Ani
Rochmatul Ula dan Melisa Nadhiffatul Annisa’
PAI
D Angkatan 2016
Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
e-mail:
Anirochmatulula@gmail.com
Abstrac
This article talk about The Qur’an and the history of it. In
the article there are a number of opinions of experts on the definition of the
Qur’an does really God’s revelation and about codification there is some period
of preparation of the Qur’an. The Quran is Allah as proof Apostolic Prophet Muhammad who has privileges, with pronunciationthe Arabic pronunciation and meaning, became law for man, gave instructions to them, and provide a approach to God. Become a miracle upon the
Prophet Muhammad means exposing the functionality of prophecy and Apostolic
and holy books he brought. The codification not arbitrarily, starting from the time of the Prophet until a long time after
that, the qur'an has always addressed and maintained authentic.
Abstrak
Artikel
ini berbicara mengenai Al-Qur’an dan historisitasnya. Didalamnya terdapat beberapa pendapat para
ahli tentang definisi al-Qur’an, beberapa mu’jizat atau wahyu sebagai bukti
bahwa al-Qur’an memang benar-benar wahyu Allah dan tentang pengkodifikasian
pada beberapa masa penyusunan al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan kalam Allah
sebagai bukti kerasulan Nabi Muhammad yang mempunyai keistimewaan, dengan
lafal-lafal yang berbahasa Arab dan maknanya yang benar, menjadi undang-undang
bagi manusia, memberi petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan
diri kepada Allah. Menjadi mu’jizat atas Nabi Muhammad berarti memperlihatkan kerasulan
dan fungsi keNabianya serta kitab suci yang dibawanya. pengkodifikasianya pun
tidak sembarangan, dimulai dari masa Nabi hingga masa yang lama setelahnya, Al-Qur’an
selalu dibenahi dan dijaga keotentikannya.
Keyword: al-Qur’an, proof,
codification
A. Pendahuluan
Di akhir abad ke-20, gairah umat Islam di Indonesia
khususnya, dan umat Islam di dunia umumnya, dalam melakukan studi keislaman
menunjukkan keadaan yang cukup menggembirakan. Kesadaran ini muncul mungkin
bertolak dari suatu keyakinan bahwa dengan memiliki pemahaman tentang Islam
yang kualitatif dan komprehensif, seseorang akan memiliki sikap moral yang
tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan dan problema kehidupan yang semakin
kompleks.
Al-Qur’an turun tidak dalam suatu ruang dan waktu yang hampa
nilai, melainkan di masyarakat yang sarat dengan berbagai nilai budaya dan
religius. Sistem-sistem sosial kemasyarakatan dan lembaga-lembaga pemerintahan
sudah dikenal dikawasan sana (Arab). Kehadiran Islam bukan berarti tidak
menemui kesulitan, bahkan itulah tantangannya.
[1]Berkaitan dengan hal ini, penulis, dalam makalah ini,
akan menjelaskan tentang al-Qur’an sebagai wahyu beserta penjelasan mengenai
proses turunnya wahyu dan kodifikasinya dalam rentetan sejarah yang ada. Di
samping itu, penulis juga akan memaparkan secara global mengenai fase
kesejarahan tentang perbaikan al-Mushhaf (tahsin al-Mushhaf) yang
dimulai setelah masa Utsman hingga pada masa sekarang ini, guna mendapatkan
gambaran yang komprehensif.
B.
Definisi
al-Qur’an
Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Didalamnya
termuat ajaran dan petunjuk tentang akidah, hukum, ibadah, dan akhlak[2]. Dari segi bahasa, terdapat berbagai pendapat para
ahli mengenai pengertian al-Qur’an. Sebagian berpendapat, penulisan lafal al-Qur’an
dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an القرآن). Pendapat lain mengatakan penulisannya
tanpa dibubuhi huruf hamzah (dibaca al-Qur’an القرأن )[3].
Beberapa pendapat ulama dari berbagai bidang keahlian
tentang definisi al-Qur’an, diantaranya:
1.
Al-Syafi’i, salah seorang imam
mazhab yang terkenal (150-204 H.) berpendapat, bahwa kata al-Qur’an itu ditulis
dan dibaca tanpa hamzah (al-Qur’an, bukan al-Qur’an) dan tidak diambil dari
kata lain. Ia adalah nama yang khusus digunakan untuk Kitab Suci yang diberikan
kepada Nabi Muhammad, sebagaimana nama Injil dan Taurat yang digunakan khusus
untuk kitab-kitab Allah yang diberikan masing-masing kepada Nabi Isa dan Nabi
Musa.
2.
Al-Farra’ seorang ahli bahasa
yang terkenal, pengarang kitab Ma’anil Qur’an tidak menggunakan hamzah
dan diambil dari kata qarain jamak qarinah, yang
artinya indikator (petunjuk). Hal ini disebabkan seolah-olah sebagian
ayat-ayatnya itu merupakan indikator dari yang dimaksud oleh ayat lain yang
serupa itu.
3.
Al-Asy’ari seorang ahli Ilmu
Kalam, pemuka aliran Sunni (wafat 324 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an
tidak menggunakan hamzah dan diambil dari kata قرن , yang artinya menggabungkan. Hal
ini disebabkan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu dihimpun dan digabungkan
dalam satu mushaf.
4.
Al-Zajjaj, pengarang kitab
Ma’anil Qur’an (wafat 311 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah,
berwazan Fu’lan, dan diambil dari kata القرء , yang artinya penghimpunan. Hal ini
disebabkan al-Qur’an merupakan kitab suci yang menghimpun intisari
ajaran-ajaran dari kitab-kitab suci sebelumnya (perhatikan S. Al-Bayyinah:
2-3).
5.
Al-Lihyani, seorang ahli bahasa
(wafat 215 H.) berpendapat, bahwa lafal al-Qur’an itu berhamzah, bentuknya
masdar dan diambil dari kata قراء , yang artinya membaca. Hanya saja lafal al-Qur’an ini
menurut al-Lihyani adalah masdar bi ma’na ismil maf’ul. Jadi Qur’an artinya maqru’
(dibaca) [4].
Pendapat terakhir ini adalah pendapat yang lazim dipegang
oleh masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan pendapat tersebut Hasby
Ash-Shiddieqy mengatakan, al-Qur’an menurut bahasa ialah bacaan atau yang
dibaca. Al-Qur’an adalah masdar yang diartikan dengan arti isim maf’ul, yaitu
maqru’, yang dibaca[5]. Menurut Subhi al Salih pengarang kitab Mabahits
fi Ulumil Qur’an, pendapat ini lebih kuat dan lebih tepat, karena dalam bahasa Arab
lafal al-Qur’an adalah bentuk masdar yang maknanya sinonim dengan qira’ah,
yakni bacaan. Sebagaimana tersebut dalam QS al-Qiyamah ayat 17-18:
انّ
علينا جمعه وقرانه, فاذ قرأناه فاتبع قرانه
“Sesungguhnya
atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya dan membacanya (di-dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka
ikutilah bacaannya itu.”
[6]Lafal qara-a
yang bermakna tala (membaca) diambil orang Arab dari bahasa Aramia dan
digunakan dalam percakapan sehari-hari.
Kata qara-a tersebut dapat pula berarti menghimpun
dan mengumpulkan. Qira’ah berarti mengumpulkan huruf-huruf dan
kalimat-kalimat dalam bacaan.
Dengan mengikuti beberapa pendapat diatas dapat diperoleh
kesimpulan bahwa secara lughawy (bahasa) al-Qur’an berarti saling berkaitan,
berhubungan antara satu ayat dengan ayat yang lain, dan berarti pula bacaan.
semua pengertian ini memperlihatkan kedudukan al-Qur’an sebagai kitabullah yang
ayat-ayat dan surat-suratnya saling berhubungan, dan ia merupakan bacaan bagi
kaum muslimin.
Sedangkan dari segi istilah, sebagaimana yang dipaparkan
oleh Manna’ al Qaththan, al-Qur’an adalah “kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, yang membacanya bernilai ibadah”. Definisi yang diberikan oleh
al-Qaththan ini sangat ringkas dan padat sehingga mampu mengeluarkan
aspek-aspek yang bukan termasuk dalam jati diri al-Qur’an. Definisi lain
mengenai al-Qur’an dikemukakan oleh al-Zarqani sebagai berikut:
القرآن
هو اللّفظ المنزّل على محمّد ص م من اوّل الفاتحة الى اخر النّاس
“Al-Qur’an
itu adalah lafal yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dari permulaan surat
al-Fatihah sampai akhir surat al-Naas”
Dalam definisi al-Qur’an diatas
disebutkan bahwa al-Qur’an adalah kalamullah atau firman Allah (bukan ucapan Rasulullah,
malaikat, dsb) sebagai bukti atau petunjuk kerasulan Nabi Muhammad yang
mempunyai keistimewaan dan menjadi bernilai ibadah bagi yang membaca.
C.
Bukti-bukti
al-Qur’an sebagai Wahyu Allah
Berangkat dari definisi al-Qur’an menurut Abdul Wahab
Khallaf, yaitu “al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada hati Rasulullah,
Muhammad bin Abdullah melalui Ruhul Amin (Jibril as) dengan lafal-lafalnya yang
berbahasa Arab dan maknanya yang benar, agar ia menjadi hujjah bagi Rasul,
bahwa ia benar-benar Rasulullah, menjadi undang-undang bagi manusia, memberi
petunjuk kepada mereka, dan menjadi sarana pendekatan diri dan ibadah kepada
Allah dengan membacanya. Al-Qur’an itu terhimpun dalam mushaf, dimulai dengan
surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat al-Nas, disampaikan kepada kita
secara mutawatir dari generasi ke generasi secara tulisan maupun lisan. Ia
terpelihara dari perubahan atau pergantian.” [7]Al-Qur’an
mempunyai setidaknya dua fungsi utama, yaitu sebagai sumber ajaran, dan bukti
kebenaran kerasulan Muhammad Saw.
Diantara bukti kebenaran al-Qur’an adalah mu’jizat al-Qur’an
itu sendiri. [8]Kata
mu’jizat sudah menjadi bagian dari khazanah bahasa Indonesia. Sedang
dalam bahasa Arab sendiri, digunakan istilah i‘jaz al-Qur’an atau mu’jizat
al-Qur’an. Dilihat dari sudut kebahasaan, kata mu’jizat merupakan
salah satu bentuk ubahan dari lafad i’jaz yang bermakna melemahkan. Dan i’jaz
al-Qur’an bermakna pengokohan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu
melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Dengan demikian, al-Qur’an
sebagai mu’jizat bermakna bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang mampu
melemahkan tantangan menciptakan karya yang serupa dengannya. Dalam kaitan
dengan fungsi kerasulan serta keNabian Muhammad terhadap umatnya, kemu’jizatan al-Qur’an
tersebut berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi keNabiannya
serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, juga untuk memperlihatkan
kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan-tantangan yang
dilontarkan Allah dalam al-Qur’an tidak dapat mereka layani. Sehingga ketidakmampuan manusia membuat
sesuatu yang sama dengan al-Qur’an menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah
benar-benar wahyu Allah SWT.
Menurut para ahli bahasa Arab, al-Qur’an sebagai mu’jizat
bagi kerasulan Muhammad terdapat beberapa aspek yang menunjukkan kemu’jizatan al-Qur’an,
yaitu bahasa (al-Lughah) yang indah , ringkas, dan padat (balaghah), petunjuk
tentang ilmu pengetahuan (al-Isyarat al-Ilmiyat), dan berita-berita mengenai
yang gaib (akhbar al-ghaib)[9].
Semua ini, selain dapat melemahkan para penentang kerasulannya, juga
memperlihatkan kebenaran kerasulannya. Tetapi tetap saja masih banyak yang
melontarkan pelecehan-pelecehan terhadapnya dengan menyebutnya sebagai syi’ir
karya Muhammad, sihir, dan mitos belaka.
Untuk menjawab penolakan orang Quraisy terhadap al-Qur’an
sebagai wahyu Allah, al-Qur’an menantang mereka melalui tahapan, diantaranya:
1.
Mendatangkan semisal al-Qur’an.
Firman Allah SWT
Al-Qur’an
menantang mereka untuk menyusun karya setingkat al-Qur’an, baik dari segi isi
maupun kebahasaannya. Tantangan ini diungkapkan Allah secara eksplisit yaitu:
قل لّئن
اجتمعت الانس والجنّ على ان يّأتوابمثل هذا القرآن لايأتون بمثله ولو كان بعضهم
لبعض ظهيرا
“Katakanlah, sesungguhnya jika manusia dan jin
berkumpul untuk membuat yang serupa al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan
dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi
pembantu bagi sebagian yang lain”. (Q.S. al-Isra, 17:88).
2.
Mendatangkan sepuluh surat yang
menyamai surat-surat yang ada dalam al-Qur’an. Firman Allah SWT.
Karena
tantangan pertama tidak daapat terjawab, kemudian Allah menurunkan tantangan
kedua pada mereka untuk menyusun 10 surah saja seperti al-Qur’an. Keterangan
ini diungkapkan Allah pada:
ام
يقولون افترىه قل فأتوا بعشر سور مّثله مفتريت وّادعوا من استطعتم من دون الله ان
كنتم صدقين
Bahkan mereka mengatakan “Muhammad
telah membuat-buat al-Qur’an itu”. Katakanlah, “(kalau demikian), maka
datangkanlah sepuluh surat yang dibuat untuk menyamainya, dan panggilah
orang-orang yang kamu anggap sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu
memang orang-orang yang benar”. (Q.S. Huud, 11:13)
3.
Mendatangkan satu surat. Firman
Allah SWT:
Selanjutnya
Allah menantang mereka untuk menyusun satu surah saja setelah berulang-ulang
mereka menuduh bahwa Muhammad mengada-ada. Allah memperkecil besarnya
tantangan; hal ini semakin memperlihatkan kemu’jizatan al-Qur’an, karena dalam
volume kecil pun mereka tidak mampu melakukannya. Tantangan ini dituangkan
dalam,
ام
يقولون افترىه قل فأتوا بسورة مّثله وادعوا من استطعتم مّن دون الله ان كنتم صدقين
Atau (patutkah) mereka
mengatakan, “Muhammad membuat-buatnya”. Katakanlah, “(kalau benar yang kamu
katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggilan
siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar”. (Q.S. Yunus, 10:38)[10].
4.
Mendatangkan beberapa ayat
[11]Terakhir,
tantangan al-Qur’an terhadap orang-orang kafir untuk menyusun beberapa ayat
yang bisa menyerupai ayat-ayat al-Qur’an, baik dari segi isi, ilustrasi,
keindahan bahasa, maupun kemampuannya mengungkapkan berbagai peristiwa.
Tantangan ini dikemukakan al-Qur’an dalam,
وان
كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله , وادعوا شهداءكم من دون
الله ان كنتم صادقين
“Dan jika kamu tetap dalam
keraguan tentang al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad),
buatlah sebagian surah saja yang sama seperti al-Qur’an. Dan ajaklah para
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar." (Q.S al-Baqarah 2:23)
Peristiwa [12]Abdullah
bin al-Muqaffa, seorang sastrawan asal Persia merupakan salah satu contoh
ketidakmampuan manusia menjawab tantangan serta menandingi al-Qur’an. Ia
mengakui kegagalannya, sebab lebih dari setengah tahun ia berusaha keras
menulis semisal al-Qur’an, namun tidak satu ayat pun dihasilkannya.
Tantangan-tantangan tersebut sangat memukul dan melemahkan
mereka, karena terbukti sepanjang sejarah perlawanan bangsa Arab terhadap kerasulan
dan keNabian Muhammad, tidak tercipta karya mereka yang mampu menandingi al-Qur’an.
Padahal diantara mereka adalah ahli-ahli syair, ahli sihir, dan ahli dongeng.
[13]Ketidakmampuan
masyarakat Arab memenuhi tantangan balik al-Qur’an semakin memperkuat
kemu’jizatannya, karena dapat melumpuhkan penghinaan dan pelecehan mereka
terhadap al-Qur’an, sehingga pada akhirnya mereka mengakui kebenaran dan
keagungannya. Inilah fungsi utama kemu’jizatan al-Qur’an, yakni memperlihatkan
kebenarannya serta kebenaran Nabi Muhammad sebagai Rasul yang membawanya.
D.
Sejarah
Singkat Penulisan dan Kodifikasi al-Qur’an (Masa Nabi, Abu Bakar, Utsman)
1. Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad S.A.W
Al-Qur’an turun
atas perantara malaikat jibril yang kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad,
diturunkan selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, tidak secara langsung melainkan
sesuai kebutuhan. Sering pula wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para
sahabat yang dilontarkan keada Nabi atau membenarkan tindakan Nabi. Banyak pula
yang turun tanpa melalui sebuah latar belakang pertanyaan atau kejadian
tertentu.
Proses turunnya
al-Qur’an kepada Nabi Muhammad melalu tiga tahapan.[14] Pertama, Al-Qur’an
turun sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh yaitu suatu tempat yang merupakan
catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah. Proses ini diisyaratkan
dalam:
بل هو قرآن مجيد. في لوح محفوظ
Diisyaratkan pula oleh firman
Allah:
انه لقرآن كريم. فى كتب مّكنون. لايمسّه الاّ المطهّرون. تنزيل
من رّبّ العالمين
Kedua, al-Qur’an
diturunkan dari lauh-al-mahfudz ke bait al-izzah tempat yang berada dilangit
dunia
انّآ
أنزلنه فى ليلة القدر
Ketiga, al-Qur’an
diturunkan dari bait al-izzah kedalam hati Nabi
dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu
ayat, dua ayat, dan kadang satu surat. Mengenai proses ini dijelaskan dalam:
نزل
به الروح الأمين. على قلبك لتكون من المنذرين. بلسان عربيّى مّبين
Dalam kenyataan tersebut
terkandung hikmah dan faedah yang bisa diambil
وقال
الذين كفروالولانزّل عليه القرآن جملة واحدة. كذلك لنثبّت به فؤادك ورتّلنه ترتيلا
Setiap kali ayat-ayat al-Qur’an
diturunkan kepada Rasulullah, beliau segera menyampaikan kepada para sahabat
seperti yang disampaikan oleh malaikat jibril, tanpa perubahan, pengurangan,
dan penambahan sedikitpun.[15] Disamping
itu, Rasul juga menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerimanya untuk
menyampaikan lagi kepada para sahabat yang lain yang belum mendengarnya dari Rasul
secara langsung. Sesuai dengan sabda beliau
بلغوا
عنى ولوآية
Melalui
cara yang ditempuh Rasulullah itu, maka semua ayat al-Qur’an dan ajaran yang
terkandung didalamnya dapat diketahui dan diamalkan oleh para sahabat secara
merata meskiun tidak semua mereka pernah mendengarnya secara langsung dari beliau.
a.
Semua ayat telah dihafal oleh
para sahabat
Umumnya
bangsa Arab termasuk para sahabat adalah orang ummi (tidak bisa menulis dan
membaca) namun mereka memilki daya ingat yang kuat. Kemampuan tersebut yang
akhirnya digunakan untuk menjaga autentitas al-Qur’an. Karena itu setiap kali
mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an baik secara langsung dari Rasulullah maupun
melalui para sahabat yang lain, mereka segera mempelajari dan menghafal dengan
sebaik-baiknya. Ada beberapa faktor pula yang mendorong minat mereka untuk
menghafal al-Qur’an:
Pertama, al-Qur’an
berisi berbagai ajaran dan petunjuk tentang kehidupan yang baik, beradab, dan
sejahtera, baik lahir maupun batin.
Kedua,
belajar dan mengajarkan al-Qur’an kepada orang lain bernilai ibadah, hal ini
juga disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
al-baihaqi.
Ketiga,
orang yang terbaik dalam hafalannya akan mendapat prioritas untuk ditunjuk
sebagai imam sholat berjamaah. Kesempatan itu juga tekah disebutkan dalam sabda
Rasul:
“Hendaknya yang menjadi imam
suatu kaum adalah orang yang paling qari diantara mereka. Kemudian jika mereka
itu sama dalam hal qiraah (bacaan), dahulukan yang lebih banyak mengetahui
al-sunnah di antara mereka. Jika sama juga dalam hal al-sunnah, dahulukan yang terlebih
dulu berhijrah. Jika sama juga dalam hal hijrah, dahulukan yang lebih tua di
antara mereka. Jangan sampai orang menjadi imam orang lain yang di wilayah
kekuasaannya dan jangan pula ia duduk di rumah orang lain, karena
menghormatinya, kecuali dengan izinnya.”
Keempat, Rasulullah
sendiri telah memerintahkan kepada para sahabat agar selalu memelihara al-Qur’an
dengan sebaik-baiknya. Beliau bersabda:
“Peliharalah al-Qur’an. Karena
itu, demi Tuhan yang diriku berada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya al-Qur’an
itu lebih cepat lepasnya daripada unta pada tambatannya.”
b.
Semua ayat telah ditulis oleh
para sahabat
Selain
menyuruh dan mendorong minat para sahabat untuk menghafal al-Qur’an, Rasulullah
juga telah menyuruh mereka menuliskan ayat-ayat dari kitab suci itu keatas
benda apa saja yang bisa ditulisi, seperti pelepah, potongan kayu, kepingan
batu, dan lembaran kulit binatang yang telah disamak.
Bahkan menurut penjelasan al-Barra
bahwa ketika ayat:
لا
يستوى القاعدون من المؤمنين والمجاهد ون في سبيل الله
diturunkan, Rasulullah bersabda,
“panggil Zaid , agar menghadap aku dan suruh ia membawa sesuatu yang dapat
ditulis dan dirawat” setelah Zaid datang menghadap Rasulullah pun bersabda ,”
tulis ayat la yastawi al-aq’iduna min al-mu’minin dan seterusnya.
Jumlah
sahabat yang menuliskan ayat al-Qur’an sangat banyak tak kurang dari 43 orang.
Diantaranya yaitu Abu Bakar, Umar Ibn al-Khatib, Utsman Ibn Affan, Ali bin Abi
Thalib, Abu Sufyan dan dua orang putranya, yaitu Muawiyah dan Yazid, adapula Zaid
bin Tsabit, dan masih banyak lagi. Mereka semua disebut katibu al-wahyi
(para penulis wahyu). Meskipun demikian, yang paling sering bersama Rasulullah
dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan di Madinah ialah Zaid bin Tsabit.
Hal ini dikarenakan Zaid adalah sekertaris Rasul, kemanapun dan dimanapun Rasul
berada Zaid lah yang dimintai beliau untuk menuliskan yang beliau perlukan.
Perhatian
Rasulullah juga tak hanya pada penulisan ayat-ayat al-Qur’an setelah beliau
berada di Madinah tetapi juga sewaktu beliau masih berada di Makkah. Meskipun
kaum musllimin waktu itu masih sangat sedikit dan saran penulisan masih sangat
terbatas. Catatan-catatan atau naskah-naskah yang berisi ayat-ayat al-Qur’an
bisa saja beredar diantara mereka, ada kemungkinan disamping menuliskan mereka
juga telah menyalin untuk kepentingan mereka sendiri.
Agar tulisan yang berisi ayat-ayat al-Qur’an tidak
bercampur dengan tulisan yang lain, maka Rasulullah sering memperingatkan
kepada sahabat agar tidak menuliskan sesuatu yang bukan al-Qur’an.
Karena penulis wahyu adalah
orang-orang yang terpercaya, ditambah lagi adanya peringatan dari beliau, tidak
diragukan lagi bahwa mereka menulis al-Qur’an yang telah didektekan beliau
tanpa mengalami perubahan sedikitpun.
c.
Semua ayat dan surat telah disusun
seperti sekarang
Untuk
menjaga kemurnian al-Qur’an, maka Rasulullah tidak hanya menyuruh para sahabat
untuk menghafal dan menuliskan ayat-ayat al-Qur’an saja tetapi juga sekaligus
menetapkan ayat-ayat al-Qur’an secara utuh pada suratnya masing-masing.
Sebagian
ulama berpendapat bahwa susunan-susunan surat-surat itu tauqifi. Artinya telah
ditetapkan oleh Rasulullah berdasarkan wahyu. Argumen-argumen yang mereka
kemukakan adalah:
1)
Rasulullah telah membaca
beberapa surat dalam sholat secara berurutan.
Menurut riwayat dari Ibn Abi Syaibah bahwa Rasulullah telah menghimpun al- Mufashashal
dalam satu rakaat.
2)
Menurut riwayat al-Bukhari bahwa
Ibn Mas’ud telah menjelaskan, surat-surat Bani Israil, al-Kahfi, Maryam, Thaha,
dan al-Anbiya adalah surat-surat terdahulu diturunkan, kemudian dia juga
menyebutkan suatu susunan surat seperti yang terdapat pada urutannya yang telah
ada.
3)
Menurut riwayat dari Sulaiman
Ibn al-Hilal, ia telah mendengar Rabi’ah telah ditanya, kenapa surat al-Baqarah
dan al-Imran didahulukan letaknya, padahal sebelumnya sudah lebih 80 surat
makkiyah yang diturunkan, sedangkan kedua surat itu sendiri diturunkan di
Madinah. Ia menjawab ,” keduanya didahulukan, karena al-Qur’an disusun
berdasarkan pemberitahuan dari Rasulullah yang telah menyusunnya. Itulah yang
sampai kepada kami. Karena itu jangan tanyakan lagi hal itu.
4)
Diantara surat-surat yang
dimulai dengan huruf hijaiyah yang sama, ada yang berurutan letaknya, seperti
hamim dan tha sin, dan ada pula yang terpisah letaknya seperti alif lam mim. Jika
susunan surat itu bukan dari Rasulullah sendiri, tentunya letak semua surat
yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah yang sama terletak secara berurutan.
5)
Adanya persesuaian antara
urutan surat-surat yang terdapat dalam
mushaf Utsmani dengan urutan-urutan dalam bacaan Rasulullah di waktu sholat.
Menurut sebagian ulama yang lain, susunan al-Qur’an itu
ijtihadi. Artinya, para sahabatlah yanng telah menyusunnya. Argumen yang mereka
kemukakan adalah:
1)
Sebelum dilaksanakan penstandarisasian
mushaf al-Qur’an pada masa Utsman, ternyata urutan dan susunan surat-surat yang
terdapat pada mushaf-mushaf para sahabat tidaklah sama. Misalnya, pada mushaf
ubai, dimulai dari al-Fatihah, al-Baqarah, an-Nisa, kemudian al-Imran. Berbeda
dengan mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan al-Baqarah, an-Nisa, al-Imran, dan
seterusnya. Jika susunan-susunan itu tauqifi, niscaya susunan dan urutannya sama
serta tidak bervariasi.
2)
Menurut riwayat bahwa Ibn Abbas
pernah bertanya kepada Utsman bin Affan, apa yang menyebabkan kalian sengaja
menggandengkan surat al-Anfal dan al-Baraah tanpa menuliskan bismillah diantara
keduannya. Surat al-Anfal termasuk surat yang pertama turun diMadinah dan al-Baraah
termasuk surat yang turun terakhir, ceritanya pun terdapat kemiripan itulah
mengapa Utsman menganggap bahwa surat al-Baraah adalah bagian dari surat al-Anfal.
Rasulullah sendiri sudah wafat sebelum menjelaskan bahwa surat Baraah adalah
bagian surat al-Anfal. Karena itu Utsman menggandengkan kedua surat tersebut
tanpa memberinya bismillahirahmanirahim diantaranya.
Meskipun demikian, pendapat yang terkuat adalah yang
pertama. Menurut al-Suyuthi, pada waktu
jibril mengontrol dan mengevaluasi bacaan Rasulullah untuk terakhir kalinya Zaid
bin Tsabit ikut menyaksikanya. Zaid sendiri adalah orang yang ditunjuk Abu
Bakar untuk menjadi ketua panitia pengumpulan al-Qur’an dan juga yang ditunjuk Utsman
untuk menjadi ketua panitia pengumpulan al-Qur’an tahap kedua. Karena itu suatu
kemustahilan jika Zaid berani meletakkan surat dalam mushaf yanng disalinya itu
berlainan denagan urutan surat yang pernah didengarnya ketika Rasulullah memperagakan
bacaanya dihadapan jibril untuk yang terakhir kalinya.
Diantara faktor lain yang mendorong penulisan al-Qur’an pada
masa Nabi adalah:[16]
1)
Me-back up hafalan yang telah dilakukan
oleh Nabi dan para sahabat
2)
Mempresentasikan wahyu dengan
cara yang paling sempurna. Bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup
karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun
tulisan akan tetap terjaga walaupun tidak dalam satu tempat
2. Al-Qur’an pada masa Abu Bakar dan Umar
Pada
dasarnya seluruh ayat al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi, hanya saja tidak
terkumpul dalam satu tempat. Setelah Nabi wafat, maka khalifah Abu Bakar
al-shidiq menggantikan memimpin pemerintahan islam dan kaum muslimin untuk
memelihara autentitas al-Qur’an yaitu dengan cara komplikasi atau pengumpulan
ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf.
Usaha
pengumpulan ayat al-Qur’an itu terjadi setelah peperangan sengit di Yamamah
antara kaum muslim disatu pihak dan para pengikut Musailamah al-Kazzab dipihak
lain. Dari peperangan tersebut ternyata menyebabkan 700 seorang sahabat
penghafal al-Qur’an dan qori’ gugur, bahkan ada yang mengatakan lebih dari itu.
Kekhawatiran akan semakin hilangnya para penghafal al-Qur’an, sehingga
kelestarian al-Qur’an juga ikut terancam. Umar kemudian menyampaikan ide untuk
mengumpulkan al-Qur’an kepada khalifah Abu Bakar.
Menurut
sebuah riwayat, Abu Bakar sempat merasa ragu untuk dapat merealisasikan ide Umar
tersebut. Namun kemudian Abu Bakar menyetujuinya mengingat kebaikan yang akan
diperoleh dari pengumpulan al-Qur’an.
Abu
Bakar meminta agar Zaid menemuinya untuk membicarakan mengenai pengumpulan
ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan usulan Umar, seraya mempercayakan tugas kepada
Zaid sebagai ketua pengumulan al-Qur’an tersebut.
Dalam
melaksanakan tugasnya Zaid menetapkan kriteria ketat untuk setiap ayat yang
dikumpulkannya. Ia tidak menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan, tanpa
didukung tulisan. Catatan-catatan al-Qur’an tersebut harus dibuktikan kebenarannya
oleh dua orang saksi. Yang dimaksudkan dengan dua saksi disini tidak harus
keduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Dapat
diterima pula apabila ayat yang disodorkan didukung dua hafalan dan dua tulisan
sahabat lainya. Demikian juga , suatu hafalan dapat diterima apabila dikuatkan
oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.
Pekerjaan
yang dibebankan kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu
tahun, ada tahun ke 3H dibawah pengawasan Abu Bakar, Umar, dan para sahabat
yang lain. Setelah sempurna, berdasarkan musyawarah, tulisan al-Qur’an yang
sudah berkumpul itu dinamakan mushaf.
Setelah
khalifah Abu Bakar ra wafat, maka yang menggantikanya adalah Umar Ibn Khathab.
Selama masa ini tidak langkah-langkah baru yang telah dilaksanakan dikarenakan
keadaan yang tidak memngkinkan.
Sementara itu, perhatian Umar
diarahkan kepada aspek pengajaran secara merata keselur negeri islam dan
pengawasan terhadap qira’at yang dipakai oleh kaum muslimin dalam membaca al-Qur’an
agar tidak menyimpang dari bats tujuh huruf yang telah diizinkan Rasulullah.
Umar
wafat terbunuh oleh seorang nasrani yang bernama Abu Lu’lu’ah, sepeninggal Umar,
mushaf resmi kemudian disimpan putrinya sendiri yakni Hafsah.
3.
Al-Qur’an pada masa Utsman
Setelah
khalifah kedua wafat, maka Utsman di baiat menjadi khalifah ke tiga. Pada masa
pemerintah Utsman ini telah diupayakan pengumpulan al-Qur’an, namun dalam
bentuk lain tidak seperti pada masa Abu Bakar. Dengan cara mengumpulkan al-Qur’an
dalam bentuk menstandarisasikan bacaan
kaum muslimin kepada satu bacaan yang resmi.
Inisiatif
Utsman untuk menyatukan penulisan sangatlah beralasan, pasalnya perbedaan cara
baca al-Qur’an pada saat itu sudah berada pada titik yang menyebabkan umat
islam saling menyalahkan dan selanjutnya terjadi perselisihan di antara mereka,
karena mereka saling beranggapan bahwa qiraat masing-masing pihak lebih baik.
E.
Penutup
Al-qur’an merupakan sumber utama ajaran agama islam,
didalamnya termuat ajaran dan petunjuk tentang aqidah, hukum, ibadah, dan
akhlak. Bacaan ayat yang satu dengan ayat yang lainya saling
berkaitan, Sedang membacanya pun bernilai ibadah.
Al-qur’an merupakan firman Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad melalui Ruhul Amin (jibril as) dengan lafal yang berbahasa
arab dan maknanya yang benar. menjadi petunjuk bagi manusia, undang-undang
serta pendekatan manusia kepada Allah tanpa adanya perubahan maupun pergantian.
Adanya Al-qur’an adalah sebagai mukjizat atas kerasulan Nabi Muhammad
s.a.w yang dimaksudkan untuk melemahkan tantangan untuk penciptaaan karya
sejenis, melumpuhkan penghinaan dan pelecehan. Al-qur’an sebagai wahyu Allah
untuk menjawab penolakan orang quraisy. Al-qur’an pun menentang mereka melalui
beberapa tahapan. Pertama, mendatangkan semisal Al-qur’an. kedua, mendatangkan
sepuluh surat yang menyamai surat-surat yang ada dalam al-qur’an. Ketiga, mendatangkan
satu surat. Keempat, mendatangkan beberapa ayat.
Al-qur’an turun kepada Nabi Muhammad melalui tiga
tahap. Pertama, dari Allah ke lauh al-mahfuzh. Kedua, diturunkan
dari lauh al-mahfudz ke bait al-izzah. Ketiga, dari bait al-izzah ke
dalam hati nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan.
Penulisan Al-qur’an sudah ada sejak zaman rasulullah
yang dimaksudkan untuk me-back up hafalan yang telah dilakukan oleh para
sahabat. selain itu adanya tulisan, ayat Al-qur’an akan tetap terjaga walaupun
tidak dalam satu tempat. selanjutnya Kekhawatiran akan semakin hilangnya
hafalan sahabat dikarenakan gugurnya para qori’ dan hafidz dimedan perang juga
menjadi salah satu penyebab ditulisnya al-qur’an dan pengumupulanya
(al-qur’an).
Ayat-ayat Al-qur’an sudah ditulis di masa
Rasulullah, setelah Rasulullah wafat tongkat estafet di pegang oleh khalifah I
yakni Abu Bakar. Dimasa Abu Bakar ayat-ayat Al-qur’an mulai dikumpulkan untuk
menjaga keatentikasianya, sedangkan dimasa Umar hanyalah untuk menyebarluaskan
qira’at diberbagai daerah. Setelahnya, dimasa Utsman barulah terjadi pengumpulkan
al-Qur’an dalam bentuk menstandarisasikan
bacaan kaum muslimin kepada satu bacaan yang resmi.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Rosihon. Pengantar Ulumul Quran. Bandung:
Pustaka Setia, 2009.
Athaillah, A. Sejarah al-Quran: Verifikasi Otensitas al-Quran.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Bell, Richard. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1995.
H. Thalhas, T. Fokus Isi dan Makna Al-Qur’an.
Jakarta: Gelura Pase, 2008.
M. Yusuf, Kadar. Studi AlQuran. Jakarta: AMZAH, 2009.
Nata, Abuddin. Al-Qur’an dan Hadits: Dirasah Islamiyah I.
Jakarta: Citra Niaga Rajawali Press, 1993.
Shihab, Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1996.
Shihab, Quraish, dkk. Sejarah dan Ulum al-Qur’an.
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Sumbullah, Umi, dkk. Studi Al-Qur’an dan Hadis.
Malang: UIN-Maliki Press, 2014.
Tajuddin Arafat, Ahmad. Artikel: Membaca Sejarah
al-Qur’an (http://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&q=membaca+sejarah+alquran),
diakses 25 agustus 2017.
Zuhdi, Masjfuk. Pengantar Ulumul Qur’an. Surabaya:
Karya Abditama, 1997.
Catatan:
- Penulisan judul buku di footnote ditulis miring.
- Pelajari lagi cara penulisan footnote.
- Data jurnal harus dicantumkan lengkap.
- Angka footnote tolong dirapikan.
- Perujukan footnote masih sangat minim.
- Lebih jelaskan kodifikasi al-Qur’an pada masa Usman.
- Pelajari lagi cara penulisan penutup.
[1] Tajuddin
Arafat, Ahmad. Artikel: Membaca Sejarah al-Qur’an (http://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&q=membaca+sejarah+alquran),
diakses 25 agustus 2017.
[2] Quraish Shihab, Sejarah dan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 56
[3] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan
Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal.
51
[4] Masfujk Zuhdi, Pengantar Ulumul
Qur’an, (Surabaya: Karya Abditama, 1997), Hal. 1
[5] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan
Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal.
53
[6] Ibid., Hal. 54
[7] Ibid,. Hal. 104
[8] Quraish Shihab, Sejarah dan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 105
[9] Abuddin Nata, Al-Qur’an dan
Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal.
70
[10] Ibid., Hal. 67
[11] Quraish Shihab, Sejarah dan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 110
[12]
Abuddin Nata, Al-Qur’an dan
Hadits (Dirasah Islamiah I), (Jakarta: Citra Niaga Rajawali Pers, 1993), Hal.
69
[13] Quraish Shihab, Sejarah dan
Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hal. 111
[14] Anwar, rosihon. 2009. Pengantar
Ulumul Qu’an. Bandung: CV pustaka. Hal 46
[15] Attaillah. 2010. Sejarah
Alqur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 180
[16]
Anwar, rosihon. 2009.
Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: CV pustaka. Hal. 74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar