NASIONALISME PERSPEKTIF
AL-QUR’AN DAN HADITS
Vina Zahrotul Isma, Ayu devi setiowati, Adam Zainuri
Mahasiswa Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial Kelas D Angkatan 2015
Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang
Abstrac
This paper discusses the nationalism of the
perspective of Al-Quran and Hadits. In this discussion contains the
understanding of nationalism, history of nationalism, and nationalism according
to the Quran and Hadits. Nationalism can
be interpreted as the understanding of nationality and the attitude of love of
the homeland high that must be owned by citizens, felt to have the same history
and ideals in the purpose of nation and state. Modern nationalism is the
understanding of the right of nation to determine its own destiny and therefore
anti-imperialism, in line with the principles of democracy. The development of
nationalism according to the organization can be devided into 4 stages : 1) one
stage nationalism from the stage of development of national unity politics
primitive (the poliyics of primitive unification); 2) industrialization; 3)
phase 3 nationalism, from the politics of national welfare; 4) phase 4 of
nationalism from the stage of political development of prosperity (the politics
of abudance). The nationalism of populism and religious nationalism always by
it self constitute an antagonistic movement towards the increasingly national
debt to the nation. Religious nationalism is one of the symbols of popular
nationalism. The nation of nationalism may be more flowing if we describe it
with a religious culture, a popular culture, which in this case wrestles
against the culture of the state. Nationalism in islam must be accompanied by :
1) the love of the homeland, this is because “hub al-watan min al-iman” love
the homeland part of faith 2) togetherness with the spirit of patriotism
against all forms of colonialism to defend the dignity and dignity of a nation.
The elements of nationalism can be found in the Quran : 1) equality of descent,
2) equation of language, 3) equation of customs, 4) equation of history, and 5)
love of the homeland.
Abstrak
Makalah ini membahas tentang nasionalisme
perspektif Al-Quran dan Hadist. Dalam pembahasan ini memuat tentang pengertian
nasionalisme, sejarah nasionalisme, dan nasionalisme menurut Al-Quran dan
Hadis.Nasionalisme dapat diartikan sebagai paham tentang kebangsaan dan sikap
cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki oleh warga negara, merasa
memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara.
Nasionalisme modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan
nasibnya sendiri dan karena itu, anti imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip
demokrasi.Perkembangan nasionalisme menurut organisasi dapat dibedakan menjadi
4 tahap, yaitu: 1) Nasionalisme tahap satu dari tahap perkembangan politik
kesatuan nasional primitive (the
politics of primitif unification); 2) Industrialization; 3) Nasionalisme fase 3,
dari politik kesejahteraan nasional (the politics of national welfare);
4) Nasionalisme fase 4 dari tahap perkembangan politik kemakmuran (the
politics of abudance).Nasionalisme kerakyatan dan nasionalisme keagamaan
selalu dengan sendirinya merupakan gerak antagonistik terhadap makin besarnya
hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme keagamaan merupakan salah satu simbol
dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian nasionalisme itu mungkin bisa menjadi
lebih mengalir kalau kita gambarkan dengan kebudayaan agama, kebudayaan
kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat melawan kebudayaan negara. Nasionalisme
dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1) cinta tanah air, ini karena “hubb
al-watan min al-iman” cinta tanah air sebagian dari iman 2)
kebersamaan yang disertai jiwa patriotisme melawan segala bentuk penjajahan
demi membela harkat dan martabat suatu bangsa.Unsur-unsur nasionalisme dapat ditemukan
dalam Al-Quran: 1)Persamaaan
keturunan,2) Persamaan bahasa,
3) Persamaan adat istiadat, 4) Persamaan sejarah, dan 5) Cinta tanah air.
A.
Pendahuuan
Nasionalisme
merupakan jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal
kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi bangsa dan Negara. Nasionalisme merupakan sebuah faham
tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang harus dimiliki
oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang sama dalam tujuan
berbangsa dan bernegara. Di era yang
semakin modern ini, khususnya bagi umat islam semua hal yang mereka hadapi
haruslah didasarkan pada al-quran dan hadits. Dalam Al-Quran semua permasalahan
umat juga dibahas, termasuk nasionalisme ini. Seseorang selama berada dalam
suatu Negara pasti akan memiliki rasa nasionalisme, namun tidak semua orang memahami
atau mengetahui rasa nasionalisme yang sebenarnya menurut Al-Quran dan Hadits.
Secara umum nasionalisme merupakan jiwa dan semangat yang membentuk
ikatan bersama, baik dalam hal kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi
bangsa dan negara. Islam mengakui bahwa tuhan menjadikan manusia
berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
penulis berupaya membahas tentang nasionalisme dalam perspektif Al-Quran maupun
hadits.
B.
Pengertian Nasionalisme
Secara
etimologis kata nasionalisme, akar katanya national yang diambil dari natio yang
berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio berasal
kata nascie yang berarti dilahirkan. Nation atau bangsa menurut Hans
Kohn adalah golongan-golongan yang beragam dan tidak dapat dirumuskan secara
eksak. Kebanyakan bangsa memiliki faktor-faktor obyektif tertentu yang
membedakan mereka dengan bangsa-bangsa lainnya, sepertikesamaan keturunan,
bahasa, daerah, kesatuan politik, adat istiadat, tradisi, perasaan dan agama.
Akan tetapi tidak satupun diantara faktor-faktor itu bersifat mutlak guna
merumuskan bentuk dasar sebuah bangsa.[1]
Nasionalisme
merupakan jiwa dan semangat yang membentuk ikatan bersama, baik dalam hal
kebersamaan maupun dalam hal pengorbanan demi bangsa dan Negara.[2]
Sementara itu, Nasionalisme secara etimologi berasal dari kata ‘National’ dan
‘Isme’ yaitu paham kebangsaan yang mengandung makna kesadaran dan semangat
cinta tanah air, memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan
bangsa, memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan
saudara setanah air, sebangsa dan senegara serta menjunjung tinggi nilai
persatuan dan kesatuan. Dari pengertian tersebut maka nasionalisme dapat di
artikan sebagai faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi
yang harus dimiliki oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita
yang sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara.[3]
Namun
sejak revolusi perancis meletus 1789, pengertian nasionalisme mengalami
berbagaiPengertian, sebab kondisi yang melatarbelakanginya amat beragam. Antara
bangsa satu dengan bangsa yang ain. Nasionalisme bukan lagi produk pencerahan
Eropa tetapi menjadi label perjuangan di Negara-negara Asia-Afrika yang dijajah
bangsa Barat. Keragaman makna itu dapat dilihat dari sejumlah pendapat berikut.
Smith (1979:1) memaknai nasionalisme sebagai gerakan ideologis untuk meraih dan
memelihara otonoi, kohesi, dan individualitas bagi satu kelompok sosial
tertentu yang diakui oleh beberapa anggotanya untu membentuk atau menentukan
satu bangsa yang sesungguhnya atau yang berupa potensi saja. Snyder (1964:23) sementara itu memaknai
nasionalisme sebagai satu emosi yang kuat yang telah mendominasi pikiran dan
tindakan politik kebanyakan rakyat sejak revolusi Perancis. Ia tidak bersifat
alamiah, melainkan merupakan satu gejala sejarah, yang timbul sebagai tanggapan
terhadap kondisi politik, ekonomi, dan sosial tertentu.[4]
Beberapa
ahli juga banyak yang mendefinisikan tentang konsep nasionalisme. Abdul Munir
Mulkhan (1996:14), mengatakan bahwa ‘nasionalisme adalah sebuah gagasan
mengenai kesatuan kebangsaan dalam suatu wilayah politik kenegaraan’. Kemudian
menurut Marvin Perry (2013:94). ‘Nasionalisme adalah suatu ikatan sadar yang
dimiliki bersama oleh sekelompok orang yang memiliki kesamaan bahasa,
kebudayaan dan sejarah yang ditandai dengan kejayaan dan penderitaan bersama
dan saling terkait dengan negeri tertentu’. Pada dasarnya nasionalisme memang
lahir dari bermacam-macam cara, mulai dari karena kesamaan akan sejarah,
kebudataan, cita-cita, ketidakadilan, penindasan, serta sebagai wujud
perlawanan suatu kelompok bangsa.
Sementara
itu, Margaret Moore, Nasionalisme adalah ‘argumen normative yang memberikan
nilai moral pada keanggotaan bangsa, keberadaan bangsa tersebut di masa lalu
dan kini, serta mengidentifikasi bangsa dengan tanah air tertentu atau bagian
tertentu dari dunia ini’ (2002:5). Definisi nasionalisme tersebut dan
sumber-sumber nasionalisme kerap diperdebatkan, ada yang melihatnya sebagai
produk modernitas, ada pula yang melihatnya sebagai penyebab modernitas.[5]
Nasionalisme
modern adalah paham tentang hak bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri dan, karena itu, anti-imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip
demokrasi. Nasionalisme modern akan melahirakan kestabilan dan akan berfungsi
sebagai kekuatan yang menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang
terpisah-pisah. Karena itu nasionalisme merupakan unsur esensial bagi
pembangunan bangsa (Nation building) untuk Indonesia, sebuah bangsa dan
Negara yang mana fragmentasi etnis dan kesukuan ataupun unsure-unsur perbedaan
sosial cultural selalu merupakan ancaman bagi stabilitas dan pembangunan
ekonomi[6]
Sedangkan cita-cita nasionalisme menurut
Hertz ada empat macam:
1. Perjuangan untuk mewujudkan persatuan
nasional yang meliputi persatuan dalam politik, ekonomi, keagamaan, kebudayaan,
dan persekutuan serta solidaritas.
2. Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan
nasional yang meliputi kebebasan dari penguasa asing atau campur tangan dari
dunia luar dan kebebasan dari kekuatan-kekuatan intern yang bersifat anti
nasional atau yang hendak mengesampingkan bangsa dan negara.
3. Perjuangan untuk mewujudkan kesendirian (separateness),
pembedaan (distinctiveness), individualitas dan keaslian (originality).
4. Perjuangan untuk mewujudkan pembedaan
diantara bangsa-bangsa yang memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi dan
pengaruh.[7]
C. Sejarah
Nasionalisme
Kaitan
antara nasionalisme dengan bangsa dan Negara amat jelas. Salah satu tujuan perjuangan kaum nasionalis yang terutama
adalah pembentukan Negara bangsa (nation state).Hertz (1996:47)
nerpendapat bahwa nasionalisme merupakan ideology Negara dan satu bentuk
tingkah laku dari suatu bangsa. Nasionalisme sebagai ideology dbentuk berdasarkan
gagasan bangsa dan membuatnya untuk memberi fondasi kokoh bangi Negara. Sebagai
ideology, nasionalisme dapat memainkan 3 fungsi, yaitu mengikat kelas warga
bangsa, menyatukan mentalitas warga bangsa, dan membangun atau memperkokoh
pengaruh warga bangsa terhadap kebijakan yang diambil oleh Negara. Nasionalisme
merupakan salah satu alat perekat kohesi sosial untuk mempertahankan eksistensi
Negara dan bangsa. Semua Negara dan bangsa emmebutuhkan nasionalisme sebagai
faktor integrative.[8]
Sebagai
suatu fenomena, nasionalisme terjadi dimana-mana yang meliputi benua Eropa,
Amerika, Asia, dan Afrika. Ada beberapa factor yang melatarbelakangi dan ikut
mewarnai tumbuhnya nasionalisme yang kemudian menjadi spirit bagi bangsa untuk
mencapai harapan-harapan barunya seperti kemerdekaan, persamaan, dan
kemandirian untuk menentukan kehidupan melalui
Negara nasionalnya.[9]
Berikut akan membahas tentang sejarah lahirnya nasionalisme di Indonesia maupun
di dunia
Di
dalam tradisi penulisan sejarah secara umum,istilah nasionalisme bukan sesuatu
hal yang bar. Eric Hobsbaw (1991), salah satu sejarawan Inggris terkemuka abad
XX ini didalam tetraloginya tentang sejarah Eropa menempatkan nasionalisme
sebagai salah satu fenomena historis yang sangat penting baik dalam sejarah
Eropa maupun dalam kaitannya antara Eropa dengan wilayah lainnya sejak abad
ke-18 sampai ke-20. Nasionalisme menjadi salah satu pokok bahasan pada setiap
periode sejarah yang baginya menjadi empat babak, yaitu the age of
revolution, the age of capital, the age of empire, dan age of extremes.[10]
Di
Indonesia, tidak diragukan lagi jika memang bangsa Indonesia merupakan Negara
yang memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk tanah air. Sejarah
lahirnya nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi ada beberapa faktor,
diantaranya yakni faktor lingkungan.
Secara
garis besar nasionalisme Indonesia mengalami proses dan tahap-tahap dimulai
dari perjuangan Kartini yang menghendaki emansipasi menghadapi tradisi
yang dianggap menghambat kaum perempuan.
Walaupun katini sering dikategorikan sebagai pejuang wanita, tetapi ditinjau
dari teori yang ada seperti teorinya Sartono Kartodirjon(1967). Pada tahap
pembentukan, nasionalisme Indonesia berangkat dari pengertian yang terbatas yaitu cinta bangsa dan cinta tanah
air sesuai dengan suku-suku yang
sekarang ada. Dengan demikian pada tahap pertama nasionalisme agak mirip dengan
etnosentrisme (Jong Java, Jong Karimunjawa, Jong Celebes, Jong Ambon,dll
(sebelum 1908). Baru kemudian bergerak kea rah integrasi dan pembulatan konsep
Indonesia sebagai konsep nasional.
Perkembangan
selanjutnya nasionalisme dimaknai dengan
cinta tanah air dan bangsa, mendapatkan pengertian yang lebih
luas yaitu dalam skop Indonesia. Dalam semangat perjuangan melawan penjajah
nasionalisme sering disebut patriotism-heroisme (1908-1945). Baru kemudian
bergerak kea rah integrasi dan pembulatan konsep Indonesia sebagai identitas
nasional.[11]
Perlu
diketahui beberapa ciri terpenting dari lingkungan sosial yang kemudian
memunculkan nasionalisme Indonesia guna memahami karakter khas nasionalisme
Indonesia maupun gerakan revolusi sebagai kelanjutannya. Alam penjajahan abad
ke-20 yang melahirkan tahapan nasionalisme Indonesia yang modern, jelas, dan
konkret menuntut analisis secara menyeluruh[12]
Sudah
diketahui secara umum bahwa batas-batas politis umumnya membangun kesadaran
nasional. Sudah pula dapat dipastikan bahwa batas-batas sewenang-wenang yang
memperlihatkan wilayah kekuasaan Belanda di Hindia Timur menentukan menetapkan daerah-daerah
perbatasan di Indonesia yang kemudian menarik perhatian kaum nasionalis
Indonesia. Pemerintah Belanda menggalang orang-orang dari berbagai suku
dan kebudayaan ke dalam satu kesatuan politis. Dalam hal itu, ada kecenderungan bahwa orang-orang
tersebut mengembangkan suatu “kesadaran kelompok” dalam diri mereka. Dengan
demikian, Belanda tanpa sengaja membantu untuk merangkaikan
patriotism-patriotisme lokal di nusantara menjadi satu patriotism yang
merangkul semua patriotism tersebut. Dengan demikian pula, Belanda membantu
untuk membuka satu saluran besar yang mengalirkan sikap-sikap antagonistic
maupun kekecewaan di berbagai daerah di nusantaea yang diakibatkan oleh
persentuhan dengan penguasa asing. Saluran tersebut merupakan saluran yang
mampu menampung begitu banyak arus kekecewaan di daerah yang kemudian berkumpul
secara kolektif, dan tidak lagi mengalir secara terpisah-pisah di tengah-tengah
keterpencilan mereka[13]
Nasionalisme di
Barat sebagai ide, baru muncul antara tahun 1776 hingga 1830 khusunya di Benua
Eropa dan Amerika ketika terjadi proses
integrasi dari kerajaan-kerajaan sampai terbentuknya Negara nasional. Dalam proses transisi itu lahir apa yang
disebut masyarakat kelas menengah. Perkembangan nasionalisme di Barat khususnya
di Eropa berjalan melalui tiga fase demikian :pertama, bermula pada saat
hancurnya kerajaan yang dimulai pada zaman akhir abad pertengahan dan mulai
berdirinya Negara-negara nasional dengan cirri pokok dalam fase ini ialah identifikasi
bangsa dalam perorangan yang berkuasa. Tahap pertama ini memiliki karakteristik
yang mendasar dalam diri perorangan yang berkuasa sebagaimana dikemukakan oleh
Carr demikian “The essential characteristic of the periode was the
identification of the nation with te periode was the identification of the
nation with the person of the sovereign).
Fase
kedua dari perkembangan nasionalisme di Eropa berula sejak kekacauan perang
Napoleon dan berakhir dalam tahun 1914. Dan Fase ketiga, perkembangan
nasionalisme di Eropa merupakan ungkapan dari tuntutan massa untuk ikut
berperan sedemikian rupa hingga nasionalisme taraf ketiga ini dapat disebut
sebagai “sosialisasi dari pada bangsa” .
Ungkapan kepentingan di perasaan massa ini
tercermin di setiap kebijaksanaan politik dan ekonomi bangsa yang
bersangkutan dengan dorongan massa,
sehingga masyarakat adanya loyalitas dari masyarakat tersebut[14]
Perkembangan
nasionalisme menurut Organski(Nasikun,1996:3-4) dapat dibedakan menjadi 4
tahap, yaitu : (1) nasionalisme tahap satu dari tahap perkembangan politik
kesatuan nasional primitive ( the politics of primitive unification) : (2) industrialization (3) nasionalisme fase 3,
dari politik kesejahteraan nasional (the politics of national welfare) dan (4)
nasionalisme fase 4, dari tahap
perkembangan politik kemakmuran (the politics of abudance).[15]
D.
Nasionalisme
Menurut Al-Quran dan Hadits
Nasionalisme
kerakyatan dan nasionalisme keagamaan selalu dengan sendirinya merupakan gerak
antagonistik terhadap makin besarnya hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme
keagamaan merupakan salah satu simbol dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian
nasionalisme itu mungkin bisa menjadi lebih mengalir kalau kita gambarkan
dengan kebudayaan agama, kebudayaan kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat
melawan kebudayaan negara. Kebudayaan negara memandang komitmen kenegaraan
sebagai induk perilaku, sehingga sikap yang bertolak dari subjek ras, etnik,
atau keagamaan, dilihat sebagai primodialisme. Sebaliknya kebudayaan agama
memandang komitmen keagamaan merupakan induk, sehingga ras, etnik, juga negara
adalah primodialisme.[16]
Menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam
Maqayis al-Lughah, secara bahasa kata baldah berarti dada. Jika dikatakan
wad a’at al-naqah baldataha bil ard, ai sadraha, artinya, onta itu meletakkan
(menderumkan) dadanya di tanah. Dari makna asal, maka secara semantik, setiap
tempat, negeri atau wilayah yang dijadikan tempat tinggal bisa disebut sebagai baldah. Dari kata baldah pula muncul kata taballada
dan mubaladah yang
bisa berarti “berperang” untuk membela dan mempertahankan tanah air yang
ditempati.3 Seolah mereka harus berani
pasang dada (baldah) untuk
membela negarnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa term al-balad
dan al-baldah
dalam Al-Qur’an
agaknya mengandung pesan adanya kecintaan terhadap tanah air atau negeri yang
menuntut penduduknya untuk membela dan mempertahankan hak-haknya dari siapa
saja yang hendak merenggutnya. Dan, harus diingat bahwa upaya membela
hak-haknya termasuk dari Jihad fi Sabilillah. Disebutkan dalam Al-Quran surat Saba’ [34]: 15 dan QS.
Al-Baqarah [2]: 126,
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ ۖ جَنَّتَانِ
عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ ۚ
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
“Sesungguhnya bagi kaum Saba'
ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di
sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): "Makanlah
olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang
Maha Pengampun".(QS Saba’ : 15)
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا
آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُمْ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ
أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya
Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki
dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah
dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku
beri kesenangan sementara, kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan
itulah seburuk-buruk tempat kembali".(QS Al Baqarah : 126)
Dari
ayat Al Quran diatas, apapun konteks penyebutan kata balad atau baldah
dalam Al-Qur’an, yang jelas semuanya bermuara pada pengertian bahwa kata balad
atau baldah adalah daerah, tempat, kota, negeri, negara, kampung
atau wilayah tertentu. Dalam konteks kehidupan bernegara, jelas bahwa
keberadaan wilayah atau tanah air menjadi suatu keniscayaan bagi tegaknya suatu
bangsa dan negara.[17]
Al-Qur’an
juga merekam doa yang dipanjatkan Nabi Ibrahim as. agar negeri yang
ditempatinya dijadikan negeri yang aman dan makmur, yang hal ini bisa dipahami
sebagai sebuah bentuk rasa cinta tanah air yang layak untuk diteladani. Berikut
ini petikan doa Nabi Ibrahim:
وَإِذْ
قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ
أَنْ نَعْبُدَ الْأَصْنَام◌رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ
فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي ۖ وَمَنْ عَصَانِي فَإِنَّكَ غَفُورٌ
رَحِيم◌رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ
عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ
أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ
لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku,
jadikanlah negeri ini (Mekkah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta
anak cucuku dari menyembah berhala-berhala. Ya Tuhanku, sesungguhnya
berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia. Maka
barangsiapa yang mengikutiku, sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan
barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau, Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau
(Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka
mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada
mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, Mudah-mudahan mereka
bersyukur.” (Q.S. Ibrahim [14]: 35-37)[18]
Kata sya’ab,
qaum, ummah banyak digunakan Al-Quran untuk merujuk makna ”bangsa”. Kata
sya’ab yang menjadi kata tunggal dari syu’uban yang tercantun pada surat
al-Hujarat (49):13 kita temukan dalam Al-Quran dan terjemahannya yang disusun
oleh Departemen Agama mempunyai arti bangsa.[19]
Bangsa sesungguhnya adalah suatu kelompok tertentu yang tinggal diwilayah
tertentu yang terbentuk karena adanya unsur-unsur persamaan asal-usul
keturunan, sejarah, suku, ras, cita-cita meraih masa depan.
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
”Wahai manusia kami sesungguhnya telah
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling
bertakwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.”(QS Al Hujarat
(49) :13)
Nasionalisme
dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1) cinta tanah air, ini karena “hubb
al-watan min al-iman” cinta tanah air sebagian dari iman 2)
kebersamaan yang disertai jiwa patriotisme melawan segala bentuk penjajahan
demi membela harkat dan martabat suatu bangsa. Nabi Saw. pernah bersabda: “Sebaik-baik
kamu adalah pembela keluarga besarnya, selama pembelaannya bukan dosa.” (H.R.
Abu Dawud).[20]
Rujukan
kedua dalam menegakkan nasionalisme adalah tindakan Nabi Muhammad SAW pada saat
di Madinah. Saat itu, Rasullullah mengikat seluruh penduduk Madinah untuk
mengadakan perjanjian yang disebut piagam Madinah. Piagam itu dianggap
sebagai cikal bakal terbentuknya nation state oleh Montgomery Watt dan
Bernard Lewis.[21] Isi pokok piagam Madinah
antara lain: pertama, semua pemeluk Islam meskipun berasal dari banyak suku
merupakan satu komunitas. Kedua, hubungan antara sesama komunitas Islam dan
antara komunitas Islam dan non Islam didasarkan atas prinsip-prinsip
bertetangga dengan baik, saling membantu dalam menghadapi musuh, membantu
mereka yang teraniaya, saling menasehati dan menghormati kebebasan beragama.[22]
Beragama bukanlah kewajiban tetapi sebuah hak yang bersumber dari
kesadaran jiwa dan nurani. Karena itu Al-Quran menegaskan bahwa tidak ada
paksaan dalam menganut agama (QS. Al- Baqarah: 256)[23]
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ
تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ
بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu
barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka
sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak
akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS Al Baqarah :256)
Piagam madinah
ini berfungsi sebagai teks konstitusi teladan dan mendasar bagi orang-orang
muslim yang menjadi karakteristik kebudayaan dan sejarah mereka dan dapat
mengakomodasi berbagai interpretasi mengenai komposisi umat, hak dan kewajiban
penguasa dan pemerintah, dan peran fundamental negara. Piagam madinah telah
diidentifikasi sebagai konstitusi nasional tertulis pertama di dunia.[24]
Piagam madinah
merupakan kontrak sosial yang didasarkan pada pada konsep perjanjian masyarakat
yang terdiri dari etnis yang beragam yang bisa hidup di bawah satu atap dan
satu tuhan. Piagam juga menyatakan metode untuk memecahkan semua persoalan
antara etnis dan kelompok yang beragam secara damai tanpa memaksa etnis
tertentu untuk memeluk satu agama, satu bahasa, atau satu budaya. Hal ini
mencerminkan bahwa nabi Muhammad memiliki keterampilan diplomatik yang tinggi
sehingga dapat membentuk aliansi dengan semua pertimbangan praktis tanpa
mengabaikan aspek agama. Sebagaimana piagam madinah, pancasila juga memuliki
sejarah tersendiri, nilai-nilai pancasila diangkat dan dirumuskan secara formal
oleh para pendiri negara, dan dijadikan sebagai dasar Negara Republik
Indonesia. Sejarah perjuangan bangsa indonesia untuk membentuk negara sangat
erat kaitannya dengan jati diri bangsa Indonesia. Ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan dan kerakyatan, serta keadilan. Nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya sudah dihayati dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup
masyarakat.[25]
Dr. M. Quraish
Shihab dalam bukunya Wawasan Al-Quran menyatakan bahwa unsur-unsur nasionalisme
dapat ditemukan dalam Al-Quran:
1)
Persamaaan keturunan
Al-Quran sangat
menekankan kepada pembinaan keluarga yang merupakan unsur terkecil terbentuknya
masyarakat, dari masyarakat terbentuk suku, dan dari suku terbentuk bangsa,
sebagaimana dalam Al-Quran surah Al-A’raf :160
وَقَطَّعْنَاهُمُ
اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا ۚ وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ إِذِ
اسْتَسْقَاهُ قَوْمُهُ أَنِ اضْرِبْ بِعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانْبَجَسَتْ مِنْهُ
اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَشْرَبَهُمْ ۚ
وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَأَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ
وَالسَّلْوَىٰ ۖ كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ۚ وَمَا ظَلَمُونَا
وَلَٰكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Dan mereka
Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami
wahyukan kepada Musa ketika kaumnya meminta air kepadanya: "Pukullah batu
itu dengan tongkatmu!". Maka memancarlah dari padanya duabelas mata air.
Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami
naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa.
(Kami berfirman): "Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami
rezekikan kepadamu". Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang
selalu menganiaya dirinya sendiri. “(QS Al A’raf : 160)
2)
Persamaan
bahasa
Bahasa merupakan perekat bagi terjadinya persatuan bangsa karena
bahasa menjadi identitas pembeda dari bangsa lain. Sahabat-sahabat Rasulullah
ketika meremehkan sahabat Salman (berasal dari Persia), Suhaib (berasal dari
Romawi) dan Bilal (dari Ethiopia) maka Rasulullah bersabda: kebangsaan Arab
yang ada pada diri kalian bukanlah karena bapak atau ibu melainkan dari bahasa,
maka barang siapa berbicara bahasa Arab maka dia adalah bangsa Arab.
3)
Persamaan
adat istiadat
Allah menandaskan dalam QS Al ‘Imran (3) :104
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“hendaklah ada sekelompok diantara kamu yang
mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. “
(QS Al ‘Imran : 104)
Demikian pula dalam QS Al A’raf (7) :199
خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“jadilah engkau pemaaf, perintahkan yang ’urf
(adat istiadat yang baik), dan berpalinglah dari orang jahil “ (QS Al A’raf :
199)
Pada kedua ayat tersebut kata ’urf dan
alma’ruf dimaksudkan sebagai adat istiadat dan kebiasaan yang baik yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Jadi
jelas bahwa adat istiadat sebagai salah satu pembentuk bangsa tidaklah
bertentangan dengan Islam.
4) Persamaan sejarah
Persamaan sejarah masa lalu,
persamaan senasib dan sepenanggungan masa kini serta persamaan tujuan masa akan
datang merupakan salah satu faktor yang mendominasi terbentuknya suatu bangsa.
Sejarah yang gemilang masa lalu selalu dibanggakan generasi berikutnya, demikian
pula sebaliknya. Al-Quran pun sangat menonjol dalam menguraikan sejarah dengan
tujuan untuk diambil pelajaran guna menentukan langkah berikutnya. Jadi unsur
kesejarahan sejalan dengan Al-Quran.
5)
Cinta tanah air
Cinta tanah air tidak bertentangan dengan Al-Quran, bahkan inklusif dalam
ajarannya dan praktik Nabi Muhammad SAW. Cinta beliau kepada tanah air tampak
pula ketika beliau meninggalkan kota Makkah seraya berucap: Demi Allah,
sesungguhnya adalah bumi Allah yang paling aku cintai, seandainya orang yang
bertempat tinggal di sini tidak mengusirku niscaya aku tidak meninggalkannya.
Demikian pula pada saat beliau sudah tinggal di Madinah
dan menjadi warga kota, beliau memohon kepada Allah: Ya Allah cintakan kota Madinah
kepada kami, sebagai mana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami (HR
Bukhari, Malik dan Akhmad).
Orang yang gugur dalam
mempertahankan keluarga, harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid,
sebagaimana gugur dalam membela agama, bahkan agama menggandengkan pembelaan
agama dan pembelaan negara dalam QS Al Mumtahanah(60)
:8-9
لَا
يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين◌إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي
الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ
تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi
sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena,
dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berperilaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu berkawan dengan
orang-orang yang memerangi kau karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan
membantu orang lain mengusirmu.”(QS Al Mumtahanah : 8-9)[26]
E.
Penutup
Nasionalisme
merupakan faham tentang kebangsaan dan sikap cinta tanah air yang tinggi yang
harus dimiliki oleh warga Negara, merasa memiliki sejarah dan cita-cita yang
sama dalam tujuan berbangsa dan bernegara. Kemudian nasionalisme modern adalah paham tentang hak
bagi suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri dan, karena itu,
anti-imperialisme, sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Nasionalisme
modern akan melahirakan kestabilan dan akan berfungsi sebagai kekuatan yang
menyatukan suku-suku dan kelompok-kelompok etnis yang terpisah-pisah.Di
Indonesia, tidak diragukan lagi jika memang bangsa Indonesia merupakan Negara
yang memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi untuk tanah air. Sejarah
lahirnya nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi ada beberapa faktor,
diantaranya yakni faktor lingkungan.
Nasionalisme
kerakyatan dan nasionalisme keagamaan selalu dengan sendirinya merupakan gerak
antagonistik terhadap makin besarnya hutang negara kepada bangsa. Nasionalisme
keagamaan merupakan salah satu simbol dari nasionalisme kerakyatan. Pengertian
nasionalisme itu mungkin bisa menjadi lebih mengalir kalau kita gambarkan
dengan kebudayaan agama, kebudayaan kerakyatan, yang dalam hal ini bergulat
melawan kebudayaan negara. Kebudayaan negara memandang komitmen kenegaraan
sebagai induk perilaku, sehingga sikap yang bertolak dari subjek ras, etnik,
atau keagamaan, dilihat sebagai primodialisme. Sebaliknya kebudayaan agama
memandang komitmen keagamaan merupakan induk, sehingga ras, etnik, juga negara
adalah primodialisme.Nasionalisme dalam Islam harus disertai dengan adanya: 1)
cinta tanah air, ini karena “hubb al-watan min al-iman”
cinta tanah air sebagian dari iman 2) kebersamaan yang disertai jiwa
patriotisme melawan segala bentuk penjajahan demi membela harkat dan martabat
suatu bangsa.Unsur-unsur
nasionalisme dapat ditemukan dalam Al-Quran: 1)Persamaaan keturunan,2) Persamaan bahasa, 3) Persamaan adat istiadat, 4) Persamaan sejarah,
dan 5) Cinta tanah air.
DAFTAR PUSTAKA
Murod,
Abdul Choliq. Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah CITRA
LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011
Mustaqim,
Abdul.Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna
Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011
Wahid,
Wawan Gunawan Abd. 2015. Fikih Kebinekaan. Bandung : Mizan
Ghafur,
Waryono Abdul. 2005. Tafsir Sosial: Mendialogkan Teks dan Konteks.
Yogyakarta : el SAQ Press
Nadjib,
Emha Ainun. 1995. Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan.
Yogyakarta: Sipress
J. R,
Sutarjo Adisusilo. Nasionalisme- Demokrasi-
Civil society, E-jurnal
Alfaqi, Mifdal Zusron. Memahami Indonesia Melalui Prespektif Nasionalisme, Politik Identitas,
Serta Solidaritas, Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Th.
28, Nomor 2, Agustus 2015
Purwanto,
Bambang. Memahami Kembali Nasionalisme
Indonesia, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 4, No. 3, maret 2001
Kahin,
George McTurnan. 2013. Nasionalisme &
Revolusi Indonesia. Depok: Komunitas Bambu
Gaus,
Gerals F dan Chandran Kukathas. 2012. Handbook
Teori Politik. Bandung: Nusa Media
Rachman,
Budhy Munawar. 2012. Ensiklopedi
Nurcholis Madjid: Pemikiran Islam di Kanvas Peradaban. Jakarta: Democracy
Project
Catatan:
1. Jangan langsung copy-paste dari jurnal.
2. Dalam tulisan ilmiah, gelar dihilangkan.
3. Pengulangan footnote ada caranya sendiri.
4. Tolong pendahuluan diperbaiki.
[1]Abdul
Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah
CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 46-47
[2]I
Nengah Suastika, Nasionalisme dalam perspektif Postmodernisme…Ejurnal.undiksha.ac.id,
[3]
Mifdal Zusron Alfaqi, jurnal pendidikan pancasila dan kewarganegaraan,
th, 28 november 2, Agustus 2015. hal. 112
[4]
Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 3
[5]
Geral F. Gaus dan Chandran Kukathas, Hanbook Teori Politik,
[6]Budhy
Munawarah-rachman. Nurcholish Madjid 2012 hal 2166
[7]Abdul
Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah
CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 48
[8]
Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 8
[9]Dr.
Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan
Indonesia.ejurnal
[10]Bambang
Purwanti. Memahami kembali Nasionalisme Indonesia. Ejurnal volume 4,
nomor 3, Maret 2001 (243)
[11] Dr.
Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan
Indonesia.ejurnal Hal 13
[12]Kahin,George
McTurnan. 2013. Nasionalisme&Revolusi Indonesi. Komunitas bamboo,
Depok. Hal 1
[13]
Kahin,George McTurnan. 2013. Nasionalisme&Revolusi Indonesi. Komunitas
bamboo, Depok. Hal 51
[14] Dr.
Drs. Yosaphat Haris Nusarastriya,M.Si. Sejarah Nasionalisme Dunia dan
Indonesia.ejurnal Hal 3
[15]
Sutarjo Adisusilo J.R Nasionalisme – Demokrasi- Civil Society. Ejurnal hal 8
[16]
Emha Ainun Nadjib, Nasionalisme Muhammad, (Yogyakarta: Sipress,1995),
hlm.5.
[17]Abdul
Mustaqim, Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna
Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 113
[18]Ibid., hlm 114
[19]Abdul
Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah
CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 53
[20]Abdul
Mustaqim, Bela Negara Dalam Perspektif Al-Quran (Sebuah Transformasi makna
Jihad),Analisis, Volume XI, Nomor 1, Juni 2011, hlm. 115
[21]
Ibid., hlm.53
[22]Ibid.,
hlm. 54
[23]
Waryono abdul Ghofur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm.192
[24]
Wawan Gunawan Abdul Wahid dkk, Fiqih kebinekaan, (Bandung: Mizan, 2015),
hlm. 130
[26]Abdul
Choliq Murod, Nasionalisme dalam perspektif islam, Jurnal Sejarah
CITRA LEKHA, Vol. XVI, No.2 Agustus 2011: 45-58, hlm. 54-55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar