QAIDAH FIQHIYYAH (QAIDAH ASASIYYAH)
Maryam
Murobbiyatul Faqihah, Faizah Khasanah, Sugeng Ulil Wafai
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
E-mail
: sugengulilwafai15@gmail.com
Abstract
Qawaid Fiqhiyah
is a series of rules that include a set of syara laws from the various chapters
that are bound by the illatical similarities among them. The early history of
the establishment of qawaid fiqhiyyah which, all the science of syar'i started
since the time of the Prophet because it was the time that the revelation and
tasyri '. Then some researchers explain the history of the juristic rule by
determining its periodization into three parts: the age of growth and
formation, the age of development and codification, the age of maturity and
perfection. It is called the core principle because, in this rule, it covers
all the rules that exist in the jurisprudence rules, where all rules are based
on the core rules and rules of Asasiyyah are covered in the core rules.
Assaiyyah's rule is the basis of five principles. In this journal will be
discussed about understanding, history and Qaidah Asasiyyah in more detail as a
source of law that exists in Islam.
Keywords: Understanding, History and Qaidah
Asasiyyah
Abstrak
Qawaid Fiqhiyah
merupakan serangkain kaidah yang mencakup sekumpulan hukum-hukum syara dari berbagai
bab yang diikat oleh kesamaan illat diatara hukum-hukum itu. Sejarah awal
terbentuknya qawaid fiqhiyyah yang mana, semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak
zaman Rasulullah karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri. Kemudian
beberapa peneliti menjelaskan sejarah kaidah fikih dengan menentukan
periodesasinya menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dan pembentukan, zaman
perkembangan dan kodifikasi, zaman kematangan dan penyempurnaan. Disebut kaidah
inti sebab, di dalam kaidah ini mencangkup keseluruhan kaidah-kaidah yang ada
dalam kaidah fiqih, dimana semua kaidah tersebut berinduk pada kaidah inti dan
kaidah Asasiyyah tercakup didalam kaidah inti tersebut. Kaidah Assaiyyah
merupakan dasar yang terdiri dari lima asas. Dalam jurnal ini akan dibahas
mengenai pengertian, sejarah dan Qaidah Asasiyyah secara lebih detail sebagai
Qaidah Fiqhiyyah yang ada dalam Islam.
Kata Kunci: Pengertian, Sejarah dan Qaidah Asasiyyah
A. Pendahuluan
Sebagai
umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah-masalah baru yang tidak terdapat
penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga para ahli hukum Islam
harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa
mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara acak, tetapi selalu berpegang kepada
dasar-dasar umum yang terdapat dalam kitab suci itu sehingga hukum-hukum yang
mereka rumuskan melalui ijtihad itu tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar
umum tersebut.
Untuk
menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hokum-hukumnya di dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para ahli hukum Islam (fuqaha) berupaya
memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan menggunakan ijtihad. Namun ijtihad
itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Dikatakan demikian, karena
ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara mengkiaskan kepada yang sudah ada di
dalam al-Qur’an dan as-sunnah, menggalinya dari aturan-aturan umum (al-qawanin
al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al mabadi’ al-kulliyah) yang
terdapat dalam al-Qur’an dan as-sunnah dan menyesuaikannya dengan maksud dan
tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an
dan as-Sunnah.
Al-Qur’an
dan as- Sunnah yang menjadi sandaran utama pengambilan hukum perlu
diinterpretasikan mengingat tidak semua perkara disebutkan secara spesifik
hukumnya dalam lafadz nushus. Hingga muncullah disiplin ilmu dalam berijtihad,
yang seiring berjalannya waktu disiplin ini hadir agar tidak semua orang
menginterpretasi nushus dengan caranya sendiri. Ada rambu-rambu yang tersusun
dan terkemas dalam ilmu ushul fiqh yang dijadikan landasan para ulama untuk
melakukan ijtihad dan pengambilan istinbath ahkam. Dari sekian banyak metode
yang dikeluarkan dalam bidang ilmu ini, ada sekumpulan prinsip-prinsip umum
yang merangkum hukum-hukum syara’ yang umum, yang dapat dikorelasikan dengan
masalah-masalah kontemporer, prinsip-prinsip tersebut dibungkus dalam kemasan
ilmu bernama al-qawaid al-fiqhiyyah.
Kemudian
ketika umat islam sudah bisa memahami qaidah fiqhiyyah secara utuh, tidak ada
lagi yang dipersoalkan tentang perbedaan-perbedan yang ada di dalam umat islam
dari segi bagaimana setiap umat islam memahami isalam itu sendiri menggunakan
pemahamanya masing-masing yang pemahamanya nya itu, merujuk pada Al-Qur’an dan
as-Sunnah. Sehingga sudah tidak ada lagi saling meyalahkan antara
umat islam yang satu dengan yang lainnya.
B. Pembahasan Pengertian Qaidah Fiqhiyyah (Qaidah Asasiyyah)
1. Pengertian Qaidah Fiqhiyah
Secara
etimologi “Kaidah Fiqhiyah” berasal dari kata “Qawaid” dan “Fiqhiyah”, “Qawaid”
merupakan bentuk jamak dari “kaidah” yang berarti “dasar”, “asas” dan pokok (اساس الشئ ؤاصؤ له).
Qawa’id Fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah dasr-dasar yang bertalian
dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum (fiqih).[1]
Menurut
istilah ahli ushul, yang biasa dipakai oleh kebanyakan ulama Qawa’id Fiqhiyah
ialah: حكم كلي ينطبق على جميع جز ئياته “Hukum yang biasa berlaku yang bersesuain
dengan sebagian besar bagian-bagian nya”. Sedangkan menurut istilah lughah,
ulama ushul dan lain-lain adalah: امر كلي ينطبق على
جميع جزئياته “Sesuatu yang
bersifat umum mencakup seluruh bagian-bagiannya”. Sedangkan menurut ulama ushul
fiqih, kaidah fiqhiyah adalah: امر كلي ينطبق عليها
جزئيات كثيرة “Sesuatu yang
bersifat umum yang mencakup bagian-bagian yang banyak”.[2]
Perbedaan
istilah diatas mengandung pengertian bahwa dalam kajian kaidah fiqhiyah tidak
mencakup seluruh bagian-bagiannya, karena ada bagian yang dikecualikan
(istisna’I). Sedangkan dalam kajian lughah dan ushul fiqih, kaidah berlaku
untuk seluruh bagian-bagiannya seperti ilmu nahu setiap mubtada ‘marfu’ dan
dalam ilmu ushul fiqih al-ashlu fi al-amri li al wujub.
Dengan
demikian qawaidul fiqhiyah adalah: “Sesuatu yang bersifat umum yang dapat
mencakup bagian yang banyak, yang dapat diketahui hukum (Furu’ Fiqih yang
dicakupnya itu) dari (kaidah fiqih yang umum) tersebut.” (Tajudin Al-Subki).
Sedangkan
menurut Ali-Ahmad an-Nadwi: “Hukum syara’ dalam ketentuan yang belaku pada
kebanyakan (bagian-bagiannya) yang dapat di ketahui darinya hukum-hukum yang
termasuk dibawahnya”.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa Qawaid Fiqhiyah adalah kaidah yang mencakup
sekumpulan hukum-hukum syara dari berbagai bab yang diikat oleh kesamaan illat
diatara hukum-hukum itu.
2. Ta’rif
Qiwaidil
Fiqhi ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari
dalil-dalil kully (yaitu ayat dan hadits yang menjadi pokok kaidah-kaidah
kulliyah yang dapat disesuaikan dengan berbagai juziyah) dan dari maksud-maksud
syara’ dalam meletakan mukallaf dibawah beban taklif dan dari memahamkan
rahasia-rahasia tasyri’dan hikmah-hikmah nya.[3]
Asrarut
Tasyri’ (rahasia-rahasia tasyri’) ialah ilmu (kaidah-kaidah) yang menerangkan
bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum, kemuslihatan hamba dan
menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara:
a. Agama
b. Jiwa
c. Akal
d. Keturunan,
dan
e. Harta
Yang
dikatakan atau dinamai dasar-dasar terpokok atau kulliyah lima (panca tujuan). Pemulaan
ulama yang memberikan perhatian yang penuh menjelaskan rahasia-rahasia
tasyri’, sebagai yang telah dijelaskan ialah; Imam Syathibi dalam kitabnya; Al
muwafaqat.
1. Sifat
Qaidah Fiqhiyah
Imam
Syathib berpendapat bahwa qaidah-qaidah fiqhiyah tersebut harus bersifat
qath’iyah dan keqath’iyahan nya tidak dapat diambil dari hanya satu dalil,
tetapi harus diambil dari pemeriksaan sejumlah dalil yang menunjukan kepada
suatu pengertian dan berlawanan dengan dalil dasar (Al-Qur’an dan Sunnah).
2. Syari’ah
dan Fiqih
Pengertian
Syari’at mencakup segala peraturan yang di syari’atkan Allah untuk para
hambanya, baik mengenai hidup aqidah, akhlak, maupun mengenai bidang hukum yang
amali yang berpautan dengan usaha para mukallaf.
Syari’at
asalnya bermakna jalan yang lempang, atau jalan-jalan yang dilalui air terjun.
Para fuqaha memakai kata syari’at sebagai nama hukum bagi jalan yang dilalui
air terjun.para fuqaha memakai kata syari’at sebagai nama bagi hukum yang
ditetapkan Allah untuk para hambanya dengan perantaraan Rasulullah supaya para
hamba Nya melaksanakan dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai amaliyah
lahiriyah, maupun yang mengenai akhlak dan aqaid kepercayaan yang bersifat
bathiniyah.
Akan
tetapi jumhur mutaakhkhirin (golongan ulama yang muncul sesudah abad ke-3
Hijriyah), memakai kata syari’at untuk nama hukum fiqh atau hukum islam, yang
berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Atas dasar inilah timbul istilah
“Islam itu adalah Aqidah dan Syari’ah”.
Kata
syari’at pernah pula dipergunakan dengan arti kanun, sedang kanun dapat dipakai
dalam arti:
a.
Code atau codese
b.
Jus, law, droit recht
c.
Kaidah-kaidah muamalah, atau lex,
a law, loi gezet.
Kata
kanun sekarang di Barat dipakai dalam arti syari’at gereja (lihat ensiclopedia
of Islam). Kata Kanun berasal dari bahasa Yunani, kemudian masuk ke dalam
bahasa suryani. Pada mulanya dipakai dalam arti “garisan”, kemudian
dipakai dalam arti kaidah, kanun, hingga ada istilah kanun kesehatan, kanun
tabi’at. Kanun dalam arti kaidah tidak sama dengan arti
“kaidah Fiqhi”, karna kaidah fiqh mencakup bagian ibadah dan muamalah.
3.
Perbedaan
Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqhiyah
Perbedaan
Ushul Fiqih dan Qawa’id Fiqhiyah adalah:[4]
a. Ushul
Fiqih adalah metode dan langkah-langkah yang dipergunakan untuk istinbath
hukum, ia berada diantara dalil dan hukum-hukum fiqih, yaitu yang digunakan
dalam meng-istinbath hukum dari dalil terperinci yang objek nya
senantiasa dalil dan hukum, sedang Qawa’id Fiqhiyah adalah ketentuan
umum yang mencakup sebagai masalah fiqih, sedangkan objeknya adalah perbuatan
mukalaf.
b. Kaidah
ushuliyah mencakup seluruh bagian-bagian dan objek-objeknya, sedangkan kaidah fiqhiyah
hanya mencukup sebagian besar bagian-bagiannya.
Kaidah
ushuliyah merupakan mediator untuk meng-istinbathkan hukum syara’ amaliyah,
sedangkan kaidah fiqhiyah adalah kumpulan hukum-hukum yang merupakan diikat
oleh kesamaan ‘illat atau kaidah fiqhiyah yang mencakupnya dan tujuannya
taqribu al-masa’il -alfiqihiyahwa tashiliha.
4.
Manfaat
Kaidah Fiqh
Kaidah-kaidah
fiqh (Qawa’id al-Fiqh) ini adalah sangat penting di dalam ilmu fiqh.
Kepentingan kaidah fiqh ini antara lain:[5]
a. Dengan
mengetahui kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umu fiqh.
Sebab dengan kaidah-kaidah fiqh itu berkaitan materi fiqh yang banyak sekali
jumlahnya. Dengan kaidah fiqh kita mengetahui benang merah yang mewarnai fiqh
dan menjadi titik temu dari maslah-masalah fiqh.
b. Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi yaitu dengan memasukannya atau meng-golongkannya
kepada salah satu kaidah fiqh yang ada.
c. Dengan
kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan
tempat yang berbeda, untuk keadaan, dan adat yang berlainan.
d. Meskipun
kaidah-kaidah fiqh itu merupakan teori-teori fiqh yang menciptakan oleh ulama,
tetapi kaidah-kaidah fiqh yang sudah mapan asalnya dari dalil-dalil qully yang
ada di dalam al-qur’an atau al-sunnah. Dilihat dari sisi penggunaan kaidah fiqh
yang sudah mapan sebenernya mengikuti al-qur’an dan al-sunnah, meskipun dengan
cara yang tidak langsung.
Kemudian
daripada itu kaidah-kaidah fiqh ini bersifat umum, maka harus benar-benar
diperhatikan kekecualian-kekecualian, kekhususan-kekhususan, dan syarat-syarat
penggunaannya. Seperti sejauh mana ruang lingkup kaidah tersebut, materi-materi
fiqh yang mana yang masuk ruang lingkup kaidah tersebut, dan materi-materi fiqh
yang mana ada di luar lingkupnya. Dengan demikian, menggunakan kaidah fiqh
haruslah sangat hati-hati dan teliti.
C.
Sejarah dan Perkembangan Qaidah Fiqhiyyah
Sejarah semua ilmu-ilmu syar’i dimulai sejak zaman
Rasulullah karena memang zaman itulah zaman turunnya wahyu dan tasyri’. Beberapa
peneliti menjelaskan sejarah kaidah fikih dengan menentukan periodesasinya
menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dan pembentukan, zaman perkembangan dan
kodifikasi, zaman kematangan dan penyempurnaan. Dengan demikian, fase-fase
tersebut beserta ciri-ciri khususnya akan dijelaskan pada bagian berikut.
1.
Fase Pertumbuhan dan Pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan kaidah fikih berlangsung selama tiga
abad lebih. Pada fase ini dapat dibagi menjadi tiga dekade yaitu a) zaman Nabi
Muhammad saw yang berlangsung selama 22 tahun lebih (610 -632 M/ 12 SH-10 H)
dan zaman tabiit tabiin yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 M/ 100-351
H. tahun 351 H/ 974 M dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi
ulama pendiri mazhab selain Ibnu Jarir at-Thabari.
Kaidah fikih telah terbentuk sejak zaman Rasulullah masih hidup, namun
pada saat itu belum ditetapkan sebagai suatu disiplin ilmu. Kaidah fikih pada
zaman Rasulullah dimulai dengan adanya beberapa ayat dan hadits Rasulullah yang
dianggap sebagai sebuah kaidah yang telah mencakup banyak permasalahan fikih. [6]
Adapun ayat Al-Qur’an yang menjadi contoh:
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ
ٱلرِّبَوٰاْ لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ ٱلَّذِي يَتَخَبَّطُهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ
مِنَ ٱلۡمَسِّۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ قَالُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡبَيۡعُ مِثۡلُ ٱلرِّبَوٰاْۗ
وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ
مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ
عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ ٢٧٥
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”. (QS. Al-Baqarah: 275)
Banyak pula hadits yang dianggap sebagai bukti yang
posisinya dianggap sebagai ketentuan hukum yang dapat mencakup berbagai macam
persoalan furu’iyah sebagaimana yang dikehendaki dari definisi kaidah fikih itu
sendiri. Beberapa hadits yang dijadikan landasan adalah Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Malik bin Anas.
اَلْخَرَجُ باِلضَماَنِ
Artinya: “Pajak
itu disertai imbalan jaminan”. HR. Imam Syafi’I, Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Ibnu
Majah dan Ibnu Hibban dari ‘Aisyah
لَاضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “Tidak boleh menyulitkan orang lain dan tidak dipersuliat oleh
orang lain”.
اَلْبَيِّنَةُ
عَلىَ المَدْعىِ والْيَمِيْنِ وَعَلىَ مِنْ اِنْكَرَ
Disamping hadits, ditemukan pula atsar (pendapat
sahabat) yang dapat dijadikan kaidah fikih contohnya adalah yang dikatakan Umar
bin Khattab
مَقاَطِعُ الْحُقُوْقِ عِنْدَ الْشُّرُوطِ
Artinya: “Putusan hak itu tergantung pada syarat yang telah diperbuat”.
Maka kaidah tersebut menjadi salah satu contoh sebagai
aplikasi anatara hak dan kewajiban yang melekat dalam individu, seperti halnya
anatar lingkungan keluarga ketika seorang suami memiliki kewajiban untuk
memberi nafkah lahir dan batin, maka ia berhak pula mendapatkan haknya sebagai
seorang suami untuk ditaati dan dipatuhi oleh seorang istri.[7]
مَنْ ضَمَنَ ماَلاً فَلَهُ رِبْحُهُ
Artinya:“Orang yang menanggung suatu harta benda, baginya mendapatkan
suatu keberadaannya”.
Hal ini sesuai
dengan pernyataan Ibnu Abbas sebagai berikut: “Segala sesuatu dalam Al-Qur’an
yang menggunakan kata au (artinya atau) itu berarti menunjukkan untuk memilih. Dan
segala sesuatu yang mempergunakannya jika kamu tidak menemukan berarti hukumnya
harus berurutan”.
Qadli al-Syuraih termasuk kelompok tabiin memberi
komentar sebagai berikut: ”Sesuatu yang disyaratkan atas dirinya secara taat
tanpa ada paksaan, maka sesuatu tersebut mengikat atas dirinya”. [8]
Maka kaidah tersebut menjadi salah satu contoh sebagai
aplikasi dari kaidah diatas adalah firman Allah
لِّلَّهِ مَا فِي
ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِي ٱلۡأَرۡضِۗ وَإِن تُبۡدُواْ مَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ أَوۡ
تُخۡفُوهُ يُحَاسِبۡكُم بِهِ ٱللَّهُۖ فَيَغۡفِرُ لِمَن يَشَآءُ وَيُعَذِّبُ مَن
يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٢٨٤
Artinya: “Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang
ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu
menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa
siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS.
Al-Baqarah: 284)
Sehingga kita berpendapat bahwa sebab dibolehkannya
meninggalkan kewajiban puasa ramadhan bagi orang yang sakit dan melakukan
perjalanan dikarenakan ada kata aw yang menunjukkan sebagai pilihan.[9]
Setelah disusunnya beberapa kaidah oleh beberapa
sahabat. Setelah generasi pertama paaca Nabi Muhammad adalah generasi tabi’in. Ulama
tersebut ialah Abu Yusuf Ibn Ibrahim dengan karyanya yang terkenal kitab
al-Kharaj. Kaidah yang disusunnya ialah:
كُلُّ مَنْ مَتَ مِنَ الْمُسْلِمِنَ وَلاَ وَارِثُ لَهُ
فَماَ لَهُ لِبَيْتُ الْماَلِ
Artinya:“Harta setiap meninggal yang tidak memiliki ahli waris
diserahkan ke baitul Mal”.
Kemudian pada perkembangan selanjutnya kaidah fikih
tertuang secara berserakan di berbagai kitab-kitab fikih, dan berkembang pesat
dalam lingkungan peradilan, dan berkembang hingga tertuang didalam kitab Imam
Asy-Syafi’I al-Umm juz 1, yang mana keberadaannya berupa suatu ketentuan
fur’iyah yang diikutsertakan pula didalamnya ushuliyahnya padahal umumnya ushul
itu merupakan dhawabith fiqhiyyah bukan qawa’id fiqhiyah.[10]
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa akidah fikih
telah mampu dilacak kebberadaannya pada zaman ini, diindikasikan dengan adanya
hadis, atsar dan qaul dan terdapat di berbagai kitab yang mana kitab tersebut
dijadikan acuan untuk pembentuka kaidah fikih pada fase selanjutnya untuk
disempurnakan kembali.[11]
2.
Fase Perkembangan dan Modifikasi
Periode ke-2 pada perkembangan kaidah fikih dimulai sejak abad ke-4
hijriyah, dan dikenal sebagai zaman taqlid. Pada masa ini terjadinya kompilasi
hukum islam di masa kerajaan Turki Utsmani dan para imam mazhabiyah melakukan
tarjih atas pendapat imamnya masing-masing.[12]
Pada periode ini fikih dikembangkan dengan cara tandzir dan isytibah
(dipilah, fikih dikembangkan kemudian ulama melakukan cara-cara baru dalam ilmu
fikih yang disebut qowaid, dhawabith, atau al-faruq. Mazhab
Hanafi dikenal sebagai aliran pertama yang memperkenalkan ilmu ini.
Dalam riwayat al-Ala’i al-Syafi’I menyebutkan bahwa Abu Thahir
al-Dabbas-ulama adab IV H- telah mengumpulkan 17 kaidah penting dalam mazhab
Hanafi. Kemudian ada pula ulama
Al-Karkhi yang hidup sezaman dengan Abu Thahir al-Dabbas yang telah mangadopsi kaidah dan
mengumpulkannnya menjadi 37 kaidah dan telah dibukukan dalm kitab Ushul
al-Kharkhi. Selain itu ada pula ada kitab kaidah fikih yang disusun oleh
Muhammad Ibn Harits al Husyni al-Maliki dengan memuat lebih banyak kaidah
penting dalam mazhab maliki.[13]
Pada abad ke-4 hijriyah dianggap sebagai awal zaman kodifikasi kaidah
fikih, dikatakan oleh Ali Ahmad al-Nadawibahwa buku yang membahas kaidah fikih
secara khusus muncul pada abad ke-5 hijriyah. Dan hanafiyah adalah aliran yang
berjasa besar pada perkembangan kaidah fikih di masa ini.[14]
Pada abad ke-6 hijriyah hanya ditemukan satu buah kitab yang disusun
dalam disiplin ilmu kaidah fikih yaitu Idhah al-Qawaid karya ‘Ala al-Din
Muhammad Ibn Ahmad al-Samarqandi. Pada abad ini yang mendominasi adalah aliran
hanafiyah.[15]
Hingga perkembangan kaidah fikih semakin maju pada abad ke-7 hijriyah
karena muncul tiga kitab kaidah fikih. Maka dengan semakin maju dan
berkembangnya pengkodifikasian kitab kaidah fikih didominasi oleh aliran
As-Syafi’iyah. Pada abad ini ulama menyusun kitab-kitab kaidah fikih sebagai
berikut:
1.
Al-Qawa’id
fi al-Furu’ al-Syafi’iyyat karya Muhammad Ibn Ibrahim al-Jarjani al-Sahlaki
2.
Qawa’id
al-ahkam fi Mashalih al-Anam karya Izz al-Din Ibn ‘Abd al-Salam
3. Al-Mudzhab fi Dhabth Qawa’id al-Madzhab karya Muhammad
Ibn Abd Allah Ibn Rasyid al-Bakri al-Qafsi. [16]
Pada abad ke-8 hijriyah dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi
kaidah fikih, dibuktikan dengan semakin banyak kitab yang masyhur. Pada abad
ini penulis kaidah dari aliran asl-Syafi’I begitu berperan dalam penyusunan
kitab-kitab kaidah fikih. Adapun buku-buku kaidah fikih yang terpenting dan
termasyhur pada zaman ini adalah:
1.
Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Ibn Wakil al-Syati’i
2.
Kitab Al-Qawa’id
karya Maqqari al-Malik
3.
Al-Majmu’
al-Mudzhab fi Dhabh Qawa’id al-Madzhab karya al-Ala’I al-Syafi’i
4.
Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Jamal al-Din al-Subki
5.
Al-Asybah
wa al-Nazha’ir karya Jamal al-Din al-Isnawi
6.
Al-Mantsur
fil al-Qawa’id karya Badr al-Din al-Zarkasyi
7.
Al-Qawa’id
fi al-Fiqh karya Ibn Rajab al-Hambali
8.
Al-Qawa’id
fi al-Furu’ karya Ali’ Ibn Usman al-Gazzi.[17]
Pada abad ke-9 hijriyah tercatat sebagai periode syarh (penjelasan)
karena pada zaman ini muncul Ibn al-Mulaqqin yang mengkodifikasi kaidah fikih
dengan cara menjelaskan kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. Disamping itu,
diikuti pula oleh peneliti lainnya. Pada abad ini ada 6 kitab yang disusun para
fuqoha. Adapun buku-buku kaidah fikih yang terpenting dan termasyhur pada zaman
ini adalah:
1.
Asna
al-Maqasid fi al-Tahrir al-Qawa’id karya Muhammad Ibn Muhammad al-Zubairi
2.
Al-Qawa’id
al-Manzhumat karya Ibn Ha’im al-Maqdisi
3.
Tahrir
Majmu’ al-Mudzhab fi Qawa’id al-Madzhab karya al-‘Ala’i
4.
Kitab
al-Qawa’id karya Taqiy al-Din al-Hishni
5.
Nazhm
al-Dakha’ir fi al-Asybah wa al-Naza’ir
6.
Al-Qawa’id
wa al-Dhawabith karya Ibn ‘Abd al-Hadi.[18]
Pada abad ke-10 hijriyah dianggap sebagai zaman kesempurnaan bagi kaidah
fikih. Pada mas aini muncul Jalaludin as-Suyuti, beliau merangkum kaidah-kaidah
fikih yang dianggap paling penting yang bertebaran dalam kitab-kitab karranga al-‘Ala’I,
al-Subki, dan al-Zarkasy yang kemudian dikumpulkan dalam kitab al-Asybah wa
al-Nazhair yang hingga kini masih dianggap sebagai buku kaidah fikih yang
paling lengkap.[19]
3.
Fase Kematangan dan Penyempurnaan
Aliran hukum
sunni yang berjasa dalam pembentukan kaidah fikih pada zaman pertumbuhan adalah
Hanafiah, ulama yang mepelopori adalah al-Karkhi dan al-Dabusi. Kemudian peran
ini bergeser pada abad ke-6 dan ke-7 hijriyah, namun aliran ini mengalami
stagnasi. Pada zaman ini muncul kitab Syarh Ushlu al-Kharkhi yang disusun oleh
Najm al-Din Abu Hafs al-Nasafi.
Meskipun pada
zaman itu kaidah fikih mengalami stagnasi namun bukan berarti kaidah fikih
tidak menalami perkembangan sama sekali. Pada zaman ini muncul pengikut
Hanafiyah lainnya seperti Qadhi Khan dan Husairi yang menjadikan fikih sebagai
salah satu media dalam menentukan illat dan mentarjih pendapat ulama. Abad ke-7
hijriyah merupakan zaman kejayaan mazhab Syafi’i.
Sekalipun
ditulis sejak lama, kaidah fikih masih bercampur dengan disiplin ilmu-ilmu
lainnya. Oleh karena itu pada abad ke-12 hijriyah muncul Majallat al-Ahkam
al-Adliyyat yang dissun oleh Laznah Fuqaha Usmaniah. Para Fuqaha merangkum dan
memilih kaidah fikih dari sumber-sumbernya seperti al-Asybah wa al-Nazhair
karya Ibn Nujaim dan Majmu’ al-Haqa’iq karya al-Khadimi.
Abad ke-10
hijriyah dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian
tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidan fikih di zaman sesudahnya. Salah satu
kaidah yang disempurnakan ialah yang artinya: “Seseorang tidak dibolehkan
mengelola harta orang lain kecuali ada izin dari pemiliknya”.
Kemudian kaidah
tersebut disemprnakan dengan mengubah kata-kata menjadi yang artinya: “Seseorang
tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada izin”. Kaidah pertama
menunjukkan bahwa izin diperoleh hanya dari pemilikharta sedangakn menurut
kaidah kedua izin boleh dari pemilik benda, syar’, atau al-‘urf. [20]
D. Kaidah-kaidah Fikih yang Asasi
(Al-Qawa’id Al-Asasiyah)
1. Kaidah Inti
Disebut kaidah
inti sebab, di dalam kaidah ini mencangkup keseluruhan kaidah-kaidah yang ada
dalam kaidah fiqih, dimana semua kaidah tersebut berinduk pada kaidah inti
yaitu:
جَلبُ الْمَصَا لح وَدَرْ ءُ الْمَفَا سد
Artinya: “Meraih
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”.
‘Izzuddin
bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al- anam
mengtatakan bahwa seluruh syariah itu adalah maslahat, baik dengan cara menolak
mafsadah atau dengan meraih maslahat. Kerja manusia itu ada yang membawa kepada
maslahat dan ada pula yang menyebabkan mafsadah. Baik maslahat maupun mafsadah,
ada yang untuk kepentingan duniawiyah dan ada yang untuk kepentingan
ukhrawiyah, dan ada juga yang untuk kepentingan duniawiyah sekaligus ukrawiyah.[21]
Seluruh
yang maslahat diperintahkan oleh syariah dan seluruh yang mafsadah dilarang
oleh syariah. Setiap kemaslahatan memiliki tingkatan-tingkatan tertentu tentang
kebaikan dan manfaatnya serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki
tingkatan-tingkatannya dalam keburukan dan kemudharatannya.
Kemaslahatan
dilihat dari sisi syariah bisa dibagi menjadi tiga, ada yang wajib
melaksanakannya, ada yang sunnah melaksanakannya, dan ada pula yang mubah melaksanakannya.
Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram melaksanakannya dan ada yang makruh
melaksanakannya.
Apabila
diantara yang maslahat itu banyak dan harus dilakukan salah satunya pada waktu
yang sama, maka lebih baik dipilih yang paling maslahat:
Hal ini sesuai
dengan Al-Qur’an, yaitu:
وَٱتَّبِعُوٓاْ أَحۡسَنَ مَآ أُنزِلَ
إِلَيۡكُم مِّن رَّبِّكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَكُمُ ٱلۡعَذَابُ بَغۡتَةٗ
وَأَنتُمۡ لَا تَشۡعُرُونَ ٥٥
Artinya: “Dan
ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum
datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya”. (Q.S.
Az-Zummar: 55)
Serta Firman
Allah SWT lainnya:
وَكَتَبۡنَا لَهُۥ فِي ٱلۡأَلۡوَاحِ مِن
كُلِّ شَيۡءٖ مَّوۡعِظَةٗ وَتَفۡصِيلٗا لِّكُلِّ شَيۡءٖ فَخُذۡهَا بِقُوَّةٖ وَأۡمُرۡ
قَوۡمَكَ يَأۡخُذُواْ بِأَحۡسَنِهَاۚ سَأُوْرِيكُمۡ دَارَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ١٤٥
Artinya: “Dan
telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai
pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman):
"Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang kepada
(perintah-perintahnya) dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan
kepadamu negeri orang-orang yang fasik.” (Q.S.al-A’raaf: 145)
Demikian
pula sebaliknya apabila menghadapi mafsadah pada waktu yang sama, maka harus
didahulukan mafsadah yang paling paling buruk akibatnya. Apabila berkumpul
antara maslahat dan mafsadah, maka yang harus dipilih yang maslahatnya lebih
banyak (lebih kuat), dan apabila sama banyaknya atau sama kuatnya maka menolak
mafsadah lebih utama dari meraih maslahat, sebab menolak mafsadah itu sudah
merupakan kemaslahatan.
Adapun
sebagian kemaslahatan dunia dan kemafsadatan dunia dapat diketahui dengan akal
sehat, dengan pengalaman dan kebiasaan-kebiasaan manusia. Sedangkan
kemaslahatan dunia dan akhirat serta kemafsadatan dunia dan akhirat tidak bisa
diketahui kecuali dengan syariah, yaitu melalui dalil syara’ baik Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma’, Qiyas yang diakui (mu’tabar) dan istislah yang sahih
(akurat).[22]
2. Al-Qawa’id Al-Khamsah (lima
Kaidah Asasi)
Kelima
kaidah tersebut dibawah ini sangat masyhur di kalangan mazhab al-syafi’i
khususnya dan di kalangan madzhab-madzhab lain umumnya, meskipun urutanya
berbeda.
Menurut
Zainul Abidin Ibnu Ibrahim al-Mishri, beliau menyusun kitab kaidah fiqhiyah dan
membagi kedalam 25 kaidah, yang pertama, lima bagian tergolong kaidah asasiyah,
dan bagian kedua, 19 kaidah yang tergolong kaidah furu’iyah.[23]
Berikut
kelima kaidah dan penjelasanya, dimana di dalam kaidah tersebut terdapat kaidah
didalamnya atau bisa dikatan bahwa ada rumah di dalam rumah yaitu sebagai
berikut:
I.
Kaidah Pertama
اّلْأُمُوْرَبِمَقَا صِدِهَا
Artinya: “Setiap
perkara bergantung pada tujuannya”.
II.
Kaidah Kedua
اَلْيَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَكِّ
Artinya:
“Keyakinan tidak biasa dikalahkan oleh keraguan”.
III.
Kaidah ketiga
اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ
Artinya: “Kesulitan
itu menarik kemudahan”.
IV.
Kaidah Keempat
الضَّرَرُيُزَالُ
Artinya:
“Kemudharatan harus dihilangkan”.
V.
Kaidah Kelima
اَلْعَا دَ ةُ مُحَكَّمَةٌ
Artinya: “Sebuah
adat kebiasaan itu, bisa dijadikan sandaran hukum”.
Berikut penjelesan mengenai kaidah-kaidah Asasiyyah
yaitu:
1. Kaidah Asasi Pertama
الأُمُوْرُبِمِقَا
صِدِهَا
Artinya: “Segala
urusan tergantung pada niatnya”.
a) Pengertian
Maksud
dari kaidah ini ialah bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta
hubungannya, baik dalam ucapnya, perbuatan, dan lain sebagainya bergantung pada
niatnya. Dengan kata lain, niat dan motif yang terkandung dalam hati sanubari
seseorang sewaktu melakukan sesuatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan
nilai dan status hukum amal yang ia lakukan.[24]
Diantara
keutaman niat ialah perhatian ulama terhadap niat terlepas dari spesialisasi
keilmuan mereka, niat merupakan pembahsan penting dalam ilmu akhlak, fiqih,
ushul fiqh, dan tauhid. Para Ulama yang menjelaskan hadist dan para Ulama
tafsir Al-Qur’an sangat memperhatikan masalah
niat.
Para
ulama seperti Imam Syafi’I, Imam Ahmad, Ibnu al-Madini, Abu Dawud,
ad-Daruquthi, al-Baihaqi dan ulama lain sepakat untuk menggolongkan niat
sebagai seperempat, atau sepertiga atau setengah islam. Ditarik kesimpulan
bahwa para ulama juga mengganggap bahwa niat itu sebagai seperempat, sepertiga,
dan separuh ilmu.[25]
b) Sumber Pengambilan
Ø Al-Qur’an
وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ
مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ
وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ ٥
Artinya: “Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (Q.S.
Al- Bayyinah: 5)
وَمَا كَانَ لِنَفۡسٍ أَن تَمُوتَ
إِلَّا بِإِذۡنِ ٱللَّهِ كِتَٰبٗا مُّؤَجَّلٗاۗ وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلدُّنۡيَا
نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَا وَمَن يُرِدۡ ثَوَابَ ٱلۡأٓخِرَةِ نُؤۡتِهِۦ مِنۡهَاۚ وَسَنَجۡزِي
ٱلشَّٰكِرِينَ ١٤٥
Artinya:
“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai
ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala
dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa
menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu.
Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”. (Q.S Ali-
Imran: 145)
Ø Hadist
إِنَّمَا الْاَ عْمَا لُ بِا لنِّبَا تِ
وَاِ نَّمَا لِكُلِّ امْرِ ئٍ مَا نَوَ ى
Artinya:
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang
itu hanyalah apa yang ia niati.” (HR. Bukhari)[26]
c) Cabang-cabangnya
Beberapa
kaidah cabang yang bersumber dari kaidah ini antara lain yaitu:[27]
1)
Qaidah
مَا لاَ يُشْتَرَطُ التَّعَرُّضُ لَهُ جُمْلَةً
وَ تَفْصِيْلاً اِذَا عَيَّنَهُ وَاَخْطَأَ لَمْ يَضُرَّ
Artinya: “Suatu
amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global atau
terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan
(tidak membatalkan)”.
Contohnya:
Ø Orang
yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu di masjid
atau dirumah; harinya shalat, yaitu Rabu atau hari Kamis; Imamnya dalam suatu
jama’ah, si Umar atau si Zaid, kemudian ternyata apa yang ditegaskan itu
keliru, maka shalatnya tetap sah, Karena shalat telah terlaksana dengan sempurna,
sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.[28]
2)
Qaidah
وَمَا يُشْتَرَطُ
فِيْهِ التَّعَرُّضُ فَالْخَطَأُ فِيْهِ مُبْطِلٌ
Artinya: “Suatu
amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan perbuatan
tersebut”.
Contohnya:
Ø Orang
yang akan menunailakan shalat Dhuhur wajib ta’arudl (menegaskan) niat shalat
Dhuhur itu, demikian juga yang akan mengerjakan shalat Ashar wajib tegas niat
shalat Ashar. Oleh sebab itu tidak sah mengerjakan shalat Dhuhur dengan
menjalankan niat shalat Ashar dan begitupula sebaliknya.
3)
Qaidah
النِّبَةُ فىِ
الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامِ وَلاَ تَعُمُّ الْخاصُّ
Artinya: “Niat
dalam sumpah mengkhususkan lafadzh umum, dan tidak pula menjadikan umum pada
lafadzh yang khusus”.
Contohnya:
Ø Mengkhususkan
pada keumuman ucapan, yaitu ucapan “Demi Allah aku tidak akan berbicara dengan
seseorang pun, tapi niatnya, Demi Allah, aku tidak akan berbicara dengan orang
yang bernama zaid”. Maka pernyataan tersebut, tidak dianggap melanggar
sumpah, sebab sifat dari ucapan atai lafal yang terucapkan masih umum.
Ø Mengumumkan
pada kekhususan ucapan, yaitu ucapan “Demi Allah, aku tidak akan
meminum-minuman Zaid, tapi niatnya “Demi Allah, aku tidak akan meminum minuman
seseorang. Kemudian ia meminum minuman Zaid, maka ia sudah dianggap melanggar
sumpahnya, sebab yang diucapkan itu bersifat khusus. Akan tetapi jika yang
diminum itu airnya Umar misalnya, maka ia tidak dianggap melanggar sumpahnya.
2. Kaidah Asasi Kedua
اَلْيَقِيْنُ
لاَيُزَالُ بِا لشَكِ
Artinya:
“Keyakinan tak bisa dikalahkan oleh keraguan”.
a) Pengertian
Maksud
dari kaidah ini ialah semua hukum yang sudah berladaskan pada suatu keyakinan
itu, tidak dapat dipengaruhi oleh adanya keragu-raguan yang muncul kemudian,
sebab rasa ragu yang merupakan unsur eksternal dan muncul setelah keyakinan,
tidak akan bisa menghilangkan hukum yakin yang telah ada sebelumnya.[29]
Dengan
demikian, maka yang dimaksud dengan kaidah kedua adalah tercapainya suatu
kemantapan hati pada suatu objek yang telah dikerjakan, baik kemantapan itu
sudah mencapai pada kadar ukuran pengetahuan yang mantap atau baru sekedar
dugaan kuat (asumtif/dzan).
Makanya
tidak sanggup suatu kemantapan hati yang disertai dengan keragu-raguan pada saat
pekerjaan itu dilaksanakan, sebab keadaan ini tidak bisa dimasukan kedalam
kategori yakin. Hal-hal yang masih dalam keraguan atau masih menjadi tanda
tanya, tidak dapat disejajarkan dengan suatu yang sudah yakin.
Ø Al-Qur’an
وَمَا يَتَّبِعُ
أَكۡثَرُهُمۡ إِلَّا ظَنًّاۚ إِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ شَيًۡٔاۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمُۢ
بِمَا يَفۡعَلُونَ ٣٦
Artinya: “Dan
kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya
persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Yunus: 36)
Ø Hadist
اِذَاوَجَدَ
أَحَدُ كُمْ فِي بَصْنِهِ شَيْئًا فَآَ شْكَلَ عَلَيْهِ اَخَرَجَ مِنْهُ شَيْ
ءٌأَمْ لاَفَلاَ يَخْرُجَنَ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَى يَسْمَعَ صَوْتًا
أَوْيَجِدْرِيْحًا
Artinya:
“Apabila seseorang diantara kalian merasakan sesuatu dalam perutnya. Kemudian
dia ragu apakah sesuatu itu telah keluar dari perutnya atau belum. Maka orang
tersebut tidak boleh keluar dari mesjid sampai dia mendengar suara (kentut)
atau mencium baunya”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
c) Cabang-cabangnya
Beikut
cabang-cabang kaidah yang ada didalamnya:[31]
1)
Qaidah
الآَصْلُ بقَاءُمَاكَانَ عَلَى مَاكَانَ
Artinya: “Pada
dasarnya, asal itu meneruskan apa yang sudah ada menurut keadaan semula”.
Maksudnya
ialah suatunperkara yang sudah berada pada satu kondisi tertentu dimasa
sebelumya, akan tetapi seperti kondisi semula, selama tidak ada dalil yang
menunjukan terhadap hukum lain, sebab dasar dari segala sesuatu adalah tidak
berubahnya atau tetap seperti sediakala (baqo), sedang kemungkinan untuk
terjadi perubahan dari kondisi semula adalah sesuatu yang baru dan sifatnya
spekulatif, sehingga tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hukum.
Dengan
demikian, jika seseorang sedang mengalami keragu-raguan tentang status hukum
dari suatu perkara, maka yang diperlukan adalah hukum yang telah ada atau hukum
yang telah ditetapkan sebelumnya, sampai ditemukan adanya hukum lain yang
merubahnya, sebab hukum yang telah ada lebih meyakinkan.
Berkaitan
dengan kaidah ini, dalam ilmu Ushul Fiqh, ditemukan adanya ketentuan bahwa
kaidah kontinuitas ini sama dengan dalil istishab, yaitu tetap memberlakukan
ketetapan hukum yang telah ditetapkan atau yang telah ada pada masa lampau
sampai pada ditemukan adanya ketetapan hukum lain yang merubahnya. Maksudnya
jika sebelumnya sudah ada, maka selanjutnya tetap dihukumi ada. Akan tetapi
jika sebelumnya tidak ada, maka selanjunya dianggap tidak ada.
Contohnya:
Ø Kasus
orang ragu-ragu tentang apakah ia sudah berhadast ataukah belum, maka yang
dijadikan ukuran adalah kondisi yang telah ada sebelumnya, yaitu:
a.
Jika kondisi sebelumnya ia belum
wudhu, maka ia dianggap batal.
b.
Jika kondisi sebelumnya ia sudah
pernah berwudhu, maka yang dianggap suci.
2)
Qaidah
اَلآَصْلُ
بَرَاءةُالذِمَةِ
Artinya: “Pada
dasarnya asal itu bebas dari tanggungan”.
Dalam
Bahasa, kata al-dzimmah memiliki arti tanggungan, jaminan, perlindunagan dan
sumpah, akan tetapi jika dihubungkan dengan aplikasi kaidah kebebasan ini, maka
yang dimaksud dengan istilah dzimmah adalah tanggung jawab manusia dalam
hubungannya dengan individu dengan hak individu lainnya.
Dari
pengertian tersebut, dapat diambil pemahaman bahwa hukum asal dalam masalah
tanggung jawab itu hakikatnya tidak ada, sebab pada dasarnya manusia terlahir
dalam keadaan bebas tanpa ada beban dan tanggung jawab. Sedang beban tanggung jawab
muncul disebabkan adanya hak-hak yang telah dimilikinya atau amaliyah yang
telah dilakukannya, sehingga semuanya itu muncul setelah manusia lahir.
Oleh
sebab itu, landasan utama aktivitas keseharian semua manusia, baik berhubungan
dengan masyartakat maupun individua adalah terlepasnya (terbebasnya) diri dari
tanggung jawab hak orang lain (dzimmah) ketika hak itu belum pasti.
Contohnya:
Ø Orang
yang dituduh mempunyai hutang kepada orang lain dan yang menuduh tidak bisa
menunjukan bukti, misalnya kwitansi-uang atau saksi-saksi, maka orang tersebut
bebas dari tanggungan hutang.
Ø Dua
orang (antara yang tertuduh dan penuduh) selama tidak ada bukti-bukti, maka
hukum yang diambil adalah pengakuan tertuduh, Karena sesuai dengan konsep dasar
(kaedah) bahwa tertuduh adalah orang yang bebas dari segala bentuk tuduhan.
3)
Qaidah
مَنْ شَكَ
اَفَعَلَ شَيٌئًا أَمْ لَافَاْ لأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلُ
Artinya: “Jika
ada orang ragu-ragu tentang apakah ia telah melakukan sesuatu ataukah belum?
Maka hukum yang diambil adalah ia belum melakukan sesuatu”.
Maksudnya
ialah pada dasanya hukum yang bisa dijadikan pijakan dari kasus orang ragu-ragu
apakah dirinya sudah mengerjakan suatu amaliyah atau belum adalah belum
mengerjakan amaliyah tersebut, kecuali jika amaliyah tersebut benar-benar sudah
terwujud dalam kenyataan, dan keberadaanya meyakinkan.
Contohnya:
Ø Kasus
ada seorang yang sedang ragu-ragu prihal apakah ia sudah melakukan qunut atau
belum, maka yang diambil adalah ia belum melakukan qunut. Karena ia disunahkan
melakukan sujud sahwi.
3. Kaidah Asasi Ketiga
المَشَقَةُ تَجْلِبُ التَيْسِيْرُ
Artinya:
“Kesulitan menarik kemudahan”.
a) Pengertian
Al-Masyaqqah
menurut arti Bahasa (etimologi) adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kepayahan,
kesulitan, dan kesukaran, seperti terdapat dalam QS. An-Nahl ayat 7:
وَتَحۡمِلُ أَثۡقَالَكُمۡ إِلَىٰ بَلَدٖ
لَّمۡ تَكُونُواْ بَٰلِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ ٱلۡأَنفُسِۚ إِنَّ رَبَّكُمۡ لَرَءُوفٞ
رَّحِيمٞ ٧
Artinya: “Dan ia
memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya,
melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya
Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”.
Sedangkan
al-taysir secara etimologis berarti kemudahan, seperti didalam hadist nabi yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan muslim disebutkan:
ان الد ين يُسْرَ
Artinya: “Agama
itu mudah, tidak memberatkan”. Yusrun lawan dari kata “Usyrun.
Jadi
makna kaidah tersebut adalah kesulitan menyebabkan adanya kemudahan. Maksudnya
adalahbahwa hukum-hukum yang dalam penerapanya menimbulkan kesulitan dan
kesukaran bagi mukallaf (subjek hukum), maka syariah meringankannya sehingga
mukallaf mampu melaksanakannya tanpa kesulitan dan kesukaran. [32]
Dalam
ilmu fikih, kesulitan yang membawa kepada kemudahan itu setidaknya ada tujuh macam yaitu:
1)
Sedang dalam perjalanan
(as-Safar). Misalnya seperti: boleh qosar
sholat, buka puasa, dan meninggalkan shalat juma’at.
2)
Keadaan sakit. Misalnya, boleh
bertayamum ketika sulit memakai air, sholat fardu sambal duduk, berbuka puasa
bulan Ramadhan dengan kewajiban qadha setelah sehat, ditundanya pelaksanaan had
samapai terpidana sembuh, wanita yang sedang menstruasi.
3)
Keadaan terpaksa yang
membahayakan kepada kelangsungan hidupnya. Setiap akad yang dilakukan dalam keadaan
terpaksa, maka akad tersebut tidak sah seperti jual beli, gadai, sewa menyewa,
Karena bertentangan dengan prinsip ridha (rela), merusak atau menghancurkan
barang orang lain Karena dipaksa.
4)
Lupa (al-Nisyan). Misalnya,
seseorang lupa makan dan minum pada waktu puasa, lupa membayar utang tidak
diberi sanksi, tetapi bukan pura-pura lupa.
5)
Ketidaktahuan (al-Jahl).
Misalnya, orang yang baru masuk islam Karena tidak tahu, kemudian makan-makanan
yang diharamkan, maka dia tidak dikenai sanksi. Seorang wakil tidak tahu bahwa
yang mewakilkan kepadanya dalam keadaan dilarang bertindak hukum, misalnya
pailit, maka tindakan hukum si wakil adalah sah, samapai dia tahu bahwa yang
mewakilakan kepadanya dalam keadaan mahjur’alaih (dilarang melakukan tindakan
hukum oleh hakim).
6)
Umum al-Balwa. Misalnya,
kebolehan bai al-salam (uangnya dahulu, barangnya belum ada). Kebolehan dokter
melihat kepada bukan mahramnya demi untuk mengobati, sekedar yang dibutuhkan
dalam pengobatan. Percikan air dari tanah yang mengenai sarung untuk shalat.
7)
Kekurangmampuan bertindak hukum
(al-naqsh). Misalnya, anak kecil, orang gila, orang dalam keadaan mabuk. Dalam
ilmu hukum, yang berhubungan dengan pelaku ini disebut unsur pemaaf, termasuk
didalamnya keadaan terpaksa maupun dipaksa.
b) Sumber Pengambilan Hukum
Ø Al-Qur’an.
شَهۡرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِيٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلۡقُرۡءَانُ
هُدٗى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٖ مِّنَ ٱلۡهُدَىٰ وَٱلۡفُرۡقَانِۚ فَمَن شَهِدَ
مِنكُمُ ٱلشَّهۡرَ فَلۡيَصُمۡهُۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ
فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ وَلِتُكۡمِلُواْ ٱلۡعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا
هَدَىٰكُمۡ وَلَعَلَّكُمۡ تَشۡكُرُونَ ١٨٥
Artinya: “(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur”. (Q.S. Al-Baqarah:185)[33]
Serta
Firman Allah SWT yang lain yakni:
وَجَٰهِدُواْ فِي ٱللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِۦۚ
هُوَ ٱجۡتَبَىٰكُمۡ وَمَا جَعَلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلدِّينِ مِنۡ حَرَجٖۚ مِّلَّةَ
أَبِيكُمۡ إِبۡرَٰهِيمَۚ هُوَ سَمَّىٰكُمُ ٱلۡمُسۡلِمِينَ مِن قَبۡلُ وَفِي هَٰذَا
لِيَكُونَ ٱلرَّسُولُ شَهِيدًا عَلَيۡكُمۡ وَتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِۚ
فَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱعۡتَصِمُواْ بِٱللَّهِ هُوَ
مَوۡلَىٰكُمۡۖ فَنِعۡمَ ٱلۡمَوۡلَىٰ وَنِعۡمَ ٱلنَّصِيرُ ٧٨
Artinya: “Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al
Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua
menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong”. (Q.S. Al-Hajj: 78)
c) Kekecualian Kaidah Tersebut Adalah
Sebagai Berikut:
Ø Pertama,
kesulitan-kesulitan yang diklasifikasikan kepada masyaqqah yang ringan seperti
telah dijelaskan diatas.
Ø Kedua,
kesulitan-kesulitan yang muncul, memang satu resiko dalam suatu perbuatan,
seperti lapar ketika puasa. Kesulitan semacam ini tidak menyebabkan adanya
keringan kecuali bila kelaparan tadi membahayakan jiwa.
Dikalangan
madzhab al-Syafi’I, khususnya al-Suyuthi, menyebutkan bahwa keringanan itu bisa
beberapa macam hukumnya:
Ø Pertama,
hukumnya wajib mengambil keringanan, seperti orang yang terpaksa makan makanan
yang diharamkan Karena takut mati kelaparan.
Ø Kedua,
hukunya sunnah mengambil keringanan, seperti shalat qasar di perjalanan,
berbuka puasa bagi yang kwatir sakit.
Ø Ketiga,hukumnya
boleh mengambil yang ringan, seperti jual beli salam (timpah).
Ø Keempat,
keringanan yang lebih baik ditinggalkan, sperti mengusap sepatu.
Ø Kelima,
keringanan yang makruh dilakukan, seperti qasar shalat dalam jarak kurang dari
tiga marhalah.[34]
d) Cabang-cabang Kaidah
1)
Qaidah
.إِذَا
تَعَذَّرَ الْأَصْلُ يُصَارُ إِلَى الْبَدَلِ
Artinya:
“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya”.
Contohnya:
Ø Tayamum
sebagai pengganti wudhu.
Ø Seseorang
yang meminjam suatu benda, kemudian benda itu hilang (misalnya,buku), maka
penggantinya buku yang sama baik judul, penerbit, maupun cetakannya, atau
diganti dengan harga buku tersebut dengan harga di pasaran.[35]
2)
Qaidah
مَالَايُمْكِنُ التَّحَرُزْ مِنْهُ مَعْفُوْ
عَنْهُ
Artinya: “Apa
yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan”.
Contohnya:
Ø Pada
waktu sedang puasa, kita berkumur-kumur, maka tidak mungkin terhindar dari rasa
air di mulut atau masih ada sia-sia.
3)
Qaidah
الرُّخْصَ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَصِي
Artinya:
“keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan”.
Kaidah
ini digunakan untuk menjaga agar keinginan-keingan di dalam hukum tidak disalah
gunakan untuk melakukan maksiat (kejahatan atau dosa). Seperti, orang
berpergian dengan tujuan melakukan maksiat, misalnya, untuk membunuh orang atau
untuk berjudi atau berdagang barang-barang yang diharamkan, maka orang semacam
ini tidak boleh menggunakan keringan-keringanan di dalam hukum islam.
Contohnya:
Ø Orang
yang berpergian untuk berjudi kehabisan uang dan kelaparan, kemudian ia makan
daging babi. Maka tidak dipandang sebagai orang yang menggunakan rukhsah,
tetapi tetap berdosa dengan makan daging babi tersebut.
4. Kaidah Asasi ke empat
الضَرَرُيُزَالُ
Artinya:
“Kemudaratan harus dihilangkan”.
a) Pengertian
Konsepsi
kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar
(tindak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak
semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.[36]
b) Sumber Pengambilan Hukum
Ø Al-Qur’an
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيۡكُمُ ٱلۡمَيۡتَةَ
وَٱلدَّمَ وَلَحۡمَ ٱلۡخِنزِيرِ وَمَآ أُهِلَّ بِهِۦ لِغَيۡرِ ٱللَّهِۖ فَمَنِ ٱضۡطُرَّ
غَيۡرَ بَاغٖ وَلَا عَادٖ فَلَآ
إِثۡمَ عَلَيۡهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٧٣
Artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan
binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Baqarah: 173)[37]
Ø Hadist
Kaidah ini
dipergunakan para ahli hukum islam dengan dasar argument hadis Nabi Muhammad
SAW yang diriwayatkan dari berbagai jalur transmisi (sanad):
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Artinya: “Tidak
boleh memberi mudarat dan membalas kemudaratan”.
Kaidah
ini terkonkretisasi menjadi sebuah hukum fiqih yang bersifat particular
(furu’), diantaranya bentuk-bentuk khiyar dalam transaksi jual beli, pembatasan
wewenang (al-hijr), hak syuf’ah (membeli pertama) oleh partner bisnis dan
tetangga, hudud, ta’zir, dan pembatasan kebebasan manusia dalam masalah
kepemilikan atau pemanfaatannya agar tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain.[38]
Salah
satunya yakni khiyar dengan segala jenis dan bentuknya ditetapkan oleh syara’
untuk menghilangkan bahaya atau mudarat. Khiyar syarth dalam transaksi jual
beli misalnya diberlakukan untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya bahaya
(kerugian) pada orang yang belum berpengalaman dalam transaksi jual beli,
sehingga rentan menjadi korban penipuan.
Sementara
khiyar ru’yah mengandung unsur menghilangkan bahaya (kerugian) yang muncul dari
kondisi barang yang tidak sesuai dengan sifat-sifat (spesifikasi) yag disebutkannpada
saat transaksi dan tidak akan diterima oleh pembeli seandainya ia melihat
barang yang dijual tersebut pada saat transaksi. Sedangkan pada khiyar ‘aib,
unsur menghilangkan bahaya (kerugian) di dalamnya sudah sangat jelas dan tidak
perlu dijelaskan lebih lanjut.
c) Cabang-cabangnya
1)
Qaidah
يَتَحَمَلُ الضَرَ رُ الخَا ص لأَ جْل دَ فْع
الضَرَ ر العَا م
Artinya: “Mudarat
yang bersifat terbatas harus ditanggung demi mencegah mudarat yang bersifat
umum”.
Contohnya:
Ø Pembatasan
dan pencabutan wewenang seorang dokter yang tidak cakap yang dapat
mengakibatkan malpraktik dan membahayakan orang banyak.[39]
2)
Qaidah
يَرْ تَكبُ أَ خَفُ الضَرَ ر يْن
Artinya:
“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua madarat”.
Maksudnya
ialah apabila suatau perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak
dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya dan salah satu
dari kedua bahaya tersebut lebih besar daripada yang lainnya, maka bahaya yang
lebih besardihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan
tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Contohnya:
Ø Apabila
seseorang mengambil kayu atau besi milik orang lain, kemudian menggunakannya
untuk membangun rumahnya, sehingga tidak mungkin mengambilnya kecuali dengan
menghancurkan bangunan. Jika nilai bangunan lebih besar dari nilai barang hasil
ghashab (merampas), maka ia harus mengganti dengan yang senilai. Namun jika
lebih rendah maka pemilik barang yang diambil berhak menuntut pancabutanya
kembali barangnya dari bangunan tersebut atau menuntut ganti rugi pada
pengghashab (perampas).
Ø Kebolehan membedah perut mayat seorang perempuan untuk
mengeluarkan bayi yang dikandungnya apabila ada kemungkinan bayi tersebut masih
hidup.
3)
Qaidah
الْحَا جَةُ تَنْزلُ مَنْز لَة الضرُوْرة عاَ
مَةً كَا نَتْ أَوْ خَا صَةً
Artinya:
“Kebutuhan dapat menempati posisi darurat, baik yang bersifat umum maupun
khusus”.
Dalilnya
adalah kebolehan transaksi salm. Mengingat praktik salm dibutuhkan dalam
masyarakat, maka ia pun ditempatkan pada posisi darurat, meskipun bertentangan
dengan qiyas lantaran termasuk kategori jual beli barang yang tidak ada saat
transaksi (bai’ma’dum). Asy-Syari’ telah memberi rukhsah (keringanan)
didalamnya, meski pada dasarnya jual beli seperti ini tidak sah. Nabi Muhammad
SAW membolehkannya dengan mempertimbangkan kebutuhan manusia terhadapnya guna
menepis rasa berdosa (harj) yang mungkin datang jika ia tidak disyariatkan atas
orang yang tidak mempunyai barang ditangannya, sementara ia sangat membutuhkan
uang.
Inilah
dasar kebolehan transaksi pemesanan pembuatan barang (al-Istishna”), meskipun
ia termasuk jual beli barang yang tidak ada saat transaksi, melainkan baru
diberi dana untuk proses pembuatannya.
Contohnya:
Ø Seseorang
memesan keris kepada pandai besi dengan memberikan sejumlah uang seharga keris
tersebut, namun keris tersebut tidak langsung ada atau diberikan pada saat itu,
tapi pada saat ketika si pandai besi sudah selesai membuat keris tersebut. Jadi
uang dulu barangnya nanti.
5. Kaidah Asasi Kelima
اَلعَا دَةُ مُحَكَمَةٌ
Artinya: “Sebuah
adat kebiasaan itu bisa dijadikan sandaran hukum”.
a) Pengertian
Bahwa
makna kaedah ini menurut istilah para ulama’ adalah bahwa sebuah adat kebiasaan
dan ‘urf itu biasa dijadikan sebuah sandaran untuk menetapkan hukum syar’i
apabila tidak terdapat syar’i atau lafadz shorih (tegas) yang bertentangan
dengannya.[40]
Berkata
Syaikh As Sa’adi di dalam al Qowa’id Al Jami’ah hal: 35: “Urf dan adat
kebiasaan dijadikan rujukan dalam semua hukum syar’I yang belum ada
ketentuannya.” (Lihat juga Syarah Al Qowaid As Sya’diyah oleh Syaikh Abdul
Muhsin Az Zamil hal: 96).
b) Sumber Pengambilan Hukum
Ø Al-Qur’an
خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ
وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ ١٩٩
Artinya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma´ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. (Q.S. Al-A’raf:199)[41]
Serta
firman Allah yang lain yakni:
كُتِبَ عَلَيۡكُمۡ إِذَا حَضَرَ
أَحَدَكُمُ ٱلۡمَوۡتُ إِن تَرَكَ خَيۡرًا ٱلۡوَصِيَّةُ لِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ
بِٱلۡمَعۡرُوفِۖ حَقًّا عَلَى ٱلۡمُتَّقِينَ ١٨٠
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan
karib kerabatnya secara ma´ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah: 180)
Ø Hadist
Dalam
masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hukum, dengan syarat adat
tersebut diakui dan tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan umum yang
ada dalam syara’. Kaidah ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW:
مَارَأهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ
عِنْدَ اللّهِ حَسَنٌ
Artinya:
“Sesuatu yang oleh orang muslim dipandang baik, maka disisi Allah juga dianggap
baik”.[42]
c) Macam macam ‘Urf dan Adat
Kebiasaan Adalah Sebagai Berikut:
Urf
kalau ditinjau dari umum dan khususnya ada dua macam yaitu:[43]
1.
Urf ‘am (umum)
Yaitu
urf yang berlaku diseluruh negeri muslim, sejak zaman dahulu sampai saat ini.
Para ulama’ sepakat bahwa “urf ini bisa dijadikan sandaran hukum.
2.
Urf khos (khususu)
Yaitu
urf yang hanya berlaku disebuah daerah dan tidak berlaku pada daerah
lainnya. Urf ini diperselisihkan oleh
para ulama’ apakah boleh dijadiakn sandaran hukum ataukah tidak.
Jumhur
ulama’ tidak membolehkannya sedangkan sebagian ulama’ hanafiyahdan syafi’iyah
membolehkannya. Dan inilah pendapat yang shohih insya Alloh, Karena kalua dalam
sebuah negeri terdapat ‘urf tertentu maka akad dan mu’amalah yang terjadi
padanya akan mengikuti ‘urf tersebut.
Contohnya:
Ø Kalau
ada sebuah daerah tertentu, bahwa si A menyuruh seorang makelar untik
menawarkan tanahnya pada pembeli, dan ‘urf yang berlaku didaerah tersebut bahwa
nanti kalua tanah laku bahwa makelar tersebut mendapatkan 2% dari harga tanah
ditanggung berdua antara penjual dengan pembeli, maka inilah yang berlaku,
tidak boleh bagi penjual maupun pembeli menolaknya kecuali kalua ada perjanjian
sebelumnya.
Sedangkan
‘urf bila ditinjau dari sisi ucapan dan perbuatan terbagi menjadi dua, yaitu:
a.
Urf qouli (Ucapan)
Yaitu
sebuah kata yang dalam masyarakat tertentu di fahami bersama dengan makna
tertentu bukan makna lainnya. Urf ini kalua berlakau umum diseluruh negeri
muslim ataupun beberapa daerah saja maka bisa dijadikan sandaran hukum.
Contohnya:
Ø Kalau
ada seseorang berkata: “Demi Allah, saya hari ini tidak makan daging”. Ternyata
kemudian dia makan ikan, maka orang tersebut tidak dianggap melanggar
sumpahnya, Karena kata “daging” dalam kebiasaan masyarakat kita tidak
dimaksudkan kecuali daging binatang darat seperti kambing, sapai dan masih
banyak lainya.
b.
Urf amali (Perbuatan)
Yaitu
sebuah perbuatan yang sudah menjadi ‘urf dan kebiasaan masyarakat tertentu. Ini
juga bisa dijadikan sandaran hukum meskipun tidak sekuat ‘urf qouli.
Contohnya:
Ø Dalam
masyarakat tertentu bahwa orang kerja dalam sepekan libur satu hari yaitu hari
jum’at. Lalu kalua seorang melamar pekerjaan menjadi tukang jaga took dan
kesepakatan dibayar setiap bulan sebesar Rp. 500.000,- makapekerjaan tersebut
berhak libur setiap hari jum’at dan tetap mendapatkan gaji tersebut.
d) Syarat-syarat ‘Urf
Tidak
semua ‘urf bisa dijadikan sandaran hukum, akan tetapi harus memenuhi beberapa
syarat, yaitu:[44]
1)
Urf itu berlaku umum
Dalam
artian bahwa ‘urf ini difahami oleh semua lapisan masyarakat, baik disemua
daerah maupun pada daerah tertentu. Oleh Karena itu kalua hanya merupakan ‘urf
orang-orang tertentu saja, maka tidak bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran
hukum.
2)
Tidak bertentangan dengan nash
syar’i
Sebuh
‘urf bila kita hubungkan dengan nash-ash syar’I ada beberapa kemungkinan yaitu:
a.
Urf yang selaras dengan nash
syar’i
‘Urf ini harus dikerjakan, namun bukan Karena urf-nya
akan tetapi Karena dalil tersebut.
Contohnya:
Ø Urf
di masyarakat bahwa seorang suami harus memberikan temapt tinggal untuk
istrinya. Urf semacam ini berlaku dan harus dikerjakan Karena Allah SWT
berfirman didalam Q.S. At-Tholaq, yang artinya : “Tempatkanlah (para istrimu) dimana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu”.
b.
Urf yang bertentangan dengan
dalil sya’i
Dalam keadaan
semacam ini butuh untuk dilihat dari berbagai sudut yaitu:
a)
Urf itu bertentangan secara total
dengan dalil. Tidak diragukan lagi bahwa urf semacam ini bati. Seperti, urf
sebagian masyarakat kita bahwa orang yang menaruh uangnya di sebuah Bank
konvensiaonal akan mendapatkan “bunga” (riba) maka tidak boleh badi si pemilik
rekening tersebut untuk memanfaatkannya, Karena itu adalah uang riba yang
jelas-jelas keharamannya dengan dalil al-Qura’an dan As-Sunnah.
b)
Urf yang bertentangan dengan
dalil dalam sebagian permasalahannya saja.
Semacam kalau sebuah dalil itu sifatnya umum dan sebuah urf bertentangan
dengannya pada sebagian masalahnya saja. Urf ini bisa digunakan kalua sifatnya
umum di semua negeri muslim. Seperti, Rasullah SAW melarang jual beli yang
belum diketahui barangnya, namun ada urf yang berlaku diseluruh negeri
muslimsejak dahulu bahwa jual beli pesananwalaupun barangnya tidak ada, akan
tetapi diperbolehkan.
c)
Kalau sudah nash didasarkan pada
urf yang berlaku pada zaman turunya wahyu, kemudian urf tersebut berubah, maka
boleh untuk menetapkan hukum dengan urf baru ataukah tidak?. Seperti, jual beli
gandum dengan gandum itu harus sama ukuran tkarannya sebagaimana dalam hadis
tentang harta riba. Padahal diketahui bersama bahwa sama-sama gandum kalua sama
takaranya belum tentu sama timbangannya.
Kemudian zaman
berubah dan sekarang ini jual beli gandum menggunakan ukuran timbangan, maka
bolehkah jual beli gandum satu kilo dengan satu kilo? Meskipun dalam hal ini
akan menyebabkan beda ukuran dalam bentuk takaran?.
Jumhur ulma
melarangnya, namun sebagian ahli ilmi diantaranya Imam Abu Yusuf dan Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membolehkannya sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ibnu
Muflih dalam Al Furu’ 4/157.
d)
Kalau sebuah ‘Urf bertentangan
dengan sebuah hukum yang dikatakan oleh para ulama’ mujtahid sebelumnya yang
mereka bangun atas dasar ‘Urf yang berlaku pada zaman mereka. Maka kalau
‘urfnya berubah hukumnya pun bisa berubah dan inilah yang biasa dikatakan oleh
para ulama’ dengan sebuah kaidah masyhur. Hukum bisa berubah dengan perubahan waktu dan zaman.
3)
Urf itu sudah berlaku sejak lama,
bukan sebuah “urf baru yang barusan jadi. Seperti, kalua ada seseorang yang
mengatakan: “Wallohi, saya tidak akan makan daging selamanya”. Dan saat dia
mengucapakan kata tersebut yang dimaksudkan dengan daging adalah daging kambing
dan sapi, lalu lima tahun kemudian urf masyarakat berubah bahwa yang dimaksud
daging adalah semua daging termasuk daging ikan. Lalu orang tersebut mkan
daging ikan, mka orang tersebut tidak dihukumi melanggar sumpahnya Karena
sebuah lafadz tidak didasarkan pada urf yang muncul belakangan.
4)
Tidak berbenturan dengan tashrih.
Dimana yang intinya bahwa kalau sebuah urf berbenturan dengan tashrih
(ketegasan seseorang dlam sebuah masalah) maka urf itu tidak berlaku. Seperti,
kalua seseorang bekerja disebuah kantor dengan gaji bulanan Rp. 500.000,- tapi
pemilik kantor tersebut mengtakan bahwa gaji ini kalua masuk setiap hari
termasuk hari ahad dan hari libur, dan pekerja menyetujuinya. Maka wajib bagi
pekerja tersebut untuk masuk setiap hari meskipun urf masyarakat yang berlaku
bahwa hari ahad libur.
e) Perbedan ‘Urf dan ‘Adah
‘Urf diberi
pengertian sebagai praktik yang sudah lazim dilakukan di dalam masyarakat, baik
berupa perkataan (qawali) maupun perbuatan (fi’li). Seperti ‘urf qawali
dicontohkan dengan kebiasan masyarakat dalam menyebut kata “daging” untuk
menujuk segala jenis daging selain daging ikan dan ayam. ‘Urf fi’li misalnya,
cara berjual beli langsung dengan serah terima uang dan barang tanpa
mengucapkan kalimat akad untuk barang dagangan tertentu.
Pembahsan
mengenai adat kebiasaan sebagai ‘urf di dalam ushul al-fiqh ditekankan kepada
kedudukannya sebagai hal atau kepantasan yang telah secara luas dikenal di
dalam masyarakat. Sedangkan dalam al-qawa’id al-fiqiyah, kebiasan sebagai ‘adah
ditekankan sebagai hal yang telah terjadi berulang-ulang. Oleh Karena itu
pembahasan ‘urf dalam uhul fiqh membagikan ‘urf dari segi kebahassan menurut
shar.[45]
Sedangkan di dal
qaw’id al fiqhiyah, pembahasan adat kebiasaan lebih terperinci sifatnya, tidak
demikian hitam putih. Tidak ada istilah shahih atau fasid, tetapi ada
pembahasan tentang kebiasaan dengan kriteria konsistensi yang bagaimanakah yang
di anggap sah untuk menjadi pertimbangan hukum.
Menurut
Al-Suyuti’adah ialah konsistensi suatu kebiasaan sehingga menjadi ‘adah dan
demikian layak sebagai pertimbangan hukum. Ia menegaskan bahwa ‘adah dan ‘urf
dalm jumlah yang tak terhitung telah menjadikan rujukan fiqh.
Salah satunya ia
menyebutkan tentang jarak waktu pelaksanaan shalat pertama dengan shalat kedua
dalam “jam”, antara ijab dan qabul, antara ucapan salam dengan jawabannya dan
soal waktu terlambatnya pengambilan barang belian Karena cacat. Penilaian dan pendek
dari waktu-waktu ini diserahkan kepada kebiasan setempat.
f) Cabang-cabang Kaidah
1)
Qaidah
اِسْتِعْمَالُ النَّاسِ حُجَّةٌ يَجِبُ
الْعَمَلُ بِهَا
Artinya: “Apa
yang digunakan oleh kebanyakn orang itu bisa sebagai hujjah yang wajib
dikerjakan”.
Maksudnya ialah
bahwa apa yang di gunakan oleh manusia sehingga menjadi sebuah adat kebiasaan
mereka, maka itu bisa dijadikan sebagai sebuah sandaran amal yang wajib
digunakan.
Contohnya:
Ø Jika
ada seseorang yang meminta seorang tukang batu untuk bekerja dirumahnya, maka
waktu istirahat, dan gajinya ditentukan oleh urf yang berlaku, kecuali ada
kesepakatan tersendiri antara keduanya. [46]
2)
Qaidah
ألمَعْرُوْ عُرْ فأً كأَ تْمَشْرُوْ ط شَرْ
طًاً
Artinya: “sesuatu
yang sudah menjadi kebiasaan itu seperti sebuah syarat”.
Maksudnya
ialah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan bersama, maka hukumnya seperti
sebuah syarat yang harus di penuhi atau seperti sebuah kata yang shorir. Dengan
catatan kalua ‘urf ini tidak bertentangang dengan sebuah tasrih.
Contohnya:
Ø Seorang
tamu boleh makan makanan yang tersaji di meja ruang tamu, meskipun tanpa
dipersilahkan oleh tuan rumah, kalua adat yang berlaku sperti itu.
3)
Qaidah
الأ شَا رَ ةُ الْمَعْهُوْ دَ ةُ للأَ
خْرَ س كَا لْبَيَا ن با للسا ن
Artinya: “Sebuah
isyarat yang bisa di fahami bagi seseorang yang bisu itu seperti keterangan
dengan kata-kata”.
Maksudnya
ialah bagi seorang yang bisu yang tidak dapat berbicara, maka isyarat dia yang
bisa difahami itu seperti sebuah keterangan denagan kata-kata untuk dijadikan
dasar dalam menetapkanmsebuah hukum.[47]
Contohnya:
Ø Orang
bisu ketika ingin melakukan jual beli dengan bahsa isyrat yakni dengan gestur
tangannya. Dimana orang yang bisu supaya bisa memenuhi kebutuhan nya bisa
menggunkan tiga cara yaitu: ada orang yang mewakilinya, dengan tulisan dan yang
ketiga dengan isyarat. Kalau dengan wakil dan tulisan, maka tidak mungkin bisa
dilakukan pada semua kesempatan dan juga sangat memberatkan, oleh Karena itu
diperbolehkan baginya untuk hanya menggunakan isyarat dengan syarat kalua bisa
difahami.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sabiq bin
Abdul Lathif Abu Yusuf, 2009. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami,
(Gresik: Pustaka al-Furqon).
Dahlan Tamrin,
2010. Kaidah-Kaidah Hukum Islam,
(Malang: UIN Maliki Press)
A. Djazuli,
2006. Kaidah-kaidah fikih: kaidah-kaidah
Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, cet. I,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006)
Syahrul Anwar,
2010. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Cet.
I, (Bogor: Ghalia Indonesia)
Syafi’i,
Rahamat, 1999. Ilmu Ushul Fiqh, Cet.
I, (Bandung: CV. Pustaka Setia)
Al-Asyqar, Umar
Sulaiman, 2006. Fiqih Niat dalam Ibadah:
penerjemah Faisal Saleh,Cet. I, (Jakarta: Gema Insani)
Abdul Mujib,
1994. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Cet.
I, (Jakarta: Kalam Mulia)
Muhammad Djafar,
1993. Pengantar Ilmu Fiqih, Cet. I, (Jakarta: Kalam Mulia)
Nashr Farid
Muhammad Wasil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2009. Qawa’id Fiqhiyyah, Cet. I, (Jakarta: Amzah)
Abdul Mu’in
Saleh, 2009. Hukum Islam sebagai Hukum
Tuhan: Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model al-Qawa’id al Fiqhiyah,
Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
A. Basiq Djalil,
2010. Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua,
Cet. I, (Jakarta: Kencana)
Nasar Bakry,
1993. Fiqih dan Ushul Fiqh, Cet. I,
(Jakarta: Rajawali)
A. Djazuli, 2005. Ilmu Fiqh: Pengendalian, Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam, Cet, Ke-6, ( Jakarta Kencana)
Catatan:
1.
Judul buku dimiringkan dalam
footnote.
2.
Berikan penutup/kesimpulan.
[1]
A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh Satu dan Dua, (Jakarta: Kencana, 2010),
Cet. I, hlm. 132.
[2]
Nasar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali, 1993), Cet. I,
hlm. 113.
[3]
Ibid., hlm. 114-116.
[4]
A. Basiq Djalil. Op. Cit. hlm. 133.
[5]
A. Djazuli, Ilmu Fiqh: Pengendalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum
Islam, (Jakarta Kencana, 2005), Cet. Ke-6, hlm. 105-106.
[6]
Ahmad Sabiq bin Abdul
Lathif Abu Yusuf.2009. Kaedah-Kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami.(Gresik:Pustaka
al-Furqon). hlm.
6.
[16] Ibid
[19] Ibid
[20] Ibid. hlm. 98-99.
[21] A. Djazuli, Kaidah-kaidah fikih:
kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
cet. I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 27.
[22] Ibid., hlm. 28-29
[23] Syahrul Anwar, Ilmu Fiqh dan
Ushul Fiqh, Cet. I, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 124.
[24] Syafi’i, Rahamat, Ilmu Ushul
Fiqh, (Bandung: CV. Pustaka Setia , 1999), cet. I, hlm. 274.
[25] Al-Asyqar, Umar Sulaiman, Fiqih
Niat dalam Ibadah: penerjemah Faisal Saleh, (Jakarta: Gema Insani : 2006), Cet.
I, hlm. 70.
[26] Syafi’I, Rahamat, Op. Cit. hlm.
275.
[27] Ibid., hlm. 276-278.
[28] Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I, hlm. 15-17.
[29]
Dahlan Tamrin,
Kaidah-kaidah Hukum Islam:Kulliyah al-Khamsah, (Malang: UIN Maliki Press.
2010), cet. I, hlm.75.
[30] Ibid, hlm. 76-77.
[31] Ibid, hlm. 79-84.
[32] A. Djazuli, Kaidah-kaidah fikih:
kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
cet. I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 55.
[33] Muhammad Djafar, Pengantar Ilmu
Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), Cet. I, hlm. 134-135.
[34] A. Djazuli, Kaidah-kaidah fikih:
kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
cet. I, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 60-61..
[35] Ibid, hlm. 62-63.
[36] Nashr Farid Muhammad Wasil,
Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah. 2009), cet. I,
hlm. 17.
[37]
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqh: Al-Qawa’idul Fiqhiyyah, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I. hlm.
36.
[38]
Nashr Farid Muhammad Wasil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Op. Cit, hlm.17.
[40] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu
Yusuf, Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka Al-Furqon,
2009), cet. I, hlm. 105.
[41] Ibid., hlm. 106.
[42] Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu
Fiqh, (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), Cet. I, hlm. 43.
[44] Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu
Yusuf, Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka Al-Furqon,
2009), cet. I, hlm. 110-114.
[45]
Abdul Mu’in Saleh, Hukum
Islam sebagai Hukum Tuhan: Berpikir Induktif Menemukan Hakikat Hukum Model
al-Qawa’id al Fiqhiyah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), Cet. I, hlm.
286-288.
[46]
Ahmad Sabiq bin Abdul
Lathif Abu Yusuf, Kaedah-kaedah Praktis Memahami Fiqih Islami, (Gresik: Pustaka
Al-Furqon, 2009), cet. I, hlm. 115.
[47] Ibid., hlm.120-122.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar