NASIONALISME PERSPEKTIF AL-QUR’AN
DAN HADITS
Ahmad Khoirudin
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Kelas
E (ICP) Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang
Email: Khoirudinahmad0@gmail.com
Abstract
This paper discusses about the nationalism of the
viewpoint of islam. Nationalism is the political attitude of the society have
in common areas, culture, language, ideology, ideals and goals, and then
crystallized into a familiar anthem. Understand this burgeoning political power
to affect the world and broad impact for countries of the nation. Addressing
Muslims nationalism is diverse, there are received, there is a priori, and some
were refused. Regardless of how Muslims addressing the concept of nationalism,
nationalism has actually been a lot simpler in the teachings of islam.
Description of nationalism embodied in many verses of the Qur'an nor Hadith of
the Prophet. There is no textual basis verses that clearly mention about
nationalism. However, if we ferret out even further, then we will find some
verses of the Qur'an nor Hadith of the Prophet which contextually has a meaning
that is closely associated with nationalism.
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai nasionalisme
ditinjau dari sudut pandang islam. Nasionalisme merupakan sikap politik
masyarakat yang mempunyai kesamaanwilayah, budaya, bahasa, ideologi, cita-cita
dan tujuan, kemudian mengkristal menjadipaham kebangsaan. Paham ini berkembang
kemudian mempengaruhi politik kekuasaan duniadan berdampak luas bagi
negara-negara bangsa. Umat Islam menyikapi nasionalisme ini beragam, ada
yangmenerima, ada yang apriori, dan ada yang menolak. Terlepas dari bagaimana
umat islam menyikapi nasionalisme, konsep mengenai nasionalisme sebenarnya telah
banyak tertuang di dalam ajaran-ajaran islam. Penjelasan mengenai nasionalisme
banyak terkandungdalam ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi. Secara
tekstual memang tidak ada ayat yang secara jelas menyebutkan tentang
nasionalisme. Akan tetapi, jika kita mengorek lebih jauh lagi, maka kita akan
menemukan beberapa ayat Al-Qur’an maupun hadits nabi yang secara kontekstual
memiliki makna yang sangat erat kaitannya dengan nasionalisme.
Keywords: Nationalism, Al-Qur’an and Hadits
A.
Pendahuluan
Nasionalisme merupakan suatu paham
kebangsaan yang dikembangkan dalam rangka mempersatukan semua elemen yang ada
pada suatu bangsa. Paham ini lahir pada abad ke- 20 di negara-negara Barat,
terutama di benua Eropa dan Amerika. Nasionalismee lahir didasarkan pada rasa
cinta terhadap tanah air, bangsa dan negara serta ideologi dan politik.
Nasionalisme juga diartikan sebagai suatu sikap politik dan sosial dari
kelompok masyarakat yang mempunyai kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta
kesamaan cita-cita dan tujuan. Mereka merasakan adanya kesetiaan yang mendalam
terhadap kelompok-kelompok yang lain dalam satu bangsa.
Rupert Emerson mendefinisikan
nasionalisme sebagai komunitas orang-orang yang merasa bahwa mereka bersatu
atas dasar elemen-elemen penting yang mendalam dari warisan bersama dan bahwa
mereka memiliki takdir bersama menuju masa depan.[1] Dari pengertian diatas dapat kita pahami bahwasanya
agar tercipta rasa nasionalisme butuh yang namanya rasa saling memiliki antar
masyrakat sebagai anggota suatu bangsa.
Islam sebagai agama yang Rahmatan
lil ‘alamin telah mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan
manusia. Sebagai agama yang sempurna, islam telah memberikan intisari dari nasionalisme.
Intisari dari nasionalisme adalah rasa kecintaan terhadap tanah air. Konsep
mengenai nasionalisme banyak tertuang dalam sumber pokok ajaran islam baik itu ayat-ayat
Al-Qur’an maupun Hadits Nabi Saw. Oleh karena itu, penulis akan berupaya mengupas
mengenai nasionalisme dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadits.
B.
Pengertian Nasionalisme
Beragam definisi nasionalisme yang
dilontarkan para ahli kebangsaan, yang pada intinya mengarah pada sebuah konsep
mengenai jati diri kebangsaan yang berfungsi dalam penetapan identitas individu
di antara masyarakat dunia. Konsep nasionalisme juga sering dikaitkan dengan
kegiatan politik karena berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah dan
negara.
Nasionalisme tidak lepas dari unsur
konsep nation, nasional, isme. Ketiga unsur ini memiliki arti yang berbeda,
yang sama berbeda dengan definisi nasionalisme. Nation berarti kumpulan
penduduk dari suatu propinsi, suatu negeri atau suatu kerajaan. Adapula yang
mengartikan suatu negara atau badan politik yang mengakui suatu pusat
pemerintahan bersama dan juga wilayah yang dikuasai oleh negara tersebut serta
penduduk yang ada didalamnya, atau lebih mudahnya dikatakan sebagai bangsa.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasional berarti bersifat kebangsaan;
berkenaan/berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa. Nasionalisme
lebih merupakan paham meskipun memiliki akhiran-isme. Hal ini pun diakui dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa nasionalisme bermakna paham (ajaran) untuk
mencintai bangsa dan negara sendiri. Nasionalisme berasal darikata nation yang
memiliki makna “bangsa” jika diterjemahkan kedalam bahasa indonesia.[2]
Makna nasionalisme sebenarnya lebih
mengacu pada sikap yang menganggap kepribadian nasional memiliki nilai dan arti
yang sangat penting dalam tata nilai kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. [3]
Maksudnya memiliki rasa nasionalisme berarti ada gemetar kecintaan dalam
dirinya terhadap negaranya. Rasa kecintaan inilah yang nantinya akan membuat
seorang warga negara rela berkorban dan berjuang demi memajukan bangsanya.
Itulah mengapa nasionalisme penting.
Nasionalisme menurut Hans Kohn
adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus
diserahkan kepada negara kebangsaan. Sebelum lahirnya nasionalisme, kesetiaan
orang tidak ditunjukan kepada negara bangsa tetapi ditujukan kepada berbagai
bentuk kekuasaan sosial, organisasi politik, raja, kesatuan ideologiseperti
suku, negara kota, kerajaan dinasti atau gereja.[4]
Nasionalisme adalah paham yang
memiliki beberapa unsur pemersatu yang menyebabkan seseorang mempunyai rasa
kepemilikan dan kesamaan terhadap budaya bangsanya. Hal ini sesuai dengan
pernyataan John Crom, nasionalisme adalah paham yang berpendapat bahwa kesetiaan
tertinggi dan individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Adapun
unsur-unsur yang menetapkan nasionalisme adalah:[5]
1.
Bahasa
2.
Kebudayaan
3.
Asal keturunan
4.
Persamaan nasib / perjuangan bersama
5.
Kepentingan bersama
Pengertian yang berbeda diberikan
oleh Sarman[6], ia secara kritis menulis sempitnya kerangka pikir
sebagian besar orang mengenai nasionalisme. Menurutnya, nasionalisme sering
diartikan sebagai kecintaan terhadap tanah air yang tanpa reserve, yang
merupakan simbol patriotisme heroik semata sebagai bentuk perjuangan yang
seolah-olah menghalalkan segala cara demi negara yang dicintai. Definisi
tersebut menyebabkan makna nasionalisme menjadi usang dan tidak relevan dengan
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masa kini, yang tidak lagi bergelut
dengan persoalan penjajahan dan merebut kemerdekaan dari tangan kolonialis.
1.
Sebagai suatu proses sejarah aktual, yaitu proses sejarah pembentukan
nasionalitas sebagai unit-unit politik, pembentukan suku dan imperium
kelembagaan nasional modern.
2.
Sebagai teori, prinsip, atau implikasi ideal dalam suatu proses sejarah
aktual.
3.
Nasionalisme menaruh perhatian terhadap kegiatan-kegiatan politik, seperti
kegiatan partai politik tertentu, penggabungan proses historis dan suatu teori
politik.
4.
Sebagai suatu sentimen, yaitu menunjukkan keadaan pikiran diantara suatu
nasionalitas.
Dari beberapa pengertian
nasionalisme diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa kata kunci dalam
nasionalisme adalah kesetiaan, yang muncul karena adanya kesadaran akan
identitas kolektif yang berbeda dengan lainnya. Pada kebanyakan kasus kesetiaan
itu terjadi karena kesamaan keturunan, kebudayaan, bahasa. Akan tetapi semua
unsur bukanlah unsur yang substansial, sebab yang ada dalam nasionalisme adalah
kemauan untuk bersatu.
C.
Sejarah Nasionalisme
Istilah nasionalisme sebenarnya
muncul dari dunia barat yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai nationalism.
Nasionalisme ini awalnya timbul sebagai reaksiatas feodalisme dimana suatu negara
dipersatukan atas dasar kesetiaan pada tokoh bangsawan tertentu, agama atau
negara yang dikepalai raja dari suatu dinasti.
Masalah nasionalisme menjadi hangat
semenjak Napoleon Bonaparte pada akhir abad 18 menguasai dan menjajah bangsa
lain di Eropa. Bangsa-bangsa yang menjajah ini dapat menikmati segala
keuntungan dari negara yang dijajahnya. Sedangkan bangsa-bangsa yang dijajah
benar-benar merasa tertindas oleh bangsa lain; nasib bersama menimbulkan
kebutuhan kepada persatuan, terutama diantara mereka yang dijajah.[8]
Menurut Barbara Ward, akar
nasionalisme di dunia barat, diawali setelah runtuhnya Kerajaan Roma di Eropa
Barat dimana menumbuhkan kelompok-kelompok kesukuan dan setelah melakukan
serangkaian penaklukan lalu menjadi negara-negara feodal. Dengan majunya abad
pertengahan, tiga dari kelompok-kelompok ini mulai mengambil bentuk nasional
yang dapat dilihat. Suku-suku Gaul telah ditaklukkan Caesar dan mereka diberi
bahasa yang dilatinisasi. Di bawah pembagian tanah secara feodal—diantara
pangeran-pangeran Inggris, raja-raja Capet dan pengikut-pengikut Burgundia—maka
masyarakat mulai memakai bahasa Perancis yang memepunyai bentuknya sendiri dan
daerah bahasa ini mempunyai batas-batasnya yang tegas secara
geografis—sepanjang Laut Atlantika, sepanjang Pegunungan Pyrenea dan Alpen.
Akhir abad ke-14, Perancis menjadi sadar tentang dirinya sebagai sebuah
kelompok nasional yang besar yang memakai bahasa Perancis.[9]
Menurut Yosaphat Haris Nusarastriya
pada essai penelitiannya sejarah nasionalisme dunia Barat khususnya di Eropa
dibagi menjadi tiga fase, yakni:[10]
Pertama,faseini ditandai dengan runtuhnya banyak kerajaan
beserta sistemnya yang kemudian
dilanjutkan dengan berdirinya negara-negara nasional. Fase ini dimulai pada
saman akhir abad pertengahan. Ciri utama yang sangat ketara dalam fase ini ialah
identifikasi bangsa dalam perorangan yang berkuasa
Kedua,fase ini sering juga disebut sebagai “the middle
class nationalism”. Dimana pada fase ini terdapat banyak kekacauan perang yang
dibuat oleh Napoleon dan yang segera berakhir pada tahun 1914. Nasionalisme
pada masa ini bukan hanya tercermin dari perilaku seorang raja saja, tapi juga
pada masyarakat secara umum yang memiliki peran signifikan kala itu.
Ketiga,pada fase ini nasionalisme sering disebut dengan terma
”sosialisasi dari pada bangsa”. Corak yang paling dominan pada fase ini adalah melebih-lebihkan
kepentingan bangsa sendiri, melampaui batas sehingga mudah menjelma menjadi
suatu nasionalisme sempit dan congkak yang berkeinginan untuk mengadakan adu kekuatan
dengan bangsa lain
Nasionalisme bersifat statis dan
senantiasa mengalami perkembangan dan perubahan. Perubahan pola dan sistem
nasionalisme banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial suatu negara kala itu. Di
abad ke- 20, nasionalisme di negara-negara Barat seperti Jerman dan Italia dan
beberapa negara lainnya lebih condong ke arah nasionalisme totaliter.Nasionalisme
totaliter di Jerman dengan Italia jauh berbeda. Di Italia nasionalisme lebih
mengarah ke paham fasisme, yakni paham yang menekankan kedaulatan negara diatas
kedaulatan rakyat. Berbeda halnya dengan Jerman. Dibawah pimpinan Hitler,
Jerman lebih menitikberatkan faktor ras. Nasionalisme semacam ini dekenal
dengan Nasionalisme Sosialis (NAZI). Paham ini merupakan penurunan tradisi
nasionalisme-romantisme Jerman yang dulu pernah ada pada abad ke-19, tetapi kemudian
muncul kembali dan bermetamorfosis di abad ke-20 dalam bentuk yang dianggap
ekstrim.[11]
Paham nasionalisme yang awalnya
lahir di dunia Eropa dengan cepat menyebar ke negara-negara lain di berbagai
penjuru dunia. Hingga akhirnya paham nasionalisme ini juga masuk dan berkembang
di Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, India/Pakistan, Iran, Irak, Kuait,
Palestina, Aljazair, Sudan, Yaman, Mesir dan negara-negara lain yang mayoritas
penduduknya beragama Islam. Masuknya paham nasionalisme ini berimplikasi dengan
terjadinya aksi-aksi politik bangsa-bangsa tersebut untuk membebaskan negaranya
dari penjajahan kolonial Eropa.[12]
Semangat nasionalisme yang tumbuh
dan berkembang di Indonesia berlatar belakang kolonialisme. Berbagai macam suku bangsa yang ada di
Indonesia disatukan oleh pengalaman yang sama yakni pernah dijajah oleh
kolonial Belanda. Setelah Indonesia berdiri, suku-suku tersebut kemudian
menjadi satu kesatuan dan sekaligus bagian dari Indonesia. Kesamaan nasib yang
dialami oleh mereka menyebabkan mereka memiliki semangat untuk bersatu dan
berjuang untuk melawan penjajahan.[13]
Nasionalisme dalam sejarah
perjuangan kemerdekaan Indonesia dikenal sebagai sebuah kata sakti yang mampu
membangkitkan kekuatan berjuang melawan penindasan yang dilakukan kaum
kolonialis selama beratus-ratus tahun lamanya. Perasaan senasib dan
sepenanggungan yang dialami mampu mengalahkan perbedaan etnik, budaya dan agama
sehingga lahirlah sejarah pembentukan kebangsaan Indonesia.
Abad ke 19 dan ke 20 yang dijuluki
sebagai abad ideologi merupakan masa yang penuh dengan benturan sosial yang
meliputi hampir seluruh belahan dunia. Peningkatan kesadaran hukum dan hak
asasi manusia menggulirkan pemahamanpemahaman dan kesepakatan-kesepakatan yang
mengarah pada tata dunia baru. Gagasan mengenai hak setiap bangsa untuk dapat
menentukan nasib sendiri yang terjadi di berbagai belahan dunia disertai
perasaan yang kuat untuk melepaskan diri dari penindasan yang dialami,
mengantarkan masyarakat yang mendiami pulau-pulau yang terpisah untuk bersatu,
bergabung memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang berjuang
menegakkan kedaulatannya.
Tonggak sejarah yang terpenting
dalam proses nasionalisme di Indonesia adalah ketika lahirnya Budi Utomo pada
tahun 1908, diikuti ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928, yang mengilhami
lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa
Indonesia. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi
perjuangan-perjuangan berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 setelah melalui proses yang sangat
panjang dan berat. Keberhasilan bangsa Indonesia lepas dari penjajahan melalui
perjuangannya sendiri juga melahirkan pengakuan dunia bahwa nasionalisme
Indonesia termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari
dunia ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi.[14]
Kentalnya kaitan nasionalisme dengan
perjuangan melawan penjajah pada masa tersebut turut menyebabkan keterbatasan
pemahaman definisi nasionalisme. Ungkapan “hidup atau mati” atau “right or
wrong is my country” yang dahulu lantang diucapkan oleh para pejuang
kemerdekaan, menjadi hal yang semu dan kurang tepat dialamatkan pada generasi
muda saat ini. Pergeseran makna dari nasionalisme itu sendiri tidak jarang
menyebabkan penilaian negatif terhadap semangat nasionalisme generasi muda saat
ini.
D.
Nasionalisme Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits
Sebagaimana bangsa Eropa yang
mengenal nasionalisme semenjak abad ke delapan belas, orang Islam- pun tidak
mengenal nasionalisme. Pada saat penyebaran agama Islam tidak dikenal kata atau
kalimat yang berkonotasi dengan kata
nasionalisme. Terminologi yang dipakai untuk menunjukan pada komunitas
Islam adalah al ummah al islamiyyah yang berarti umat Islam. Istilah yang dapat
merujuk kepada nasionalisme baru muncul saat ekspedisi Napoleon Bonaparte ke
Mesir. Saat itu, dia memperkenalkan terminologi al ummah al misriyyah yang
berarti umat Mesir.
Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya
Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan
dalam Al-Quran:[15]
1.
Persamaaan Keturunan
Al-Quran menegaskan bahwa Allah
SWT menciptakan manusia terdiri dari
berbagai ras, suku dan bangsa agar tercipta
persaudaraan dalam rangka menggapai tujuan bersama yang dicita-citakan.
Al-Quran sangat menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur
terkecil terbentuknya masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku
terbentuk bangsa, sebagaimana dalam Al-Quran 7:160 dan mereka kami bagi menjadi
duabelas suku yang masing-masing menjadi umat (bangsa), dan kami wahyukan
kepada Musa ketika kaumnya (bangsanya) meminta air kepadanya, ”pukullah batu
itu dengan tongkatmu” maka memancarlah darinya dua belas mata air.
Rasulullah sendiri dalam
perjuangannya di Makkah justru mendapat pembelaan dari keluarga besarnya.
Sejalan dengan itu Muhammad SAW bersabda: sebaikbaiknya kamu adalah pembela
keluarga besarnya selama pembelaannya itu bukan dosa (HR Abu Daud dari Suroqoh
bin Malik). Hanya saja pengelompokan
dalam suku bangsa tidak boleh menyebabkan fanatisme buta, sikap superioritas
dan penghinaan terhadap bangsa lain. Nabi bersabda: tidaklah termasuk dalam
golongan kita orang yang mengajak kepada ashobiyyah (fanatik buta terhadap
kelompok), bukan pula yang berperang atas dasar ashobiyyah, bukan pula yang
mati dengan mendukung ashobiyyah (HR Abu Daud dari Jubair bin Muth’im).
2.
Persamaan Bahasa
Bahasa pada hakikatnya bukan hanya
sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan isi pikiran dan tujuan, tapi untuk
memelihara identitas dan sebagai pembeda dari komunitas lain. Jadi bahasa dapat
merupakan perekat terjadinya persatuan umat atau bangsa. Sahabatsahabat
Rasulullah ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib
(berasal dari Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda:
kebangsaan Arab yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu
melainkan dari bahasa, maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah
bangsa Arab.
3.
Persamaan Adat Istiadat
Adat istiadat menurut pakar hukum
Islam selama tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dipertimbangkan
sebagai hukum. Allah menandaskan dalam Q.S. 3:104 “hendaklah ada sekelompok
diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan
mencegah yang mungkar.”
Demikian pula dalam Q.S. 7:199 “jadilah
engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf (adat istiadat yang baik), dan
berpalinglah dari orang jahil”. Pada kedua ayat ini kata ’urf dan alma’ruf
dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi jelas bahwa adat istiadat
sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah bertentangan dengan Islam.
4.
Persamaan Sejarah
Persamaan sejarah masa lalu,
persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan
datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa.
Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya,
demikian pula sebaliknya. Al-Qur’an pun sangat menonjol dalam menguraikan
sejarah dengan tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah
berikutnya. Jadi unsur kesejarahan sejalan dengan Al-Qur’an.
5.
Cinta Tanah Air
Cinta tanah air tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan inklusif dalam ajaran Al-Qur’an dan
praktik nabi Muhammad Saw. Hal ini bukan sekedar dibuktikan melalui ungkapan
populer yang dinilai oleh sebagian orang sebagai hadits nabi Saw. “Hubbul
wathan minal iman”(cinta tanah air adalah sebagian dari iman) melainkan
justru dibuktikan dalam praktik nabi Muhammad SAW. Baik dalam kehidupan pribadi
maupun kehidupan bermasyarakat.
Ketika Rasullullah Saw. Berhijrah ke
Madinah, beliau shalat menghadap ke Bait Al-Maqdis. Tetapi, setelah enam bulan,
rupanya beliau rindu kepada Mekkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat
leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Wajah beliau bolak-balik menengadah
ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Mekkah, maka Allah merestui
keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:
Artinya : “Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat
dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah
benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka
kerjakan.”(Q.S. Al-Baqarah : 144)
Cinta beliau kepada tanah tumpah
darahnya, tampak juga ketika meninggalkan kota Mekkah dan berhijrah ke Madinah.
Sambil menengok ke kota Mekkah, beliau berucap:
والله انك احب ارض الله اليّ ولو
لا ان قومك اخرجوني ما خرجت
Artinya: “Demi Allah,
sesungguhnya engkau adalah bumi Allah yang paling kucintai; seandainya bukan
yang bertempat tinggal disini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya”
Sahabat-sahabat nabi pun demikian,
sampai-sampai nabi Saw. Bermohon kepada Allah Swt.:
اللهم حبّب الينا إلينا المدينة
كحبّنا لمكّة واشد. رواه
البخاري ومالك وأحمد
“Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami sebagaimana engkau
Mencintakan kota Mekkah kepada kami, bahkan lebih. (H.R. Bukhori, Malik, dan Ahmad)
Cinta kepada tanah tumpah darah
merupakan naluri manusia, karena itu pula nabi Saw. Menjadikan tolok ukur kebahagiaan
adalah “diperolehnya rizki dari tanah tumpah darah”. Sungguh benar ungkapan
“hujan emasa di Negeri orang lain, hujan batu di Negeri sendiri, lebih senang
di Negeri sendiri”
Bahkan Rasullullah Saw. Mengatakan
bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta dan negeri
sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran agama. Bahkan
Al-Qur’an menggandengkan pembelaan agama dan negara dalam firman-Nya:
Artinya: “Allah tidak
melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang
tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim.”
(Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9)
Dari uraian diatas bahwa paham
kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah.
Bahkan semua unsur yang melahirkan ajaran tersebut, inklusif didalam Al-Quran,
sehingga seorang muslim yang baik, pastilah anggota suatu bangsa yang baik.
E.
Penutup
Paham nasionalisme dikembangkan
untuk mempersatukan semua elemen yang ada pada suatu bangsa yang didasarkan
pada rasa cinta terhadap tanah air, bangsa, negara, idiologi dan politik. Ia
merupakan suatu sikap politik dan sosial dari masyarakat yang mempunyai
kesamaan budaya, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan. Paham nasionalisme
lahir di Eropa sekitar abad ke-15 M., kemudian berkembang ke Timur (Asia dan
Afrika) pada abad ke-20 M. Berkembangnya paham nasionalisme ini dapat
mempengaruhi wajah dunia dari sisi politik kekuasaan, dan memiliki dampak yang
luas bagi negara-negara bangsa, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur.
Jauh sebelum paham nasionalisme
masuk dan mempengaruhi dunia Timur, di sana sudah ada nilai-nilai Islam yang
universal, yang berlaku dan dianut oleh masyarakat muslim serta menjadi unsur
pemersatu di antara mereka. Nilai-nilai Islam telah mempengaruhi dan membentuk
kaum muslimin merasa senasib sepenanggungan dan memiliki kedekatan emosional
dalam persaudaraan dengan mengabaikan perbedaan suku bangsa dan keturunan. Bagi
kaum muslimin, kehadiran paham nasionalisme ini bersentuhan langsung dengan
nilai-nilai Islam yang telah lebih lama berada di tengah-tengah mereka.
Akar-akar nasionalisme ternyata
dapat diketemukan dalam ayat-ayat Al-Quran dan dalam kehidupan Nabi Mahammad
Saw. Nasionalisme tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Bahkan
inklusif dalam ajaran Al-Qur’an dan praktik nabi Muhammad Saw. Hal ini bukan
sekedar dibuktikan melalui ungkapan populer yang dinilai oleh sebagian orang
sebagai hadits nabi Saw. “Hubbul wathan minal iman”(cinta tanah air
adalah sebagian dari iman) melainkan justru dibuktikan dalam praktik nabi
Muhammad SAW. Baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat.
F.
Daftar Pustaka
Amal, Ichlasul & Armawi, Armaidy. 1998. Regionalisme,
Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Dault, Adhyaksa. 2005. Islam dan Nasionalisme.
Jakarta; Pustaka Al-Kautsar.
Dewi, Ita Mutiara. Nasionalisme dan Kebangkitan
dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
Ilahi, Mohammad Takdir. 2012. Nasionalisme
Dalam Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Kusumawardani, Anggraeni & Faturochman. Nasionalisme.
Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember 2004.
Mugiyono. Relasi Nasionalisme Dan Islam Serta
Pengaruhnya Terhadap Kebangkitan Dunia Islam Global. Palembang: jurnal
.radenfatah.ac.id
Murod, Abdul Kholid. Nasionalisme Dalam
Perspektif Islam. Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58
Nusarastriya, Yosaphat Haris. Sejarah Nasionalisme Dunia Dan
Indonesia
Shihab, Quraish. 1996. Wawasan Al-Quran.
Bandung: Penerbit Mizan.
Sianipar, Madiri Thamrin. 2010. Pokok-Pokok
Ilmu Politik dan Pengelolaan. Bandung: Lubuk Agung.
Taniredja, Tukiran. 2013. Konsep Dasar Kewarganegaraan.
Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Catatan:
1.
Tolong footnote diperbaiki.
2.
Jika referensi dari jurnal, maka tetap harus mencantumkan keterangan lengkap
jurnal.
[1]Adhyaksa Dault. 2005. Islam dan Nasionalisme.
Jakarta; Pustaka Al-Kautsar. Hal. 2
[2]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan
dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[3]Mohammad Takdir Ilahi. 2012. Nasionalisme Dalam
Bingkai Pluralitas Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Hal. 13
[4]Abdul Kholid Murod. Nasionalisme Dalam
Perspektif Islam.Jurnal Sejarah CITRA LEKHA, Vol. XVI, No. 2 Agustus 2011: 45-58. Hal. 47
[5]Madiri Thamrin Sianipar. 2010. Pokok-Pokok Ilmu
Politik dan Pengelolaan. Bandung: Lubuk Agung. Hal. 104
[6]Sarman dalam Anggraeni Kusumawardani &
Faturochman. NASIONALISME. Buletin Psikologi, Tahun XII, No. 2, Desember
2004. Hal. 61
[7]Tukiran Taniredja. 2013. Konsep Dasar
Kewarganegaraan. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal. 187
[8]Ibid. Hal.
50
[9]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan
dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[11]Ita Mutiara Dewi. Nasionalisme dan Kebangkitan
dalam Teropong. Mozaik Vol.3 No. 3, Juli 2008 ISSN 1907-6126
[12]Mugiyono.
RELASI NASIONALISME DAN ISLAM SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEBANGKITAN DUNIA
ISLAM GLOBAL. Palembang: jurnal .radenfatah.ac.id
[13]Ichlasul Amal & Armaidy Armawi. 1998. Regionalisme,
Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional.Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. Hal. 39
[14]Ibid. Hal. 63
[15]Quraish Shihab. 1996. Wawasan Al-Quran.
Bandung: Penerbit Mizan. Hal. 334
Tidak ada komentar:
Posting Komentar