hadits kedua menjelaskan bahwa shalat khusuf
dilakukan dengan dua kali ruku` dan dua kali berdiri untuk setiap rakaatnya.
Dalam kasus ini tidak ada merajjih (menguatkan) salah satu dari kedua hadits
ini. Kalangan Hanafiyyah tidak menggunakan kedua hadits ini tetapi menggunakan
qiyas untuk menetapkan tata cara shalat khusuf. Mereka mengqiyaskan pelaksanaan
shalat khusuf kepada shalat-shalat lainnya.
Apabila dalil yang bertentangan itu bukan nash, seperti qiyas
dengan qiyas, maka harus melakukan tarjih dengan salah satu dari tingkatan
qiyas. Misalnya melakukan tarjih dengan menguatkan illat yang manshusah
(terdapat dalam nash) dari illat yang diistinbathkan dengan cara memperhatikan
kesamaan dengan illat yang terdapat pada nash.
2.
Metode
Syafi`iyyah
Ulama Syafi`iyyah dalam menyelesaikan pertentangan antara
dalil-dalil menggnakan beberapa metode, metode tersebut juga digunakan oleh
ulama Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah.
a. Al-Jam`u wa
al-Taufiq
Menurut Syafi`iyyah, Malikiyyah, dan Zahiriyyah bahwa metode
pertama yang harus digunakan dalam dalam menyelesaikan dalil-dalil yang
bertentangan adalah dengan menghimpun dan mengkompromikan antara dalil-dalil
tersebut, meskipun hanya dilakukan dari satu sisi. Mereka beralasan pada
prinsipnya dalil itu harus diamalkan bukan untuk diabaikan.
Untuk menggunakan dalil-dalil yang bertentangan dapat dilaksanakan
dengan tiga langkah berikut:
1. Adakalanya hukum kedua dalil yang bertentangan dapat dibagi,
maka boleh dilakukan pembagian secara baik. Ini sangat mungkin terjadi pada
kasus dua orang yang memberikan pengakuan tentang kepemilikan keduanya terhadap
sebuah rumah. Pernyataan masing-masing tentang kepemilikan terhadap rumah itu
meniadakan kepemilikan yang lain terhadap rumah tersebut. Pernyataan
masing-masing pihak jelas bertentangan dan sulit untuk menyelesaikan dengan
mengkompromikan antara kedua pernyataan tersebut. Namun, mengkompromikan kedua
pernyataan itu dari salah satu sisi dapat dilakukan dengan jalan membagi rumah
menjadi dua bagian.
2. Adakalanya hukum dari dalil yang bertentangan merupakan sesuatu
yang berbilang sehingga memungkinkan lahir hukum yang banyak. Dalam keadaan
seperti ini sangat mungkin mengamalkan kedua dalil yang bertentangan itu.
3. Adakalanya hukum yang terdapat dalam dua dalil yang bertentangan
bersifat umum yang terkait dengan sejumlah hukum lain, sehingga memungkinkan
menggunakan kedua dalil yang bertentangan. Untuk maksud tersebut dihubungnkan
hukum salah satu dari dua dalil yang bertentangan
b. Tarjih
Menggunakan tarjih yaitu menguatkan satu dari dua dalil yang
bertentangan karena ada indikator yang mendukungnya. Metode ini digunakan
manakala pengkompromian antara dalil yang bertentangan tidak dapat dilakukan.
Upaya mentarjih ini dapat dengan empat cara, yaitu mentarjih dari sisi sanad,
mentarjih dari sisi matan, mentarjih dari sisi hukum dan mentarjih dari sisi
lain diluar nash. Mentarjih dari sisi sanad adalah khusus untuk menyelesaikan
pertentangan dalil yang terjadi pada sunah atau hadits. Sementara cara tarjih
yang lainnya dapat digunakan untuk mengatasi pertentangan dalil yang terjadi
pada al-Qur`an, Sunnah, dan Ijma`.
c. Naskh
Naskh dengan membatalkan hukum syara` yang datang lebih dahulu
dengan hukum syara` yang sama yang datang kemudian. Metode digunakan ketika
kedua metode sbelumnya tidak dapat menyelesaikan pertentangan antara dua dalil.
Metode dapat digunakan apabila diketahui kedua dalil yang bertentangan dapat diketahui
mana dalil yang lebih dahulu datang dan mana dalil yang datang kemudian. Dalil
yang datang kemudian yang diambil dan diamalkan, seperti hadits Nabi Saw :
كُنْتُنَهَيْتُكُمْعَنِادِّخَارِلُحُوْمِاْلأَضَاحِىفَوْقَثَلَاثَةِأَيَّامٍفَالآنَفَكُلُوْاوَادَّخِرُوا
Artinya : Aku pernah melarang kamu menyimpan daging kurban melebihi
kebutuhan tiga hari, maka sekarang makan dan simpanlah (HR. Ibnu Majah)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa larangan menyimpan daging
kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum yang pertama datang dan
kebolehan menyimpan daging kurban melebihi kebutuhan tiga hari merupakan hukum
yang datang kemudian.
e.
Tasaqut
al-Dalalain
Tasaqut al-Dalalain, yaitu mengabaikan kedua dalil yang
bertentangan dan beralih mencarai dalil lain, meskipun kualitasnya lebih
rendah. Kalangan Syafi`iyyah, Malikiyyah, Hanabilah, dan Zahiriyyah menggunakan
metode Tasaqut al-Dalalain apabila ketiga cara sebelumnya tidak dapat
menyelesaikan pertentangan dua dalil tersebut.
A.
Pengertian
Al-Amru
Menurut bahasa, amar berarti suruhan, perintah, sedangkan menurut
istilah adalah: الأَمْرُ : طَلَبُالفِعْـلِمِنَاْلأَعْلَىإلىَاْلأَدْنَى “Al-Amru ialah tuntutan melakukan pekerjaan
dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah” Yang lebih tinggi kedudukannya
adalah Syaari’ (Allah Swt atau Rasul-Nya) dan kedudukan yang lebih rendah
adalah mukallaf. Jadi amar adalah perintah Allah atau Rasulnya kepada mukallaf
untuk melakukan suatu pekerjaan. b. Bentuk Lafadh Amar
1. Fi’il Amar Contoh : وَأَقِيمُواالصَّلَاةَوَآتُواالزَّكَاةَوَارْكَعُوامَعَالرَّاكِعِينَ “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat
dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Al-Baqarah : 43)
2. Fi’il Mudhari’ yang didahului dengan huruf lam amar : Contoh : وَلْتَكُنْمِنْكُمْأُمَّةٌيَدْعُونَإِلَىالْخَيْرِوَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِوَيَنْهَوْنَعَنِالْمُنْكَرِوَأُولَئِكَهُمُالْمُفْلِحُونَ “Dan hendaklah diantara kamu yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar.…”
(QS. Ali Imron : 104)
3. Isim Fi’il Amar Contoh : ياأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواعَلَيْكُمْأَنْفُسَكُمْلَايَضُرُّكُمْمَنْضَلَّإِذَااهْتَدَيْتُمْ “Hai orang-orang yang beriman, jagalah
dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila
kamu telah mendapat petunjuk… (QS. Maidah :105)
4. Isim Masdar pengganti fi’il Misalnya kata : إحْسَانًا
(berbuat baiklah) Contoh : وَبِالْوَالِدَيْنِإِحْسَانًا “Dan kepada kedua orang tuamu berbuat
baiklah.” (QS. Al Baqarah : 83)
5. Kalimat berita (kalam khabar) bermakna Insya (perintah) Contoh :
وَاْلمُطَلَّـقَاتُيَتَرَبَصْنَبِاَنْفُسِهِنَّثَلاَثَةَقُرُوْءٍ “Hendaklah menahan dirinya.” (QS. Al
Baqarah : 228)
6. Fi’il madhi atau mudhori’ yang mengandung arti perintah أَمَرَ،فَرَض،كَتَبَ،وَجَبَ Contoh : يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُواكُتِبَعَلَيْكُمُالصِّيَامُكَمَاكُتِبَعَلَىالَّذِينَمِنْقَبْلِكُمْلَعَلَّكُمْتَتَّقُوْنَ “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
kepadamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertakwa.” (QS Al Baqara : 183)
c. Kaidah Amar
1. Amr Menunjukkan Kepada Wajib. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْرِلِلْوُجُوْبِ “Pada asalnya Amar itu menunjukkan wajib” Hal
ini menunjukkan menurut akal dan naqli. Menurut akal adalah orang-orang yang
tidak mematuhi perintah dinamakan orang yang ingkar, sedangkan menurut naqal,
seperti firman Allah Swt.[12]
فَلْيَحْذَرِالَّذِينَيُخَالِفُونَعَنْأَمْرِهِأَنْتُصِيبَهُمْفِتْنَةٌأَوْيُصِيبَهُمْعَذَابٌأَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan
ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nur (24): 63)
Misalnya:
perintah puasa. ياايهاالذينامنراكتبعليكمالصيام (البقرة
:۱۸۳
3.
Amr
Menunjukkan Kepada Sunnah. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْـرِلِلنَّدْبِ “Pada asalnya Amar itu menunjukkan nadab
(sunnah)” Contoh: firman Allah Swt:
4.
فكاتبوهمإنعلمتمفيهمخيرا artinya: “Hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka”.
5.
(QS.
24:33) Amar juga dapat digunakan antara lain: a). Untuk do’a, ربناآتنافىالدنياحسـنةوفىالأخرةحسنة b). Untuk penghormatan, أدْخُـلُوْهَابِسَـلاَمٍأَمِنِيْنَ
(الحجر : 46 c). Untuk petunjuk, اِذَاتَدَايَنْتُمْبِدَيْنٍإِلىَأَجَلٍمُسَمَّىفَاكْتُبُوْهُ
(البقرة: 282 d). Untuk ancaman, إعْمَــلُوْامَاشِــئْتُمْ
(فصلت: 40
e) untuk petunjuk f).Ta’jiz (للتعجيز )
artinya melemahkan’ Contoh : فَأْتُوابِسُورَةٍمِنْمِثْلِهِ Artinya : ”Buatlah satu surat (saja) yang
semisal dengan al-Qur’an itu.” (QS.al-Baqarah :23) g). Ikram ( للاكرام )
artinya menghormat. Contoh : ادخلوهابسلامامنين (الحجر :٤٦
Artinya :”Masuklah ke dalamnya (syurga) dengan sejahtera dan
aman.”(QS.al-Hijr z: 46) H. Tafwidl (للتفويض )
artinya menyerah. Contoh : فَاقْضِمَاأَنْتَقَاضٍ
Artinya : “Putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan.” (QS. Thaha: 72)
I. Talhif ( للتلهيف )
artinya menyesal. Contoh : قُلْمُوتُوابِغَيْظِكُمْ Artinya :”Katakanlah (kepada mereka) “Matilah
kamu karena kemarahanmu itu.” (QS. Ali Imran:119) J. Tahyir ( للتخيير )
artinya memilih. Contoh : منشاءفليبخلومنشاءفليجدكفانىنذاكمعنجميعالخطاب
Artinya :”Barang siapa kikir,kikirlah, siapa mau bermurah hati,
perbuatlah.Pemberian tuhan mencukupi kebutuhan saya.” (Syair Bukhaturi kepada
Raja) K. Taswiyah ( التسوية ) artinya persamaan. Contoh : ادخلوهافاصبروااولاتصبروا
(طه :۱٦ Artinya :”Masuklah ke dalamnya (neraka) maka
boleh kamu sabar dan boleh kamu tidak sabar, itu semua sama saja bagimu.” (QS.
Thaha: 16)
3. Amr tidak Menunjukkan untuk Berulang-ulang. اَلأَصْلُفِىاْلأَمْرِلاَيَقْتَضِىالتَّكْرَارَ “Perintah itu pada asalnya tidak menghendaki
pengulangan” Amar tidak menghendaki kepada yang berulang-ulang, tapi hanya
menghendaki hasilnya/ mengerjakan satu kali. Seperti firman Allah Swt. وَأَتِمُّواالْحَجَّوَالْعُمْرَةَلِلَّهِ “ dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah
karena Allah.” (QS. Al Baqarah : 196) Misalnya : وانكنتمجنبافاطهروا
(المئده :٦
”Jika kamu berjunub maka mandilah.” (QS. Al-Maidah: 6) اقمالصلاةلدلوكالشمس
(الاسراء :۷۸ “Kerjakanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir.”(QS. Al-Isra’ :78) 4. Amr tidak Menunjukkan untuk Bersegera. اَلأصْلُفِىاْلأَمْرِلاَيَقْتَضِىاْلفَوْرَ “Perintah pada asalnya tidak menghendaki
kesegeraan”. Jadi Amr (perintah) itu boleh ditangguhkan pelaksanaannya sampai
akhir waktu yang telah ditentukan. Misalnya : فمنكانمنكممريضااوعلىسفرفعدةمناياماخر(البقرة
:۱۸۳ “Barang siapa di antara kamu ada yang sakit
atau sedang dalam bepergian jauh, hendaklah mengqadla puasa itu pada hari yang
lain.”(QS.al-Baqarah : 183)
5. Amr dengan
Wasilah-Wasilahnya. اَلاْمْرُبِالشَّئْأَمْرٌبِوَسَائِلِهِ “Perintah mengerjakan sesuatu berarti juga
perintah mengerjakan wasilahnya”. Perintah mendirikan shalat berarti juga
perintah untuk berwudlu, sebagai wasilah (jalan kepada) sahnya shalat. 6. Amr
yang Menunjukkan Kepada Larangan. اَلاْمْربِالشَّئْنَهْيٌعَنْضِدِّهِ “Perintah mengerjakan sesuatu berarti
larangan terhadap kebalikannya”. Maksudnya, jika seseorang disuruh mengerjakan
suatu perbuatan, mestinya dia meninggalkan segala kebalikannya. Misalnya,
disuruh beriman, berarti dilarang kufur. 7. Amr menurut Masanya.
اِذَافُعِلَاْلمَأْمُوْرُبِهِعَلَىوَجْهِهِيَخْرُجُاْلمَأْمُوْرُعَنْعَهْدَةِاْلاَمْرِ
“Apabila dikerjakan yang
diperintahkan itu menurut caranya, terlepas dia dari masa perintah itu”. Misal:
Seseorang yang telah melaksanakan suatu perintah dengan sempurna pada masanya,
maka terlepas dia dari tuntutan pada masa itu. seperti keadaan musafir yang
tidak memperoleh air untuk berwudhu, hendaklah dia bertayamum sebagai pengganti
wudhu.
8. Qadha dengan Perintah yang Baru. اَلْقَضَاءُبِأَمْرٍجَدِيْدًا “Qadha itu dengan perintah yang baru”.
Maksudnya, suatu perbuatan yang tidak dapat dilaksanakan pada waktunya harus
dikerjakan pada waktu yang lain (qadla’).
Pelaksanaan perintah bukan pada waktunya ini
berdasarkan pada perintah baru, bukan perintah yang lama. Misalnya: qadla’
puasa bagi yang mengalami udzur syar’i pada bulan ramadhan, tidak dikerjakan
berdasarkan ayat : كتبعليكمالصيام ... tetapi berdasarkan pada perintah baru,
yaitu firman Allah Swt : ... فعـدةمناياماخر 9. Martabat Amr. اَلْاَمْرُاْلمُتَعَلَّقُعَلَىاْلاِسْمِيَقْتَضِاْلاِقْتِصَارُعَلىَاَوَّلِهِ
“Jika berhubungan dengan nama (isim) adalah
menghendaki akan tersimpannya pada permulaan.” Sependek-pendek masa amr,
apabila dihubungkan dengan hukum menurut pengertian keseluruhannya dalam bentuk
yang berlainan tentang tinggi dan rendah, dipendekkan hukum itu menurut
sekurang-kurangnya martabatnya untuk melaksanakan perintah itu. Misalnya:
“Perintah melakukan tuma’ninah dalam shalat, dan perintah memerdekakan seorang
budak, tidak memandang harga tapi memandang martabatnya”
. 10. Amr sesudah Larangan. اَلْاَمْرُبَعْدَاْلنَهْيِيُفِيْدُاْلإِبَاحَةَ “Perintah sesudah larangan menunjukkan
kebolehan.” Misalnya : كنتنهيتكمعنزيارةالقبورالافزوروها (رواهمسلم “Dahulu aku melarang kamu menziarahi kubur,
sekarang berziarahlah.” (HR.Muslim) اذاحللتمفاصطادوا
(المئدة :۲ “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
haji, berburulah.” (QS.al-Maidah :
2) Berdasarkan dua uraian tersebur,
dapat dijelaskan bahwa perintah setelah larangan itu hukumnya mubah tidak
wajib, seperti berziarah kubur dan berburu setelah haji. Perbuatan yang lebih
mudah dimengerti ialah perbuatan yang diperbolehkan, seperti pada awalnya Nabi
melarang menziarahi kubur, maka sekarang diperbolehkan. Kalimat amr ini tidak
menunjukkan kewajiban tetapi menunjukkan hukum boleh (ibahah), sabda Nabi Saw :
عَنْعَبْدِاللَّهِبْنِبُرَيْدَةَعَنْأَبِيهِقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَنَهَيْتُكُمْعَنْزِيَارَةِالْقُبُورِفَزُورُوهَا
Abdullah bin Buraidah dari ayahnya
dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Aku pernah melarang kalian
berziarah kubur, sekarang berziarahlah." (HR. Muslim)
. Pengertian Nahyu
[13]Secara etimologi, al-Nahyu
berasal dari bahasa arab (النهي ) yang artinya mencegah atau melarang.
Adapun menurut syara’ ialah:
طلبالتركمنالاعلىالىالادنى
“Memerintah meninggalkan sesuatu dari orang yang lebih tinggi
tingkatannya kepada orang yang lebih rendah tingkatannya”
Menurut ulama ushul, definisi nahyu adalah kebalikan dari amr,
yakni lafaz yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari atasan
kepada bawahan.
B. Shighat al-Nahyu
[14]Shighat al-Nahyu merupakan tuntutan yang berisi larangan, maka
bagian ini akan diuraikan berbagai macam shighat al-Nahi.Adapun bentuk shighat
al-Nahi itu adalah:
1. Fi’il Mudhari’ yang dihubungkan dengan لاناهيه
yaitu yang menunjukkan larangan atau menyatakan tidak boleh
melakukan perbuatan.sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152:
وَلَاتَقْرَبُوامَالَالْيَتِيمِإِلَّابِالَّتِيهِيَأَحْسَنُحَتَّىٰيَبْلُغَأَشُدَّهُ
ۖ
“Dan janganlah kamu dekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia
dewasa”.
2. Kata yang berbentuk perintah untuk meninggalkan suatu
perbuatan.Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Hajj:30
فَاجْتَنِبُواالرِّجْسَمِنَالْأَوْثَانِوَاجْتَنِبُواقَوْلَالزُّورِ
“Maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta.”(Q.S.al-Hajj:30)
3. Menggunakan kata (نهي) itu sendiri dalam kalimat.sebagaimana dalam
firman Allah
إِنَّاللَّهَيَأْمُرُبِالْعَدْلِوَالْإِحْسَانِوَإِيتَاءِذِيالْقُرْبَىٰوَيَنْهَىٰعَنِالْفَحْشَاءِوَالْمُنْكَرِوَالْبَغْيِ
ۚ يَعِظُكُمْلَعَلَّكُمْتَذَكَّرُونَ.
“Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan
Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(QS.al-Nahl: 90)[15]
4. Jumlah Khabariyah, yaitu kalimat berita yang digunakan untuk
menunjukkan larangan dengan cara pengharaman sesuatu atau menyatakan tidak
halalnya sesuatu.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَايَحِلُّلَكُمْأَنْتَرِثُواالنِّسَاءَكَرْهًا
“ Hai
orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan
paksa”( Q.S. an-Nisa’ : 19)
[16]Dari keempat macam bentuk yang telah disebutkan di atas, merupakan
shighat al-Nahyu yang dapat digolongkan kepada larangan.Akan tetapi, menurut
Mustafa Said al-Khin,bahwa shighat al-Nahyu yang sebenarnya adalah fi’il
mudhari’, yang dimasuki atau yang dihubungkan dengan ( لاناهيه).
Pada dasarnya,terdapat keempat shighat al-Nahyu yang telah
disebutkan di atas tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul
fiqih.
C. Macam-macam Makna Nahyu
Nahyu pada dasarnya ialah untuk menunjukkan haram, tetapi dalam
pemakaian bahasa arab, kadang-kadang bentuk nahi di gunakan untuk beberapa
arti(maksud) yang bukan asli, yang maksudnya dapat di ketahui dari susunan
perkataan itu, yang antara lain:
a. Untuk menunjukkan
makruh للكراهة
لاتصلوافياعطانالابل
Artinya: “janganlah mengerjakan shalat di tempat peristirahatan
unta” (H.R. Ahmad dan Turmidzi).
Larangan dalam hadits tersebut di atas untuk menunjukkan makruh,
karena kurang bersih, walaupun suci.
b. Untuk do’a للدعاء
رَبَّنَالَاتُؤَاخِذْنَاإِنْنَسِينَاأَوْأَخْطَأْنَا
Artinya: “Ya Tuhan kami! janganlah engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami bersalah.”(QS. Al-Baqarah: 386)
Perkataan “janganlah engkau hukum kami....” bukan menunjukkan
larangan, sebab manusia tidak berhak melarang Tuhan, karena manusia di bawah
kekuasaan-Nya, tetapi perkataan itu menunjukkan permohonan sebagai do’a kepada
Allah SWT.
c. Untuk memberikan
pelajaran للارشاد
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَسْأَلُواعَنْأَشْيَاءَإِنْتُبْدَلَكُمْتَسُؤْكُمْوَإِنْتَسْأَلُواعَنْهَاحِينَيُنَزَّلُالْقُرْآنُتُبْدَلَكُمْعَفَااللَّهُعَنْهَاوَاللَّهُغَفُورٌحَلِيمٌ
Artinya: “jangan lah kamu menanyakan (kepada nabimu) hal-hal yang
jika di terangkan kepadamu niscaya menyusahkan kamu” (QS. Al-maidah: 101).[17]
Larangan ini sebagai pelajaran, agar kita jangan selalu menanyakan
sesuatu yang akan merugikan diri kita sendiri, terutama hal-hal yang menyangkut perhubungan antar manusia.
d. Untuk memutus-asakan للتيئيس
يَاأَيُّهَاالَّذِينَكَفَرُوالَاتَعْتَذِرُواالْيَوْمَإِنَّمَاتُجْزَوْنَمَاكُنْتُمْتَعْمَلُونَ
Artinya: “janganlah engkau membela diri pada hari ini (hari
kiamat)” (QS. At-Tahrim: 07)
Untuk memutus-asakan mereka, bahwa pada hari kiamat tidak ada
gunanya lagi mengadakan pembelaan; tidak dapat di harapkan lagi untuk
memperoleh ampunan karena pada hari kiamat pintu taubat sudah di tutup.
e. Untuk menghibur للائتناس
لَاتَحْزَنْإِنَّاللَّهَمَعَنَا
Artinya: “janganlah engkau berduka (karena) sesungguhnya Allah
bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
Sewaktu Nabi Muhammad SAW. bersama sahabat beliau Abu Bakar
bersembunyi di gua Tsaur, datang kaum kafir Quraisy hingga Abu Bakar takut,
kemudian Nabi SAW. menghiburnya, “janganlah engkau bersusah (khawatir) karena
Allah bersama kita”.
f. Untuk ancaman للتهديد
Ucapan majikan kepada pelayan:
لاتطعامري
Artinya:" tak usah
engkau turuti perintah ini”
Yang dimaksud bukan melarang, tetapi menggertak kepadanya agar iya
takut.
D. Qaidah-qaidah an-nahyu
§ Nahyu menunjukkan kepada haram
اَلْاَصْلُفِىالنَّهْيِلِلتَّحْرِيْمِ
“Asal
pada larangan untuk haram”
[18]Menurut kepada pemikiran tiap-tiap masalah yang sunyi daripada
qarenah yang menunjukkan kepada larangan mengandung akan arti yang hakiki yaitu
haram.
Contohnya: seperti firman Allah SWT:
وَلَاتَقْرَبُواالزِّنَى
“Dan
janganlah kamu dekati zina”.
Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari
qarenah, menunjukkan kepada haqiqat larangan yang mutlak. Dan jika kalimat itu
mempunyai qarenah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman Allah
SWT.
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالَاتَقْرَبُواالصَّلَاةَوَأَنْتُمْسُكَارَىٰ
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu kerjakan
shalat dalam keadaan mabuk” (QS. An-Nisa: 43)
§ Nahyu menunjukkan larangan sesuatu, suruhan
bagi lawannya
اَلنَّهْيُعَنِالشَّىْءِاَمْرٌبِضِدِّهِ
“Dilarang
dari sesuatu, disuruh dengan lawannya”
Contohnya: dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh
mengerjakannya.
Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau
dikerjakan dihukum menutut hakikatnya (haram), mesti disuruh menghentikannya,
seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu di suruh mengerjakannya.
§ Nahyumenunjukkan larangan yang mutlak
اَلنَّهْيُاْلُمطْلَقُيَقْتَضِىالدَّوَامَفِىجَمِيْعِاْلاَزْمِنَةِ
“Larangan
yang mutlak menghendaki berbekalan dalam sepanjang masa”
Dalam suatu larangan yang berbentuk mutlak, baik membawa
kebinasaaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila di
jauhi yang membinasakan itu selama-lamanya.seperti: perkataan seorang bapak
kepada anaknya ‘jangan kamu dekati singa’, maka anak itu disuruh menjauhi
binatang tersebut selama-lamanya karena untuk melepaskan diri dari kebinasaan.
§ Nahyu menunjukkan larangan dalam beribadah
اَلنَّهْيُيَدُلُّعَلَىفَسَادِاْلُمنْهِيِّعَنْهُفِىعِبَادَاتِ
“Larangan
menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadah”
Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan
ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi larangan. Kalau seorang
umpamanya mengerjakan apa yang di larang, berarti ia melanggar apa yang
diperintahkan. Orang yang melanggar perintah masih dituntut untuk
mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakannya berarti dia belum bebas dari
suatu perbuatan, oleh sebab itu harus mengulangi ibadatnya misalnya: wanita
yang sedang haidh dilarang mengerjakan shalat dan puasa, berarti dituntut untuk
mengerjakannya apabila telah suci.[19]
§ Nahyu menunjukkan larangan dalam mu’amalah
اَلنَّهْىُيَدُلُّعَلَىفَسَادِاْلُمنْهِيِّعَنْهُفِىاْلعُقُوْدِ
“Larangan
yang menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber’akad”
Apabila larangan itu kembali kepada aqad itu sendiri bukan kepada
yang lain, seperti: dilarang menjual anak hewan yang masih di dalam kandungan
ibunya, berarti akad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan
itu belum jelas dan belum memenuhi rukun jual beli, antara lain:
a) adanya dua orang yang
berakad (penjual & pembeli),
b) sighat (lafadz) jual
beli dan
c) ada barang yang
diperjual belikan.
Rasulullah SAW bersabda:
نَهَىالنَّبِيُّصلىاللهعليهوسلمعَنْبَيْعِاْلَملَاقِيْحِ
“Melarang
Nabi SAW memperjualbelikan anak dalam kandungan ibunya”.
Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jula beli, seperti jual
beli waktu panggilan shalat Jum’at, karena melalaikan untuk besegera
mengerjakan shalat Jum’at. Firman Allah SWT:
اِذَانُوْدِيَلِلصَّلاَةِمِنْيَوْمِاْلجُمُعَةِفَاسْعَوْاإِلَىذِكْرِاللهِوَذَرُوااْلبَيْعَ
“Apabila
kamu dipanggil untuk mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, hendaklah
bersegera mengingat Allah (pergi shalat Jum’at) dan tinggalkan jual beli”.
DAFTAR PUSTAKA
Beik, Muhammad Khudari. Ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari,
Riyadh: Dar al-Salam, 1997.
al-Qur`an al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain,
2010.
al-Qusyairi, Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim,
Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
al-Sun`i, Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma
Ijabah al-Sa`il bi Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr,
2001.
Hasbalah, Ali. Ushul al-Tasyri` al-Islami, Kairo : Dar al-Maarif,
1997.
an-Nasa`i, Ahmad bin Syuaib, Sunan an-Nasa`i : Riyadh: Maktabah
al-Muayyid, 1992.
Zaidan, Abd
al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1987.
Syafe'i Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
Hanafi. 1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
Zahrah
Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
Syafi’I, Rahmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung.
Romli, Muqaranah Mazahib Fil Ushul.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Moh Rifa’i, 1994, Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
Nazar Bakri,
1993, Fiqh Dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Catatan:
“SELAMAT” artikel
Anda mempunyai similarity 73%, terlihat dari model makalahnya juga siapapun
sudah bisa menerka bahwa makalah ini copy-paste.
[1]Beik,
Muhammad Khudari. Ushul Fiqh, Beirut : Dar al-Fikr, 1988.
[2]al-Bukhari,
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari, Riyadh: Dar al-Salam,
1997.
[3]al-Qur`an
al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
[4]al-Qusyairi,
Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
[5]al-Sun`i,
Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi
Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
[6]al-Qur`an
al-Karim. al-Madinah al-Munawwarah : Khadim al-Haramain, 2010.
[7]al-Qusyairi,
Abu al-Husain Muslim bin Hajjaj. Shahih al-Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
[8]al-Sun`i,
Muhammad bin Ismail al-Amiri. Ushul al-Fiqh al-Musamma Ijabah al-Sa`il bi
Ghayati al-Amil, Beirut : Muassasah al-Risalah, tt.
[9]al-Zuhaili,
Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.
[10]Hasbalah,
Ali. Ushul al-Tasyri` al-Islami, Kairo : Dar al-Maarif, 1997.
[11]an-Nasa`i,
Ahmad bin Syuaib, Sunan an-Nasa`i : Riyadh: Maktabah al-Muayyid, 1992.
[12]Moh
Rifa’i, 1994, Ushul Fiqih. Bandung: PT Al-Ma’arif.
[13]Zaidan,
Abd al-Karim. al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Beirut : Muassasah al-Risalah, 1987.
[14]Syafe'i
Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih: Bandung: CV Pustaka Setia.
[15]Hanafi.
1989. Ushul Fiqih. Jakarta: Widjaya.
[16]Zahrah
Muhammad. 1999. Ushul Fiqih. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.
[17]Nazar
Bakri, 1993, Fiqh Dan Ushul Fiqh , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
[18]Syafi’I,
Rahmat, 1999, Ilmu Ushul Fiqih. Pustaka Setia: Bandung.
[19]Romli,
Muqaranah Mazahib Fil Ushul.Jakarta: Gaya Media Pratama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar